ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL EMITEN DAN
PENGARUHNYA TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM
GABUNGAN DI BURSA EFEK INDONESIA
TESIS
Oleh :
TOFAN ERLANGGA SIDABALOK
087017077/Akt
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL EMITEN DAN
PENGARUHNYA TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM
GABUNGAN DI BURSA EFEK INDONESIA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Akuntansi pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
TOFAN ERLANGGA SIDABALOK
087017077/Akt
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Judul Tesis : Analisis Faktor Eksternal Emiten dan Pengaruhnya Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia
Nama Mahasiswa : Tofan Erlangga Sidabalok Nomor Pokok : 087017077
Program Studi : Akuntansi
Menyetujui : Komisi Pembimbing,
(Prof.Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS,MBA,CPA) (
Ketua Anggota Iskandar Muda, SE, M.Si,Ak)
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, CPA) (Prof.Dr.Ir.A.Rahim Matondang, MSIE)
Telah diuji pada
Tanggal : 15 Januari 2013
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS, MBA, Ak Anggota : 1. Iskandar Muda, SE, M.si,Ak
2. Dr. HB Tarmizi, SU
3. Drs. Idhar Yahya, MBA,Ak
PERNYATAAN
Analisis Faktor Eksternal Emiten dan
Pengaruhnya Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
di Bursa Efek Indonesia
Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Akuntansi Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya
penulis sendiri.
Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian
tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan tesis ini, telah penulis
cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika
penulisan ilmiah.
Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini
bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian
tertentu, penulis bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang
penulis sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
Medan, Februari 2013 Penulis,
ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL EMITEN DAN PENGARUHNYA TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN
DI BURSA EFEK INDONESIA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor eksternal berupa inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank dan harga emas terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini diharapkan untuk memprediksi pasar modal dalam menetapkan investasi yang tepat sehingga dapat mengoptimalkan keuntungan dan meminimalkan risiko atas investasi yang dilakukan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis regresi berganda. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data runtun waktu (time series) selama kurun waktu 111 bulan dari Januari 2003 sampai dengan Maret 2012. Variabel yang digunakan adalah inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank, dan harga emas rupiah sebagai variabel independen dan
Indeks Harga Saham Gabungan sebagai variabel dependen. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel independen inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga SBI dan harga emas rupiah berpengaruh positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di BEI baik secara simultan maupun secara parsial
EXTERNAL FACTORS ANALYSIS OF THE ISSUER AND EFFECTS ON JOINT STOCK PRICE INDEX
IN INDONESIA STOCK EXCHANGE
ABSTRACT
This study aimed to investigate the influence of external factors such as inflation, exchange rate, interest rates and gold prices on Composite Stock Price Index (CSPI) in Indonesia Stock Exchange. This study is expected to predict the stock market in determining the right investment so as to maximize the benefits and minimize the risks of the investments made. The method of analysis used in this study is the method of multiple regression analysis. This study uses secondary data to the type of time series data (time series) over a period of 111 months from January 2003 to March 2012. The variables used are inflation, exchange rate, interest rates, gold prices and the rupiah as the independent variable and the Jakarta Composite Index as the dependent variable. From the results of this study indicate that the independent variables of inflation, exchange rate, interest rate and gold price rupiah SBI positive influence Composite Stock Price Index at the in Indonesia Stock Exchange either simultaneously or partially
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati, tulus dan ikhlas, penulis menyampaikan
puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena dorongan rahmat,
karunia dan anugerahNya yang berkelimpahan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini.
Dalam menyelesaikan usulan tesis ini tentu saja penulis banyak menemui
kesulitan-kesulitan, kendala-kendala dan hambatan-hambatan, akan tetapi berkat
bantuan, bimbingan, petunjuk dan masukan dari berbagai pihak lainnya penulis
dapat menyelesaikannya. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, tulus dan
ikhlas penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak
selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan
dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan Sekolah Pascasarjana.
2. Bapak Prof.Dr.Ir.A.Rahim Matondang, MSIE
3. Ibu Prof. Dr. Ade Fatma Lubis, MAFIS,MBA, CPA., selaku Ketua Program
Studi Akuntansi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, sekaligus
sebagai Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan saran dan kritik
yang konstruktif dalam membimbing penulis sejak awal hingga selesainya
tesis ini.
, Selaku Direktur Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang senantiasa dengan sabar dan
secara berkesinambungan meningkatkan layanan pendidikan di Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Iskandar Muda, SE, M.Si,Ak., selaku Dosen Pembimbing II yang yang
telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam
membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.
5. Ibu Dra. Tapi Anda Sari Lubis, M.Si, Ak, selaku Anggota Komisi Dosen
Pembanding yang yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang
6. Bapak Dr. HB Tarmizi, SU, selaku Anggota Komisi Dosen Pembanding yang
telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam
membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.
7. Bapak Drs. Idhar Yahya, selaku Anggota Komisi Dosen Pembanding yang
telah banyak memberikan saran dan kritik yang konstruktif dalam
membimbing penulis sejak awal hingga selesainya tesis ini.
8. Kedua orang tua tercinta dan tersayang, Ayahanda H. Donald Sidabalok dan
Ibunda Hj. Sutarjiati, yang senantiasa memberikan doa, cinta, dukungan
semangat dalam menyelesaikan perkuliahan di Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
9. Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih kepada istri tercinta Dewi
Tirta Utami yang telah banyak memberikan cinta, doa dan motivasi sepanjang
penulis mengikuti perkuliahan di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara.
10.Para karyawan dan staf administrasi Pascasarjana USU yang telah banyak
membantu dalam hal administrasi kuliah.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna baik dari segi
penyajian maupun dari segi penyusunannya. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca
guna penyempurnaan tesis ini pada masa yang akan datang.
Akhir kata penulis mengucapkan semoga tesis ini bermanfaat bagi para
pembaca, khususnya bagi rekan mahasiswa/i.
Medan, Februari 2013
Penulis,
Tofan Erlangga Sidabalok
RIWAYAT HIDUP
Nama : Tofan Erlangga Sidabalok
Tempat/Tgl. Lahir : Medan, 02 Desember 1984
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Alamat : Jl. Jermal III Gg. Muara No. 5 Medan
Telepon : 08126009250
Pendidikan :
Pekerjaan :
No Tingkat
Pendidikan Nama Pendidikan
1. SD SD Negeri 067241
2. SMP SMP Negeri 13 Medan
3. SMK SMK Negeri 2 Medan
4. S1 Fakultas Ekonomi, Program Studi Akuntansi Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara
5. S2 Sekolah Pascasarjana, Program Studi Akuntansi Universitas Sumatera Utara
No Tahun Nama Perusahaan Jabatan
1. 2007 - 2010 PT Bank Sumut Staff Adm. Kredit
DAFTAR ISI
BAB III : KERANGKAKONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 42 3.1. Kerangka Konseptual ... 42
BAB IV : METODE PENELITIAN 45
4.1.Jenis Penelitian ... 45
4.2.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 45
4.3.Metode Pengumpulan Data ... 45
4.4.Definisi Operasionalisasi dan Metode Pengukuran Variabel ... 46
4.5.Metode Analisis Data ... 47
4.5.1. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 48
4.5.2. Uji Kesesuaian ... 50
BAB V : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 52 5.1. Hasil Penelitian ... 52
5.1.1. Deskripsi Data Penelitian ... 52
5.1.2. Uji Asumsi Klasik ... 54
5.1.2.1. Uji Normalitas ... 54
5.1.2.2. Uji Multikolinearitas ... 55
5.1.2.3. Uji Autokorelasi ... 56
5.1.3. Uji Heteroskedastisitas ... 57
5.2. Hasil Penelitian ... 58
5.3. Pembahasan Hasil Penelitian ... 61
BAB V : KESIMPULANDAN SARAN 66 6.1. Kesimpulan ... 66
6.2. Keterbatasan Penelitian ... 66
6.3. Saran ... 67
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1.1. Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI ... 2
1.2 Perkembangan IHSG, Inflasi, Kurs Dolar, SBI dan Emas... 4
2.1. Revie Penelitian Terdahulu ... 39
4.1. Defenisi dan Pengukuran Variabel Penelitian... 46
5.1. Deskriptif Statistik ... 52
5.2. Hasil Pengujian One Sample Kolmogorov Smirnov Test ... 54
5.3. Hasil Uji Multikolinearitas ... 55
5.4. Nilai Durbin Watson ... 56
5.5. Pengujian Goodness Of Fit ... 58
5.6. Hasil Uji F ... 59
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
3.1. Kerangka Konseptual ... 42
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Data IHSG, SBI, Kurs Dolar, Inflasi dan Price Gold
Bulanan 2003 -2011 ... 71
ANALISIS FAKTOR EKSTERNAL EMITEN DAN PENGARUHNYA TERHADAP INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN
DI BURSA EFEK INDONESIA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor eksternal berupa inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank dan harga emas terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia. Penelitian ini diharapkan untuk memprediksi pasar modal dalam menetapkan investasi yang tepat sehingga dapat mengoptimalkan keuntungan dan meminimalkan risiko atas investasi yang dilakukan. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis regresi berganda. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan jenis data runtun waktu (time series) selama kurun waktu 111 bulan dari Januari 2003 sampai dengan Maret 2012. Variabel yang digunakan adalah inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank, dan harga emas rupiah sebagai variabel independen dan
Indeks Harga Saham Gabungan sebagai variabel dependen. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel independen inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga SBI dan harga emas rupiah berpengaruh positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di BEI baik secara simultan maupun secara parsial
EXTERNAL FACTORS ANALYSIS OF THE ISSUER AND EFFECTS ON JOINT STOCK PRICE INDEX
IN INDONESIA STOCK EXCHANGE
ABSTRACT
This study aimed to investigate the influence of external factors such as inflation, exchange rate, interest rates and gold prices on Composite Stock Price Index (CSPI) in Indonesia Stock Exchange. This study is expected to predict the stock market in determining the right investment so as to maximize the benefits and minimize the risks of the investments made. The method of analysis used in this study is the method of multiple regression analysis. This study uses secondary data to the type of time series data (time series) over a period of 111 months from January 2003 to March 2012. The variables used are inflation, exchange rate, interest rates, gold prices and the rupiah as the independent variable and the Jakarta Composite Index as the dependent variable. From the results of this study indicate that the independent variables of inflation, exchange rate, interest rate and gold price rupiah SBI positive influence Composite Stock Price Index at the in Indonesia Stock Exchange either simultaneously or partially
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pasar modal merupakan lahan untuk mendapatkan modal investasi,
sementara investor pasar modal merupakan lahan untuk menginvestasikan
uangnya. Setiap investor dalam mengambil keputusan investasi selalu dihadapkan
pada sejumlah alternatif, apakah ia akan menginvestasikan dananya dalam bentuk
asset real seperti membeli peralatan produksi dan mengoperasikannya untuk
mendapatkan keuntungan, atau memilih melakukan investasi dalam bentuk asset
finansial dengan membeli sekuritas yang berpendapatan tetap seperti obligasi,
deposito, Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau memberi sekuritas yang
berpendapatan tidak tetap seperti saham (Wijaya, 2010).
Faktor yang dapat mempengaruhi kegiatan pasar modal suatu Negara
kurs valuta asing (valas), cadangan devisa, inflasi, tingkat suku bunga deposito.
Di Indonesia kurs valas mengalami perubahan setiap waktu, ada kalanya rupiah
menganut mata uang asing pada saat kondisi Indonesia stabil atau cenderung
membaik dari kondisi sebelumnya. Sebaiknya rupiah akan melemah terhadap
mata uang asing pada saat kondisi Indonesia memburuk Tentang hubungan atau
pengaruh kurs terhadap Indeks Harga Saham itu sendiri sangat berkaitan erat. Hal
ini dikarenakan kurs adalah salah satu faktor yang mempengaruhi Indeks Harga
Saham, sedangkan Indeks Harga Saham adalah dampak simultan dari berbagai
kejadian utama pada fenomena-fenomena ekonomi (Wijaya, 2010).
Menurut Thian dalam Kasim (2010) IHSG merupakan hasil perhitungan
dari harga seluruh saham yang tercatat dengan dipengaruhi oleh faktor besarnya
nilai kapitalisasi pasar suatu saham. Nilai kapitalisasi pasar itu sendiri adalah nilai
seluruh saham yang dihitung berdasarkan harga yang terakhir, dan nilai dasar
adalah merupakan nilai yang dihitung berdasarkan harga perdana masing- masing
saham. Salah satu tolok ukur untuk mengetahui perkembangan suatu bursa
terletak pada perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan/composite
Indeksnya.
Tabel 1.1. Perkembangan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 1999 – 2011 Tahun Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG)
Tahun Indeks Harga Saham Gabungan
2009
Sumber: Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, beberapa tahun
Tabel 1.1 menunjukkan bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
mengalami peningkatan karena di dukung kondisi makro yang cukup stabil. Hal
ini tidak terlepas dari pengaruh terbentuknya pemerintah baru yang legitimate dan
diharapkan dapat menciptakan stabilitas politik dan ekonomi yang lebih baik.
Dalam tahun 1999, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 1,8%
dibandingkan tahun 1998 sebesar -13,2% dengan tingkat inflasi menurun tajam
menjadi sebesar 2,01% dibandingkan dengan tingkat inflasi pada tahun
sebelumnnya sebesar 77,6% sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
pada tahun 1999 mengalami kenaikan yaitu sebesar 676,91. Setelah mengalami
peningkatan pada tahun 1999, pada tahun 2000 Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) kembali mengalami penurunan menjadi 416,32 poin dan pada tahun 2001
mengalami penurunan kembali menjadi 392,03 poin. Penurunan Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) tersebut dipengaruhi baik oleh faktor ekonomi maupun
non ekonomi. Faktor ekonomi terutama akibat melemahnya nilai tukar, dan
melemahnya kinerja bursa regional. Sementara faktor non ekonomi yang
mempengaruhi melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terutama
bersumber dari meningkatnya kekhawatiran pasar terhadap stabilitas keamanan
dan politik selama 2001, terjadinya tragedi World Trade Center (WTC) di
Amerika Serikat 11 September 2001 yang diikuti oleh aksi anti Amerika di
sejumlah kota besar.
Seiring dengan kenaikan inflasi yang bergerak pada kisaran yang lebih
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), maka dengan penurunan suku bunga
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) tersebut akan mendorong pertumbuhan uang
beredar, hal itu diikuti pula dengan melemahnya nilai tukar rupiah, maka harga
barang juga akan mengalami kenaikan, karena belum bisa lepas dari inflasi dan
juga krisis ekonomi yang masih terjadi. Namun untuk perkembangan Indek Harga
Saham Gabungan (IHSG) cenderung mengalami kenaikan, karena adanya minat
dari investor untuk menanamkan modalnya di bursa efek. Bila suku bunga cukup
tinggi (lebih tinggi dari capital gain dan deviden per tahun yang bisa diperoleh
dari lantai bursa) orang akan memilih menyimpan uangnya di bank. Sebaliknya,
bila suku bunga sudah melemah, maka orang akan beralih ke lantai bursa.
Dalam perekonomian suatu Negara itu biasanya dilihat dari kurs Negara
itu sendiri terhadap kurs valas. Apabila kurs menguat, maka secara tidak langsung
Indeks Harga Saham juga akan naik, tapi bila kurs itu melemah maka Indeks
Harga Saham juga akan turun. Naik turunnya harga saham akan terjadi karena
apresiasi rupiah terhadap mata uang asing menyebabkan naik turunnya permintaan
saham di pasar modal oleh investor.
Dampak merosotnya nilai tukar rupiah terhadap pasar modal memang
dimungkinkan, mengingat sebagian besar perusahaan yang go‐public di BEI
mempunyai hutang luar negeri dalam bentuk valuta asing. Di samping itu
produk‐produk yang dihasilkan oleh perusahaan publik tersebut banyak
menggunakan bahan yang memiliki kandungan impor tinggi. Merosotnya rupiah
dimungkinkan menyebabkan jumlah hutang perusahaan dan biaya produksi
Hubungan antara tingkat suku bunga dengan Indeks Harga Saham, apabila
tingkat bunga tinggi maka pemilik modal memilih menabung di Bank. Harga
saham sulit diprediksi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat
suku bunga, inflasi, nilai tukar rupiah, harga emas, kondisi ekonomi nasional,
kondisi politik, keamanan, kebijakan pemerintah, dan lain-lainnya.
Pengaruh tingkat suku bunga, inflasi, nilai tukar dan harga emas
rupiahakan menjadi perhatian bagi penulis didalam penelitian ini. Tingkat suku
bunga dan sekuritas adalah dua faktor yang sering diperhatikan sebelum investor
melakukan investasi, umumnya tingkat suku bunga mempunyai hubungan yang
negatif dengan harga sekuritas. Secara sederhana, jika suku bunga pasar
meningkat, maka tingkat return yang disyaratkan investor atau suatu obligasi juga
akan meningkat. Suku bunga merupakan besarnya imbalan yang harus dibayarkan
atas penggunaan sejumlah uang berdasarkan perjanjian pinjam meminjam.
Pemberi pinjaman menetapkan suatu tingkat bunga nominal yang menurunkan
daya beli dari sejumlah uang yang dipinjamkan, sehingga tingkat bunga efektif
atau riil memberikan hasil yang cukup kepada pemberi pinjaman atas penundaan
konsumsi sekarang dan atas resiko kegagalan yang diakibatkan pemberian
pinjaman.
Kurs merupakan nilai tukar mata uang suatu negara dan dalam sistem
perekonomian manapun sangat sulit untuk mempertahankan kestabilan nilai tukar
mata uang tersebut. Tetapi disisi lain penguatan nilai tukar mata uang suatu negara
bisa menekan laju inflasi. Apabila harga-harga barang dan sektor jasa cenderung
mengalami kenaikan maka disebut dengan inflasi. Oleh sebab itu untuk mencegah
dengan kebutuhan, sehingga kestabilan nilai tukar bisa dijaga (permintaan
agregat).
Menurut Setyorini dan Supriyadi dalam Thobarry (2009) perkembangan
IHSG sebagaimana lazimnya lebih ditentukan oleh perkembangan tingkat bunga.
Tetapi sejak ditetapkannya sistem kurs devisa bebas mengambang, pergerakan
IHSG seakan mengikuti pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar atau
sebaliknya pergerakan rupiah seakan mengikuti pergerakan IHSG. Hal ini
memunculkan dugaan bahwa di antara keduanya terdapat hubungan yang
sistematis.
Hasil penelitian Pratikno (2009) selama periode bulan Januari 2004
sampai dengan bulan Februari 2009 menunjukkan bahwa secara serempak
(simultan) variabel-variabel eksplanatori yang digunakan sangat signifikan pada α
= 5% terhadap IHSG. Dari koefisien masing-masing variabel, maka dapat
disimpulkan bahwa tingkat pengaruh variabel kurs, SBI dan inflasi sangat
signifikan mempengaruhi IHSG.
Selanjutnya penelitian Witjaksono (2010) menggunakan data bulanan dari
tahun 2000-2009 untuk tiap variabel penelitian menunjukkan bahwa variabel
Tingkat Suku Bunga SBI, dan Kurs Rupiah berpengaruh negatif terhadap IHSG.
Sementara variable Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Indeks Nikkei 225
dan Indeks Dow Jones berpengaruh positif terhadap IHSG.
Penelitian yang dilakukan oleh Hardiningsih et al dalam Thobarry (2009)
menunjukkan hasil bahwa nilai tukar rupiah terhadap US Dollar berpengaruh
negatif terhadap saham. Hasil penelitian Nurdin dalam Thobarry (2009),
Serikat tidak berpengaruh terhadap resiko investasi saham. Disisi lain, Utami dan
Rahayu dalam Thobarry (2009) serta Suciwati dan Machfoedz dalam Thobarry
(2009) hasilnya menunjukkan bahwa nilai tukar rupiah terhadap UD dollar
berpengaruh positif terhadap saham.
Sementara itu, penelitian yang mengkaji hubungan antara suku bunga
(interest rate) dengan harga saham terdapat perbedaan hasil penelitian. Granger
dalam Thobarry (2009) menyatakan bahwa terdapat pengaruh negatif suku bunga
terhadap harga saham, tetapi Mok dalam Thobarry (2009) dengan menggunakan
model analisis Arima tidak menemukan hubungan yang signifikan antara kedua
variabel ini. Pengaruh signifikan dari suku bunga terhadap harga saham
sebagaimana yang ditemukan Granger dalam Thobarry (2009) menyatakan bahwa
terdapat pengaruh negatif antara suku bunga terhadap harga saham. Suku bunga
yang rendah akan menyebabkan biaya peminjaman yang lebih rendah karena suku
bunga yang rendah akan merangsang investasi dan aktivitas ekonomi yang akan
menyebabkan harga saham meningkat.
Selanjutnya, penelitian tentang hubungan antara inflasi dengan harga
saham seperti yang dilakukan oleh Widjojo dalam Thobarry (2003) menyatakan
bahwa makin tinggi inflasi akan semakin menurunkan tingkat profitabilitas
perusahaan. Turunnya profit perusahaan adalah informasi yang buruk bagi para
trader di bursa saham dan dapat mengakibatkan turunnya harga saham perusahaan
tersebut.
Hasil penelitian untuk variabel emas dunia juga memberikan kesimpulan
yang berlawanan. Penelitian yang dilakukan oleh Twite dalam Witjaksono (2010)
secara positif pergerakan indeks saham di Australia, sementara Smith dalam
Witjaksono (2010) menunjukkan bahwa harga emas dunia mempunyai pengaruh
yang negatif terhadap pergerakan indeks harga saham di Amerika Serikat.
Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian tentang pengaruh tingkat suku
bunga, harga minyak dunia, harga emas dunia, kurs rupiah, serta indeks cenderung
tidak konsisten atau berbeda antara peneliti yang satu dengan peneliti yang lain.
Dengan adanya ketidakkonsistenan hasil penelitian ini, serta pengaruh ekonomi
dunia yang memberikan dampak bagi perekonomian Indonesia, maka penelitian
ini mengambil judul “Analisis Faktor Eksternal Emiten dan Pengaruhnya
terhadap IHSG di BEI”
1.2.Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah ”Apakah Faktor Eksternal berupa inflasi, nilai tukar
rupiah, suku bunga bank dan harga emas berpengaruh terhadap Indeks Harga
Saham Gabungan (IHSG) secara parsial dan simultan?”.
1.3.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan
penelitian ini adalah : Untuk mengetahui pengaruh faktor eksternal berupa inflasi,
nilai tukar rupiah, suku bunga bank dan harga emas berpengaruh signifikan secara
1.4.Manfaat Penelitian
Adapun manfaat hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi
yang berarti bagi daerah yang menjadi lokasi penelitian :
1. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam menganalisis
pasar modal.
2. Bagi Investor, sebagai bahan pertimbangan untuk memprediksi pasar modal
dalam menetapkan investasi yang tepat sehingga dapat mengoptimalkan
keuntungan dan meminimalkan risiko atas investasi yang dilakukan.
3. Bagi akademisi diharapkan dapat memberikan referensi bagi peneliti
selanjutnya terutama pada bidang penelitian yang sejenis.
1.5.Originalitas Penelitian
Penelitian ini berbentuk replikasi. Replikasi penelitian ini juga
dilatarbelakangi belum ditemukannya keseragaman kesimpulan tentang Pengaruh
Inflasi, Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga Bank dan Harga Emas Rupiah terhadap
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Replikasi penelitian ini dilakukan
terhadap referensi hasil jurnal dan tesis terdahulu, seperti hasil jurnal penelitian
Raharjo (2010) dalam studi mengenai Pengaruh Inflasi, Nilai Kurs Rupiah dan
Tingkat Suku Bunga terhadap Harga Saham di Bursa Efek Indonesia, Tesis
penelitian Witjaksono (2010) dalam studi mengenai Analisis Pengaruh Tingkat
Suku Bunga SBI, Harga Minyak Dunia, Harga Emas Dunia, Kurs Rupiah, Indeks
Nikkei 225, dan Indeks Dow Jones terhadap IHSG (studi kasus pada IHSG di BEI
selama periode 2000-2009) dan Tesis penelitian Pratikno (2009) dalam studi
Jones Terhadap Pergerakan Indeks Harga Sahan Gabungan (IHSG) di Bursa Efek
Indonesia (BEI).
Perbedaan penelitian di atas dengan replikasi penelitian ini :
1) Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengmbil tahun yang berbeda yaitu bulan
Januari 2003 sampai dengan bulan Maret 2012 sedangkan penelitian referensi
terdahulu antara tahun 2000 sampai dengan 2009.
2) Variabel Penelitian
Variabel penelitian ini inflasi, nilai tukar rupiah, suku bunga bank dan harga
emas rupiah sebagai variabel bebas dan Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) sebagai variabel terikat. Sedangkan referensi penelitian terdahulu
menggunakan variabel bebas yang beragam dan tidak menggunakan variabel
harga emas dunia.
BAB II
2.1 Landasan Teoritis
Untuk mendukung studi ini digunakan beberapa teori yang relevan serta
berkaitan dengan pokok bahasan dalam studi sebagai berikut :
2.1.1. Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Financial Accounting Standar Board (FASB) mendefinisikan nilai tukar
sebagai rasio antara satu unit mata uang dan jumlah mata uang lainnya yang
dapat ditukar pada suatu waktu tertentu. Gain atau loss transaksi mata uang asing
akan dimasukkan dalam laba bersih pada periode terjadinya transaksi nilai tukar.
Dalam usaha untuk menentukan apakah kerugian dari nilai tukar berpengaruh
terhadap reaksi pasar modal maka digunakan harga saham sebagai proxy.
Tujuan utama investor untuk melakukan investasi adalah untuk
memperoleh return (tingkat pengembalian). Semua investor ingin agar
investasinya mendapatkan return yang setinggi-tingginya. Akan tetapi kenyataan
membuktikan bahwa return dari investasi adalah tidak pasti. Ketidakpastian dari
investasi inilah yang dinamakan dengan risiko, yang diukur dengan varian dari
return.
Bodie et al. (2005) menjelaskan bahwa Capital Asset Pricing Model
(CAPM) merupakan hasil utama dari ekonomi keuangan modern. Capital Asset
Pricing Model (CAPM) memberikan prediksi yang tepat antara hubungan risiko
sebuah aset dan tingkat harapan pengembalian (expected return). Walaupun
Capital Asset Pricing Model belum dapat dibuktikan secara empiris, Capital Asset
Pricing Model sudah luas digunakan karena Capital Asset Pricing Model akurasi
Capital Asset Pricing Model (CAPM) mencoba untuk menjelaskan
hubungan antara risk dan return. Dalam penilaian mengenai risiko biasanya
saham biasa digolongkan sebagai investasi yang berisiko. Risiko sendiri berarti
kemungkinan penyimpangan perolehan aktual dari perolehan yang diharapkan
(possibility), sedangkan derajat risiko (degree of risk) adalah jumlah dari
kemungkinan fluktuasi (amount of potential fluctuation).
Risiko ada dua macam, yaitu risiko sistematis dan risiko tidak sistematis.
Risiko sistematis adalah risiko yang dialami oleh semua investasi tanpa terkecuali.
Oleh karena itu risiko ini dinamakan juga risiko pasar (market risk). Namun
demikian besar kecilnya risiko sistematis tiap investasi, termasuk juga saham,
sangat berbeda. Sedang risiko tidak sistematis adalah risiko yang hanya dialami
oleh investasi tersebut, yang bisa disebabkan oleh faktor manajemen, ciri khusus
jenis industri, jenis persaingan usaha dan sebagainya (Francis, 1988).
Untuk mengatasi risiko ini maka biasanya investor mengkombinasikan
investasinya dalam berbagai macam asset, yang dinamakan portofolio. Markowitz
(1952) mengembangkan suatu bentuk diversifikasi yang efisien, yang bisa
menurunkan risiko tanpa menurunkan return portofolio. Markowitz menyarankan
agar portofolio seharusnya adalah pengkombinasian asset-asset yang berkorelasi
kurang dari positip sempurna agar dapat mengurangi risiko.
Sharpe (1965) menyempurnakan model portofolio Markowitz diambah
dengan asumsi: (1) adanya tingkat bebas risiko; (3) investasi bisa dipecah-pecah
dalam bentuk yang sekecil mungkin; (3) adanya kebebasan short sales (4) semua
garis pasar modal (capital market line) yang intersepnya adalah tingkat bebas
risiko (rf). Untuk mengambarkan trade-off antara risiko dan return untuk seluruh
surat berharga, baik yang efisien maupun yang tidak, maka ukuran yang dipakai
bukanlah varian, tetapi adalah risiko sistematisnya (β). Hubungan antara risiko
sistematis dengan return tersebut apabila digambarkan dalam suatu model akan
membentuk Capital Asset Pricing Model (CAPM). Model tersebut bisa dituliskan:
E(Ri) = Rf + [E(Rm)-Rf]βi
Dimana E(Ri) adalah return yang diharapkan dari surat berharga i adalah
fungsi dari risiko sistematisnya (β). Sedangkan slope/kemiringannya [E(Rm)-Rf]
dinamakan dengan harga risiko atau premi risiko, yaitu selisih antara return pasar
yang diharapkan (E(Rm)) dengan tingkat bebas risiko (Rf).
Namun demikian dalam kenyataannya akan senantiasa terdapat surat-surat
berharga yang returnnya di luar yang diharapkan CAPM. Penyebabnya antara
lain: (1) adanya biaya transaksi; (2) adanya pajak capital gain yang membuat para
investor enggan menjual surat-surat berharga yang ternilai rendah oleh CAPM
(undervalued); (3) adanya ketidaksempurnaan informasi pasar. Oleh karena itulah
dalam kenyataannya CAPM lebih merupakan sebuah band daripada sebuah garis
(Fuller & FarrellJr., 1987). Demikian pula apabila unsur tingkat bebas risiko (Rf)
dihilangkan dari model, karena dalam kenyataan tidak mungkin investor bisa
meminjam dan meminjamkan pada tingkat yang sama, maka akan membentuk
Zero Beta CAPM (Elton & Gruber, 1991), dengan model sebagai berikut:
Dimana Rz adalah asset yang tidak berkorelasi dengan portofolio pasar,
atau mempunyai β =0. Rz ini misalnya adalah obligasi pemerintah yang berjangka
panjang, yang mempunyai return riil yang tetap, mudah diperjual-belikan, dan
bisa dipecah-pecah dalam satuan yang kecil-kecil.
Berbagai pengujian CAPM dengan data empiris telah banyak dilakukan.
Pengujian oleh Black, Jansen dan Scholes, juga oleh Fama dan MacBeth
menggabungkan saham-saham menjadi portofolio untuk menaksir β tiap-tiap
portofolio, kemudian melakukan regresi cross sectional antara rata-rata return
dengan β tiap-tiap portofolio. Ada juga pengujian yang menggunakan surat-surat
berharga individual, misalnya oleh Linzerberger, Ramaswamy dan Gibbons.
Hasil pengujian tersebut rata-rata membuktikan bahwa: (1) intersep
CAPM secara signifikan tidak sama dengan tingkat bebas risiko, hal ini
membuktikan bahwa Zero Beta CAPM lebih berlaku di dunia nyata; (2)
kemiringan/slope dari persamaan CAPM (a1) ternyata lebih rendah daripada yang
diramalkan (Rm-Rf); (3) tidak ada bukti bahwa hubungan antara risiko sistematis
dan return tidak linear, hal ini masih sesuai dengan spesifikasi CAPM; (4)
Faktor-faktor selain β ternyata berperan di dalam menerangkan return surat berharga,
misalnya P/E rasio, besar kecilnya perusahaan, jenis perusahaan, musiman dan
sebagainya (Weston & Copeland, 1992).
Pengujian CAPM di BEJ antara lain oleh Suad Husnan pada tahun 1990
(Husnan, 1993), menggunakan metode yang sama dengan Black, Jensen, Scholes
pada tahun 1972, hasilnya adalah banyak β yang signifikan secara statistik dan
Uji lainnyadi BEJ dilakukan oleh Henny (Husnan, 2001) menggunakan
metode yang sama denga Lintner. Regresi tahap pertama menggunakan model
pasar untuk menaksir β, sedangkan regresi yang kedua menggunakan cross
sectional, hasilnya menunjukkan bahwa Zero Beta CAPM lebih berlaku di BEJ
daripada standar CAPM.
Untuk kasus di Bursa Efek Surabaya (BES), pengujian CAPM empiris
dilakukan oleh Sumanto tahun 1993 menggunakan metode yang sama dengan
metode Lintner, dengan menggunakan data return bulanan saham individual dari
tahun 1991 sampai dengan 1993 sebanyak 120 sampel saham. Hasilnya
menunjukkan bahwa hampir semua β adalah signifikan. Tidak ada bukti yang
menunjukkan adanya hubungan yang tidak linear antara return dengan β. Intersep
persaman empiris secara secara signifikan tidak sama dengan persamaan teoritis,
yaitu secara signifikan lebih rendah dari 0 (Sumanto, 2003).
Saham berisiko dapat dikombinasi dalam sebuah portfolio menjadi
investasi yang lebih rendah risiko daripada saham biasa tunggal. Diversifikasi
akan mengurangi risiko sistematis (systematic risk), tetapi tidak dapat mengurangi
risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk). Unsystematic risk adalah bagian
dari risiko yang tidak umum dalam sebuah perusahaan yang dapat dipisahkan.
Systematic risksystematic risk. adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan yang
berhubungan dengan seluruh pergerakan pasar saham dan tidak dapat dihindari.
Informasi keuangan mengenai sebuah perusahaan dapat membantu dalam
Investor biasanya menghindari risiko, investor menginginkan perolehan
tambahan (additional returns) untuk menanggung risiko tambahan (additional
risks). Oleh karena itu saham berisiko tinggi (High-risk securities) harus
mempunyai harga yang menghasilkan perolehan lebih tinggi daripada perolehan
yang diharapkan dari saham berisiko lebih rendah. Persamaan risiko dan
perolehan (Equation Risk and Return) adalah :
Rs = Rf + Rp
Rs = Expected Return on a given risky security
Rf = Risk-free rate
Rp = Risk premium
Bila nilai β = 1 artinya adanya hubungan yang sempurna dengan kinerja
seluruh pasar seperti yang diukur indek pasar (market index), contohnya nilai
yang diukur oleh Dow-Jones Industrials dan Standard and Poor’s 500-stock-index.
Hubungan ini dapat digambarkan dalam contoh pada gambar. β adalah ukuran
dari hubungan paralel dari sebuah saham biasa dengan seluruh tren dalam pasar
saham. Bila β > 1.00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih tinggi
daripada pasar. β < 1.00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih rendah
daripada indek pasar secara umum (general market index). Perubahan persamaan
risiko dan perolehan (Equation Risk and Return) dengan memasukan faktor β
dinyatakan sebagai :
Rs = Rf + βs (Rm – Rf)
Rf = Risk-free rate
Rm = Expected return on the stock market as a whole
βs = Stock’s beta, yang dihitung berdasarkan waktu tertentu
CAPM bertahan bahwa harga saham tidak akan dipengaruhi oleh
unsystematic risk, dan saham yang menawarkan risiko yang relatif lebih tinggi
(higher βs) akan dihargai relatif lebih daripada saham yang menawarkan risiko
lebih rendah (lower βs). Riset empiris mendukung argumen mengenai βs sebagai
prediktor yang baik untuk memprediksi nilai saham di masa yang akan datang
(future stock prices).
CAPM dikritik sebagai penyebab masalah kompetisi di Amerika Serikat.
Manajer di sebuah perusahaan di Amerika Serikat yang menggunakan CAPM
terpaksa membuat investasi yang aman dalam jangka pendek dan perolehannya
dapat diprediksi dalam jangka pendek daripada investasi yang aman dan
perolehan dalam jangka panjang. Para peneliti telah menggunakan CAPM untuk
menguji hipotesa yang berhubungan dengan hipotesa pasar efisien.
Market Model
Markowitz mengusulkan sebuah model untuk menjelaskan korelasi
diantara return sekuritas. Model ini mengasumsikan bahawa return dari sekuritas
ke-i tergantung pada sebuah faktor yang mendasari, nilai yang diwakili oleh
indeks, dalam notasi matematika dinyatakan sebagai:
ri = return sekuritas i
Bi = Beta dari sekuritas i
F = indeks (belum tentu indeks pasar)
ui = error term
(walaupun selanjutnya Markowitz mengusulkan bahwa persamaan itu seharusnya
tidak linier, karena ada faktor lain yang mendasarinya) lalu pada tahun 1963,
William Sharpe menguji persamaan tersebut sebagai penjelasan bagaimana return
sekuritas cenderung naik dan turun seiring dengan naik turunnya indeks umum
pasar, secara spesifik Sharpe menggunakan persamaan sebagai berikut :
rit = ai + Bi.rmt + uit
rit = return dari aset i pada periode t
rmt = return dari indeks pasar pada periode t
ai = komponen non-pasar dari return aset i
Bi = rasio kovarian dari return aset i dan return indeks pasar terhadap varians
return indeks pasar
uit = zero mean random error term
Model ini disebut model pasar indeks tunggal (single index market model) atau
sering disebut market model. Dilihat disini pada model markowitz, indeks-nya
belum tentu indeks pasar, tetapi pada market model digunakan indeks pasar.
Ross (1976) merumuskan model keseimbangan yang disebut Arbitrage
Pricing Theory (APT), yang menyatakan bahwa dua kesempatan investasi yang
mempunyai sifat yang identik sama tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda.
Dalam hal ini hukum yang dianut oleh APT adalah hukum satu harga (the law of
one price). Suatu aktiva yang memiliki karakteristik sama (identik sama) jika
dijual dengan harga yang berbeda, maka akan terdapat kesempatan untuk
melakukan arbitrage dengan membeli aktiva yang berharga murah dan pada saat
yang sama menjualnya dengan harga yang lebih tinggi sehingga memperoleh laba
tanpa risiko (Husnan, 2000).
Dalam perekonomian suatu negara terdapat empat pasar yang telah dikenal
yaitu: pasar modal, pasar uang, pasar valuta asing maupun pasar barang. Dari
keempat pasar tersebut yang saling terkait erat serta yang mencerminkan hukum
satu harga (the law of one price) umumnya tiga pasar yaitu : pasar modal, pasar
uang, dan pasar valuta asing. Ketiga pasar mempunyai keseimbangan dan identik
sama sehingga tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda. Jika tidak terjadi
keseimbangan dari pasar-pasar tersebut, maka akan terjadi proses arbitrage dari
pasar yang satu ke pasar yang lain sebagaimana diuraikan di atas.
Terkait dengan pasar modal, model APT dinyatakan bahwa tingkat
keuntungan dari saham yang diperdagangkan di pasar modal terdiri dari dua
komponen, yaitu: tingkat keuntungan normal atau tingkat keuntungan yang
diharapkan dan tingkat keuntungan yang tidak pasti atau berisiko (Husnan, 2000).
Tingkat keuntungan yang diharapkan merupakan bagian dari tingkat keuntungan
sesungguhnya yang diharapkan oleh investor. Tingkat keuntungan ini sangat
keuntungan yang tidak pasti atau be bagian tingkat keuntungan yang bersumber
dari informasi yang bersifat tidak diharapkan. Investor dalam menjalankan
aktivitasnya menghadapi dua macam risiko, yaitu: risiko sistematis dan risiko
tidak sistematis. Kedua risiko tersebut mempengaruhi tingkat keuntungan yang
diharapkan investor. Risiko tidak sistematis dari satu perusahaan tidak berkorelasi
dengan perusahaan lainnya. Sebaliknya, risiko sistematis akan berkorelasi
terhadap setiap perusahaan (saham). Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang
mempengaruhi risiko sistematis adalah sama, misalnya: tingkat inflasi, tingkat
bunga dan variabel-variabel lainnya atau sering disebut dengan variabel
makroekonomi. Oleh karena itu perubahan variabel makroekonomi akan
berdampak pada seluruh perusahaan (saham). Namun demikian perlu diperhatikan
bahwa kemungkinan terdapat perbedaan besar kecilnya perubahan variabel
makroekonomi terhadap harga saham.
Model faktor mendasarkan diri pada anggapan bahwa adanya hubungan
linear antara harga suatu saham dengan harga seluruh saham yang ada di bursa
yang diwakili oleh indeks pasar. Atas dasar anggapan itu, maka tingkat
keuntungan suatu saham akan berkorelasi dengan perubahan harga pasar (Sharpe,
Alexander, Bailey (1999). Sebagai proses penghasil imbalan, model faktor
berusaha untuk mencakup kekuatan-kekuatan perekonomian utama yang secara
sistematis menggerakkan atau mempengaruhi harga semua saham. Secara implisit,
dalam susunan model faktor terdapat asumsi bahwa imbalan antara dua saham
akan berkorelasi, yaitu bergerak bersama-hanya melalui reaksi yang sama
terhadap satu atau lebih faktor yang ditentukan oleh model. Model faktor dapat
imbalan harapan, varian, maupun kovarian dari setiap saham. Hasilnya, model
faktor adalah alat yang bermanfaat untuk manajemen portfolio (Sharpe,
Alexander, Bailey, 1999).
Model multi faktor mengasumsikan bahwa proses penentuan harga
saham melibatkan beberapa faktor. Artinya terdapat beberapa kemungkinan
bahwa lebih dari satu faktor penyebab (pervasive factor) dalam perekonomian
yang mempengaruhi harga saham. Situasi ekonomi mempengaruhi hampir
semua perusahaan. Jadi perubahan dari perekonomian yang diramalkan memiliki
dampak yang besar terhadap harga sebagian besar saham.
Sebagai contoh ada dua sumber resiko ekonomi makro yaitu GDP dan
tingkat bunga yang tidak dapat dipastikan kondisinya terhadap harga saham.
Menurut Bodie, Kane dan Marcus (2006), secara sederhana model multi faktor
persamaannya dapat dinyatakan sebagai berikut:
Ri = E(ri ) + βiGDPGDP + βiIRIR + ei
Dua faktor pada sisi kanan persamaan atas faktor sistematis di
dalam perekonomian. Sebagaimana model faktor tunggal, kedua faktor makro ini
mempunyai nilai ekspektasi nol : menunjukkan perubahan pada variabel ini yang
sebelumnya tidak diantisipasi. Koefisien pada setiap faktor pada persamaan di atas
mengukur sensitivitas imbal hasil saham atas faktor tersebut. Untuk alasan ini,
koefisien sering kali disebut sebagai sensitivitas faktor (factor sensitivity),
pembebanan faktor (factor loading), atau beta faktor (factor beta) dan e
(2.5)
i
2.1.3 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Pasar modal merupakan alternatif penghimpunan dana selain sistem
perbankan. Menurut Husnan (1998), pasar modal adalah pasar dari berbagai
instrument keuangan (sekuritas) jangka panjang yang dapat diperjual belikan, baik
dalam bentuk hutang (obligasi) maupun modal sendiri (saham) yang diterbitkan
pemerintah dan perusahaan swasta. Sedangkan undang‐undang Republik
Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal memberikan pengertian
pasar modal sebagai suatu kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum
dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek (Bapepam,
2006). Pengertian lainnya, pasar modal adalah salah satu sumber pembiayaan
eksternal jangka panjang bagi dunia usaha khususnya perusahaan yang go public
dan sebagai wahana investasi bagi masyarakat (Harianto dan Sudomo, 1998).
Kepemilikan saham oleh masyarakat melalui pasar modal, dapat
menjadikan masyarakat bisa menikmati keberhasilan perusahaan melalui
pembagian dividen dan peningkatan harga saham yang diharapkan. Kepemilikan
saham oleh masyarakat juga dapat memberikan pengaruh positif terhadap
pengelolaan perusahaan melalui pengawasan langsung oleh masyarakat.
Seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan, kebutuhan untuk
memberikan informasi yang lebih lengkap kepada masyarakat mengenai
perkembangan bursa juga semakin meningkat. Salah satu informasi yang
diperlukan tersebut adalah harga saham sebagai cerminan dari pergerakan harga
Menurut Bursa Efek Indonesia (BEI) dalam Thobarry (2009) Indeks harga
saham merupakan indikator utama yang menggambarkan pergerakan harga
saham. Di pasar modal sebuah indeks diharapkan memiliki lima fungsi yaitu:
1. Sebagai indikator tren pasar,
2. Sebagai indikator tingkat keuntungan,
3. Sebagai tolok ukur (benchmark) kinerja suatu portofolio,
4. Memfasilitasi pembentukan portofolio dengan strategi pasif,
5. Memfasilitasi berkembangnya produk derivatif.
Ada beberapa macam pendekatan atau metode perhitungan yang
digunakan untuk menghitung indeks, yaitu: (1) menghitung rata‐rata (arithmetic
mean) harga saham yang masuk dalam anggota indeks, (2) menghitung (geometric
mean) dari indeks individual saham yang masuk anggota indeks, (3) menghitung
rata‐rata tertimbang nilai pasar. Umumnya semua indeks harga saham gabungan
(composite) menggunakan metode rata‐rata tertimbang termasuk di Bursa Efek
Indonesia.
Menurut BEI dalam Thobarry (2009) sekarang ini PT. Bursa Efek
Indonesia memiliki 8 macam harga saham yang secara terus menerus
disebarluaskan melalui media cetak maupun elektronik, sebagai salah satu
pedoman bagi investor untuk berinvestasi di pasar modal.
Ke delapan macam indeks tersebut adalah:
a. Harga Saham Gabungan (IHSG), menggunakan semua emiten yang tercatat
sebagai komponen perhitungan indeks
b. Indeks Sektoral, menggunakan semua emiten yang termasuk dalam
c. Indeks LQ45, menggunakan 45 emiten yang dipilih berdasarkan criteria
likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang telah ditentukan.
d. Jakarta Islamic Index (JII), menggunakan 30 emiten yang masuk dalam
kriteria syariah dan termasuk saham yang memiliki kapitalisasi besar dan
likuiditas tinggi.
e. Indeks Kompas100, menggunakan 100 saham yang dipilih berdasarkan
kriteria likuiditas dan kapitalisasi pasar, dengan kriteria-kriteria yang telah
ditentukan.
f. Indeks Papan Utama, menggunakan emiten yang masuk dalam criteria papan
utama.
g. Indeks Papan Pengembangan, menggunakan emiten yang masuk dalam
kriteria papan pengembangan.
h. Indeks Individual, yaitu harga saham masing-masing emiten.
Seluruh indeks yang ada di BEI menggunakan metode perhitungan yang
sama, yaitu metode rata‐rata tertimbang berdasarkan jumlah saham tercatat.
Perbedaan utama yang terdapat pada masing‐masing indeks adalah jumlah emiten
dan nilai dasar yang digunakan untuk penghitungan indeks. Misalnya untuk
Indeks LQ45 menggunakan 45 saham untuk perhitungan indeks sedangkan
Jakarta Islamic Index (JII) menggunakan 30 saham untuk perhitungan indeks.
Indeks‐indeks tersebut ditampilkan terus menerus melalui display wall di lantai
bursa dan disebarkan ke masyarakat luas oleh data vendor melalui data feed.
Dewasa ini Indeks Harga Saham dijadikan barometer kesehatan ekonomi
di suatu negara dan juga sebagai landasan analisis statistik atas pasar terakhir.
makro diantaranya perubahan nilai tukar, suku bunga, tingkat inflasi. Perubahan
harga saham setiap hari perdagangan akan membentuk IHS. Angka indeks dibuat
sedemikian rupa hingga dapat digunakan untuk mengukur kinerja saham yang
dicatat di bursa efek, dimana return dan risiko pasar tersebut dihitung. Return
portofolio diharapkan meningkat jika HIS cenderung meningkat, demikian
sebaliknya return tersebut menurun jika IHS cenderung menurun. Bahkan saat ini
IHS dapat dijadikan barometer yang menunjukkan kesehatan ekonomi suatu
negara dan dapat sebagai dasar dalam menganalisis kondisi pasar (BEI dalam
Thobarry, 2009). Apabila terjadi peningkatan IHS maka kondisi pasar bagus. IHS
digunakan oleh investor dalam melihat kondisi bursa yang akan digunakan untuk
mengambil suatu keputusan saat melakukan transaksi saham. IHS berlaku untuk
saham individu/kelompok sedangkan harga saham gabungan (IHSG)
menggunakan data semua saham yang tercatat di suatu bursa efek.
2.1.4. Inflasi
Inflasi adalah proses kenaikan harga- harga umum barang-barang secara
terus menerus. Tapi kenaikan harga tersebut tidak selalu dalam prosentase yang
sama (Nopirin, 2000). Kenaikan harga tersebut diukur dengan beberapa cara
antara lain dengan,: a. Indeks biaya hidup (consumer price index), b. Indeks harga
perdagangan besar (whole sale price index).dan c. GNP Deflator.
Inflasi mempengaruhi perekonomian melalui pendapatan dan kekayaan,
dan melalui perubahan tingkat dan efisiensi produksi. Inflasi yang tidak bisa
diramalkan biasanya menguntungkan para debitur, pencari dana, dan spekulator
pengambil risiko. Inflasi akan merugikan para kreditur, kelompok berpendapatan
Inflasi adalah ukuran ekonomi yang memberikan gambaran tentang
meningkatnya harga rata-rata barang dan jasa yang diproduksi pada suatu sistem
perekonomian (Suseno dalam Prihantini, 2009). Menurut Herman (2003), inflasi
adalah suatu keadaan yang ditandai dengan peningkatan harga-harga pada
umumnya atau turunnya nilai mata uang yang beredar. Indikator inflasi adalah
sebagai berikut (www.bi.go.id):
a. Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum digunakan
untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu
menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang di konsumsi
oleh masyarakat. Tingkat inflasi di Indonesia biasanya diukur dengan IHK.
b. Indeks Harga Perdagangan Besar merupakan indikator yang menggambarkan
pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu
daerah.
Tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi ekonomi
yang terlalu panas (overheated). Artinya, kondisi ekonomi mengalami permintaan
atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga harga-harga
cenderung mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu tinggi juga akan
menyebabkan penurunan daya beli uang (purchasing power of money). Di
samping itu, inflasi yang tinggi juga bisa mengurangi tingkat pendapatan riil yang
diperoleh investor dari investasinya. Sebaliknya jika tingkat inflasi suatu negara
mengalami penurunan, maka hal ini akan merupakan sinyal yang positif bagi
investor seiring dengan turunnya risiko daya beli uang dan risiko penurunan
menurunnya keuntungan suatu perusahan, sehingga menyebabkan efek ekuitas
menjadi kurang kompetitif (Ang, 1997).
Kenaikan tingkat inflasi yang mendadak dan besar di suatu Negara akan
menyebabkan meningkatnya impor oleh negara tersebut terhadap pelbagai barang
dan jasa dari luar negeri, sehingga semakin diperlukan banyak valuta asing untuk
membayar transaksi impor tersebut. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya
permintaan terhadap valuta asing di pasar valuta asing. Inflasi yang meningkat
secara mendadak tersebut, juga memungkinkan tereduksinya kemampuan ekspor
nasional negara yang bersangkutan, sehingga akan mengurangi supply terhadap
valuta asing di dalam negerinya (Atmadja, 2002).
2.1.5. Nilai Tukar Rupiah
Dalam kehidupan perekonomian global dewasa ini hampir tak ada satupun
negara di dunia yang bisa menghindari perekonomiannya dari pengaruh valuta
asing, khususnya terhadap pengaruh US Dollar. Ketika suku bunga dollar naik,
para investor asing menjual sahamnya untuk ditempatkan di bank dalam bentuk
dollar. Otomatis harga saham menjadi turun. Selain itu, karena bunga mata uang
dollar mengalami kenaikan maka otomatis Bank Indonesia akan segera menaikan
tingkat suku bunganya. Tujuannya agar jangan sampai investor lebih suka
memegang dollar daripada rupiah. Jika investor memburu dollar otomatis mereka
akan menjual rupiah dan nilai rupiahnya bisa anjlok sehingga perekonomian
terancam stagnasi bahkan depresi. Kenaikan suku bunga Bank Indonesia ini akan
hanya karena rate of return investasi di bank lebih tinggi tetapi juga bisa karena
ancaman hutang dollar sebagian perusahaan.
Nilai tukar merupakan perbandingan nilai atau harga dua mata uang.
Pengertian nilai tukar mata uang menurut FASB adalah rasio antara suatu unit
mata uang dengan sejumlah mata uang lain yang bisa ditukar pada waktu tertentu.
Perbedaan nilai tukar riil dengan nilai tukar nominal penting untuk dipahami
karena keduanya mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap risiko nilai tukar
(Sartono, 2001). Perubahan nilai tukar nominal akan diikuti oleh perubahan harga
yang sama yang menjadikan perubahan tersebut tidak berpengaruh terhadap posisi
persaingan relatif antara perusahaan domestik dengan pesaing luar negerinya dan
tidak ada pengaruh terhadap aliran kas.
Menurut Nopirin (2000) menjelaskan bahwa nilai tukar merupakan
semacam harga didalam pertukaran tersebut. Demikian pula pertukaran antara dua
mata uang yang berbeda, maka akan terjadi perbandingan nilai atau harga antara
kedua mata uang tersebut. Perbandingan inilah yang seringkali disebut nilai tukar
atau kurs (exchange rate). Sejalan dengan hal tersebut, Harianto dan Sudomo
(1998) mendefinisikan bahwa nilai tukar rupiah adalah harga rupiah mata uang
negara lain. Kebijakan nilai tukar dilakukan untuk mengendalikan transaksi
neraca pembayaran. Nilai tukar yang rendah relative terhadap mata uang negara
lain akan mendorong peningkatan ekspor dan dapat mengurangi laju pertumbuhan
impor.
Ada dua pendekatan yang digunakan untuk menentukan nilai tukar
(exchange rate) yaitu pendekatan moneter (monetary approach) dan pendekatan
didefinisikan sebagai harga dimana mata uang asing (foreign currency/foreign
money) dijual belikan terhadap mata uang domestik (domestic currency/domestic
money) dan harga tersebut berhubungan dengan penawaran dan permintaan uang.
Kontribusi perubahan nilai tukar terhadap keseimbangan penawaran dan
permintaan uang digunakan hubungan absolute purchasing power parity (PPP)
yang merupakan keseimbangan antara harga domestik P dan konversi kurs valuta
asing ke dalam mata uang domestik eP* dengan rumus P = eP* atau e = P/P*
(Batiz and Batiz dalam Hardiningsih, et. al., 2002).
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pergerakan nilai tukar yaitu
faktor fundamental, faktor teknis dan sentimen pasar (Madura dalam Maski dan
Widyastuti, 2003). Faktor fundamental berkaitan dengan indikator-indikator
ekonomi seperti inflasi, suku bunga, perbedaan relative pendapatan antar negara,
ekspektasi pasar dan interfensi bank sentral. Faktor teknis berkaitan dengan
kondisi permintaan dan penawaran devisa pada saat-saat tertentu. Apabila ada
kelebihan permintaan, sementara penawaran tetap, maka harga valas akan naik
dan begitu pula sebaliknya. Sentimen pasar lebih banyak disebabkan oleh rumor
atau berita-berita politik yang bersifat insidentil, yang dapat mendorong harga
valas naik atau turun secara tajam dalam jangka pendek. Apabila rumor atau
berita-berita sudah berlalu, maka nilai tukar akan kembali normal (Arifin dalam
Maski dan Widyastuti, 2003).
Berdasarkan perkembangan system moneter internasional pada umumnya
dikenal beberapa macam system penetapan nilai tukar sebagai berikut (Puspita,
2005):
2. Floating exchange rate system atau sistem nilai tukar mengambang, dimana
nilai tukar suatu mata uang valuta asing ditentukan oleh kekuatan permintaan
dan penawaran pada bursa valuta asing, terdiri dari freely floating rate atau
clean float dan managed float atau dirty float.
3. Pegged exchange rate system atau sistem nilai tukar terkait dilakukan dengan
mengaitkan nilai mata uang suatu negara dengan nilai mata uang negara lain
atau sejumlah mata uang tertentu. Di Indonesia berbagai sistem nilai tukar
tersebut setelah diterapkan selama beberapa periode sebagai berikut:
a. Fixed exchange rate system (tahun 1964 hingga 15 November 1978)
b. Floating exchange rate system (15 November 1978 hingga 14 Agustus
1997)
c. Floating exchange rate system (14 Agustus 1997 sampai sekarang)
Kondisi sosial, politik, dan keamanan sangat berpengaruh terhadap
penguatan nilai tukar. Walaupun tingkat bunga dipertahankan tinggi, tetapi
kondisi sosial, politik, dan keamanan belum stabil, maka nilai tukar masih
terdepresiasi karena para investor asing tidak berani berinvestasi karena tidak
adanya jaminan keamanan. Kestabilan nilai rupiah dapat diukur dari nilai rupiah
terhadap barang-barang dalam negeri dan luar negeri. Kestabilan nilai rupiah
terhadap barang-barang dalam negeri tercermin dari tingkat inflasi, sementara
kestabilan nilai rupiah luar negeri tercermin dari nilai tukar rupiah (kurs) terhadap
uang negara lain (Iljas dalam Tauhid, 2002).
Pemerintah melalui Bank Indonesia akan menaikan tingkat suku bunga
guna mengontrol peredaran uang di masyarakat atau dalam arti luas mengontrol
perekonomian nasional. Dengan menaikan bunga SBI berarti bank-bank dan
lembaga keuangan lainya akan terdorong untuk membeli SBI. Adanya bunga yang
tinggi dalam SBI membuat bank dan lembaga keuangan yang menikmatinya ini
otomatis akan memberikan tingkat bunga yang lebih tinggi untuk
produk-produknya. Tujuannya agar mampu menarik sebanyak mungkin dana masyarakat
yang akan dipergunakan untuk membeli SBI lagi. Jika ini terjadi berarti tujuan
dasar pemerintah telah tercapai. Bunga yang tinggi ini tentunya akan berdampak
pada alokasi dana investasi para investor. Investasi pada produk perbankan seperti
deposito atau tabungan jelas lebih kecil resikonya dibandingkan invetasi dalam
bentuk saham. Karenanya investor akan menjual saham dan dananya kemudian
akan ditempatkan di bank. Penjualan saham secara serentak ini akan berdampak
pada penurunan harga saham secara signifikan.
Sertifikat Bank Indonesia adalah surat berharga sebagai pengakuan utang
berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank
Indonesia dengan system diskonto. SBI diterbitkan tanpa warkat (scripless), dan
seluruh kepemilikan maupun transaksinya dicatat dalam sarana Bank Indonesia
BI. Pihak-pihak yang dapat memiliki SBI adalah bank umum dan masyarakat.
Bank dapat membeli SBI di pasar perdana sementara masyarakat hanya
diperbolehkan membeli di pasar sekunder. (Witjaksono, 2010)
Penerbitan SBI di pasar perdana dilakukan dengan mekanisme lelang pada
setiap hari Rabu atau hari kerja berikutnya (dalam hal hari dimaksud adalah hari
bulan dengan satuan unit terkecil sebesar Rp1 juta. Saat ini Bank Indonesia
menerbitkan SBI dengan tenor 1 bulan dan 3 bulan. Penerbitan SBI tenor 1 bulan
dilakukan secara mingguan sedangkan SBI tenor 3 bulan dilakukan secara
triwulanan. Peserta lelang SBI terdiri dari bank umum dan pialang pasar uang
Rupiah dan Valas (www.bi.go.id).
Metode lelang penerbitan SBI dilakukan dengan menggunakan 2 (dua)
cara yaitu melalui Variable Rate Tender (peserta lelang mengajukan penawaran
kuantitas dengan tingkat diskonto yang ditetapkan oleh Bank Indonesia) dan
dengan Fixed Rate Tender (peserta lelang mengajukan penawaran kuantitas
dengan tingkat diskonto yang ditetapkan oleh Bank Indonesia).
Sejak awal Juli 2005, Bank Indonesia menggunakan mekanisme BI rate
(suku bunga BI), yaitu BI mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan
oleh Bank Indonesia untuk pelelangan pada masa periode tertentu. BI rate ini
kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku pasar dalam mengikuti
pelelangan. Definisi BI rate sendiri menurut Bank Indonesia adalah suku bunga
instrument sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada Rapat Dewan
Gubernur triwulanan untuk berlaku selama triwulan berjalan, kecuali ditetapkan
berbeda oleh Rapat Dewan Gubernur bulanan dalam triwulan yang sama
(www.bi.go.id).
BI rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian
moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga SBI 1 bulan
hasil lelang operasi pasar terbuka berada di sekitar BI rate. Selanjutnya suku
dan suku bunga jangka yang lebih panjang. Perubahan BI rate (SBI tenor 1 bulan)
ditetapkan secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis poin (bps).
BI rate ditetapkan oleh dewan gubernur dengan mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut :
1) Rekomendasi BI rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam
model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi
2) Berbagai informasi lainnya seperti indikator makro ekonomi, survey, pendapat
ahli, hasil-hasil riset ekonomi, dan lain-lain.
Saat ini Bank Indonesia menggunakan tingkat suku bunga SBI sebagai
salah satu instrumen untuk mengedalikan inflasi. Apabila inflasi dirasakan cukup
tinggi maka Bank Indonesia akan menaikkan tingkat suku bunga SBI untuk
meredam kenaikan inflasi. Perubahan tingkat suku bunga SBI akan memberikan
pengaruh bagi pasar modal dan pasar keuangan.
Apabila tingkat suku bunga naik maka secara langsung akan meningkatkan
beban bunga. Perusahaan yang mempunyai leverage yang tinggi akan
mendapatkan dampak yang sangat berat terhadap kenaikan tingkat bunga.
Kenaikan tingkat bunga ini dapat mengurangi profitabilitas perusahaan sehingga
dapat memberikan pengaruh terhadap harga saham perusahaan yang
bersangkutan.
Selain kenaikan beban bunga, tingkat suku bunga SBI yang tinggi dapat
menyebabkan investor tertarik untuk memindahkan dananya ke deposito. Hal ini
terjadi karena kenaikan tingkat suku bunga SBI akan diikuti oleh bank-bank
komersial untuk menaikkan tingkat suku bunga simpanan. Apabila tingkat suku
investor, tentu investor akan mengalihkan dananya ke deposito. Terlebih lagi
investasi di deposito sendiri merupakan salah satu jenis investasi yang bebas
resiko. Pengalihan dana oleh investor dari pasar modal ke deposito tentu akan
mengakibatkan penjualan saham besar-besaran sehingga akan menyebabkan
penurunan indeks harga saham.
Bagi masyarakat sendiri, tingkat suku bunga yang tinggi berarti tingkat
inflasi di negara tersebut cukup tinggi. Dengan adanya inflasi yang tinggi akan
menyebabkan berkurangnya tingkat konsumsi riil masyarakat sebab nilai uang
yang dipegang masyarakat berkurang. Ini akan menyebabkan konsumsi
masyarakat atas barang yang dihasilkan perusahaan akan menurun pula. Hal ini
tentu akan mengurangi tingkat pendapatan perusahaan sehingga akan
mempengaruhi tingkat keuntungan perusahaan, yang pada akhirnya akan
berpengaruh terhadap harga saham perusahaan tersebut (Sunariyah dalam
Witjaksono, 2010).
2.1.7. Harga Emas
Sejak tahun 1968, harga emas yang dijadikan patokan seluruh dunia adalah
harga emas berdasarkan standar pasar emas London (en.wikipedia.org). Sistem ini
dinamakan London Gold Fixing. London Gold Fixing adalah prosedur dimana
harga emas ditentukan dua kali sehari setiap hari kerja di pasar London oleh lima
anggota Pasar London Gold Fixing Ltd (www.goldfixing.com). Kelima anggota
tersebut adalah :
1. Bank of Nova Scottia
2. Barclays Capital
4. HSBC
5. Societe Generale
Proses penentuan harga adalah melalui lelang diantara kelima member
tersebut. Pada setiap awal tiap periode perdagangan, Presiden London Gold
Fixing Ltd akan mengumumkan suatu harga tertentu.Kemudian kelima anggota
tersebut akan mengabarkan harga tersebut kepada dealer. Dealer inilah yang
berhubungan langsung dengan para pembeli sebenarnya dari emas yang
diperdagangkan tersebut. Posisi akhir harga yang ditawarkan oleh setiap dealer
kepada anggota Gold London Fixing merupakan posisi bersih dari hasil akumulasi
permintaan dan penawaran klien mereka. Dari sinilah harga emas akan terbentuk.
Apabila permintaan lebih banyak dari penawaran, secara otomatis harga akan
naik, demikian pula sebaliknya. Penentuan harga yang pasti menunggu hingga
tercapainya titik keseimbangan. Ketika harga sudah pasti, maka Presiden akan
mengakhiri rapat dan mengatakan “There are no flags, and we're fixed”.
Proses penentuan harga emas dilakukan dua kali sehari, yaitu pada pukul
10.30 (harga emas Gold A.M) dan pukul 15.00 (harga emas Gold P.M). Harga
emas ditentukan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat, Poundsterling Inggris,
dan Euro. Pada umumnya Gold P.M dianggap sebagai harga penutupan pada hari
perdagangan dan sering digunakan sebagai patokan nilai kontrak emas di seluruh
dunia
Emas merupakan salah satu bentuk investasi yang cenderung bebas resiko
(Sunariyah, 2006). Emas banyak dipilih sebagai salah satu bentuk investasi karena
nilainya cenderung stabil dan naik. Sangat jarang sekali harga emas turun. Dan