• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Strategi Pengelolaan Bagan Pancang Nelayan Secara Berkelanjutan Di Kelurahan Sibolga Ilir Kecamatan Sibolga Utara Kota Sibolga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA - Strategi Pengelolaan Bagan Pancang Nelayan Secara Berkelanjutan Di Kelurahan Sibolga Ilir Kecamatan Sibolga Utara Kota Sibolga"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan merupakan upaya untuk mencapai tujuan bersama dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dan dikuasai oleh berbagai pihak untuk kepentingan seluruh masyarakat (Alikodra, 2006). Konsep pembangunan berkelanjutan diinterpretasikan oleh para ahli secara berbeda-beda. Namun demikian konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya didasarkan pada kenyataan adanya keterbatasan kemampuan sumberdaya alam dan adanya kenyataan bahwa kebutuhan manusia terus meningkat.

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah suatu model pembangunan untuk memenuhi kebutuhan manusia saat ini tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya (Basri, 2007:123). Pembangunan berkelanjutan ini mengandung tiga unsur utama yakni :

a. Pembangunan secara ekonomis dianggap berkelanjutan (an economically sustainable areal ecosystem), jika kawasan tersebut mampu menghasilkan barang dan jasa secara berkesinambungan, memelihara pemerintahan dari hutang luar negeri pada tingkatan yang terkendali dan menghindarkan ketidakseimbangan yang ekstrim antar sektor yang dapat mengakibatkan kehancuran produksi sektor primer, sekunder atau tersier.

(2)

secara stabil, tidak terjadi eksploitasi berlebih terhadap sumber daya yang dapat diperbaharui, tidak terjadi pembuangan limbah melampaui kapasitas asimilasi lingkungan yang dapat mengakibatkan kondisi tercemar, serta pemanfaatan sumber daya tidak dapat diperbaharui yang dibarengi dengan upaya pengembangan bahan subsitusinya secara memadai. Dalam konteks ini termasuk pula pemeliharaan keanekaragaman hayati, stabilitas siklus hidrologi, siklus biogeokimia, dan kondisi iklim.

c. Pembangunan dianggap secara sosial berkelanjutan (an socially sustainable areal ecosystem), apabila memenuhi kondisi-kondisi tertentu, yaitu kebutuhan dasar antara lain: pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan pendidikan seluruh penduduknya terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil, kemudian adanya kesetaraan gender, serta terdapat akuntabilitas dan partisipasi politik.

Dalam kaitannya dengan pembangunan sumber daya laut, pemerintah dan bangsa Indonesia telah membuat suatu kebijakan yang strategis dan antisipatif, yaitu dengan menjadikan matra laut sebagai sektor tersendiri dalam GBHN tahun 1993. Kebijakan ini perlu ditindaklanjuti dengan penetapan kebijakan dan strategi pembangunan yang mantap dan berkesinambungan.

2.1.1 Indikator Pembangunan Berkelanjutan

(3)

masyarakat serta antar negara maju dengan negara berkembang dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang optimal.

Selanjutnya dalam sistem pengelolaan lingkungan termasuk pengelolaan lingkungan pesisir juga harus memerlukan indikator kinerja. Indikator kinerja pembangunan berkelanjutan telah dilakukan di berbagai negara di dunia ini. Indonesia belum menjadikan kinerja pembangunan berkelanjutan. Tetapi Propinsi Sumatera Utara telah mulai menginisiasi indikator kinerja pembangunan berkelanjutan (Bapedalda SU). PBB divisi pembangunan berkelanjutan (UN, 2001) telah menyusun indikator pembangunan berkelanjutan. Adapun indikatornya adalah seperti pada Tabel 2.1 berikut ini:

Tabel 2.1 Indikator Pembangunan Berkelanjutan

No Kategori Indikator Parameter

I. Indikator Sosial

1. Kemiskinan a. Jumlah presentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan.

b. Indeks Gini Ketidakadilan Pendapatan. c. Tingkat pengangguran.

2. Kesehatan a. Status gizi anak-anak.

b. Tingkat kematian anak-anak di bawah 5 tahun.

c. Tingkat harapan hidup.

d. Persentase penduduk yang memiliki saluran pembangunan limbah (MCK). e. Immunisasi.

f. Tingkat pemakaian alat kontrasepsi. 3. Tingkat pendidikan a. Tamat SD

(4)

4. Kondisi rumah tempat tinggal

Luas rumah/ jiwa.

5. Kriminalitas Jumlah kriminalitas per 100.000 penduduk. 6. Kependudukan a. Tingkat pertumbuhan penduduk.

b. Pemukiman penduduk formal dan informal di perkotaan.

II. Indikator Lingkungan

1. Perubahan iklim Emisi gas rumah kaca

2. Berlubangnya lapisan ozon Tingkat konsumsi zat yang merusak lapisan ozon

3. Kualitas air Konsentrasi pencemaran air ambien di perkotaan.

4. Pertanian a. Peruntukan lahan pertanian b. Penggunaan pupuk

c. Penggunaan pestisida untuk pertanian. 5. Kehutanan a. Persentase lahan untuk hutan

b. Intensitas pengambilan kayu 6. Penggurunan Lahan yang menjadi gurun.

7. Perkotaan Pemukiman penduduk formal dan informal di perkotaan.

8. Pesisir a. Konsentrasi algae di laut.

b. Persentase dari total penduduk menetap di pesisir.

9. Kuantitas air bersih Persentase air yang diambil dari ABT dan APU dari air yang tersedia setiap tahun. 10. Kualitas air bersih a. BOD di badan air

b. Konsentrasi bakteri coli pada air bersih 11. Spesies Kelimpahan spesies terpilih.

III. Indikator Ekonomi

1. Kinerja ekonomi GDP perkapita

(5)

3. Status keuangan GNP

4. Konsumsi material Intensitas penggunaan material

5. Penggunaan energy a. Konsumsi penggunaan energi per kapita/tahun.

b. Intensitas penggunaan energi

c. Pembagian konsumsi sumberdaya energi yang dapat diperbaharui.

6. Manajemen sampah a. Sampah industri dan sampah padat b. Limbah B3

c. Sampah radioaktif

d. Penggunaan kembali dan recycle sampah

IV. Indikator Kelembagaan

1. Implementasi strategi pembangunan

berkelanjutan

Pembangunan Berkelanjutan Nasional

2. Kerjasama internasional Implementasi dari ratifikasi perjanjian global 3. Akses informasi Jumlah internet yang terdaftar per 1000

penduduk.

4. Komunikasi Jumlah nomor telepon per 1000 penduduk

5. Infrastruktur -

6. Sains dan Teknologi Persentase biaya litbang dibandingkan dengan GDP.

7. Persiapan dan tanggung jawab terhadap bencana

Kerugian manusia akibat bencana.

(6)

2.1.2 Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir

Sementara itu Dahuri (2003) telah menulis indikator pembangunan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya keanekaragaman hayati laut, yang minimal harus meliputi empat dimensi yaitu: (1) Ekonomi, (2) Sosial, (3) Ekologi, dan (4) Pengaturan (governance). Adapun indikator pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir dan laut yang diungkap oleh Dahuri (2003) dapat dilihat pada Tabel 2.2 berikut ini:

Tabel 2.2 Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir

Dimensi Indikator

Ekonomi a. Volume dan nilai produksi

b. Volume dan nilai ekspor (dibandingkan dengan nilai total ekspor nasional).

c. Kontribusi sektor perikanan terhadap PDB d. Pendapatan nelayan

e. Nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik pengolahan.

Sosial a. Penyerapan tenaga kerja

b. Budaya kerja c. Tingkat pendidikan d. Tingkat kesehatan

e. Distribusi gender dalam proses pengambilan keputusan.

f. Kependudukan.

Ekologi a. Komposisi hasil tangkap

b.Hasil tangkap per satuan upaya c. Kelimpahan relatif spesies target

d.Dampak tidak langsung alat tangkap terhadap struktur tropik

(7)

habitat

f. Perubahan luas area dan kualitas habitat penting perikanan

g.Hak kepemilikan

Governance a. Ketaatan terhadap peraturan perundangan b.Transparansi dan partisipasi

Sumber: Dahuri, 2003

2.2 Wilayah Pesisir dan Laut

Pesisir adalah jalur yang sempit dimana terjadi interaksi darat dan laut. Artinya kawasan pesisir meliputi kawasan darat yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut (gelombang, pasang surut) dan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami dan aktivitas manusia. Potensi pembangunan yang terdapat di wilayah pesisir secara garis besar terdiri dari tiga kelompok (Dahuri, 2001) yaitu:

1. Sumber daya dapat pulih

(8)

2. Sumber daya tak dapat pulih

Sumber daya tak dapat pulih terdiri dari seluruh mineral dan geologi, antara lain: minyak, gas, granit, emas, timah, bouksit, tanah liat, pasir dan kaolin.

3. Jasa-jasa lingkungan

Jasa-jasa lingkungan yang dimaksud meliputi fungsi kawasan pesisir dan lautan sebagai tempat rekreasi dan pariwisata, media komunikasi dan transportasi, sumber energi, sarana pendidikan dan penelitian, pertahanan dan keamanan, penampung limbah, pengatur iklim, kawasan lindung, dan sistem penunjang kehidupan serta fungsi fisiologis lainnya.

Wilayah pesisir dan laut dari konsep wilayah bisa termasuk dalam empat jenis wilayah yaitu:

a. Sebagai wilayah homogen, wilayah pesisir merupakan wilayah yang memproduksi ikan, namun bisa juga dikatakan sebagai wilayah dengan tingkat pendapatan penduduknya yang tergolong di bawah garis kemiskinan.

b. Sebagai wilayah nodal, wilayah pesisir seringkali sebagai wilayah belakang, sedangkan daerah perkotaan sebagai intinya. Bahkan seringkali wilayah pesisir dianggap sebagai halaman belakang yang merupakan tempat membuang segala macam limbah. Sebagai wilayah belakang, wilayah pesisir merupakan penyedia input (pasar input) bagi inti, dan merupakan pasar bagi barang-barang jadi (output) dari inti.

(9)

dapat berupa kabupaten/ kota pada kabupaten/kota yang berupa pulau kecil.

d. Sebagai wilayah perencanaan, batas wilayah pesisir lebih ditentukan dengan kriteria ekologis. Karena menggunakan batasan kriteria ekologis tersebut, maka batas wilayah pesisir sering melewati batas-batas satuan wilayah administrasi.

Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan wilayah pesisir dan laut adalah wilayah yang dipengaruhi secara langsung oleh pengaruh pasang surut air laut, sehingga batasan darat adalah wilayah desa/ kecamatan yang berbatasan dengan pantai, sedangkan batasan laut adalah batas-batas wilayah kecamatan/ kabupaten/ propinsi atau negara (Budiharsono, 2001: 21).

Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (selanjutnya disebut PWP-PK) Pasal 1 Ayat (2), disebutkan bahwa:

“Wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut”.

Selanjutnya, pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP PK disebutkan bahwa:

”Ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut di ukur dari garis pantai.”

(10)

sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sementara itu, menurut UNCLOS 1982, pengertian batasan wilayah pesisir tidak diatur, tetapi UNCLOS 1982, membagi laut ke dalam zona-zona yaitu:

a. Wilayah laut yang berada di bawah yurisdiksi suatu negara adalah: 1. Perairan Pedalaman (Internal Waters)

2. Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters) 3. Laut Wilayah (Territorial Sea)

4. Zona Tambahan (Contiguous Zone)

5. Zona Ekonomi Eksklusif (Exclusive Economic Zone) 6. Landas Kontinen (Continental Shelf)

b. Wilayah laut yang berada di luar yurisdiksi suatu negara adalah: 1. Laut Lepas (High Seas)

2. Dasar Laut Dalam atau Kawasan (Area/ Deep Sea Bed) (Lowe, 1999: 30). Penentuan batas wilayah pesisir dan laut tidak dapat disamakan antara ketentuan dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK dengan UNCLOS 1982. UU Nomor 27 Tahun 2007 berlaku pada batas wilayah administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil diukur dari garis pantai, sedangkan UNCLOS 1982 tidak menentukan batas wilayah pesisir maupun cara pengukurannya. Karakteristik, pengertian dan batasan wilayah pesisir di setiap negara berbeda-beda, tergantung kondisi geografisnya. Pada umumnya karakteristik umum wilayah pesisir dan laut adalah sebagai berikut :

(11)

2. Laut merupakan open access, memungkinkan siapapun untuk memanfaatkan ruang laut untuk berbagai kepentingan;

3. Laut bersifat fluida, dimana sumberdaya (biota laut) dan dinamika

hydrooceanography tidak dapat disekat atau dikapling;

4. Pesisir merupakan kawasan yang strategis karena memiliki topografi yang relatif mudah dikembangkan dan memiliki akses yang sangat baik (dengan memanfaatkan laut sebagai “prasarana” pergerakan);

5. Pesisir merupakan kawasan yang kaya akan sumberdaya alam, baik yang terdapat di ruang daratan maupun ruang lautan, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan manusia (Dahuri, 2003: 15).

Wilayah pesisir dalam geografi dunia merupakan tempat yang sangat unik, karena di tempat ini air tawar dan air asin bercampur dan menjadikan wilayah ini sangat produktif serta kaya akan ekosistem yang memiliki keanekaragaman lingkungan laut. Pesisir tidak sama dengan pantai, karena pantai merupakan bagian dari pesisir.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, wilayah perairan Indonesia mencakup:

a. Laut Territorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia,

b. Perairan Kepulauan adalah semua perairan yang terletak pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai.

(12)

dalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat pada suatu garis penutup. Perairan pedalaman adalah perairan yang terletak di mulut sungai, teluk yang lebar mulutnya tidak lebih dari 24 mil laut, dan di pelabuhan.

Pada pasal 2 ayat 2 UU No. 6 tahun 1996 ditegaskan bahwa perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang menjadi bagian dari daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia. Pemahaman tersebut menegaskan bahwa laut dan daratan merupakan satu kesatuan wilayah yang tidak dapat dipisahkan.

Di luar wilayah kedaulatannya Indonesia mempunyai hak-hak eksklusif dalam memanfaatkan sumber daya kelautan yang terkandung dalam Zona Ekonomi Ekseklusif (ZEE) dan Landas Kontinen menurut United Nation Conventions on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982. Zona Ekonomi Ekseklusif adalah suatu bagian wilayah laut di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tunduk pada rezim hukum khusus yang ditetapkan dalam Bab V UNCLOS 1982. ZEE mencakup wilayah laut sampai dengan 200 mil diukur dari garis pangkal. Di dalam ZEE Indonesia memiliki hak-hak berikut:

1. Hak berdaulat untuk mengeksplorasi kekayaan alam atau eksploitasi sumber daya alam yang bernilai ekonomi.

2. Hak yurisdiksi (kewenangan) yang berhubungan dengan pendirian dan pemanfaatan pulau buatan, instalasi bangunan-bangunan, penelitian, dan perlindungan serta pemeliharaan lingkungan laut.

(13)

Berkaitan dengan hak-hak tersebut, Indonesia dituntut untuk menetapkan dan mengumumkan allowable catch di ZEE Indonesia. Hal ini berkaitan dengan ketentuan UNCLOS 1982 bahwa negara lain, terutama yang tidak memiliki pantai, berhak untuk memanfaatkan ”surplus” yang tidak dimanfaatkan oleh negara pantai yang memiliki ZEE. Landas Kontinen adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar wilayah darat negara yang bersangkutan, sampai pada pinggir terluar dari tepian kontinen (continental margin). Beberapa ketentuan tambahan tentang landas kontinen adalah sebagai berikut:

1. Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak kurang dari 200 mil dari garis pangkal, batas landas kontinen ditetapkan 200 mil dari garis pangkal (sama dengan ZEE).

2. Bila pinggir terluar tepian kontinen berjarak lebih dari 200 mil dari garis pangkal, maka batas landas kontinen ditetapkan maksimal 350 mil dari garis pangkal atau 100 mil laut dari batas kedalaman 2.500 meter isodepth.

(14)

daya yang di dalamnya. Pengertian laut menurut UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang dapat diinterpretasikan dari ketentuan Pasal 9, bahwa:

“Laut merupakan unsur ruang wilayah yang penataannya harus terintegrasi dalam penataan ruang wilayah”.

Dalam hal ini penataan ruang wilayah propinsi mencakup wilayah laut sampai dengan batas 12 mil, sesuai dengan ketentuan batas kewenangan menurut pasal 3 UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sementara penataan ruang wilayah Kabupaten/ Kota mencakup wilayah laut sampai dengan batas 4 mil atau sepertiga wilayah laut propinsi, sesuai ketentuan batas kewenangan menurut pasal 10 ayat 3 UU No. 22/1999.

(15)

Definisi wilayah pesisir diatas memberikan suatu pemahaman bahwa ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.10/Men/2003 tentang Pedoman Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai dan sepertiga dari wilayah laut untuk Kabupaten/ Kota dan ke arah darat hingga batas administrasi Kabupaten/Kota.

Wilayah laut dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional. Disamping itu, fakta-fakta yang telah dikemukakan beberapa ahli dalam berbagai kesempatan, juga mengindikasikan hal yang serupa. Fakta-fakta tersebut antara lain adalah:

a. Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 110 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai. Dapat dikatakan bahwa wilayah ini merupakan cikal bakal perkembangan urbanisasi Indonesia pada masa yang akan datang. b. Secara administratif kurang lebih 42 Daerah Kota dan 181 Daerah

(16)

c. Secara fisik, terdapat pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi yang tersebar mulai dari Sabang hingga Jayapura, dimana didalamnya terkandung berbagai aset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan finansial yang sangat besar.

d. Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDB nasional sebesar 24% pada tahun 1989. Selain itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal, antara lain potensi perikanan yang saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan.

e. Wilayah pesisir di Indonesia memiliki peluang untuk menjadi produsen (exporter) sekaligus sebagai simpul transportasi laut di wilayah Asia Pasifik. Sebagaimana diketahui, pasar Asia Pasifik diperkirakan akan mencapai 70-80% pasar ekspor dunia. Pada tahun 1999 kontribusi peti kemas Indonesia baru mencapai 11,6% dari total pasar Asia Pasifik (24 juta TEUs). Hal ini menggambarkan peluang untuk meningkatkan pemasaran produk-produk sektor industri Indonesia yang tumbuh cepat (4% – 9% per tahun).

(17)

keberadaan 21 spot potensial; dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan ecotourism.

g. Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut tropis dunia karena hampir 30% hutan bakau dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia.

h. Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan antar-negara maupun antar-daerah yang sensitif dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Salah satu kunci dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir yang demikian besar dan memiliki karakteristik yang khas tersebut adalah dengan menempatkan kepentingan ekonomi secara proporsional dengan kepentingan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Tentunya kita semua sudah maklum bahwa berbagai kasus bencana banjir yang melanda hampir seluruh pesisir utara Jawa, Madura dan beberapa tempat di Sumatera dan bencana kekeringan yang tengah kita alami dewasa ini merupakan buah dari pembangunan selama ini yang terlalu mengedepankan kepentingan ekonomi dan kepentingan jangka pendek semata. Pengalaman buruk ini, tentunya menjadi pelajaran yang berharga bagi kita semua agar lebih hati-hati dalam mengelola dan memanfaatkan wilayah pesisir yang memiliki karakteristik khas tersebut.

2.2.1 Batasan Wilayah Pesisir dan Laut

(18)

1. Zona Pesisir

Berdasarkan kedalamannya zona pesisir dapat dibedakan menjadi 4 wilayah (zona) yaitu:

a. Zona Lithoral, adalah wilayah pantai atau pesisir atau shore. Di wilayah

ini pada saat air pasang tergenang air dan pada saat air laut surut berubah menjadi daratan. Oleh karena itu wilayah ini sering disebut juga wilayah pasang surut.

b. Zona Neritic (wilayah laut dangkal), yaitu dari batas wilayah pasang surut hingga kedalaman 150 m. Pada zona ini masih dapat ditembus oleh sinar matahari sehingga wilayah ini paling banyak terdapat berbagai jenis kehidupan baik hewan maupun tumbuhan-tumbuhan, contoh: Jaut Jawa, Laut Natuna, Selat Malaka dan laut-laut disekitar Kepulauan Riau.

c. Zona Bathyal (wilayah laut dalam), adalah wilayah laut yang memiliki kedalaman antara 150 hingga 1800 meter. Wilayah ini tidak dapat ditembus sinar matahari, oleh karena itu kehidupan organismenya tidak sebanyak yang terdapat di zona neritic.

(19)

Untuk lebih memahami penjelasan di atas perhatikan gambar berikut ini.

Gambar 2.1 Klasifikasi wilayah laut menurut kedalamannya

2. Zona Laut

Sebagai negara kepulauan yang wilayah perairan lautnya lebih luas dari pada wilayah daratannya, maka peranan wilayah laut menjadi sangat penting bagi kehidupan bangsa dan negara.

a. Batas wilayah laut Indonesia

(20)

Gambar 2.2 Pembagian wilayah menurut Konvensi Hukum Laut PBB, Montego, Caracas tahun 1982

b. Wilayah perairan laut Indonesia dapat dibedakan tiga macam, yaitu zona laut Teritorial, zona Landas kontinen, dan zona Ekonomi Eksklusif.

1) Zona Laut Teritorial

Batas laut Teritorial ialah garis khayal yang berjarak 12 mil laut dari garis dasar ke arah laut lepas. Jika ada dua negara atau lebih menguasai suatu lautan, sedangkan lebar lautan itu kurang dari 24 mil laut, maka garis teritorial di tarik sama jauh dari garis masing-masing negara tersebut. Laut yang terletak antara garis dengan garis batas teritorial di sebut laut teritorial. Laut yang terletak di sebelah dalam garis dasar disebut laut internal.

(21)

sepenuhnya sampai batas laut teritorial, tetapi mempunyai kewajiban menyediakan alur pelayaran lintas damai baik di atas maupun di bawah permukaan laut. Pengumuman pemerintah tentang wilayah laut teritorial Indonesia dikeluarkan tanggal 13 Desember 1957 yang terkenal dengan Deklarasi Djuanda dan kemudian diperkuat dengan Undang-Undang No.4 Prp. 1960.

2) Zona Landas Kontinen

Landas kontinen ialah dasar laut yang secara geologis maupun morfologi merupakan lanjutan dari sebuah kontinen (benua). Kedalaman lautnya kurang dari 150 meter. Indonesia terletak pada dua buah landasan kontinen, yaitu landasan kontinen Asia dan landasan kontinen Australia.

Adapun batas landas kontinen tersebut diukur dari garis dasar, yaitu paling jauh 200 mil laut. Jika ada dua negara atau lebih menguasai lautan di atas landasan kontinen, maka batas negara tersebut ditarik sama jauh dari garis dasar masing-masing negara. Sebagai contoh di dengan batas laut teritorial, karena jarak antara kedua negara di tempat itu kurang dari 24 mil laut. Di selat Malaka sebelah utara, batas landas kontinen antara Thailand, Malaysia, dan Indonesia bertemu di dekat titik yang berkoordinasi 98 °BT dan 6 °LU.

(22)

dalamnya, dengan kewajiban untuk menyediakan alur pelayaran lintas damai. Pengumuman tentang batas landas kontinen ini dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Febuari 1969.

3) Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)

Zona Ekonomi Eksklusif adalah jalur laut selebar 200 mil laut ke arah laut terbuka diukur dari garis dasar. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini, Indonesia mendapat kesempatan pertama dalam memanfaatkan sumber daya laut. Di dalam zona ekonomi eksklusif ini kebebasan pelayaran dan pemasangan kabel serta pipa di bawah permukaan laut tetap diakui sesuai dengan prinsip-prinsip Hukum Laut Internasional, batas landas kontinen, dan batas zona ekonomi eksklusif antara dua negara bertetangga yang saling tumpang tindih, maka ditetapkan garis-garis yang menghubungkan titik yang sama jauhnya dari garis dasar kedua negara itu sebagai batasnya. Pengumuman tetang zona ekonomi eksklusif Indonesia dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia tanggal 21 Maret 1980.

(23)

Wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut, ke arah darat meliputi bagian daratan yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan intrusi garam, sedangkan ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang ada di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar serta daerah yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas (boundaries), yaitu:

1. Batas yang sejajar garis pantai (longshore)

2. Batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore) (Dahuri, 1998) Untuk keperluan pengelolaan, penetapan batas-batas wilayah pesisir yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah, akan tetapi penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak lurus terhadap garis pantai sejauh ini belum ada kesepakatan. Dengan perkataan lain, batas wilayah pesisir berbeda dari satu negara dengan negara yang lain. Hal ini dapat dimengerti, karena setiap negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan sendiri.

Hal di atas menunjukkan bahwa tidak ada garis batas yang nyata, sehingga batas wilayah pesisir hanyalah garis khayal yang letaknya ditentukan oleh situasi dan kondisi setempat. Misalnya di delta Sungai Mahakam (Kalimantan Timur) dan Sungai Musi (Sumatera Selatan), garis batas pesisir dapat berada jauh dari garis pantai. Sebaliknya di tempat yang berpantai curam dan langsung berbatasan dengan laut dalam, wilayah pesisirnya akan sempit.

2.2.2 Komponen Fisik Ekosistem Pesisir dan Laut

(24)

tersebut meliputi kimia air (termasuk susunan zat-zat kimia dan kecenderungannya di laut), aliran dan pergerakan arus, interaksi antara atmosfer dan samudra, serta proses-proses alam yang terjadi di laut. Komponen ini berperan sebagai media transport materi dan energi sekaligus mendukung komponen biotik yang ada. Komponen fisik lainnya antara lain:

a. Struktur air

b. Komposisi kimia air laut c. Gas-gas terlarut

d. Berat jenis (densitas) e. Suhu dan salinitas air laut f. Cahaya

g. Gelombang h. Arus Laut

2.2.3 Komponen Biotik Ekosistem Pesisir dan Laut

Biota yang hidup di wilayah pesisir dan laut pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu plankton, nekton, dan bentos.

a. Plankton

(25)

b. Nekton

Biota yang termasuk kategori ini adalah ikan yang dapat bergerak bebas tidak tergantung pada arus. Distribusi dari plakton dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, suplai oksigen dan sumber makanan. c. Bentos

Organisme yang hidup di dasar perairan atau pada substrat, baik tumbuhan maupun hewan. Komposisi sedimen dasar perairan akan mempengaruhi jenis dan tipe organisme yang ada.

2.2.4 Ekosistem Spesifik di Wilayah Pesisir dan Laut

Wilayah pesisir dan laut secara ekologi merupakan tempat hidup beberapa ekosistem yang unik dan saling berhubungan, dinamis dan produktif. Ekosistem utama yang umumnya terdapat di wilayah pesisir meliputi:

a. Ekosistem mangrove, yaitu ekosistem yang terdiri atas lingkungan biotik dan abiotik yang saling berinteraksi di dalam suatu habitat mangrove. b. Ekosistem lamun

Lamun adalah salah satu tumbuhan laut yang termasuk tumbuhan sejati, karena sudah dapat dibedakan antara batang, daun, dan akarnya. Secara umum gambaran lamun yaitu seperti padang rumput di daratan, lamun sangat berguna dalam hal pembersihan lautan karena lamun berfotosintesis. Ekosistem lamun adalah sistem (organisasi) ekologi padang lamun yang terdiri dari komponen biotik dan abiotik.

(26)

scleractinia, yang mana termasuk hermatytic coral atau jenis-jenis karang yang mampu membuat bangunan atau terumbu karang dari kalsium karbonat (Dahuri, 2003).

Ekosistem ini saling berinteraksi membentuk suatu konektivitas dengan menjalankan fungsinya masing-masing.

2.3 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu (Integrated Coastal Zone Management)

Konsep pengelolaan wilayah pesisir berbeda dengan konsep pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir yang mengelola semua orang dan segala sesuatu yang ada di wilayah pesisir. Contoh dari pengelolaan yang berbeda dengan pengelolaan wilayah pesisir adalah; pengelolaan perikanan, pengelolaan hutan pantai, pendidikan dan kesehatan dimana contoh-contoh tersebut tidak melihat wilayah pesisir sebagai target.

Yang paling utama dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah fokus pada karakteristik wilayah dari pesisir itu sendiri, dimana inti dari konsep pengelolaan wilayah pesisir adalah kombinasi dari pembangunan adaptif, terintegrasi, lingkungan, ekonomi dan sistem sosial. Selanjutnya konsep pengelolaan wilayah pesisir dalam filosofinya mengenal prinsip keseimbangan antara pembangunan dan konservasi. Pembangunan berkelanjutan yang didasarkan pada prinsip-prinsip lingkungan juga memasukkan konsep keseimbangan ketergantungan waktu dan keadilan sosial.

(27)

2002, Plan of Implementation of the World Summit on Sustainable Development 2002, dan Bali Plan of Action 2005, bahwa Integrated Coastal Zone Management

merupakan pedoman dalam pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dengan memperhatikan lingkungan. Implementasi

integrated coastal zone management dilakukan sebagai upaya untuk mengatasi konflik dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut, dan tumpang tindih kewenangan serta benturan kepentingan antar sektor.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management/ ICZM) merupakan sebuah wawasan baru dengan cakupan yang luas, sehingga dikatakan sebagai cabang ilmu baru bagi masyarakat dunia. Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comphrehensive assessment) tentang kawasan pesisir serta sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan dan mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimaldan berkelanjutan. Proses pengelolaannya dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan yang tersedia.

(28)

dan Laut. Disebutkan bahwa orientasi pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut menjadi prioritas pengembangan, khususnya yang mencakup aspek keterpaduan dan kewenangan kelembagaannya, sehingga diharapkan sumberdaya yang terdapat di kawasan ini dapat menjadi produk unggulan dalam pembangunan bangsa Indonesia di abad mendatang. Perbedaan pemahaman pengaturan tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Indonesia memunculkan banyak konflik diantara para pengguna wilayah tersebut dan daerah-daerah kabupaten/kota yang berbatasan. Kemajemukan peraturan perundangan-undangan sangat potensial menimbulkan terjadinya konflik norma. 1. Plan of Implementation of the World Summit on Sustainable Development,

2002 menyatakan bahwa:“Ocean, seas, islands and coastal areas form an integrated and essential component of the Earth’s ecosystem and are critical

for global food security and for sustaining economic prosperity and the

well-being of many national economies, particularly in developing countries.

Ensuring the sustainable development of the oceans requires effective

coordination and cooperation, including at the global and regional levels,

between relevant bodies, and actions at all levels to….. ”.

2 Bali Plan of Action, “Towards Healthy Oceans and Coast for the Sustainable Growth and Prosperity of the Asia-Pacific Community,” Joint Ministerial Statement, the 2nd APEC Ocean-Related Ministerial Meeting (AOMM2), Bali, 16-17 September 2005.

(29)

adalah melalui sinkronisasi pengaturan perundangan-undangan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut.

Selain itu, terdapat adanya Penyusunan Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Propinsi Sumatera Utara yang mengacu kepada kebijakan-kebijakan pembangunan daerah yang merupakan penjabaran dari kebijakan-kebijakan pembangunan nasional. Posisi Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Sumatera Utara dalam konteks perencanaan dapat dilihat, dimana Renstra ini merupakan acuan didalam pendayagunaan dan pengelolaan sumberdaya pesisir. Renstra Pesisir ini disusun dengan mengakomodir hasil dari partisipasi publik dan lokakarya selama 2 (dua) tahun 2002 – 2003 dengan melibatkan berbagai macam

stakeholders lainnya seperti: Lembaga atau Instansi terkait, LSM, tokoh masyarakat pesisir dan Perguruan Tinggi dimana kegiatan ini merupakan Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Propinsi Sumatera Utara.

Penyusunan Rencana Pesisir dilaksanakan melalui suatu proses koordinasi, integrasi dan sinkronisasi antara instansi terkait ditingkat Propinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan. Provincial Task Force (PTF) yang ditetapkan berdasarkan SK Gubernur turut berperan dalam proses penyusunan Renstra Pesisir ini.

(30)

melibatkan masyarakat pesisir. Pengembangan hirarki perencanaan pengelolaan wilayah pesisir terpadu, yang meliputi:

1. Rencana Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir; berperan dalam menentukan visi dan wawasan misi pengelolaan.

2. Rencana Zonasi, berperan dalam pengalokasian ruang, memilih kegiatan yang sinergis dalam ruang dan kegiatan yang tidak sinergi diruang lain serta pengendalian ruang laut sesuai tata cara yang ditetapkan.

3. Rencana Pengelolaan; berperan untuk menuntun pengelolaan atau pemanfaatan sumberdaya diwilayah prioritas sesuai dengan karakteristiknya.

4. Rencana Aksi; berperan menuntun penetapan dan pelaksanaan kegiatan sebagai upaya mewujudkan rencana pengelolaan, serta mencapai tujuaan dan sasaran dari pengelolaan kawasaan pesisir dan laut.

Rencana-rencana ini seharusnya disiapkan dengan partisipasi stakeholder

(31)

Gambar 2.4 Hirarkhi Penyusunan Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Bappedasu, 2002).

Tujuan khusus Rencana Pengelolaan adalah untuk:

1. Membangun kerjasama dan kemitraan diantara pemerintah, pengusaha dan masyarakat.

2. Menyediakan dasar yang disepakati bersama untuk peninjauan proposal (usulan) pembangunan yang sistematik.

3. Mengidentifikasi proses untuk mengawasi, mengevaluasi dan memperbaiki rencana ICZM.

4. Mengkoordinasikan dengan inisiatif perencanaan lain.

(32)

batas laut daerah propinsi. Melalui pelimpahan kewenangan tersebut, maka daerah dapat lebih leluasa dalam merencanakan dan mengelola sumberdaya wilayah pesisir, termasuk jasa lingkungan lainnya bagi kepentingan pembangunan daerah itu sendiri.

Proses pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir, berdasarkan kesepakatan internasional, mengikuti suatu siklus pembangunan atau kebijakan (Gambar 2.5). Siklus tersebut terdiri dari 5 (lima) langkah yaitu:

1. Identifikasi isu-isu pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir 2. Persiapan atau perencanaan program

3. Adopsi program dan pendanaan 4. Pelaksanaan program

5. Monitoring dan evaluasi

Gambar 2.5 Siklus Kebijakan Pengelolaan Pesisir Terpadu (Olsen et al, 1998).

(33)

tertentu (sesuai pengalaman negara-negara tetangga seperti Filipina, Thailand dan Sri Langka). Propinsi Sumatera Utara dengan komposisi masyarakat pesisir yang sangat majemuk dituntut untuk dapat mengawali Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu dengan menyelesaikan satu siklus kebijakan pengelolaan. Program akan menjadi lebih matang dan didukung oleh seluruh stakeholder, bila telah berhasil melewati satu siklus yang disebut juga dengan satu generasi program. Dokumen Renstra Pesisir ini merupakan langkah kedua dari siklus kebijakan, sekaligus sebagai dokumen dasar bagi penyusunan dokumen perencanaan selanjutnya yaitu rencana zonasi, rencana pengelolaan dan rencana aksi.

2.3.1 Keunggulan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT)

Pendekatan PWPLT memiliki keunggulan atau manfaat lebih dibanding dengan pendekatan pengelolaan secara sektoral, yaitu:

a. PWPLT memberikan kesempatan (opportunity) kepada masyarakat pesisir atau para pengguna sumberdaya pesisir dan lautan (stakeholder) untuk membangun sumberdaya pesisir dan lautan secara berkelanjutan, melalui pendekatan secara terpadu konflik pemanfaatan ruang (property right) yang sering terjadi di kawasan pesisir dapat di atasi.

(34)

c. PWPLT menyediakan kerangka (framework) yang dapat merespon segenap fluktuasi maupun ketidak-menentuan (uncertainties) yang merupakan ciri khas pesisir dan lautan.

d. PWPLT membantu pemerintah daerah maupun pusat dengan suatu proses yang dapat menumbuhkembangkan pembangunan ekonomi lokal berbasis sumberdaya lokal.

e. Meskipun PWPLT memerlukan pengumpulan data dan analisis data serta perencanaan yang lebih panjang daripada pendekatan sektoral, tetapi secara keseluruhan akhirnya PWPLT lebih murah ketimbang pendekatan sektoral.

2.3.2 Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT) memerlukan informasi tentang potensi pembangunan yang dapat dikembangkan di suatu wilayah pesisir dan lautan beserta permasalahan yang ada, baik aktual maupun potensial. PWPLT pada dasarnya ditujukan untuk mendapatkan pemanfaatan sumber daya dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat diwilayah secara berkelanjutan dan optimal bagi kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, rumusan PWPLT disusun berdasarkan pada potensi, peluang, permasalahan, kendala dan kondisi aktual yang ada, dengan mempertimbangkan pengaruh lingkungan strategis terhadap pembangunan nasional, otonomi daerah dan globalisasi. Untuk mengimplementasikan PWPLT pada tataran praktis (kebijakan dan program) maka terdapat lima strategi, yaitu:

(35)

3. Proses Perencanaan PWPLT 4. Elemen dan Struktur PWPLT

5. Penerapan PWPLT dalam Perencanaan Pembangunan Daerah

Dalam strategi pertama, suatu kawasan pembangunan yang berkelanjutan memiliki empat dimensi, yaitu: ekologis, sosial-ekonomi-budaya, sosial-politik, dan hukum serta kelembagaan. Dimensi ekologis menggambarkan daya dukung suatu wilayah pesisir dan lautan (supply capacity) dalam menopang setiap pembangunan dan kehidupan manusia, sedangkan untuk dimensi ekonomis-sosial dari pembangunan berkelanjutan mempresentasikan permintaan terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan dimana manfaat dari pembangunan wilayah pesisir seharusnya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal sekitar program terutama yang termasuk ekonomi lemah. Untuk Dimensi sosial-politik, pembangunan berkelanjutan hanya dapat dilaksanakan dalam sistem dan suasana politik demokratis dan transparan. Tanpa kondisi politik semacam ini, niscaya laju kerusakan lingkungan akan melangkah lebih cepat ketimbang upaya pencegahan dan penanggulangannya. Penegakan dimensi hukum dan kelembagaan, sistem peraturan dan perundang-undangan yang berwibawa dan kuat akan mengendalikan setiap orang untuk tidak merusak lingkungan pesisir dan lautan.

Strategi kedua, pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir harus mengacu pada prinsip-prinsip dasar PWPLT, ada 15 prinsip dasar yang sebagian besar mengacu Clark (1992) yaitu:

(36)

b. Air merupakan faktor kekuatan pemersatu utama dalam ekosistem pesisir. c. Tata ruang daratan dan lautan harus direncanakan dan dikelola secara

terpadu.

d. Daerah perbatasan laut dan darat hendaknya dijadikan faktor utama dalam setiap program pengelolaan wilayah pesisir.

e. Batas suatu wilayah pesisir harus ditetapkan berdasarkan pada isu dan permasalahan yang hendak dikelola serta bersifat adaptif.

f. Fokus utama dari pengelolaan wilayah pesisir adalah untuk mengkonservasi sumberdaya milik bersama.

g. Pencegahan kerusakan akibat bencana alam dan konservasi sumberdaya alam harus dikombinasikan dalam suatu program PWPLT.

h. Semua tingkatan di pemerintahan dalam suatu negara harus diikutsertakan dalam perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir.

i. Pendekatan pengelolaan yang disesuaikan dengan sifat dan dinamika alam adalah tepat dalam pembangunan wilayah pesisir.

j. Evaluasi pemanfaatan ekonomi dan sosial dari ekosistem pesisir serta partisipasi masyarakat lokal dalam program pengelolaan wilayah pesisir. k. Konservasi untuk pemanfaatan yang berkelanjutan adalah tujuan dari

pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir.

l. Pengelolaan multiguna (multiple uses) sangat tepat digunakan untuk semua sistem sumberdaya wilayah pesisir.

m. Pemanfaatan multiguna (multiple uses) merupakan kunci keberhasilan dalam pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan.

(37)

o. Analisis dampak lingkungan sangat penting bagi pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.

Strategi ketiga, proses perencanaan PWPLT pada dasarnya ada tiga langkah utama, yaitu: (1) Perencanaan, (2) Implementasi dan (3) Pemantauan dan Evaluasi.

Strategi keempat, agar mekanisme atau proses PWPLT dapat direalisasikan dengan baik perlu dilengkapi dengan komponen-komponen yang diramu dalam suatu piranti pengelolaan (management arrangement) sebagai raganya. Pada intinya, piranti pengelolaan terdiri dari piranti kelembagaan dan alat pengelolaan. Piranti kelembagaan menyediakan semacam kerangka (frame work) bagi pelaksanaan tugas-tugas pengelolaan dan penerapan segenap alat pengelolaan.

Meskipun rancangan dan praktek PWPLT bervariasi dari satu negara ke negara yang lain, namun dapat disimpulkan bahwa keberhasilan PWPLT memerlukan empat persyaratan utama, yaitu: (1) kepemimpinan pionir (initial leadership), (2) piranti kelembagaan, (3) kemampuan teknis (technical capacity), dan (4) alat pengelolaan. Penerapan keempat persyaratan ini bervariasi dari satu negara dengan negara lain, bergantung pada kondisi geografi, demografi, sosekbud dan politik.

(38)

dengan kegiatan sektoral lain yang sudah mapan secara sinergis. Dengan semangat pelaksanaan otonomi daerah yang diantaranya ditandai dengan lahir dan diberlakukannya UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah, yang di dalamnya mencakup pengaturan kewenangan daerah dalam mengelola sumber daya kelautan (pesisir dan lautan), diharapkan dapat membawa angin segar sekaligus menjadi mometum untuk melaksanakan pembangunan, pendayagunaan, dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan secara yang lebih baik, optimal, terpadu serta berkelanjutan.

2.4 Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut

(39)

Perencanaan pembangunan wilayah pesisir secara terpadu tersebut harus memperhatikan tiga prinsip pembangunan untuk pengelolaan wilayah pesisir yang dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Instrumen ekonomi lingkungan telah menjadi bagian dari pengambilan keputusan, yang memasukkan parameter lingkungan untuk melihat analisis biaya manfaat (cost benefit analysis).

b. Isu lingkungan seperti konservasi keanekaragaman hayati menjadi perhatian utama dalam pengambilan keputusan.

c. Pembangunan berkelanjutan sangat memperhatikan kualitas hidup manusia pada saat sekarang dan masa yang akan datang, termasuk di dalamnya adalah sarana pendidikan bagi masyarakat pesisir, penyedia fasilitas kesehatan dan sanitasi yang memadai, dan mitigasi berencana.

Strategi pengelolaan wilayah tersebut merupakan upaya-upaya pemecahan masalah wilayah pesisir yang harus dipecahkan melalui program-program pembangunan. Lebih lanjut lagi, berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan berkenaan dengan program-program pengelolaan wilayah pesisir yaitu:

1. Pemerintah harus memiliki inisiatif dalam menanggapi berbagai permasalahan degradasi sumber daya yang terjadi dan konflik yang melibatkan banyak kepentingan.

(40)

3. Dicirikan dengan integrasi dua atau lebih sektor, didasarkan pada pengakuan alam dan sistem pelayanan umum yang saling berhubungan dalam penggunaan pesisir dan lingkungan.

Implementasi pengaturan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dalam hukum nasional, dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu pertama ketentuan perundang-undangan nasional yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang bersifat konkrit dan mengikat (hard law), atau ketentuan yang dihasilkan dari perjanjian internasional (treaty, convention, atau agreement) baik yang bersifat bilateral, multilateral, global, regional maupun sub-regional bagi negara-negara yang menyatakan diri siap terikat (express to be bound) dan memberlakukannya di wilayahnya. Kedua, ketentuan-ketentuan yang berbentuk

soft law, yaitu ketentuan-ketentuan yang memuat prinsip-prinsip umum (general principles), bersifat pernyataan sikap atau komitmen moral dan tidak mengikat secara yuridis (Putra, 2003: 6). Daya ikatnya tergantung kepada kesediaan negara-negara untuk menerimanya sebagai hukum nasional, misalnya dalam bentuk deklarasi, piagam atau protokol. Beberapa komitmen (soft law) yang mendukung pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dengan mengacu pada

integrated coastal zone management adalah: a. Agenda 21 Indonesia

(41)

kondisi lingkungan wilayah pesisir dan laut membutuhkan penanganan khusus. Penanganan khusus pada wilayah pesisir dan laut mencakup aspek keterpaduan dan kewenangan kelembagaan, sehingga diharapkan sumberdaya yang terdapat di kawasan ini dapat menjadi produk unggulan dalam pembangunan bangsa Indonesia di masa mendatang.

b. Jakarta Mandate, 1995

Agenda 21 Chapter 17 telah menghasilkan suatu program yang dikenal dengan ”Jakarta Mandate on the Conservation and Sustainable Use of Marine and Coastal Biological Diversity” pada tahun 1995. Keanekaragaman sumberdaya alam di pesisir, baik di negara maju maupun berkembang mengalami over-exploitation, sehingga diperlukan suatu program kerja yang terintegrasi dalam pengelolaannya dengan prioritas aktivitas pada 5 elemen, yaitu:

1. implementation of integrated marine and coastal area management;

2. marine and coastal living resources;

3. marine and coastal protected areas;

4. mariculture; and

5. alien species and genotype.

Jakarta Mandate on the Conservation and Sustainable Use of

(42)

c. Deklarasi Bunaken, 1998

Deklarasi Bunaken dideklarasikan oleh Presiden RI BJ Habibie pada 26 September 1998 bertepatan dengan pencanangan tahun 1998 sebagai ”Tahun Bahari Indonesia”. Deklarasi ini merupakan salah satu tonggak pembangunan kelautan Indonesia dan merupakan upaya untuk memanfaatkan kembali laut, setelah pembangunan yang dilaksanakan pada era sebelumnya lebih berorientasi darat (land-based development). Diharapkan dari deklarasi ini semua jajaran pemerintah dan masyarakat memberikan perhatian untuk pengembangan, pemanfaatan, dan pemeliharaan potensi kelautan Indonesia.

2.4.1 Perangkat Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut

a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982

(43)

b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, membawa konsekuensi kepada NKRI untuk memperbaharui ketentuan tentang Perairan Indonesia seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/1960 tentang Perairan Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan disesuaikan dengan perkembangan rezim baru negara kepulauan sebagaimana di muat dalam Bab IV UNCLOS 1982.

Pengaturan khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut tidak dijelaskan secara terinci, tetapi hanya di atur tersirat dalam Bab IV tentang Pemanfaatan, Pengelolaan, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Perairan Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip sustainable development dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut. Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa:

“Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional”.

Sebagai upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam di perairan Indonesia, dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (3), bahwa:

“Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.”

c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025.

(44)

Nasional Tahun 2005- 2025, tertuang dalam Bab II – huruf I yang mengatur mengenai Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Dalam Bab II- huruf I dinyatakan bahwa sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Adapun jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan penopang kehidupan manusia.

Arah pembangunan untuk mengembangkan potensi sumber daya kelautan menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional adalah pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif agar dapat meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya. Mengingat kompleksnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700, hal.20, permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan perencanaan menjadi prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial, dan lingkungan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam integrated coastal zone management.

d. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

(45)

dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut selama ini lebih berorientasi kepada eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestarian sumberdayanya, dan belum mampu untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan lingkungan. Seperti disebutkan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, bahwa :

“Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.”

Sebagai negara hukum, pelaksanaan pengembangan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan harus sesuai dengan norma dan diberi dasar hukum yang jelas, tegas, serta menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan wilayah pesisir. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, dalam Pasal 3 tentang Asas dan Tujuan, menyatakan bahwa:

“Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berasaskan: (a) keberlanjutan; (b) konsistensi; (c) keterpaduan; (d) kepastian hukum; (e) kemitraan; (f) pemerataan; (g) peran serta masyarakat; (h) keterbukaan; (i) desentralisasi; (j) akuntabilitas; dan (k) keadilan.”

(46)

asas-asas tersebut memerlukan pengawasan dan evaluasi, baik oleh Pemerintah atau stakeholders.

Terdapat 14 prinsip dasar yang patut diperhatikan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang mengacu pada J.R. Clark (1992): 9, yaitu:

“(1)resources system; (2) the major integrating force; (3) integrated; (4) focal point; (5) the boundary of coastal zone; (6) conservation of common property resources; (7) degradation of conservation ; (8) inclusion all levels of government; (9) character and dynamic of nature; (10) economic benefits conservation as main purpose; (11) multiple-uses management; (12) multiple-uses utilization; (13) traditional management; (14) environment impact analysis.”

(47)

Pemanfaatan yang optimal terhadap wilayah pesisir berdasarkan Prinsip 12 dan 14 dalam integrated coastal management, diimplementasikan dengan diberikannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) oleh Pemerintah seperti diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang PWP PK. Dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (2) bahwa HP-3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. Menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, HP diberikan oleh Pemerintah kepada orang perorangan Warga Negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau masyarakat adat. Tetapi ada beberapa daerah yang tidak dapat diberikan HP-3 yaitu kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum seperti yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.

Selanjutnya, dalam Pasal 1 butir 18, HP-3 yang diberikan oleh Pemerintah adalah bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Ketentuan tentang HP-3 tersebut akan menimbulkan perbedaan penafsiran jika dikaitkan dengan ketentuan tentang hak-hak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria Bab II Bagian 1, Pasal 16 Ayat (1) dan Ayat (2).

(48)

di dalam tubuh bumi di bawahnya. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, bahwa pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa perlu diatur. Pada dasarnya kekayaan sumberdaya alam di wilayah pesisir juga merupakan bagian dari kekayaan alam yang di maksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Tetapi Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria pada dasarnya menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi, maka wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa, sehingga pengambilan kekayaan tersebut memerlukan pengaturan tersendiri. Mengacu pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 16 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK , maka HP-3 atas wilayah pesisir, merupakan suatu aturan baru dalam pengelolaan wilayah pesisir yang belum pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Agraria, maupun Undang-Undang lainnya. Berbeda dengan hak-hak atas tanah seperti diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, maka HP-3 diberikan oleh Pemerintah dalam luasan dan waktu tertentu, seperti disebutkan dalam Pasal 17 ayat (2).

(49)

mereka sesuai Undang-Undang harus dihormati dan dilindungi seperti diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Mengacu pada prinsip 5 dan 6 dari integrated coastal management, untuk menghindari perbedaan penafsiran, pembagian dan penentuan batas wilayah pesisir terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir diperlukan upaya integrasi dan koordinasi dengan sektor lain yang terkait, terutama dalam konservasi sumberdaya alam milik bersama (common property resources) sehingga tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya.

Penyelesaian sengketa dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK ditempuh melalui pengadilan dan/ atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa pengelolaan wilayah pesisir melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti kerugian, atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh para pihak yang kalah dalam sengketa. Sedangkan penyelesaian di luar pengadilan dilakukan dengan cara konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, arbitrasi atau melalui adat istiadat, kebiasaan dan kearifan lokal.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut

(50)

“Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya.”

Pemanfaatan secara berlebihan terhadap sumberdaya di wilayah pesisir tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan pesisir, akan mengakibatkan rusaknya ekosistem di wilayah pesisir.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

Kewenangan Pemerintah dalam hal pengelolaan sumberdaya alam diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (selanjutnya disebut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007). Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama, sedangkan yang termasuk pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir (Kelautan dan Perikanan) diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) butir cc, dan merupakan bagian dari urusan pemerintahan yang dapat dibagi bersama antar tingkatan dan atau susunan pemerintahan.

(51)

Daerah. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dalam pengelolaan wilayah pesisir hanya terbatas pada fungsi pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dan untuk menghindari konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota serta kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

2.4.2 Pengaturan Pengelolaan Wilayah Pesisir di Daerah

Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Pusat belum pernah memberikan otonomi yang nyata dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir di wilayah pesisir.

Status Quo kewenangan daerah ini tidak menjadi perhatian pemerintah, karena kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dilakukan berdasarkan pendekatan sektoral yang menguntungkan instansi sektoral dan usaha tertentu.

Pasal 18 ayat (10) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa:

”Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut.”

(52)

Kabupaten/Kota serta kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, Pemerintah Daerah wajib untuk menyusun semua rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Pemerintah Daerah diberi kewenangan untuk melakukan ekplorasi, eksploitasi, konservasi dan mengatur sumberdaya alam seperti melakukan penyusunan rencana tata ruang, mengatur dan menyediakan bantuan kepada Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan Undang-Undang dan kedaulatan nasional.

Kewenangan pemerintah pusat dalam mengelola sumberdaya di wilayah ini merupakan kewenangan atribusi yang langsung bersumberkan pada Undang Undang Dasar 1945 Pasal 33, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982.

Perluasan kewenangan pengelolaan wilayah pesisir diberikan kepada Kabupaten/Kota dan Provinsi untuk mengelola sumberdaya laut dan daratan dalam wilayah hukumnya. Hal ini diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Pasal 6, yaitu:

(53)

Pendapatan asli daerah juga dapat diperoleh dari dana perimbangan, seperti dijelaskan dalam Pasal 11 tentang dana bagi hasil. Ayat (1) dari Pasal 11 menyebutkan bahwa dana bagi hasil bersumberkan dari pajak dan sumber daya alam.

Pembagian kewenangan kepada pemerintah daerah atas wilayah laut sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, secara yuridis tidak mengubah wilayah perairan Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya kelautan di wilayah kewenangannya disertai dengan kewajiban untuk memelihara kelestarian lingkungannya.

Sebagai salah satu wujud dalam penyusunan kebijakan kelautan terutama pengelolaan wilayah pesisir dan laut di daerah adalah penyediaan produk hukum wilayah pesisir dan laut dalam bentuk Peraturan Daerah dengan menggagas sebuah model yang berbasis masyarakat. Beberapa daerah di Kalimantan dan Sulawesi yang telah difasilitasi oleh Satuan Kerja Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (Marine and Coastal Resources Management Project/ MCRMP), Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan, telah menghasilkan beberapa Peraturan Daerah mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan laut.

2.5 Kemiskinan Nelayan

(54)

sebagai salah satu kelompok masyarakat yang identik dengan kemiskinan, mengingat kenyataan bahwa struktur usaha perikanan tangkap sejauh ini memang masih didominasi oleh usaha skala kecil. Sebagian besar nelayan yang tergolong miskin merupakan nelayan yang memiliki keterbatasan kapasitas penangkapan baik penguasaan teknologi, metode penangkapan, maupun permodalan. Masalah kemiskinan juga disebabkan adanya ketimpangan pemanfaatan sumber daya ikan. Di satu sisi, ada daerah yang padat tangkap dengan jumlah nelayan besar terutama di Pantura Jawa. Di sisi lain ada daerah yang masih potensial namun jumlah nelayannya sedikit seperti di Papua, Maluku, NTT dan Ternate. Masalah struktural yang dihadapi nelayan makin ditambah dengan persoalan kultural seperti gaya hidup yang tidak produktif dan tidak efisien.

Selanjutnya menurut Tarigan (2000), berdasarkan pendapatannya, nelayan dapat dibagi menjadi:

a. Nelayan tetap atau nelayan penuh, yakni nelayan yang pendapatannya seluruhnya berasal dari perikanan.

b. Nelayan sambilan utama, yakni nelayan yang sebagian besar pendapatannya berasal dari perikanan.

c. Nelayan sambilan tambahan, yakni nelayan yang sebagian kecil pendapatannya berasal dari perikanan.

d. Nelayan musiman, yakni orang yang dalam musim tertentu saja aktif sebagai nelayan.

(55)

a. Nelayan berperahu tak bermotor, terdiri dari: nelayan jukung dan nelayan perahu papan (kecil, sedang dan besar).

b. Nelayan berperahu motor tempel.

c. Nelayan berkapal motor menurut GT (gross ton) terdiri dari < 5 GT; 5 – 10 GT; 10 – 20 GT; 20 – 30 GT; 30 – 50 GT; 50 – 100 GT; 100 – 200 GT; 200 – 500 GT; > 500 GT.

Dari segi kepemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan dalam tiga kelompok yaitu:

1. Nelayan Pemilik, yaitu pemilik perahu tak bermotor, pemilik kapal motor (toke).

2. Nelayan Juragan, yaitu pengemudi pada perahu bermotor atau sebagai kapten kapal motor.

3. Nelayan Buruh, adalah pekerja menangkap ikan pada perahu motor atau pada kapal motor.

(56)

berarti mengurangi pendapatan mereka. Kemiskinan prasarana juga dapat mengakibatkan keluarga yang berada pada garis kemiskinan bisa merosot ke dalam kelompok keluarga miskin.

Secara alami ada interaksi yang sangat kuat antara ketersediaan sumber daya ikan, jumlah, perilaku, dan kapasitas nelayan serta ekonomi dari hasil usaha penangkapan. Oleh karena itu, kemiskinan nelayan harus dipandang sebagai suatu sistem yang memiliki komponen saling berinteraksi. Seringkali nelayan dihadapkan pada sistem tata niaga yang tidak berpihak bahkan sangat merugikan nelayan. Pada saat akan membeli faktor produksi nelayan dihadapkan pada harga yang sangat tinggi, sementara pada saat akan menjual hasil tangkapan, nelayan dihadapkan pada harga jual yang sangat rendah. Hal ini disebabkan oleh panjang dan masih sangat berperannya para pedagang perantara.

2.6 Bagan Pancang Nelayan

Nelayan sebagai suatu entitas masyarakat pantai yang memiliki struktur dan tatanan sosial yang khas, yaitu suatu komunitas yang kelangsungan hidupnya bergantung pada perikanan sebagai dasar ekonomi (based economic) agar tetap bertahan hidup (survival) (Sitorus, 2005:1).

(57)

penahan dan pembentuk. Sebagai pelengkapnya, nelayan menggunakan jaring yang dipasang di sekelilingnya, dengan demikian nelayan lebih mudah dalam menjaring ikan. Nelayan yang menggunakan bagan pancang dalam menangkap ikan ini bertujuan untuk dapat menghasilkan tambahan tangkapan ikan selain menangkap ikan dengan menjala ikan seperti biasanya.

Gambar 2.6 Bagan Pancang Nelayan

Pemakaian alat ini dapat dilakukan di perairan yang agak dalam, sebab alat ini tidak dapat dipindah-pindahkan, oleh sebab itu nelayan harus menggunakan perahu untuk melihat hasil tangkapannya. Bagan pancang lebih efektif digunakan pada saat bulan gelap, sebab pada saat itu ikan-ikan akan tertarik dengan cahaya lampu petromaks sehingga mendekati bagan dan berkumpul di bagian bawah bagan. Hasil tangkapan dari alat ini adalah ikan Teri, ikan Kembung, ikan Tamban, ikan Selar, ikan Ciu, ikan Kepetek dan sebagainya.

(58)

lebih rendah di dalam massa tanah. Penggunaan pondasi tiang pancang sebagai pondasi bangunan apabila tanah yang berada dibawah dasar bangunan tidak mempunyai daya dukung (bearing capacity) yang cukup untuk memikul berat bangunan dan beban yang bekerja padanya. Atau apabila tanah yang mempunyai daya dukung yang cukup untuk memikul berat bangunan dan seluruh beban yang bekerja berada pada lapisan yang sangat dalam dari permukaan tanah pada kedalaman > 8 m.

Fungsi dan kegunaan dari pondasi tiang pancang adalah untuk memindahkan atau mentransfer beban-beban dari konstruksi di atasnya (super struktur) ke lapisan tanah keras yang letaknya sangat dalam. Dalam pelaksanaan pemancangan pada umumnya dipancangkan tegak lurus dalam tanah, tetapi ada juga dipancangkan miring (battle pile) untuk dapat menahan gaya-gaya horizontal yang bekerja. Hal seperti ini sering terjadi pada dermaga dimana terdapat tekanan kesamping dari kapal dan perahu. Sudut kemiringan yang dapat dicapai oleh tiang tergantung dari alat yang dipergunakan serta disesuaikan pula dengan perencanaannya.

Tiang Pancang umumnya digunakan:

1. Untuk mengangkat beban-beban konstruksi diatas tanah kedalam atau melalui sebuah stratum atau lapisan tanah. Didalam hal ini beban vertikal dan beban lateral boleh jadi terlibat.

(59)

3. Memampatkan endapan-endapan tak berkohesi yang bebas lepas melalui kombinasi perpindahan isi tiang pancang dan getaran dorongan. Tiang pancang ini kemudian dapat ditarik keluar.

4. Mengontrol lendutan atau penurunan bila kaki-kaki yang tersebar atau telapak berada pada tanah tepi atau didasari oleh sebuah lapisan yang kemampatannya tinggi.

5. Membuat tanah dibawah pondasi menjadi kaku untuk mengontrol amplitudo getaran dan frekuensi alamiah dari sistem tersebut.

6. Sebagai faktor keamanan tambahan dibawah tumpuan jembatan dan atau pir, khususnya jika erosi merupakan persoalan yang potensial.

7. Dalam konstruksi lepas pantai untuk meneruskan beban-beban diatas permukaan air melalui air dan kedalam tanah yang mendasari air tersebut. Hal seperti ini adalah mengenai tiang pancang yang ditanamkan sebagian dan yang terpengaruh oleh baik beban vertikal (dan tekuk) maupun beban lateral.

2.7 Paradigma dan Pendekatan Pembangunan Daerah 2.7.1 Pergeseran Paradigma

Gambar

Tabel 2.1 Indikator Pembangunan Berkelanjutan
Tabel 2.2 Indikator Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Pesisir
Gambar 2.1 Klasifikasi wilayah laut menurut kedalamannya
Gambar 2.3. Batas wilayah laut Indonesia
+4

Referensi

Dokumen terkait

Seksi Percobaan (SP), paling sedikit dilakukan 8 SP yang dipilih dari jalan yang permukaannya sangat rata sampai yang sangat tidak rata, panjang SP adalah 300 meter ditambah

Pola tanam untuk tipe iklim IIC adalah Kedela dan Ketela (Desember-Februari) dan melakukan panen ketela pada Bulan Maret dan April, sedangkan tipe iklim IIIB

Menyatakan merek “IKEA” yang terdaftar atas nama TERGUGAT dengan Nomor Pendaftaran IDM000092006 tanggal pendaftaran 09 Oktober 2006 untuk kelas barang/jasa 21, tidak

78 Al bij het onderzoek voor zijn proefschrift merkte Constandse op dat on - danks alle voorsprong die de boeren in de Noordoostpolder hadden, zij lang niet altijd

Peningkatan kualitas pelayanan terhadap SKPD Provinsi Jawa Timur sangat berperan, oleh sebab itu tingkat kemampuan pegawai Biro Keuangan Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi

Pengaruh Pola Asuh Demokratis Orang Tua (X2) terhadap Kemandirian Belajar Siswa (Y) di RA PIM Mujahidin Bageng Gembong Pati dan RA Miftahul Ulum Plukaran. Dari

Fakat daha yakından inceleyince, eleştirel ve çok ciddi düşünceler doğuyor. Dini derinlemesine ve doğru dürüst öğrenmiş olan herkes bilir ki, en güçlü

Maka dari itu pada tugas akhir ini akan dilakukan pengujian terhadap material local content pada pipa elbow lokomotif kereta api CC204 yang berada di sistem pendingin