• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penaklukan Mataram terhadap Giri Kedaton (Tahun 1636-1680 M)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penaklukan Mataram terhadap Giri Kedaton (Tahun 1636-1680 M)"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

PENAKLUKAN MATARAM TERHADAP GIRI KEDATON (TAHUN 1636 – 1680 M)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana dalam Program Strata Satu (S-1)

pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam (SPI)

Oleh :

Nuril Izzatusshobikhah NIM: A82213164

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2018

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ix

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “PENAKLUKAN MATARAM ISLAM TERHADAP GIRI KEDATON (TAHUN 1636-1680 M)”. Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini meliputi, (1) bagaimana kondisi Giri Kedaton sebelum adanya penaklukan oleh Mataram Islam? (2) bagaimana kondisi Mataram Islam dibawah kepemimpinan Sultan Agung? (3) bagaimana proses serta dampak penaklukan Sultan Agung Mataram Islam terhadap peradaban Giri Kedaton ?

Metode yang digunakan dalam skripsi yang berjudul “Penaklukan Mataram Islam terhadap Giri Kedaton” adalah metode penelitian sejarah, yang terdiri dari heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Sosiologi dan Politik. Teori yang digunakan adalah teori Challenge and Response oleh Arnold Joseph Toynbe (1889-1975).Teori Challenge and Response menggambarkan tentang hubungan sebab akibat yang dimunculkan oleh suatu kejadian.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Kondisi Mataram Islam dibawah kepemimpinan Sultan Agung mengalami perluasaan wilayah kekuasaan dan perkembangan beberapa kebudayaan. (2) Kondisi Giri Kedaton sebelum adanya penaklukan Mataram Islam adalah Kerajaan yang mandiri. (3) Proses serta dampak penaklukan Sultan Agung Mataram Islam bagi Giri Kedaton yaitu adanya beberapa penyerangan yang berhasil dimenangkan pihak Sultan Agung melalui penyerangan yang dipimpin oleh Pangeran Pekik pada tahun 1636 M, yang berdampak pada hancurnya kekuasaan Giri Kedaton.

(7)

x

ABSTRACT

This thesis entitled “ The Conquest of Islamic Mataram against Giri Kedaton (1636 M). The problems discussed in this thesis include: (1) How was the condition of Giri Kedaton before the conquest by Islamic Mataram ? (2) How was the condition of Islamic Mataram under the leadership of Sultan Agung ? (3) How is the process and impact of the conquest of Sultan Agung of the Islamic Mataram against the Giri Kedaton civilization ?

The method used in this thesis entitled “The Conquest of Islamic Mataram against Giri Kedaton (1636 M)” is the method of historical research, which consist of heuristics, verification, interpretation and Historiography. The approach taken in this research is sociological and political approach. The theory used is the theory of challenge and response by Arnold Joseph Toynbee (1889-1975). The challenge and response theory illustrated the causal relationship generated by an event.

The results of this study indicate that: (1) The condition of Mataram uder the leadership of Sultan Agung exerienced an expansion of the teritory of power and the development of several cultures. (2) The condition of the kedaton Giri before the conquest of Islamic Mataram is an independent kingdom. (3) The existance of several attack that were won by The Sultan Agung led by Prince Pekik in 1635 M, which impact on the destruction of power Giri Kedaton

(8)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

MOTTO ... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...8

C. Tujuan Penelitian ...8

D. Kegunaan Penelitian ...9

E. Penelitian Terdahulu ...9

F. Pendekatan dan Kerangka Teori ...10

G. Metode Penelitian ...12

(9)

xiv

BAB II KONDISI MATARAM ISLAM DIBAWAH KEPEMIMPINAN

SULTAN AGUNG

A. Kondisi sosial-politik ...17 B. Kondisi sosial-budaya ...30

BAB III KONDISI GIRI KEDATHON SEBELUM ADANYA

PENAKLUKAN MATARAM ISLAM

A. Giri Kedathon pada masa pemerintahan Sunan Giri Prabu Satmoto ...34 B. Giri Kedathon pada masa pemerintahan Sunan Dalem Wetan

...48 C. Giri Kedathon pada masa pemerintahan Sunan Sedomargi 50 D. Giri Kedathon pada masa pemerintahan Sunan Prapen ...51 E. Giri Kedathon pada masa pemerintahan Panembahan Kawis

Guwa ...53

BAB IV PROSES SERTA DAMPAK PENAKLUKAN SULTAN

AGUNG MATARAM ISLAM BAGI GIRI KEDATHON

A. Proses Penaklukan Sultan Agung Mataram Islam terhadap Giri Kedathon ...56 B. Dampak penaklukan Sultan Agung Mataram Islam terhadap

(10)

xv BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...72 B. Saran ...73 DAFTAR PUSTAKA

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kerajaan-kerajaan di Indonesia mengalami perkembangan yang luar biasa. Di dalam perkembangannya terdapat berbagai sistem politik yang mempengaruhi kemajuan yang dialami oleh kerajaan. Bahkan pada abad ke-16 beberapa pusat kekuasaan bermunculan, pusat kekuasaan ini tidak hanya mampu melawan serta mengelakkan masuknya pengaruh Portugis dan bangsa Eropa lainnya, tetapi juga berhasil memperluas wilayah atau suasana pengaruhnya dengan mengintegrasikan daerah-daerah politik yang ada di sekitarnya, dan demikian meletakkan dasar bagi kerajaan-kerajaan besar seperti kerajaan Mataram Islam. Kerajaan inilah yang akan melakukan dominasi di wilayah sekitarnya secara gigih menghadapi penetrasi Belanda dalam abad ke-16.1

Selain kerajaan di pulau Jawa juga berdiri kedathon yang mempunyai pengertian berbeda dengan kerajaan. Kedathon mempunyai posisi satu tingkat di bawah kerajaan. Ketika Aceh tumbuh sebagai kekuatan yang menonjol di wilayah Nusantara bagian barat, di Jawa berdiri negara-negara baru yang sudah menganut Islam.

Mataram Islam atau Kesultanan Mataram merupakan Kerajaan Islam di pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad ke-17. Pada awalnya Mataram

1Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai

(12)

2

merupakan wilayah yang penuh tumbuhan tropis diatas puing-puing istana tua Mataram Hindu, beberapa abad sebelum berdirinya Kerajaan Mataram Islam yang dibicarakan ini. Pada akhir abad ke-16 M, wilayah ini masih merupakan bawahan Pajang, setelah dibabat kembali oleh seorang panglima Pajang yang bernama ki Ageng Pemanahan. Wilayah ini dianuerahkan Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan beserta putranya (Senapati) atas jasa mereka dalam ikut serta melumpuhkan Adipati Jipang Panolan yang bernama Arya Panangsang.2 Ki Ageng Pemanahan merupakan salah seorang penguasa Mataram yang memiliki ketaatan yang tinggi kepada Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir), Pajang. Ki Ageng Pemanahan memulai memegang kekuasaan di Kadipaten Mataram yang baru di Kotagede pada tahun 1577-1584 M.3

Setelah wafatnya Ki Ageng Pemanahan, kekuasaan Mataram Islam digantikan oleh putranya yang bernama Sutowijoyo yang memiliki gelar Raden Ngabehi Loring Pasar. Setelah berkuasa di Mataram Islam kemudian diberi gelar abiseka dengan “Senopati ingalaga, Sayyidin Panatagama Kalipatolah ing tanah Jawa”4 (Panglima perang dalam medan pertempuran, penegak dan peneguh agama, Khalifatullah di tanah Jawa).

Pada masa kekuasaannya Senapati menempuh jalan yang berbeda dengan Ki Ageng Pemanahan. Senapati dengan sengaja mengabaikan kewajibannya sebagai penguasa bawahan, daam hal ini tidak menghadap

2Purwadi, Sejarah Joko Tingkir (Yogyakarta: Pion Harapan, 2004), 277-281. 3Ibid., 282.

(13)

3

raja Pajang yang biasanya dilaksanakan secara rutin tiap tahun. Hal ini dikarenakan Senapati sengaja untuk melakukan pembangkangan yang sudah direncanakan sebelumnya. Bahkan Senapati sudah membuat benteng untuk pertahanan.5 Setelah wafatnya Sultan Pajang (Sultan Hadiwijoyo) kekuasaan Senopati menjadi semakin kokoh atas kekuasaan Mataram Islam. Senapati memahami bagaimana langkah untuk mengelola konflik intern maupun menghagemoni wilayah lain.

Langkah politik kedalam, dilakukan dengan menyingkirkan tokoh lokal yang selama ini menjadi batu sandungan bagi kekuasaan Senapati yang bernama Ki Ageng Mangir. Hal ini dilakukan dengan menikahkan Ki Ageng Mangir dengan putri Senopati sampai pada suatu penghadapan dibunuhlah Ki Ageng dihadapannya. Sedangkan langkah politik ke luar yang dilakukan oleh Senopati Mataram Islam dengan melakukan politik ekspansionis kewilayahan. Misalnya menguasai serta menaklukkan Pajang, Kalinyamat, Pati dan juga Bang Wetan (seberang) Tuban, Madiun dan Kediri. Pada masa pemerintahan Senapati terjadi pertempuran dengan Surabaya, namun berhasil digagalkan dengan adanya campur tangan dari Sunan Giri.6 Setelah memerintah selama kurang lebih delapan belas tahun (1584-1601 M), ia wafat setelah mampu mengokohkan kekuasaan Mataram dan menguasai beberapa wilayah di Jawa Tegah dan Jawa Timur. Kemudian kepemimpinannya digantikan oleh putranya yang bernama, Mas Jolang. Ia

5Dee Graaf, Awal Kebangkitan Mataram , Terj.Pustaka Utama Grafiti & KITLV (Jakarta: Grafiti

Press, 1985), 70.

6Thomas Stamford Raffles, The History of Java, Terj. Eko Prasetyaningrum (Yogyakarta:

(14)

4

lebih banyak berkonsentrasi melakukan pembangunan di dalam atu sekitar istana.

Namun pada tahun 1602-1605 terjadi pemberontakan pangeran Puger di Demak. Pangeran Jayaraga di Ponorogo. pemberontakan bisa dihentikan dalam waktu yang lama, Surabaya masih menyusun kekuatan dan tidak tunduk kepada Mataram Islam. Sehingga sampai beberapa dekade, Surabaya dan sekitarnya masih merupakan rival bagi Mataram Islam.7 Bahkan Mas Jolang melakukan persekutuannya dengan kompeni Belanda pada masa akhir pemerintahannya, hal ini dikarenakan keduanya memiliki tujuan yang sama untuk menguasai Surabaya,8 hal ini tentu berdampak juga bagi Giri Kedathon di Gresik yang merupakan salah satu wilayah di sekitar Surabaya. Gresik merupakan permata di Jawa, dalam hal pelabuhan dagang.9

Mas Jolang meninggal pada tahun 1613 M, yang kemudian diberi gelar anumerta dengan Panembahan Seda ing Krapyak, kemudian digantikan oleh Raden Mas Rangsang. Pada masa pemerintahan Raden Mas Rangsang kerajaan Mataram Islam benar-benar mencapai puncak kekuasaan. Pada tahun 1614 M Raden Mas Rangsang melakukan penyerangan di wilayah Surabaya bagian selatan: ujung timur pulau Jawa, Malang dan Pasuruan. Bahkan pada tahun 1615 M ia mendapatkan

7M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono (Jakarta: Gajah

Mada Univesity Press, 2011), 100.

8Ibid., 102.

9Tome Pires, Suma Oriental, Terj. Anggita Pramesti dan Adrian Perkasa (Yogyakarta: Ombak,

(15)

5

Wirasaba (dekat Mojoagung sekarang) yang menjadi pintu masuk menuju Surabaya. Kemudian pada tahun 1616 M ia melalui pantai utara dapat menaklukan wilayah Lasem sampai Pasuruan. Pada tahun 1620 M pasukan Mataram berhsil mengancam Surabaya melalui laut. Selanjutnya, Madura ditaklukkan dan disatukan dalam satu pemerintahan di bawah keturunan kepangeranan Madura dengan Sampang sebagai ibukotanya.

Pada periode pemerintahan Raden Mas Rangsang terjadi bencana kelaparan, namun kebijakan ekspansionis Sultan Agung sama sekali tidak surut. Pada tahun 1627 M, Pati mulai menyusun kekuatan untuk melawan Sultan Agung, namun dapat ditindasnya dengan pengorbanan yang tidak sedikit.10Setelah Surabaya dapat ditaklukkan, Sultan Agung memusatkan penyerangannya ke Batavia (1628) dengan perjaanan yang ditempuh kira-kira 500 kilometer, kemudian disusul pasukan yang kedua dalam jumah besar. Dalam pertempuran ini pihak Mataram Islam mengalami kekalahan total dan kemudian mundur. Karena kegagalan ini banyak tentara Mataram yang dihukum dengan dipenggal kepalanya, sanksi potong kepala. Menurut catatan Belanda, tidak kurang dari 700 orang yang telah dibunuh oleh Sultan Agung.11 Namun penyerangan kedua tidak juga tidak membuahkan hasil, ternyata ambisi Sultan Agung tidak sepadan dengan kondisi konkrit militer-militernya.

10Ibid., 107.

11De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Terj.Pustaka Utama Grafiti & KITLV (Jakarta:

(16)

6

Kemenangan di Wirasaba mengubah peta geopolitik Jawa Timur. Pendudukan tempat strategis Mataram langsung mengancam Surabaya, pusat pimpinan aliansi golongan pesisir, lebih-lebih karena Sunan Giri bersifat pasifistis.12Dalam merealisasikan ambisinya, setelah penaklukan Surabaya dan beberapa daerah Timur, upaya selanjutnya adalah Penaklukan Giri, suatu komunitas keagamaan yang dipimpin oleh Sunan Giri V, Sunan Giri merupakan Raja Ulama.13 Bahkan Kekuasaan Pajang dan Mataram adalah atas legitimasi Sunan Giri Prapen.

Giri Kedathon tetap menjadi salah satu diantara lawan-lawan utama bagi para pendiri kerajaan di wilayah pedalaman sampai pada tahun 1680 M.14Selain itu, kekuasaan yang ada hubungannya dengan Giri Kedathon akan ditakuti dan dibenci oleh para penguasa Mataram Islam. Sunan yang pertama dan para penggantinya dianggap memiliki sekaligus memainkan peranan penting dalam penyiaran agama Islam ke Lombok, Makasar, Kutai (Kalimantan Timur). Penyiaran agama Islam ke beberapa daerah ini dilakukan melalui penaklukan, perkawinan, ataupun melalui tugas perutusan para bekas murid-muridnya.

Giri Kedathon merupakan penguasa daerah sekaligus penguasa agama. Kerajaan-kerajaan Islam berikutnya di Jawa selalu berupaya untuk mendapatkan legitimasi spiritual dari Giri Kedathon. Selain itu, popularitas

12Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 132. 13Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, 211.

14M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono(Jakarta: Gajah

(17)

7

Giri Kedathon khususnya dalam kaitannya sebagai pusat kegiatan intelektual Islam (pesantren) ternyata justru melampaui popularitas Ampel Dento. Ampel Dento di Surabaya didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel). Popularitas Intelektual Islam di Giri Kedathon dapat dilihat dari banyaknya santri yang menimba ilmu ke Giri Kedathon dari berbagi penjuru Nusantara. Mulai dari Jawa, Sumatra Maluku dan juga Nusa Tenggara.15

Suksesi Giri sepeninggal Sunan Prapen di Giri Gajah maupun di Kedathon adalah panembahan Kawis Guwa. Berbeda dengan gelar sebelumnya yang menggunakan sunan (susuhunan) maka mulai Kawis Guwa kata Sunan berubah menjadi “Panembahan”. Dan sepeninggal Kawis Guwa maka tampillah Panembahan Agung. Untuk mengalahkan Giri, Sultan Agung melakukan kolusi dengan pngeran Pekik, seorang putra Adipati di Surabaya, yang masih keturunan Sunan Ampel. Pada Tahun 1633 Pangeran Pekik dinikahkan dengan adik Sultan yang bernama, Ratu Pandan Sari. 16 Kemudian pada tahun 1636 Pangeran Pekik atas nama Sultan Mataram menggempur Giri dengan bantuan yang begitu banyak dari layskar Surabaya dan Mataram.Pada penklukan pertama, kegagalan dialami oleh pasukan Surabaya dan Mataram.17 Pada putaran berikutnya Ratu Pandan Sari maju dan memberi semangata kebali pada layskarnya. Akhirnya Giri Ditaklukan oleh Mataram Islam pada tahun 1636 M.

15Sartono Kartodirdjo, Sejarah Nasional jilid III(Jakarta: Balai Pustaka, 1993), 124

16Ahwan Mukarrom, Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia (Surabaya: Jauhar, 2010), 45.

17Sumidi Adisasmita, Mawas Serat Tjenthini Jilid I-XII Saklebatan (Yogyakarta: Yayasan

(18)

8

Dengan dilatar belakangi oleh fakta sejarah di atas, maka peneliti termotivasi untuk mendeskripsikan lebih lanjut dan mendalam mengenai peristiwa penaklukan Giri Kedathon oleh kerajaan Mataram Islam pada 1636 – 1680 M dan apa saja dampak yang diperoleh Giri Kedathon akibat peristiwa tersebut. Untuk itu, dalam penelitian yang dilaksanakan secara

individu ini, peneliti mengambil judul: “PENAKLUKAN MATARAM

TERHADAP GIRI KEDATON ( Tahun 1636 - 1680 M )”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana kondisi Mataram dibawah kepemimpinan Sultan Agung? 2. Bagaimana kondisi Giri Kedaton sebelum adanya penaklukan Mataram ? 3. Bagaimana proses serta dampak penaklukan Sultan Agung Mataram

terhadap peradaban Giri Kedaton ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui kondisi Mataram dibawah kepemimpinan Sultan Agung.

2. Untuk mengetahui kondisi Giri Kedaton sebelum adanya penaklukan Mataram.

3. Untuk mengetahui proses serta dampak penaklukan Sultan Agung Mataram terhadap Giri Kedaton

(19)

9

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat positif bagi masyarakat baik dari sisi keilmuan akademis maupun sisi praktis. Berikut diantaranya manfaat yang bisa didapatkan dari penelitian ini:

1. Sisi Teoritis

a. Hasil penelitian ini bisa dijadikan sumber informasi bagi penelitian pada bidang yang sama.

b. Memberikan sumbangan kontribusi pengetahuan tentang penaklukan Mataram terhadap Giri Kedaton

2. Sisi Praktis

a. Skripsi ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pemahaman yang tepat tentang penaklukan Mataram terhadap Giri Kedathon pada tahun 1636 – 1680 M.

E. Penelitian Terdahulu

Merujuk pada judul penelitian yang penulis kemukakan di atas, peneliti hanya menemukan satu judul penelitian terdahulu yang serupa dengan penelitian yang akan peneliti lakukan. Berikut akan dikemukakan penelitian tersebut beserta penjelasannya sebagai bahan perbandingan, sehingga mampu menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan ini bukan merupakan pengulangan atau duplikasi dari penelitian yang telah ada sebelumnya :

(20)

10

1. Ahmad Saiful Ali, “Ekspansi Mataram terhadap Surabaya Abad ke-17 (Tinjauan Historis tentang Kasus Penaklukan Surabaya oleh Mataram Abad ke-17 M)”, Surabaya: Skripsi Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 1994. Membahas tentang usaha ekspansi Mataram Islam ke wilayah Surabaya beserta dampak yang ditimbulkan akibat ekspansi tersebut. 2. Febri, Wakidi dan Syaiful M, “ Tinjauan Historis Perlawanan Sultan

Agung dalam Perluasan Kekuasaan Mataram ( Tahun 1613-1645 )”, Bandar Lampung: Jurnal FKIP UNILA

Penelitian ini memiliki target pembahasan yang sama dengan penelitian sebelumnya, namun yang menjadi perbedaan adalah fokus penelitian yang mengarah ke wilayah Giri Kedathon, bukan Surabaya, Tuban, Lasem dan beberapa daerah lainnya. Surabaya berhasil ditaklukan terlebih dahulu pada tahun 1625 M. Oleh karena itu, pembahasan penelitian ini akan mengarah kepada “Invasi Sultan Agung Mataram terhadap Giri Kedathon tahun 1636 M”

F. Pendekatan dan Kerangka Teoritik

Sesuai dengan judul penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Jenis penelitian ini adalah sejarah analitik. Penelitian sejarah analitik didasarkan pada pemfokusan periode sejarah peristiwa tertentu, namun diimbangi dengan rincian di bagian pembahasan peristiwa sejarah tersebut. Dalam penelitian ini, penulis membahas tentang penaklukan Mataram terhadap Giri Kedathon tahun 1636 - 1680 M berikut

(21)

11

dampak apa yang dirasakan oleh Giri Kedathon setelah penaklukan tersebut dilakukan. Peneliti juga akan membahas mengenai kondisi awal Giri Kedathon sebelum penaklukan tersebut dilancarkan oleh kerajaan Mataram Islam dibawah pimpinan Sultan Agung tersebut.

Penelitian ini disusun dengan menggunakan dua pendekatan. Pendekatan sosiologi digunakan untuk mendeskripsikan kondisi sosial Giri Kedathon pada pra, masa, dan pasca invasi Mataram Islam berlangsung. Sedangkan pendekatan politik digunakan untuk mendeskripsikan kondisi tata pemerintahan Giri Kedathon pada pra, masa, dan pasca invasi Mataram Islam tersebut. Melalui pendekatan ini penulis berharap bisa mengungkap fakta-fakta yang terjadi terkait kondisi sosial-politik Giri Kedathon ketika penaklukan Mataram Islam tahun 1636 M berlangsung.

Adapun kerangka teori yang digunakan oleh peneliti adalah teori

Challenge and Response oleh Arnold Joseph Toynbe (1889-1975). Teori ini menggambarkan tentang hubungan sebab akibat yang dimunculkan oleh suatu kejadian. Penerapan teori ini mengacu pada kondisi awal Giri Kedathon sebagai basis dakwah islamiyyah. Selain itu, Giri Kedathon merupakan penguasa daerah sekaligus penguasa agama. Kerajaan – kerajaan Islam berikutnya selalu berupaya untuk mendapatkan legitimasi spiritual dari Giri, bahkan popularitas intelektual Islam Giri Kedathon melampaui Ampel Dento di Surabaya. Dalam merealisasikan ambisinya, setelah penaklukan terhadap Surabaya dan beberapa wilayah timur lainnya, upaya selanjutnya yang dilakukan oleh Mataram Islam di bawah pimpinan Sultan

(22)

12

Agung (Raden Mas Rangsang) adalah penaklukan terhadap Giri Kedathon. Namun upaya ini mendapatkan perlawanan dari Giri Kedathon yang menyebabkan kegagalan. Dalam penaklukan ini, Giri kedathon berada dibawah pimpinan sunan kawis Guwa melakukan perlawanan. Hingga akhirnya Giri Kedathon berhasil ditaklukan oleh Mataram Islam dengan dibantu oleh layskar Surabaya pada tahun 1636 M.

G. Metode Penelitian

Untuk memudahkan penulisan sejarah (historiografi) sebagai hasil dari penelitian ini, maka penulis menggunakan metode penelitian sejarah yang terbagi dalam empat tahap18, yaitu:

1. Heuristik (Mencari dan Menemukan Sumber Data)

Heuristik (mencari dan menemukan sumber data) merupakan suatu proses yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan sumber-sumber, data-data, atau jejak sejarah yang diperlukan.19 Sumber sejarah merupakansegala sesuatu yang berlangsung atau tidak langsung menceritakan tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau.20 Metode heuristik merupakan tahap pertama yang dilakukan oleh peneliti dalam rangka memperoleh sumber data. Heuristik merupakan pengetahuan yang bertugas menyelidiki sumber-sumber

18Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Yayasan Idayu,

1978), 38.

19A. M. Sadirman, Memahami Sejarah (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2004), 102.

(23)

13

sejarah.21 Penelitian ini menggunakan sumber yang terbagi menjadi dua kategori, yaitu:

a. Sumber Primer

Penulisan skripsi ini merupakan studi pustaka dengan menggunakan beberapa sumber primer, diantaranya:

1) Mawas Serat Centhini Jilid I-IX Saklebatan gubahanipun Ki Sumidi Adisasmita.

2) Serat Babad Tanah Jawi mulai dari nabi Adam sampai Tahun 1647 terjemahan W.L. Olthof.

b. Sumber Sekunder

Selain menggunakan sumber primer, penulis juga

menggunakan sumber-sumber sekunder diantaranya sebagai berikut: 1) Puncak Kekuasaan Mataram karangan H. J. De Graaf

2) Kerajaan-kerajaan Islam Indonesia karangan Dr. Ahwan Mukarrom

3) Sejarah Umat Islam jilid IV karangan Buya Hamka 4) Sejarah Indonesia Modern karangan M.C. Ricklefs. 5) Suma Oriental karangan Tome Pires

6) Nusa Jawa Silang Budaya karangan Dennys Lombard 7) The History of Java karangan Thomas S. Raffles

8) Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari Emporium sampai Imperium jilid I karangan Sartono Kartodirdjo

(24)

14

9) Kerajaan Islam Pertama di Jawa karangan H. J. De Graaf.

2. Verifikasi (Kritik Sumber)

Verifikasi (kritik sumber) merupakan suatu kegiatan untuk meneliti sumber-sumber yang diperoleh agar memperoleh kejelasan apakah sumber tersebut kredibel atau tidak, dan apakah sumber tersebut autentik atau tidak. Kritik sumber itu ada dua, yakni kritik intern dan

kritik ekstern.22 Kritik intern adalah suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk melihat apakah isi sumber tersebut kredibel atau tidak. Peneliti mengkritisi dengan adanya sumber data yang peneliti dapatkan yakni berupa Serat dan Babad yang ditulis pada tahun 1636 – 1680 M. Sedangkan kritik ekstern adalah kegiatan sejarawan untuk melihat apakah sumber yang didapatkan autentik ataukah tidak. Dalam kritik ekstern ni peuis menggunakan sumber lain berupa buku karangan Dee Graff, Thomas S. Rafless dan Tome Pires.

3. Interpretasi (Penafsiran)

Interpretasi (penafsiran) merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh sejarawan untuk menafsirkan data-data yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah yang telah ditemukan. Pada tahap ini, penulis berusaha membandingkan antara data-data yang diperoleh sehingga akhirnya ditemukan sebuah titik temu yang bisa menafsirkan makna

22 Hugiono, Pengantar Ilmu Sejarah, 103.

(25)

15

dari fakta yang diperoleh untuk menemukan jawaban dari permasalahan yang ada. Langkah awal pada tahap ini diawali dengan menyusun dan mendaftar semua sumber yang didapat. Selanjutnya penulis menganalisa sumber-sumber tersebut untuk mencari fakta-fakta yang dibutuhkan sesuai judul penelitian.

4. Historiografi (Penulisan Sejarah)

Historiografi (penulisan sejarah) merupakan cara untuk merekonstruksi suatu gambaran masa lampau berdasarkan data yang diperoleh. Setelah didapatkan fakta-fakta yang diperlukan, proses terakhir adalah menuliskan hasil dari penafsiran data-data sejarah tersebut ke dalam bentuk tulisan deskriptif dengan menggunakan susunan bahasa dan format penulisan yang baik dan benar.

H. Sistematika Pembahasan

Secara garis besar, sistematika pembahasan ini disusun dalam rangka mempermudah pemahaman terhadap penulisan ini. Pemaparan bab demi bab bukan merupakan ringkasan dari keseluruhan bab yang ada dalam tulisan hasil penelitian ini, melainkan suatu deskripsi mengenai hubungan pasal demi pasal atau bab demi bab dalam pembahasan ini.

Adapun sistematika penulisan hasil penelitian ini secara umum terdiri dari pendahuluan, isi, dan penutup. Di bawah ini akan dipaparkan secara lebih jelas uraian pembahasannya:

(26)

16

Bab I merupakan pendahuluan berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teori, penelitian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II menjelaskan tentang kondisi Mataram Islam dibawah kepemimpinan Sultan Agung, meliputi kondisi sosial - politik dansosial – budaya.

Bab III menjelaskan tentang kondisi kondisi Giri Kedaton sebelum adanya penaklukan Mataram Islam yaitu pada masa pemerintahan Sunan Giri Prabu Satmoto sampai masa pemerintahan Panembahan Kawis Guwa.

Bab IV menjelaskan tentang proses serta dampak penaklukan Sultan Agung Mataram Islam bagi Giri Kedathon.

Bab V menguraikan kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi ini dari bab satu sampai bab empat, selain kesimpulan, dalam bab ini juga akan diisi dengan saran-saran.

(27)

BAB II

KONDISI MATARAM ISLAM DIBAWAH KEPEMIMPINAN SULTAN AGUNG

A. Kondisi Sosial-Politik

Mataram Islam atau Kesultanan Mataram merupakan kerajaan Islam yang pernah berdiri pada abad ke-17. Pada awalnya Mataram merupakan wilayah yang penuh tumbuhan tropis diatas puing-puing istana tua Mataram Hindu, beberapa abad sebelum berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Pada akhir abad ke – 16 M, wilayah ini masih merupakan bawahan kerajaan Pajang, setelah dibabat kembali oleh seorang panglima Pajang yang bernama Ki Ageng Pamanahan. Wilayah ini dianugerahkan Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan beserta putranya (Senapati) atas jasa mereka dalam ikut serta melumpuhkan Adipati Jipang Panolan yang bernama Arya Panangsang.23 Ki Ageng Pemanahan merupakan salah seorang penguasa Mataram yang memiliki ketaatan yang tinggi kepada Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir), Pajang. Ki Ageng Pemanahan memulai memegang kekuasaan di Kadipaten Mataram yang baru di Kotagede pada tahun 1 5577-1584 M. 24

Setelah wafatnya Ki Ageng Pemanahan, kekuasaan Mataram Islam digantikan oleh putranya yang bernama Sutowijaya yang memiliki gelar Raden Ngabehi Loring Pasar. Setelah berkuasa di Mataram Islam kemudian diberi gelar abiseka dengan nama “ Senopati ingalaga, Sayyidin Panatagama

23 Purwadi, Sejarah Joko Tingkir (Yogyakarta: Pion Harapan, 2004), 277-281. 24 Ibid., 182.

(28)

18

Kalipatolah ing Tanah Jawa”25 (Panglima perang dalam medan pertempuran, penegak dan peneguh agama, Khalifatullah di tanah Jawa. Kerajaan Matram belum kuat dikarenakan daerah-daerah yang dulu berada dibawah keuasaan Pajang, satu persatu ingin melepaskan diri dari ikatan Mataram. Sehingga untuk memperkuat diri, Panembahan Senapati melakukan peperangan yang lama.26 Hal ini bisa dilihat dari perlawanan yang dilakukan oleh Surabaya dan beberapa daerah Jawa Timur lainnya, meskipun beberapa wilayah tersebut sudah mengakui Raja Besar Mataram.

Pada masa kekuasaannya, Senapati menempuh jalan yang berbeda dengan Ki Ageng Pemanahan. Senapati dengan sengaja mengabaikan kewajibannya sebagai penguasa bawahan, dalam hal ini tidak menghadap Raja Pajang yang biasanya dilaksanakan secara rutin tiap tahun. Hal ini dikarenakan Senapati sengaja untuk melakukan pembangkangan yang sudah direncanakan sebelumnya. Bahkan Senapati sudah membuat benteng untuk pertahanan.27 Setelah wafatnya Sultan Pajang (Sultan Hadiwijoyo) kekuasaan Senapati menjadi semakin kokh atas kekuasaan Mataram Islam. Senapati memahami bagaimana langkah untuk mengelola konflik intern maupun menghagemoi wilayah lain.

Langkah politik kedalam dilakukan dengan menyingkirkan tokoh lokal yang dianggap menjadi batu sandungan bagi kekuasaan Senopati yang bernama Ki Ageng Mangir. Hal ini dilakukan dengan manikahkan Ki Ageng

25 Djoened, Sejarah Nasional Indonesia jilid III, 286.

26 Solichin Salam, Sedjarah Islam di Djawa (Djakarta: Djayamurni, 1964), 49. 27 Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, 70.

(29)

19

Mangir dengan putri Senapati, sampai pada suatu penghadapan dibunuhlah Ki Ageng dihadapannya. Sedangkan langkah politik keluar yang dilakukan oleh Senopati Mataram Islam dengan melakukan politik ekspansionis kewilayahan. Misalnya, menguasai serta menaklukan Pajang, Kalinyamat, Pati dan juga

Bang Wetan (seberang) Tuban, Madiun, dan Kediri. Setelah memerintah selama kurang lebih delapan belas tahun (1584 – 1601 M), ia wafat setelah mampu mengokohkan kekuasaan Mataram dan menguasai beberapa wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kemudian kepemimpinannya digantikan oleh putranya yang bernama, Sultan Hanyokrowati (Mas Jolang) yang memerintah pada tahun 1601-1613 M.28 Ia lebih banyak berkonsentrasi melakukan pembangunan di dalam maupun di luar istana. Misalnya, membangun kediaman Raja atau yang disebut Prabayaksa yang dibangun pada tahun 1603 M, Tamansari Danalaya yang dibangun pada tahun 1605 dan pada tahun 1610 juga dibangun banyak lumbung. Namun pada tahun 1602-1605 terjadi pemberontakan Pangeran Puger di Demak. Pangeran Jayaraga di Ponorogo. Pemberontakan bisa dihentikan dalam waktu yang lama, Surabaya masih menyusun kekuatan dan tidak tunduk terhadap Mataram.29 Sampai beberapa dekade Surabaya masih menjadi musuh bagi Mataram Islam.30 Bahkan Mas Jolang melakukan persekutuannya dengan Belanda pada masa akhir pemerintahannya. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki tujuan yang

28Salam, Sedjarah Islam di Djawa, 49.

29 Graaf, Awal Kebangkitan Mataram, 70. 30 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, 100.

(30)

20

sama untuk menguasai Surabaya.31 Hal ini tentu berdampak bagi Giri Kedathon di Gresik yang merupakan salah satu wilayah di sekitar Surabaya.

Mas Jolang meninggal pada tahun 1613 M, yang kemudian diberi gelar anumerta dengan Panembahan Seda ing Krapyak, kemudian digantikan oleh Raden Mas Rangsang (Sultan Agung). Sultan Agung Hanyokrokusumo adalah Sultan Mataram yang paling terkenal, ia merupakan Sultan Mataram yang ketiga. Selain itu, Sultan Agung ialah Raja yang mempunyai keinginan untuk mempersatukan Indonesia serta menguasai Perdagangan Internasional. Oleh karena itu, Sultan Agung berusaha untuk menundukkan Surabaya, Giri dan Madura.32 Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adidyah Banowati, Putri Pangeran Benawa dari Pajang. Sultan Agung lahir pada tahun 1593 M di Kotagede Mataram.33

Pada awalnya, Sultan Agung dipanggil dengan nama aslinya yaitu Raden Mas Rangsang atau Raden Mas Jatmika. Apabila diruntut dari sejarah pewarisan tahta, Sultan Agung merupakan sultan Mataram yang ke empat bukan yang ketiga. Hal ini dikarenakan Prabu Hanyokrowati mewariskan tahtanya kepada putra dari istri pertamanya, yakni Raden Martapura seperti yang dijelaskan pada Babad Tanah Jawi, berikut34 :

31 Ibid., 102.

32Salam, Sedjarah Islam di Djawa, 49.

33 Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa: Pengembaraan Batin Ki Ageng Suryomentaram

(Jakarta: Noura Books, 2012), 56.

(31)

21

“Sang Prabu menjadi Raja Mataram sudah 12 tahun. Waktu itu Raja sakit keras. Ia sedang berada di Krapyak ditunggui para putra dan sentana. Sang Prabu berkata kepada Eyang Adipati Manda-Raka dan kakaknya Pangeran Purbaya,”Eyang Ki Mas jika kelak saya sudah tiada, yang saya tunjuk menggantikan saya adalah Den Mas Rangsang. Kerajaannya lebih besar dari saya. Seluruh orang di Tanah Jawa akan sujud semua. Tetapi berhubung dulu saya juga punya cita-cita Martapura menjadi Raja, maka tolong Eyang agar Marta pura dinobatkan menjadi raja. Sebentar sebagai syarat ujar saya itu. Kemudian menyerahkan tahta kepada si Rangsang.”

Setelah naik tahta, Mas Rangsang mendapat gelar Panembahan Hanyokrokusumo atau Prabu Pandita Hanyokrokusumo. Gelar ini terus bertahan sampai Sulatan Agung berhasil menaklukan Madura pada tahun 1624 M. 35 sejak saat itu Sultan mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung Hanyokrokusumo. Ketika Sultan Agung berkuasa, Negara Mataram begitu gemah ripah loh jinawi. Selain terkenal karena berhasil membawa Mataram pada puncak kejayaan, Sultan Agung juga terkenal sebagai Raja yang sakti mandraguna, berwibawa dan bijaksana. Tidak hanya itu, Sultan Agung juga dikenal sebagai raja yang keras hati dan tegas. Kesaktian Sultan Agung itu semakin lengkap dengan hadirnya beberapa orang sakti yang menjadi pengikut setianya. Setidaknya, ada dua sosok sakti yang berada di samping

(32)

22

Sultan Agung, keduanya semakin memperkuat kekuasaan Sultan Agung di Mataram, yakni Kanjeng Ratu Kidul dan Bau Reksa.36

Dalam memimpin, Sultan Agung memiliki sifat yang keras dan tegas. Selain itu, Sultan Agung termasuk seseorang yag pemarah, tetapi juga lembut, pemaaf dan murah hati. Ada beberapa orang Belanda yang dilaporkan mengalami langsung sifat keras dan tegas Sultan Agung. Beberapa orang Belanda itu antara lain: 37

1. Antonie Paulo. Ia adalah seorang perwakilan Belanda yang mengalami langsung kerasnya Sultan Agung dalam bertindak. Kerasnya tindakan Sultan Agung terhadap orang Belanda ini terlihat ketika ia melemparkan Antonie ke danau yang penuh buaya karena dituduh telah melakukan tindakan sihir.

2. Thomas Locatier. Selain Antonie, orang Belanda lainnya yang merasakan sikap keras Sultan Agung adalah Thomas Locatier. Thomas adalah seorang tahanan berdarah Belanda yang dibunuh dengan kejam sebagai bukti kemarahan Sultan Agung pada tahun 1640.

Kerasnya Sultan Agung dalam bertindak dapat dilihat dari kejadian yang dialami oleh dua orang Belanda tersebut. Sifat tersebut sudah sepatutnya dimiliki oleh seorang Raja agar kerajaannya disegani dan ditakuti oleh lawan. Bahkan, sikap keras dan tegas Sultan Agung tidak hanya ditujukan bagi lawan – lawan politiknya dari pihak luar (di luar Kerajaan Mataram),

36 Ibid., 54.

37 Soedjipto Abimanyu, Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli (Yogyakarta: Laksana,

(33)

23

melainkan juga banyak diantara para pejabat Mataram yang juga merasaknnya. Apabila Sultan Agung sudah murka, maka semua pejabat kerajaan tidak ada yang berani melawan. Kepribadian politik Sultan Agung yang lain adalah memberikan hukuman bagi para pelanggar hukum tanpa pandang bulu. Hal ini bisa dilihat dari keputusan Sultan Agung dalam menghukum putra mahkotanya sendiri, Pangeran Adipati Anom. Kesalahan yang dilakukan oleh pangeran pada waktu itu ialah berbuat tidak senonoh terhadap istri muda Tumenggung Wiraguna. Oleh karena itu, setelah Sultan Agung mendengar laporan mengenai perilaku Putra Mahkota, ia langsung menghukum putra mahkota dengan cara mengucilkannya, tidak boleh bertatap muka dengan ayahnya. Hukuman itu berlangsung selama sekitar 3 tahun lamanya, sampai sang Pangeran betul – betul menyadari kesalahnnya. 38

Ketaatan Raja pada agama Islam juga ramai menjadi pembicaraan. Pada tahun 1633 ada pendapat yang mengatakan bahwa Sultan Agung memeluk Islam hanya lahiriyah saja. Setelah satu tahun berikutnya, Sultan Agung lebih bersungguh-sungguh memeluk Islam.39 Hal ini dapat dibuktikan dengan diberlakukannya Tarikh Islam. Seperti dikatakan oleh Van Goens (Gezantschapsreizen, hal 226):

38 Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram, 57.

(34)

24

“tugas terberat di seluruh kerajaan Jawa adalah tugas Tommagon (Tummegung) Mataram”. Tetapi, apabila pekerjaannya memuaskan, ia

“betul-betul dipuji.”40

Di dalam pemerintahan ada beberapa keanekaragaman yang sengaja diadakan, seperti para Kawula yang diberikan kedudukan berbeda-beda. Selain itu, senjata Sultan Agung yang paling perkasa ialah tentaranya. Di bidang politik, kerajaan Mataram Islam memiliki tentara yang terdiri dari pengawal pribadi Keraton, satuan di pintu Pabean dan tentara milisi yang terdiri dari penduduk desa yang dikerahkan atas perintah Raja. Prajurit milisi ini tidak mendapatkan bayran dari Raja, karena semuanya dibaktikan dengan sukarela kepada Raja. Dalam hal ini Raja sangat memerhatikan waktu kesibukan para tentara milisi ini. Setelah musim panen, para tentara dapat berangkat ke medan perang. Selain itu, diperlukan beberapa persaipan untuk menggerakkan tentara milisi.41

Selain tentara milisi, ada infanteri yang menjadi penguat pertahanan Mataram Islam. Infanteri diberikan senjata berupa tombak dan keris, pengawal pribadi masing – masing menggunakan perisai dan dua tombak. Dalam perang pelayanan yang diberikan kepada tentara Mataram bisa dikatakan kurang memuaskan. Hal ini dikarenakan alat pengangkutan yang masih primitif serta jalan yang sulit dilalui sehingga mereka tidak memungkinkan untuk membawa banyak perbekalan. Jika keadaan memungkinkan seringkali beras disuplai

40 Ibid., 141 41 Ibid., 153.

(35)

25

melalui sungai. Oleh karena itu, adanya lumbung – lumbung beras di beberapa tempat semasa menyerang Batavia pada tahun 1629, merupakan bukti dari kecerdikan mereka. 42 Pada tahun 1628 dan 1629 orang Belanda melihat bukti bahwa pelayanan terhadap tentara Mataram sangatlah minim, karena perawatan medis sangat kurang sekali, akibatnya kerugian yang dialami oleh Mataram sangat besar sekali.43 Namun disiplin dan semangat tempur yang dimiliki oleh pasukan tentara Mataram sangat tinggi sekali. Bahkan di Nusantara sulit ditemukan pasukan semacam itu.

Sultan Agung adalah Sultan Mataram yang sukses membawa Kerajaan Mataram Islam mencapai puncak keemasannya. Pada masa pemerintahan Sultan Agung kerjaan Mataram mengalami perkembangan yang sangat pesat. Ada beberapa prestasi besar yang dicapai oleh Sultan Agung antaralain, sukses memperluas wilayah daerah kekuasaan hingga meliputi Jawa, Madura (kecuali Banten dan Batavia), Palembang, Jambi dan Banjarmasin. Selain itu, Sultan Agung mampu mengawasi wilayahnya yang luas langsung dari pemerintah pusat (Kotagede).44 Kerajaan Islam berhasil mencapai puncak kejayaannnya karena Sultan Agung merupakan Raja yang mempunyai wawasan politik yang luas dan jauh ke depan, Sultan Agung merupakan seorang pemikir politik yang hebat sekaligus praktisi politik yang tangguh.

42 Ibid., 153-154.

43 Ibid., 154.

(36)

26

Kemajuan pertama Sultan Agung di bidang politik adalah diterapkannya doktrin keagungbinataraan. Doktrin keagungbinataraan adalah sebuah konsep kekuasaan Jawa untuk menujukkan kekuasaan seorang Raja. Kekuasaan kerajaan Mataram harus menjadi kekuasaan yang utuh dan bulat. Kekuasaan itu tidak tersaingi, tidak tertolak atau terbagi, dan merupaka totalitas, tidak hanya pada bidang tertentu. Dalam doktrin ini, kekdudukan Raja ada di puncak piramida kekuasaan. Jadi, kekuasaan Raja bersifat totaliter, tidak terbagi dan tidak ada yang menandingi.45 Sehingga dengan adanya penerapan doktrin ini, kerajaan Mataram Islam menjadi sangat solid dan tidak terpecah-pecah. Dalam doktrin keagungbinataraan kekuasaan Raja adalah absolut. Bahkan Raja dipercaya sebagai satu-satunya perantara yang dapat menghubungkan manusia dengan para dewa. Kekuasaan Raja yang sangat absolut, kemudian membuat kata-kata seorang Raja menjadi seperti kata Tuhan yang harus dipatuhi secara mutlak oleh rakyat dan bawahannya. Hal ini sebagaiman diungkapkan oleh Pangeran Puger,46 :

“...bila orang berani menantang Rajanya, nasib malang akan menimpanya. Karena Raja adalah warana Allah.”

Sebagai utusan Tuhan di muka bumi, maka keputusan Raja tidak dapat ditentang. Meskipun kekuasaan raja bersifat absolut dan tidak terbatas, penerapan doktrin ini teta diimbangi dengan kewajiban untuk berbudi luhur

45 G.Moedjanto, Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-raja Mataram (Yogyakarta:

Kanisius,1987), 87.

46 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau Studi tentang

(37)

27

mulia, adil terhadap semua yang hidup, adil penuh kash sayang. Tanpa hal tersebut, doktrin ini akan membawa pemerintahan ke dalam sistem penuh kediktatoran. Sultan Agung menerapkan doktrin ini dengan diimbangi sifat-sifat mulia dan adil. Oleh karena itu, Sultan Agung menjadi Raja Mataram yang paling dihormati, disegani dan diagungkan. Seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Soewarno, Sultan Agung merupakan Raja yang penuh perhitungan dengan konsep kekuasannya yang matang dalam melakukan usaha dan kebijaksanannya. Sehingga kerajaan Matram Islam pada masa pemerintahan Sultan Agung mengalami kemajuan dan keberhasilan yang sangat pesat.47

Kemajuan politik lainnya yang dicapai oleh Sultan Agung adalah perluasan (ekspansi) wilayah Mataram. Selama menduduki tahta Mataram, keberhasilan Sultan Agung dalam bidang politik adalah memperluas wilayah politik Mataram hingga ke ujung Timur pulau Jawa dan ke ujung paling Barat pulau Jawa. Pada waktu Sultan Agung berkuasa, banyak daerah yang melepaskan diri dari kekuasaan Mataram. Sehingga, Sultan Agung berusaha untuk mempersatukan kembali daerah-daerah yang melepaskan diri dari kekuasaan Mataram. Sultan Agung berusaha untuk menaklukan seluruh Jawa dengan keberanian dan kemauannya yang keras.48 Selain itu, Sultan Agung juga berhasil menundkkan banyak daerah baru seperti Wirasaba (1615 M), Lasem (1616 M), Pasuruan (1617 M), Madura (1624 M), Surabaya (1625 M)49

47 Ibnu Soewarno, Sejarah Nasional dan Dunia (Surabaya: Widya Duta), 40. 48 R.M.Ali, Perjuangan Feodal (Jakarta: Ganoko, 1963), 101.

49 Y.B. Sudarmanto, Jejak-jejak Pahlawan dari Sultan Agung hingga Hamengkubuwon IX

(38)

28

bahakan ekspansi Sultan Agung merambah hingga ke Pasuruan, Giri (1636 M) dan Blambangan (1639 M)50.

Sultan Agung berhasil menaklukan seluruh wilayah pulau Jawa ke Barat, kecuali Banten yang tidak mau menyerah kepada Mataram.51 Selain Banten juga ada Batavia yang tidak bisa dikuasai oleh Mataram. Ada waktu itu, Batavia diuasai oleh VOC. Salah satu langkah poitik yang diambil oelh Sultan Agung adalah melalui jalur pernikahan atau politik domestikasi. Sultan Agung menikahkan putri-putri kerajaan Mataram dengan para adipati aderah taklukannya. Sehingga kemungkinan untuk memberontak dan memisahkan diri dari Mataram menjadi sangat kecil. Meskipun berhasil menguasai beberapa wilayah Jawa dan luar Jawa, ada pemberontakan yang muncul di dalam Mataram sendiri. Ada bebrapa pemberontkan dalam masa pemerintahan Sultan Agung, yakni pemberontakan Pajang pada tahun 1617 M, pemberontakan Pati 1627 M dan pemberontakan Sumedang 1628-1638 M, meskipun semua pemberontakan tersebut dapat dipadamkan. 52

Sultan Agung merupakan raja Mataram yang sangat antusias dalam melawan VOC, meskipun usahanya seringkali mengalami kegagalan. Perlawanan Matram terhadap VOC dikarenakan adanya penekanan pada rakyat dan VOC telah melakukan monopoli hasil bumi., akibatnya rakyat menjadi menderita. Hal ini mengakibatkan stabilitas kerajaan Mataram

50 Kartodirdjo, Sejarah Nasional Indonesia III, 294-296.

51Masykuri dan Sutrisno Kutoyo, Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta:

Depdikbud, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1976), 98.

(39)

29

menjadi terganggu. Sejak kedatangan VOC di Batavia, Sultan Agung sudah menampakkan ketidaksukaannya. Bahkan, Sultan Agung menyiapkan pasukan untuk menyerang kedudukan Belanda di Batavia. Serangan pertama terhadap VOC dilakukan pada tahun 1628 M.53 Sebelum melakukan penyerangan Sultan Agung mengirim utusan damai kepada VOC dengan syart-syarat tertentu dari Mataram. Untuk menyampaikan tawaran damai pada VOC Sultan Agung menyuruh Kyai Rangga, Bupati Tegal. Usaha damai ditolak oleh VOC, sehingga Sultan Agung memutuskan untuk menyatakan perang. Di bawah pimpinan Tumenggung Bau Reksa, Sultan Agung memberangkatkan pasukan perang ke Batavia. 54 Dalam penyerangan kali ini, pasukan Mataram mengalami kegagalan dikarenakan terserang wabah penyakit dan kekurangan perbekalan. Selain itu, kegagalan juga disebabkan oleh terpecahnya konsentrasi pasukan. Hal ini dikarenakan, pada saat yang bersamaan pasukan yangmeuju ke Batavia juga berperang melawan kerajaan-kerajaan di sepanjang pesisir utara Jawa dalam rangka penaklukan dan pembumi hangusan.

Serangan berikutnya dilakukan pada tahun 1629, pasukan Mataram dipimpin oleh Adipati Puger. Pasukan Mataram dibekali dengan persenjataan yang lebih lengkap dan persiapan yang lebih matang. Untuk mengantisipasi kekurangan makanan maka lumbung-lumbung makanan telah dipersiapkan di sekitar Batavia. Namun penyerangan berhasil digagalkan oleh VOC, hal ini disebabkan oleh terbakarnya tempat penyimpanan makanan pasukan Mataram

53 Ibid., 71. 54 Ibid.

(40)

30

oleh VOC dan banyak pasukan Mataram yang terjangkit wabah kolera. Sehingga pasukan Mataram banyak yang meninggal, bahkan penyakit ini juga menewaskan Gubernur Jendral VOC di Batavia, Jan Pietezoon Coen. 55

Kekalahan Mataram dengan pihak Batavia menimbulkan dampak buruk bagi kekuasaan Mataram. Setelah kekalahan Mataram, banyak daerah bawahan Mataram yang mulai memberontak. Pemberontakan dilakukan untuk mendapatkan kemerdekaan dan lepas dari kekuasaan Mataram. Ada beberapa pemberontakan yang muncul setelah kegagalan Matram menyerang VOC, antara lain pemberontakan para ulama Tembayat yang berhasil ditumpas pada tahun 1630, Pemberontakan Sumedang dan Ukur pada tahun 1631 yang dipadamkan oleh Sultan Cirebon pada tahun 1632, termasuk pemberontakan Giri Kedaton dan dipadamkan oleh Pangeran Pekik dan Ratu Pandan Sari pada tahun 1636 M.56 Sehingga dapat disimpulkan jika kegagalan Mataram dalam penyerangan VOC telah menumbuhkan keberanian daerah-daerah bawahannya untuk memberontak.

B. Kondisi Sosial - Budaya

Dalam masa pemerintahannya, Sultan Agung juga mengalami puncak kegemilangan di bidang sosial-budaya. Ada beberapa prestasi yang ditorehkan oleh Sultan Agung dalam masa pemerintahannya di bidang sosial budaya, antara lain adalah lahirnya kebudayaan kejawen. Kebudayaan kejawen merupakan suatu kepercayaan tentang pandangan hidup yang

55Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram, 73.

(41)

31

diwariskan oleh para leluhur bangsa Jawa.57 Sebelum agama Islam datang kepercayaan kejawan ini sudah datang di pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Sultan Agung kebudayaan kejawen merupakan akulturasi dan asimilasi antara kebudayaan asli Jawa (kejawen) dengan Islam. Akulturasi seperti ini dikenal dengan Islam Kejawen.

Pada masa Sultan Agung, para ulama amat lengkap sebagai penasehat. Namun, disamping Islam rakyat masih memegang teguh kepercayaan lama. Oleh karena itu, Sultan Agung mengambil jalan tengah dengan cara mengkompromikan Islam dengan kepercayaan lama. Kemudian, dikenal sebagai ajaran “Aliran Tasawuf yang bercampur dengan Kejawen. Aliran ini lebih banyak kebatinannya, sehingga disepakati falsafah ini menganut faham manunggaling kawula gusti.58 Salah satu contoh dari tradisi Kejawen adalah upacara Grebeg. Upacara Grebeg merupakan pemujaan terhadap ruh nenek moyang yang dilakukan oleh umat Hindu. Namun tradisi tersebut tetap dilestarikan dengan cara menguah dan menambah beberapa bagian, terutama doa-doa, dengan doa-doa agama Islam. Oleh karena itu, di Jawa masih terdapat tradisi grebeg suro, grebeg maulid dan lain-lain.

Selain lahirnya kebudayaan Kejawen, pada masa pemerintahan Sultan Agung terjadi prestasi yang gemilang di bidang sosial-budaya, yaitu adanya perhitungan tarikh Jawa. Sebelum tahun 1633 M, Mataram masih menggunakan tarikh Hindu yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh

57Muhaji Fikriono, Puncak Makrifat Jawa: Pangembaraan Batin Ki Ageng Suromentaraman

(Jakarta: Moura books, 2012), 45.

(42)

32

syamsiyah). Namun sejak Sultan Agung memerintah di Mataram, tepatnya tahun 1633 M (1555 Hindu), tarikh Hindu diubah menjadi tarikh Islam berdasarkan peredaran bulan (tarikh komariah).59 Tarikh perhitungan Sultan Agung ini kemudian dikenal sebagai “tahun Jawa”, selain itu, Sultan Agung menyusun karya yang cukup terkenal yaitu sastra gending. Kitab serat Sastra Gendhing ini menjadi bukti bahwa pada masa Sultan Agung terjadi kesejajaran antara ilmu kejawen dan ilmu sufi.60 Sultan Agung menyusun kitab undang-undang baru yang merupakan perpaduan hukum Islam dengan adat-istiadat Jawa yaitu Surya Alam.

Pada masa pertumbuhan dan berkaitan dengan masa pembangunan, maka Sultan Agung melakukan usaha-usaha anatara lain untuk meningkatkan daerah-daerah persawahan dan memindahkan banayak para petani ke daerah Krawang yang subur. Atas dasar kehidupan agraris itulah disusun suatu masyarakat yang bersifat feodal. Para pejabat pemerintahan memperoleh imbalan berupa tanah garapan (lungguh), sehingga sistem kehidupan ini menjadi dasar munculnya tuan-tuan tanah di Jawa.

Pada masa Sultan Agung, beberapa kebudayaan juga turut berkembang antara lain, seni tari, seni pahat, seni sastra dan sebagainya. Adanya suasana yang aman, damai dan tenteram, maka berkembang juga kesusastraan Jawa. Pada masa pemerintahannya, ilmu pengetahuan dan seni mengalami perkembangan yang sangat pesat, termasuk kesusastraan Jawa. Pada masa

59Abimanyu, Kitab Terlengkap Sejarah Mataram, 79.

60 Christna S. Handayani dan Ardhian Novianto, Kuasa wanita Jawa (Yogyakarta: LKIS, 2004),

(43)

33

Sultan Agung, ada beberapa kitab sastra yang lahir, termasuk sastra hasil karya Sultan Agung sendiri, diantaranya kitab sastra Gending, kitab serat Nitisruti, kitab serat Nitisastra, dan kitab serat Astrabata.61 Kondisi Mataram Islam dibawah kepemimipinan Sultan Agung yaitu perluasan wilayah kekuasaan dan perkembangan beberapa kebudayaaan.

61 Ibid., 78- 80.

(44)

BAB III

KONDISI GIRI KEDATHON SEBELUM ADANYA PENAKLUKAN MATARAM ISLAM

A. Giri Kedathon pada masa Pemerintahan Sunan Giri Prabu Satmoto

Gresik memiliki beberapa nama ejaan diantaranya Gresiq

merupakan ejaan De Vries dan Wilkens pada tahun 1863. Sebelum tahun 1400 M, orang – orang Cina yang pernah datang ke tempat ini, menyebut nama kota Bandar ini dengan nama T’seTs’un. Sedangkan orang pribumi menyebutnya Kersik, orang Arab menyebutnya Qorrosyaik, orang Portugis Agaze, orang Eropa lainnya terutama Belanda menyebutnya

Gerrici. Ada juga yang menyebutnya Gerwarase, Grisick, Grasik, Giri – Geresik.61 Dilihat dari aspek tata kota kuno, bahwasannya Giri sebelum

Islam pernah menjadi kota istana. Pertama berada di Kerobokan, kedua inti kota berpindah pusat di Kadahanan. Mungkin Kadahanan pernah menjadi ibukota Kerajaan Dahana, pecahan Kerajaan Kahuripan milik Airlangga. Selanjutnya, Kerajaan Dahana pindah ke Kadiri, sedangkan Kadahanan hanya berfungsi sebagai watak atau kadipaten sampai masa berakhirnya Kerajaan Majapahit.62

Giri Kedathon merupakan bukti terkuat bahwa Di Grissee pernah ada sebuah kerajaan. Dinamakan Kerajaan Giri dikarenakan pendiri kerajaan ini adalah Sunan Giri. Istananya dinamakan Giri Kedathon yang berasal dari kata “datu” yang memiliki arti raja, kemudian berubah bunyi

61 Dukut Imam Widodo, Grissee Tempo Doeloe (Gresik: Pemerintah Kabupaten Gresik, 2004),

6.

(45)

35

menjadi “Kedathon” yang memiliki arti tempat raja.63 Pada saat ini, istana Giri Kedathon berada di wilayah Kelurahan Sidomukti, Kecamatan Kebomas Kabupaten Gresik. Sunan Giri yang merupakan pendiri Giri Kedathon adalah keturunan darah biru. Ibunya yang bernama Dewi Sekardadu merupakan keturunan Prabu Menak Sembuyu dari Kerjaan Blambangan. Sedangkan ayah Sunan Giri yang bernama Maulana Ishaq masih keturunan nabi Muhammad saw. Sehingga pantas ketika usia sekitar 40 tahun, Sunan Giri menjadi orang besar di Jawa Dwipa.64

Ketika berbicara mengenai Malaka, telah disebutkan adanya seorang muballigh bernama Maulana Ishaq yang datang dari Malaka atau Pasai ke ujung timur pulau Jawa, tepatnya Blambangan. Pada saat itu, Blambangan merupakan suatu wilayah yang berada di bawah kekuasaan kerajaan Hindu Majapahit dengan penguasanya yang bernama Menak Sembuyu. Dalam aktifitas dakwahnya Maulana Ishaq berhadapan langsung dengan Menak Sembuyu yang tidak menginginkan Islam masuk ke daerahnya.65 Hal ini bisa dilihat dari dua hal antara lain, diusirnya Maulana Ishaq dari wilayah Blambangan meskipun pada saat itu Maulana Ishaq merupakan menantu dari Menak Sembuyu. Maulana Ishaq dijadikan menantu oleh Menak Sembuyu sebagai balasan atas jasanya menyembuhkan putri Menak Sembuyu yang bernama Dewi Sekardadu. Maulana Ishaq diusir pada saat istrinya , Dewi Sekardadu sedang hamil tua. Kemudian Maulana Ishaq kembali ke Malaka atau Pasai. Selain itu,

63 Ibid., 13. 64 Ibid., 14.

(46)

36

dibuangnya bayi Dewi Sekardadu ke laut, juga menjadi bukti bahwa Menak Sembuyu tidak menginginkan Islam masuk ke daerahnya.

Bayi Dewi Sekardadu yang telah dibuang ke laut, beberapa saat kemudian ditemukan oleh Nyi Ageng Pinatih dari Gresik, kemudian bayi itu diberi nama Joko Samudra.66 Joko Samudra hidup layak dibawah asuhan janda kaya raya sekaligus penguasa pelabuhan Gresik. Menurut dokumen-dokumen Cina, pelabuhan Gresik didirikan oleh seorang Cina pada abad ke-14.67 Setelah cukup umur, Joko Samudra disekolahkan dan berguru ilmu agama dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Surabaya. Kemudian, Joko Samudra diberi gelar Raden Paku oleh Sunan Ampel. Raden Paku diminta untuk melanjutkan pendidikannya dan melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Sebelum melanjutkan pendidikannya ke tanah suci, Raden Paku diminta untuk belajar ilmu agama di Malaka atau Pasai. Dan ditempat inilah Raden Paku bertemu dengan ayahnya, Maulana Ishaq. Maulana Ishaq merupakan tokoh agama di Pasai yang merupakan wilayah kerajaan Islam yang tidak bisa ditundukkan oleh Majapahit. Selama beberapa bulan, Sunan Giri tinggal di Pasai untuk belajar ilmu politik kepada ayahnya. Salah satu ilmu yang diperoleh Sunan Giri dari Pasai adalah mencari tempat strategis yang kelak dalam jangka panjang akan menjadi istana kerajaannya. Sunan Giri dibekali segenggam tanah oleh ayahnya untuk mencari tempat yang tanahnya serupa dengan segenggam tanah tersebut. Setelah pulang dari pasai, Sunan Giri langsung

66Babad Gresik Jilid 1 versi Radya PustakaYogyakarta, Alih Tulisan dan Bahasa. Soekarman

(Gresik: Panitia Hari Jadi Kota Gresik, 1990), 11.

(47)

37

menghadap kepada mertuanya, Sunan Ampel untuk membicarakan perihal segenggam tanah tersebut. Lalu Sunan Giri melakukan napak tilas, menyusuri tebing dan mendaki gunung yang ada di Grissee. Lalu bertepatan pada tahun 1475 M Sunan Ampel wafat,68 setelah kepergian Sunan Ampel napak tilas masih berlangsung. Sunan Giri memilih rute untuk menaiki tebing dan mendaki puncak gunung. Setahun kemudian, Sunan Giri mengamati posisi sebuah puncak gunung di bagian paling timur arah selatan kota Grissee. Sunan Giri melakukan ritual di puncak gunung itu. Belum genap empat puluh hari Sunan Giri mengurungkan niatnya, dikarenakan Sunan Giri mendengar kabar bahwa ibu asuhya yang bernama Nyi Ageng Pinatih sedang mengalami sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Oleh karena itu, gunung tersebut diberi nama Gunung Wurung.69

Napak tilas Sunan Giri berikutnya diarahkan ke posisi barat, selang setahun dari tragedi Gunung Wurung Sunan Giri berhasil menggali sumber air yang cukup deras di lereng bukit paling barat tersebut. Sampai saat ini, kawasan lereng bukit tersebut dinamakan (desa) Sumber. Setahun kemudian napak tilas sudah memutar melalui jalan selatan ke arah timur lagi mendekati Gunung Wurung. Sunan Giri mendaki sebuah puncak gunung, di tempat itu Sunan Giri membuat sebuah Mushalla bersama Syeh Koja, Syeh Grigis beserta para muridnya. Bahkan, Sunan Giri turut serta dalam menukangi pembuatan Mushalla tersebut. Belakangan, gunung

68 Widodo, Grissee Tempo Doeloe, 15. 69 Ibid., 16.

(48)

38

tersebut diberi nama Gunung Pertukangan.70 Sejak tahun 1480 M Sunan Giri menghuni gunung tersebut.71

Di Gunung Pertukangan Sunan Giri lebih tekun dan khusyuk dalam beribadah. Setahun kemudian, Sunan Giri bergeser ke bukit landai di sebelah gunung pertukangan. Sunan Giri bermunajat dan melakukan tingkatan selama empat puluh hari, pada puncak malam keempat puluh hari, dalam shalat Thajud Sunan Giri melihat sorot cahaya berkilau di arah barat. Lalu, Sunan Giri berusaha melacak arah cahaya itu. Ternyata posisi cahaya itu ditemukan di sebuah puncak antara Gunung Petukangan dan Sumber. Puncak itu adalah Giri Kedathon yang telah lama diimpikan. Tanahnya serupa dengan segenggam tanah yang dibawa Sunan Giri dari Pasai. Sedangkan puncak dimana Sunan Giri melihat cahaya sebagai petunjuk dari tuhan, lalu menduga (mbatang), kemudian puncak tersebut diberi nama Gunung Batang,72 namun pada saat ini, puncak itu habis dijadikan bahan semen.

Sunan Giri menemukan Giri Kedathon sekitar tahun 1481 M,73 setelah itu membangun tempat shalat di puncak Kedathon yang sampai saat ini dinamakan masjid Kedathon. Di masjid tersebut, dijadikan Sunan Giri sebagai tempat pembekalan untuk para santrinya. Banyak santri yang berasal dari daerah yang jauh untuk mengikuti pelajaran yang diberikan

70Pesantren Luhur Islam Jawa Timur, Sejarah dan Dakwah Islamiyyah Sunan Giri (Gresik:

P3SG Gresik, 1973), 133.

71 Widodo, Grisse Tempoe Doeloe, 16. 72 Ibid.

(49)

39

oleh Sunan Giri.74 Sunan Giri termasuk sosok yang berperan membawa Grissee menjadi kota santri. Bahkan Sunan Giri merupakan tokoh yag berhasil mengolaborasikan sendi-sendi kesantrian ke dalam aspek kehidupan yang majemuk. Sunan Giri mempunyai pola manajemen pengembangan diri yang yang teratur. Hal ini bisa dilihat dari, pola pikir Sunan Giri ynang sudah maju pada zamannya. Sunan Giri memiliki cara yang ideal untuk mengembangkan potensi yang ada pada dirinya, tidak pernah menyerah dalam menggapai cita-citanya.

Banyak kepribadian Sunan Giri yang turut membawa pengaruh terhadap kemajuan Giri Kedathon. Sunan Giri ketika masih belia senantiasa disiplin berjuang melawan waktu untuk belajar mencari nafkah sendiri. Disini, Sunan Giri banyak berinteraksi dengan komunitas yang beragam. Sunan Giri selalu memegang teguh sendi-sendi kesantrian dalam melakukan kegiatan bisnis. yang ditanamkan ialah nilai-nilai kedermawanan yang jarang dimiliki para pebisnis pada masa itu, bahkan sekarang. Setelah mendirikan masjid Kedathon bersama Syeh Koja dan Syeh Gerigis, Sunan Giri mewujudkan dan mengembangkan ide pesantrennya. Sepulang dari Pasai Sunan Giri mempunyai rencana untuk membangun pesantren. Hal ini diawali dengan basis komunitas seadanya di sekitar Grissee. Ide tersebut memakan waktu sekitar enam tahun sejak kedatangan Sunan Giri dari Pasai. Akhirnya pesantren tersebut berdiri di

74Pesantren Luhur Islam Jawa Timur, Sejarah dan Dakwah Islamiyyah Sunan Giri (Gresik:

(50)

40

sebuah puncak Kedathon pada sekitar tahun 1481 M.75 Tandanya berdirinya pesantren tersebut ialah dibangunnya masjid Kedathon, yang merupakan satu-satunya masjid yang dibangun oleh Sunan Giri.

Pada saat itu, Pesantren masih diartikan secara sederhana yaitu asrama dan sekolah mengaji. Oleh karena itu, masjid Giri Kedathon berperan sebagai srana utama untuk sekolah atau mengaji para santri. Sedangkan lereng kedathon bagian barat dijadikan sebagai asrama para santri. Para santri membangun beberapa bangunan dari kayu sampai membentuk nuansa hunian yang pada hari kemudian dinamakan Pedukuan. Pesantren yang didirikan oleh Sunan Giri merupakan lembaga kederisasi yang tidak hanya mendidik para santri dengan ilmu keislaman saja. Mereka juga diajarkan dengan semangat perjuangan agama yang kuat melalui praktik ibadah sufi yang dapat memancarkan kekuatan jiwa dan tekad juang Islam. Sehingga, kehidupan mereka diwarnai oleh keselarasan zikir dan pikir. Hal ini, menjadikan Sunan Giri sebagai tokoh spiritual kharismatik yang memiliki basis santri intelektual, sehingga ia diundang oleh Raden Patah Demak untuk ikut mengokohkan secara resmi berdirinya Kerajaan Islam Demak di Bumi Nusantara.

Sunan Giri merupakan sosok yang berbasis massa, sebelum menjadi raja, karena para santrinya yang militan, terdidik dan terlatih. Basis santri ini berasal dari berbagai daerah di Nusantara seperti,

75 Widodo, Grissee Tempoe Doeloe, 16.

(51)

41

Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, Madura dan Halmahera.76 Jadi, ketika Sunan Giri mendirikan Giri Kedathon yang menjadi basis pendukungnya adalah para santri yang militan itu, ditambah dengan penduduk Giri dan sekitarnya (Grissee) yang juga menaruh kepercayaan kepada Sunan Giri. Pada saat Sunan Giri telah memiliki legitimasi yang kuat, ada dukungan dari beberapa pihak yang mendatangi Sunan Giri di Giri Kedathon. Sehingga terjadi sebuah perundingan khidmat antara Sunan Giri dengan tiga tokoh yang mendatanginya tersebut di pelinggihan Kedathon. Mereka memberikan dorongan kepada Sunan Giri untuk segera mendirikan kerajaan Giri, karena melihat kharisma Sunan Giri yang sangat disegani oleh Majapahit.

Pada hari Senin, tanggal 9 Maret 1487 M,77 Sunan Giri mulai mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Giri. Hal ini dikarenakan dukungan dan dorongan yang diperoleh dari tiga pembesar Jawa Dwipa itu tidak bisa ditolak oleh Sunan Giri. Dalam proses mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Giri, Raden Paku selaku Raja Demak memberikan gelar Prabu Satmoto kepada Sunan Giri. Di lain kesempatan, Raja Hitu memberikan gelar Raja dari Bukit Giri kepada Sunan Giri. Proses melinggihkan Sunan Giri sebagai raja di Giri Kedathon, juga dihadiri oleh para Sunan dan Wali di pulau Jawa. Sedangkan, tempat untuk menobatkan Sunan Giri sebagai raja dinamakan Pelinggihan Kedathon, yang kemudian menjadi Singgasana Kerajaan Giri. Daerah-daerah di sekitar Giri, Tuban dan

76 Ibid., 16. 77 Ibid.

(52)

42

Jaratan saat itu telah berkiblat pada Giri, dan para Bupati atau Adipatinya telah memeluk Islam. Meskipun daerah tersebut masih dibawah kekuasaan Majapahit, atau menjadi negeri bagian Majapahit, tapi mereka berusaha untuk membebaskan diri dari kekuasaan Majapahit.78

Di bidang pendidikan, sejak kecil Sunan Giri memang cerdas. Dari sorot matanya yang meyakinkan, maka Sunan Ampel memberikan nama Ainul Yaqin. Kecerdasan yang memancar itu menghadirkan sebuah kekuatan makrifat dalam batin Sunan Giri, sebuah ilmu kawruh yang jarang dimilki orang. Kecerdasan Sunan Giri yang menjadi bawaan sejak kecil merupakan kekuatan tersendiri pada dirinya sendiri. Sunan Giri menjadi murid favorit di Ampel Dento karena pandai dan menguasai pelajaran secara menyeluruh. Bekal ilmu yang diperoleh Sunan Giri dari Ampel pada kurun waktu 1454-1462 dikembangkan Sunan Giri di Giri.79 Ketika mendirikan pesantren, Sunan Giri mengangkat seorang asisten yang bernama Sayyid Abdur Rohman.

Pesantren Giri tersohor sampai ke luar pulau, dan menjadi potensi yang mengangkat nama Grissee sehingga banyak dikunjungi orang karena ingin menuntut ilmu ke Giri. Dapat dikatakan popularitas intelektual Islam (pesantren) di Giri Kedathon mengalahkan popularitas Ampel Dento yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel di Surabaya). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya santri yang menimba ilmu di Giri Kedathon dari berbagai penjuru Nusantara, mulai dari Jawa, Sumatera, Maluku dan Nusa

78 Umar Hasyim, Sunan Giri (Kudus: Menara Kudus, 1979), 81.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini diduga selain adanya tepung bunga kecombrang adalah karena ayam yang dijual adalah ayam yang sehat hal ini sesuai dengan pendapat Siagian (2002) yang

Usaha untuk membuat semen pertama sekali dilakukan dengan cara membakar campuran batu kapur dan tanah liat. Joseph Aspadin yang merupakan orang inggris pada tahun

Analisis deskriptif digunakan untuk melihat sebaran karakteristik keluarga (besar keluarga, umur, lama pendidikan, pekerjaan, jenis kelamin, pendapatan per kapita),

: Sekretariat Codex Contact Point Indonesia mempunyai tugas memfasilitasi pelaksanaan tugas Panitia Nasional Godex Indonesia, Kelompok Kerja Godex Indonesia,.. Mirror

“Bringinlife telah memposisikan diri menjadi salah satu asuransi terbaik tanah air, melalui kegiatan Posko Mudik Sehat dan Posko Arus Balik BRIngin Life 2016, yang merupakan

Kemampuan mengatasi seleksi, dalam komunikasi interpersonal kemampuan untuk mengatasi seleksi pesan itu akan lebih sulit, karena seseorang akan lebih sulit untuk

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dicantumkan bahwa setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain

penelitian ini, analisa bivariat yang digunakan untuk mengetahui, pengaruh frekuensi terapi kognitif: restrukturisasi kognitif yang efektif untuk menurunkan skor