E D I S I J U L I
KAU DAN TITIK BALIK DALAM HIDUP Das L(i)eben RESENSI BUKU: TASAVVUF VE MODERN BILIM PELANGI PUTIH Nol
Oleh: Hanifatul Rahmah
Oleh: M Muafi Himam
Oleh : Ahmad Sidqi Oleh: Dina
Puisi oleh: Zulfikri
Salam sejahtera dan bahagia
Hidup seseorang memiliki banyak rasa. Rasa akan
kebahagiaan maupun kesedihan. Hal ini terkait dengan
bagaimana cara seseorang untuk memutuskan, akankah
ia ingin bahagia atau bertahan dalam kebingungan. Seperti
halnya dengan seorang pengembara yang kelaparan yang
harus terpaksa melewati padang pasir yang tandus. Begitu
kekeringan dan tak berdaya. Seolah ia tak menemukan
ujungnya. Namun, akankah ia terus melangkah menemukan
arah atau hanya berdiam diri menunggu seseorang untuk
menjemputnya dan membebaskan dari rasa kelaparannya?
Semua itu tergantung dengan seberapa besar keinginan kita
untuk mengubahnya.
Ada pepatah mengatakan, “ kita tidak akan pernah bisa
mengubah masa lalu, tapi kita bisa menentukan pilihan untuk
masa depan kita”.
Coba kita renungkan, bagaimana kita bisa menentukan
pilihan untuk masa depan jika kita sendiri tak pernah mengalami
perubahan? Perubahan hidup yang membuat kita sadar akan
hal yang lebih baik? Perubahan yang diawali dengan hal yang
menyakitkan ataupun sebaliknya. Begitulah kita mengenal
dengan istilah titik balik.
Ya !! kini kita bercerita tentang titik balik. Titik balik, saat
hidup berada dititik nol, namun kita tetap mampu bangkit
dan berusaha. Titik balik, dimana tantangan dan harapan
bergulat menjadi satu tanpa jeda dan menghasilkan sebuah
jawaban. Ketika hidup mengecewakanmu dengan harapan
yang tak tercapai, mungkin itulah setitik jawaban yang
mampu menyadarkan bahwa hidup itu seperti roda yang akan
membawa kita merasakan betapa landai dan terjalnya jalan
hidup kita.
Bersama titik balik, semoga kita mengerti bahwa hidup itu
penuh dengan perjuangan. Semoga para pembaca berkenan.
Terima kasih,
Penanggung Jawab,
Nisa Maulida
YA!
Yaşayalım Anlatalım
Edisi Ke-Empat
Juli 2017
Buletin oleh PPI Bursa.
Penanggung jawab:
Nisa Maulida
Pemimpin redaksi:
Muafi Himam
Editor:Zulfikri, Noor Fahmi Pramuji
Dewan Redaksi:Dina, Intan Popy Rinaldy, Teuku
Muammar Rizki Taqwa, Hanifatul
Rahmah
Ilustrasi kover:
Vichi Sicha
Layout:
Maestro Trastanechora
Kritik saran silahkan dilayangkan ke
A
ku menebak-nebak apa yang kau pikirkan saat itu, ketika melihatmu duduk di bawah pohon sambil menikmati senja. Cuma menerka dari jauh. Aku enggan bergeming dari tempat dudukku, memperhatikan tatapanmu yang terpekur. Takut mengganggumu yang sedang bercengkrama dengan pikiran-pikiran. Aku mengenalmu sudah begitu lama, sampai tidak heran lagi melihatmu rutin duduk di tempat yang sama dan waktu yang hampir sama setiap harinya.Kemarin, saat aku diam-diam membuka buku yang selalu kau sembunyikan di laci meja belajarmu, aku terhenti pada halaman dimana kau selipkan pulpenmu pertanda kamu baru saja menuliskannya. Tidak banyak yang kau tulis di halaman itu hanya sebaris kalimat. Kalimat seorang sufi dari negara dua benua yang selalu kau kagumi itu. “Her şey üstüne gelip seni dayanamayacağın bir noktaya getirdiğinde, sakın vazgeçme! İşte orası kaderinin değişeceği noktadır.” Ketika hidup membawamu pada suatu titik yang membuatmu merasa sudah tidak bisa bertahan lagi, jangan menyerah! Itulah titik dimana takdirmu akan berubah. Apa saat ini kau sedang memikirkan kata-kata itu?.
Kau selalu mengumpamakan hidup seperti grafik dengan dua sumbu x dan y. Menurutmu, sumbu x itu niat, sedang sumbu y adalah jalan yang diambil untuk melaksanakan niat. Sumbu yang membagi hidup menjadi empat kuadran sempurna. Kau memulai hidup dari kelahiran yang dimulai dari titik nol, nol naik dan turun mengikuti setiap peristiwa dan pilihan-pilihan hidup yang diputuskan. Kemudian, ketika grafik mencapai puncaknya, entah puncak teratas atau terbawah mungkin itulah saatnya berhenti, melihat ke belakang dan kembali merenungi langkah. Kau selalu menyebut titik itu sebagai titik balik hidup. Titik yang mengubah
KAU DAN TITIK BALIK
DALAM HIDUP
Oleh: Hanifatul Rahmah
Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalım Edisi Juli
banyak hal, merubah sudut pandang, memperbaiki, merenovasi, membangun, atau terkadang malah menghancurkan.
Katamu, menemui titik balik seperti bertemu dengan teman lama yang mengingatkanmu kembali tentang hidup, mengenang tiap pahit manisnya. Seperti menemui seorang guru yang mengajak berpikir kembali, mentafakkuri pilihan-pilihan yang diputuskan dan dampaknya pada diri sendiri, mengajak untuk kembali meluruskan atau memperbaiki niat. Seperti menemui seorang ibu yang menasehati untuk mengubah arah, atau terkadang menguatkan ikatan tali di ujung layar-layar kapal yang perlahan mulai goyah lalu meneruskan langkah dengan lebih gagah. Akan tetapi, kau juga ingatkan aku bahwa terkadang menemuinya juga tak selalu indah, seperti menemui seorang algojo yang tak berhenti memecut, memaksa untuk berpindah haluan sambil menahan sakitnya tali pecut bertemu kulit. Katamu, aku bebas memaknainya apa karena satu kata tak selalu membawa satu rasa yang sama.
Aku ingat saat kau menceritakan padaku salah satu kisah inspiratif dari tokoh yang kau baca dari buku biografi, hadiah kakakmu yang selalu ikut bersamamu dimanapun pergi. Siapa yang menyangka, seorang gadis Afrika-Amerika dari sebuah kota kecil di Mississippi, Amerika Serikat bernama Oprah Gail Winfrey akan menjadi seorang presenter televisi dan produser terkenal saat itu?, katamu dengan berapi-api membuka cerita. Dia lahir dari sebuah keluarga broken home dan mengalami masa remaja yang bermasalah. Diusia yang masih dini, dia juga mengalami pelecehan seksual oleh keluarga laki-laki dan teman-teman ibunya. Pertemuan kembali dengan sang ayah mungkin adalah titik balik dalam hidup Oprah. Sang ayah merupakan seorang koki dan pebisnis, memberinya
semangat untuk bersekolah, memotivasinya kembali ketika dunianya hampir kacau. Dia mendapatkan kembali kepercayaan diri, lalu kembali membuktikan dirinya. Dengan dukungan sang ayah, satu demi satu prestasi diukir oleh seorang Oprah muda. Di usia 22 tahun, Oprah yang saat itu berkuliah di
Tennessee State University, mulai bekerja dibidang radio dan televise. Kemudian menjadi pembawa acara show sukses Amerika, yang acaranya terus mempertahankan popularitas sejak tahun 1986-2011. Kata Oprah, when there is no struggle there is no
strength, ketika tidak ada perjuangan, maka tidak ada
kekuatan. Aku hanya mengangguk sok tahu saat itu, setengah mengerti, setengah tidak, tapi tentu saja aku tak pernah ingin terlihat bodoh di hadapanmu, takut kamu mencemoohku. Tetapi, sekarang sepertinya aku mengerti.
Titik balik adalah sebuah jawaban dari tantangan. Ketika hidup mengecewakanmu dengan harapan-harapan yang tak tercapai. Saat kau dihentikan oleh banyaknya hambatan yang ragu untuk kau terjang. Mungkin setitik jawaban itu bisa ditemukan di dalam dirimu sendiri. Titik balik yang menyeimbangkan. Menyatukan kembali akal dan hati, kemudian mengingatkan diri akan keyakinan. Bahwa, Sang Pencipta tak akan pernah memberi lebih dari yang sanggup dipikul ciptaanNya. Pada akhirnya, kita harus sadar bahwa hidup adalah tentang menghadapi segala peristiwa yang terjadi, mengambil pelajaran, dan melangkah maju. Ketika kau memilih diam ataupun berjalan dengan keputusan, roda waktu tetap berputar. Apakah setelah menghadapinya kau ingin berlayar lurus dengan memperkuat ikatan-ikatan layarmu, ataupun berputar merubah arah. Namun, menemui titik balik dalam hidup adalah sebuah keniscayaan.
Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalım Edisi Juli
2
PELANGI PUTIH
Oleh: Dina
“Cinta bukan sekadar harta milik sepasang kekasih. Cinta adalah darah yang mengalir dalam jiwa yang menyayangi. Nafas yang berhembus dari insan yang mengasihi.”
I
ni memoriku tentang dia. Tentang jemari-jemari kecil yang sangat mahir mengusap air mata, sehingga tak ada yang tahu tangisannya. Tentang bibir mungil yang sangat pandai melukis senyum, sehingga orang-orang gembira pada senyum manisnya dan lupa akan duka di relung dadanya. Tentang sosok seperti tokoh Heidi yang bahagia dengan kasur jeraminya. Inilah memoriku tentang Pelangi, memori yang mengajarkanku bahwa hal yang paling indah adalah: dapat memasuki dunia seseorang, menyentuh bahu, menghapus air mata dan menemaninya menatap bintang. Malam itu, hanya ada rahasia Pelangi yang ditumpahkan dari dasar hati, suara jangkrik yang menambah sunyi. Pelangi mengantarkanku menuju titik balik.Namanya bukan Pelangi. Tapi, aku mengingatnya dengan nama itu. Aku memiliki memori khusus untuk menyimpan seluruh kenangan dirinya. Darinya aku belajar banyak hal yang tidak aku dapat di bangku sekolah. Ia mengajarkan alasan kedua manusia hidup setelah bernyawa, yaitu cinta.
Saat itu aku berumur 17 tahun. Gadis kecil itu berusia 12 tahun kurang empat bulan. Tak ada yang istemewa dari seorang Pelangi, menurut cerita yang aku dengar dia juga
baru kehilangan kedua orang tuanya. Sama sepertiku tiga belas tahun yang lalu. Sekarang, bibinya akan menempatkan dia di sini, entah apa alasan sang bibi. Mungkinkah faktor ekonomi? Atau faktor tak
ingin? Aku juga berfikir siapa sih yang mau mengurus anak yatim
piatu yang tidak membawa sedikit pun harta warisan. Entahlah… Mungkin aku berfikir tempat ini lebih baik bagi orang-orang seperti kami; aku dan Pelangi. Disini aku menemukan orang-orang mencintai bukan karena darah, tapi karena pemahaman dan mungkin karena Tuhan.
Gadis kecil itu satu kamar denganku. Tentunya, sebagai kakak kamar aku diberi tanggung jawab untuk membimbing Pelangi. Hanya ada satu tas punggung kecil bersamanya. Bibi dan pamannya pergi begitu saja tanpa mengecup atau memeluk gadis itu. Mungkin, menurut orang normal akan aneh perpisahan seperti ini, bagiku tidak. Beberapa kali aku melihat peristiwa ini. Sambil berjalan ke kamar, Pelangi terus tersenyum padaku, “sekarang, saya ini adalah kakakmu” aku membalas senyumnya. Manis.
Pelangi yang aku kenal di tempat penerimaan murid baru sangat berbeda dengan Pelangi yang ada di kamar ini bersamaku, matanya tak redup lagi. Dari beberapa adik kecil yang kutemui Pelangi sangat mandiri, siang hari waktunya dihabiskan di perpustakaan asrama, tak jarang aku mendapatinya tertidur di sela-sela rak buku. Di usia yang begitu dini ia sangat teratur merapikan tempat tidur, mencuci baju dan sangat hemat menyimpan uang jajan bulanan yang diberikan asrama. Padahal aku begitu sering cerewet pada adik-adik lain agar mau belajar, cuci baju, tak jarang harus bermain kejar-kejaran untuk menyuruh mereka membersihkan tempat tidur atau sekedar mandi. Mungkinkah Pelangi sadar kalau bukan dirinya, siapa lagi yang akan berjuang untuk kehidupannya?. Beginikah cara berfikir anak berumur 12 tahun?. Entahlah, aku baru memulai masuk ke dalam ceritanya.
Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalım Edisi Juli
Malam itu takbiran Idul Adha bergema di langit Aceh. Aku sudah terbiasa tidak pulang ketika Idul Adha. Aku lebih banyak “memahami” di sini. Biasanya hanya tinggal 10-13 anak yang merayakan Idul Adha di asrama dengan berbagai alasan. Ummi-Abi dan beberapa karyawan asrama (pembina, tukang masak, dll) juga ikut merayakan hari raya di asrama. Dalam alunan takbir yang selalu mengingatkan pada mereka-mereka yang t e r c i n t a , malam itu aku melihat Pelangi duduk sendiri di taman. Menatap langit m a l a m yang sedikit berawan, sesekali tangannya yang ditutupi mukena biru muda
menyapu kedua pipinya. Ia sedang menangis. Untuk pertama kalinya aku melihat Pelangi menangis di luar kasur. Saat aku datang, ia mencoba “biasa”. Tapi, malam itu sepertinya dia tak sanggup lagi menampung segalanya di bahunya yang lemah. Semua kepedihan tumpah bak sungai deras, mengalir kedalam dadaku mengaduk rasa kasih sayang. Juga mengingatkan aku akan kebesaran Tuhan. Malam Idul Adha itu dari Pelangi aku kembali belajar memaknai cinta. Pelangi adalah titik balik pertama dari episode hidupku yang bisa saja berhenti tiba-tiba.
Pelangi kehilangan orang tuanya, lebih tepat lagi; seluruh keluarganya dalam kecelakan menuju kampung halaman. Dari seorang ayah pengangguran dan ibu yang tidak punya pekerjaan tetap tak ada seribu rupiah pun yang dapat diwariskan kepada gadis itu. Gadis itu diserahkan ke keluarga bibi yang dingin terhadapnya, inilah satu-satunya saudara yang dia miliki. Dia bertahan dalam diam saat dimarahi karena alasan-alasan kecil, di keluarga ini dia hidup dalam ketiadaan sampai sang bibi mengirimnya ke dalam dekapan asrama ini, dengan satu tas punggung dan uang 20 ribu.
Walaupun satu bulan sekali diberi kesempatan pulang, aku tak pernah melihat Pelangi p u l a n g , waktu libur pun aku habiskan bersamanya. Suatu sore, satu hari menjelang Idul Fitri aku mendapati Pelangi duduk di teras mesjid menanti jemputan
bibinya. Sudah dari siang aku melihatnya rapi dengan jilbab putihnya. Sampai sore pun jemputan tak kunjung datang. Sebenarnya, hari ke-15 Ramadhan semua santri diperbolehkan pulang. Ya,
lagi-lagi kami memilih pulang terlambat, sedikit merepotkan ummi-abi
yang tak pernah merasa direpotkan. Kaki kurusnya terlihat resah menanti jemputan tak kunjung datang mendekati magrib. Aku pun menyarankannya untuk tidak menunggu, setelah meminta
abi mengirim pesan ke bibinya aku mengantar Pelangi ke terminal dan menjelaskan jalan ke rumahnya, dulu bersama pihak asrama, kami pernah bersilaturrahmi ke rumah bibinya. “Jangan takut, ingat selalu kata ummi ‘, Allah bersama kita” pesanku padanya.
Menjadi yatim-piatu adalah titik balik yang sangat sulit bagi Pelangi. Ibarat kapal karam sebelum ia belajar berenang, bagaikan sayap patah sebelum ia belajar terbang. Namun, dia harus tetap bertahan, karena dia masih berada di roda kehidupan yang terus menggilas. Sadar akan keadaan dirinya, Pelangi kecil terus berjuang. Dia tersenyum, dia tak iri, dia hangat, dia ingin belajar. Seperti saat melihat pelangi manusia bersuka cita, melihat gadis ini pun membuat aku bahagia. Karena itu, kunamai dia Pelangi. Walaupun jauh aku suka mengirim surat padanya, karena asrama tak membolehkan membawa handphone. Melalui teman-teman yang pulang kampung ke Aceh aku melayangkan suara, “Teruntuk Pelangi, terus jaga kebersihan hati karena Tuhan bersama hati-hati yang bersih”.
“Kakak, apa dosa saya sehingga takdir Tuhan saya lahir sebagai aib keluarga?”, dia membalas suratku dengan satu pertanyaan ini. Kalimat ini cukup membuatku mengerti mengapa tak ada yang menjemput Pelangi ketika libur, mengapa tak pernah ada kiriman dari bibi buat gadis ini.
Bukan karena dosa, tetapi karena Tuhan sangat mencintaimu, Pelangi. Dia sangat mencintaimu. Sangat ingin aku berada di sisinya, memeluknya, menjadi teman air matanya, Pelangi Putih.
Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalım Edisi Juli
4
RESENSI BUKU: TASAVVUF
VE MODERN BILIM
Oleh: Ahmad Sidqi
Judul Buku : Tasavvuf Ve Modern Bilim Penulis : Mehmet Bayrakdar Tahun Terbit : 2016
Jumlahhalaman : 120
Bahasa : Bahasa Turki Penerbit : Insan Yayinlari Kota Penerbitan : Istanbul ISBN : 9755748078
Manusia merupakan makhluk unik yang diciptakan oleh Tuhan. Kemampuan rasional khas manusia memang mengagumkan, namun disisi lain juga mengerikan. Di dalam kehidupan, manusia memiliki berbagai macam persoalan yang timbul dari kekuatan rasio tersebut. Permasalahan besar yang dihadapi manusia terkait dengan kekuatan rasio dan dorongan hasrat kepentingan tersebut diantaranya adalah rasionalisme ekstrem, kecenderungan materialistik, profanitas, serta penegasian terhadap dimensi spiritual dalam ajaran agama dan berketuhanan. Akhirnya, manusia terjebak dalam ruang baru yaitu nihilisme (kekosongan makna), adalah ketika bentuk peradaban modern mengarahkan manusia semakin menjauhi pemahaman tentang ”realitas ultim”, yakni Tuhan.
Rasionalitas manusia menjadi Tuhan baru. Hal ini membawa dampak krisis spiritual dan krisis sosial pada manusia. Krisis spiritual dapat berdampak pada manusia tidak lagi beragama dan tidak bertuhan (atheis),
sehingga manusia tidak meyakini agama, namun masih percaya pada adanya Tuhan (agnostik). Sedangkan dampak krisis sosial berupa, peperangan, ketidakadilan dan penindasan terhadap “yang lain” (the others).
Tetapi di sisi lain, ilmu pengetahuan juga mendatangkan kegelisahan pada jiwa manusia dan secara bertahap menghilangkan perhatian manusia terhadap spiritual dan etika.
Ilmu pengetahuan dan teknologi yang dianggap sebagai kekuatan pendorong (driving force) bagi proses modernisasi telah mengakibatkan semakin tingginya derajat rasionalitas manusia modern. Rasionalitas inilah yang kemudian menjadikan kebebasan menjadi isu utama modernitas. Pembahasan berikutnya adalah tentang mistik yang berasal dari kata mystes atau misterio, berarti rahasia, sehingga mistisisme bermakna ”ajaran yang bersifat rahasia”. Kerahasiaan terutama terlihat dalam istilah; kesadaran adanya hubungan langsung dengan Tuhan. Kesadaran adalah demikian dalamnya sehingga kehadir¬an Tuhan terasa begitu langsung. Pada awalnya, istilah mistik digunakan di dunia Barat oleh seorang teolog yang bernama Dionysius. Menurutnya, mistik cenderung bersifat pernyataan teologis daripada suatu pengalaman kesadaran terdalam. Namun, sejak saat itulah mistisisme lebih bersifat teori religius berupa suatu sistem yang menunjukkan bahwa Tuhan selain bersifat transenden, juga mengatasi akal, pemikiran, pena¬laran. Dalam pemikiran Neo-Platonis, mistisisme merupakan kepercayaan bagi kemungkinan persatuan dengan Tuhan, melalui cara exstatic-contemplation; Sesuatu yang sangat esoterik, genostik, lebih bersifat pengetahuan ketuhanan, yang tidak mumpuni (capable) bagi suatu verifikasi. Di sisi lain, mistisisme dipakai untuk mengistilahkan gejala psikis, gaib atau fe¬nomena yang tidak menentu.
Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalım Edisi Juli
Dalam arti istilah, Tasawuf bisa disamakan dengan mistik, yaitu suatu metode bagaimana manusia ingin mencapai hubungan mesra dengan Tuhan. Di dalam Islam, aspek mistik itu dikenal dengan nama Tasawuf atau Sufisme. Para ahli Tasawuf memberikan pengertian yang berbeda-beda dalam mendefinisikan Tasawuf. Tasawuf adalah sisi batin dari agama. Tasawuf bukan penyikapan pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial. Tasawuf sebenarnya mempunyai peranan cukup besar didalam mewujudkan sebuah “revolusi spiritual” di masyarakat.
Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa sejarah zaman modern mengungkapkan bahwa sains diklaim sebagai pengetahuan yang paling “megah” karena mampu mengungkap¬kan sebuah hakikat yang luar bia¬sa, melampaui kepercayaan-kepercayaan primitif. Meskipun demikian, dengan tawaran kecil atau sederhana sekalipun, mistisisme mampu menciptakan sebuah sudut yang benar, yang mampu mengarahkan kepada sebuah dimensi yang sepenuhnya baru, yakni berkenaan de¬ngan kualitas-dalam hal ini terkait pengalaman kualitatif-, jadi bukan sekadar abstraksi.
Melalui gambaran di atas, manusia modern yang pada awalnya sombong dengan kerasionalan. Pada akhirnya terpaksa mengakui bahwa rasio yang dibanggakan ternyata lebih berbahaya dari dogma-dogma abad pertengahan yang dulu dianggap sebagai benalu sejarah manusia. Ini adalah gambaran lain ketika pemahaman keduniawian menjadi orientasi mutlak manusia modern yang didukung oleh rasio. Tentunya hal ini menjadi catatan tersendiri bagi mistisisme dengan doktrin ketuhanan yang melingkupi semesta. Bahwa lingkungan pun semakin dieksploitasi secara besar-besaran. Sehingga tidak ada yang tersisa selain bumi yang meranggas dan lingkungan yang telah berubah menjadi monster.
Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalım Edisi Juli
6
Das L(i)eben
1
Oleh: M Muafi Himam
Hamparan sawah yang kulewati cukup indah saat terik senja mendarat tepat di tengahnya. Aku baru sampai di Wotzendorf, setengah jam perjalanan dari kota asalku. Jalanan lenggang, namun bus yang kutumpangi berjalan pelan, membiarkan para penumpang menikmati pemandangan sore ini. Hamparannya berwarna. Beberapa ada yang masih hijau, beberapa yang lain telah menguning. Di ujung sana, dua-tiga petak telah kosong, berganti tanah basah. Kupandanginya dari kejauhan. Ia memanggil, aku tenggelam ke dalamnya.
“Akan selalu ada kegilaan dalam hubungan kita. Tapi aku percaya, tiap kegilaan punya alasan,“ ucapku berat, mengutip Nietzsche. Aku mencoba memeluknya, tapi dia membatu. “Inilah kita. Ia tak perlu alasan untuk bersama,” pelan sekali bisiknya, tanpa membalas pelukku.
Aku mulai merasakan keegoisannya, dan aku tak suka. Masih pekat ingatanku pada Prof. Zimmermann dengan suara baritonnya yang menjelaskan buah pikir Sartre. “Cinta sejati,“ katanya di kelas Moral and Philosophy, “bisa terjadi ketika sepasang kekasih memiliki rasa yang dalam untuk saling menghormati kebebasan mereka. Tak menganggap kekasihnya sebagai obyek yang harus dimiliki seutuhnya.”
“Makanya, cinta bukanlah untuk mencari pasangan. Namun dengannya, kita menyelami diri lebih dalam,” lanjutnya.
“Komitmen total dalam sebuah hubungan?. Proporsi yang tak masuk akal!” kata Zimmermann di sesi lain. “Keadaan selalu berubah, begitu pula orang-orangnya. Seharusnya tema komitmen juga menyesuaikan keadaan. Lebih fleksibel.” Keseringan mengikuti kelas Zimmermann membuatku semakin setuju isi ceramahnya. Jangan-jangan karena ini, aku mulai menimbang kembali hubunganku dengannya.
Kernet mengumumkan sesuatu. Bus tiba di Bamberg. Masih tiga jam lagi perjalananku. Kubuka notifikasi
Facebook, muncul dua pemberitahuan tentang event musik di kampus menyambut musim panas. Minggu kemarin juga diselenggarakan acara yang hampir sama. Aku hadir saat itu, duduk nyaman di depan mencoba sejenak melupakan tentangnya. Salah memang, mencoba melupakannya. Namun, untuk saat ini, melupakan sejenak adalah cara untuk tertawa. “Karena hari yang paling sia-sia adalah hari dimana kita sama sekali tak tertawa!” bentak Nicholas Chamfort pada isi kepalaku keras sekali. Aku kaget, ia terbahak.
Musik mengalun cepat, selaras senja yang bergegas menyambut malam. Iringan musik sama sekali tak menimbulkan tawa, malah sendu. Pikiranku berkecamuk. “Kau tak pernah sungguh-sungguh mencintainya!” giliran Lennon menyentakku, “rasa yang kau berikan padanya tak sebesar yang kau harapkan darinya. Perbaiki rasamu.”
Aku mulai merenggang darinya saat situasi batas mulai membenturku. Aku menderita, tapi dia tak terlihat peduli. Aku berjuang di tengah bencana, dia diam saja. Pernah sekali kutanya, tak adakah lagi kepekaanmu padaku?.
“Bagaimana aku ikut campur? Engkau tak pernah mau membicarakannya, jawabnya jujur.
“Engkau selalu merasa masih bisa berdamai dengan pikiranmu. Engkau merasa bisa mengatasi semua. Padahal, aku selalu menantimu untuk berbagi denganku. Aku selalu menunggumu tiap hari di sini, menatapmu. Aku-lah yang pertama melihatmu saat engkau datang, lantas duduk di pojok ruangan. Merasakan aromamu saat aku masuk ke ruangan yang baru saja engkau tinggalkan. Menjadi familiar dengan caramu menempelkan
1Das Leben: hidup, Das Lieben: cinta Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalım Edisi Juli
kedua bibirmu, caramu membentuk senyum yang perlahan,” katanya panjang.
“Ada lilin di hatimu yang siap untuk dinyalakan. Ada kehampaan di kalbumu yang siap untuk diisi. Engkau merasakannya, bukan?”
Aku tak mampu menyambut ucapannya. Ia benar, aku terlalu larut dalam kecamuk pikiranku sendirian. Banyak orang takut akan lukanya. Lalu tenggelam dalam kesemuan. Bagi sebagian, sukacita adalah segalanya: ia membahagiakan. Bagi yang lain, dukacita bernilai lebih besar: ia mengingatkan. Mungkin, keduanya memang tak dapat dipisahkan. Saat salah satunya sedang duduk bersamamu di ruang tamu, ingatlah, yang satunya lagi sedang menunggu di kamar tidurmu.
Malam telah merambat saat bus mulai memasuki perkotaan Würzburg. Kecepatan bus menurun, menandakan Würzburg adalah kota besar. Bus melewati Magdalene straße, jalan di mana Julius Maximilians Uni-Würzburg berada. Di depannya berdiri kokoh bangunan empat tingkat bergaya Prusia, sebuah perpustakaan utama. Beberapa mahasiswa berhamburan pulang dengan sepeda masing-masing. Baru kemarin sore, di depan perpustakaan kampus kami, aku berpisah darinya.
“Jika engkau mencintai seseorang, biarkanlah ia pergi. Jika ia kembali, mungkin ia memang milikmu. Namun jika sebaliknya, ia mungkin bukan untukmu,“ kugenggam dalam-dalam telapak kanannya, meyakinkannya.
“Kemana engkau akan pergi?” Ia masih ragu.
“Tak tahu. Perjalanan mungkin akan membawa kembali kekuatan dan cinta pada kehidupan.”
Ia menggeleng. “Jangan paksakan dirimu untuk menemukan kembali cinta dalam perjalananmu. Ia juga tak akan menemuimu. Cinta ada pada dirimu. Ia bersamamu kemanapun engkau pergi,” katanya.
Aku diam saja. Sudah saatnya pergi. “Aku mencintaimu. Aku tahu engkau pun begitu. Jangan ciptakan ikatan di antaranya. Biarlah ia menjadi lautan yang bergerak di antara tepi jiwa kita. Aku pergi dulu.“
Keluar dari daerah perkotaan, bus mulai menambah kecepatannya. Ia merayap stabil. Aku pun mulai terlelap. Ponselku bergetar, sebuah pesan singkat masuk.
“Aku tahu engkau sedang lelah, namun datanglah. This is the way.”
Aku mulai ragu. Ia terlalu mencintaiku. “Perpisahan hanyalah bagi yang saling mencintai sebab apa yang mereka lihat. Bagi jiwa dan kalbu yang saling mencinta, tak ada kata berpisah,” katanya suatu hari. Cinta begitu absurd. Begitu juga sumbernya: hidup. Semua tahu, hidup mengandung segala probabilitas; kecewa, derita, luka, gagal. Juga bahagia, harapan, dan tentunya cinta. Kata Camus, hidup terasa absurd karena tak sepenuhnya terpahami.
Manusia hanya perlu menerima, bahwa absurditas adalah fakta. Sebab penderitaan adalah hadiah Tuhan. Di dalamnya tersembunyi kemurahan hati. Tiap kekecewaan melapangkan dada. Tiap derita mampu menumbuhkan empati. Tiap kegagalan menjadi pembelajaran. Manusia menggedor pintu rumahnya tanpa henti, ia ingin segera membukanya, mencari tahu segala isi rumahnya. Yang tak disadari, ia sedang berada di dalam rumahnya sendiri. Man muss das Leben lieben, um es zu leben. Cintailah hidupmu. Perjuangkan cintamu pada hidup.
Bus yang kutumpangi berhenti di tujuannya. “Dan kau,” bisik Rumi padaku, “Kapan kau akan mulai perjalanan panjang menuju dirimu yang sesungguhnya?“
Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalım Edisi Juli
8
Kicauan
Dirangkum oleh: Intan Popy Rinaldy .Senyum
Saat ini hanya dua hari saja aku tak melihat senyumnya, Sabtu dan Minggu. Berharap suatu saat nanti senyumnya akan menjadi halal
bagiku. (Asti)
Kamu
Aku adalah ‘Kamu’ bagimu, dan kamu adalah ‘Kamu’ bagiku. Kita sama-sama ‘Kamu’ ketika kita sebagai ‘Aku’ karena aku adalah ‘Kamu’ untukmu dan kamu adalah ‘Kamu’ untukku.
(Vichi)
Kopi
Ibarat kehidupan, manis pahitnya tergantung
bagaimana kita menikmatinya. (Winda)
Niat
Semuanya berawal dari niat. Niat yang baik akan membuahkan hasil yang baik juga. Tak lupa diiringi dengan usaha dan doa untuk hasil
yang sempurna. (Iman)
Ayah
AYAH, Ada cinta yang tak terhingga. Ada
hampa hidup tanpanya. (Fakhrun)
Waktu
Tanganmu bisa merebut hari ini tapi tidak hari esok, dan pikiran-pikiranmu tentang hari esok tidak lain adalah nafsu. Jangan buang-buang nafas ini, kalau hatimu tidak gila, karena sesungguhnya sisa hidupmu tidak berlangsung
selamanya. (Ilham)
Titik
Tak hanya penutup, namun dia jugalah awal
dari semua ini. (Maryam)
Sabtu
Satu hari yang hendak dinanti setiap manusia, datang setelah lima hari lamanya berkegiatan. Akhir pekan bersama keluarga, pun dengan
para sahabat. Sabtuku yang kutunggu. (Faizal)
Kita
Tak akan ada karena ribuan atau jutaan aku. Tapi, kamu, dua kamu saja sudah cukup untuk
terciptanya kita. (Dina)
Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalım Edisi Juli
9
Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalımEdisi Juli
Desah nafas yang berburu penuh
Detik, menit, jam yang saling berburu memenuhi kerja penuhku Melewati tapak jalan yang kumuh
Lagi, lagi, aku balik ke perasaan nol yang terbunuh Aku berpikir, ini bukanlah ujung dari waktu
Ya, ini adalah awal dari permulaan baru Sikat, lindas kerikil hidup, tanpa mengadu
Lagi, lagi, aku balik ke nol-ku yang dulu Hidup ganas, layaknya harimau yang lapar dan berliur
Mencengkeram wujud kurus yang terbujur
Bak, pecut yang membangkitkan api semangat yang terkubur Kembali pada titik nadir nol, aku menjadi hancur lebur.
NOL
Oleh Zulfikri
Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalım Edisi Juli
10
Buletin PPI Bursa - Ya! Yaşayalım anlatalım
SOPIR TAKSI
Setelah berjalan sekian lama, seorang penumpang menepuk pundak sopir taksi untuk menanyakan sesuatu. Reaksinya sungguh tak terduga. Sopir taksi begitu terkejut hingga tak sengaja menginjak gas lebih dalam dan hampir saja menabrak mobil lain. Akhirnya ia bisa menguasai kemudi dan menghentikan mobilnya di pinggir jalan. “Tolong, jangan sekali-sekali melakukan itu lagi,” kata sopir taksi dengan wajah pucat dan menahan marah. “Maaf, saya tidak bermaksud mengejutkan. Saya tidak mengira kalau menyentuh pundak saja bisa begitu mengejutkan Bapak.”
“Persoalannya begini, ini hari pertama saya jadi sopir taksi. Bapak juga merupakan penumpang pertama.” “Oh begitu. Trus kok bisa kaget begitu?”
“Sebelumnya saya adalah sopir mobil jenazah.”
(sumber : lokerseni.com)