Sajian Utama 1 - SM No. 13
Tanah Subur, Petani tidak Makmur
Simaklah dengan empati dua penuturan yang tulus dari saudara kita yang menjadi petani, sebagaimana dikemukakan kepada SM. Penuturan pertama dari Pak Sukadi; dan penuturan kedua dari Pak Rahmat.
“Dulu itu Dik, ada semacam nasihat dari orang-orang tua. Kalau mau jadi orang kaya jadilah saudagar (pedagang), tetapi hidupmu akan agak kemrungsung
(tergesa-gesa –Red.) dan kurang tenang. Kalau mau jadi priyayi, jadilah pegawai negeri. Tidak kaya tetapi terhormat dan harus selalu bisa dijadikan teladan bagi warga sekitar. Kalau mau hidup tenang dan tidak banyak beban jadilah petani. Tidak akan kurang makan, tidak disorot warga sekitar, dan merdeka.”
“Sudahlah Dik, kalau boleh bercita-cita cukup saya saja yang jadi petani. Anak cucu saya kalau bisa tidak usah jadi petani, kalau pemerintah kita masih seperti ini saja. Jadi petani itu tidak ada enaknya. Waktu menanam padi harus susah karena dipermainkan pedagang pupuk, tetapi saat panen juga hanya bisa kembali menangis karena harga gabah terlalu rendah dan tidak cukup untuk menutup seluruh hutang yang ada. Padahal anak yang sekolah hanya tahu sekarang sudah panen, dan saatnya melunasi semua tunggakan SPP-nya.”
Penuturan pertama menggambarkan kehidupan petani yang tenteram, sejahtera, dan damai. Tetapi jika dibandingkan dengan realitas kehidupan petani sekarang, tentu saja gambaran itu hanya sekedar nostalgia, mirip lukisan realis-romantis karya almarhum Basuki Abdullah. Itulah yang bisa dirasakan, sebagaimana dikatakan oleh Pak Rahmat dengan nada putus asa.
Seperti yang diakui sendiri oleh Pak Sukadi, Pengurus Kelompok Tani “Selasa Pahing” Kedunggalar, Ngawi, “hidup tenang seperti itu hanya menjadi milik petani masa lalu.”
Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris dengan tanahnya yang subur, diperlakukan secara tidak wajar oleh pemerintah yang berkuasa. Kebijakan pembangunan yang dijalankan tidak pernah berpijak pada kondisi riil di lapangan untuk berkonsentrasi dulu pada pembangunan pertanian. Yang terjadi justru sebaliknya, program-program pembangunan industrialisasi yang tidak ada hubungannnya dengan pertanian digalakkan. Sementara pertanian sendiri yang potensial malah diabaikan.
Kalaupun ada industri yang berhubungan langsung dengan pertanian, seperti pabrik pupuk dan industri yang menghasilkan obat-obatan pertanian, tetapi dalam prakteknya justru tidak menguntungkan kaum petani. Kenapa? Karena harga-harganya jauh lebih mahal ketimbang harga jual hasil pertanian. Akibatnya para petani juga yang paling dirugikan. Dengar saja keluhan Pak Sugito, “mau ngomong apa lagi petani di Indonesia sekarang ini. Kalau musim tanam, harga pupuk melambung dan kadang malah hilang di pasaran. Tetapi kalau musim panen tiba, harga gabah dianjlokkan sampai dasar sumur.”
Kemiskinan Petani
Siapa pun yang masih punya hati nurani, tentu akan ikut trenyuh mendengar keluhan seperti itu. Bagaimana bisa nasib petani dipermainkan sedemikian rupa. Secara akal sehat, pemerintah wajib membantu kepentingan petani, baik ketika dalam masa tanam maupun pada masa panen dan menjual hasil-hasil pertaniannya. Musim panen yang harusnya diwarnai dengan canda-tawa kegembiraan dan ditingkahi dengan lagu-lagi suka cita, malah dikabuti perasaan cemas karena harga jual yang tidak menjanjikan. Tidak ada lagi harapan dapat surplus dan memperoleh keuntungan. Kembali modal pun sudah lumayan, daripada merugi sama sekali.
kalau musim panen tiba kita-kita ini tetap tidak bisa senyum,” ungkap Pak Sugito dengan nada getir. Dengan nada masygul campur menghujat Pak Sugito melanjutkan, “mencari pembeli gabahnya sulit, dan kalau ada pun menawarnya itu waton mangap
(asal ngomong) saja. Masa, 5 kg gabah tidak bisa untuk beli 1 kg pupuk. Itu kan
gendeng (gila).”
Akibatnya, kehidupan petani menjadi terancam dan kemiskinan pun menghantuinya. “Petani mengalami kerugian, karena harga produksi mencapai Rp. 2.300,- sementara harga jualnya cuma Rp. 1.800,-,” kata Dr. Suhardi, Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia DIY. Kemiskinan petani sepertinya tidak terelakkan lagi, ketika kebutuhan hidup semakin banyak sementara harga barang-barang kebutuhan pokok terus melonjak naik.
Memang ironis keadaan petani di kita ini, padahal kita katanya negara agraris tetapi mayoritas petaninya hidup di bawah garis kemiskinan. “Pasti ada yang tidak beres dan salah dalam kebijakan politik pertanian kita,” begitu kata Ir. H. Sudiro. Kemudian Kepala Dinas Ketahanan Pangan Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) yang juga menjadi Ketua HKTI Kabupaten Ngawi ini melanjutkan, “setiap menteri hampir bisa dipastikan ada pergantian pola kebijakan, sehingga di samping membingungkan juga banyak hal yang tidak jalan. Memang sangat konyol, negara agraris kok tidak mempunyai kebijakan pangan yang berkelanjutan.”
Kemiskinan petani di Indonesia, selain ada yang bersifat kultural --yakni kemiskinan yang terjadi karena nilai-nilai budaya dan pandangan hidupnya yang tidak memberikan etos kerja kepada para petani-- juga ada yang bersifat struktural. Kebijakan pemerintah yang ngawur dalam perlindungan harga jual hasil pertanian yang tidak menguntungkan petani maupun regulasi lainnya yang tidak memihak kepentingan petani merupakan faktor-faktor struktural yang menyebabkan terjadinya kemiskinan di kalngan petani.
“bagaimana tidak? Sudah tahu negara kita 80% adalah petani dan sudah sangat sulit menjual gabah dan berasnya karena terkadang over produksi, e e eh malah banyak kapal yang berisi beras dari luar negeri disuruh masuh dan memenuhi pasar beras kita. Kebijakan itu kalau tidak dikatakan ingin memiskinkan petani, mau dibilang apa lagi?”
Pemerintah tidak Berpihak
Apa yang dikatakan diungkapkan oleh Pak Rahmat tadi memang bukan mengada-ada atau mendramatisir masalah. Karena pada kenyataannya bukan saja beras yang diimpor, tetapi juga daging, telur, buah-buahan, gula, dan hasil pertanian lainnya. Negeri ini memang lucu, maksudnya pemerintah yang ngurus negeri ini tidak punya sensitivitas kemanusiaan. Sudah dikaruniai oleh Tuhan dengan tanah yang subur dan letak geografis yang strategis, tetapi tidak dikelola secara baik dan jujur. Akibatnya, tanahnya memang subur, tetapi petaninya tidak makmur. Berarti pemerintah tidak berpihak kepada para petani.
“Saya sama sekali nggak mudheng (tidak paham) dengan jalan pikiran pemerintah kita yang suka mengimpor produk pertanian itu. Orang paling bodoh pun tahu kalau itu tidak masuk akal. Tetapi kok ya dilakukan,” ujar Pak Rahmat tanpa bisa menyembunyikan rasa heran dan sekaligus rasa jengkelnya terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan para petani di negeri ini.
Kalau dibandingkan dengan tahun ’80-an sampai awal ’90-an, tampaknya nasib dan kehidupan para petani relatif lebih baik dan lebih makmur. Seperti yang diungkapkan oleh Dr. Dibyo Prabowo, “dua puluh tahun yang lalu nasib petani lebih enak daripada sekarang. Waktu itu ada anggaran besar dari pemerintah untuk bidang pertanian. Infrastruktur diperbaiki, pengairan bagus, teknologi pertanian diperkenalkan, varietas unggul diberikan, kredit dan penyuluhan disediakan, pasar terjamin.”
menyebabkan keterpurukan petani, karena pasar global dikuasai oleh mereka yang memiliki modal, sehingga mereka bisa menetukan harga termasuk upah buruh,” kata Rahman Rosyidi, staf LPPSLH Purwokerto.
Anehnya, pemerintah sendiri dalam menghadapai masalah ini bukannya memperkuat basis pertanian dan meningkatkan mutu, tetapi malah justru membuka keran impor hasil pertanian yang semakin merugikan para petani. Tampaknya pemerintah harus dipaksa untuk menghentikan impor hasil pertanian, sebagai upaya untuk memperbaiki nasib dan kehidupan para petani.
Dikatakan oleh Dr. Ir. Lala Kolopaking, sampai sekarang kebijakan pemerintah itu tidak berbasis pada komunitas petani yang langsung menyentuh kebutuhan-kebutuhan para petani. Dengan panjang lebar Ketua Jurusan Sosial Ekonomi IPB ini menjelaskan, “dibandingkan negara-negara lain di Asean, Indonesia sudah sangat jauh ketinggalan. Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sering berjalan sendiri dan tidak memberikan solusi. Di sektor pertanian pangan, pemerintah belum memberikan perlindungan yang maksimal seperti yang sudah dilakukan negara-negara lain. Bahkan di sektor perkebunan, sama sekali tidak terlihat upaya-upaya yang signifikan.”
Dalam hal ini, seperti yang dikatakan oleh Drs. H. Anwar Abbas, MM, M.Ag., dibutuhkan kemaun politik (political will) dari pemerintah untuk melindungi petani. “Di manapun di dunia ini, termasuk negara-negara maju, yang namanya petani itu dibela dan dilindungi oleh pemerintah dalam hal pembuatan kebijakan yang berpihak. Masalah petani di Indonesia saat ini tidak bisa dilepas begitu saja dalam pasar bebas, apalagi permainan dalam pasar global itu tidak lepas dari kecurangan,” demikian pendapat anggota Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah ini.
Direktur Lembaga Pengembangan Potensi dan Keswadayaan Babad Purwokerto ini menegaskan, “pertama, secara bersama-sama memecahkan persoalan dengan memberdayakan ekonomi petani; kedua, melakukan advokasi untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintah agar berpihak kepada para petani.
Langkah operasional yang bisa dilakukan untuk memberdayakan petani adalah seperti yang diusulkan oleh Dr. Suhardi, yang disebutnya dengan mempertinggi keuntungan dan mengurangi kerugian secara maksimal pada setiap hektar tanah. Ketua HKTI DIY yang juga menjadi Dosen di Fak. Kehutanan UGM ini mengemukakan beberapa usulnya, “1) Petani tidak hanya menanam padi, tetapi juga ganyong, gembili, dll. 2) Petani juga mengusahakan peternakan atau perkebunan. 3) Melakukan penanaman vertikal, yaitu pada ketinggian paling atas ditanami buah-buahan dan coklat, kemudian diikuti tanaman pangan, dan seterusnya umbi-umbian. 4) Memproduksi pupuk sendiri, yakni pupuk kandang.”
Melihat beratnya masalah pertanian dan nasib para petani, maka pemerintahan yang kuat cerdas, jujur, dan berani sangat dibutuhkan untuk membela sebagian besar penduduk di negeri ini. Figur pemimpin bangsa yang punya sensitivitas kemanusiaan dan kepedulian terhadap nasib rakyat kecil yang diharapkan bisa mengangkat martabat dan kehidupan para petani. Seperti yang dikemukakan oleh Prof. MP Lumban Tobing, Ketua HKTI Sumatera Utara dan Dosen Fak. Pertanian USU, “pencalonan Dr. Ir. H. Siswono Yudo Husodo sebagai wakil presiden untuk mendampingi calon presiden Prof. Dr. HM Amien Rais, dapat memberikan harapan untuk menyejahterakan kaum petani.”
Sumber: