• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA. Asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA. Asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

YURIDIKSI WILAYAH UDARA SUATU NEGARA

F. Pengertian Kedaulatan Negara

Asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah

souvereignity berasal dari kata Latin superanus berarti yang teratas. Negara

dikatakan berdaulat atau souvereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri hakiki Negara. Bila dikatakan bahwa Negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa Negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi. Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Negara berdaulat memang berarti bahwa Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang lebih tinggi dari pada kekuasaannya sendiri. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini dibatasi oleh batas wilayah Negara itu, artinya suatu Negara hanya memiliki kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya.

Jadi pembatasan yang penting ini yang melekat pada pengertian kedaulatan itu sendiri dilupakan oleh orang yang beranggapan bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh suatu Negara menurut paham kedaulatan itu tidak terbatas. Bahwa kedaulatan suatu Negara terbatas dan bahwa batas ini terdapat dalam kedaulatan Negara lain merupakan konsekuensi yang logis dari paham kedaulatan sendiri. Dilihat secara demikian, paham kedaulatan tidak usah bertentangan dengan adanya suatu masyarakat internasional yang terdiri dari

Negara-negara yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri atau dengan perkataan lain merdeka (independent) yang satu dari yang lainnya. Suatu akibat paham kedaulatan dalam arti yang terbatas ini selain kemerdekaan (independence)

(2)

juga paham persamaan derajat (equality). Artinya, bahwa Negara-negara yang berdaulat itu selain masing-masing merdeka, artinya yang satu bebas dari yang lainnya, juga sama derajatnya satu dengan yang lainnya.

Dalam hukum internasional dijelaskan bahwa imunitas negara berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum dan prinsip-prinsip hukum yang menentukan kondisi-kondisi dimana suatu negara asing dapat meminta pembebasan yurisdiksi (wewenang legislatif, yudisial dan administratif) dari negara lainnya (seringkali disebut dengan istilah “forum stat)”.13

Dari sudut istilah, imunitas negara memiliki arti bahwa terhadap setiap negara berdaulat, yurisdiksi negara lain tidak bisa diperlakukan kepadanya atau dengan kata lain secara khusus pengadilan suatu negara tertentu tidak dapat mengadili negara lain. Hal tersebut dikarenakan menurut hukum internasional setiap negara mempunyai kedaulatan dan persamaan kedudukan. Oleh karena itu adalah tidak sepantasnya atau tidak benar hakim-hakim satu negara mengadili negara lain sebagai tergugat.14 Kedudukan hakim lebih tinggi dari tergugat dan hal tersebut bertentangan dengan prinsip persamaan kedudukan tersebut diatas. Selanjutnya dalam hukum internasional dikenal suatu prinsip yang mengatakan

‘par in parem non hebat yurisdcsionem”, yang artinya bahwa setiap Negara

mempunyai kedudukan yang sama dan sejajar, tidak ada satu negara yang melaksanakan yurisdiksinya terhadap negara lain tanpa dengan persetujuan negara lain tersebut.

      

13

Peter Malanczuk, op. Cit., hal 118.

14

(3)

Dengan demikian, adanya kekebalan negara dipengaruhi oleh dua hal, yaitu kedaulatan negara (state sovereignty) dan persamaan kedudukan antar negara (equality of the states). Berdasarkan ajaran kedaulatan ini maka dalam setiap wilayah atau Negara hanya berlaku satu macam hukum, yaitu hukum dari negara yang memiliki kedaulatan di wilayahnya tersebut. Hukum itu berlaku baik terhadap orang-orang, benda-benda maupun perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan disana.15

Bagaimana suatu negara akan mengatur wilayahnya tidak dapat dicampuri oleh negara lain tanpa persetujuannya. Ini adalah prinsip teritorial, yang memberikan kepada setiap bangsa (negara) hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Adapun dasar hukum dari persamaan kedaulatan dan kedudukan Negara dapat ditemukan dalam pasal 1 ayat (2) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai tujuan organisasi ini yaitu, untuk memajukan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan penghargaan atas asas persamaan hak dan hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Pasal 2 ayat (1) nya lebih lanjut menyatakan bahwa organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa ini berlandaskan pada asas-asas persamaan kedaulatan dari semua anggota-anggotanya. Imunitas negara dari intervensi badan-badan peradilan negara lain pada hakekatnya meliputi imunitas dari yurisdiksi (immunity from jurisdiction) dan imunitas dari eksekusi (immunity from execution). Imunitas dari yurisdiksi asing berarti suatu negara yang berdaulat tidak tunduk ke dalam yurisdiksi negara lain atau kebal terhadap yurisdiksi negara asing. Sementara, yang dimaksud dengan kekebalan       

15

Sudargo Gautama, Hukum Prdata Internasional Indonesia, Buku I, cet ke-7, Jakarta: Binacipta, 1988 hal. 141.

(4)

dari eksekusi pengadilan negara asing terutama berkenaan dengan hak milik dari negara yang berdaulat yang terletak di luar batas-batas wilayah negaranya. Artinya, hak milik dari suatu negara berdaulat yang berada dalam wilayah negara asing akan kebal dari eksekusi pengadilan negara tersebut.16

G. Pengertian Yurisdiksi

Yurisdiksi merupakan refleksi dari prinsip dasar kedaulatan negara, kedaulatan negara tidak akan diakui apabila negara tersebut tidak memiliki jurisdiksi,17 persamaan derajat negara dimana kedua negara yang sama-sama merdeka dan berdaulat tidak bisa memiliki jurisdiksi (wewenang) terhadap pihak lainnya (equal states don’t have jurisdiction over each other)18, dan prinsip tidak turut campur negara terhadap urusan domestik negara lain. Prinsip-prinsip tersebut tersirat dari prinsip hukum „par in parem non habet imperium”.19

Menurut Hans Kelsen, prinsip hukum “par in parem non habet imperium” ini memiliki beberapa pengertian. Pertama, suatu negara tidak dapat melaksanakan jurisdiksi melalui pengadilannya terhadap tindakan-tindakan negara lain, kecuali negara tersebut menyetujuinya. Kedua, suatu pengadilan yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional tidak dapat mengadili tindakan suatu negara yang bukan merupakan anggota atau peserta dari perjanjian internasional tersebut. Ketiga, pengadilan suatu negara tidak berhak       

16

Peter Malanczuk, Op. Cit., hal. 118.

17

Mirza Satria Buana, Hukum Internasional Teori dan Praktek, Bandung : Penerbit Nusamedia, 2007, hal.56.

18

Ibid, hal.57

19

Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, edisi revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hal.183.

(5)

mempersoalkan keabsahan tindakan suatu negara lain yang dilaksanakan di dalam wilayah negaranya.20

Kata “yurisdiksi” sendiri dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Inggris “Jurisdiction”. “Jurisdiction” sendiri berasal dari bahasa Latin

“Yurisdictio”, yang terdiri atas dua suku kata, yuris yang berarti kepunyaan

menurut hukum, dan diction yang berarti ucapan, sabda, sebutan, firman. Jadi, dapat disimpulkan yurisdiksi berarti :

a. Kepunyaan seperti yang ditentukan oleh hukum. b. Hak menurut hukum.

c. Kekuasaan menurut hukum. d. Kewenanagan menurut hukum.

Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”. Didalamnya tercakup “hak”, “kekuasaan”, dan “kewenangan”. Yang paling penting adalah hak, kekuasaan, dan kewenangan tersebut didasarkan atas hukum, bukan atas paksaan, apalagi berdasarkan kekuasaan.

Anthony Csabafi, dalam bukunya “The Concept of State Jurisdiction in

International Space Law” mengemukakan tentang pengertian yurisdiksi negara

dengan menyatakan sebagai berikut : “Yurisdiksi negara dalam hukum internasional berarti hak dari suatu negara untuk mengatur dan mempengaruhi

      

20

(6)

dengan langkah-langkah dan tindakan yang bersifat legislatif, eksekutif, dan yudikatif atas hak-hak individu, milik atau harta kekayaannya, perilaku-perilaku atau peristiwa-peristiwa yang tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri”.21 Berdasarkan pengertian yang dikemukakan di atas, yang termasuk dalam unsur-unsur yurisdiksi negara adalah :

1. Hak, kekuasaan, dan kewenangan.

2. Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

3. Obyek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, dan benda).

4. Tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri (not exclusively of domestic concern).

5. Hukum internasional (sebagai dasar/landasannya).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yurisdiksi memiliki 2 (dua) pengertian, yaitu:22

1. Kekuasaan mengadili; lingkup kekuasaan kehakiman; peradilan;

2. Lingkungan hak dan kewajiban, serta tanggung jawab di suatu wilayah atau lingkungan kerja tertentu; kekuasaan hukum.

Huala Adolf, yurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum).23 Yurisdiksi menyebabkan suatu negara mempunyai hak terhadap seseorang, benda, peristiwa hukum yang ada dalam suatu negara ataupun yang ada di luar negara tersebut.

      

21

Anthony Csabafi, The Concept of State Jurisdiction in International Space Law, The Hague, 1971, hal.45

22

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Jakarta : Balai Pustaka, 2005, hal.1278.

23

(7)

H. Yurisdiksi Negara dalam Hukum Internasional

Setiap negara berdaulat yang telah diakui pasti memiliki yurisdiksi untuk menunjukkan kewibawaannya pada rakyatnya atau pada masyarakat internasional. Diakui secara universal baik setiap negara memiliki kewenangan untuk mengatur tindakan-tindakan dalam teritorinya sendiri dan tindakan lainnya yang dapat merugikan kepentingan yang harus dilindunginya.

Dalam kaitannya dengan prinsip dasar kedaulatan negara, suatu negara yang berdaulat menjalankan yurisdiksi/kewenangannnya dalam wilayah negara itu.24 Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan, atau kewenangan negara untuk mengatur masalah intern dan ekstern. Dengan kata lain dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir yurisdiksi negara. Dengan hak, kekuasaan, atau dengan yurisdiksi tersebut suatu negara mengatur secara lebih rinci dan jelas masalah-masalah yang dihadapinya sehingga terwujud apa yang menjadi tujuan negara itu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hanya negara berdaulat yang dapat memiliki yurisdiksi menurut hukum internasional.25

Adakalanya yurisdiksi itu harus tunduk kepada pembatasan tertentu yang ditetapkan oleh hukum internasional. Dalam hal ini yang dimaksud adalah “hak-hak istimewa ekstrateritorial”, yakni suatu istilah yang dipakai untuk melukiskan suatu keadaan dimana status seseorang atau benda yang secara fisik terdapat di dalam suatu wilayah negara, tetapi seluruhnya atau sebagian dikeluarkan dari yurisdiksi negara tersebut oleh ketentuan hukum internasional.

      

24

Ibid. hal 70

25

(8)

Yurisdiksi dapat digolongkan ke dalam prinsip-prinsip jurisdiksi berikut : 1. Yurisdiksi teritorial.

Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan dan kejadian di dalam wilayahnya. Prinsip ini adalah prinsip yang paling mapan dan penting dalam hukum internasional. Menurut Hakim Lord Macmillan suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda, perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut berdaulat. Pernyataan beliau berbunyi demikian: “It is essebtial attribute ofthe sovereignity, of this realm, as of all sovereign independent states, that it should posses jurisdiction over all persons and things within its territorial limits and in all causes and criminal arisingwithin these limits.”26

Ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini, seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dalam semua perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini.27

Prinsip teritorial ini terbagi atas dua : suatu tindak pidana yang dimulai di suatu negara dan berakhir di negara lain. Misalnya seorang yang menembak di daerah perbatasan negara A melukai seorang lainnya di wilayah negara B. Dalam keadaan ini, kedua negara memiliki yurisdiksi. Negara, dimana perbuatan itu dimulai (A), memiliki yurisdiksi menurut prinsip teritorial subyektif(subjective

      

26

Ibid. hal 186

27

(9)

territorial principle). Negara dimana tindakan tersebut diselesaikan (B), memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip teritorial obyektif (objective territorial principle).28 Dari uraian di atas tampak terdapat hubungan yang sangat erat antara wilayah suatu negara dengan kewenangan yurisdiksinya. Menurut Glanville Williams, hubungan yang erat tersebut dapat dijelaskan karena adanya faktor-faktor berikut:

1. Negara dimana suatu perbuatan tindak pidana kejahatan dilakukan biasanya mempunyai kepentingan yang paling kuat untuk menghukumnya. 2. Biasanya si pelaku kejahatan ditemukan di negara tempat ia melakukan

tindak pidana.29

3. Biasanya, pengadilan setempat (local forum) dimana tindak pidana terjadi adalah yang paling tepat, karena saksi-saksi (dan mungkin barang buktinya) dapat ditemukan di negara tersebut.

4. Adanya fakta bahwa dengan tersangkutnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, maka akan janggal bila seseorang tunduk pada dua sistem hukum.30

Menurut hasil penelitian Universitas Harvard, pertimbangan lain dalam menerapkan yurisdiksi teritorial ini adalah bahwa negara dimana si pelaku tindak pidana itu berada memiliki kepentingan, fasilitas, dan pejabat yang paling

       28 Ibid. hal 187 29 Ibid. hal 187 30 Ibid. hal 188

(10)

berkompeten untuk menangani tindak pidana baik yang dilakukan oleh warga negaranya maupun oleh warga negara asing.31

Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Disamping itu, ada beberapa orang (subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut.32

Hubungan antara yurisdiksi dengan wilayah dalam kaitannya dengan suatu tindak pidana (kejahatan) tampak dalam sengketa terkenal the Lotus Case.dalam sengketa ini, kapal uap Prancis, the Lotus, bertabrakan dengan kapal Turki the

Boz-Kourt di laut lepas. Kapal Turki tenggelam dan menewaskan 8 pelaut dan

penumpangnya. Menghadapi insiden ini, pejabat Turki menahan awak kapal the

Lotus ketika kapal ini merapat di pelabuhan Turki. Mereka dituduh telah

melakukan pembunuhan (pembantaian) terhadap para awak Turki. Pihak Prancis memprotes keras atas tindakan pemerintah Turki tidak memilih yurisdiksi untuk mengadili perkara tersebut. Sengketa ini lalu diserahkan ke Mahkamah Internasional Permanen untuk mengadili apakah ada ketentuan-ketentuan hukum internasional yang melarang Turki melaksanakan yurisdiksinya. Dari hasil penyelidikan, mahkamah berpendapat bahwa suatu negara tidak dapat

      

31

JG Starke, Introduction to International Law, (London : Butterworth, 9th ed, 1984), hal.201.

32

(11)

melaksanakan kekuasaan di luar wilayahnya.33 Pernyataan Mahkamah berbunyi sebagai berikut :

the first and foremost restriction imposed by international law upon a state is

that-failing the existence of a permissive rule to the contrary-it may not exercise

its power in any form in the territory of another state.”34

Mahkamah menolak argumentasi Prancis bahwa negara benderalah yang memiliki yurisdiksi eksklusif atas kapal di laut lepas. Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada ketentuan tentang hal ini dalam hukum internasional dan menyatakan pula bahwa kerusakan terhadap kapal Turki sama saja dengan kerusakan terhadap wilayah Turki. Hal ini memungkinkan Turki melaksanakan yurisdiksinya berdasarkan prinsip teritorial obyektif. Namun, lanjut pengadilan, hal tersebut tidak berarti bahwa hukum internasional melarang suatu negara melaksanakan yurisdiksi di dalam wilayahnya sehubungan dengan setiap perkara (sengketa) yang terjadi di luar negeri.35

Dari sengketa ini dapat disimpulkan bahwa prinsip yurisdiksi teritorial dapat pula berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan tidak hanya di wilayah negara yang bersangkutan, tapi juga dalam atau di luar laut teritorial, yakni terhadap sengketa-sengketa tertentu yang terjadi di jalur tambahan atau di lau lepas yaitu manakala negara tersebut adalah negara bendera kapal.36

       33 Ibid. hal 188 34 Ibid, hal.189 35 Ibid 36

(12)

Prinsip teritorial ini berlaku pada hal-hal berikut ini : a. Hak Lintas Damai di Laut teritorial.

Prinsip yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh suatu negara (pantai) telah diakui sejak lama. Pengakuan dan pengaturan yurisdiksi negara pantai tampak dalam hasil Konferensi Kodifikasi Hukum laut Den Haag 1930,37 dimana diakui adanya dua macam yurisdiksi negara pantai atas kapal laut yang berlayar di laut teritorialnya, yaitu yurisdiksi pidana dan yurisdiksi perdata. Hasil konferensi ini dipertegas kembali oleh Konvensi Hukum laut Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan. Dalam Konvensi Hukum laut 1982, pengakuan dan pengaturan terhadap yurisdiksi (kriminal dan perdata) negara pantai terdapat dalam pasal 27 dan 28.38

b. Kapal Berbendera Asing di Laut teritorial.

Kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial hanya tunduk kepada yurisdiksi legislatif (legislative jurisdiction) negara pantai. Artinya, kapal-kapal itu pun tunduk kepada kewajiban untuk menghormati perundang-undangan negara pantai dan hukum kebiasaan internasional.39

Sepanjang menyangkut kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk tujuan non-komersial, terdapat teori mengenai kapal-kapal ini, yakni :

      

37

Huala Adolf, Op. Cit, hal 189

38

Ibid. hal 190

39

(13)

1. Teori Pulau Terapung‟ (the Floating Island Theory). Menurut teori ini, kapal-kapal tersebut harus diperlakukan oleh negara lain sebagai bagian dari wilayah negara. Menurut teori ini, yurisdiksi pengadilan tidak berlaku terhadap setiap tindakan yang dilakukan diatas kapal atau menahan seseorang yang melakukan kejahatan di atas kapal tersebut.

2. Teori yang menyatakan bahwa pengadilan negara pantai memberikan kekebalan (imunitas) tertentu kepada kapal asing beserta wakilnya. Pemberian ini bukan berdasarkan pada teori obyektif yang menyatakan bahwa kapal perang/negara itu adalah wilayah negara asing, tapi didasarkan pada pembebasan atau pengecualian yang diberikan oleh undang-undang negara pantai. Pengecualian ini sifatnya bersyarat dan karenanya dapat ditarik kembali oleh negara pantai tersebut.40

c. Pelabuhan.

Pelabuhan adalah salah satu bagian dari perairan pedalaman. Karena di perairan pedalaman ini suatu negara berdaulat penuh, maka kedaulatan penuh ini berlaku di pelabuhan-pelabuhannya. Suatu kapal asing yang memasuki pelabuhan suatu negara, maka kapal tersebut berada dalam kedaulatan teritorial suatu negara pantai. Karena itu pula negara pantai berhak untuk menegakkan hukumnya terhadap kapal dan awaknya. Di pelabuhan, negara pantai memiliki yurisdiksi terhadap setiap tindak pidana yang mengganggu perdamaian dan ketertiban negara

      

40

(14)

pantai.41 Negara pantai dapat pula menerapkan yurisdiksi teritorial apabila diminta atau dikehendaki oleh kapten atau konsul dari negara bendera kapal.42

d. Orang asing.

Yurisdiksi teritorial suatu negara terhadap orang asing sama halnya yurisdiksi teritorial negara terhadap warga negaranya. Tidak ada perlakuan khusus yang diberikan kepada orang asing. Namun demikian, seorang warga negara asing dapat meminta pembebasan dari yurisdiksi teritorial suatu negara dalam hal berikut :

1. Dengan adanya imunitas tertentu, orang asing itu menjadi tidak tunduk kepada hukum nasional negara pantai; atau

2. Bahwa hukum nasional negara tersebut tidak sejalan dengan hukum internasional.43

2. Yurisdiksi Personal.

Menurut prinsip yurisdiksi personal, suatu negara dapat mengadili warga negaranya karena kejahatan yang dilakukannya di mana pun juga. Sebaliknya, adalah kewajiban negara untuk memberikan perlindungan diplomatik kepada warga negaranya di luar negeri. Ketentuan ini telah diterima secara universal.44

Menurut praktek internasional dewasa ini, yurisdiksi terhadap individu dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:45

       41 Ibid 42 Ibid. hal 193 43

Huala Adolf, Op. Cit, hal 189

44

Ibid. hal 211

45

(15)

a. Prinsip nasionalitas aktif.

Menurut prinsip ini negara dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap warga negaranya. Semua prinsip lain yang berkaitan dengan hal ini adalah negara tidak wajib menyerahkan warga negaranya yang telah melakukan suatu tindak pidana ke luar negeri.

b. Prinsip nasionalitas pasif.

Prinsip ini membenarkan negara untuk menjalankan yurisdiksi apabila seorang warga negaranya menderita kerugian. Dasar pembenaran prinsip nasionalitas ini adalah bahwa setiap negara berhak melindungi warga negaranya di luar negeri , dan apabila negara teritorial di mana tindak pidana itu terjadi tidak menghukum orang yang menyebabkan kerugian tersebut, maka negara asal korban berwenang menghukum tindak pidana itu, apabila orang itu berada di wilayahnya.

3. Yurisdiksi menurut Prinsip Perlindungan

Berdasarkan prinsip yurisdiksi perlindungan, suatu negara dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap warga-warga asing yang melakukan kejahatan di luar negeri yang diduga dapat mengancam kepentingan keamanan, integritas, dan kemerdekaan negara.46 Penerapan prinsip ini dibenarkan sebagai dasar untuk penerapan yurisdiksi suatu negara. Latar belakang pembenaran ini adalah perundang-undangan nasional pada umumnya tidak mengatur atau tidak menghukum perbuatan yang dilakukan di dalam suatu negara yang dapat

      

46

(16)

mengancam atau mengganggu keamanan, integritas, dan kemerdekaan orang lain.47

4. Prinsip Yurisdiksi Universal.

Menurut prinsip ini, setiap negara mempunyai yurisdiksi terhadap tindak kejahatan yang mengancam masyarakat internasional. Yurisdiksi ini lahir tanpa melihat dimana kejahatan dilakukan atau warga negara yang melakukan kejahatan. Lahirnya prinsip yurisdiksi universal terhadap jenis kejahatan yang merusak terhadap masyarakat internasional sebenarnya juga disebabkan karena tidak adanya badan peradilan internasional yang khusus mengadili kejahatan yang dilakukan orang-perorang (individu).48

Kejahatan-kejahatan yang telah diterima sebagai kejahatan yang tunduk pada prinsip yurisdiksi universal adalah pembajakan di laut (perompakan) dan kejahatan perang. Yurisdiksi universal terhadap perompak telah diterima cukup lama oleh hukum internasional. Setiap negara dapat menahan dan menghukum setiap tindakan pembajakan di laut.

“All states shall co-operate to the fullest possible extent in the repression of piracy on the high seas or in any other place outside the jurisdiction of any state”49

Kejahatan perang juga telah diterima universal sebagai kejahatan yang tunduk kepada yurisdiksi setiap negara meskipun jenis kejahatan ini sangat sensitif dan lebih berat bobot politiknya.50 Komisi Kejahatan perang PBB (the        47 Ibid, hal.213. 48 Ibid, hal 218 49

Isi dari pasal 100 United Nation Convention on the Law of the Sea.

50

(17)

United Nations War Crimes Commision) menyatakan bahwa hak untuk menghukum kejahatan tidak terbatas pada negara yang warga negaranya menderita atau kepala negara yang wilayahnya dipakai sebagai tempat dilaksanakannya kejahatan.51 Namun hak tersebut dimiliki oleh setiap negara yang merdeka.52

Pembatasan tertentu yang diterapkan oleh hukum internasional yaitu terhadap kepala negara, wakil diplomatik, kapal perang, dan angkatan bersenjata asing yang ada di wilayah suatu negara. Dalam hal-hal tertentu, yurisdiksi teritorial kebal (tidak berlaku) terhadap :

1. Negara dan Kepala Negara Asing;

Suatu negara bebas berbuat apapun di dalam negerinya, sepanjang perbuatan tersebut tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban negara lain atau tidak melanggar hukum internasional. Atau dengan kata lain, suatu negara adalah imun terhadap yurisdiksi pengadilan negara lainnya. Begitu juga dengan kepala negara, yang diidentikkan sebagai negara itu sendiri. Kepala negara memiliki imunitas (kekebalan) penuh (doctrine of absolute immunity).53

Imunitas suatu negara asing atau kepala negara dari yurisdiksi tidak mutlak dalam segala hal, tergantung kepada sifat hakikat dari pemulihan yang diupayakan. Hal-hal berikut merupakan proses perkara kekecualian dari kaidah imunitas :

      

51

Huala Adolf, Op. Cit., hal.218.

52

Ibid. hal 219

53

(18)

a. Perkara-perkara yang berkenaan dengan alas hak terhadap tanah di dalam yurisdiksi teritorial, yang bukan tanah dimana bangunan-bangunan kedutaan didirikan.

b. Suatu dana di pengadilan (dana perwalian) yang diuruskan yang mana menyangkut kepentingan negara asing atau pemegang kedaulatan asing, tetapi tidak demikian apabila pihak yang diuruskan perwalian dananya itu juga merupakan pemerintah negara asing yang berdaulat.54

c. Tindakan-tindakan perwakilan, seperti tindakan pemegang surat utang, apabila negara asing atau pemegang kedaulatan asing itu adalah pemegang surat utang.

d. Berakhirnya suatu perusahaan yang dalam aset-asetnya negara asing atau pemegang kedaulatan asing mengklaim suatu kepentingan.55

2. Perwakilan Diplomatik dan Konsuler;

Imunitas yuridiksional terhadap agen-agen diplomatik ditetapkan dalam Pasal 31-32 Konvensi Wina tentang Hubungan-hubungan Diplomatik 1961. Mereka menikmati imunitas absolut dari yurisdiksi kriminal negara tuan rumah dan imunitas dari yurisdiksi sipil dan administratif kecuali dalam tiga hal khusus yang dinyatakan dalam Pasal 31, yaitu :

a. Tindakan-tindakan untuk medapatkan kembali harta benda tidak bergerak yang semata-mata pribadi;

b. Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan suksesi dimana mereka terlibat dalam kapasitas yang benar-benar pribadi.

      

54

J.G. Starke, Op. Cit., hal.281.

55

(19)

c. Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan suatu aktivitas profesi atau komersial pribadi yang dilakukan oleh mereka.56

3. Kapal Pemerintah Negara Asing;

Kapal pemerintah yang statusnya berasal dari kedaulatan negaranya tidak tunduk pada yurisdiksi suatu negara, baik waktu kapal berada di laut lepas, laut teritorial, atau perairan pedalaman negara pantai. Meski kapal-kapal pemerintah menikmati kekebalan, namun mereka diharapkan untuk menaati peraturan perundang-undangan negara pantai.57 Setiap pelanggaran terhadapnya, negara pantai dapat mengusir kapal-kapal pemerintah itu dan mengajukan protes diplomatik.58

4. Angkatan Bersenjata Negara Asing;

Angkatan bersenjata yang diterima di wilayah negara asing menikmati suatu imunitas terbatas, tetapi bukan sutau imunitas absolut, dari yurisdiksi teritorial negara tersebut.59 Besarnya imunitas tersebut tergantung pada keadaan-keadaan di mana angkatan bersenjata tersebut diterima oleh pemegang kedaulatan teritorial, dan khususnya pada ada atau tidaknya suatu perjanjian tegas antara negara tuan rumah dan negara pengirim yang mengatur syarat-syarat mengenai masuknya angkatan bersenjata tersebut di wilayah itu.60

5. Organisasi Internasional.

Dalam suatu negara, organisasi internasional memiliki kekebalan tertentu terhadap yurisdiksi negara setempat. Kekebalan ini dipandang perlu untuk       

56

Ibid, hal.288.

57

Huala Adolf, Op. Cit., hal. 208.

58

Ibid. hal 299

59

J.G. Starke, Op. Cit., hal.298.

60

(20)

melaksanakan tujuan-tujuan dari organisasi internasional. Namun sampai sejauh mana oraganisasi internasional itu menikmati kekebalan menurut hukum (kebiasaan) internasional masih belum ada kejelasan. Dalam praktek, kekebalan ini biasanya diatur oleh suatu perjanjian internasional.61

Juga adakalanya suatu negara dapat menjalankan yurisdiksinya atas suatu peristiwa hukum yang terjadi di luar wilayahnya dengan beberapa ketentuan. Dalam hal ini perlu diketahui bahwa kadangkala dua negara atau lebih dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap suatu peristiwa. Hukum internasional sendiri tidak ada mengatur secara jelas mengenai kompetensi ini. Rebecca M.M Wallace berpendapat bahwa : dasar-dasar yurisdiksi tidak diurutkan dalam hierarki apapun. Tidak ada negara yang dapat menuntut hak yang lebih tinggi semata-mata berdasarkan atas asas melaksanakan yurisdiksi. Suatu negara dapat secara sah memiliki yurisdiksi bersamaan dengan negara lain, negara yang akan melaksanakan yurisdiksi akan ditentukan oleh faktor-faktor lain, misalnya kehadiran fisik dari pelanggar yang bersangkutan. Apa yang dituntut hukum internasional kini adalah eksistensi hubungan nyata antara pelanggar yang bersangkutan dan negara yang melaksanakan yurisdiksinya.62

Menurut hukum internasional, setiap negara baik berpantai (coastal state) maupun tidak berpantai (land locked state) mempunyai hak untuk melayarkan kapalnya di bawah benseranya di laut lepas (pasal 90 UNCLOS 1982).63 Pelaksanaan yurisdiksi suatu negara di laut lepas ini sesuai dengan prinsip

      

61

Huala Adolf, Op. Cit., hal.210.

62

H. Bactiar Hamzah, Op.Cit. hal 174-175

63

(21)

universal, yaitu setiap negara mempunyai yurisdiksi untuk mengadili tindak kejahatan tertentu (yang terjadi atau dilakukan di laut lepas).

Pada prinsipnya wilayah udara yang terdapat di atas wilayah darat, perairan pedalaman, dan laut wilayah termasuk kedalam yurisdiksi suatu negara. Hal ini terlihat dari Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional : “Kedaulatan negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya bersifat utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignity)”. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang udara.64

I. Macam-Macam Yurisdiksi Negara

Yurisdiksi berkaitan erat dengan masalah hukum, khususnya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Di dalamnya terdapat pula batas-batas ruang lingkup kekuasaan itu untuk membuat, melaksanakan, dan menerapkan hukum kepada pihak-pihak yang tidak menaatinya. Meskipun yurisdiksi berkaitan erat dengan wilayah, namun keterkaitan ini tidaklah mutlak sifatnya. Negara-negara lain pun dapat mempunyai yurisdiksi untuk mengadili suatu perbuatan yang dilakukan di luar negeri. Disamping itu, ada beberapa orang (subyek hukum) tertentu memiliki kekebalan terhadap yurisdiksi wilayah suatu negara meskipun mereka berada di dalam negara tersebut.

      

64

(22)

Rebecca M.M Wallace, yurisdiksi merupakan atribut kedaulatan suatu negara. Yurisdiksi suatu negara menunjuk pada kompetensi negara tersebut untuk mengatur orang-orang dan kekayaan dengan hukum nasionalnya. Kompetensi ini mencakup yurisdiksi untuk menentukan (dan melarang), untuk mengadili dan melaksanakan undang-undang.65

Yurisdiksi dapat dibedakan atas : 1. Yurisdiksi Perdata.

Yurisdiksi perdata adalah kewenangan hukum pengadilan terhadap perkara-perkara yang menyangkut keperdataan baik yang bersifat nasional, maupun internasional (yaitu bila para pihak atau obyek perkaranya terhadap unsur hukum asing).

2. Yurisdiksi Pidana.

Yurisdiksi pidana adalah kewenangan (hukum) pengadilan terhadap perkara-perkara yang bersifat kepidanaan, baik yang tersangkut di dalamnya unsur asing maupun tidak.66

Berdasarkan hak, kekuasaan dan kewenangan mengaturnya, yurisdiksi suatu negara di dalam wilayah negaranya dapat terbagi atau tergambarkan oleh kekuasaan atau kewenangan sebagai berikut:67

1. Yurisdiksi Legislatif.

Yaitu kekuasaan membuat peraturan atau perundang-undangan yang mengatur hubungan atau status hukum orang atau peristiwa-peristiwa hukum di dalam wilayahnya. Kewenangan seperti ini biasanya dilaksanakan oleh badan       

65

H. Bachtiar Hamzah, Hukum Internasional II, (Medan : USU Press, 1997), hal.69.

66

Huala Adolf, Op. Cit., hal.186.

67

(23)

legislatif sehingga acapkali disebut pula sebagai yurisdiksi legislatif atau preskriptif (legislative jurisdiction atau prescriptive jurisdivtion).

2. Yurisdiksi Eksekutif.

Yaitu kekuasaan negara untuk memaksakan atau menegakkan (enforce) agar subyek hukum menaati hukum. Tindakan pemaksaan ini dilakukan oleh badan eksekutif negara yang umumnya tampak pada bidang-bidang ekonomi, misalnya kekuasaan untuk menolak atau memberi izin, kontrak-kontrak, dan lain-lain. Yurisdiksi ini disebut sebagai yurisdiksi eksekutif (executive jurisdiction). Ada pula sarjana yang menyebutnya dengan enforcement jurisdiction (yurisdiksi pengadilan).

3. Yurisdiksi Yudikatif.

Yaitu kekuasaan pengadilan untuk mengadili orang (subyek hukum) yang melanggar peraturan atau perundang-undangan disebut pula sebagai Judicial

jurisdiction.

J. Kedaulatan dan Yurisdiksi di Wilayah Perairan dan Udara

1. Hukum Udara

Pada awalnya banyak yang berpendapat bahwa ruang udara mempunyai status yang analog dengan laut yaitu kedaulatan teritorial negara atas ruang udara di atasnya dengan ketinggian tertentu dan selanjutnya berlaku rezim kebebasan seperti kedaulatan negara atas laut wilayah yang dilanjutkan dengan rezim kebebasan di laut lepas. Pendapat yang diformulasikan dalam bentuk ini masih diperdebatkan dalam forum internasional karena banyak negara menganggap

(24)

ruang udara dalam keseluruhannya tetap ditundukkan pada kedaulatan negara yang berada di bawahnya.(Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global)

Mengenai kedaulatan negara di udara di atas wilayahnya, Gerhard Von

Glahn mengemukakan sejumlah teori yaitu ;

1. Berlakunya kebebasan penuh di ruang udara seperti lautan lepas

2. Yurisdiksi teritorial di ruang udara sampai 1000 kaki di atas bumi dengan status udara di atasnya yang bebas seperti di laut lepas.

3. Seluruh ruang udara di atas negara tanpa adanya batas ketinggian dianggap sebagai udara nasional dengan memberikan hak lintas kepada semua pesawat udara yang terdaftar di negara-negara sahabat

4. Kedaulatan mutlak dan tanpa batas atas ruang udara nasional tanpa batas ketinggian.

Berdasarkan praktik dan perkembangan yang terjadi selama Perang Dunia I maka status ruang udara nasional menjadi jelas yaitu negara-negara mempunyai kedaulatan penuh dan eklusif terhadap ruang udara di atas wilayah daratan dan laut wilayah. Berbeda dengan hukum laut, pada hukum udara tidak ada hak lintas damai melalui ruang udara nasional. Yang ada hanyalah pemberian izin untuk melakukan lintas udara baik secara unilateral atau berdasarkan persetujuan bilateral maupun melalui konvensi-konvensi multilateral kepada pesawat udara sipil asing.

Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara di atas wilayahnya. Wilayah ini sudah sejak lama dibahas, terutama tampak pada sebuah dalil Hukum

(25)

Romawi yang berbunyi “cujust est solum, ejus est usque ad coelum”. Dalil ini berarti “Barang siapa memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah” .(Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global)

2. Dasar Hukum

a. Konvensi Paris 13 Oktober 1919

Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi Internasional mengenai Navigasi Udara yang telah disiapkan oleh suatu Komisi Khusus yang dibentuk oleh Dewan Tertinggi Negara-negara Sekutu. Konvensi tersebut ditandatangani oleh 27 negara yang terdiri dari negara-negara lainnya. Konvensi tersebut mulai berlaku tanggal 11 Juli 1922 dan pada tahun 1939 mengikat sebanyak 29 negara. Selain itu, sebagian besar negara-negara di Benua Amerika tidak ikut dalam Konvensi tersebut dan membuat sendiri konvensi udara dengan nama Konvensi Pan Amerika, Havana, pada tanggal 20 Februari 1928. Namun, konvensi regional tersebut ternyata tidak mempunyai banyak peminat dan hanya diratifikasi oleh 11 negara di kawasan.

Dapat dikatakan bahwa Konvensi Paris tersebut merupakan upaya pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Di samping itu, negara-negara pihak juga diizinkan membuat kesepakatan-kesepakatan bilateral di antara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip yang dimuat dalam konvensi.

(26)

b. Konvensi Chicago 1944

Konvensi Chicago membahas tiga konsep yang saling berbeda yaitu : (1) Konsep internasionalisasi yang disarankan Australia dan Selandia Baru. (2) Konsep Amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau free

enterprise.

(3) Konsep intermedier Inggris yang menyangkut pengaturan dan pengawasan. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dan menarik akhirnya konsep Inggris diterima oleh Konferensi. Pada akhir Konferensi, Sidang menerima tiga instrumen yaitu :

a. Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional;

b. Persetujuan mengenai Transit Jasa-jasa Udara Internasional; c. Persetujuan mengenai Alat Angkutan Udara Internasional;

Konvensi Chicago kelihatannya diilhami oleh proyek Amerika Serikat yang menyarankan pengakuan terhadap lima kebebasan udara seperti berikut : 1. Dua kebebasan dasar yaitu hak lintas damai (innocent passage) dan hak

mendarat teknik untuk keperluan pengambilan bahan bakar dan reparasi/perbaikan (technical stop).

2. Tiga kebebasan komersial atau yang berkaitan dengan lalu lintas komersial yaitu :

a) Hak untuk menurunkan di semua negara pihak para penumpang dan barang dagangan yang dimuat di wilayah negara pihak yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan dari negara tersebut.

(27)

b) Hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan menuju wilayah yang pesawat udaranya mempunyai kebangsaan negara tersebut. c) Hak untuk menaikkan para penumpang dan barang dagangan di semua

wilayah negara pihak dan menurunkannya di wilayah negara-negara pihak lainnya.

3. Undang-Undang No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 1(2) :

“ Wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia”

Pasal 5 :

“ Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia.”

Pasal 6 :

“ Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.“

4. Undang-Undang No 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 1 (1) :

“Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadapa keutuhan bangsa dan negara.”

Pasal 4 :

“Pertahanan Negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.”

(28)

4. Peraturan Presiden No 5 tahun 2005 tentang Pengesahan Protocol On The Authentic Quinquelingual Text Of The Convention On International Civil Aviation, Chicago 1944 (Protokol Tentang Naskah Asli Bahasa Kelima Dari Konvensi Penerbangan Sipil Internasional, Chicago 1944.

c. Hubungan kedaulatan dengan wilayah

Kedaulatan teritorial atau kedaulatan wilayah adalah kedaulatan yang dimiliki negara dalam melaksanakan yurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Di dalam wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya.68(Hans Kelsen, Principles of International Law, New York:Rinehart & Co, 1956)

Pada prinsipnya, fungsi dan pelaksanaan kedaulatan dilaksanakan di dalam wilayah negara tersebut. Semua orang, benda yang berada atau peristiwa hukum yang terjadi di suatu wilayah pada prinsipnya tunduk kepada kedaulatan dari negara yang memiliki wilayah tersebut.69

Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi dan bersifat monopoli atau Summa

Potestas atau Supreme Power yang hanya dimiliki oleh negara. Dalam hal ini

berlakulah adagium “Qui in territorio meo est, etiam meus subditus est”. Prinsip yang lahir dari pengertian kedaulatan teritorial ini adalah bahwa negara tersebut harus mampu melaksanakan kekuasaan yang penuh atau eksklusif atas wilayahnya.

Kedaulatan dan wilayah memiliki keterkaitan erat. D.P O’Connel berpendapat, karena pelaksanaan kedaulatan didasarkan pada wilayah, maka       

68

Hans Kelsen, Principles of International Law, New York:Rinehart & Co, 1956 page. 8

69

Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Bandung 2011, hal 7

(29)

wilayah adalah konsep fundamental hukum internasional. S.T. Bernardez berpendapat, wilayah adalah prasyarat fisik untuk adanya kedaulatan teritorial. Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak dan Kewajiban Negara menganggap wilayah sebagai salah satu unsur yang harus ada untuk adanya suatu Negara.70 d. Pengelolaan Pertahanan Udara

Wacana ancaman di wilayah perbatasan sejauh ini cenderung didominasi oleh isu dan problem perbatasan darat dan laut. Hal ini dapat dimaklumi mengingat sejumlah kasus-kasus menonjol yang lebih sering mengemuka di media atau terdeteksi secara terbuka berhubungan dengan wilayah perbatasan darat dan laut. Bergesernya patok perbatasan, aktivitas ekonomi dan rekrutmen milisi, pelintas gelap dan penyelundupan, pencurian, hingga perdagangan pulau kepada sejumlah pemilik warga negara asing dan penguasaan pulau terluar oleh negara jiran adalah sejumlah isu yang kerap muncul di media, menjadi perbincangan hangat dan agenda politik, keamanan dan pertahanan di masyarakat hingga ke level parlemen dan pemerintah.71

Struktur dan model ancaman terus berkembang seiring dengan perkembangan aktivitas politik, ekonomi dan rekayasa teknologi di pelbagai negara. Awalnya perdebatan ancaman cenderung umum pada diskursus ancaman dari dalam negeri dan luar negeri serta pada siapa yang mengancam dan terancam. Perkembangan politik dan teknologi kemudian memunculkan sejumlah ancaman kontemporer yang memiliki efek sama dahsyatnya atau bahkan lebih dari serangan militer atau wabah penyakit, seperti embargo ekonomi, embargo udara,       

70

Ibid

71

Mufti Makarim. A, Strategi Pengelolaan Dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara Republik Indonesia : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, 2011, hal 24

(30)

operasi mata-mata (surveillance) dengan perangkat satelit, hingga ke penggunaan senjata biologis, terorisme, penyusupan, sabotase dan penyadapan arus komunikasi. Gejala kompleksitas ancaman ini ditunjukkan dengan menurunnya eskalasi operasi militer yang bersifat klasik seperti invasi dan perang terbuka serta meningkatnya perang asimetris melalui aksi-aksi yang lintas batas negara dan kewarganegaraan, langsung berada di jantung politik, ekonomi dan sosial suatu negara.

Hal lain yang mempengaruhi minimnya perhatian terhadap wilayah perbatasan udara adalah terbatasnya aktivitas yang ‘diidentifikasi sebagai pelanggaran atau ancaman di wilayah udara misalnya hanya dikaitkan dengan pelanggaran penerbangan atau pemantauan oleh radar negeri tetangga. Sejumlah kasus dan pelanggaran tidak jelas penyelesaiannya, baik yang ‘dikhabarkan’ akan diselesaikan melalui jalur hukum maupun diplomasi. Sementara sejumlah ancaman lain menunggu di wilayah udara kita, seperti pengintaian, perlintasan benda-benda asing dan pemanfaatan sumber daya alam di udara. Hal-hal semacam ini tidak dapat dianggap sepele, mengingat wilayah udara merupakan titik strategis untuk mengamati atau memulai suatu tindakan militer yang berakibat fatal terhadap kedaulatan, keselamatan warga negara serta wilayah. Wilayah udara juga mengandung sumber daya alam yang pada suatu saat dapat dimanfaatkan. Walaupun sejumlah arbitrase internasional (dengan merujuk pada kasus yang dianggap melanggar Konvensi Chicago 1944 misalnya) dalam kasus-kasus

(31)

pelanggaran terhadap wilayah udara cenderung mengecewakan hasilnya, namun bukan berarti keseriusan untuk menanganinya menjadi terabaikan.72

Lebih spesifik terkait pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan udara, problem problem yang bersifat teknis juga terjadi. Seperti diketahui, klaim wilayah perbatasan udara kita mengkuti garis lurus vertikal wilayah perbatasan darat dan perairan atau konsep perbatasan tiga dimensi. Akibatnya penentuan wilayah perbatasan udara terutama di perairan mengikuti konfigurasi perbatasan yang ada dan terpecah-pecah. Akibatnya pemantauan terhadap perbatasan udara menjadi sulit karena factor kesulitan mengetahui secara pasti batasan antara ruang udara Indonesia dan ruang udara bebas (di atas wilayah perairan internasional).

Undang-undang wilayah negara yang dimiliki oleh Indonesia tidak secara spesifik mengatur tentang ruang udara, yang disebutkan di dalam undang-undang tersebut hanya mengatur tentang wilayah laut dan darat negara Indonesia.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Chicago 1944 ke dalam bentuk Peraturan Presiden No 5 tahun 2005. Secara otomatis negara Indonesia berperan aktif dan mengakui keberadaan Konvensi Chicago 1944 untuk itu maka negara Indonesia harus bertindak tegas dalam menegakkan kedaulatan negara di ruang udara.

      

72

Referensi

Dokumen terkait

Kawasan orbit geostasioner adalah merupakan suatu kawasan khusus yang termasuk di dalam wilayah ruang angkasa, dan prinsip Hukum Internasional yang berlaku bagi wilayah ruang

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah tingkat keberhasilan yang dicapai dari suatu kegiatan atau usaha yang dapat memberikan

Perancangan desain perangkat lunak merupakan penguraian suatu sistem informasi yang utuh ke dalam bagian komputerisasi yang dimaksud, mengidentifikasi dan mengevaluasi

Apabila NPPLN/NPHLN sebagai hibah baru diterima pada saat DIPA Kementerian Negara/Lembaga sudah disahkan atau dilaksanakan, maka jumlah/bagian/jumlah hibah yang terdapat

Berdasarkan pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian pemasaran adalah serangkaian kegiatan penyaluran barang dan jasa dari produsen ke pelanggan dimana

Kesimpulan dari jurnal ini yaitu prinsip pertanggungjwaban komando atau atasan diatur dalam pasal 7 ayat 3 Statuta ICTY dan pelaku kejahatan perang di Bosnia yaitu

Guna meminimalisir potensi pelanggaran terhadap ketentuan kedaulatan wilayah negara yang dipandang akan menimbulkan risiko terhadap aspek keselamatan dan keamanan penerbangan

Dari sini dapat disimpulkan bahwa kalender Hijriah yang berlaku di Indonesia merupakan penanggalan Islam yang menggunakan sistem peredaran Bulan yang awal