BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional
merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD RI Tahun 1945. Dalam
rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut yang para
pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang –
perseorangan dan badan hukum. Dengan meningkatnya kegiatan meningkat
juga keperluan akan tersedianya dana yang sebagian besar diperoleh melalui
kegiatan perkreditan. Kegiatan perkreditan yang sudah menjadi kebutuhan
masyarakat pada umumnya.
Di Negara – negara berkembang seperti Indonesia, Bank mempunyai
peranan yang sangat penting dalam meningkatkan perkembangan ekonomi di
masyarakat. Pada hakekatnya Bank berfungsi sebagai lembaga intermediasi,
yaitu menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana
tersebut kepada masyarakat yang membutuhkan. Hal ini dapat kita lihat
dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
terutama pada Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan sebagai berikut : “Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit
rakyat banyak”. Kegiatan Bank dalam pemberian kredit merupakan salah satu
kegiatan yang sangat penting dan utama sehingga pendapatan dari kredit yang
berupa bunga merupakan komponen pendapatan paling besar dibandingkan
dengan pendapatan jasa – jasa di luar bunga kredit yang biasa disebut fee
based income. 2
Dalam hal pemberian kredit, pihak bank sebagai kreditur seringkali
menentukan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi oleh pihak nasabah
(debitur) sebelum memperoleh kredit. Apabila pihak nasabah telah memenuhi
syarat – syarat yang telah ditentukan oleh pihak Bank, maka kredit bisa
diperoleh. Untuk memberi kepastian adanya suatu ikatan hukum antara Bank Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa salah satu fungsi dari bank
adalah memberikan kredit. Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang
dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
pinjam meminjam antara bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga, hal ini terlihat dalam Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang –
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Pinjaman uang menyebabkan timbulnya hutang yang harus dibayar
oleh debitur menurut syarat – syarat yag ditetapkan dalam suatu pinjaman
atau persetujuan untuk membuka kredit. Seseorang yang mendapatkan kredit
dari Bank merupakan orang yang mendapatkan kepercayaan dari Bank.
2
dengan pihak nasabah sebagai penerima kredit, maka dibuatlah suatu
persetujuan atau disebut juga perjanjian kredit.
Dalam kegiatan Bank yang memberikan fasilitas kredit, adanya barang
untuk jaminan pembayaran hutang debitur merupakan unsur yang sangat
penting sebab suatu kredit yang tidak memiliki jaminan yang cukup
mengandung bahaya besar. Keadaan keuangan debitur bisa saja secara tidak
terduga jatuh pada situasi gawat, sehingga debitur tidak mampu lagi
membayar hutangnya. Jika keadaan itu terjadi maka jaminan yang ada harus
dijual.
Penyaluran kredit harus dilakukan dengan prinsip kehati – hatian
melaui analisa yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat,
pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi
syarat hukum, peningkatan pengikatan jaminannya yang kuat dan
dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap. Semuanya itu bertujuan
agar kredit yang meliputi pinjaman pokok dan bunga.3
“ Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan Aktualisasi prinsip
kehati – hatian dalam penyaluran kredit dalam praktek perbankan pada
umumnya mensyaratkan adanya jaminan atau agunan. Adanya jaminan atau
agunan merupakan salah satu persyaratan utama yang diajukan pertama kali
oleh pihak Bank atau pihak pemberi kredit. Sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 8 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 1998
tentang Perubahan AtasUndang – undang No. 7 Tahun 1992 tentang
analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan Nasabah Bebitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”
Dalam kehidupan sehari – hari, kemampuan sebagian nasabah masih
terbatas dalam menyediakan jaminan, kondisinya yang lemah, tingkat
perkembangan usaha yang masih awal maupun prospek usahanya yang
kadangkal belum jelas disebabkan karena pandangan ke depan serta
perencanaan belum dimiliki dengan baik. Bahkan tidak jarang sistem
pembukuan yang teratur pun tidak dimiliki oleh sebagian nasabah tersebut.
Dengan demikian tidak memenuhi kualifikasi perbankan. Hal ini disebabkan
rendahnya pengetahuan tentang aspek bank terbatas.
Keterbatasan penyediaan jaminan oleh masyarakat guna memperoleh
kredit yang diharapkan, pihak bank meringankan ketentuan – ketentuan yang
harus dipenuhi oleh calon debitur, yaitu khususnya dalam hal tanah. Pihak
bank menyadari bahwa dengan tingkat pengetahuan yang rendah, dan
keterbatasan informasi masih banyak yang menganggap bahwa bukti
pembayaran objek pajak merupakan bukti pemilikan hak atas tanah. Bukti
pembayaran objek pajak ini biasa disebut dengan SPPT ( Surat
Pemberitahuan Pajak Terutang ) ini dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
Pajak. Dan masih banyak masyarakat yang kurang kesadarannya untuk
mensertifikatkan tanahnya, sehingga tanah – tanah yang ada dipedesaan
masih banyak dengan status hak – hak lama (adat), misalnya : bekas
yasan/gogol, petok D, girik, pipil, dan seperti di daerah tempat penilitian
hak lama (adat) yaitu disebut dengan Parbatasan/Parbalokan. Yang lebih
rumitnya lagi jika tanah – tanah dengan hak adat tersebut sudah dialihkan
secara di bawah tangan dengan sistem saling percaya saja, di sini tanahnya
dikuasai tetapi kepemilikannya tetap bahkan sampai turun – temurun, hal ini
juga sering sekali terjadi di daerah tempat penilitian penulis. Sebagai contoh,
penulis berkesempatan mewawancarai salah seorang warga Lingkungan I,
Pasar Gunung Tua Kecamatan Padang Bolak Kabupaten Padang Lawas Utara
yang bernama Bapak Lukman Siregar, beliau mendapatkan tanah yang
dikuasainya dengan dialihkan secara di bawah tangan dengan sistem saling
percaya dari kakek/ ayah tobangnya, itu berlaku sampai seterusnya (berlaku
sampai ke anak dan cucunya) nanti.
Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, masyarakat pola pikirnya agak sedikit berubah,
dengan beralihnya suatu kepemilikan Hak Atas Tanah tersebut masyarakat
mulai banyak yang memakai jasa Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya
disebut PPAT) untuk dibuatkannya akta peralihan hak tetapi kebanyakan
tidak didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) melainkan hanya
membuat akta saja. Jadi, masyarakat beranggapan bahwa sudah mempunyai
akta peralihan hak dari PPAT sudah kuat. Kemudian kebanyakan juga dari
masyarakat di daerah tempat penilitian penulis tersebut mau membuat akta
peralihan hak ketika ingin melakukan peminjaman di bank atau karena dalam
keadaan terdesak. Selain itu alasan lain kenapa masyarakat kurang sadar
untuk mensertifikatkan tanahnya dikarenakan kurangnya sosialisasi dari
yang sudah memiliki sertifikat akan jauh lebih berharga. Sampai saat ini
belum ada kebijakan dari pemerintah Indonesia untuk mewajibkan seluruh
masyarakatnya agar mensertifikatkan tanah yang dimilikinya. Terlebih lagi
jangka waktu yang dibutuhkan dalam menerbitkan sertifikat tanah yang
dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional terlalu lama dan membutuhkan biaya
yang besar.
Dapat disimpulkan maka sudah semestinya jika pemberi dan penerima
kredit serta pihak yang lain terkait mendapat perlindungan melalui suatu
lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian
hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.
Lembaga jaminan Hak Tanggungan dengan agunan yang berupa benda
tidak bergerak atau benda tetap berwujud tanah ( hak atas tanah ) merupakan
agunan yang menempati posisi tertinggi dari sekian banyak agunan yang ada
baik secara kuantitas maupun kualitas. Agunan yang berwujud tanah dinilai
paling aman serta mempunyai nilai ekonomi yang relatif tinggi dari
prospektif masa depan, nilai tanah menunjukkan kecenderungan meningkat
karena mengingat seiring berkembangnya zaman harga tanah semakin tinggi
nilai ekonominya.
Lembaga jaminan Hak Tanggungan adalah salah satu upaya
pembaharuan hukum pertanahan nasional yang dilakukan adalah lahirnya
Undang – undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda – benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang – undang Hak
Tanggungan merupakan pelaksanaan Pasal 51 Undang – Undang Republik
Agraria. Lahirnya Undang – undang Hak Tanggungan menunjukkan bahwa
lembaga jaminan atas tanah juga mengalami unifikasi karena sebelum
lahirnya Undang – undang Hak Tanggungan terdapat dualisme hukum
jaminan atas tanah di Indonesia. Dualisme yang dimaksud adalah keberadaan
hipotik sebagai lembaga yang berasal dari hukum tanah barat dan
credietverband sebagai lembaga yang berasal dari hukum adat.
Sebagai lembaga jaminan hak atas tanah yang kuat, Hak Tanggungan
mempunyai unsur – unsur pokok yakni :
1. Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang. 2. Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3. Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
4. Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu.
5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur – kreditur lain.4
Pemberian Hak Tanggunan merupakan suatu perjanjian yang bersifat
accesoir (perjanjian ikutan) dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian hutang
– piutang sehingga mempunyai konsekuensi apabila perjanjian pokonya tidak
sah, maka perjanjian ikutannya menjadi batal dan apabila perjanjian
accesoirnya batal atau hapus belum tentu perjanjian pokoknya ikut hapus.5
4
Sutan Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan Asas – Asas, Ketentuan – Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan , Cet I, Alumni, Bandung, 1999, hal.11.
Berdasarkan unsur pokoknya Hak Tanggungan di atas, bahwa perjanjian Hak
Tanggungan merupakan perjanjian yang memberika hak kebendaan bagi
kreditur serta menguatkan kedudukan kreditur sebagai kreditur preferen,
yakni kreditur yang didahulukandi dalam mengambil pelunasan hutang
manakala debitur wanprestasi terhadap pemberian kredit yang telah diberikan
oleh pihak kreditur.
Setelah diundangkannya Undang – Undang Republik Indonesia Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah maka hak jaminan yang dibebankan pada hak
atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut
benda – benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk
pelunasan hutang tertentu, memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur – kreditur lain (Pasal 1 angka 1 UUHT).
Kreditur tertentu yang dimaksud adalah yang memperoleh atau yang menjadi
pemegang Hak Tanggungan tersebut. Mengenai apa yang yang dimaksud
dengan penegertian “ kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu
terhadap kreditur – kreditur lain” tidak dijumpai dalam penjelasan Pasal 1
Undang - Undang Hak tanggungan. Dijelaskan dalam Penjelasan Umum
Undang – Undang Hak Tanggungan itu bahwa yang dimaksudkan dengan
“memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur – kreditur lain” ialah :
“ Bahwa jika kreditur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijanjikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang – undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu dari pada kreditur – kreditur yang lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi prefensi piutang – piutang Negara menurut ketentuan hukum yang berlaku”.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, bilamana para pihak
golongan ekonomi lemah yang membutuhkan kredit dan satu – satunya
pemiliknya” masih berupa bekas yasan/gogol, petok D, girik pipil atau di
daerah penilitian disebut dengan parbatasan/parbalokan atau dalam keadaan
terdesak karena ingin membuat permohonan pengajuan kredit kepada bank
hanya meningkatkan statusnya sebagai Akta Tanah, yang sebenarnya tidak
dapat dikatakan sebagai bukti kepemilikan, tetapi hanya sekedar merupakan
ketetapan Pemerintah mengenai siapa yang wajib membayar pajak atas persil
yang bersangkutan, karena tidak didukung oleh bukti yang kuat atas
kepemilikan tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian skripsi ini
mengambil judul “ Kepastian Hukum Bagi Bank Sebagai Kreditur Atas
Tanah yang Belum Terdaftar Sebagai Agunan Pada PT. Bank Sumut Cabang
Gunung Tua”.
Adapun alasan penulis memilih Bank Sumut sebagai penelitian, adalah
karena Bank Sumut memberikan kemudahan kepada penulis dalam
memperoleh data – data yang penulis perlukan.
Sedangkan pemilihan Kabupaten Padang Lawas Utara (Gunung Tua)
sebagai lokasi penelitian adalah karena penulis ingin mencari pengalaman dan
wawasan di kampung kelahiran orang tua penulis.
B. Permasalahan
Bersadasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana kedudukan tanah yang belum terdaftar sebagai objek jaminan
2. Apa yang menjadi pertimbangan PT. Bank Sumut Cabang Gunung Tua
dalam menerima agunan tanah yang belum terdaftar sebagai objek jaminan
kredit ?
3. Bagaimana kepastian hukum bagi bank sebagai kreditur atas tanah belum
terdaftar sebagai agunan pada PT. Bank Sumut Cabang Gunung Tua ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk :
1. Untuk mengetahui kedudukan tanah yang belum terdaftar sebagai objek
jaminan kredit
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi pertimbangan bank dalam menerima
tanah yang belum terdaftar sebagai objek jaminan kredit
3. Untuk mengetahui kepastian hukum bagi bank sebagai kreditur atas tanah
yang belum terdaftar sebagai agunan
D. Manfaat Penulisan
Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah :
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembanagn
hukum agraria dalam kaitannya dengan perjanjian kredit dengan
jaminan atas tanah belum terdaftar sebagai jaminan kredit perbankan.
b. Manfaat Praktis
Menambah pengetahuan mengenai objek jaminan berupa hak atas
tanah yang belum terdaftar tidak bisa memberi kepastian hukum
yang maksimal bagi pihak kreditur sebelum status hak atas
tanahnya ditingkatkan atau dimohonkan pendaftarannya untuk
diterbitkan sertifikat hak atas tanah. Maka dalam hal ini pihak
kreditur tidak dijamin kedudukannya atas kredit yang diberikan
debitur.
• Bagi Instansi
Agar bank dapat sebagai salah satu penyedia jasa keuangan yakni
menyalurkan dana dalam bentuk kredit atau pinjaman kepada
debitur yang memerlukan dana atas jaminan hak atas tanah yang
belum terdaftar.
E. Tinjauan Pustaka
1. Kepastian Hukum
Keberadaan hukum dalam masyarakat merupakan suatu sarana
untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, sehingga
dalam hubungan bermasyarakat dapat dijaga kepentingannya. Agar
kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai tetapi
dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum
yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata kepastian
mempunyai arti “perihal (keadaan) pasti ; ketentuan ; ketetapan”.
Sedangkan pengertian Hukum menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia merupakan “peraturan atau adat yang secara resmi dianggap
mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah”. Jadi
menurut Kamus Besar Bahasa indonesia Kepastian Hukum adalah
“perangkat hukum suatu negara yang mampu menjamin hak dan
kewajiban setiap warga negara”.
Menurut J.T.C Simorangkir mengatakan bahwa hukum
diartikan sebagai peraturan – peraturan yang bersifat memaksa yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang
dibuat oleh badan resmi yang berwajib, pelanggaran perbuatan –
perbuatan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.
Menurut Kamus Hukum, “Hukum merupakan keseluruhan daripada
peraturan – peraturan yang mana tiap – tiap orang yang bermasyarakat
wajib mentaatinya, bagi pelanggaran terdapat sanksi.
Sedangkan tujuan hukum itu adalah menciptakan keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian hukum. Menurut Prof. Subekti SH tujuan
hukum adalah mengabdi pada tujuan negara yang pada pokoknya
tujuan negara adalah mewujudkan kemakmuran dan memberikan
kebahagiaan pada rakyat di negaranya. Tujuan hukum tidak hanya
untuk memperoleh keadilan tetapi harus ada keseimbangan antara
dinyatakan dalam bukunya yang berjudul Dasar – dasar Hukum dan
Pengadilan.
Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa kepastian
hukum adalah tujuan utama yang ingin diwujudkan dalam
pelaksanaan suatu hukum. Kepastian ini diberikan kepada subjek
hukum dalam bentuk perangkat – perangkat hukum, baik yang bersifat
preventif maupun bersifat refresif, baik yang tertulis maupun tidak
tertulis. Dengan kata lain kepastian hukum tidak hanya diberikan
kepada seluruh makhluk hidup maupun segala ciptaan Tuhan dan
dimanfaatkan bersama – sama dalam rangka kehidupan yang adil dan
damai. Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila, maka
sistem perlindungan hukum dan kepastian hukum yang dianut harus
berpijak pada dasar Negara Pancasila.
2. Bank
Lembaga keuangan dalam arti luas adalah sebagai perantara dari
pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan
pihak yang kekurangan dana (lack of funds) sehingga peranan dari
lembaga keuangan yang sebenarnya yaitu sebagai perantara
keuangan/dana masyarakat (financial intermediary). Dalam arti yang
luas ini termasuk di dalamnya lembaga perbankan, perasuransia, dana
pensiun, penggadaian dan sebagainya yang menjembatani antara yang
pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang memerlukan dana. 6
6
Lembaga keuangan bank sampai saat ini khususnya di Indonesia
masih mempunyai peranan yang sangat penting. Hal ini dapat terlihat
dari menjamurnya usaha perbankan baik yang berasal dari pemerintah
maupun swasta dengan tingkat persaingan yang ketat.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyebutkan
Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.
Pada Pasal 1 angka 2 Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyebutkan Bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam
bentuk kredit dan atau bentuk – bentuk lainnya dalam dalam rangka
menigkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dari pengertian – pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
bank adalah suatu badab usaha yang berbadan hukum yang bergerak
di bidang jasa keuangan untuk melayani semua orang yang
membtuhkan dana. Bank sebagai badan hukum berarti secara yuridis
adalah merupakan subyek hukum yang berarti dapat megikatkan diri
Pasal 2 Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan menyebutkan bahwa “Perbankan di Indonesia
berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati –
hatian”. Dalam melakukan semua kegiatan seperti menghimpun dana
dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk – benuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Dari pengertian di atas, maka beberapa istilah yang terkait
dalam dunia perbankan antara lain :
a. Kredit
Menurut pasal 1 angka 11 Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menyebutkan Kredit
adalah penyediaan utang atau tagihan yang dapat dipersama-kan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam –
meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak
peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu
dengan pemberian bunga. Sedangkan pengertian kreditur adalah
orang atau lembaga keuangan (bank) yang menyediakan uang
maupun bentuk pinjaman lainnya berdasarkan kesepakatan antara
bank dengan pihak lain.
Menurut Pasal 1 angka 16 Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan bahwa
Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa bank
c. Nasabah Debitur (Debitur)
Menurut Pasal 1 angka 18 Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mnyebutkan bahwa
Debitur adalah nasabah yang memperoleh fasilitas kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan
dengan itu berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan.
d. Kreditur Preference
Adalah kreditur yang mempunyai hak pengambilan pelunasan
terlebih dahulu daripada kreditur lain (preferntial creditor).
Kreditur Preference memiliki hak untuk didahulukan dari kreditur
lain dalam pengambilan pelunasan piutang dari benda objek
jaminan.
3. Tinjauan Umum Mengenai Hak Atas Tanah
Pada dasarnya Hak Atas Tanah lahir dan mengikat pihak – pihak
yang melaksanakan perbuatan hukum menciptakan hak tersebut serta
pihak ketiga, saat mana Hak Atas Tanah dibukukan pada buku tanah
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah secara
terus – menerus, kesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengelohan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik
dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang –
bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan sumah
susun serta hak – hak tertentu yang membebaninya.
Macam – macam hak atas tanh yang diatur dalam Undang –
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok
Agraria dapat dilihat pada ketentuan Pasal 16, diantaranya hak milik,
hak guna bangunan, hak gunan usaha dan seterusnya. Hak atas tanah
yang dibebani Hak Tanggungan meliputi hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, selain itu hak pakai juga dapat digunakan sebagai
agunan, hanya saja disyaratkan menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftar dan dapat dipindahtangankan jika dibebani hak tanggungan,
sejalan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) Undang –
Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah.
Berdasarkan penjelasan atas Pasal 4 ayat (1) Undang – Undang
Republik Indonesia Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah dijelaskan bahwa ada dua unsur mutlak dari hak atas
a. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar
dalam daftar umum, dalam hal ini Kantor Pertanahan. Unsur ini
berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferen) yang
diberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan terhadap
kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak
tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertifikat hak atas
tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat
mengetahuinya (asas publisitas), dan
b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan,
sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk
membayar utang yang dijamin pelunasannya.
4. Pengertian Hak Atas Tanah Yang Belum Terdaftar
Mengenai pengertian Hak Atas Tanah Yang Belum Terdaftar
penjelasan Pasal 15 ayat 4 Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah menyatakan bahwa
hak atas tanah yang belum terdaftar adalah tanah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) Undang – Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah berbunyi :
Penjelasan Pasal 10 ayat (3) Undang – Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah yang dimaksud dengan
hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan
tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai
dilaksanakan.
Jadi pengertian hak atas tanah yang belum terdaftar adalah tanah
yang hak kepemilikan atas tanah tersebut menurut hukum adat yang
telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum
selesai dilaksanakan.
5. Pengertian obyek Jaminan Hak Tanggungan
Pengertian obyek jaminan dihubungkan dengan jaminan kredit.
Jaminan kredit adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah
untuk diuangkan yang diikat dengan janji yang sebagai jaminan untuk
pembayaran dari utang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang
dibuat kreditur dan debitur. Sedangkan pengertian obyek jaminan
adalah barang atau benda yang mempunyai nilai mudah untuk
diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk
pembayaran dari utang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang
dibuat antara kreditur dan debitur. Dan pengertian Hak Tanggungan
berdasarkan Pasal 1 Undang – Undang Republik Indonseia Nomor 4
Tahun 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda
pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok – pokok Agraria, berikut atau berikut benda – benda lain yang
merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan utang
tertentu yang memeberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur – kreditur yang lain. Jadi pengertian
obyek jaminan Hak Tanggungan adalah barang atau benda yang
mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji
sebagai jaminan untuk pembayaran dari utang debitur berdasarkan
perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dan debitur, yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang
– Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok – pokok Agraria, berikut atau tidak beriktu benda –
benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk
pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur – kreditur lain.
6. Tinjauan Umum Perjanjian Kredit
1. Pengertian Kredit
Kredit menurut ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang –
undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan menyatakan : “Kredit adalah penyediaan uang atau
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk
melunasi utangnya setalah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bungan”.
Pengertian kredit sendiri sebenarnya dari berasal dari
bahasa Romawi yaitu Credere yang berarti kepercayaan. Dasar dari
kredit adalah kepercayaan bahwa pihak lain ada pada masa yang
akan datang akan memenuhi segala sesuatu yang telah dijanjikan.
Apa yang dijanjikan untuk dipenuhi itu dapat berupa : barang, uang
atau jasa.7
“Dalam pengertian kredit ada terdapat pengertian transfer antara
waktu sekarang dengan waktu yang akan datang. Dengan demikian
didefinisikan sebagai suatu hak untuk menggunakan uang dalam
batas waktu tertentu berdasarkan pertimbangan tertentu.8
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa intisari dari arti
kredit sebenarnay menurut Molenaar yang dikutip Prof. Dr.
Mariam Darus Badrulzaman, S.H dalam buku aneka bisnis
mengemukakan bahwa kredit adalah meminjamkan benda atau
uang pada peminjam dengan kepercayaan, bahwa benda atau uang
itu akan dikembalikan di kemudian hari kepada pihak yang
meminjamkan.9
.7 Indra Darmawan, Pengantar Uang dan Perbankan, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hal.44.
8
Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang – Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda – Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,
Kreditur adalah pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan utang
– piutang tertentu, sedangkan Pasal 1 ayat (3) debitur adalah pihak
yang berutang dala suatu hubungan utang – piutang tertentu
Bedasarkan pengertian kredit seperti tersebut diatas, maka
ditarik suatu kesimpulan bahwa unsur – unsur yang terdapat dalam
pemberian kredit adalah :10
a. Kepercayaan, yaitu keykina si pemberi kredit (bank) bahwa prestasi (uang) yang diberikan akan benar – benar diterima kembali dari si penerima kredit pada suatu masa yang akan datang.
b. Waktu, yaitu jangka waktu antara saat pemberian prestasi dengan saat pengembaliannya.
Dalam unsur waktu ini terkandung pengertian tentang nilai agio uang yaitu nilai uang sekarang lebih berharga daripada uang di masa yang akan datang.
c. Resiko, yaitu resiko sebagai akibat yang akan dapat timbul pada pemberian kredit. Guna menghindari resiko, maka sebelum kredit diberikan harus dilakukan penilaian secara cermat dan dilindungi dengan agunan/jaminan kredit sebagai benteng terakhir dalam pengamanan kredit.
d. Prestasi, dalam hubungannya dengan pemberian kredit dimaksud dengan prestasi adalah uang.
Buku III Kitang Undang – Undang Hukum Perdata atau
BW maksud isi dari kreditur atau pihak berpiutang adalah pihak
yang berhak menuntut, sedangkan pihak yang wajib memenuhi
tuntutan dinamakan pihak berhutang atau Debitur.11
10
Mohammad Djohan, Perbankan di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1990, hal. 5.
11
2. Pengertian Perjanjian Kredit Bank
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana dua orang atau
lebih saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu
persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing – masing
bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.
Perjanjian kredit merupakan perikatan antasa dua pihak
atau lebih yang menggunakan uang sebagai obyek dari perjanjian,
jadi dalam perjanjian kredit ini titik beratnya adalah pemenuhan
prestasi antara pihak yang menggunakan uang sebagai obyek atau
sesuatu yang dipersamakan dengan uang.
Dalam Buku III KUHPerdata tidak terdapat ketentuan yang
khususnya mengatur perihal Perjanjian Kredit. Namun berdasarkan
asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas untuk menentukan isi
dari perjanjian kredit sepanjang sepanjang tidak bertentangan
dengan undang – undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan
kepatutan. Dengan disepakati dan ditandatanganinya perjanjian
kredit tersebut oleh para pihak, maka sejak detik itu perjanjian lahir
dan mengikat para pihak yang mebuatnya sebagai undang –
undang.
Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipil) yang
bersifat riil. Sebagaimana perjanjian – perjanjian prinsipil, maka
perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada atau berakhirnya
perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah
kepada nasabah kreditur. Kredit yang diberikan oleh bank sebagai
kreditur kepada nasabahnya sebagai debitur selalu dilakukan
dengan membuat suatu perjanjian. Mengenai bentuk perjanjian ini
tidak ada bentuk yang pasti karena tidak ada peraturan yang
mengatur, tetapi yang jelas perjanjian kredit selalu dibuat dalam
bentuk tertulis dan mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata tentang
syarat – syarat sahnya perjanjian.12
Hal di atas menunjukkan bahwa perjanjian kredit di dalam
praktek tumbuh sebagai perjanjian standaard.
Di dalam praktek perbankan, setiap bank menyediakan
blangko (formulir, model) perjanjian kredit, yang isinya telah
disiapkan terlebih dahulu. Formulir ini disodorkan kepada setiap
pemohon kredit. Isinya tidak diperbincangkan dengan pemohon.
Kepada pemohon hanya dimintakkan pendapatnya dan apakah
dapat menerima syarat – syarat yang tersebut di dalam formulir itu
atau tidak. Hal – hal yang kosong (belum) diisi di dalam blangko
itu adalah hal – hal yang tidak mungkin diisi sebelumnya yaitu
antara lain jumlah pinjaman, bunga, tujuan, dan jangka waktu
kredit.
13
Perjanjian standard ini adalah suatu perjanjian paksa
(dwang kontract), karena kebebasan pihak – pihak yang dijamin
oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata sudah dilanggar.pihak yang
12
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal. 71.
13
lemah (debitur) terpaksa menerima hal ini sebab mereka tak
mampu berbuat lain.
Berlakunya perjanjian standard ini adalah karena adanya
kebebasan kehendak yang sungguh – sungguh ada pada para pihak,
khususnya debitur.
Subekti mengemukakan bahwa “Asas Konsensualisme
terdapat di dalam pasal 1320 jo. 1338 KUHPerdata. Pelanggaran
terdapat ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian itu tidak sah
dan juga tidak mengikat sebagai undang – undang”.14
7. Tinjauan Umum Jaminan
1. Pengertian Jaminan
Istilah “jaminan” merupakan terjemahan dari istilah
zekerheid atau cautic, yaitu kemapuan debitur untuk memenuhi
atau melunasi utangnya kepada kreditur, yang dilakukan dengan
cara menahan benda tertentu yang bernilai ekonomis sebagai
tanggungan atas pinjaman atau utang yang diterima debitur
terhadap krediturnya.15
Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah
agunan dapat dibaca di dalam Pasal 1 angka 23 Undang – Undang
Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang – undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
menyebutkan bahwa Agunan adalah “jaminan tambahan diserahkan
14
nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas
kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah”.
Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan
(accessoir). Tujuan Agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas
dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitur kepada bank.
Unsur – unsur agunan yaitu :
a. Jamina tambahan
b. Diserahhkan oleh debitur kepada bank
c. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan
Menurut M. Bahsan bahwa jaminan adalah “ Segala sesuatu
yang diterima debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam
masyarakat”.16
2. Pengertian Hukum Jaminan
Menurut J. Satrio, Hukum Jaminan diartikan peraturan
hukum yang mengatur tentang jaminan – jaminan piutang seorang
kreditur terhadap seorang debitur. Ringkasnya huku jamina adalah
hukum yang mengatur tentang jaminan piutang seorang .
Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan hukum
jaminan adalah keseluruhan kaidah – kaidah hukum yang mengatur
hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya
dengan pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.
16
Jadi inti dari dua pendapat perumusan pengertian hukum
jaminan di atas adalah ketentuan hukum yang mengatur hubungan
hukum antara pemberi jaminan (debitur) dan penerima jaminan
(kreditur) sebagai akibat pembebanan suatu utang tertentu (kredit)
dengan suatu jaminan (benda atau orang tertentu).17
Sedangkan menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, hukum
jaminan adalah mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan
pemberian fasilitas kredit, dengan menjaminkan benda – benda
yang dibelinya sebagai jaminan. Peraturan demikian harus cukup
meyakinkan dan memberika kepastian hukum bagi lembaga –
lembaga kredit, baik dari dalam negeri maupu di luar negeri.
Adanya lembaga jaminan dan lembaga demikian, kiranya harus
dibarengi dengan adanya lembaga kredit dengan jumlah, besar,
dengan jangka waktu yang lama dan bungan yang relatif rendah.18 3. Jaminan Kredit
Jaminan atau agunan dalam sebuah perjanjian kredit
merupakan sesuatu yang mutlak dalam pemebrian kredit, hal ini
sejalan dengan ketentuan perundang – undangan berlaku, tiada
kredit tanpa sebuah jaminan. Diperlukan jaminan guna menjamin
kepastian, ketertiban, dan kelancaran pelunasan utang debitur
kepada kreditur dalam proses pemberian kredit, di samping
memperhatikan jaminan yang bernilai fisik material, juga
diharuskan melihat jaminan yang bernilai immaterial, hal itu untuk
17
m mencegah kesan bahwa bank hanya mementingkan jaminan fisik
saja. Oleh karena itu, dalam praktek perbankan diperlukan untuk
memperhatikan prinsip – prinsip perkreditan yang diantaranya ada
5 prinsip yaitu yang terdiri dari kepribadian, kemampuan, modal,
agunan dan kondisi ekonomi (Character, Capacity, Capital,
Collateral, Conditions). Pentingnya jaminan dalam setiap
pengambilan keputusan kredit sebagai the last resources dari
kepastian pembayaran kembali pinjaman/utang/kredit oleh debitur
terhadap bank jika debitur berada dalam keadaan macet.
Berdasarkan Undang – undang Perbankan pada penjalasan
disebutkan bahwa untuk memperoleh keyakinan bank sebelum
memberi kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha
dari nasabah debitur. Jaminan kredit dalam praktek dikenal juga
dengan istilah agunan, merupakan syarat mutlak yang harus
dipenuhi dan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, bank dapat
saja memiliki keyakinan terhadap watak, kegiatan bisnis dan
kondisi perekonomian, maka sebagai salah satu unsur kepastian
pengembalian atau pembayaran utang debitur, maka agunan
diperlukan berbentuk benda, proyek, atau hak tagih yang dibiayai
dengan kredit yang bersangkutan, benda dapat saja berupa benda
bergerak atau tidak bergerak seperti tanah adan atau bangunan,
benda berwujud atau tidak berwujud.
a. Jaminan Kredit Sebagai Pengamanan Pelunasan Kredit
Bank sebagai badan usaha yang memberikan kredit kepada
debitur wajib melakukan upaya pengamanan agar kredit
tersebut dapat dilunasi debitur yang bersngkutan. Kredit yang
tidak dilunasi oleh debitur baik seluruhnya maupun sebagian
akan merupakan kerugian bagi bank. Kerugian yang
menunjukkan jumlah relative besar akan mempengaruhi tingkat
kesehatan bank dan kelanjutan usaha bank.
Keterkaitan jaminan kredit dengan pengaman kredit terdapat
dalam pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi : “Segala
kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak
bergerak, naik yang sudah ada maupun yang baru akan ada
dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatannya perseorangan”
Jadi dapat disimpulakan bahwa dari ketentuan Pasal 1132
KUHPerdata merupakan upaya lain atau alternatif yang dapat
digunakan bank untuk memperoleh pelunasan kredit pada
waktu debitur ingkar janji kepada bank.
b. Jaminan Kredit Sebagai Pendorong Motivasi Debitur
Pengikatan jamina kredit yang berupa harta milik debitur yang
dilakukan oleh pihak bank, tentunya debitur yang bersangkutan
takut akan kehilangan hartanya tersebut. Hal ini akan
bank agar hartanya yang dijadikan jaminan kredit tersebut tidak
hilang karena harus dicairkan oleh bank.
c. Fungsi yang Terkait dengan Pelaksanaan Ketentuan Perbankan
Keterkaitan jaminan kredit dengan ketentuan perbankan yang
dikeluarkan oleh Bank Indonesia, misalnya dapat diperhatikan
dari ketentuan – ketentuan persyaratan agunan untuk
restrukturisasi kredit yang dilakukan dengan cara pemberian
tambahan fasilitas kredit, terhadap jaminan kredit dalam
rangfkat manajemen resiko kredit, dan sebagainya.19
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri
dari :
1. Sifat/Materi Penelitian
Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan
skripsi ini adalah bersifat deskriptif analisis mengarah pada
penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau
ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang
lain.20
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini yaitu menggunakan data
sekunder adalah data dari penelitian kepustakaan di mana dalam data
19
M. Bahsan. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.102.
20
sekunder terdiri dari 2 (dua) bahan hukum, yaitu bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier, sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang sifatnya
mengikat berupa peraturan perundang – undangan yang berlaku
dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas terdiri dari
:
1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria
2) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda – Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah
3) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti : hasil – hasil penelitian, hasil
wawancara, serta pengembalian bahan hukum khususnya
mengenai perjanjian kredit dengan objek jaminan berupa hak atas
tanah belum terdaftar.
c. Bahan Hukum Tersier
1. Bahan – bahan yang memberi petunjuk – petunjuk maupun
penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder
2. Bahan – bahan primer, sekunder, tersier (penunjang) di luar
bidang hukum seperti kamus, inseklopedia, majalah, koran,
makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan
permasalahan.
3. Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang
dilakukan untuk mengumpulkan data. Metode pengumpulan data yang
digunakan dalam menempuh penelitian ini dibedakan 2 (dua) cara,
yaitu :
a. Studi Kepustakaan
Pengumpulan data yang diperoleh dengan membaca dan
mempelajari peraturan perundang – undangan dan literatur
kemudian diklasifikasikan berdasarkan prioritas sehubungan
dengan permasalahan yang dibahas.
b. Wawancara (interview)
Proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara
lisan dengan mana dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung informasi – informasi atau
keterangan – keterangan.21
Pengumpulan data yang diperoleh melalui wawancara dengan
cara menanyakan langsung kepada narasumber yaitu pimpinan,
21
Pinsie Pemasaran, Pinsie Adm & Peny. Kredit, dan Pinsie
Operasional dari PT Bank Sumut Kantor Cabang Gunung Tua
yang berlokasi di Kabupaten Padang Lawas Utara, maupun
dengan pengambilan bahan hukum khususnya mengenai
perjanjian kredit dengan onjek jaminan berupa hak atas tanah
belum terdaftar dengan didasarkan pada peraturan perundang –
undangan yang berlaku teori – teori yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas. Dan waktu penelitian ini adalah selama 7
(tujuh) hari, dimulai dari 02 Pebruari 2015 sampai dengan 10
Pebruari 2015.
4. Analisis Data
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran
kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil
penelitian ini menggunakan analisa data kualitatif. Analisis data
kualitatif ini pada dasarnya merupakan proses atau kegiatan yang
dilakukan peneliti untuk mengungkap atau menjaring berbagai
fenomena, informasi atau kondisi lokasi penelitian sesuai dengan
lingkup penelitian, sehingga hasil dari kegiatan penelitian tersebut
dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan
pembahasan skripsi ini.
G. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Kepastian Hukum Bagi
PT Bank Sumut Cabang Gunung Tua” ini merupakan luapan dari hasil
pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan
penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta
dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, di mana
dalam Bab terdiri dari unit – unit bab demi bab. Adapun sistematiak
penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian :
Bab I Pendahuluan
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti
penelitian pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah,
Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan,
Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, serta Sistematika
Penulisan.
Bab II Tinjauan Tentang Hukum Jaminan Dalam Hukum Agraria
Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang bebrapa
hal yang berkaitandengan judul sub bab yaitu : Hukum
Jaminan Pada Umumnya, Hak Tanggungan Sebagai Hukum
Jaminan Tanah, Subjek dan Objek Hak Tanggungan
Sebagai Hukum Jaminan Tanah, Proses Terjadinya Hak
Tanggungan, Berakhirnya Hak Tanggungan, Roya Hak
Tanggungan, Kedudukan Agunan Tanah Belum Terdaftar
Sebagai Objek Jaminan.
Bab III Pelaksanaan Pengikatan Jaminan Atas Tanah Yang Belum
Terdaftar Sebagai Jaminan Pemberian Kredit
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang hal –
hal yang secara umum dibahas mengenai Syarat – syarat
Pemberian Kredit Dalam Perbankan di Indonesia,
Pelaksanaan Pengikatan Atas Tanah Belum Terdaftar
Sebagai Jaminan Pemberian Kredit pada PT.Bank Sumut
Cabang Gunung Tua, Pertimbangan PT.Bank Sumut
Cabang Gunung Tua dalam Menerima Agunan Atas Tanah
yang Belum Terdaftar.
Bab IV Kepastian Hukum Bagi Bank Sebagai Kerditur Atas Tanah
Belum Terdaftar Sebagai Agunan.
Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap
:Kepastian Hukum Bagi PT. Bank Sumut Cabang Gunung
Tua Bila Terjadi Intervensi Terhadap Jaminan Tanah Yang
Belum Terdaftar, Upaya Hukum Yang Dilakukan Apabila
Debitur Macet Pada PT. Bank Sumut Cabang Gunung Tua,
Eksekusi Terhadap Tanah Yang Belum Terdaftar Pada PT.
Bank Sumut Cabang Gunung Tua
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adala bab penutup, yang merupakan bab terakhir di