• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problematika Peradaban Dunia Keynot dala (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Problematika Peradaban Dunia Keynot dala (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Problematika Peradaban Dunia Oleh:

(Baharuddin, B. IRK., MA)

Keynote dalam Lecturer’s Study Club (LSC) STAI Indonesia (Desember 2012)

Assalamu Alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Hadirin yang terhormat,

Berbagai tantangan dan problema yang dihadapi oleh masyarakat dunia saat ini, dikarenakan oleh peradaban Barat (Western civilization). Salah satu problema yang ditimbulkan, dan menjadi problema utama, adalah problema sains atau ilmu pengetahuan (knowledge). Sains atau Ilmu pengetahuan yang berkembang di Barat, adalah ilmu tanpa arah dan tujuan yang pasti. Hal ini, adalah konsekuensi logis dari kesalahan mereka dalam mempersepsikan ilmu tersebut (being unjustly conceived), atau meminjam istilah prof. Capra: tidak tepatnya paradigma yang digunakan dalam penyusunan kebudayaan Barat.

Sains atau ilmu pengetahuan di Barat terbentuk dari, dan hanya mengandalakan paradigma sains yang merupakan warisan Descartes dan Newton yang tidak mampu melihat semesta alam sebagai suatu kesatuan sistem terpadu yang tak terpisahkan, atau dalam bahasa agama disebut sebagai tauhidic paradigm atau tauhidic worldview yang di dalamnya Tuhan, alam semesta dan manusia didudukkan pada porsinya masing-masing.

Hadirin yang terhormat,

(2)

secara berlebihan. Pendewaan ini mengakibatkan adanya kecenderungan untuk menolak, atau paling tidak, menyisihkan seluruh norma dan nilai yang berdasarkan agama dalam memandang kenyataan kehidupan. Manusia modern yang mewarisi sikap positivistic ini cenderung menolak keterkaitan antara substansi jasmani dan substansi rohani manusia. Bahkan pada akhirnya, mau tidak mau, karena hal itu merupakan implikasi logis, mereka juga harus menolak keyakinan agama akan hari akhirat, menolak eksistensi jiwa dan ruh atau bahkan Tuhan.

Lebih jauh, ilmu pengetahuan yang berkembang dan tumbuh subur ini, telah menembus batas pemisah peradaban dunia lainnya. Hasilnya, wabah kebingungan dan skeptisisme ilmu pengetahuan (confusion and scepticism), yang pada gilirannya memberi ruang terjadinya “epistemologi ke tidak-pastian” (epistemological relativism) muncul di seluruh belahan dunia. Lucunya, epistemologi ini “dianggap” sebagai metodologi yang valid atau scientific method dalam “pencarian kebenaran.”

Hal ini tentu akan memberi dampak yang negatif atau bahkan chaos terhadap kehidupan manusia, ketimbang dampak positifnya (peace dan justice). Padahal puncak pencarian ilmu pengetahuan (the purpose of seeking knowledge), dalam persepektif Islam, berakhir pada keberhasilan individu dalam meraih kebahagiaan. Karena kebenaran ilmu dan pengetahuan dapat diukur dari berhasilnya seseorang mengenal dirinya dan mengenal destinasi akhirnya, yang tak lain dan tak bukan adalah mengenal Tuhannya. Dan dengan “pengenalan” tersebut, seseorang akan meraih kebahagiaan sejatinya, karena hatinya, tempat dimana kebahagian itu bermuara, telah menjadi tranquil, damai, tenteram bi zikrillah. Itulah ilmu yang benar dan hakiki.

(3)

Perjalanan sejarah telah membuktikan, bahwa peradaban Barat memiliki karakter yang tidak dapat terlepas dari berbagai unsur. Menarik benang merah (1) filsafatnya dari Yunani kuno, (2) hukum dan seninya dari Roma, (3) doktrin agamanya dari Kristiani, Yahudi, dan (3) tradisi keilmuan dan teknologinya dari Latin, German dan Eropa lainnya. Akibatnya, “cara pandang” (world-view) yang tercipta dari asimilasi serta persinggungan unsur yang saling bertentangan, adalah cara pandang yang “dualistik.” Cara pandang inilah yang kemudian merambah jauh dan merasuk ke dalam sendi-sendi kehidupan serta peradaban Barat.

There can be no certainty in philosophical speculations in the sense of religious certainty based on revealed knowledge understood and experienced in Islam; and because of this the knowledge and values that project the world-view and direct the life of such a civilization are subject to constant review and change.

World-view Barat yang terbentuk dari basis yang bukan merupakan ilmu-ilmu wahyu, tetapi berbasis tradisi kultural dan filsafat spekulatif yang sejatinya menjunjung nilai-nilai rasional yang didukung oleh pengalaman inderawi semata, sudah pasti akan menghasilkan world-view yang tidak tetap dan tidak pasti pula (subject to constant review and change).

Hadirin yang terhormat,

(4)

Hal ini kemudian memberi efek yang begitu luar biasa terhadap dunia pendidikan Islam. Tradisi keilmuan dan sains dalam Islam ternaungi oleh tebalnya awan sekularisasi. Pemikir dan intelektual Muslim, pun, terlena dan bahkan terkagum-kagum oleh penampilan “mentereng” peradaban dan pencapaian sains Barat. Asumsi ini bisa saya jadikan sebagai tesis, dengan bukti bahwa hanya segelintir pemikir Muslim saja yang memiliki kepedulian akan tradisi-tradisi keilmuan Islam, yang kemudian dituangkan dalam tulisan dan penelitian karya ilmiah berbentuk artikel, ataupun buku. Itupun derasnya tidaklah sederas tsunami, gaungnya tidak sekeras dentungan bom, sehingga, hanya segelintir saja yang terkena percikannya dan basah olehnya; hanya beberapa pasang telinga saja yang dapat mendengarnya. Dan kalaupun terkena percikannya, terdengar suaranya, dengan “keangkuhan ilmiah” karena merasa telah sarjana, akan berkata: peduli apa aku dengannya! Apa yang anda katakan itu hanyalah berupa “pandangan” anda semata, dan pandangan manusia kualifikasinya adalah “nisbi,” tidak mutlaq adanya, karena yang mutlaq itu hanyalah yang bersumber dari Allah. Mereka lupa, bahwa apa yang dikatakannya itu sebenarnya mengulang sejarah kebangkitan Sufastai +- 2500 tahun yang lalu. Mereka lupa bahwa Islam memiliki prinsip wahyu yang everlasting re-revealing itself, bahwa ada “pewaris” kenabian yang akan meneruskan risalah nabi, yaitu para pemikir Muslim yang telah teruji

ke-saleh-annya atau ‘ulama yang dalam bahasa wahyu:

نيذلاو

انلبس ممهنيدهنل انيف اودهاج

dan

هدابع نم هللا ىشخي امنا

ءاملعلا

Hadirin yang terhormat,

(5)

menggaungkan rethinking Islam. Liberal Islam tidak pernah atau “tidak mau” menghargai ‘ulama Islam, apalagi karya-karya mereka, “siapa itu al-Junaid, siapa itu al-Ghazali, siapa itu Ibn Arabi, (dan seribu siapa yang lainnya). Mereka dengan congkak berkata: “mereka ini kan sama dengan kita, mereka adalah rijal dan kita adalah rijal.” Begitu pun halnya dengan kelompok Kiri Islam, yang dengan rethinking Islam-nya, metodologi Islam dipertanyakan, pemahaman ‘ulama terhadap Islam hanya dianggap sebagai “wacana,” dan oleh karenanya harus dilakukan pembenahan. Aplikasi dari metode hermeneutika terhadap al-Qur’an dan bahkan al-Hadiṡ adalah imbas dari pemikiran dan asumsi prejudis tersebut. Mereka tidak menyadari, bahwa metodologi tersebut dilatar-belakangi oleh presupposisi-presupposisi yang bertentangan dengan ajaran dan dokrin Islam. Dan bahkan mereka tidak memahami betul bahwa metodologi tersebut hanya suitable atau fix penggunaannya untuk “membaca” dan menelaah text atau karya yang tidak jelas “juntrungannya,” tidak jelas autentisitasnya. Sederhananya, metodologi hermeneutika hanya dapat diaplikasikan untuk membaca karya manusia, seperti, “bible” dan semacamnya, bukan karya Tuhan, seperti al-Qur’an.

Hadirin yang terhormat,

(6)

berdirinya lembaga penterjemahan dan pusat studi yang disebut dengan Bait al-Hikmah pada abad ke 2 Hijriyah, yang diprakarsai oleh tiga orang khalifah terbesar Daulah Abbasiyyah, yaitu: khalifah pertama al-Mansur (158 H – 775 M), kemudian al-Rasyid (193 H – 809 M) dan al-Ma’mun (218 H – 833 M).

Dari sini jelas bahwa peradaban Islam dan Barat memiliki perbedaan yang esensial mengenai unsur pembentukannya: Islam mengambil sumbernya dari wahyu, sedangkan Barat mengambil sumbernya dari asimilasi dan perpaduan berbagai elemen. Sebahagian orientalis memang mengakui, bahwa Islam betul memiliki unsur dan elemen dari wahyu atau revelation. Akan tetapi, mereka mempertanyakan metodologinya? Memang betul bahwa pada tataran metodologi, sebagian pemikir Muslim terkena imbas dari persinggungan peradaban Yunani-Greek tersebut, khusunya, kalangan Mu’tazilah. Akan tetapi, pemikiran tersebut hanya bekerja pada tataran konseptual, bukan praktikal apalagi pada tataran principal atau aqidah. Dan pemikiran Mu’tazilah, misalnya, tidaklah dapat dikatakan “menyelimuti” atau berpengaruh pada setiap aspek pemikiran, apalagi kehidupan beragama. Dan bahkan aspek pemikiran yang masuk tersebut justeru mendapat krtitikan tajam dari berbagai kalangan Muslim, khususnya al-Ghazali dalam karyanya tahafut falāsifah, Ibn Arabi dalam Futūhāt al-Makkiyyah, yang diteruskan oleh Mullā Ṣadra dalam al-Asfār al-’Arba’ah dan ‘Abd al-Karīm al-Jīlī dalam al-Insān al-Kāmil.

Hadirin yang terhormat,

(7)

memerlukan filsafat dan kedatangan Aristoteles dan Plato ataupun Plotinus, untuk mengajarkan, menjelaskan Islam, karena Islam adalah ajaran yang mengambil sumbernya dari wahyu, bukan bersumber dari filsafat seperti Barat, sehingga memerlukan justifikasi filsafat.

Kesimpulannya adalah, kedua kelompok Islam ini, Liberal dan Kiri Islam pada esensinya menolak adanya authority, atau otoritas Ulama Islam, dan dengan begitu intuisi atau pencerahan-pun tidak diakui, ataupun kalau ada, hanyalah untuk mereka dan bukan untuk kita. Atau kalaupun untuk kita, hal itu adalah subjektif, tidak objektif. Padahal Islam tetap mengakui kedua sumber ini, yaitu objektif dan subjektif sebagai sumber keilmuan dalam Islam. Objektif dengan pencapaian rasio dan inderawi, subjektif dengan pencerahan yang diperoleh melalui “kesiapan” atau isti’dad bagi kalangan khusus dalam tingkatan spiritual tinggi. Itulah intuisi atau ilham yang juga ditolak oleh sains Barat.

(8)

dapat dipisahkan. Jadi Ilmu yang benar adalah ilmu yang tak memisahkan diri dari adil, dari menempatkan segala sesuatunya pada porsinya masing-masing.

Hadirin yang terhormat,

Dalam tatanan alam, dimana dipahami sebagai simbol atau ayah yang menunjuk adanya Tuhan, dan manusia yang termasuk salah satu dari tatanan atau sistem tersebut, pun memiliki kedudukan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Karena jika tidak ada perbedaan dan kedudukan itu, katakan semuanya berilmu atau semuanya jahil, maka rekognisi atau pengetahuan tidak akan mungkin tercapai. Tetapi harus ada perbedaan dan kedudukan antara yang berilmu dan yang tidak, sehingga yang tidak beilmu mencari ilmu atau pengetahuan kepada yang memiliki pengetahuan. Inilah adil atau justice dalam skla mikronya, menempatkan porsi sesuatu pada tempat yang selayaknya masing-masing.

Begitu juga halnya dengan pencapaian spiritual, ada yang melakukannya dengan melalui riyadah dengan melewati berbagai maqam, ma’rifah dan ahwal yang disebut sebagai isti‘dād atau persiapan, tentu akan berbeda dengan yang hanya melakukannya “sekedar” menggugurkan kewajiban. Untuk kelompok pertama, pencapaian spiritualnya memungkinkannya untuk memperoleh sesuatu yang disebut sebagai “pencerahan” atau intuisi, (ladunnī = ilhām). Sedangkan kelompok kedua tidak memungkinkan, karena pencerahan hanya dapat diperoleh melalui kesiapan dan pelatihan. Dari poin ini jelas bahwa Islam mengakui adanya pencerahan atau intuisi, dan pencerahan tersebut adalah sumber ilmu atau sains dalam Islam. Dan ini jugalah yang dimaksud dengan authority.

(9)

Sains barat pada hakikatnya, tak lain dan tak bukan, adalah hasil kerja “saintisme.” Saintisme yang berarti seolah-olah ahli dalam sains, adalah anak angkat dari sekularisme. Sekularisme yang berakar kata dari latin saeculum memberi pengertian di sini dan kini. Artinya, segala sesuatu harus diukur melalui prinsip di sini dan kini, yang hanya menganggap aspek fisikal sebagai satu-satunya level eksistensi.

Saintisme yang merupakan “beacon” atau corong sekularisme inilah yang menjiwai peradaban dan sains modern Barat. Yang telah memunculakn paradigma baru, dengan meninggalkan agama dan bahkan menganggapnya hanya sebagai gejala sosial dan selanjutnya mereduce agama menjadi etika dan moralitas yang terlepas dari aspek kesakralan dan metafisikalnya. Dan bahkan level eksistensi metafisikal, yang di dalamnya termasuk alam gaib, jiwa, ruh dan Tuhan, dianggap tidak ada, karena tidak termasuk ke dalam kategori pembicaraan sains, yang sejatinya hanya mengakui alam natural materi sebagai satu-satunya level eksistensi atau mengakui eksistensi semesta alam hanya pada sisi dan aspek empiriknya saja.

Paradigma sains atau ilmu pengetahuan yang didesaign oleh saintisme melalui tangan-tangan Descartes dan Newton inilah yang menjadi scientific paradigm yang menysun peradaban dan kebudayaan Barat. Dan yang menurut pakar sains atau ilmu pengetahuan yang akan membawa pada instability, kontradiksi dan chaos dalam kehidupan, dan yang pada gilirannya membawa peradaban dan kebudayaan pada lembah keterpurukan dan kehancuran.

(10)

prof. Capra memberi solusi agar filsafat China yaitu I Ching digunakan dalam memformulasikan paradigma tunggal tersebut.

Hadirin yang terhormat,

Bagi Islam, sehebat apapun filsafat itu, selama filsafat tersebut menarik sumbernya dari pemikiran dan rasio spekulatif manusia, hal itu tidak akan pernah menyelesaikan persolan. Islam yang membentuk peradaban dan kebudayaannya dari sumber-sumber wahyu, telah dan pernah membuktikan dirinya sebagai peradaban yang agung gemilang: baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, di zaman Rasulullah, Abu Bakr, Umar bin Khattab dan Umar bin Abdul Aziz di mana seluruh aspek kehidupan terartikulasi dalam sebuah sistem tauhidic paradigm yang tertuang dalam masyarakat madani.

Referensi

Dokumen terkait

18 Putri Eka Rohmatul Hidayah SMPN 1 Deket.

Contoh : Saat menggunakan media sosial seperti aplikasi chat line, di dalam aplikasi ine terdapat fitur multichat yang didalam obrolan tersebut tidak hanya

Pelaksanaan destination image ini diharapkan dapat memberikan perubahan akan tingkat kunjungan melalui keputusan yang diambil oleh wisatawan Indonesia.. Yuriko

[r]

Jika ada Perda yang substansinya menyalahi rujukan (misalnya, ketentuan tarif retribusi atau pajak dalam Perda lebih tinggi dari ketentuan tarif maksimum dalam

[r]

belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bagaimana Pelaksanaan Program Kota Layak Anak Dalam

Matematika merupakan mata pelajaran yang bersifat abstrak, sehingga dituntut kemampuan guru untuk dapat mengupayakan metode yang tepat sesuai dengan tingkat