• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN DENGAN GEJALA KERACUNAN PADA PENYEMPROT PESTISIDA DI DESA PEMATANG CERMAI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN DENGAN GEJALA KERACUNAN PADA PENYEMPROT PESTISIDA DI DESA PEMATANG CERMAI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH

MUHAMMAD RIDWAN NIM: 131000525

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat

OLEH

MUHAMMAD RIDWAN NIM: 131000525

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2017

(3)

PENGETAHUAN, SIKAP, DAN TINDAKAN DENGAN GEJALA KERACUNAN PADA PENYEMPROT PESTISIDA DI DESA PEMATANG CERMAI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI TAHUN 2017” ini beserta seluruh isinya adalah benar hasil karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau mengutip dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung risiko atau sanksi yang diberikan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini.

Medan, Oktober 2017 Yang membuat pernyataan

(4)
(5)

perlindungan terhadap tenaga kerja yang merupakan hak pekerja. Perlindungan bagi petani dari dampak buruk pestisida yaitu memperoleh informasi yang benar melalui label kemasan atau brosur, memperoleh pestisida yang legal dan tidak rusak. Peran pemerintah dalam hal ini adalah melakukan upaya pengawasan terhadap pestisida yang beredar dimasyarakat. Pengawasan dilakukan agar pestisida terjamin mutu dan efektivitasnya, tidak mengganggu kesehatan dan keselamatan manusia, dan kelestarian lingkungan hidup. Menurut data World Health Organization (WHO) setidaknya 250.000 kematian akibat keracunan pestisida terjadi setiap tahunnya. Sekitar 5.000-10.000 orang mengalami dampak kesehatan seperti kanker, mandul, lahir cacat, dan hepatitis terutama pada pekerja sektor pertanian. Penggunaan pestisida dalam pengendalian organisme pengganggu sangat diperlukan namun pestisida merupakan zat yang bersifat toksik, berbahaya, irritant dan korosif sehingga penggunaannya harus dilakukan dengan bijaksana. Bahaya keracunan pestisida merupakan akumulasi dari perilaku penggunaan yang kurang baik. Risiko keracunan dapat diperkecil apabila diketahui perilaku dan cara kerja yang aman. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan gejala keracunan pada penyemprot pestisida di Desa Pematang Cermai Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2017.

Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah petani padi penyemprot pestisida. Sampel diambil secara accidental sampling dan didapat sebanyak 33 orang. Variabel penelitian adalah pengetahuan, sikap, tindakan dan gejala keracunan pestisida. Data pengetahuan, sikap, dan gejala keracunan diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner dan data tindakan dengan observasi. Observasi sebelum pengenceran pestisida sampai setelah penyemprotan selesai. Hasil dianalisis dengan menggunakan uji exact fisher.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tindakan dengan gejala keracunan (p=0,004), tidak ada hubungan antara pengetahuan (p=0,642) dan sikap (p=0,397) dengan gejala keracunan pestisida.

Penyemprot pestisida seharusnya mengubah tindakan buruk menjadi tindakan yang benar dalam penanganan pestisida dan perlunya kerja sama antara dinas pertanian dan dinas kesehatan dalam pengawasan dan pendampingan penggunaan pestisida oleh petani.

Kata Kunci: Penyemprot Pestisida, Pengetahuan, Sikap, Tindakan, dan Gejala Keracunan

(6)

is the worker`s right. Protect the farmers from the bad effects of pesticides that is getting the correct information from packaging labels or brochures, getting legal and undamaged pesticides. The role of government is to control the pesticides in the community. Supervision is need in order the pesticides are guaranteed the quality and effectiveness, does not interfere human health and safety, and environment sustainability. According to World Health Organization (WHO) data, at least 250,000 deaths from pesticide poisoning occur every year. Approximately 5,000-10,000 people experience health effects such as cancer, infertility, birth defects, and hepatitis especially in agricultural workers. The use of pesticides in the control of pest organisms is necessary but pesticides are toxic, hazardous, irritant and corrosive substances so their use should be done wisely. The danger of pesticide poisoning is an accumulation of poor usage behavior. The risk of poisoning can be minimized if known behavior and safe work. This study aims to determine the correlation of knowledge, attitude, and action with poisoning symptoms on pesticide sprayers in Pematang Cermai Village, Serdang Bedagai Regency in 2017.

The type of this research is observational analytic with cross sectional approach. The population is rice farmers spraying pesticides. Samples taken by accidental sampling and get as many as 33 people. The variables studied were knowledge, attitude, spraying action and symptoms of pesticide poisoning. Data of knowledge, attitude and poisoning symptoms were obtained by interview using questionnaire and action data obtained through observation. Observed before pesticide dilution to finish spraying. The results obtained were analyzed using the exact fisher test.

The results showed that there was a correlation between the action with poisoning symptoms (p = 0.004), no correlation between knowledge (p = 0.642) and attitude (p = 0.397) with poisoning symptoms of pesticide.

Pesticides sprayers should change the bad action become proper action in use of pesticides and required for a collaboration among the agricultural service and health service in supervision and assistance of pesticides used on farmers.

Keywords: Pesticide Sprayers, Knowledge, Attitude, Action, and Poisoning Symptoms

(7)

kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan dengan Gejala Keracunan pada

Penyemprot Pestisida di Desa Pematang Cermai Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2017” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara materil maupun moril. Untuk itu, saya ucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si. selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes selaku Ketua Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. 4. Dra. Lina Tarigan, Apt., MS selaku Dosen Pembimbing I dan Ketua Penguji

yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

5. Isyatun Mardhiyah Syahri, SKM., M.Kes selaku Dosen Pembimbing II dan Anggota Penguji yang telah memberikan banyak masukan dan bimbingan

(8)

7. Umi Salmah, SKM., M.Kes selaku Dosen Pembimbing Akademik dan Anggota Penguji yang telah memberikan arahan dan bimbingan selama masa perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.

8. Terima kasih kepada Muhammad Arifin, SE selaku Kepala Desa Pematang Cermai yang telah memberikan izin dalam penelitian ini.

9. Terima kasih untuk kedua orang tua tersayang Sofyan dan Yusnani yang selalu memberikan bimbingan, dukungan serta doa dalam setiap keadaan. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada ayah dan ibu.

Penulis merasa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis memohon maaf jika terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Kritik dan saran yang membangun penulis harapkan agar dapat memperbaiki skripsi ini. Semoga dapat memberikan manfaat untuk semua pihak.

Medan, 23 Agustus 2017 Penulis

(9)

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

RIWAYAT HIDUP ...xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.3.1 Tujuan Umum ... 5 1.3.2 Tujuan Khusus ... 5 1.4 Hipotesis ... 6 1.5 Manfaat Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Pestisida ... 7

2.2 Penggolongan Pestisida ... 8

2.2.1 Berdasarkan Tujuan Penggunaan ... 8

2.2.2 Berdasarkan Struktur Kimia... 9

2.2.3 Berdasarkan Cara Masuk ... 13

2.2.4 Berdasarkan Cara Kerja ... 14

2.3 Warna Dasar dan Tanda Bahaya pada Kemasan... 15

2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keracunan ... 15

2.5 Faktor Penyebab Timbulnya Keracunan ... 18

2.6 Keracunan Pestisida dan Jalur Masuknya ... 18

2.6.1 Keracunan Pestisida ... 18

2.6.2 Jalur Masuk Pestisida kedalam Tubuh ... 19

2.7 Gejala Keracunan Pestisida ... 23

2.7.1 Gejala Keracunan Organoklorin ... 24

2.7.2 Gejala Keracunan Organofosfat ... 24

2.7.3 Gejala Keracunan Karbamat ... 25

(10)

2.13 Pengetahuan ... 33 2.13.1 Tingkat Pengetahuan ... 34 2.14 Sikap ... 35 2.14.1 Komponen Sikap ... 35 2.15 Tindakan ... 35 2.15.1 Tingkatan Tindakan ... 36 2.16 Pengukuran Perilaku ... 36

2.16.1 Metode Pengukuran Perilaku ... 36

2.17 Kerangka Konsep ... 39

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

3.1 Jenis Penelitian ... 40

3.2 Lokasi Penelitian ... 40

3.3 Waktu Penelitian ... 40

3.4 Populasi dan Sampel ... 40

3.4.1 Populasi ... 40

3.4.2 Sampel ... 40

3.5 Metode Pengumpulan Data ... 41

3.5.1 Data Primer ... 41

3.5.2 Data Sekunder ... 41

3.6 Variabel dan Definisi Operasional ... 41

3.6.1 Variabel ... 41

3.6.2 Definisi Operasional ... 42

3.7 Metode Pengukuran Data ... 43

3.8 Metode Analisis data ... 45

3.8.1 Analisis Univariat ... 46

3.8.2 Analisis Bivariat ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 48

4.1 Gambaran Umum Desa Pematang Cermai ... 48

4.2 Distribusi Frekuensi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 48

4.3 Distribusi Frekuensi Penduduk Berdasarkan Umur ... 49

4.4 Distribusi Frekuensi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 49

4.5 Hasil Uji Univariat ... 50

4.5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur ... 50

4.5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 51

4.5.3 Pestisida dan Aplikasinya di Desa Pematang Cermai ... 51

4.5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Bahan Aktif dan Golongan Pestisida yang Digunakan ... 52

(11)

Tindakan Penanganan Pestisida... 60

4.6 Analisi Bivariat ... 62

4.6.1 Hubungan Pengetahuan dengan Gejala keracunan ... 62

4.6.2 Hubungan Sikap dengan Gejala Keracunan ... 64

4.6.3 Hubungan Tindakan dengan Gejala Keracunan ... 65

BAB V PEMBAHASAN ... 66

5.1 Hubungan Pengetahuan dengan Gejala Keracuna ... 66

5.2 Hubungan Sikap dengan Gejala Keracunan ... 68

5.3 Hubungan Tindakan dengan Gejala Keracunan ... 70

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 73

6.1 Kesimpulan ... 73

6.2 Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74 LAMPIRAN

(12)

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 48

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Penduduk Berdasarkan Umur ... 49

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Penduduk Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 50

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Umur ... 50

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan ... 51

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Pestisida yang Digunakan Responden ... 52

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Gejala Keracunan ... 53

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Jenis Gejala Keracunan yang Muncul ... 51

Tabel 4.9 Indikator Pengetahuan Aspek Keselamatan Penggunaan Pestisida ... 54

Tabel 4.10 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pengetahuan... 56

Tabel 4.11 Indikator Sikap Tentang Aspek Keselamatan Pestisida ... 57

Tabel 4.12 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Sikap ... 59

Tabel 4.13 Tindakan Responden dalam Penanganan Pestisida ... 60

Tabel 4.14 Distribusi Responden Berdasarkan Kesesuaian Tindakan ... 62

Tabel 4.15 Hasil Uji Exact Fisher Pengetahuan dengan Gejala Keracunan ... 63

Tabel 4.16 Hasil Uji Exact Fisher Sikap dengan Gejala Keracunan ... 64

(13)
(14)

Lampiran 2. Lembar Observasi ... 80

Lampiran 3. Surat Izin Penelitian ... 81

Lampiran 4. Surat Keterangan Selesai Penelitian ... 82

Lampiran 5. Dokumentasi ... 83

Lampiran 6. Master Data ... 89

(15)

Tanjung Beringin. Beragama Islam, suku melayu, dan berasal dari Desa Pematang Cermai Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara pasangan Sofyan dan Yusnani.

Pendidikan formal penulis dimulai dari Sekolah Dasar Negeri 104307 Bunga Tanjung Kabupaten Serdang Bedagai pada tahun 2001 dan selesai pada tahun 2007, kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama Ar-Rahman Full Day School Medan pada tahun 2007 dan selesai pada tahun 2010. Setelah menamatkan Sekolah Menengah Pertama, penulis melanjutkan Sekolah Menegah Atas di SMA Unggulan CT Foundation pada tahun 2010 dan selesai pada tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis menempuh pendidikan tinggi pada Program Studi S-1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara dan selesai pada tahun 2017.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu aspek perlindungan terhadap tenaga kerja yang merupakan hak pekerja. Perlindungan bagi petani dari dampak buruk pestisida yaitu memperoleh informasi yang benar melalui label kemasan atau brosur, memperoleh pestisida yang legal dan tidak rusak. Peran pemerintah dalam hal ini adalah melakukan upaya pengawasan terhadap pestisida yang beredar dimasyarakat. Menurut Peraturan Menteri Pertanian (2014) bahwa pengawasan yang dilakukan mulai dari kegiatan pengadaan, produksi, peredaran, penyimpanan, penggunaan, dan pemusnahan pestisida. Pengawasan dilakukan agar pestisida terjamin mutu dan efektivitasnya, tidak mengganggu kesehatan dan keselamatan manusia, dan kelestarian lingkungan hidup.

Penggunaan pestisida dalam upaya pengendalian organisme pengganggu sangat diperlukan. Upaya tersebut sejalan dengan program pemerintah yaitu program intensifikasi. Di Indonesia, jumlah pestisida yang terdaftar mengalami peningkatan. Data dari Kementerian Pertanian tahun 2016 pestisida yang terdaftar meningkat sebanyak 3.207 dari sebelumnya hanya 3.005 pada tahun 2014. Peningkatan tersebut sejalan dengan meningkatnya penggunaan pestisida dikalang petani. Sebanyak 83,53 % petani di Sumatera Utara menggunakan pestisida kimiawi.

(17)

Menurut data World Health Organization (WHO) setidaknya 250.000 kematian akibat keracunan pestisida terjadi setiap tahunnya. Sekitar 5.000-10.000 orang mengalami dampak kesehatan seperti kanker, mandul, lahir cacat, dan hepatitis terutama pada pekerja sektor pertanian. Pestisida merupakan zat yang bersifat toksik, berbahaya, irritant dan korosif sehingga penggunaan pestisida harus dilakukan dengan bijaksana. Penggunan pestisida yang tidak benar berdampak buruk terhadap kesehatan dan lingkungan. Penelitian oleh Pan American Health Organization (2000) dalam Kishi (2002) menunjukkan bahwa 76% kasus keracunan pestisida berhubungan dengan pekerjaan. Hasil penelitian Budiawan (2013) diketahui bahwa setelah penyemprotan petani sering mengeluh mual karena paparan pestisida akibat tidak memakai masker ketika menyemprot. Selain itu hasil penelitian oleh Minaka (2016) menunjukkan bahwa lebih dari separuh (60,9%) petani hortikultura di Desa Pancasari Buleleng, Bali memiliki keluhan kesehatan spesifik yang berkaitan dengan penggunaan pestisida.

Bahaya keracunan pestisida merupakan akumulasi dari perilaku penggunaan yang kurang baik. Risiko keracunan dapat diperkecil apabila diketahui perilaku dan cara kerja yang aman. Perilaku penggunaan pestisida yang kurang baik dimungkinkan oleh faktor sikap, pengetahuan dan tindakan penanganan pestisida yang masih rendah. Perilaku tersebut dapat menyebabkan timbulnya gejala keracunan pestisida. Penelitian yang dilakukan oleh Prijanto (2009) menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan dan tindakan penanganan pasca penyemprotan yang buruk memiliki probabilitas keracunan pestisida sebesar

(18)

70,58%. Menurut Djojosumarto (2008), keracunan juga dapat terjadi karena petani menganggap enteng bahaya pestisida.

Kesalahan dalam penanganan pestisida dapat menyebabkan keracunan akut dan kronis. Keracunan akut ditandai dengan munculnya gejala keracunan setelah aplikasi pestisida, sedangkan keracunan kronis membutuhkan waktu untuk muncul. Hasil penelitian Firman dkk (2010) di Kabupaten Tegal menunjukkan bahwa semua petani yang diwawancarai merasakan gejala keracunan setelah aplikasi pestisida seperti sakit kepala, pusing, mual, sakit dada, muntah, gatal, sakit otot, keringat berlebihan, sulit bernapas, dan pandangan kabur.

Indonesia merupakan negara Agraris sehingga pertanian merupakan salah satu sektor terbesar mata pencarian penduduk Indonesia. Salah satu daerah kontribusi pertanian adalah Sumatera Utara. Data BPS Sumatera utara (2015) dapat disimpulkan bahwa hasil Suvei Ketenagakerjaan Nasional tahun 2014 menunjukkan sebanyak 42,52 % penduduk Sumatera Utara bekerja pada sektor pertanian. Sumatera Utara merupakan peringkat kedua dengan hasil padi terbanyak di pulau Sumatera setelah Sumatera Selatan.

Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu sentra penghasil padi bagi Sumatera Utara. Kabupaten Serdang Bedagai terdiri dari 13 kecamatan. Salah satunya adalah Kecamatan Tanjung Beringin. Desa Pematang Cermai terletak di Kecamatan Tanjung Beringin yang merupakan salah satu daerah penghasil padi. Data BPS Serdang Bedagai (2016) menunjukkan bahwa luas persawahan Desa Pematang Cermai 797 Ha. Mayoritas penduduk Pematang Cermai sebagai petani padi yang tidak terlepas dari penggunaan pestisida.

(19)

Survei pendahuluan melalui pengamatan langsung pada penyemprot pestisida didapat bahwa penanganan pestisida belum dilakukan dengan baik dan jauh dari aman. Penyemprot mencampurkan pestisida yang satu dengan pestisida yang lain dan tidak membaca label peringatan pada kemasan. Penyemprot mengencerkan dan mencampurkan pestisida tidak menggunakan pengaduk melainkan dengan tangan. APD yang digunakan tidak lengkap. Sebagian besar hanya mengunakan baju lengan panjang, celana panjang, dan topi. Dosis pestisida yang digunakan berdasarkan pengalaman dan arah penyemprotan dilakukan dengan cara bolak-balik.

Menurut hasil wawancara, penyemprot mengalami gejala keracunan seperti mual setelah menyemprot pestisida. Gejala tersebut hanya dibiarkan saja oleh penyemprot. Penyemprotan tetap dilakukan meskipun gejala tersebut dirasakannya. Penyemprot juga tidak mengetahui jika pestisida dapat masuk kedalam tubuh melalui kulit. Kasus lain ditemukan adalah seorang petani penyemprot pestisida mengalami muntah-muntah selama penyemprotan insektisida berlangsung. Penyemprotan pestisida dimulai saat padi berumur 2 minggu hingga sebelum panen sebanyak 5-8 kali. Hal itu tergantung pada organisme pengganggu tanaman. Semakin banyak jenis organisme pengganggu tanaman maka semakin tinggi pula intensitas penyemprotan. Penyemprotan tersebut dilakukan oleh petani atau dengan bantuan orang lain yang bekerja sebagai penyemprot. Rata-rata lama penyemprotan pestisida 1-3 jam/kerja hari.

(20)

Berdasarkan latar belakang diatas maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan gejala keracunan pada penyemprot pestisida di Desa Pematang Cermai Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2017.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan gejala keracunan pada penyemprot pestisida di Desa Pematang Cermai Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2017.

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan gejala keracunan pada penyemprot pestisida di Desa Pematang Cermai Kabupaten Serdang Bedagai

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan gejala keracunan pada penyemprot pestisida

2. Mengetahui hubungan sikap dengan gejala keracunan pada penyemprot pestisida

3. Mengetahui hubungan tindakan dengan gejala keracunan pada penyemprot pestisida.

(21)

1.4 Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan pengetahuan dengan gejala keracunan pada penyemprot pestisida.

2. Ada hubungan sikap dengan gejala keracunan pada penyemprot pestisida. 3. Ada hubungan tindakan dengan gejala keracunan pada penyemprot

pestisida.

1.5 Manfaat Penelitian

1. Bagi penyemprot pestisida, penyemprot mengetahui gejala keracunan dan dapat mencegah terjadinya keracunan pestisida.

2. Bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Serdang Bedagai, hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan atau program terkait keselamatan dan kesehatan kerja pada petani.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pestisida

Pestisida merupakan zat atau senyawa kimia, zat pengatur dan perangsang tubuh, bahan lain, serta organisme renik atau virus yang digunakan untuk perlindungan bagi tanaman. Menurut Peraturan Menteri Pertanian RI No 107 tahun 2014 Tentang Pengawasan Pestisida, yang dimaksud dengan pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah hama-hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian-bagian tanaman atau hasil-hasil pertanian, memberantas rerumputan, mematikan daun dan mencegah pertumbuhan yang tidak diinginkan, mengatur atau merangsang pertumbuhan tanaman atau bagian-bagian tanaman tidak termasuk pupuk, memberantas atau mencegah hama-hama liar pada hewan piaraan dan ternak, memberantas atau mencegah binatang-binatang atau jasad-jasad renik dalam rumah tangga, bangunan dan dalam alat-alat pengangkutan, memberantas atau mencegah hama air, memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia atau binatang-binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan pada tanaman, tanah atau air.

Pestisida mencakup produk-produk yang digunakan dibidang pengolaan tanaman (pertanian, perkebunan, kehutanan), peternakan, kesehatan hewan, perikanan, penyimpanan hasil pertanian, pengawetan hasil hutan, kesehatan masyarakat, pestisida rumah tangga, serta pestisida industri.

(23)

Menurut Djojosumarto (2008) dapat disimpulkan bahwa pestisida pada dasarnya tidak hanya bekerja sebagai pembunuh tetapi juga bisa sebagai penarik, pengusir, dan zat pengatur tumbuh.

2.2 Penggolongan Pestisida

2.2.1 Berdasarkan Tujuan Penggunaan

1. Insektisida digunakan untuk memberantas serangga

2. Rodentisida digunakan untuk memberantas binatang pengerat. 3. Herbisida digunakan untuk memberantas tanaman pengganggu. 4. Fungisida digunakan untuk memberantas penyakit akibat jamur. 5. Bakterisida digunakan untuk memberantas penyakit akibat bakteri. 6. Moluskisida digunakan untuk membunuh moluska.

7. Nematisida digunakan untuk membunuh cacing.

8. Akarisida digunakan untuk membunuh tungau, caplak, dan laba-laba. 9. Avisida digunakan untuk membunuh burung.

10. Pedukulusida digunakan untuk membunuh kutu.

11. Predasida digunakan untuk membunuh hama vertebrata. 12. Algisida digunakan untuk mengendalikan ganggang. 13. Piskisida digunakan untuk mengendalikan ikan buas. 14. Repelen digunakan untuk mengusir hama.

15. Atraktan digunakan untuk menarik atau mengumpulkan serangga. 16. ZPT digunakan untuk memacu atau menekan pertumbuhan.

17. Plant activator digunakan untuk merangsang timbulnya kekebalan tumbuhan sehingga tahan terhadap penyakit tertentu.

(24)

2.2.2 Berdasarkan Struktur Kimia 1. Pestisida golongan organoklorin

Pestisida golongan organoklorin pada umumnya merupakan racun perut dan racun kontak yang efektif terhadap larva, serangga dewasa, kepompong dan telurnya. Pestisida organoklorin merupakan bahan kimia yang masuk dalam kategori Persisten Organic Pollutants (POPs) yang berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Penggunaan organoklorin dalam jangka waktu lama menyebabkan persisten dalam tanah, tubuh hewan, dan jaringan tumbuhan, akumulasi terutama pada jaringan lemak. Organoklorin dapat menyebabkan kanker, alergi dan merusak susunan saraf serta dapat mengganggu sistem endokrin yang menyebabkan kerusakan pada sistem reproduksi dan sistem kekebalan yang terjadi pada mahluk hidup, termasuk janin. Kerja organoklorin juga tidak efektif serta dapat menyebabkan resistensi.

Pestisida golongan organoklorin meliputi turunan halobenzen dan analog (DDT), benzene heksaklorida (lindan), toksafen, asam 2,4-diklorofenoksiasetat, heptaklor, aldrin, dieldrin, endrin, mirex, tiodan, dan klordekon. Beberapa nama formulasi yang beredar di Indonesia seperti Herbisida Garlon 480 EC, Gramoxon dan Fungisida Akofol 50 WP. 2. Pestisida inhibitor kolinesterase

Pestisida inhibitor kolinesterase paling banyak digunakan pada bidang pertanian sebagai insektisida pengganti pestisida golongan

(25)

organoklorin. Pestisida yang termasuk pada pestisida ini adalah golongan organofosfat dan karbamat.

a. Golongan organofosfat

Pestisida organofosfat merupakan pestisida yang paling banyak digunakan pada pertanian dan peternakan. Pestisida golongan organofosfat bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan beberapa diantaranya sebagai racun pernapasan. Mayoritas pestisida organofosfat merupakan insektisida nonsistemik dan beberapa sebagai insektisida sistemik seperti demeton, disulfoton, fosmidon, monokrotos, dan tiometon. Penggunaan pestisida organofosfat semakin banyak digunakan karena cara kerjanya selektif, cepat, mudah terurai di lingkungan sehingga tidak persisten, tidak menyebabkan resisten pada serangga dan tidak bersifat bioakumulatif.

Semua insektisida organofosfat yang sebagai racun saraf mengakibatkan kelumpuhan pada serangga sasaran dan akhirnya mati. Reaksi pestisida organofosfat pada manusia adalah dengan menghambat aksi pseudocholinesterase dalam plasma dan cholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis acetylcholine menjadi asetat dan kolin. Saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah acetylcholine meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. Berdasarkan penelitian oleh Kishi

(26)

(2002) dapat disumpulkan bahwa organofosfat bertanggung jawab terhadap atas sebagian besar kasus kematian di pedesaan.

Pestisida yang termasuk golongan organofosfat adalah asefat, forat, dimetoat, dikrotofos, malation, metamidofos, triklorfon, terbufos, azinfos metil, fention, klorpirifos, metidation, parathion etil, parathion metil, izofenfos, profenofos, etion, schardan, tetraetil dithiofosfat, dimetoks, ipafoks, abate, azinfos metil, diazion, fenitrotion, fention, quinalfos, diklorvos, dimeton, dimetoat, fosfamidon, mevinfos, fasalon, fosmet, foksim, piraklofos, triazofos, dan protiofos. Beberapa nama formulasi yang masih beredar di Indonesia seperti Herbisida Scout 180/22 AS, Polaris 240 AS, Roundup 75 WSG, Fungisida Kasumiron 25/1 WP, Afugan 300 EC, Rizolex 50 WP, Insektisida Curacron 500 EC, Voltage 560 EC, Tokuthion 500 E.

b. Golongan karbamat

Karbamat merupakan racun kontak, racun perut, racun pernapasan dan racun saraf yang bekerja menghambat cholinesterase. Hambatan tersebut bersifat reversible (dapat pulih) berbeda dengan insektisida golongan organofosfat yang bersifat irreversible (tidak dapat pulih). Pestisida golongan karbamat relatif mudah terurai di lingkungan dan tidak terakumulasi oleh jaringan lemak hewan. Karbamat umumnya digunakan untuk mengendalikan hama padi seperti penggerek batang, wereng batang coklat, wereng hijau, dan hama lundi pada padi gogo. Golongan karbamat yang banyak digunakan dari jenis karbofuran, karbaril dan aldicarb.

(27)

Karbofuran berspektrum luas untuk pengendalian hama pada tanaman padi, jagung, jeruk, dan tembakau. Karbofuran banyak digunakan di Indonesia sebagai herbisida dan insektisida.

Pestisida yang termasuk kedalam golongan karbamat adalah karbaril, metiokarb, propoksur, dimetilan, isolan, pirolan, bendiocarb, karbofuran, aldicarb, metomil, benfurakarb, karbosulfan, fenobukarb, fenosikarb, furatiokarb, isoprokarb, metiokarb, metolkarb, oksamil, tiodikarb dan lain-lain. Beberapa nama formulasi yang masih beredar di Indonesia seperti Fungisida Previcur N, Topsin 500 F, dan Enpil 670 EC, Insektisida Curaterr 3 G, Dicarzol 25 SP.

Pestisida golongan inhibitor kolinesterase yang paling banyak menyebabkan keracunan akut adalah aldicarb, karbofuran, klorpirifos, etoprofos, metamidofos, metomil, metilparation, monocrotofos (Kishi, 2002).

3. Pestisida lainnya

Senyawa kimia lain tidak termasuk dalam golongan organoklorin dan inhibitor kolinesterase sebagai berikut:

a. Piretroid digunakan sebagai insektisida.

b. Dinitrofenol digunakan sebagai insektisida dan herbisida. c. Fluoroasestat digunakan sebagai rodentisida.

d. Tembakau dan nikotin digunakan sebagai insektisida. e. Tiosianat digunakan sebagai insektisida.

(28)

g. Parakuat dan dikuat digunakan sebagai herbisida.

h. Thalium digunakan sebagai rodentisida dan pembunuh semut. i. Barium digunakan sebagai rodentisida.

j. Seng fosfid digunakan sebagai rodentisida terhadap tikus. k. Antikoagulan digunakan sebagai rodentisida terhadap tikus. l. Senyawa arsen digunakan sebagai fungisida dan insektisida. m. Halokarbon dan sulfuril digunakan sebagai fumigan.

Kishi (2002) menyatakan bahwa pestisida selain golongan inhibitor kolinesterase yang paling sering menyebabkan keracunan akut adalah paraquat, endosulfan, dan aluminium phosphide.

2.2.3 Berdasarkan Cara Masuk

1. Pestisida sebagai racun perut atau lambung

Pestisida sebagai racun perut mempunyai daya bunuh setelah target sasaran memakan pestisida serta masuk kedalam organ pencernaan. Pestisida tersebut akan diserap dinding saluran pencernaan dan dibawa ketempat pestisida tersebut aktif. Serangga harus memakan tanaman yang telah disemprot dalam jumlah yang cukup untuk membunuhnya.

2. Pestisida sebagai racun kontak

Pestisida sebagai racun kontak mempunyai daya bunuh setelah target sasaran kontak dengan pestisida. Pestisida akan masuk ke dalam tubuh sasaran melalui kontak kulit.

(29)

3. Pestisida sebagai racun inhalasi (fumigan)

Pestisida sebagai racun fumigan mempunyai daya bunuh setelah organisme sasaran menghirup pestisida dan masuk ke dalam sistem pernapasan.

2.2.4 Berdasarkan Cara Kerja 1. Racun saraf

Racun saraf merupakan cara kerja yang paling umum. Gejala umum akibat paparan pestisida ini adalah serangga akan lumpuh dan kejang-kejang sebelum mati.

2. Racun pencernaan

Racun pencernaan adalah racun yang masuk ke dalam saluran pencernaan serangga dan merusak saluran pencernaan tersebut sehingga menyebabkan serangga mati.

3. Racun penghambat

Racun penghambat umumnya bekerja dengan cara menghambat pembentukan kitin yang menyebabkan proses pergantian kulit terganggu dan serangga akan mati dalam beberapa hari kedepan.

4. Racun metabolisme

Racun ini membunuh serangga dengan menghambat fosforilasi oksidatif dan proses pembentukan ATP.

5. Racun fisik

Racun yang membunuh serangga dengan cara yang tidak spesifik seperti minyak tanah.

(30)

2.3 Warna Dasar dan Tanda Peringatan Bahaya

Warna dasar dan tanda peringatan bahaya pada kemasan pestisida: 1. Ia sangat berbahaya sekali : warna coklat tua

2. Ib sangat berbahaya : warna merah tua

3. II berbahaya : warna kuning tua

4. III cukup berbahaya : warna biru muda

2.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Keracunan Faktor-faktor yang memengaruhi keracunan pestisida 1. Usia

Semakin bertambahnya usia semakin berkurangnya fungsi metabolisme dan menurunya aktivitas kolinesterase darah sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida.

2. Jenis kelamin

Wanita rata-rata mempunyai aktifitas kolinesterase lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki.

3. Status kesehatan

Pengaplikasian pestisida saat kondisi tubuh sedang tidak sehat mempermudah terjadinya keracunan pestisida.

4. Tingkat pengetahuan

Pengetahuan yang cukup diharapkan para petani penyemprot dapat melakukan penanganan pestisida dengan baik, sehingga risiko terjadinya keracunan dapat dihindari.

(31)

5. Suhu lingkungan

Suhu lingkungan berkaitan dengan waktu menyemprot, matahari semakin terik atau semakin siang maka suhu akan semakin tinggi. Kondisi demikian akan mempengaruhi efek pestisida melalui mekanisme penyerapan melalui kulit penyemprot pestisida.

6. Cara penanganan

Penanganan pestisida sejak pembelian, penyimpanan,

pencampuran, cara menyemprot hingga penanganan setelah penyemprotan berpengaruh terhadap resiko keracunan bila tidak memenuhi ketentuan. 7. Penggunaan alat pelindung diri

Penggunaan alat pelindung diri pada petani waktu penanganan pestisida sangat penting untuk menghindari kontak langsung dengan pestisida.

8. Dosis pestisida

Dosis yang melebihi aturan akan membahayakan pengguna pestisida.

9. Jumlah jenis pestisida

Pestisida mempunyai efek fisiologis yang berbeda-beda tergantung dari kandungan zat aktif dan sifat fisik dari pestisida tersebut.

10. Masa kerja

Semakin lama petani menjadi penyemprot, maka semakin lama pula kontak dengan pestisida sehingga risiko keracunan terhadap pestisida semakin tinggi.

(32)

11. Lama paparan

Saat melakukan penyemprotan sebaiknya tidak boleh lebih dari 3 jam, bila melebihi maka risiko keracunan akan semakin besar.

12. Frekuensi penyemprotan

Semakin sering seseorang melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pula resiko keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan. Waktu yang dianjurkan untuk melakukan kontak dengan pestisida maksimal 2 kali dalam seminggu. 13. Penyemprotan searah angin

Penyemprotan yang baik searah dengan arah angin dan penyemprot hendaklah mengubah posisi penyemprotan apabila angin berubah.

14. Waktu penyemprotan

Waktu penyemprotan perlu diperhatikan hal ini berkaitan dengan suhu lingkungan yang dapat menyebabkan keluarnya keringat lebih banyak terutama pada siang hari sehingga penyemprotan pada siang hari akan semakin mudah terjadinya keracunan pestisida melalui kulit. Waktu penyemprotan yang baik adalah pagi atau sore hari.

15. Higiene perorangan

Higiene perorangan yang buruk dapat menyebabkan keracunan pestisida, seperti mandi atau mencucui tangan setelah aplikasi, kuku tangan tidak dipotong

(33)

16. Alat semprot

Alat semprot atau sprayer yang bocor dapat menyebabkan kulit terpapar pestisida sehingga kulit dapat keracunan. Seperti timbulnya rasa gatal pada kulit, kulit kemerahan, atau iritasi kulit.

2.5 Faktor Penyebab Timbul Keracunan

Beberapa faktor umum penyebab terjadinya keracunan pestisida: 1. Petani tidak memiliki pengetahuan tentang kesehatan yang memadai. 2. Petani tidak memiliki informasi yang benar dan akurat tentang pestisida,

risiko penggunaan, dan teknik penggunaan pestisida yang benar dan bijaksana.

3. Informasi yang cukup tetapi petani biasanya menganggap enteng bahaya pestisida.

2.6 Keracunan Pestisida dan Jalur Masuk 2.6.1 Keracunan Pestisida

Ada 2 tipe keracunan pestisida 1. Keracunan akut

Keracunan akut ditandai dengan efek dirasakan langsung pada saat itu atau beberapa jam setelah itu. Beberapa gejala keracunan akut seperti sakit kepala, pusing, mual, sakit dada, muntah-muntah, sakit otot, keringat berlebih, kram, diare, sulit bernapas, pandangan kabur, bahkan dapat menyebabkan kematian.

(34)

Berdasarkan luas keracunan : a. Efek lokal

Efek lokal terjadi jika efek hanya memengaruhi bagian tubuh yang terkena kontak langsung dengan pestisida biasanya berupa iritasi, rasa kering, kemerahan dan gatal-gatal di mata, iritasi hidung, tenggorokan dan kulit, mata berair, dan batuk.

b. Efek sistemik

Efek sistemik muncul jika pestisida masuk ke dalam tubuh dan memengaruhi organ tubuh dengan tingkat yang berbeda. Darah akan membawa pestisida keseluruh bagian tubuh dan memengaruhi mata, jantung, paru-paru, perut, hati, lambung, otot, usus, otak, dan saraf.

2. Keracunan kronis

Keracunan kronis terjadi bila efek-efek keracunan membutuhkan waktu untuk muncul atau berkembang. Efek-efek jangka panjang ini dapat muncul setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun setelah terpapar pestisida. Pestisida memberikan dampak kronis pada sistem saraf, hati, perut, sistem kekebalan tubuh, keseimbangan hormon, dan dapat menyebabkan kanker.

2.6.2 Jalur Masuk Pestisida Kedalam Tubuh

Jalur masuk pestisida ke dalam tubuh melalui 3 rute yakni: 1. Melalui kulit (dermal contamination)

Pestisida yang menempel pada kulit dapat masuk melalui kulit yang utuh maupun kulit yang terluka. Kontaminasi melalui kulit

(35)

merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi. Lebih dari 90% kasus keracunan diseluruh dunia disebebkan oleh kontaminasi kulit (Djojosumarto, 2008).

Risiko kontaminasi lewat kulit dipengaruhi beberapa hal sebagai berikut: a. Toksisitas Dermal (dermal LD50) pestisida yang bersangkutan. Semakin

kecil LD50 maka semakin berbahaya.

b. Konsentrasi pestisida yang menempel pada kulit. Semakin pekat maka semakin bahaya.

c. Jenis dan formulasi pestisida. Petisida yang satu dengan pestisida yang lain tidak sama daya tembusnya terhadap kulit.

d. Jenis dan bagian kulit yang terpapar. Kulit punggung tangan lebih mudah menyerap pestisida dari pada kulit telapak tangan.

e. Luasnya kulit yang terpapar pestisida. Semakin luas yang terpapar maka semakin besar risikonya.

f. Kondisi fisik yang bersangkutan. Makin lemah kondisi fisik seseorang maka semakin besar risiko keracunannya.

Pekerjaan yang menimbulkan risiko tinggi kontaminasi kulit adalah: a. Penyemprotan dan aplikasi lainnya, termasuk pemaparan langsung oleh

droplet atau drift pestisida dan menyeka wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang terkontaminsai pestisida.

b. Pencampuran pestisida tidak sering menimbulkan kontaminasi dibandingkan dengan menyemprot tetapi apabila terjadi terkontaminasi

(36)

maka risikonya lebih besar. Ini berhubungan dangan konsentrasi pestisida yang mengontaminasi.

c. Mencuci alat-alat aplikasi umunya jarang terjadi keracunan karena pestisida yang menempel pada kulit telah diencerkan oleh air yang digunakan untuk mencuci alat-alat.

2. Melalui saluran pernapasan (inhalasi)

Saluran pernapasan merupakan jalur kontaminasi terbanyak kedua setelah kulit. Gas atau partikel semprotan yang sangat halus (<10 mikron) dapat masuk ke paru yang dapat menimbulkan gangguan fungsi paru-paru. Partikel yang lebih besar (>50 mikron) akan menempel pada selaput lendir dan tenggorokan yang dapat menyebabkan iritasi selaput lendir. Risiko kontaminasi pestisida lewat saluran pernapasan dipengaruhi oleh faktor-faktor beriku :

a. LC50 pestisida. Semakin rendah angka LC50 pestisida akan semakin berbahaya.

b. Ukuran partikel. Partikel dengan ukuran <10 mikron sangat berbahaya karena bisa masuk ke dalam paru-paru.

c. Lamanya kontaminasi. Semaik lama terpapar pestisida semakin tinggi risiko keracunan.

d. Kondisi fisik. Seseorang dengan kondisi tubuh yang tidak fit cenderung lebih mudah mengalami keracunana pestisida.

(37)

a. Menimbang, mencampur, dan menyemprot pestisida di ruang tertutup atau yang ventilasinya buruk.

b. Aplikasi pestisida berbentuk gas atau yang akan membentuk gas, aerosol, terutama aplikasi di dalam ruangan, aplikasi berbentuk tepung mempunyai risiko tinggi.

c. Mencampur pestisida berbentuk tepung (debu terhisap) 3. Melalui mulut (oral) atau pencernaan

Keracunan pestisida melalui mulut jarang terjadi namun pada kasus tertentu keracunan melalui mulut masih ditemukan.

Keracunan melalui mulut dapat terjadi karena : a. Kasus bunuh diri

b. Makan, minum, dan merokok ketika bekerja dengan pestisida.

c. Menyeka keringat di wajah dengan tangan, lengan baju, atau sarung tangan yang terkontaminasi pestisida.

d. Drift pestisida terbawa angin masuk ke dalam mulut. e. Makanan dan minuman terkontaminasi pestisida.

Risiko keracunan lewat mulut dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: a. LD50 oral dari bahan aktif. Semakin rendah LD50 semakin berbahaya. b. Kuantitas bahan aktif yang tertelan. Semakin banyak jumlah bahan aktif

yang tertelan semakin tinggi risiko keracunan.

c. Formulasi pestisida. Bahan tambahan pembuatan pestisida dapat menyebabkan lebih beracun atau tidak.

(38)

d. Kondisi fisik pengguna. Semakin lemah kondisi fisik semakin mudah terjadinya keracunan pestisida.

Keracunan pestisida dapat terjadi pada 4 macam jenis pekerjaan yaitu a. Membawa, menyimpan, dan memindahkan konsentrat pestisida b. Mencampur atau mengencerkan pestisida sebelum aplikasi

c. Pengaplikasian pestisida seperti penyemprotam, penaburan atau fumigasi d. Mencuci alat-alat yang telah dipakai

Diantara jenis pekerjaan tersebut yang paling sering menimbulkan kontaminasi adalah pekerjaan aplikasi terutama dengan cara penyemprotan, namun yang paling berbahaya adalah pekerjaan mencampur atau mengencerkan pestisida. Hal ini karena konsentrat pestisida masih dalam keadaan berkadar tinggi sedangkan pada saat pengaplikasian, pestisida sudah diencerkan.

2.7 Gejala Keracunan Pestisida

Gejala keracunan akut pestisida akan sering muncul sesaat setelah terpapar pestisida. Tergantung pada konsentrasi pestisida, toksisitas pestisida, jumlah pestisida yang terabsorbsi, dan jalur masuk pestisida (jalur inhalasi lebih cepat menimbulkan gejala dari pada melalui jalur paparan kulit (ILO, 1991). Menurut Djojosumarto (2008), gejala-gejala keracunan pestisida mulai dari yang paling ringan sampai yang paling berat. Gejala seperti pusing atau sakit kepala, iritasi kulit, badan terasa sakit, dan diare diklasifikasikan ke dalam keracunan ringan. Gejala-gejala seperti mual, muntah, menggigil, kejang perut, keluar air liur, sesak napas, pupil mata mengecil, denyut nadi meningkat, hingga pingsan atau kejang-kejang termasuk keracunan berat. Gejala-gejala tersebut bukanlah gejala khas

(39)

namun jika seseorang yang mula-mula sehat kemudian selama atau setelah aplikasi pestisida merasakan salah satu atau beberapa gejala seperti gejala tersebut maka patut diduga bahwa yang bersangkutan telah keracunan.

Beberapa gejala umum keracunan pestisida seperti mata berwarna merah, terasa gatal, sakit, dan keluar air mata, keluar air liur dan keringat berlebihan, mual, muntah, kulit terasa panas, gatal-gatal, dan kemerahan, sulit bernapas dan dada sesak, pusing dan sakit kepala, gemetar (keracunan organofosfat), kejang (keracunan organoklorin), aritmia (detak jantung tidak teratur), batuk-batuk, diare, berkurangnya kesadaran

2.7.1 Gejala Keracunan Organoklorin

Tanda-tanda keracunan organoklorin: keracunan pada dosis rendah, pusing-pusing, mual, sakit kepala, tidak dapat berkonsentrasi secara sempurna. Pada keracunan dosis yang tinggi dapat kejang-kejang, muntah dan dapat terjadi hambatan pernapasan.

2.7.2 Gejala Keracunan Organofosfat

Gejala keracunan akut akan muncul beberapa menit sampai setengah jam pada keracunan secara inhalasi, 15 menit sampai 1 jam pada keracunan secara oral, dan 2 sampai 3 jam pada keracunan melalui kulit dan mata. Gejala keracunan organofosfat: keringat meningkat, badan rasa sakit, pandangan kabur, kenaikan sekresi kelenjar, produksi kelenjar ludah meningkat, sesak napas, mual, muntah, kram perut, diare, defekasi spontan, diuresis spontan, mudah capek, otot kontraksi, kram, tekanan darah meningkat atau denyut jantung melambat.

(40)

2.7.3 Gejala Keracunan Karbamat

Gejala keracunan berupa pusing, kelemahan otot, diare, berkeringat, mual, muntah, tidak ada respon pada pupil mata, penglihatan kabur, sesak napas dan konvulsi.

2.7.4 Gejala Keracunan Piretroid

Gejala keracunan pestisida golongan piretroid dapat berupa iritasi pada kulit misalnya rasa terbakar, panas, gatal-gatal, kesemutan hingga mati rasa. Gejala yang lain yang dapat muncul seperti tremor, keluar air liur berlebihan, muntah, dan diare.

2.8 Dampak Keracunan Pestisida Terhadap Kesehatan

Dampak keracunan pestisida terhadap kesehatan bersifat akut dan kronis. Pestisida yang masuk ke dalam tubuh dan beredar dalam darah akan mencapai organ target. Organ-organ tubuh yang biasanya menjadi target kerusakan adalah paru-paru, hati, sumsum tulang, ginjal, kulit, susunan saraf pusat dan tepi.

Pestisida meracuni tubuh melalui beberapa mekanisme yaitu : 1. Memengaruhi kerja enzim/hormon.

Enzim dan hormon dalam kerjanya membutuhkan activator, racun yang masuk ke dalam tubuh dapat menonaktifkan activator sehingga enzim atau hormon tidak dapat bekerja. Pestisida masuk dan bereaksi dengan sel sehingga akan menghambat atau mempengaruhi kerja sel. 2. Merusak jaringan

Timbul histamin dan serotonin yang menimbulkan reaksi alergi, dapat juga muncul senyawa baru yang lebih beracun.

(41)

3. Fungsi detoksikasi hati.

Pestisida yang masuk ke tubuh akan mengalami proses detoksikasi (dinetralisasi) di dalam hati. Senyawa racun ini akan diubah menjadi senyawa lain yang sifatnya kurang beracun terhadap tubuh.

2.9 Pencegahan Keracunan Pestisida

Untuk menekan risiko dan menghindari dampak negatif penggunaan pestisida bagi petani.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai berikut : 1. Peraturan perundang-undangan

Peraturan tentang pestisida yang juga mencakup penggunaan pestisida dan tindakan keselamatan perlu disosialisasikan agar peraturan tersebut ditaati dan dilaksanakan dengan penuh kesadaran.

2. Pendidikan dan latihan

Pengguna pestisida perlu dibekali informasi yang memadai tentang pestisida dan cara penggunaannya yang legal, benar, dan bijaksana.

3. Peringatan bahaya

Setiap kemasan pestisida dilengkapi dengan brosur atau label yang harus dipatuhi oleh pengguna. Pengguna disarankan harus membaca label terlebih dahulu sebelum menggunakan pestisida. Pengguna juga harus mempelajari piktogram pada kemasan.

(42)

4. Penyimpanan pestisida

Pestisida sebaiknya disimpan ditempat khusus dan aman bagi siapa pun. Gudang tempat penyimpanan harus berventilasi baik, pestisida disimpan pada wadah aslinya jika tidak harus dibuat peringatan AWAS RACUN.

5. Tempat kerja

Pencampuran pestisida harus dilakukan diluar ruangan. 6. Kondisi kesehatan pengguna

Pengguna pestisida yang kondisi badannya kurang/tidak sehat atau belum makan (perut kosong) jangan bekerja dengan pestisida, karena kondisi tubuh yang kurang sehat atau perut kosong dapat memperberat keracunan pestisida.

7. Penggunaan pakaian dan peralatan pelindung

Pakaian pelindung harus dipakai sejak mulai

pencampuran/pengenceran, aplikasi pestisida, dan mencuci alat-alat yang digunakan.

Langkah-langkah agar keselamatan terjamin dalam penggunaan pestisida : a. Sebelum pemakaian

1. Jangan melakukan pekerjaan penyemprotan pestisida bila kondisi tidak sehat.

2. Jangan mengizinkan anak-anak berada di sekitar tempat pestisida yang akan digunakan atau mengizinkan anak-anak melakukan pekerjaan penyemprotan pestisida.

(43)

3. Catat nama pestisida yang digunakan, bahan aktifnya, dan kode warna lingkarannya.

4. Alat pelindung diri sudah harus dipakai sejak persiapan penyemprotan. 5. Jangan masukkan rokok, makanan, dan sebagainya ke dalam kantung

pakaian kerja.

6. Periksa alat-alat aplikasi sebelum digunakan. Jangan menggunakan alat semprot yang bocor. Kencangkan sambungan-sambungan yang sering terjadi bocor.

7. Siapkan air bersih dan sabun di tempat kerja untuk mencuci tangan dan keperluan lain.

8. Siapkan handuk kecil yang bersih dalam kantung plastik tertutup dan bawa ke tempat kerja.

9. Saat menakar pestisida, sebaiknya jangan langsung memasukkan pestisida kedalam tangki kecuali diharuskan oleh pembuatnya. Takar dan aduklah pestisida pada ember untuk pestisida.

b. Ketika pemakaian

1. Perhatikan arah angin. Jangan melakukan penyemprotan yang berlawanan arah angin dan saat angin kencang karena drift pestisida dapat membalik dan mengenai diri sendiri

2. Jangan membawa makanan, minuman, dan rokok dalam kantung pakaian kerja.

(44)

4. Jangan menyeka keringat pada wajah dengan tangan, sarung tangan, atau lengan baju yang terkontaminasi petisida untuk menghindari pestisida masuk ke mata atau mulut. Untuk keperluan itu gunakan handuk bersih untuk menyeka keringat atau kotoran pada wajah.

5. Bila nozzle tersumbat, jangan meniup nozzle yang terkontaminasi langsung dengan mulut.

c. Sesudah pemakaian

1. Cuci tangan dengan sabun hingga bersih segera sesudah pekerjaan selesai. 2. Segera mandi setelah sampai di rumah dan ganti pakaian kerja dengan

pakaian sehari-hari.

3. Jika tempat kerja jauh dari rumah dan harus mandi dekat tempat kerja, sediakan pakaian bersih dalam kantung plastik tertutup. Sesudah ganti pakaian, bawalah pakaian kerja dalam kantung tersendiri.

4. Cuci pakaian kerja terpisah dari cucian lainnya.

5. Makan, minum, atau merokok hanya dilakukan sesudah mandi atau sesudah mencuci tangan dengan sabun.

2.10 Tatalaksana Keracunan Pestisida

Penanganan keracunan pestisida harus segera dilakukan. Keterlambatan dalam menangani kasus pajanan berat dapat mengakibatkan korban jiwa. Jika gejala keracunan muncul, segera hentikan perkejaan dan cari pertolongan pertama.

(45)

Pertolongan pertama yang dapat dilakukan: 1. Apabila terasa tidak enak badan

Berhentilah bekerja dan segera kunjungi kedokter dengan membawa label kemasan pestisida.

2. Bila pestisida tertelan

Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari informasi bahan aktif pestisida yang digunakan. Jika yang tertelan adalah pestisida yang sangat toksik maka segera muntahkan penderita dengan mengorek dinding belakang tenggorok dengan jari atau alat lain, dan atau memberikan larutan garam dapur satu sendok makan penuh dalam segelas air hangat. Bila penderita tidak sadar, tidak boleh dimuntahkan karena bahaya aspirasi. Penderita yang tidak sadarkan diri longgarkan pakaian dan segera bawa kedokter. Bila muntah dapat dilakukan segera beri karbon aktif dan bawa segera kedokter.

3. Bila terhisap lewat pernapasan

Segera jauhkan dari tempat kerja atau sumber pemaparan. Pindahkan ketempat yang berudara bersih dan segar. Kendurkan pakaian korban. Jika penderita berhenti bernapas, segera beri pernapasan buatan. Terlebih dahulu bersihkan mulut dari air liur dan lendir. Jika gawat segera bawa kedokter.

4. Bila terkena kulit

Segera lepaskan pakaian yang terkena dan kulit dicuci dengan air sabun. Keringkan tubuh dengan handuk kering dan bersih. Jika bagian

(46)

tubuh yang terkena pestisida luas dan termasuk golongan berbahaya segera bawa kedokter. Bakar pakaian yang terkena pestisida jika sulit dibersihkan. 5. Bila terkena mata

Segera cuci dengan banyak air selama 15 menit. Jangan gunakan obat tetes. Tutup mata dengan kain atau kasa bersih. Jika mata terasa sakit segera bawa kedokter.

2.11 Prinsip Penggunaan Pestisida

Konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) berdasarkan 5 tepat:

1. Tepat sasaran: Pestisida yang digunakan harus berdasarkan jenis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang menyerang tanaman.

2. Tepat jenis: setiap jenis pestisida hanya diperuntukan bagi OPT tertentu. Informasi tersebut tertera pada label kemasan pestisida.

3. Tepat waktu: Penggunaan pestisida berdasarkan konsep pengendalian hama terpadu harus berdasarkan hasil pemantauan atau pengamatan rutin. 4. Tepat dosis: daya racun pestisida terhadap jasad sasaran ditentukan oleh

dosis atau konsentrasi formulasi pestisida yang terdapat pada label kemasan.

5. Tepat cara penggunaan: cara penggunaan pestisida ialah pencelupan, pengasapan, pemercikan, penyuntikan, pengolesan, penaburan, penyiraman dan penyemprotan.

(47)

2.12 Alat Pelindung Diri (APD)

Alat pelindung diri merupakan peralatan keselamatan yang harus digunakan pekerja apabila berada ditempat kerja. Alat pelindung diri untuk penggunaan pestisida adalah topi, kaca mata, maker, sarung tangan, baju lengan panjang, celana panjang, celemek/apron dan sepatu boot.

Alat pelindung diri bagi pengguna pestisida: 1. Pakaian pelindung

Pakaian pelindung yaitu celana panjang dan baju lengan panjang yang terbuat dari bahan yang cukup tebal dengan tenunan rapat. Pakaian sebaiknya tidak berkantung karena dengan adanya kantung cenderung digunakan untuk menyimpan benda-benda seperti rokok. Jas hujan dapat dijadikan sebagai alat pelindung karena terbuat dari plastik yang tidak menyerap air dan mudah untuk dibersihkan.

2. Celemek atau apron

Celemek yang terbuat dari plastik. Celemek harus digunakan pada penyemprotan tanaman yang tinggi dan pengaplikasian pestisida terbatas pakai.

3. Penutup kepala

Penutup kepala misalnya topi lebar. Topi dengan pinggiran yang lebar digunakan untuk melindungi bagian-bagian kepala dan muka. Topi harus terbuat dari bahan yang kedap carian dan tidak terbuat dari kain atau kulit.

(48)

4. Pelindung mulut dan hidung

Pelindung mulut dan hidung yang dapat digunaka seperti masker atau sapu tangan atau kain sederhana lainnya.

5. Sarung tangan

Sarung tangan (gloves) yang terbuat dari bahan yang tidak tembus air seperti karet, jika pestisida mempunyai konsentrasi tinggi maka diperlukan sarung tangan neoprene. Sarung tangan tidak boleh terbuat dari kulit atau katun karena pestisida yang melekat sukar dicuci. Sarung tangan yang digunakan harus panjang sehingga menutupi bagian pergelangan tangan. Sarung tangan berfungsi untuk melindungi tangan dari kontaminasi percikan pestisida.

6. Kaca mata

Kaca mata terbuat dari bahan anti air (water proff) sehingga mata tidak terkena partikel-partikel pestisida.

7. Sepatu bot

Untuk penggunaan pada lahan basah (sawah) memang sulit digunakan tetapi pada tempat kerja yang kering perlu digunakan.

2.13 Pengetahuan

Menurut Notoatmojo (2010) pengetahuan merupakan hasil pengindraan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya

(49)

2.13.1 Tingkat Pengetahuan

Secara garis besar tingkatan pengetahuan dibagi menjadi 6 bagian yaitu : 1. Tahu

Tahu diartikan sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu.

2. Memahami

Memahami suatu objek tidak hanya sekadar dapat menyebutkan tetapi dapat menginterprestasikan objek tersebut.

3. Aplikasi

Aplikasi dipahami sebagai praktik dari pemahaman yang didapat dengan kata lain aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

4. Analisis

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.

5. Sintesis

Menunjukkan kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen-komonen pengetahuan yang dimilikinya.

(50)

6. Evaluasi

Evaluasi merupakan kemampuan seseorang dalam melakukan penilaian terhadap objek tertentu.

2.14 Sikap

Sikap diartikan sebagai respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. Sikap merupakan kesiapan untuk bertindak atau predisposisi tindakan.

2.14.1 Komponen Sikap

Komponen sikap terdiri atas 3 pokok yaitu:

1. Kepercayaan atau keyakinan, ide atau konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi orang terhadap objek diartikan sebagai bagaimana penilaian orang tersebut terhadap objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak artinya sikap yang merupakan komponen yang mendahului tindakan.

2.15 Tindakan

Tindakan ini mengacu pada perilaku yang diekspresikan dalam bentuk aktivitas yang merupakan bentuk nyata dari pengetahuan dan sikap yang dimiliki. Sikap belum tentu dapat terwujud dalam tindakan sebab terwujudnya tindakan perlu faktor lain seperti adanya fasilitas.

(51)

2.15.1 Tingkatan Tindakan

Tindakan dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu:

1. Tindakan terpimpin adalah seseorang yang melakukan tindakan tetapi masih tergantung pada tuntutan atau menggunakan panduan.

2. Tindakan secara mekanisme adalah seseorang yang telah melakukan tindakan secara otomatis.

3. Adopsi adalah tindakan yang sudah berkembang dan tindakan yang berkualitas.

Tindakan terjadi diawali dengan adanya pengalaman-pengalaman seseorang serta faktor-faktor lingkungan baik fisik maupun nonfisik. Pengalaman dan lingkungan tersebut diketahui, dipersepsikan, dan diyakini sehingga menimbulkan motivasi, niat untuk bertindak dan pada akhirnya terwujudlah tindakan.

2.16 Pengukuran Perilaku

Metode-metode yang sering digunakan untuk mengukur perilaku, biasanya tergantung pada ranah perilaku yang ingin diukur dan jenis serta metode penelitian yang digunakan.

2.16.1 Metode Pengukuran Perilaku a. Ranah pengetahuan

Pengukuran pengetahuan biasanya menggunakan metode

wawancara atau angket (self administered). Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan seputar pengetahuan responden terkait variabel yang hendak

(52)

diteliti. Berguna untuk menggali jawaban apa yang diketahui oleh responden. Indikator pengetahuan adalah tingginya pengetahuan responden tentang objek yang diteliti. Menurut Wawan dan Dewi (2011) disimpulkan bahwa pekerja yang dapat dikategorikan baik harus mampu mengenal dan menggunakan pestisida dengan baik karena berhubungan langsung dengan bahaya kimia berbahaya. Pengetahuan, sikap, dan tindakan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan skala yaitu: baik ≥ 75% (Wawan dan Dewi, 2011).

b. Ranah sikap

Pengukuran sikap sama halnya dengan pengukuran pengetahuan yaitu menggunakan metode wawancara dan angket (self administered). Bedanya hanya pada substansi kuesioner saja. Substansi kuesioner berupa pernyataan-pernyataan yang diberikan untuk menggali pendapat atau penilaian responden terhadap variabel yang diteliti.

Responden dimintakan pendapatnya terhadap pernyataan-pernyataan dengan memilih:

1. Setuju, tidak setuju 2. Baik, tidak baik c. Ranah tindakan

Pengukuran tindakan lebih mudah daripada pengukuran pengetahuan dan sikap. Sebab tindakan dapat diamati secara konkret sedangankan pengetahuan dan sikap tidak dapat diamati oleh pihak ketiga secara konkret.

(53)

Mengukur tindakan dapat dipakai dua metode yaitu: 1. Langsung

Mengukur tindakan secara langsung berarti peneliti langsung mengamati atau mengobservasi tindakan subjek yang diteliti. Untuk memudahkan dalam pengamatan maka hal-hal yang akan diamati tersebut dituangkan atau dibuat lembar tilik atau check list

2. Tidak langsung

Pengukuran tindakan secara tidak langsung ini berarti peneliti tidak secara langsung mengamati tindakan subjek yang diteliti.

Metode pengukuran tindakan secara tidak langsung seperti berikut: a. Metode mengingat kembali atau recall

Metode recall ini dilakukan dengan cara responden diminta untuk mengingat kembali terhadap tindakan beberapa waktu lalu.

b. Melalui orang ketiga atau orang lain yang dekat dengan responden

Pengukuran perilaku terhadap responden dilakukan oleh orang terdekat responden yang diteliti.

c. Melalu indikator (hasil perilaku) respondean

Pengukuran tindakan dilakukan melalui indikator hasil tindakan responden yang diamati.

(54)

2.17 Kerangka Konsep

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Variabel Independen Variabel Dependen Gejala Keracunan 1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Tindakan

(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini observasional analitic untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap, dan tindakan dengan gejala keracunan pada penyemprot pestisida dengan desain cross sectional.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Pematang Cermai Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai yang terdiri atas 5 dusun.

3.3 Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada 5 Januari sampai 23 Agustus 2017

3.4 Populasi dan Sampel 3.4.1 Populasi

Populasi penelitian ini adalah petani padi penyemprot pestisida di Desa Pematang Cermai Kecamatan Tanjung Beringin Kabupaten Serdang Bedagai.

3.4.2 Sampel

Pengambilan sampel dilakukan dengan accidental sampling. Pengambilan sambel berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi.

(56)

Kriteria inklusi

1. Penyemprot melakukan penyemprotan pestisida saat penelitian berlangsung.

Kriteria ekslusi

1. Penyemprot pestisida dalam kondisi tubuh kurang sehat saat penyemprotan berlangsung

3.5 Metode Pengumpulan Data 3.5.1 Data Primer

Data gejala keracunan, pengetahuan dan sikap penyemprot didapat melalui wawancara menggunakan kuesioner. Tindakan penyemprot didapat melalui observasi dengan menggunakan lembar observasi. Pengumpulan data dilakukan selama dan setelah penyemprotan pestisida. Kuesioner dan lembar observasi diambil pada Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida yang dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian tahun 2013.

3.5.2 Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari kantor kepala Desa Pematang Cermai dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Serdang Bedagai.

3.6 Variabel dan Definisi Operasional 3.6.1 Variabel

1. Dependen adalah gejala keracunan.

(57)

3.6.2 Definisi Operasional

1. Penyemprot pestisida adalah petani yang menyemprot pestisida.

2. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh penyemprot mengenai pestisida dan aspek keselamatan dalam penanganan pestisida. 3. Sikap adalah tanggapan penyemprot mengenai pestisida dan

penanganannya seperti tanggapan tentang membaca label kemasan, petunjuk penggunaan, pencampuran pestisida, dosis pestisida, gejala keracunan, penggunaan APD, larangan ketika pemakaian pestisida, kondisi kesehatan saat penggunaan pestisida, dan anjuran setelah aplikasi pestisida.

4. Tindakan adalah perbuatan nyata penyemprot dalam penanganan pestisida seperti tindakan membaca label kemasan, menakar dosis, pengenceran pestisida, memakai APD, tidak merokok atau makan ketika penanganan pestisida, menggunakan sprayer yang layak, dan tindakan setelah aplikasi pestisida.

5. Gejala keracunan adalah keluhan kesehatan yang dirasakan oleh penyemprot setelah aplikasi pestisida.

(58)

3.7 Metode Pengukuran Data

Pengukuran data dilakukan mulai dari sebelum pengenceran pestisida hingga 1 jam setelah penyemprotan dilakukan. Untuk data tindakan, maka dilakukan observasi mulai dari sebelum pengenceran hingga setelah penyemprotan dilakukan. Data pengetahuan, sikap, dan gejala keracunan diukur setelah penyemprotan dilakukan. Skala yang digunakan adalah skala Guttman.

1. Gejala keracunan

Gejala keracunan dinyatakan:

a. Ada, jika penyemprot pestisida merasakan keluhan kesehatan seperti sakit kepala, pandangan kabur, mata merah, mata terasa gatal, mata perih dan keluar air mata, iritasi hidung, sesak napas, mual, muntah, keluar air liur berlebihan, batuk-batuk, kulit terasa panas dan kemerahan, kulit gatal-gatal, diare dan gemetar.

Sumber: WHO (2009), Djojosumarto (2008), Yassin dkk (2002), Kimani dkk (1995), Hellenbeck dkk (1985).

b. Tidak ada, jika penyemprot pestisida tidak merasakan keluhan kesehatan. 2. Pengetahuan dinyatakan dengan jawaban:

a. Tahu, jika penyemprot tahu tentang pertanyaan pada kuesioner.

b. Tidak tahu, jika penyemprot tidak mengetahui tentang pertanyaan pada kuesioner.

Aspek pengukuran pengetahuan terdiri dari 13 pertanyaan. Skor untuk tiap pertanyaan: Tahu = 1, Tidak tahu = 0

(59)

Tingkat pengukuran pengetahuan terdiri atas:

Baik : ≥ 75% jawaban tahu

Buruk : < 75% jawaban tidak tahu 3. Sikap adalah dinyatakan dengan jawaban:

a. Setuju, jika penyemprot setuju dengan pernyataan dalam kuesioner

b. Tidak setuju, jika penyemprot tidak setuju dengan pernyataan dalam kuesioner.

Aspek pengukuran sikap terdiri dari 11 pernyataan. Skor untuk tiap pernyataan: Setuju = 1, Tidak setuju = 0

Tingkat pengukuran sikap terdiri atas:

Baik : ≥ 75% jawaban setuju

Buruk : < 75 % jawaban tidak setuju 4. Tindakan dinyatakan dengan jawaban:

a. Ya, jika penyemprot pestisida melakukan perbuatan seperti yang tertera pada lembar observasi.

b. Tidak, jika penyemprot pestisida tidak melakukan perbuatan seperti yang tertera pada lembar observasi.

Aspek pengukuran tindakan terdiri dari 13 tindakan. Skor untuk tiap tindakan: Ya = 1, Tidak = 0

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Konsep  Variabel Independen     Variabel Dependen   Gejala Keracunan 1
Tabel 3.1 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian
Tabel 4.1  Distribusi Frekuensi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.2  Distribusi Frekuensi Penduduk Berdasarkan Umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Responden yang sebagian besar mendapat dukungan sedang dari keluarganya selama menjalani perawatan,tidak akan terbebani dengan penyakit yang dideritanya.Dan dari hasil penelitian

Menurut Sukmadinata (2010:221) dokumentasi adalah suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar

Bagaimana hubungan antara anak remaja dengan adiknya, dengan teman sekolah atau bermain.. Siapa saja yang berada dirumah selama anak

Sejalan dengan penelitian oleh Laila dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan kepadatan penduduk dan ketinggian tempat dengan Kejadian Penyakit DBD (Demam Berdarah Dengue) di

PADUAN SUARA MAHASISWA UGM / SABTU MALAM KEMARIN MENCOBA MENUNJUKKAN SEBUAH KONSER PADUAN SUARA YANG MENARIK DARI SISI AUDITIF DAN VISUAL // BEBERAPA LAGU YANG DINYANYIKAN /

Penambahan kitin ke dalam tanah dapat menyebabkan peningkatan populasi mikrob kitinolitik dan penurunan cendawan tular tanah karena kondisi lingkungan menjadi sesuai bagi

Ditambahkan oleh Dardjowidjojo (2003: 106) bahwa permasalahan tindak tutur komisif terletak pada lawan bicara dalam memahami percakapan berupa informasi atau berupa