BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Supervisi
2.1.1. Pengertian Supervisi
Supervisi adalah upaya yang dilakukan dalam rangka
pemantauan disertai dengan pemberian bimbingan, penggerakan atau
motivasi dan pengarahan (Depkes, 2008). Supervisi adalah melakukan
pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap
pekerjaan yang dilakukan bawahan dan jika ditemukan masalah, segera
diberikan bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya (Suarli
dan Bahtiar, 2009).
Supervisi merupakan suatu proses pemberian sumber-sumber
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dalam rangka pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan. Supervisi memungkinkan seorang
manajer dapat menemukan berbagai kendala yang dihadapi dalam
pelaksanaan tugas bawahan (Arwani dan Supriyatno, 2005).
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa kegiatan supervisi adalah tindakan pengamatan ataupun
pengawasan yang dilakukan oleh atasan meliputi penilaian kinerja
bawahan sesuai standar prosedur, memberikan bimbingan dan bantuan
apabila terdapat masalah serta dukungan sehingga tujuan organisasi
2.1.2. Tujuan dan Manfaat Supervisi
Kegiatan supervisi mengusahakan seoptimal mungkin kondisi
kerja yang kondusif dan nyaman yang mencakup lingkungan fisik,
atmosfer kerja, dan jumlah sumber-sumber yang dibutuhkan untuk
memudahkan pelaksanaan tugas. Tujuan supervisi diarahkan pada
kegiatan mengorientasikan staf dan pelaksana keperawatan,
memberikan arahan dalam pelaksanaan kegiatan sebagai upaya untuk
menimbulkan kesadaran dan mengerti peran serta fungsinya sebagai
staf, dan difokuskan pada pemberian pelayanan dan pelaksana
keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan (Arwani dan
Supriyatno, 2005).
Apabila supervisi dapat dilakukan dengan baik, akan diperoleh
banyak manfaat. Manfaat tersebut adalah dapat lebih meningkatkan
efektifitas kerja. Peningkatan efektifitas kerja ini erat hubungannya
dengan peningkatan pengetahuan dan keterampilan bawahan, serta
makin terbinanya hubungan dan suasana kerja yang lebih harmonis
antara atasan dan bawahan. Manfaat selanjutnya adalah dapat lebih
meningkatkan efisiensi kerja. Peningkatan efisiensi kerja ini erat
kaitannya dengan makin berkurangnya kesalahan yang dilakukan
bawahan, sehingga pemakaian sumber daya (tenaga, harta, dan sarana)
2.1.3. Sasaran Supervisi
Arwani dan Supriyatno (2005) menyatakan bahwa supervisi
yang dilakukan memiliki target tertentu yang akan dicapai. Setiap
sasaran dan target dilaksanakan sesuai dengan pola yang disepakati
berdasarkan struktur dan hierarki tugas. Dengan demikian, sasaran yang
menjadi target dalam kegiatan supervisi adalah terbentuknya staf yang
berkualitas yang dapat dikembangkan secara sistematis dan
berkesinambungan , penggunaan alat yang efektif dan ekonomis,
tersedianya sistem dan prosedur yang tidak menyimpang, adanya
pembagian tugas dan wewenang yang proporsional, dan tidak terjadinya
penyelewengan kekuasaan, kedudukan, dan keuangan.
Sasaran atau objek dari supervisi adalah pekerjaan yang
dilakukan oleh bawahan, serta bawahan yang melakukan pekerjaan. Di
sini terlihat lebih jelas bahwa bawahan yang melaksanakan pekerjaan
akan disupervisi, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja
pekerjaan yang dilakukan oleh bawahan (Suarli dan Bahtiar, 2009).
2.1.4. Prinsip-Prinsip Pokok Dalam Supervisi
Tobing dan Napitupulu (2011) menyatakan bahwa ada 8
prinsip-prinsip pokok supervisi, yaitu:
a. Supervisor harus mengerti dengan jelas hal-hal yang diharapkan dari
pekerjaan tersebut seperti tujuan/sasaran, sifat/kriteria, anggaran, dan
b. Supervisor harus mengetahui pedoman dan prosedur dalam
menjalankan pekerjaan.
c. Supervisor harus mengakui pekerjaan yang baik yang telah dilakukan
bawahannya dan memberikan pekerjaan kepada yang dipimpinnya.
d. Supervisor harus memberikan tanggung jawab pekerjaan kepada
bawahannya.
e. Supervisor harus memotivasi orang-orang yang dipimpinnya untuk
memperbaiki kesalahan-kesalahannya dan memberi kritik yang
konstruktif.
f. Supervisor harus mempunyai gaya dan fungsi kepemimpinan sebagai
teladan bagi bawahannya.
g. Supervisor harus mampu mengarahkan, berkomunikasi dengan baik,
dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan diri.
h. Supervisor harus memberikan suasana bekerja dalam lingkungan
yang sehat, nyaman, dan aman.
Arwani dan Supriyatno (2005) menyatakan bahwa seorang
manajer keperawatan yang melakukan kegiatan supervisi harus
mengetahui prinsip-prinsip supervisi yaitu didasarkan atas hubungan
profesional dan bukan hubungan pribadi, kegiatan harus direncanakan
secara matang, bersifat edukatif, memberikan rasa aman pada perawat
pelaksana, harus mampu membentuk suasana kerja yang demokratis,
dilakukan secara objektif dan mampu memacu terjadinya penilaian diri
masing-masing orang yang terlibat, bersifat progresif, inovatif, fleksibel,
konstruktif dan kreatif dalam mengembangkan diri disesuaikan dengan
kebutuhan, dan supervisi harus dapat meningkatkan kinerja bawahan
dalam upaya meningkatkan kualitas asuhan keperawatan.
Suarli dan Bahtiar (2009) menyatakan prinsip pokok supervisi
secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Tujuan utama supervisi ialah untuk lebih meningkatkan kinerja
bawahan, bukan untuk mencari kesalahan. Peningkatan kinerja ini
dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap
pekerjaan bawahan, untuk kemudian apabila ditemukan masalah,
segera diberikan petunjuk atau bantuan untuk mengatasinya.
b. Sejalan dengan tujuan utama yang ingin dicapai, sifat supervisi harus
edukatif dan sportif, bukan otoriter.
c. Supervisi harus dilakukan secara teratur dan berkala.
d. Supervisi harus dapat dilaksanakan sedemikian rupa sehingga terjalin
kerja sama yang baik antara atasan dan bawahan, terutama pada saat
proses penyelesaian masalah, dan untuk lebih mengutamakan
kepentingan bawahan.
e. Strategi dan tata cara supervisi yang akan dilakukan harus sesuai
dengan kebutuhan masing-masing bawahan secara individu.
Penerapan strategi dan tata cara yang sama untuk semua kategori
f. Supervisi harus dilaksanakan secara fleksibel dan selalu disesuaikan
dengan perkembangan.
2.1.5. Pelaksana Supervisi
Depkes (2008) menyatakan bahwa pelaksana supervisi di rumah
sakit dapat dilakukan oleh:
a. Kepala Ruangan
Bertanggung jawab dalam supervisi pelayanan keperawatan untuk
klien. Kepala ruangan sebagai ujung tombak penentu tercapai
tidaknya tujuan pelayanan keperawatan dan mengawasi perawat
pelaksana dalam memberikan asuhan keperawatan.
b. Pengawas Perawatan
Beberapa ruang atau unit pelayanan berada dibawah unit pelaksana
fungsional (UPF). Pengawas bertanggung jawab dalam supervisi
pelayanan keperawatan pada areanya yaitu beberapa kepala ruangan
yang di UPF bersangkutan.
c. Kepala Seksi
Beberapa UPF digabung dalam satu pengawasan kepala seksi
(Kasie). Kepala seksi mengawasi pengawas UPF dalam
melaksanakan tugasnya secara langsung dan seluruh perawat secara
tidak langsung.
d. Kepala Bidang
Kepala bidang bertanggung jawab untuk supervisi kepala seksi
supervisi berkaitan dengan struktur organisasi yang menggambarkan
garis tanggung jawab siapa yang menjadi supervisor dan siapa yang
disupervisi.
Pelaksana supervisi adalah manajer yang langsung mengelola
karyawan yang memiliki pengalaman dalam supervisi, mengikuti
pelatihan sistemik, serta memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan.
Apabila supervisor tidak memiliki keterampilan tersebut dapat
dipastikan kinerja unit kerja mereka akan menjadi korban (Dharma,
2003).
Suarli dan Bahtiar (2009) menyatakan bahwa yang bertanggung
jawab untuk melaksanakan supervisi adalah atasan yang memiliki
kelebihan dalam organisasi. Idealnya, kelebihan tersebut tidak hanya
dari aspek status dan kedudukan, tetapi juga pengetahuan dan
keterampilan. Untuk dapat menjadi pelaksana supervisi yang baik
manajer juga perlu mengikuti pendidikan dan pelatihan yang bersifat
khusus. Pelaksana supervisi yang baik membutuhkan bekal yang
banyak, termasuk bekal dalam melakukan komunikasi, motivasi,
pengarahan, bimbingan, dan juga kepemimpinan.
2.1.6. Teknik Supervisi
Supervisi dapat dilakukan melalui 2 cara dalam prosesnya,
2.1.6.1. Cara Langsung
Supervisi langsung adalah ketika supervisor
bertanggung jawab secara langsung terhadap asuhan
keperawatan. Supervisi dilakukan pada saat kegiatan
berlangsung dan supervisor melakukan observasi kepada
perawat pelaksana saat melakukan asuhan keperawatan
(Nursing and Midwifery Board of Australia, 2013). Observasi
dilakukan dengan membandingkan hasil pengamatan dengan
standar program (Muninjaya, 2004). Pada kondisi ini, umpan
balik dan perbaikan dapat sekaligus dilakukan dimana bawahan
tidak merasakannya sebagai suatu beban dan selama proses
supervisi, supervisor dapat memberikan dukungan,
reinforcement, dan petunjuk, kemudian supervisor dan perawat
pelaksana melakukan diskusi untuk menguatkan yang telah
sesuai dengan apa yang direncanakan dan memperbaiki segala
sesuatunya yang dianggap masih kurang (Arwani dan
Supriyatno, 2005).
Suarli dan Bahtiar (2009) menyatakan 3 hal yang perlu
diperhatikan saat melakukan supervisi langsung, yaitu:
a. Sasaran pengamatan
Pengamatan langsung yang tidak jelas sasarannya
merupakan pengamatan yang tidak efektif, karena pelaksana
Pencegahan yang dapat dikerjakan dalam situasi tersebut
adalah perlu ditetapkan sasaran pengamatan, yakni ditujukan
pada sesuatu yang bersifat pokok dan strategis (selective
supervision).
b. Objektivitas pengamatan
Pengamatan langsung yang tidak terstandardisasi dapat
menggangu objektivitas.Pengamatan langsung perlu dibantu
dengan suatu daftar isian (check list) agar lebih objektivitas.
Daftar tersebut dipersiapkan untuk setiap pengamatan secara
lengkap dan apa adanya.
c. Pendekatan pengamatan
Pengamatan langsung sering menimbulkan berbagai dampak
dan kesan negatif, misalnya rasa takut dan tidak senang, atau
kesan mengganggu kelancaran pekerjaan. Pengamatan
langsung harus dilakukan sedemikian rupa sehingga
berbagai dampak atau kesan negatif tersebut tidak muncul.
Pengamatan tersebut dapat dilakukan secara edukatif dan
suportif, bukan menunjukkan kekuasaan atau otoritas.
2.1.6.2. Cara Tidak Langsung
Supervisi tidak langsung memungkinkan terjadinya
salah pengertian (misunderstanding) dan salah persepsi
(misperception) karena supervisor tidak melihat secara
Supriyatno, 2005). Nursing and Midwifery Board of Australia
(2013) menyatakan bahwa supervisi tidak langsung adalah
ketika supervisor berada dalam fasilitas ataupun organisasi
yang sama dengan yang disupervisi namun tidak melakukan
observasi langsung. Supervisor harus tersedia saat dibutuhkan
baik via telepon ataupun email.
Muninjaya (2004) menyatakan bahwa supervisi tidak
langsung dapat dilakukan melalui 2 cara yaitu:
a. Laporan lisan
Supervisor dapat memperoleh data langsung tentang
pelaksanaan suatu program dengan mendengarkan laporan
lisan staf atau pengaduan masyarakat. Supervisor hanya
memperoleh informasi terbatas tentang kemajuan program
atau laporan kasus penyalahgunaan wewenang oleh staf dari
laporan masyarakat, sehingga supervisor harus peka dengan
raut wajah staf dan cara mereka melapor, jika seandainya
laporan yang diterima tidak benar apalagi jika tidak
ditunjang dengan data (fakta).
b. Laporan tertulis
Staf penanggung jawab program diminta membuat laporan
singkat tentang hasil kegiatannya. Informasinya hanya
terbatas pada hal-hal yang dianggap penting oleh staf.
pelaporan program yang secara rutin dibuat oleh staf dapat
dimanfaatkan untuk mengembangkan program asalkan
laporan tersebut sudah dianalisis dengan baik.
Wiyana (2008) menyatakan bahwa supervisi tidak
langsung dapat dilakukan dengan melihat hasil dokumentasi
pada buku rekam medik perawat dengan memilih satu
dokumen asuhan keperawatan, kemudian memeriksa
kelengkapan dokumentasi sesuai dengan standar
dokumentasi asuhan keperawatan yang ditetapkan rumah
sakit. Setelah itu memberikan penilaian atas dokumentasi
yang di supervisi dengan memberikan tanda bila ada yang
masih kurang dan berikan cacatan tertulis pada perawat yang
mendokumentasikannya.
2.2. Prinsip Enam Benar Pemberian Obat 2.2.1. Benar Pasien
Pemberian obat pada pasien yang benar dapat dipastikan
dengan memeriksa gelang identifikasi pasien, dan meminta pasien
menyebutkan namanya sendiri, jika pasien tidak mampu berespon
secara verbal, dapat digunakan cara non-verbal seperti
menganggukkan kepala (Kee dan Hayes, 1996 ).
Ketika memberikan obat pada pasien perawat harus mengecek
akan diberikan obat, mengecek identitas pasien pada papan/kardeks di
tempat tidur pasien (Kozier, Erb, Berman, Snyder, 2010).
Perawat harus memastikan obat diberikan kepada pasien yang
tepat dengan meminta pasien untuk menyebutkan nama lengkapnya
dan nomor jaminan sosialnya atau nama lengkap dan tanggal lahirnya
(Vaughans, 2013).
Pemberian obat pada pasien yang salah dapat terjadi pada saat
pemesanannya lewat telepon, pasien yang masuk bersamaan, kasus
penyakitnya sama, ataupun adanya pindahan pasien dari ruang yang
satu keruang yang lainnya. Perawat harus mengidentifikasi pasien
dengan menanyakan nama lengkap pasien, melihat identitas pasien
dalam bracelet ataupun mengidentifikasi melalui papan nama pada
tempat tidur pasien untukmengurangi kejadian pemberian obat pada
pasien yang tidak tepat (Wijayaningsih, 2013).
2.2.2. Benar Obat
Obat yang benar berarti pasien menerima obat yang telah
diresepkan. Label obat harus dibaca 3 kali untuk menghindari
kesalahan, yaitu: saat melihat botol atau kemasan, sebelum menuang
obat,setelah menuang obat. Perawat juga harus menyadari bahwa
obat-obat tertentu mempunyai nama yang bunyinya hampir sama dan
ejaannya mirip. Jika ada keraguan, perawat dapat menghubungi
Benar obat dapat dilakukan dengan mengecek program terapi
pengobatan dari dokter, menanyakan ada tidaknya alergi obat,
mengecek label obat, menanyakan keluhan pasien sebelum dan setelah
memberikan obat, perawat juga harus mengetahui efek samping obat
(Kozier, et al., 2010).
Vaughans (2013) menyatakan bahwa perawat harus
memastikan obat yang akan diberikan kepada pasien benar dengan
cara:
a) Mengecek inkonsistensi antara obat yang diresepkan dan riwayat
medis pasien, termasuk kontraindikasi, alergi, diagnosis medis, dan
hasil laboratorium. Perawat harus memverifikasi ketidakjelasan
medikasi yang dipesan atau inkonsisten dengan penilaian informasi
yang diperoleh selama proses persiapan.
b) Mengecek adanya ketidakcocokan antara obat yang diresepkan dan
obat yang diberikan. Ada kesamaan tampilan, kesamaan bunyi
dalam medikasi (misal, Xanax dan Zantac) yang dapat berakibat
pada medikasi yang salah pada pasien.
c) Jika pasien tidak yakin untuk meminum obat yang telah diresepkan,
verifikasi bahwa pemberi resep telah memesan obat yang tepat.
Obat diberikan dengan benar dapat dipastikan dengan melihat
label atau etiket dan harus dibaca dengan teliti setiap akan memberikan
obat. Hal yang perlu diperhatikan antara lain : nama obat, sediaan,
pemberian obat sering terjadi jika perawat memberikan obat yang
disiapkan oleh perawat lain atau pemberian obat melalui wadah (spuit)
tanpa identitas atau label yang jelas (Wijayaningsih, 2013).
2.2.3. Benar Dosis
Benar dosis diperhatikan melalui penulisan resep dengan
dosis yang disesuaikan dengan keadaan pasien. Beberapa kasus
yang ditemui di lapangan, terdapat banyak obat yang
direkomendasikan dalam bentuk sediaan. Perawat harus teliti
menghitung dosis masing-masing obat dan mempertimbangkan adanya
perubahan dosis dari penulis resep. Yang perlu diperhatikan oleh
perawat dalam pemberian dosis yang benar adalah tidak mengubah
dosis asli, menghitung dan memeriksa dosis obat dengan benar.
Jika ada keraguan, dosis obat harus dihitung ulang dan diperiksa
oleh perawat lain, serta menghubungi apoteker atau penulis resep
sebelum pemberian dilanjutkan. Jika pasien meragukan dosis, periksa
kembali dosis obat. Apabila sudah mengkonsultasikan dengan
apoteker atau penulis resep namun tetap rancu, obat tidak boleh
diberikan, beritahu penanggung jawab unit atau ruangan dan
penulis resep beserta alasannya (Kee dan Hayes, 1996).
Benar dosis dapat dipastikan dengan mengecek dosis yang
diresepkan sesuai dengan kebutuhan pasien, mencari tahu dosis obat
yang biasa digunakan pasien, dan memeriksa kembali perhitungan
Memberikan obat dengan dosis yang tepat pada pasien
merupakan hal yang harus dipastikan oleh perawat. Memberikan
jumlah yang lebih sedikit dari yang diresepkan berakibat pada tidak
memadainya perlakuan terhadap pasien dan akan menunda pemulihan
dari sakit, juga menyebabkan resistensi terhadap obat tertentu di masa
yang akan datang. Memberikan obat dengan dosis yang berlebih dari
yang seharusnya dapat menciptakan masalah baru bagi pasien,
beberapa diantaranya dapat mengakibatkan kematian (Vaughans,
2013).
Dosis yang tidak tepat dapat menyebabkan kegagalan terapi
atau timbulnya efek berbahaya. Kesalahan dosis sering terjadi pada
anak-anak, lansia, atau pada orang obesitas. Perawat perlu memeriksa
dosis obat sesuai kebutuhan pasien dan jika ragu dapat berkonsultasi
dengan dokter yang menulis resep (Wijayaningsih, 2013).
2.2.4. Benar Waktu
Waktu yang benar adalah saat obat yang diresepkan harus
diberikan. Jika obat harus diminum sebelum makan untuk memperoleh
kadar yang diperlukan harus diberi satu jam sebelum makan, jika obat
harus dimakan sesudah makan maka harus diberi sesudah pasien
makan. Perawat juga harus memeriksa tanggal kadaluarsa obat (Kee
dan Hayes, 1996).
Benar waktu dapat diterapkan dengan memberikan obat pada
resep. Obat yang diberikan dalam 30 menit sebelum atau sesudah
waktu yang dijadwalkan dianggap memenuhi waktu standar yang
benar (Kozier, et al., 2010).
Benar waktu meliputi interval yang benar dan juga waktu yang
tepat setiap harinya. Memberikan obat dengan frekuensi lebih sering
atau kurang dari yang telah diresepkan berpotensi mempengaruhi efek
yang diharapkan dari obat tersebut. Selain itu, beberapa obat harus
diberikan di waktu tertentu pada hari tersebut. Sebagai contoh,
diueretik (obat yang diberikan untuk mengurangi kelebihan cairan dari
tubuh) biasanya diberikan pagi hari. Pemberian jenis obat ini di malam
hari akan mengganggu pasien beristirahat (Vaughans, 2013).
Obat yang dikonsumsi secara berulang lebih berpotensi
menimbulkan kesalahan dalam waktu pemberiannya. Misalnya pada
kasus gawat darurat henti jantung, epinefrin diberikan setiap 3-5 menit,
jika tidak dipatuhi akan menghasilkan kadar obat yang tidak sesuai dan
dapat menimbulkan efek samping yang tidak diharapkan. Selain itu,
perawat juga perlu memperhatikan dalam pemberian obat berupa
injeksi ataupun infus (Wijayaningsih, 2013).
2.2.5. Benar Rute
Rute yang benar perlu untuk absorbsi yang tepat dan memadai.
Obat diberikan melalui rute yang berbeda, tergantung keadaan
dan fisik obat) serta tempat kerja yang diinginkan. Rute pemberian
obat dapat dibagi menjadi:
a) Oral, obat yang masuk melalui mulut, dapat diabsorpsi melalui
rongga mulut (sublingual atau bukal).
b) Topikal, terdiri dari krim, salep, lotion, liniment dan sprei. Obat
ini digunakan pada permukaan luar badan untuk melindungi,
melumasi, atau sebagai vehikel untuk menyampaikan obat ke
daerah tertentu pada kulit atau membran mukosa,
c) Rektal,rute ini dapat diberikan melalui enema atau supositoria.
Pemberian obat pada rektal digunakan untuk efek lokal, seperti
konstipasi atau hemoroid.
d) Pesarri, obat ini menyerupai supositoria, tetapi bentuknya
dirancang khusus untuk vagina
e) Inhalasi, yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan,
f) Parenteral, pemberian obat diluar usus atau saluran cerna, yaitu
melalui vena (Kee dan Hayes, 1996).
Perawat harus memberikan obat sesuai dengan rute yang telah
ditetapkan dan memastikan bahwa rute tersebut aman dan sesuai untuk
pasien. Perawat juga harus mengecek cara pemberian pada
label/kemasan obat (Kozier, et al., 2010).
Rute pemberian obat mempengaruhi tubuh memproses obat.
Perawat harus memastikan bahwa rute pemberian obat yang
tidak terdapat kontraindikasi untuk memastikan bahwa efek yang
diharapkan tercapai. Sebagai contoh, suatu obat yang diresepkan
dengan rute mulut dapat kontraindikatif jika pasien baru saja
melakukan bedah mulut atau mungkin tidak efektif jika pasien
mengalami muntah. Selanjutnya, tidak akan tepat untuk tetap
memberikan obat tanpa lebih dahulu berkonsultasi dengan pemberi
resep atau mengecek untuk melihat jikalau obat tersebut juga dipesan
untuk suatu rute alternatif lain (Vaughans, 2013).
Jalur atau rute pemberian obat adalah jalur obat masuk ke
dalam tubuh. Rute pemberian obat menentukan jumlah dan kecepatan
obat yang masuk ke dalam tubuh, sehingga merupakan penentu
keberhasilan terapi atau kemungkinan timbulnya efek yang merugikan
(Wijayaningsih, 2013).
2.2.6. Benar Dokumentasi
Perawat harus segera mendokumentasi tindakanpemberian obat
pada pasien yang meliputi nama, dosis, rute, waktu dan tanggal
pemberian obat serta inisial dan tanda tangan perawat. Respon pasien
terhadap pengobatan juga perlu didokumentasikan. Penundaan dalam
mencatat dapat mengakibatkan lupa untuk mencatat pengobatan atau
perawat lain memberikan obat yang sama kembali (Kee dan Hayes,
1996).
Dokumentasikan pemberian obat setelah memberikan obat
pemberian obat berbeda dari waktu yang ditentukan ataupun ada
perubahan dari pemberian obat yang sudah diresepkan dan yang
diberikan pada pasien segera didokumentasikan dan mencantumkan
alasannya dengan jelas (Kozier, et al., 2010).
Mendokumentasikan pemberian obat merupakan tambahan atas
lima benar pemberian obat, dan ini juga harus benar. Penting bagi
anggota tim kesehatan lain yang terlibat dalam perawatan pasien untuk
mengetahui jumlah, waktu, dan rute medikasi yang diberikan pada
pasien. Penting juga bagi anggota tim kesehatan lain untuk mengetahui
bagaimana medikasi mempengaruhi pasien (Vaughans, 2013).
Dokumentasi meliputi nama pasien, nama obat, dosis, jalur
pemberian, tempat pemberian, alasan kenapa obat diberikan, dan tanda
tangan orang yang memberikan. Hal ini diperlukan perawat sebagai
pertanggunggugatan secara legal tindakan yang dilakukan