• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

1. Zona Pesisir

2.4 Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut

2.4.1 Perangkat Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut

a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United NationsConvention on the Law of the Sea (UNCLOS), 1982

Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982, disahkan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982. UNCLOS 1982 tidak mengatur secara khusus dalam pasal-pasalnya tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Tetapi tersirat bahwa sumber kekayaan yang ada di laut memerlukan pengelolaan yang baik sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, tanpa merusak lingkungan laut, sehingga dapat digunakan untuk kemakmuran umat manusia. Pengaturan tentang pentingnya perlindungan dan pelestarian lingkungan laut diatur dalam UNCLOS 1982 Part XII tentang Protection and Preservation of the Marine Environment.

b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, membawa konsekuensi kepada NKRI untuk memperbaharui ketentuan tentang Perairan Indonesia seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 4/1960 tentang Perairan Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan disesuaikan dengan perkembangan rezim baru negara kepulauan sebagaimana di muat dalam Bab IV UNCLOS 1982.

Pengaturan khusus tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut tidak dijelaskan secara terinci, tetapi hanya di atur tersirat dalam Bab IV tentang Pemanfaatan, Pengelolaan, Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Perairan Indonesia. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip sustainable development dalam pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dan laut. Dalam Pasal 23 ayat (1) disebutkan bahwa:

“Pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional yang berlaku dan hukum internasional”.

Sebagai upaya untuk meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam di perairanIndonesia, dijelaskan dalam Pasal 23 ayat (3), bahwa:

“Apabila diperlukan untuk meningkatkan pemanfaatan, pengelolaan, perlindungan, dan pelestarian lingkungan perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (10) dapat dibentuk suatu badan koordinasi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.”

c. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025.

Pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan merupakan bagian dari rencana pembangunan yang akan dilakukan oleh pemerintah sesuai RPJP

Nasional Tahun 2005- 2025, tertuang dalam Bab II – huruf I yang mengatur mengenai Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup. Dalam Bab II- huruf I dinyatakan bahwa sumber daya alam dan lingkungan hidup memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pembangunan dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan. Adapun jasa-jasa lingkungan meliputi keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, pengaturan secara alamiah, keindahan alam, dan udara bersih merupakan penopang kehidupan manusia.

Arah pembangunan untuk mengembangkan potensi sumber daya kelautan menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJP Nasional adalah pendayagunaan dan pengawasan wilayah laut yang sangat luas. Arah pemanfaatannya harus dilakukan melalui pendekatan multisektor, integratif, dan komprehensif agar dapat meminimalkan konflik dan tetap menjaga kelestariannya. Mengingat kompleksnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional 2005-2025, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700, hal.20, permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, pendekatan keterpaduan dalam kebijakan dan perencanaan menjadi prasyarat utama dalam menjamin keberlanjutan proses ekonomi, sosial, dan lingkungan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam integrated coastal zone management.

d. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan daerah. Hal ini dapat

dilihat dari peraturan perundang-undangan tentang pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut selama ini lebih berorientasi kepada eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut tanpa memperhatikan kelestarian sumberdayanya, dan belum mampu untuk mengeliminasi faktor-faktor penyebab kerusakan lingkungan. Seperti disebutkan dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, bahwa :

“Norma-norma pengelolaan wilayah pesisir disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya.”

Sebagai negara hukum, pelaksanaan pengembangan sistem pengelolaan wilayah pesisir dan laut sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan harus sesuai dengan norma dan diberi dasar hukum yang jelas, tegas, serta menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan wilayah pesisir. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, dalam Pasal 3 tentang Asas dan Tujuan, menyatakan bahwa:

“Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berasaskan: (a) keberlanjutan; (b) konsistensi; (c) keterpaduan; (d) kepastian hukum; (e) kemitraan; (f) pemerataan; (g) peran serta masyarakat; (h) keterbukaan; (i) desentralisasi; (j) akuntabilitas; dan (k) keadilan.”

Asas-asas yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK merupakan implementasi dari prinsip-prinsip dasar yang terdapat dalam integrated coastal management. Implementasi dari prinsip-prinsip tersebut dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK disesuaikan dengan kondisi geografis dan masyarakat di Indonesia. Konsistensi dan keterpaduan dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir sesuai dengan

asas-asas tersebut memerlukan pengawasan dan evaluasi, baik oleh Pemerintah atau stakeholders.

Terdapat 14 prinsip dasar yang patut diperhatikan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang mengacu pada J.R. Clark (1992): 9, yaitu:

“(1)resources system; (2) the major integrating force; (3) integrated; (4) focal point; (5) the boundary of coastal zone; (6) conservation of common property resources; (7) degradation of conservation ; (8) inclusion all levels of government; (9) character and dynamic of nature; (10) economic benefits conservation as main purpose; (11) multiple-uses management; (12) multiple-uses utilization; (13) traditional management; (14) environment impact analysis.”

Sesuai dengan prinsip-prinsip integrated coastal zone management, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK pengelolaan wilayah pesisir melibatkan banyak sektor dan sumberdaya alam baik hayati maupun non hayati, sehingga pelaksanaannya dilakukan dengan cara menciptakan keharmonisan dan sinergi antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, mengikutsertakan peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah. Perencanaan dalam pengelolaan wilayah pesisir mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh berbagai sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya yang diatur dalam Bab IV– Perencanaan, dari Pasal 7 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Perencanaan wilayah pesisir terbagi dalam 4 (empat tahapan) yang secara rinci akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri, yaitu (1) rencana strategis; (2) rencana zonasi; (3) rencana pengelolaan; dan (4) rencana aksi sesuai dengan Prinsip 1 dan 3 dari integrated coastal management.

Pemanfaatan yang optimal terhadap wilayah pesisir berdasarkan Prinsip 12 dan 14 dalam integrated coastal management, diimplementasikan dengan diberikannya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) oleh Pemerintah seperti diatur dalam Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang PWP PK. Dijelaskan dalam Pasal 16 ayat (2) bahwa HP-3 meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. Menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK, HP diberikan oleh Pemerintah kepada orang perorangan Warga Negara Indonesia, dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; atau masyarakat adat. Tetapi ada beberapa daerah yang tidak dapat diberikan HP-3 yaitu kawasan konservasi, suaka perikanan, alur pelayaran, kawasan pelabuhan, dan pantai umum seperti yang diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK.

Selanjutnya, dalam Pasal 1 butir 18, HP-3 yang diberikan oleh Pemerintah adalah bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu. Ketentuan tentang HP-3 tersebut akan menimbulkan perbedaan penafsiran jika dikaitkan dengan ketentuan tentang hak-hak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria Bab II Bagian 1, Pasal 16 Ayat (1) dan Ayat (2).

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, hak atas tanah tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkandung

di dalam tubuh bumi di bawahnya. Seperti yang dinyatakan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, bahwa pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa perlu diatur. Pada dasarnya kekayaan sumberdaya alam di wilayah pesisir juga merupakan bagian dari kekayaan alam yang di maksud dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Tetapi Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok- Pokok Agraria pada dasarnya menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi, maka wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa, sehingga pengambilan kekayaan tersebut memerlukan pengaturan tersendiri. Mengacu pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Pasal 16 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK , maka HP-3 atas wilayah pesisir, merupakan suatu aturan baru dalam pengelolaan wilayah pesisir yang belum pernah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tentang Pokok-Pokok Agraria, maupun Undang-Undang lainnya. Berbeda dengan hak-hak atas tanah seperti diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, maka HP-3 diberikan oleh Pemerintah dalam luasan dan waktu tertentu, seperti disebutkan dalam Pasal 17 ayat (2).

Partisipasi masyarakat sekitar lokasi dan masyarakat adat dalam pengelolaan wilayah pesisir diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Keberadaan masyarakat adat yang telah memanfaatkan pesisir secara turun temurun, seperti sasi, hak ulayat laut, terhadap

mereka sesuai Undang-Undang harus dihormati dan dilindungi seperti diatur dalam Pasal 61 ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK. Mengacu pada prinsip 5 dan 6 dari integrated coastal management, untuk menghindari perbedaan penafsiran, pembagian dan penentuan batas wilayah pesisir terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir diperlukan upaya integrasi dan koordinasi dengan sektor lain yang terkait, terutama dalam konservasi sumberdaya alam milik bersama (common property resources) sehingga tidak menimbulkan konflik dalam pelaksanaannya.

Penyelesaian sengketa dalam pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang PWP-PK ditempuh melalui pengadilan dan/ atau di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa pengelolaan wilayah pesisir melalui pengadilan dimaksudkan untuk memperoleh putusan mengenai pengembalian suatu hak, besarnya ganti kerugian, atau tindakan tertentu yang harus dilakukan oleh para pihak yang kalah dalam sengketa. Sedangkan penyelesaian di luar pengadilan dilakukan dengan cara konsultasi, penilaian ahli, negosiasi, mediasi, arbitrasi atau melalui adat istiadat, kebiasaan dan kearifan lokal.

e. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut

Peraturan Pemerintah ini mewajibkan setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk melakukan upaya pencegahan dan bertanggung jawab terhadap perusakan dan pencemaran laut. Ketentuan dalam Bab V tentang Penanggulangan Pencemaran dan atau Perusakan Laut, dalam Pasal 15 menetapkan bahwa:

“Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya.”

Pemanfaatan secara berlebihan terhadap sumberdaya di wilayah pesisir tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan pesisir, akan mengakibatkan rusaknya ekosistem di wilayah pesisir.

f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

Kewenangan Pemerintah dalam hal pengelolaan sumberdaya alam diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota (selanjutnya disebut Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007). Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama, sedangkan yang termasuk pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir (Kelautan dan Perikanan) diatur dalam Pasal 2 Ayat (4) butir cc, dan merupakan bagian dari urusan pemerintahan yang dapat dibagi bersama antar tingkatan dan atau susunan pemerintahan.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 mengatur mengenai urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah terbagi dalam urusan wajib dan urusan pilihan. 14 bentuk pengelolaan wilayah pesisir dan laut merupakan bagian dari kelautan dan perikanan, yang dalam ketentuan ini merupakan bagian dari urusan pilihan yang menjadi kewenangan Pemerintahan

Daerah. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dalam pengelolaan wilayah pesisir hanya terbatas pada fungsi pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten/Kota dan untuk menghindari konflik kepentingan antar Kabupaten/Kota serta kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.