TINGKAH LAKU INDUK DAN ANAK BABI MENYUSU YANG
DIBERI TEPUNG DAUN BANGUN-BANGUN
(Coleus
amboinicus
Lour) DALAM RANSUM INDUKNYA
SKRIPSI
GREIS DIANI MARIA SIAHAAN
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
GREIS DIANI MARIA SIAHAAN. D14050974. 2009. Tingkah Laku Induk Babi dan Anak Babi Menyusu yang Diberi Daun Bangun-bangun (Coleus amboinicus
Lour) dalam Ransum Induknya. Skripsi. Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Hj. Sri Supraptini, M.
Mempelajari tingkah laku hewan berarti lebih mengetahui karakteristik hewan dan responnya terhadap lingkungan. Menyusui (nursing) adalah sifat merawat anak dari seekor induk dengan membiarkan dan menyediakan puting susunya untuk dihisap oleh anak, sedangkan penyusuan atau menyusu (suckling) adalah kelakuan anak menghisap puting susu induknya untuk mendapatkan makanannya.
Bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) telah lama dipercaya oleh masyarakat Batak Toba karena mampu meningkatkan dan melancarkan air susu ibu yang mengkonsumsinya. Senyawa aktif daun bangun-bangun dapat mempengaruhi hormon-hormon pembentukan air susu.
Penelitian ini dilakukan di Peternakan Babi Rachel Farm, Kampung Cina, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menentukan pengaruh beberapa taraf pemberian tepung daun bangun-bangun (0; 1,25; 2,50 dan 3,75%) dalam ransum induk terhadap tingkah laku induk babi menyusui dan anak menyusu. Pengamatan yang dilakukan dengan menggunakan ad libitum sampling, focal sampling dan sistem pencatatan one zero. Untuk pengamatan tingkah laku harian digunakan metode ad libitum sampling, untuk pengamatan tingkah laku induk babi menyusui dan anak babi menyusu digunakan metode focal animal sampling dengan metode pencatatan one-zero. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan masing-masing dengan empat ulangan.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan diperoleh hasil bahwa taraf pemberian tepung daun bangun-bangun dalam ransum penelitian belum menunjukkan pengaruh nyata terhadap tingkah laku induk menyusui dan tingkah laku anak babi menyusu.
ABSTRACT
Behavior of Sows Nursing and Piglets Suckling Feed Additionaly with Bangun-bangun’s Leaves (Coleus amboinicus Lour) at Different Level in Sow Ration
Greis D. M. S., P. H. Siagian, and Sri S.
Study of animal behavior means knowing certain characteristics of animal and how they live in their environment. Bangun-bangun leaves (Coleus amboinicus Lour) is one of the vegetables commonly consumed by woman during breast feeding period. It is believed to contain an active compound that increases milk production. Pigs are a kind of mammal that have many litters, so that pig can be expected to produce plenty of milk to be consumed by piglets in the lactation periods. The aim of this research was to study the effect of adding bangun-bangun leaf meal in different levels of sow’s ration to find out the behavior of sow’s nursing and piglet’s suckling. The research used some methods: ad libitum sampling, focal sampling and one zero calculating. The Completely Random Design with four treatments and four replications (sow’s) was used in this research. The results showed that there were no significant effects on the sow’s nursing and piglet’s suckling behaviors.
TINGKAH LAKU INDUK DAN ANAK BABI MENYUSU YANG
DIBERI TEPUNG DAUN BANGUN-BANGUN
(Coleus
amboinicus
Lour) DALAM RANSUM INDUKNYA
GREIS DIANI MARIA SIAHAAN D14050974
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
TINGKAH LAKU INDUK DAN ANAK BABI MENYUSU YANG
DIBERI TEPUNG DAUN BANGUN-BANGUN
(Coleus amboinicus
Lour) DALAM RANSUM INDUKNYA
Oleh
GREIS DIANI MARIA SIAHAAN D14050974
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 November 2009
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Prof. Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS. Prof.Dr. Ir. Hj. Sri Supraptini. M.
Dekan Ketua Departemen
Fakultas Peternakan Ilmu Produksi dan Teknologi Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Luki Abdullah, MSc. Agr Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri M. Agr Sc.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Mei 1987 di Tarutung, Tapanuli Utara. Penulis adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara dari pasangan Managara Siahaan dan Esterlina Lubis.
Pendidikan dasar Penulis, diselesaikan pada tahun 1999 di SDN 173102 Saitnihuta, Tarutung. Selanjutnya, Penulis meneruskan pendidikan di SLTPN 4 Tarutung pada tahun 2002. Kemudian Penulis melanjutkan jenjang pendidikannya di SMA HKBP 1 Tarutung sampai tahun 2005. Pada tahun 2005 Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, Penulis menjadi anggota organisasi Persekutuan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMK). Penulis pernah menjadi pengurus Persekutuan Oikumene Protestan dan Katolik (POPK) Fakultas Peternakan sebagai wakil ketua untuk periode 2007-2008. Penulis juga pernah menjadi pengurus organisasi Kelompok Pecinta Alam Peternakan (KEPAL-D) dan anggota Komisi Pelayanan Anak PMK.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa, atas anugerah dan perlindunganNya Penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tingkah Laku Induk dan Anak Babi Menyusu yang Diberi Tepung Daun Bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dalam Ransum Induknya”. Skripsi ini merupakan salah syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan dari Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009 di Peternakan Babi Rachel Farm yang berada di Kampung Cina, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat.
Senyawa aktif dalam daun bangun-bangun berbentuk tepung dapat mempengaruhi hormon-hormon pembentuk air susu. Induk babi merupakan ternak menyusui yang memiliki banyak anak dalam sekali beranak (litter size lahir). Meningkatnya produksi air susu induk diharapkan dapat mempengaruhi tingkah laku induk babi dan tingkah laku anak menyusu pada induknya, sehingga mengurangi mortalitas anak.
Penulis menyadari, bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan adanya kritik dan masukan yang membangun dari pembaca. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna baik bagi kalangan akademis maupun kalangan umum terutama para peternak babi.
Bogor, Desember 2009 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ... i
ABSTRACT ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
LEMBAR PENGESAHAN ... iv
RIWAYAT HIDUP ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 2 Tujuan ... 2 Manfaat ... 3 Hipotesis ... 3 TINJAUAN PUSTAKA Ternak Babi ... 4 Sifat Reproduksi ... 4 Kebuntingan ... 4
Produksi Air Susu Induk Babi ... 6
Ransum ... 6
Tingkah Laku ... 7
Tingkah Laku Harian ... 7
Tingkah Laku Makan ... 7
Tingkah Laku Minum ... 8
Tingkah Laku Istirahat ... 9
Tingkah Laku Sosial ... 9
Tingkah Laku Mempertahankan Diri (Agonistik) ... 9
Tingkah Laku Reproduksi ... 10
Tingkah Laku Sebelum Beranak ... 10
Tingkah Laku Saat Beranak ... 11
Tingkah Laku Setelah Beranak ... 11
Tingkah Laku Eliminasi ... 12
Tingkah Laku Induk dan Anak ... 12
Tingkah Laku Induk Menyusui ... 12
Daun Bangun-bangun ... 14
Senyawa Aktif Bangun-bangun ... 15
Peranan Bangun-bangun ... 16
METODE Lokasi dan Waktu ... 18
Materi ... 18
Ternak ... 18
Kandang dan Peralatan ... 18
Ransum Penelitian ... 19
Rancangan ... 19
Prosedur Pengumpulan Data ... 19
Peubah yang Diamati ... 20
Analisis Data ... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan ... 23
Lokasi Penelitian ... 23
Tata Laksana Pemeliharaan ... 23
Ransum Penelitian dan Pemberiannya ... 24
Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui ... 27
Tingkah Laku Harian Induk Babi Menyusui ... 29
Tingkah Laku Makan ... 29
Tingkah Minum ... 30
Tingkah Laku Istirahat ... 32
Tingkah Laku Sosial ... 33
Tingkah Laku Agonistik ... 34
Tingkah Laku Merawat ... 35
Tingkah Laku Bergerak ... 36
Tingkah Laku Eliminasi ... 37
Tingkah Laku Menyusui ... 38
Tingkah Laku Khusus ... 40
Tingkah Laku Induk Babi Menyusui ... 40
a. Induk Babi Membiarkan Anaknya Menyusu ... 41
b. Induk Babi Menghindari Anaknya Menyusu ... 43
Tingkah Laku Anak Babi Menyusu ... 44
a. Mencari Puting Induk pada Saat Menyusu ... 45
b. Berebut Puting Induk ... 46
c. Pengurutan Final Anak Babi pada Puting Induk ... 48
d. Penyusuan Anak Babi yang Disertai Suara Protes ... 49
e. Menghisap Puting Induk ... 50
f. Penempatan Urutan Menyusu Anak Babi ... 51
g. Pemilihan Puting pada Saat Menyusu ... 52
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan ... 55
Saran ... 55
UCAPAN TERIMA KASIH ... 56
DAFTAR PUSTAKA ... 57
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Sifat Reproduksi Ternak Babi Betina ... 5
2. Kandungan Senyawa Aktif dalam Coleus amboinicus Lour ... 15
3. Komposisi Zat Gizi Daun Bangun-bangun dan Katuk ... 17
4. Hasil Analisis Zat Makanan Ransum Penelitian ... 26
5. Kebutuhan Zat Makanan untuk Induk Bunting dan Menyusui ... 27
6. Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui Selama Penelitian ... 28
7. Frekuensi Tingkah Laku Induk Membiarkan Anak Babi Menyusu ... 42
8. Tingkah Laku Induk Menghindari Anak Babi Menyusu ... 44
9. Tingkah Laku Anak Babi Mencari Puting Induk ... 46
10. Tingkah Laku Anak Babi Berebut Puting Induk ... 47
11. Tingkah Laku Pengurutan Final Anak Babi pada Saat Menyusui ... 48
12. Tingkah Laku Penyusuan Anak Babi Disertai Suara Protes ... 49
13. Tingkah Laku Anak Babi Menghisap Puting Induk ... 50
14. Penempatan Urutan Menyusu Anak Babi pada Puting Induk ... 51
15. Tingkah Laku Anak Babi Memilih Puting Induk ... 52
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Tanaman Bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) ... 15
2. Induk Babi Bunting yang Segera Akan Beranak ... 18
3. Salah Satu Tingkah Laku Induk pada Saat Makan ... 29
4. Frekuensi Tingkah Laku Makan Induk Babi ... 30
5. Frekuensi Tingkah Laku Minum Induk Babi Menyusui ... 31
6. Salah Satu Tingkah Laku Induk Babi Minum ... 31
7. Salah Satu Tingkah Laku Istirahat Induk Babi ... 32
8. Frekuensi Tingkah Laku Istirahat Induk Babi ... 33
9. Frekuensi Tingkah Laku Sosial Induk Babi ... 34
10. Frekuensi Tingkah Laku Agonistik Induk Babi ... 35
11. Frekuensi Tingkah Laku Merawat Induk Babi ... 36
12. Frekuensi Tingkah Laku Bergerak Induk Babi ... 37
13. Frekuensi Tingkah Laku Eliminasi Induk Babi... 38
14. Salah Satu Tingkah Laku Induk Babi Menyusui Anaknya ... 38
15. Frekuensi Tingkah Laku Menyusui dari Induk Babi ... 39
16. Frekuensi Tingkah Laku Harian Induk Babi Selama 24 Jam ... ……….. 40
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Jumlah Tingkah Laku Harian Induk Babi Menyusui (kali) ... 61
2. Persentasi Frekuensi Tingkah Laku Induk Babi Membiarkan Anak Menyusu (kali/ekor) ... 65
3. Persentasi Frekuensi Tingkah Laku Induk Babi Menuntun Anak Menyusu (kali/ekor) ... 65
4. Persentasi Frekuensi Tingkah Laku Induk Babi Menghindari Anak Menyusu (kali/ekor) ... 65
5. Analisis Ragam Tingkah Laku Induk Membiarkan Anak Menyusu ... 66
6. Analisis Ragam Tingkah Laku Induk Menghindari Anak Menyusu ... 66
7. Analisis Ragam Tingkah Laku Anak Mencari Puting Induk ... 66
8. Analisis Ragam Tingkah Laku Anak Berebut Puting ... 66
9. Analisis Ragam Tingkah Laku Pengurutan Final Anak ... 66
10. Analisis Ragam Tingkah Laku Anak Babi Disertai Suara Protes ... 67
11. Analisis Ragam Tingkah Laku Anak Babi Menghisap Puting Induk ... 67
12. Analisis Ragam Penempatan Urutan Anak Babi ... 67
13. Analisis Ragam Pemilihan Puting ... 67
14. Analisis Ragam Menyusu pada Dua Puting ... 67
15. Persentasi Frekuensi Mencari Puting (kali) ... 68
16. Persentasi Frekuensi Berebut Puting (kali) ... 69
17. Persentasi Frekuensi Pengurutan Anak ke Puting Induk (kali) ... 70
18. Persentasi Frekuensi Penyusuan Disertai Suara Protes (kali) ... 71
19.Persentasi Frekuensi Menghisap pada Saat Menyusu (kali) ... 72
20. Persentasi Frekuensi Penempatan Urutan Tertentu pada Puting (kali) ... 73
21. Persentasi Frekuensi Pemilihan Puting (kali) ... 74
PENDAHULUAN Latar Belakang
Peternakan merupakan sektor yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia selain sektor perikanan. Kebutuhan daging yang terus meningkat setiap tahunnya seiring dengan pertambahan penduduk mendorong manusia untuk meningkatkan produksi dan pengembangbiakan ternak. Ternak babi merupakan salah satu komoditas yang mempunyai peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat akan daging sebagai sumber protein hewani. Ternak babi merupakan salah satu dari sekian banyak jenis ternak yang mempunyai potensi cukup baik sebagai penghasil daging yang memiliki gizi tinggi dan sebagai sumber protein hewani.
Ternak babi mempunyai karakteristik reproduksi dan produksi yang berbeda dengan sapi, domba, kambing, dan kuda. Hal-hal yang membedakan dengan ternak lain adalah ternak babi merupakan hewan polytocous (melahirkan anak lebih dari satu ekor dalam setiap kelahiran), cepat tumbuh dan efesien dalam mengubah makanan menjadi daging. Pengetahuan tentang pola tingkah laku harian dan tingkah laku induk babi menyusui dan anak menyusu merupakan kunci dalam keberhasilan peternakan, dengan mengetahui tingkah laku babi maka kita dapat menentukan manajemen pemeliharaan yang sesuai untuk ternak babi.
Salah satu faktor penyebab kematian anak babi menyusu adalah tingkat kemampuan induk babi untuk menghasilkan air susu yang cukup dan mengasuh anaknya. Semakin banyak anak babi yang hidup maka akan semakin meningkatkan keuntungan bagi peternak. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi air susu induk adalah dengan melakukan pemberian tepung daun bangun-bangun ke dalam ransum induk tanpa menganggu kenyamanan dan tingkah laku induk babi dan anak babi menyusu.
Daun bangun-bangun (C. amboinicus Lour) merupakan sejenis herba, yang telah lama dikenal di beberapa daerah di Indonesia. Daun bangun-bangun berpotensi sebagai bahan pangan sumber zat besi, provitamin A (karoten) dan kalsium. Daun bangun-bangun juga dapat memberikan manfaat kesehatan dan pertumbuhan bayi yang ibunya mengkonsumsi daun tersebut karena daun ini dapat meningkatkan produksi air susu ibu. Peningkatan produksi air susu induk karena pengaruh
pemberian tanaman bangun-bangun kedalam ransum ternak telah dibuktikan pada hewan percobaan mencit dan ternak kambing.
Pengetahuan tentang tingkah laku babi harian seperti makan, minum, tidur, eliminasi, lokomosi, bermain, merawat diri, melahirkan, dan menyusu sangat penting dalam pemeliharaan ternak babi. Pemberian tepung bangun-bangun kedalam ransum induk babi menyusui atau laktasi diharapkan dapat meningkatkan produksi air susu induk tanpa mengganggu kesejahteraan ternak babi. Dengan meningkatnya produksi air susu induk babi diharapkan akan mempengaruhi tingkah laku induk babi menyusui dan anaknya menyusu. Informasi ini dapat menunjang sistem pemeliharan yang lebih baik dengan harapan populasi ternak babi di masa yang akan datang akan terus berkembang sehingga kebutuhan protein hewani bagi manusia dapat terpenuhi.
Perumusan Masalah
Ternak babi merupakan ternak yang sangat menguntungkan, karena mudah dipelihara dan merupakan salah satu komoditas penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan daging sebagai sumber protein hewani. Pemeliharaan yang baik, pemberian pakan yang sesuai dan pengetahuan tentang tingkah laku babi dapat meningkatkan jumlah produksi ternak babi. Informasi mengenai tingkah laku pemeliharaan ternak babi khususnya tingkah laku induk babi menyusui dan anak menyusu dalam peternakan masih terbatas. Pemberian tepung daun bangun-bangun ke dalam pakan induk babi menyusui dipercaya dapat melancarkan air susu induk atau meningkatkan jumlah produksi air susu. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian tentang tingkah laku induk babi menyusui dan anak menyusu, akibat pengaruh penambahan tepung daun bangun-bangun ke dalam pakan ternak babi. Informasi ini diharapkan dapat digunakan untuk manajemen pemeliharaan ternak babi agar lebih baik dan efisien, sehingga ternak babi dapat berkembang dan produksinya semakin meningkat.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai aktivitas perilaku sehari-hari induk babi menyusui dan anak babi menyusu akibat pemberian tepung daun bangun-bangun ke dalam ransum induk babi menyusui atau laktasi.
Manfaat
Penelitian ini bermanfaat antara lain mendapatkan informasi dasar mengenai tingkah laku harian ternak babi dan pola hidupnya. Selain itu juga penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang gambaran pengembangan teknik budidaya ternak babi yang dapat digunakan untuk pengembangbiakan dan peningkatan produksi ternak babi sebagai salah satu sumber protein hewani masyarakat Indonesia.
Hipotesis
Daun bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) mengandung tiga senyawa penting yang berperan aktif dalam metabolisme sel dan merangsang produksi susu induk. Ketiga senyawa aktif tersebut adalah thymol, carvacrol, dan forskolin.
TINJAUAN PUSTAKA Ternak Babi
Ternak babi bila diklasifikasikan secara zoologis termasuk ke dalam kelas mamalia, ordo Artiodactyla, genus Sus dan spesies terdiri dari Sus scrofa, Sus vittatus, Sus cristatus, Sus leucomystax, Sus celebensis, Sus verrucosus, dan Sus barbatus (Sihombing, 2006).
Babi merupakan ternak omnivora monogastrik yaitu ternak pemakan semua pakan dan mempunyai satu perut besar yang sederhana (Sihombing, 2006). Ternak babi merupakan salah satu dari sekian jenis ternak yang mempunyai potensi sebagai suatu sumber protein hewani dengan sifat-sifat yang dimiliki yaitu prolifik (memiliki banyak anak setiap kelahiran), efisien dalam mengkonversi bahan makanan menjadi daging dan mempunyai daging dengan persentase karkas yang tinggi (Siagian, 1999).
Terdapat beberapa bangsa ternak babi yang sudah dikenal dan banyak dikembangkan, yaitu Yorkshire, Landrace, Duroc, Hampshire, dan Berkshire. Bangsa ternak babi adalah sumber genetik yang tersedia bagi peternak. Hampir semua ternak babi yang dikembangkan sekarang ini merupakan bangsa babi hasil persilangan (Siagian, 1999). Usaha peternakan babi akan dapat mendatangkan keuntungan ekonomi apabila dikembangkan dengan serius. Menurut Sihombing (2006), dua syarat yang harus dipenuhi dalam memulai usaha ternak babi, adalah pengadaan makanan yang cukup dan tempat pemasaran yang dekat.
Sifat Reproduksi
Ternak babi adalah ternak yang cepat berkembangbiak karena menghasilkan banyak anak yang lahir dari satu kelahiran dan dalam satu tahun dapat terjadi dua kali beranak bahkan dapat lima kali dalam dua tahun, dan cepat dewasa. Data mengenai sifat reproduksi ternak babi betina ditunjukkan dalam Tabel 1.
Kebuntingan
Kebuntingan adalah proses bersatunya sel sperma dan sel telur yang akan membentuk zigot dan kemudian menjadi embrio dan fetus. Lama kebuntingan ternak babi berkisar antara 111-117 hari atau rata-rata 114 hari. Meskipun perkembangan sejak pembuahan hingga kelahiran merupakan suatu proses berkesinambungan,
kebuntingan dianggap terdiri dari tiga fase, yaitu fase preimplantasi, embrio, dan fetus (Sihombing, 2006), tahapan ini akan diuraikan secara singkat.
Tabel 1. Sifat Reproduksi Ternak Babi Betina
Sifat a) b)
Umur saat pubertas (bulan) 5-8 4-7
Bobot badan saat estrus (kg) - 70-110
Lama estrus (hari) 1-3 1-5
Panjang siklus estrus (hari) 19-21 18-24 Waktu ovulasi setelah permulaan
estrus (jam) - 12-48
Saat tepat dikawinkan hari ke-2 estrus hari ke-2 estrus
Lama kebuntingan (hari) 110-115 111-115
Sumber: a). Toelihere (1985)
b). Blakely dan Bade (1991)
Preimplantasi. Selama dua minggu pertama kebuntingan, telur yang tertunas bergerak dari Tuba Fallopi ke masing-masing tanduk uterus sampai hari ke-12 tempatnya masih bebas, namun dari hari ke-12 sampai hari ke-18 sudah menempatkan diri dan menetapkan posisi akhirnya di uterus (implantasi).
Embrio. Periode embrio berlangsung selama minggu-minggu ke-3, ke-4, dan ke-5 kebuntingan dan ditandai oleh awal pembentukan organ-organ dan bagian-bagian tubuh. Dalam periode ini selaput pembungkus embrio (ari-ari, tembuni, plasenta) terbentuk dan berfungsi melindungi dan memberi makan embrio.
Fetus. Pembentukan fetus berlangsung dari hari ke-36 hingga anak lahir sekitar hari ke-114. Sekitar hari ke-60 fetus mengembangkan sistem imunitasnya sendiri terhadap infeksi yang ringan.
Kelahiran. Menurut Sihombing (2006) menjelang kelahiran, induk memperlihatkan tanda-tanda gelisah dan aktivitas membuat sarang. Laju pernapasan meningkat selama 12 jam terakhir dan temperatur rektum meningkat 5 jam sebelum melahirkan. Kelahiran paling sering terjadi pada malam hari.
Hormon yang memprakarsai kelahiran (proses kelahiran) atau partus adalah prostaglandin F2-alfa yang dihasilkan oleh fetus. Hormon ini menyebabkan regresi
dari kelenjar pituitary. Hormon relaxin dan oxytocin menimbulkan relaksasi servix
sehingga terbuka corong jalan anak lahir dan oxytocin menyebabkan kelenjar susu mengeluarkan air susu (Sihombing, 2006).
Produksi Air Susu Induk Babi
Perkiraan produksi air susu induk (PASI) babi ini dimaksudkan untuk mengetahui jumlah air susu yang dihasilkan seekor induk babi dalam sehari. Meskipun sulit untuk mengetahui PASI yang seharusnya, namun dengan menghitung berapa kali induk babi menyusui anaknya dalam 24 jam, maka PASI dapat diperkirakan dalam sehari dengan menggunakan jumlah frekuensi menyusu. Siagian (1999) menyatakan selama periode laktasi seekor anak babi membutuhkan 30-37 kg air susu dengan frekuensi menyusu 18-28 kali per hari. Hartmann dan Holmes (1989) menyatakan anak babi menyusu 20 kali atau lebih dalam sehari.
Ransum
Ransum adalah makanan yang diberikan pada ternak tertentu selama 24 jam, pemberiannya dapat dilakukan sekali atau beberapa kali selama 24 jam tersebut. Ransum sempurna adalah kombinasi beberapa bahan makanan yang bila dikonsumsi secara normal dapat mensuplai zat-zat makanan kepada ternak dalam perbandingan jumlah dan bentuk sedemikian rupa sehingga fungsi-fungsi fisiologis dalam tubuh berjalan dengan normal (Parakkasi, 1995). Ransum yang dikonsumsi ternak babi akan diubah menjadi jaringan tubuh, juga digunakan sebagai sumber energi dan sebagian lagi akan dikeluarkan menjadi kotoran (Siagian, 1999). Menurut Sihombing (2006) bahwa induk babi selama bunting dan laktasi membutuhkan ransum masing-masing adalah 2,00-2,50 kg dan 3,00-4,50 kg per hari per ekor. Konsumsi ransum untuk induk babi laktasi harus disesuaikan dengan jumlah anaknya, sebab semakin banyak anak semakin besar perangsang produksi air susu induk. Semakin banyak ransum yang diperoleh pada waktu laktasi maka produksi air susu meningkat. Kosumsi air minum untuk induk babi bunting dan laktasi sekitar 10-20 liter/hari.
Tingkat konsumsi (Voluntary Feed Intake) diartikan sebagai jumlah makanan yang dikonsumsi oleh hewan bila bahan makanan tersebut diberikan ad libitum
(Parakkasi, 1995). Konsumsi zat makanan sangat diperlukan untuk membantu metabolisme dalam tubuh (Sutardi, 1980).
Tingkah Laku
Ilmu yang mempelajari tentang tingkah laku hewan disebut ethology, yang berasal dari kata ethos yang berarti karakter atau alam dan logos yang berarti ilmu. Mempelajari tingkah laku hewan berarti menentukan karakteristik hewan dan bagaimana responnya terhadap lingkungan. Selama interaksi tersebut ternak akan menimbulkan respon berupa tingkah laku terhadap lingkungan yang dihadapinya (Gonyou, 1991). Tingkah laku penting untuk diperhatikan dalam manajemen reproduksi karena berpengaruh terhadap keberhasilan pengawinan dan jumlah anak yang dapat bertahan hidup (Hafez, 1987).
Ternak babi lebih suka hidup dalam sebuah keluarga atau dalam kelompok kecil. Jantan tua biasanya hidup sendiri (soliter). Ternak babi mengandalkan penciuman dan pendengaran dibandingkan dengan penglihatannya dan ternak babi memiliki wilayah yang luas dalam komunikasi. Ternak babi memiliki kemampuan yang tinggi dalam mengalokasikan sumber bau. Babi sangat sensitif terhadap iklim yang ekstrim atau panas. Babi tidak punya kelenjar keringat dan tidak memiliki bulu yang lebat untuk melindungi, babi mengandalkan lapisan lemak sebagai insulasi. Jadi babi akan berkumpul atau berkerumun untuk menjaga panas dan berkubang untuk menjaga suasana tetap dingin. Babi merupakan binatang yang sangat mudah beradaptasi dan ternak ini merupakan binatang yang cepat belajar (Kilgour dan Dalton, 1984).
Tingkah Laku Harian
Secara umum tingkah laku harian yang ditunjukkan oleh induk babi menyusui meliputi makan, minum, istirahat, eliminasi, merawat diri dan anak, sosial, bergerak dan agonistik. Aktivitas tingkah laku tersebut dilakukan tiap hari dengan frekuensi yang bervariasi (Kilgour dan Dalton, 1984).
Tingkah Laku Makan
Menurut Kilgour dan Dalton (1984), secara umum hewan mempunyai tiga cara dalam memperoleh makanan, yaitu (1) tetap berada ditempat dan makanan datang sendiri, (2) berjalan untuk mencari makan dan (3) menjadi parasit bagi organisme lain. Tingkah laku makan dipengaruhi oleh faktor genetik, suhu lingkungan, jenis makanan yang tersedia, dan habitat.
Fungsi utama tingkah laku adalah untuk menyesuaikan diri terhadap beberapa perubahan keadaan, baik dari luar maupun dari dalam. Tingkah laku makan disebabkan oleh adanya rangsangan dari luar (makanan) dan rangsangan dari dalam (adanya kebutuhan atau lapar). Tingkah laku ini berkembang sesuai dengan perkembangan dari proses belajar (Alikodra, 1990).
Faktor suhu lingkungan dapat mempengaruhi jumlah makanan yang dikonsumsi. Pada suhu rendah, babi akan mengkonsumsi makanan lebih banyak daripada saat suhu lingkungan tinggi. Faktor jenis makanan yang tersedia berpengaruh terhadap tingkah laku makan, terutama dalam menggunakan anggota tubuhnya untuk mendapatkan, mengambil dan memakan. Faktor habitat, baik in situ
(alami) maupun ex situ (di luar habitat) mempengaruhi tingkah laku makan yang berbeda (Kilgour dan Dalton, 1984).
Aktivitas konsumsi meliputi proses mencari makan, mengenal dan mendekati pakan, proses bekerjanya indra hewan terhadap pakan dan proses memilih pakan. Produktivitas hewan salah satunya dapat dilihat dari jumlah konsumsi. Konsumsi pakan akan bertambah jika diberikan pakan yang berdaya cerna lebih tinggi daripada pakan yang berdaya cerna rendah. Iklim yang sangat ekstrim berpengaruh terhadap konsumsi hewan. Apabila iklim panas maka konsumsi akan menurun, sebaliknya apabila iklim dingin maka jumlah konsumsi akan meningkat (Tomaszewska et al., 1991).
Tingkah Laku Minum
Air merupakan kebutuhan vital untuk mempertahankan kehidupan ternak. Air juga memegang peranan penting dalam mengangkut zat-zat makanan ke jaringan tubuh dan membuang sisa-sisa metabolisme, membantu berfungsinya dengan baik reaksi-reaksi enzim, dan mekanisme pengaturan suhu tubuh. Kebutuhan air minum pada ternak tergantung beberapa hal, yaitu banyaknya bahan kering yang dimakan, banyaknya air yang hilang dari tubuh, spesies ternak, dan keadaan ternak (berproduksi atau tidak). Apabila ternak kekurangan air maka akan berpengaruh pada air yang diminum dan makanan yang dimakan, metabolisme, dan produktivitas ternak. Tingkah laku minum dipengaruhi oleh suhu udara, berat badan, keadaan tubuh, fisiologis dan phatologis (sakit) (http://novalinahasugian).
Tingkah Laku Istirahat
Tingkah laku istirahat sama seperti tingkah laku makan dan seksual karena dipengaruhi oleh faktor endogenous. Ini merupakan suatu fase dimana ternak mulai memperhatikan tempat atau mempersiapkan tempat yang nyaman untuk istirahat. Istirahat ada dua tipe, yaitu istirahat aktif dan istirahat tenang. Istirahat aktif merupakan saat dimana ternak tidur dalam jangka waktu yang lama, sedangkan istirahat tenang merupakan fase dimana ternak memejamkan mata dan lebih mudah untuk membangunkan ternak. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa hampir sebagian besar ternak melakukan istirahat tenang karena tempat istirahat tidak sesuai dengan habitat ternak (Kilgour dan Dalton, 1984).
Tingkah Laku Sosial
Ternak yang tinggal dalam lingkungan peternakan mempunyai tingkah laku sosial yang kompleks. Tingkah laku sosial tidak sama dengan tingkah laku yang lainnya yang didasarkan kepada mekanisme psikologi dasar. Meskipun demikian, tingkah laku sosial ini muncul menjadi sebuah sistem motivasi yang tepat untuk dapat bersama dengan ternak lainnya. Tingkah laku sosial ini juga memunculkan persaingan baik dalam bermain ataupun dalam memperoleh sesuatu hal yang menimbulkan adanya sistem hierarki dalam suatu kelompok (Kilgour dan Dalton, 1984).
Tingkah Laku Mempertahankan Diri (Agonistik)
Agonistik berasal dari kata latin yang berarti berjuang. Selanjutnya dipaparkan, bahwa agonistik mempunyai pengertian yang cukup luas meliputi menonjolkan postur, melakukan pendekatan, menakut-nakuti dan berkelahi. Juga meliputi seluruh tingkah laku yang ada hubungannya dengan agresivitas, kepatuhan dan pertahanan. Tingkah laku ini dilakukan untuk mendapatkan kenyamanan dalam hidup dan tempat hidupnya (Tomaszewaska et al.,1991).
Pola perilaku agonistik merupakan interaksi sosial antara satwa yang dikategorikan ke dalam beberapa tingkat konflik, yaitu dalam memperoleh makan, pasangan seksual, dan perebutan wilayah istirahat dengan melakukan tindakan yang bersifat ancaman menyerang dan perilaku patuh. Tingkah laku yang termasuk kedalam tingkah laku agonistik adalah berkelahi, berlari atau terbang serta tingkah
laku lain yang mempunyai hubungan dengan konflik. Pada hewan mamalia jantan tingkah laku berkelahi lebih tinggi dibandingkan dengan hewan mamalia betina, hal ini karena dipengaruhi oleh hormon, terutama oleh hormon testosteron (Ensminger, 1991).
Tingkah Laku Reproduksi
Hampir sebagian besar babi dara mengalami estrus antara 170 - 220 hari setelah lahir, biasanya babi dara yang mengalami estrus sudah memilki bobot badan sekitar 90 kg. Penelitian menunjukkan bahwa musim dan lingkungan sosial sangat penting dalam mempengaruhi estrus pertama babi dara. Kontak dengan babi jantan dewasa juga penting dalam merangsang babi dara untuk estrus. Kebuntingan adalah proses bersatunya sel sperma dan sel telur yang akan membentuk zigot dan kemudian menjadi embrio dan fetus. Lama kebuntingan ternak babi berkisar antara 111-117 hari atau rata-rata 114 hari (Sihombing, 2006).
Tingkah Laku Sebelum Beranak. Sebelum kelahiran, hewan induk cenderung untuk berkelana sendiri dan terpisah dari kelompoknya untuk mencari tempat perteduhan dan mikroklimat yang sesuai. Dengan mendekatnya masa partus pernafasan secara gradual dipercepat, kulit mengering, suara membesar dan hewan menjadi tidak tenang. Babi induk akan menjadi tidak tenang dan sering menggigit-gigit tembok dan pagar serta mencari jalan keluar. Di dalam kurungan, babi induk mencoba menutupi setiap lobang yang ada seperti tempat air dengan jerami (Wyeth dan McBride, 1964).
Apabila betina dikagetkan sebelum partus, ia akan agresif, menandakan proteksi maternal. Terdapat perbedaan bangsa dan individu dalam derajat ketidak tenangan menjelang partus. Induk yang sudah sering beranak kelihatannya lebih tenang daripada yang baru sekali beranak (Wyeth dan McBride, 1964).
Sifat pembuatan sarang maternal terdapat pada babi, kelinci dan rodensia. Babi induk akan mencari suatu daerah tertentu untuk pembuatan sarang, satu sampai tiga hari sebelum beranak dan mencoba mempertahankan sarang tersebut bersih dan kering. Pada kondisi di lapangan yang luas, babi induk membawa jerami atau rumput di dalam mulutnya, menggali dan menggaruk tanah dan rumput-rumputan menjadi setumpuk dan secara periodik membongkar bagian tengahnya untuk mencari tempat
berbaring. Ia akan membangun kembali sarangnya beberapa kali, dan membangkang terhadap usaha manusia memindahkan tempat sarang tersebut (Hersher et al., 1963).
Motif untuk membangun sarang mungkin berhubungan dengan fungsi pengaturan panas terhadap anak yang baru lahir. Pembuatan sarang lebih sering terjadi pada musim dingin daripada musim panas. Pada hewan liar sarang berguna sebagai tempat pengungsian dari pencari-pencari mangsa dan sebagai tempat tinggal dan tempat pemberian makanan selama pembesaran anak (Hafez, 1987).
Tingkah Laku Saat Beranak. Posisi induk berbagai spesies selama melahirkan ada hubungannya dengan cara memelihara anak. Kuda dan gajah melahirkan anak dalam posisi berdiri, sapi dan domba melahirkan anak dapat terjadi sewaktu induk dalam keadaan berdiri atau berbaring. Pada induk babi pengeluaran anak dalam posisi berbaring. Namun babi yang gugup dapat berdiri antara waktu mengeluarkan setiap anak (Wyeth dan McBride, 1964). Selama perejanan, induk sering memperhatikan daerah anak dan menjilat cairan dan membran yang menonjol keluar. Penjilatan ini mungkin ada hubungannya dengan kebutuhan akan garam selama kebuntingan (Steinberg dan Bindra, 1962).
Penelitian menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mengeluarkan seluruh anak pada saat beranak (kira-kira 11,3 ekor anak babi) adalah 2 jam 53 menit. Jarak waktu per kelahiran anak babi adalah 25 menit sampai 8 jam 55 menit. Normalnya, 55-75% kepala anak babi yang pertama kali keluar dan 25-45% kaki bagian belakang yang pertama kali keluar. Setelah seluruh anak babi lahir, induk akan berdiri dan biasanya akan kencing (Kilgour dan Dalton, 1984).
Tingkah Laku Setelah Beranak. Sesudah pengeluaran foetus, sapi dan domba akan menjilat tubuhnya sendiri, tubuh anaknya, cairan plasenta dan pembaringannya yang terkontaminasi dengan cairan plasenta. Induk babi jarang menjilat anaknya yang baru lahir dan tidak begitu memperhatikan anaknya sampai anak terakhir dikeluarkan (Toelihere, 1979).
Placentophagy atau pemakan plasenta sesudah partus banyak terjadi pada ternak herbivora maupun karnivora. Induk babi dapat merobek membran foetalis, menggigit chorda umbilicalis, memakan plasenta dan alas pembaringan yang terkontaminasi dengan cairan plasenta. Pada ternak babi, induk dapat memakan
ujung-ujung tubuh satu atau lebih anaknya pada hari kelahiran. Fenomena ini disebut
infanticida canibalistic. Beberapa induk babi yang gugup bersifat kanibalistik selama atau segera sesudah melahirkan. Apabila anaknya dipisahkan sewaktu lahir dan dikembalikan kepada induk sesudah partus, induk akan menunjukkan sifat maternal yang normal (Toelihere, 1979).
Tingkah Laku Eliminasi
Tempat eliminasi (membuang urin dan kotoran) terkonsentrasi pada satu tempat. Ternak babi biasanya akan membuang kotoran pada saat setelah makan di salah satu sudut kandang. Eliminasi dipengaruhi oleh iklim dan lingkungan (http://novalinahasugian).
Tingkah Laku Induk dan Anak
Segera setelah lahir akan terjalin suatu hubungan induk-anak secara permanen. Dua kejadian penting menimbulkan hubungan penjilatan membran
foetalis oleh induk, dan kontak yang terus menerus antara induk-anak sesudah lahir. Hubungan induk dan anak dinyatakan dengan saling mengenal. Pengenalan antara induk dan anak didasarkan pada penciuman, penglihatan dan pendengaran. Kelakuan induk terhadap anak mempengaruhi kelakuan emosional dan bobot badan anak. Demikian pula kelakuan anak dari lahir sampai disapih dapat membawa perubahan pada kelakuan induk (Gill dan Thompson, 1956).
Tingkah Laku Induk Menyusui. Kelakuan induk sangat mempengaruhi pengalaman anak dalam menyusu. Induk menuntun anak untuk melokalisir puting susu. Sebelum hal ini dilaksanakan, anak akan menjilat setiap penonjolan pada tubuh induk. Induk dan anak selalu berinteraksi, pertukaran informasi ini meliputi saluran-saluran penglihatan, perabaan, pendengaran dan penciuman (Gill dan Thompson, 1956).
Kontak fisik antara induk dan anak adalah suatu kebutuhan fisiologis. Pada beberapa hewan polytocous kontak demikian memberi kehangatan bagi anak yang bersifat poikilothermis selama beberapa minggu pertama kehidupannya. Pada sapi, domba dan kuda umumnya dilakukan pada satu sisi induk membentuk suatu sudut dengan ekor anak menghadap pundak induk. Menyusui melalui kedua kaki belakang
induk terlihat pada kerbau, sapi dan domba. Induk mempermudah penyusuan dengan mengangkat sebelah kaki di sisi dimana sedang disusui (Gill dan Thompson, 1956).
Babi betina memilih suatu posisi tertentu di dalam kandang dimana ia berbaring dan menyusui anaknya. Induk babi akan membetulkan kedudukannya sewaktu anak menghisap putingnya untuk pertama kali. Selama menyusui, biasanya babi induk membagi waktu yang sama banyak untuk berbaring disisi kanan atupun sisi kiri. Beberapa induk babi memilih berbaring hanya pada satu sisi dan ada pula yang memilih berdiri sewaktu menyusui. Sekali induk babi sudah berbaring pada satu sisi, ia tidak berbalik pada sisi lain selama periode menyusui yang sama. Stimulasi perabaan terhadap ambing selama penyusuan mempengaruhi let-down
susu. Rangsangan visual dan auditoris dengan adanya anak menyusu akan segera bersatu dengan rangsangan perabaan, dan menyebabkan ejeksi air susu (Gill dan Thompson, 1956).
Tingkah Laku Anak Menyusu. Pada ternak mamalia anak yang baru lahir sangat cepat mengerti, bangkit berdiri dan berjalan segera sesudah lahir dan mempelajari sumber makanan secara cepat dan efisien. Satu sifat anak yang baru lahir adalah bahwa ia selalu mengikuti induknya, tetapi dalam beberapa minggu ia berkelana makin jauh sampai penyapihan (Gill dan Thompson, 1956). Anak yang baru lahir dilengkapi dengan beberapa pola kelakuan yang berkembang baik seperti menyusu dan bermain, tetapi pola-pola lain berkembang di bawah pengaruh stimulasi induk dan belajar (Toelihere, 1979).
Penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 70% anak babi lahir dengan tali pusar yang masih utuh dan melekat pada fetal bagian dalam. Tali pusar dapat melunak sebelum putus. Putusnya tali pusar membutuhkan waktu kira-kira 2-6 menit setelah 4-5 jam anak babi lahir. Hampir sebagian besar anak babi mencoba berdiri dalam satu menit setelah lahir dan dalam dua menit dapat berdiri bebas dan memulai untuk mencari puting atau tonjolan yang dirasa seperti puting (Kilgour dan Dalton, 1984).
Anak yang baru lahir cenderung untuk bergerak ke arah setiap obyek. Proses menyusu pada babi terdiri dari pengurutan permulaan yang berlangsung satu menit, ejeksi air susu yang berlangsung beberapa detik, dan susu pengurutan final selama dua sampai tiga menit. Penyusuan disertai dengan suara protes, bergumam dan bunyi
menghisap. Interval antara penyusuan lebih pendek selama siang hari dibanding dengan malam hari. Selama hari-hari pertama sesudah partus, anak-anak babi bergumul memperebutkan puting susu sampai suatu ketika mereka menempati suatu urutan tertentu pada mammae. Walaupun mereka dapat berpindah puting, terutama pada hari pertama, mereka kemudian akan menyusu puting atau puting-puting yang sama sampai pada penyapihan (Gill dan Thompson, 1956).
Puting yang dihisap terlebih dahulu adalah puting susu pektoral di sebelah puting paling cranial (bagian depan/dekat kepala) dan puting susu unginal paling
caudal (dekat ekor), dan menjelang akhir minggu kedua baru puting-puting susu
medial (bagian tengah). Aturan penyusuan ditentukan lebih cepat dan lebih dipertahankan pada anak-anak babi yang sehat daripada yang lemah. Puting yang produktif lebih disenangi dan anak-anak babi yang lebih besar biasanya memilih puting tesebut. Kompetisi untuk memperebutkan puting-puting cranial berlangsung sengit pada tiga hari pertama setelah lahir. Anak-anak babi dapat menukarkan puting pilihannya selama permulaan periode menyusu dan mencoba berpindah ke cranial.
Penyusuan jamak menunjukkan anak babi yang menyusu dua puting. Anak-anak babi ini tidak memberikan perhatian yang sama untuk setiap puting dan lebih besar perhatian pada satu (puting primer) dan kurang pada yang lain (puting sekunder) (Wyeth dan McBride, 1964).
Daun Bangun-bangun
Tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour) dapat dijumpai hampir di semua tempat di Indonesia dengan nama daun jinten. Orang Sunda menamakan daun ajeran. Di Madura disebut daun majha nereng atau daun kambing, sedangkan orang Bali menamai daun iwak. Sementara orang Batak meyebutnya bangun-bangun,
torbangun atau tarbangun (Damanik et al., 2001).
Taksonomi tanaman bangun-bangun menurut Heyne (1987) adalah kerajaan Plantae, divisi Phanerogamae, subdivisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, ordo Tubiflorae, family Limiaceae, dan spesies Coleus amboinicus Lour, seperti dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman Bangun-bangun (Coleus amboinicus Lour)
Senyawa Aktif Bangun-bangun
Analisis dengan menggunakan Gas Chromatography (GC) dan Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS) oleh Laboratorium Department of Chemistry Gorakhpur University pada tahun 2006, menemukan kandungan senyawa penting yang berperan aktif dalam metabolisme sel dan merangsang produksi susu dalam Coleus amboinicus Lour. Senyawa tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan Senyawa Aktif dalam Coleus amboinicus Lour
Senyawa Aktif Jumlah *
Thymol 94.3 %
Forskholin 1.5 %
Carvacrol 1.2 %
Sumber : Laboratorium Department of Chemistry Orakhpur University, India (2006) *97% dari total kandungan asam lemak
Ketiga senyawa tersebut telah diuji manfaat dan efektivitasnya terhadap ternak. Thymol merupakan antibiotik alternatif yang menjanjikan dan dapat digunakan untuk ternak tanpa memberikan efek negatif terhadap daging atau susu yang diproduksi (Acamovic dan Brooker, 2005). Senyawa carvacrol dikenal sebagai senyawa antiinfeksi dan antiinflamasi (Burfield 2001), tetapi dari penelitian Ilsley et al. (2003) terungkap bahwa penggunaan carvacrol dalam suatu campuran ekstrak tanaman sebagai suplemen dalam ransum babi laktasi menghasilkan litter size, bobot lahir, kecernaan bahan kering, kecernaan bahan organik, dan kecernaan protein lebih tinggi dibanding babi laktasi yang diberi ransum tanpa suplementasi. Sahelian (2006) dalam Rumetor (2008) melaporkan bahwa senyawa forskholin bersifat membakar lemak menjadi energi.
Lawrence et al. (2005), mengemukakan bahwa secara umum dalam daun bangun-bangun telah ditemukan tiga komponen utama. Komponen pertama adalah senyawa yang bersifat laktagogue, yaitu komponen yang dapat menstimulir produksi kelenjar air susu pada induk laktasi. Komponen kedua adalah komponen zat gizi dan komponen ketiga adalah komponen farmakoseutika yaitu senyawa-senyawa yang bersifat buffer, antibakterial, antioksidan, pelumas, pelentur, pewarna dan penstabil. Dosis penggunaan berkisar 0,25 sampai 10 g/kg bobot badan/hari, yang bervariasi menurut umur dan status fisiologis ibu atau induk ternak.
Peranan Bangun-bangun
Menurut Damanik et al. (2001), daun bangun-bangun dapat memberikan manfaat kesehatan bagi pertumbuhan bayi yang ibunya mengkonsumsi daun bangun-bangun karena daun ini dapat meningkatkan produksi air susu ibu. Peningkatan volume air susu terjadi karena adanya peningkatan aktivitas sel epitel yang ditandai dengan meningkatnya DNA dan RNA kelenjar ambing dan peningkatan metabolisme yang ditandai dengan menurunnya konsentrasi T4 dan glukosa serum (Silitonga, 1993).
Menurut phythochemical database Duke (2000), senyawa-senyawa kimia yang terkandung dalam daun bangun-bangun berpotensi terhadap bermacam-macam aktivasi biologi, misalnya antioksidan, diuretik, analgesik, mencegah kanker, anti tumor, dan anti hipotensif. Selain itu, daun bangun-bangun dapat dimasak sebagai sayur atau untuk lalapan. Hal tersebut diatas dapat dibuktikan secara ilmiah. Berdasarkan hasil penelitian Damanik et al. (2001) bahwa pada saat minggu kedua (hari ke-14 hingga hingga ke-28 setelah suplementasi sayur sop daun bangun-bangun), wanita yang telah mengkonsumsi sayur sop daun bangun-bangun mengalami peningkatan kuantitas ASI. Selain itu, daun bangun-bangun juga mampu meningkatkan kesehatan wanita pasca melahirkan, berperan sebagai uterine cleansing agent, dan dalam bentuk sop daun bangun-bangun, mampu menggantikan energi yang hilang selama proses melahirkan (Damanik et al., 2001).
Daun bangun-bangun mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi, mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan rasa tenang sehingga sekresi susu menjadi lancar. Di kepulauan China, jus daun ini dapat diberikan untuk obat batuk anak-anak dengan tambahan gula. Daun ini juga dapat
digunakan sebagai obat asma dan bronkhitis, penyembuh luka, dibuat sebagai jamu penurun panas, atau langsung dikunyah untuk obat sariawan (Heyne, 1987).
Daun bangun-bangun berpotensi sebagai bahan pangan sumber zat besi, provitamin A (karoten), dan kalsium. Dalam 100 gram bahan daun bangun-bangun terkandung kalsium sebesar 279 mg, besi sebesar 13,6 mg, dan karoten total sebesar 288 mg. Nilai ketiga jenis zat gizi ini lebih besar bila dibandingkan dengan yang terkandung dalam daun katuk (Sauropus androgynus), karena daun katuk hanya mengandung kalsium sebesar 233 mg, besi sebesar 3,5 mg, dan karoten total sebesar 10.020 mg. Data selengkapnya tentang komposisi zat gizi daun Bangun-bangun dan Katuk tercantum dalam Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Zat Gizi Daun Bangun-bangun dan Katuk
Komposisi Zat Gizi Bangun-bangun Katuk
Energy (kal) 27,0 59,0 Protein (g) 1,3 6,4 Lemak (g) Karbohidarat 0,6 4,0 1,0 9,9 Serat (g) 1,0 1,5 Abu (g) 1,6 1,7 Kalsium (g) 279,0 233,0 Fosfor (g) 40,0 98,0 Besi (mg) 13,6 3,5 Karotin total (µg) 13288,0 10020,0 Vitamin A (mg) 0,0 0,0 Viatamin B1 (mg) 0,1 0,0 Vitamin C (mg) 5,1 164,0 Air (%) 92,5 81,0
Berat Dapat Dimakan (%) 66,0 42,0 Sumber: Mahmud et al. (1995).
METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009 di Peternakan Babi Rachel Farm yang berada di Kampung Cina, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat.
Materi Ternak
Penelitian ini menggunakan 16 ekor induk babi bunting yang segera akan beranak (Gambar 2), dengan bobot badan 120-210 kg dengan rataan umur 2-4 tahun. Babi yang digunakan adalah turunan hasil perkawinan dari beberapa bangsa babi yaitu Yorkshire, Hampshire, Landrace, Duroc, dan Spotted Poland China, dimana tiap induk babi tersebut tidak jelas lagi proporsi bangsanya.
Gambar 2. Induk Babi Bunting yang Segera Akan Beranak
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang individu berukuran 200 x 180 x 100 cm, yang dilengkapi dengan lampu berkekuatan 45-60 watt untuk seluruh bangunan induk beranak, tempat makan induk dan anak, water nipple atau alat minum otomatis. Peralatan yang digunakan adalah alat tulis, buku tulis, ember, sapu lidi, keranjang, steam pencuci kandang, pipa selang untuk memandikan babi dan membersihkan kandang, thermohygrometer dan timbangan.
Ransum Penelitian
Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum induk menyusui yang biasa diberikan di Peternakan Babi Rachel Farm, yaitu tepung jagung, dan dedak padi dengan pemberian tepung daun bangun-bangun pada taraf 0, 1,25, 2,50 dan 3,75% kedalam ransum sebagai perlakuan. Daun bangun-bangun tersebut diperoleh dari kandang C Fakultas Peternak Bogor, yang ditanam sebelum penelitian dilakukan. Daun bangun-bangun dipanen kemudian dikeringkan dibawah sinar matahari dan digiling di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. Ransum diberikan dalam bentuk kering. Pencampuran pakan dilakukan secara manual. Berikut komposisi ransum penelitian yang digunakan:
R0 = 100% Ransum + 0%Tepung Daun Bangun-bangun R1 = 98,75% Ransum + 1,25% Tepung Daun Bangun-bangun R2 = 97, 5% Ransum + 2,5% Tepung Daun Bangun-bangun R3 = 96,25% Ransum + 3,75% Tepung daun Bangun-bangun
Rancangan Prosedur Pengumpulan Data
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan beberapa metode, yaitu metode
ad libitum sampling, focal sampling dan one-zero. Untuk pengamatan tingkah laku harian digunakan metode ad libitum sampling, untuk pengamatan tingkah laku induk babi menyusui dan anak babi menyusu digunakan metode focal animal sampling
dengan metode pencatatan one-zero.
Ad libitum Sampling. Ad libitum sampling adalah metode pencatatan semua bentuk kegiatan yang dilihat dan diperagakan pada waktu pengamatan (Altman, 1973). Pengamatan tingkah laku harian induk babi menyusui dan anak babi menyusu menggunakan metode ad libitum sampling yang dibagi kedalam tiga fase pengamatan dengan interval waktu pengamatan 15 menit, yaitu Fase I (hari ke-1: 06.00-14.00 WIB), Fase II (hari ke-2: 14.00-22.00 WIB) dan Fase III (hari ke-3: 22.00-06.00 WIB). Ad libitum sampling dimanfaatkan untuk mengetahui parameter tingkah laku utama dan khusus yang diamati untuk mendapatkan intensitas tingkah laku induk babi menyusui dan anak babi menyusu dengan cara focal animal sampling.
Focal Animal Sampling. Menurut Altman (1973) focal animal sampling adalah metode pengamatan tingkah laku dengan mengamati hewan tertentu yang menjadi fokus pengamatan. Focal animal sampling digunakan untuk mengamati tingkah laku khusus induk babi menyusui dan anak babi menyusu.
One Zero Evaluation. One zero evaluation adalah teknik pencacatan untuk mengetahui intensitas tingkah laku dalam bentuk jumlah kali suatu tingkah laku yang terjadi pada waktu tertentu (Altman, 1973). Diberi nilai satu (1) bila induk babi dan anak babi menyusu melakukan tingkah laku tertentu, dan akan diberi nilai nol (0) bila tidak melakukan aktivitas.
Peubah yang Diamati
Peubah-peubah yang diamati dalam penelitian adalah semua aktivitas dan tingkah laku harian induk babi menyusui.
1. Tingkah laku makan, yaitu tingkah laku induk babi mencari makan, mengambil, mengunyah dan menelannya.
2. Tingkah laku minum, yaitu tingkah laku induk babi mengambil air dari tempat minum kemudian menelannya.
3. Tingkah laku merawat terdiri dari:
a. Tingkah laku merawat diri, yaitu tingkah laku yang dilakukan induk babi untuk merawat tubuh sendiri dengan bantuan yang lain dan merawat babi yang lain.
b. Tingkah laku menyusui, yaitu tingkah laku induk babi untuk menuntun dan membiarkan anak babi untuk menyusu
4. Tingkah laku istirahat, yaitu tingkah laku induk babi berdiam diri tanpa melakukan apapun.
5. Tingkah laku bergerak, yaitu tingkah laku induk babi berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
6. Tingkah laku eliminasi, yaitu tingkah laku induk babi dalam membuang kotoran cair maupun padat.
7. Tingkah laku agonistik, yaitu tingkah laku yang ada hubungannya dengan agresivitas, kepatuhan dan pertahanan.
8. Tingkah laku sosial, yaitu tingkah laku induk babi berkumpul, bermain dengan babi lainnya, berkomunikasi lewat suara, visual atau adanya sistem hierarki dalam kelompok babi.
A. Tingkah Laku Khusus Induk Babi Menyusui. Peubah-peubah yang diamati dalam hal ini adalah:
1. Membiarkan anak babi menyusu ke puting induk. 2. Menuntun anak menyusu ke puting induk.
3. Posisi induk berbaring, yaitu posisi berbaring induk babi, berbaring pada posisi kiri atau kanan.
4. Posisi induk babi saat menyusui, yaitu posisi tubuh induk pada saat menyusui, baik dalam keadaan berdiri atau berbaring.
5. Menghindari anak, yaitu induk babi tidak mau menyusui anak babi. B. Tingkah laku Anak Babi Saat Menyusu.
Peubah-peubah yang diamati dalam hal ini adalah: 1. Bangkit berdiri dan berjalan setelah lahir.
2. Mencari puting atau tonjolan yang dirasa seperti puting.
3. Berebut puting, yaitu tingkah laku anak babi bersaing untuk mendapatkan puting yang diinginkan.
4. Pengurutan anak babi ke puting susu induk babi. 5. Penyusuan disertai suara protes anak babi.
6. Bunyi menghisap anak babi pada saat menyusu pada induk. 7. Penempatan urutan tertentu pada ambing induk.
8. Pemilihan puting susu induk babi.
9. Menyusu pada dua puting susu induk babi.
Pengamatan dilakukan secara intensif pada saat frekuensi induk babi menyusui dan anak babi menyusu selama satu jam.
Analisis Data Rancangan Percobaan
Data dari hasil pengamatan kemudian ditabulasi dan selanjutnya hasil pengolahan dianalisis secara deskriptif dalam jumlah kali dan persentase tingkah laku yang terjadi dari pengamatan focal animal sampling, persentase tingkah laku dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Persentase Tingkah Laku = X x 100% Y
Keterangan:
X = jumlah tingkah laku yang diamati
Y = jumlah seluruh tingkah laku yang diamati
Model matematika yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1993) adalah sebagai berikut :
Yijh = + i + + ij Keterangan:
Yijh : nilai pengamatan tingkah laku induk babi membiarkan anak babi menyusu, menuntun anak babi menyusu, dan menghindari anak menyusu
: nilai rataan umum
I : pengaruh penambahan tepung daun bangun-bangun taraf ke-i ; i= 0, 1,25, 2,50, dan 3,75%
ijh : galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j ; j = 1, 2, 3, dan 4
Data yang diperoleh dianalisa dengan analisa sidik ragam atau analysis of variance (ANOVA), jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap peubah yang diukur maka dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey (Steel dan Torrie, 1993).
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Peternakan Lokasi Penelitian
Peternakan Babi Rachel Farm berada di Kampung Cina, Desa Tajur Halang, Kecamatan Tajur Halang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada awal bulan Mei sampai dengan bulan Juli 2009 dan merupakan bagian musim kemarau, sehingga kondisi iklim makro relatif stabil selama pengamatan. Meskipun demikian, secara mikro atau lokal terdapat perbedaan kondisi iklim (suhu dan kelembaban) harian. Suhu pada pagi hari (jam 08.00 WIB) adalah 26-29°C dengan kelembaban 64-70%, suhu pada siang hari (jam 13.00 WIB) adalah 34-36°C dengan kelembaban 50-57%, suhu pada sore hari (18.00 WIB) adalah 31-32°C dengan kelembaban 65-71%, dan suhu pada malam hari (jam 22.00 WIB) adalah 28-29°C dengan kelembaban 77-78%. Suhu dan kelembaban diukur dengan alat thermohigrometer yang ditempatkan ditengah bangunan kandang tempat penelitian babi dilakukan.
Peternakan ini berdiri diatas lahan seluas 2.260 m2 dengan ukuran 90,4x25,0 m. Peternakan ini mempunyai tiga jenis bangunan yaitu rumah berukuran 6x8 m (tempat tinggal peternak bersama keluarganya), gudang pakan berukuran 6x4 m, dan perkandangan. Bangunan perkandangan (housing) dalam peternakan ini ada dua buah masing-masing berukuran 15x7 m. Selain itu juga terdapat empat buah bak penampungan limbah masing-masing berukuran 2,5x1,5x1,0 m (dua buah), 8x3x4 m dan 8x4x6 m yang terletak dibagian belakang kandang.
Tata Laksana Pemeliharaan
Induk-induk babi yang diamati sejak awal sudah dikandangkan, sehingga telah terbiasa berinteraksi dengan manusia, termasuk pada saat induk babi tersebut beranak dimana peternak dan peneliti membantu proses saat induk babi beranak sehingga pengamatan dari jarak dekat tidak mempengaruhi perilaku yang diperlihatkan. Selain itu, pada malam hari induk-induk babi sudah terbiasa dengan penerangan oleh cahaya lampu yang juga berfungsi sebagai penghangat bagi anak babi yang baru lahir.
Kandang yang digunakan ada dua jenis yaitu kandang kerangkeng khusus induk babi bunting dengan ukuran 120x60x80 cm dan kandang bak untuk induk menyusui, pejantan dan lepas sapih dengan ukuran 200x180x100 cm. Jumlah kandang kerangkeng dan kandang bak masing-masing adalah 37 dan 8 buah. Kandang bak yang digunakan untuk anak lepas sapih atau kandang pembesaran terdiri dari dua model yaitu model A (3x3x1 m) sebanyak 13 buah dan model B (3x8x1 m) sebanyak tiga buah. Kandang bak dilengkapi dengan water nipple, sehingga air minum diberikan ad libitum. Kandang kerangkeng tidak mempunyai
water nipple, tetapi dilengkapi dengan tempat air minum.
Pengawinan induk berahi dilakukan secara alami yaitu pada pagi dan sore hari. Pejantan yang mengawini induk babi berahi pada pagi hari berbeda dengan pejantan untuk sore hari. Proses pengawinan berlangsung selama ± 30 menit. Induk babi dinyatakan bunting apabila pada hari ke-21 setelah pengawinan, induk babi tidak berahi kembali. Induk yang sudah bunting ditempatkan di kandang kerangkeng dan dipindahkan ke kandang induk beranak kira-kira 10 hari sebelum beranak. Penyapihan dilakukan setelah anak babi berumur ± 30 hari.
Pekerja (karyawan) di Peternakan Babi Rachel Farm berjumlah tiga orang termasuk pemilik peternakan, dimana tiap orang mempunyai tugas dan tanggungjawab masing-masing. Proses pencatatan dilakukan oleh peternak sendiri dengan menggunakan komputer yang tersedia di peternakan. Populasi ternak babi yang dipelihara sejak awal penelitian berlangsung adalah 276 ekor. Pembersihan kandang dilakukan bersamaan dengan memandikan babi yaitu satu kali sehari, yang dilakukan pada pagi hari (pukul 10.00 WIB). Semua ternak babi dimandikan kecuali induk babi yang baru beranak. Anak babi mulai dimandikan setelah umur ± 3 minggu. Pembersihan kandang dan memandikan babi dilakukan dengan menggunakan steam air. Penggunaan steam air ini sangat menguntungkan karena dengan tekanannya yang sangat kuat kandang dan ternak babi mudah dan cepat dibersihkan.
Ransum Penelitian dan Pemberiannya
Pemberian pakan di Peternakan Babi Rachel Farm dilakukan dua kali sehari yaitu pagi (pukul 08.00 WIB) dan sore hari (pukul 16.00 WIB). Ransum yang diberikan berupa pakan kering, yang terdiri dari campuran dedak halus dan jagung
giling. Pencampuran pakan dilakukan secara manual dengan menggunakan sekop dan biasanya dikerjakan pada sore hari. Komposisi campuran ransum yang berbeda-beda diberikan untuk setiap kelas ternak babi.
Persediaan bahan pakan dalam gudang pakan biasanya hanya mencukupi untuk kebutuhan sekitar satu minggu. Pada pertengahan penelitian, peternak terpaksa merubah jenis ransum yang digunakan untuk meminimalkan biaya produksi karena adanya musibah virus H1N1 yang mengakibatkan penyakit flu yang dapat menular pada manusia. Kasus ini mengakibatkan harga jual daging babi sangat rendah, karena permintaan konsumen terhadap daging babi menurun. Turunnya harga jual babi mengakibatkan kerugian yang besar bagi peternak, karena harga jual daging babi tidak sesuai dengan biaya produksi terutama dari segi biaya pakan.
Perubahan jenis ransum yang dilakukan adalah dengan mengganti pakan kering menjadi pakan basah (ampas tahu). Pergantian pakan ini tidak dapat dihindari karena peternak tidak mau mengalami kerugian yang lebih besar jika tetap menggunakan pakan kering. Biaya pakan kering jauh lebih besar dibandingkan dengan pakan basah (ampas tahu).
Ransum adalah makanan yang diberikan pada ternak tertentu selama 24 jam, pemberiannya dapat dilakukan sekali atau beberapa kali selama 24 jam. Pemberian pakan di Peternakan Babi Rachel Farm saat awal beranak sampai prasapih atau selama induk babi menyusui adalah pakan kering yang terdiri dari tepung jagung (25%), dedak padi (75%) dengan pemberian tepung daun bangun-bangun (TDB) pada taraf 0; 1,25; 2,50; dan 3,75% sebagai perlakuan. Pakan diberikan 3-4 kg/ekor/hari yang pemberiannya dilakukan pada pagi hari (jam 08.00 WIB) dan pada sore hari (jam 16.00 WIB).
Ransum yang diberikan pada ternak babi penelitian adalah ransum kering, dan komposisi zat makanan dari ransum yang digunakan untuk penelitian ditampilkan pada Tabel 4, sedangkan kebutuhan zat makanan untuk induk babi bunting dan menyusui ditampilkan pada Tabel 5. Berdasarkan hasil analisis proksimat diperoleh hasil bahwa ternak babi yang tidak diberi TDB (R0) dalam ransum memiliki energi bruto yang paling tinggi (4238 kkal/kg) dibanding dengan ternak babi yang diberi TDB masing-masing R1 (4125 kkal/kg), R2 (3798 kkal/kg) dan R3 (3463 kkal/kg). Perbedaan ini dapat disebabkan pemberian TDB yang
semakin tinggi akan mengurangi jumlah pakan yang lain dalam ransum, sehingga jumlah energinya akan semakin kecil. Jumlah energi ransum yang diberikan oleh peternak masih lebih tinggi daripada standar rekomendasi oleh NRC (1988) yaitu sebesar 3260 kkal/kg.
Tabel 4. Hasil Analisis Zat Makanan Ransum Penelitian
Perlakuan Zat Makanan Energi metb.
(kkal/kg) BK PK LK SK Ca P ---(%)--- Pakan Kering R1 85,94 12,79 9,68 10,75 0,08 0,89 4238 R2 85,11 12,30 9,30 12,25 0,09 1,16 4125 R3 84,91 12,01 7,64 12,89 0,14 1,42 3798 R4 84,88 11,75 6,56 13,76 0,27 1,11 3463 Pakan Basah R1 13,58 3,92 0,53 2,58 0,05 0,04 625 R2 13,66 3,70 0,91 3,05 0,07 0,09 612 R3 13,98 3,63 0,89 2,95 0,11 0,09 605 R4 14,26 3,62 1,83 2,84 0,18 0,09 540
Keterangan: R0 = Ransum biasa (kontrol) atau tanpa penambahan TDB; R1= Ransum biasa ditambahkan 1,25% TDB; R2= Ransum biasa ditambahkan 2,50% TDB; R3= Ransum biasa ditambahkan 3,75% TDB; ME: Metabolisme Energi; BK: Bahan Kering PK: Protein Kasar; LK: Lemak Kasar; SK: Serat Kasar; Ca: Kalsium; P: Fosfor
Bila dibandingkan hasil analisis kandungan zat makanan yang terdapat pada Tabel 4, ransum kering perlakuan R0, R1, R2, dan R3 memiliki kandungan protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan posfor hampir sama dibanding dengan yang direkomendasikan oleh NRC (1988). Kandungan kalsium yang terdapat pada R1 dan R2, lebih rendah dibanding dengan R3 dan R4.
Berdasarkan analisis data dapat diketahui bahwa kandungan zat makanan yang diberikan oleh peternak tidak sesuai dengan NRC (1988). Hasil analisis kandungan zat makanan dari ampas tahu yang diberikan oleh peternak seperti terlihat pada Tabel 4 sangat rendah dibanding rekomendasi NRC (1988), baik energi, protein kasar, serat kasar, lemak kasar, kalsium maupun fosfor. Pemberian pakan basah dilakukan karena sulitnya peternak untuk memperoleh ransum kering sebagaimana biasanya diberikan pada ternak babi. Namun pemberian pakan ampas tahu saja tidak baik bagi pertumbuhan janin dan kesehatan induk, karena induk dan fetus kurang
asupan gizi, sehingga anak yang dilahirkan menjadi kerdil dan kurus. Pemberian pakan ampas tahu tanpa penambahan pakan yang lain juga tidak baik untuk induk bunting dan menyusui.
Tabel 5. Kebutuhan Zat Makanan untuk Induk Bunting dan Menyusui
Zat Makanan Kelas Ternak
Induk Bunting Induk Menyusui
Protein kasar (%) 13,0 14,0
Lemak kasar (%) 3,0 3,0
Serat kasar (%) 7,0 7,0
Kalsium (%) 0,75-1,0 0,75-1,0
Posfor (%) 0,7 0,7
Metabolisme Energi (kkal/kg) 3.100 3.200
Sumber:SNI (1995)
Bila dibandingkan analisis kandungan zat makanan ransum kering pada Tabel 4 dengan kebutuhan zat makanan induk babi menyusui pada Tabel 5, maka kandungan protein dan fosfor hampir sama, sedangkan lemak, serat kasar, energi lebih tinggi dan kalsium adalah lebih rendah. Sedangkan bila dibandingkan kandungan zat makanan pakan ampas tahu pada Tabel 4 dengan kebutuhan zat makanan induk menyusui pada Tabel 5, maka protein, energi, lemak kasar, serat kasar, kalsium dan fosfor adalah rendah.
Produksi Air Susu Induk Babi per Menyusui
Susu jauh lebih superior daripada semua makanan lain dalam hal ketersediaan dan kecernaan zat-zat makanan yang dikandungnya. Semua kebutuhan zat-zat makanan bagi anak yang baru lahir dapat diperoleh dari air susu induk kecuali zat besi. Pengukuran produksi air susu induk (PASI) babi dilakukan berdasarkan pertambahan bobot badan anak babi setelah menyusu yaitu dengan cara menimbang anak babi yang telah dipuasakan selama empat jam sebelum dan segera setelah menyusu. Selisih dari kedua pengukuran ini adalah produksi air susu induk babi setiap kali menyusui. Pengukuran produksi air susu induk babi dilakukan sebanyak enam kali, yaitu pada hari ke-5, ke-10, ke-15, ke-20, ke-25 dan ke-30 setelah beranak