• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS 4.1Letak Geografis Kota Sibolga

4.5.2 Konsep Keberlanjutan Secara Sosial a.Penyerapan tenaga kerja

Tenaga kerja pada sektor perikanan di Kelurahan Sibolga Ilir dapat dibagi 4 (empat) kategori, yaitu:

1. Tenaga kerja di kapal atau nelayan yaitu Anak Buah Kapal (ABK) yang terdiri dari nelayan tetap dan nelayan sambilan.

2. Tenaga kerja di tempat pendaratan ikan (tangkahan) milik pribadi atau swasta yang terdiri dari beberapa unit tangkahan, dimana tiap tangkahan dapat menyerap tenaga kerja. Hampir seluruh tangkahan sudah dilengkapi dengan tenaga administrasi dan manajemen yang baik.

3. Tenaga kerja pengolah hasil perikanan yaitu terdiri dari perebusan dan pemindangan, pengeringan ikan dan pengolahan lainnya.

•Pengumpul ikan

•Pedagang besar atau distributor •Rumah makan dan restoran •Catering

b. Budaya kerja

Budaya kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja. Budaya kerja merupakan sekelompok pikiran dasar atau program mental yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan kerjasama manusia yang dimiliki oleh suatu golongan masyarakat.

Bagi masyarakat nelayan bagan pancang di Kelurahan Sibolga Ilir, budaya kerja para nelayan terdiri dari:

1. Etos kerja tinggi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai kemakmuran. Kompetitif dan mengandalkan kemampuan diri untuk mencapai keberhasilan.

2. Apresiasi terhadap prestasi seseorang dan menghargai keahlian. 3. Terbuka dan ekspresif, sehingga cenderung kasar.

4. Solidaritas yang kuat dalam menghadapi ancaman bersama atau membantu sesama ketika menghadapi musibah.

5. Kemampuan adaptasi dan bertahan hidup yang tinggi. 6. Bergaya hidup konsumtif.

7. Demonstratif dalam harta benda (emas, perabotan rumah, kendaraan, bangunan rumah) sebagai manifestasi keberhasilan hidup.

8. Agamis, dengan sentimen keagamaan yang tinggi.

9. Temperamental, khususnya jika terkait dengan harga diri.

Di Kota Sibolga pernah terjadi konflik antara nelayan tradisional dan nelayan modern yang tidak terlepas dari perbedaan di antara mereka yaitu apakah perbedaan jenis teknologi yang dipergunakan ataupun perbedaan yang bersifat sosial ekonomi. Konflik diantara nelayan terjadi bermula dari munculnya jenis alat tangkap pukat harimau atau taring trawl pada tahun 1980-an. Pada awalnya alat tangkap ini diberikan secara kredit kepada nelayan tradisional. Namun, karena kurangnya persiapan dan modal yang cukup membuat nelayan yang menerima kredit inipun mengalami kegagalan. Keadaan ini menjadikan para pengusaha padat modal yang menguasai pengoperasian pukat harimau. Sejauh mana konflik yang terjadi diantara nelayan tradisional dan nelayan modern, yakni dengan melihat wujud atau bentuk pertentangan diantara keduanya yang diharapkan dapat mengungkapkan penyebab konflik.

Lokasi penelitian dilakukan pada nelayan yang mengoperasikan alat tangkapnya di perairan Sibolga atau Teluk Tapian Nauli (Pantai Barat Sumatera). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa konflik yang terjadi pada masyarakat nelayan tradisional dengan nelayan modern sangat tajam. Konflik, didasarkan pada

perbedaan status sosial yang mengarah pada perbedaan kelas diantara kedua kelornpok. Ketertindasan yang disebabkan oleh eksploitasi besar-besaran oleh nelayan modern terhadap sumber daya laut yang mengakibatkan konflik pada masyarakat nelayan muncul. Keadaan ini membuat pertentangan muncul kembali dan konflik diantara keduanya berkembang menjadi wujud permusuhan, seperti pembakaran pukat yang dilakukan nelayan tradisional.

Namun untuk nelayan bagan pancang di Kelurahan Sibolga Ilir tidak mengalami konflik seperti di atas. Hanya saja nelayan bagan pancang terkadang berebut lahan untuk mendirikan bagan pancang yang baru apabila bagan pancang sebelumnya tidak dapat digunakan kembali atau hasil produksi ikan mulai menyusut. Jika terjadi konflik antar nelayan bagan pancang di Kelurahan Sibolga Ilir, maka permasalahan tersebut selalu dibawa untuk diselesaikan ke Kelurahan Sibolga Ilir yang didampingi oleh kepala lingkungan masing-masing. c. Tingkat pendidikan

Tabel 4.12 Tingkat Pendidikan No. Tingkat Pendidikan Jumlah

Nelayan (KK) Persentase (%) 1. Tidak Tamat SD 12 10,90 2. SD Sederajat 23 20,90 3. SMP Sederajat 25 22,72 4. SMA Sederajat 47 42,72 5. Akademi/ Diploma 3 2,76 110 100 Sumber: Kuesioner, 2012

Jumlah nelayan yang menggunakan bagan pancang pada tahun 2012 sebanyak 110 kk yang sebagian besar memiliki latar belakang pendidikan yang tidak rendah, yaitu sampai pada Sekolah Menengah Atas (SMA), bahkan terdapat nelayan yang pernah menjalani pendidikan sampai pada tingkat Akademi atau Diploma. Hal ini dapat menjadi pendorong bagi para nelayan bagan pancang untuk mengatasi ketertinggalan terhadap kemiskinan. Karena umumnya persepsi mengenai nelayan adalah bahwa tingkat pendidikan nelayan selalu rendah.

Berdasarkan informasi yang diterima, tingkat pendidikan nelayan bagan pancang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan, wawasan dan pola pikir dalam mengambil keputusan. Pendidikan juga dapat memberikan dorongan mental serta merubah sikap dan cara berpikir untuk lebih maju, sehingga akan mempengaruhi dalam teknis penangkapan ikan, khususnya dalam menggunakan bagan pancang.

d. Tingkat kesehatan

Tabel 4.13 Tingkat Kesehatan

Sumber: Wawancara, 2012

Berdasarkan tabel di atas diuraikan bahwa tingkat kesehatan nelayan bagan pancang di Kelurahan Sibolga Ilir terlihat baik. Hal itu dapat terlihat pada jumlah nelayan yang sudah memiliki saluran pembuangan limbah atau MCK. Artinya sebagian besar nelayan sudah memiliki kamar mandi pada rumah masing-masing. Selain itu tingkat kesadaran nelayan bagan pancang untuk berobat ke Puskesmas atau Rumah Sakit sudah tinggi. Persepsi akan mahalnya biaya pengobatan di Puskesmas atau Rumah Sakit telah hilang karena adanya kemudahan yang bisa diperoleh nelayan yaitu jaminan kesehatan atau asuransi kesehatan bagi nelayan yang kurang mampu secara ekonomi. e. Distribusi gender dalam proses pengambilan keputusan

Pada hakikatnya, wanita hanya berperan di dalam sektor domestik dalam rumah tangga. Namun, ketika pendapatan kepala rumah tangga sebagai nelayan belum cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah

No. Kategori Jumlah

Nelayan (KK)

%

1. Persalinan oleh tenaga medis 35 31,81 2. Berobat ke Puskesmas atau Rumah Sakit 72 65,45 3. Ketergantungan terhadap pelayanan

puskesmas atau Rumah Sakit

58 52,72

4. Penduduk yang memiliki saluran pembangunan limbah (MCK).

mencari penghasilan tambahan. Terdapat hubungan yang cukup signifikan antara tingkat sosial ekonomi yang diukur dengan pendapatan suami dan kebutuhan rumah tangga dengan partisipasi istri dalam ekonomi rumah tangga. Hubungan yang signifikan ini tentu bukan hanya mengindikasikan hubungan atau korelasi positif semata, melainkan juga hubungan sebab akibat. Hal ini berarti bahwa keputusan istri nelayan untuk terjun ke sektor publik adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan sebagai wujud tanggung jawab mereka terhadap masa depan rumah tangga dan terutama anak-anak mereka.

Dari data yang diperoleh di lapangan, isteri nelayan bagan pancang yang bekerja di sektor publik adalah terdiri dari:

1. Pedagang sebanyak 40 orang 2. Peternak sebanyak 56 orang 3. Lain-lain sebanyak 14 orang.

Dua profesi di atas menunjukkan bahwa distribusi gender dalam mengambil keputusan yang dalam hal ini isteri nelayan bagan pancang adalah sangat menentukan. Hal ini dikarenakan isteri nelayan tersebut mampu menghasilkan pendapatan sendiri yang dapat membantu perekonomian keluarga.

Berdasarkan kondisi yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa upaya peningkatan kesejahteraan keluarga nelayan tidak cukup hanya dalam bentuk pemberdayaan nelayan, misalnya dalam bentuk peningkatan kemampuan tangkapan ikan, akan tetapi juga harus

menyentuh potensi anggota rumah tangga nelayan lain, seperti isteri. Oleh karena itu, program pemberdayaan yang lebih logis justru mengembangkan aktivitas ekonomi istri nelayan, melalui pelatihan sehingga memiliki kemampuan untuk melakukan aktivitas ekonomi yang lebih berdaya guna dan berhasil guna.

f. Kependudukan

Tabel 4.14 Jumlah Nelayan Bagan Pancang Kelurahan Sibolga Ilir

No Wilayah Kelurahan Jumlah Nelayan (KK) Persentase (%) 1. Lingkungan I 39 35,45 2. Lingkungan II 32 29,09 3. Lingkungan III 21 19,09 4. Lingkungan IV 18 16,37 Jumlah 110 100

Sumber: Kelurahan Sibolga Ilir 2012

Jumlah nelayan bagan pancang di Kelurahan Sibolga Ilir sebanyak 110 kk, dimana jumlah nelayan bagan pancang yang paling banyak adalah pada lingkungan I. Hal tersebut dikarenakan pada lingkungan I wilayah tempat tinggal nelayan langsung di wilayah pesisir pantai, begitu pula dengan lingkungan II. Oleh karena itu lebih mudah untuk nelayan bagan pancang pada lingkungan I dan II dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan bila dibandingkan dengan lingkungan III dan IV.

4.5.3 Konsep Keberlanjutan Secara Ekologi