• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci: kota-besar pesisir, banjir, pengelolaan wilayah pesisir terpadu, Teluk Jakarta, Jakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci: kota-besar pesisir, banjir, pengelolaan wilayah pesisir terpadu, Teluk Jakarta, Jakarta."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BANJIR DI KOTA PESISIR, UPAYA PENANGGULANGAN DAN PREDIKSI IMPLIKASINYA: Studi kasus Kota Jakarta

Wahyu Budi Setyawan

Pusat Penelitian Oseanografi – LIPI, Jl. Pasir Putih I, Ancol Timur, Jakarta 14430 Telp. 021 64713850, Fax. 021 64711948, E-mail: wahyubudisetyawan@yahoo.com

Abstrak

Jakarta adalah kota pesisir yang sangat besar (coastal megacity) yang sejak awal perkembangannya telah diikuti oleh persoalan banjir. Analisis tentang banjir yang terjadi di Jakarta itu sampai pada kesimpulan bahwa, berdasarkan penyebabnya, ada dua tipe banjir yang terjadi di Jakarta. Pertama, banjir yang disebabkan oleh curah hujan yang tinggi – terjadi di berbagai kawasan kota, dan Ke-dua, banjir karena pasang surut – terjadi di kawasan dekat pantai. Banjir tipe pertama berkaitan erat dengan aktifitas manusia di daerah aliran sungai, sedang banjir tipe ke-dua berkaitan erat dengan aktifitas manusia dan kondisi geologi di daerah dekat pantai. Upaya penanggulangan banjir tipe pertama yang sekarang sedang dilaksanakan adalah dengan membangun Sistem Banjir Kanal yang dibangun mengelilingi kota. Sementara itu, upaya untuk mengatasi banjir tipe ke-dua belum terlihat konsepnya. Apabila Sistem Banjir Kanal selesai dibangun, akan mempercepat aliran air permukaan dan sungai dari daerah hulu ke laut, dan debit air akan besar di muara-muara kanal yang akan menyebabkan perubahan keseimbangan suplai muatan sedimen ke perairan Teluk Jakarta dan berimplikasi pada perubahan pola sedimentasinya. Di pihak lain, banjir tipe ke-dua yang tidak jelas konsep penanggulangannya akan membuat genangannya bertambah luas di masa mendatang.

Kata kunci: kota-besar pesisir, banjir, pengelolaan wilayah pesisir terpadu, Teluk Jakarta, Jakarta.

Pendahuluan

Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), megacity adalah kota dengan penduduk diperkirakan mencapai 8 juta jiwa atau lebih pada tahun 2000 (Li, 2003). Menurut definisi tersebut, Jakarta dapat dikategorikan sebagai coastal megacity atau kota raksasa di daerah pesisir. Kota Jakarta berkembang di daratan pesisir utara Jawa bagian barat yang rendah yang merupakan produk proses fluviatil dari sungai-sungai yang berhulu di kawasan Gunung Salak, Gede dan Pangrango, dan proses marin dari Laut Jawa. Secara fisik, daratan pesisir itu dicirikan oleh adanya rawa pantai, dataran banjir, dan daratan dengan elevasi yang hampir sama tingginya dengan muka laut. Kenampakan ciri-ciri fisik daratan pesisir itu sampai sekarang masih dapat terlihat meskipun sebagian besar daratan pesisir itu telah menjadi kawasan terbangun (developed areas). Kondisi morfologi daratan pesisir yang demikian itu menunjukkan bahwa kawasan tersebut merupakan daerah sering mengalami banjir. Caljouw et al. (2004) menyebutkan bahwa persoalan lingkungan di Jakarta telah ada sejak awal perkembangannya. Masalah bau busuk yang tercium bila kanal-kanal kering tercatat sejak tahun 1633, sedang banjir tercatat mulai tahun 1665 ketika air lebih tinggi dari jalan, dan tahun 1670 jalan-jalan tergenang air pada saat pasang tinggi. Dengan makin besarnya kota Jakarta, persoalan lingkungan pun terus bertambah, dan masalah banjir makin bertambah buruk sampai tahun 2002 ketika banjir melumpuhkan Jakarta.

Naskah Asli

Makalah ini telah di presentasikan dan dipublikasikan di dalam prosiding Seminar Nasional:

PEMBANGUNAN LINGKUNGAN PERKOTAAN DI INDONESIA

Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti

(Kutip sebagai: Setyawan, W.B., 2005. Banjir di kota pesisir, upaya penanggulangan dan prediksi implikasinya: studi kasus Kota Jakarta. Prosiding seminar nasional Pembangunan Lingkungan Perkotaan di Indonesia, FALTL Univ. Trisakti, Jakarta: 369-377)

(2)

Setyawan (2003) dalam upaya mengungkapkan akar persoalan lingkungan di Jakarta telah memetakan persoalan lingkungan yang ada di Jakarta yang salah satunya adalah masalah banjir. Sementara itu, Caljouw et al. (2004) – dalam upaya menjawab pertanyaan “mengapa persoalan banjir di Jakarta tidak terselesaikan?”, menguraikan panjang lebar mengenai banjir di Jakarta yang dimulai dari tinjauan sejarah sampai kepada upaya penanggulangannya. Makalah ini meninjau kembali penyebab banjir di Jakarta dan mengevaluasi upaya penanggulangannya yang sedang berlangsung sekarang, dan mencoba memberikan prediksi implikasi dari upaya penanggulangan tersebut.

Metode Penelitian

Makalah ini ditulis berdasarkan pada pengalaman tinggal di Jakarta dan pengamatan lapangan yang secara sporadis dilakukan di berbagai lokasi, terutama di kawasan Jakarta Utara dan Jakarta Pusat.

Banjir Di Jakarta

Kota Jakarta berkembang di dataran pantai Teluk Jakarta, yang merupakan daratan yang terbentuk dari hasil interaksi antara proses fluviatil dari sungai-sungai yang bermuara ke Teluk Jakarta dan proses marin dari perairan mesisir Teluk Jakarta, dan dilatarbelakangi oleh kawasan pegunungan di daerah Bogor yang menjadi daerah hulu bagi sungai-sungai bermuara ke teluk tersebut. Sungai Ciliwung adalah sungai utama yang membelah Jakarta, berhulu di daerah Bogor dan bermuara di Teluk Jakarta. Pada sistem aliran sungai tersebut tercatat adanya alur-alur sungai, danau-danau, dan dataran banjir. Sementara itu, di kawasan dekat pantai tercatat adanya rawa-rawa pantai.

Jakarta yang sekarang menjadi kota raksasa dimuai dari sebuah desa kecil di tepi sunga,i dan persoalan banjir sudah menyertainya sejak awal. Caljouw et al. (2004) menyebutkan bahwa sejak tahun 1619 sistem kanal secara bertahap mulai dibangun, dan tanah galiannya dipakai untuk menimbun lahan untuk kepentingan konstruksi. Pada tahun 1665 tercatat bahwa air kadang-kadang berada lebih tinggi dari pada desa Jakarta saat itu, sementara tahun 1670 tercatat beberapa jalan tergenang air pada saat pasang tinggi atau spring tide.

De Haan (1922 vide Caljouw et al., 2004) mencatat bahwa akar persoalan banjir di Jakarta adalah (1) rendahnya daratan, (2) perbedaan pasang surut yang kecil. Selanjutnya disebutkan bahwa penebangan hutan di daerah hulu Sungai Ciliwung menyebabkan tingginya permukaan air sungai dan meningkatnya jumlah muatan sedimen, dan runtuhnya tebing-tebing sungai juga meningkatkan muatan sedimen. Faktor lainnya adalah adanya persawahan yang luas menyebabkan air tersebar luas dan tidak tertangani dengan baik. Kemudian, pengendapan lumpur yang terjadi di muara sungai ketika arus sangat lemah menyebabkan terbentuknya beting pasir atau sand bar di muara sungai yang menghambat gerakan arus, dan kemudian juga meningkatkan sedimentasi. Untuk mengatasi pendangkal aliran sungai dan tertutupnya muara sungai, dilakukan pengerukan. Sampah juga telah menjadi persoalan, terutama sampah organik yang berasal dari pabrik gula.

(3)

Berbagai upaya terus dilakukan untuk mengatasi banjir yang Jakarta, tetapi upaya tersebut selalu gagal mengatasi banjir. Sethuraman (1976 vide Caljouw et al., 2004) mengevaluasi kondisi drainase dan pengendali banjir, dan mencatat bahwa:

1) Hampir seluruh sungai yang mengalir melalui kota, beserta jaringan salurannya, tidak berfungsi dengan baik,

2) Sebagian besar sungai dan saluran menjadi dangkal sebagai konsekuensi dari pembuangan sampah dan limbah ke dalam aliran sungai secara langsung, dan karena tidak ada perawatan yang memadai dan pengerukan,

3) Sebagian besar estuari telah menjadi dangkal karena sedimentasi terus menerus yang sangat menghambat aliran sungai,

4) Hampir semua konstruksi air berada dalam kondisi rusak berat dan dioperasikan dengan tidak efisien,

5) Banyak kawasan secara periodik tergnang sebagai akibat dari drainase jalan yang tidak efektif, dan

6) Lahan terbuka tidak memadai, dan dengan demikian permeabilitas air total menjadi hilang. Sampai tahun 2002, berbagai upaya untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta masih didasarkan pada rencana dari H. van Breen yang dibuat tahun 1920 yang membagi aliran Sungai Ciliwung menjadi dua, yaitu Banjir Kanal Barat dan aliran Sungai Ciliwung (Caljouw et al., 2004). Banjir yang terjadi pada tahun 2002 menggenangi sebagian besar Jakarta dan membuat kehidupan kota terhenti. Berkaitan dengan peristiwa itu, Caljouw et al. (2004) menyebutkan bahwa masalah banjir di kawasan Jabotabek lebih buruk dari pada sebelumnya. Intensitas hujan yang tinggi dan lama menyebabkan kawasan yang sangat luas tergenang air, bahkan daerah-daerah yang biasanya tidak terpengaruh oleh banjir. Selain itu Caljouw et al., juga mancatat:

1) Setelah beberapa tahun berlalu, Pemerintah Kota tampaknya melupakan peristiwa itu.

2) Bila terjadi banjir, pemerintah bereaksi, tetapi tidak jelas keputusan yang diambil dan direncanakan untuk mencegah banjir kembali melanda kota.

3) Penduduk Jakarta juga melupakan tragedi itu:

a). Rencana seharga 15 milyar rupiah tidak pernah diberitakan lagi.

b). LSM sibuk dengan hal lain yang lebih sensasional daripada banjir dalam situasi tanpa banjir.

c). Rumah-rumah yang dulu terkena banjir telah dilupakan.

d). Sampah-sampah yang dituduh sebagai penyebab banjir tidak pernah dibicarakan lagi dan masih tersangku di aliran sungai-sungai dan kanal-kanal.

e). Tidak ada lagi pembicaraan tentang daerah tangkapan air.

Analisis tentang penyebab banjir di Jakarta menunjukkan bahwa, selain faktor kondisi geologi kawasan kota yang memang merupakan daerah banjir, urbanisasi yang tidak diiringi dengan antisipasi yang memadai terhadap perkembangan kebutuhan berbagai kegiatan sektoral membuat persoalan kota membesar (Setyawan, 2003; dan Caljouw et al., 2004). Peta persoalan lingkungan Jakarta dapat dilihat dalam Gambar 1.

(4)

Gambar 1. Peta masalah-masalah lingkungan di Jakarta (Setyawan, 2003).

Various sectoral activities

Fresh water need

Land need

Pollutants &

garbage production

Construction

materials need

Sand & coral

mining

Ground water extraction

Development near

coastline area

Conversing natural

forest of headwater area

Development along stream sides, around water bodies; dumping of

swamps or water bodies

Garbage deposition in channels or streams Sedimentation / siltation in streams Lowering groundwater surface

Sea water

intrusion

Land

subsidence

Decreasing capacity

of channels or streams

Run off increase Ground compaction Extremely high or high precipitation Coastline erosion Monsoon driven currents & waves

Pollution in streams

Pollution in

coastal waters

Flood

Flood

Flood

High tide

Sedimentation / siltation in coastal

waters

(5)

Pada Gambar 1 dapat kita lihat bahwa banjir dapat terjadi melalui dua mekanisme:

1) Banjir yang berkaitan dengan land subsidence dan pasang tinggi atau spring tide. Fenomena

land subsidence berkaitan dengan pembangunan di daerah dekat pantai dan ekstraksi air tanah. Fenomena banjir dengan mekanisme ini terlihat jelas di daerah-daerah dekat pantai di Jakarta utara, seperti Pademangan, Gunung Sahari bagian utara, dan Tanjung Periok; dan kejadiannya tidak berkaitan dengan hujan.

2) Banjir yang berkaitan dengan curah hujan atau aliran permukaan. Fenomena banjir ini dapat terjadi karena dua hal: (1) tinggi aliran permukaan sebagai akibat tingginya angka curah hujan dan kegiatan pembukaan lahan di kawasan hulu sungai, dan (2) berkurangnya kapasitas aliran sungai atau kanal-kanal sebagai akibat dari pembangunan pemukiman di sepanjang aliran sungai, pengendapan sampah padat karena penanganan yang tidak memadai, dan pengendapan sedimen di dalam aliran sungai karena kegiatan pembukaan lahan di kawasan hulu sungai. Banjir dengan mekanisme ke-dua ini dapat terjadi di seluruh bagian kota.

Upaya Penanggulangan Banjir

Untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta, telah dilakukan studi yang menyeluruh. Pada tahun 1997 telah dilakukan studi dengan judul Study on Comprehensive River Water Management Plan Jabotabek oleh NIKKEN Consultan & NIPPON KOEI Co, dan pada tahun 2002 studi dilakukan oleh NEDECO. Kedua studi itu membagi sistem drainase Jabotabek (Gambar 2) menjadi beberapa sistem aliran sungai atau river basin.

Gambar 2. Sungai-sungai dan kanal-kanal utama di Jabotabek. NEDECO (2002) dikutip dari Caljouw et al. (2004) dengan modifikasi.

(6)

Berdasarkan pada hasil studi tersebut Caljouw et al. (2004) membagi aliran sungai dan kanal-kanal di Jabotabek menjadi enam sistem cekungan air (river basin system) yang dipandang relevan dengan kondisi saat ini (Tabel 1).

Tabel 1. Sistem cekungan air di Jabotabek. Dibuat berdasarkan Caljouw et al. (2004). 1. Cisadane River Basin.

Sungai utamanya adalah Sungai Cisadane yang memotong Kota Tangerang yang tidak memiliki sistem drainase kota dan beberapa pintu air yang tidak terawat. Pintu Air Pasar Baru menghambat aliran Sungai

Cisadane. Efek backwater dari Sungai Cisadane dipandang sebagai penyebab banjir di Tangerang.

2. Cengkareng Floodway System Basin

Didominasi oleh Sungai Angke yang bertemu dengan Kanal Mookervaart, Kali Pesanggrahan dan Kali Grogol, dan selanjutnya masuk ke Teluk Jakarta melalui Cengkareng Drain – dibagun tahun 1983, yang memperlihatkan indikasi sedimentasi berat.

3. Western Banjir Canal System Basin

Didominasi oleh Banjir Kanal Barat yang dibangun tahun 1918 untuk menampung aliran Sungai Ciliwung dan

Kali Krukut. Berdasarkan pada ukuran cathment area (daerah tangkapan air), Sungai Ciliwung yang melintasi

Bogor dan Jakarta adalah sungai besar.

4. Eastern Banjir Canal System Basin

Didasarkan pada Banjir Kanal Timur yang dimaksudkan memotong aliran Sungai Cipinang, Sunter, Jatikramat, Buaran, dan Cakung di kawasan timur Jakarta. Sekarang Banjir Kanal Timur sedang dibangun.

5. Cikarang-Bekasi-Laut (CBL) Floodway System Basin

Didasarkan pada CBL Floodway yang dibangun tahun 1985 untuk mengalihkan aliran Sungai Bekasi, Cisadang, dan Cikarang. Sungai Bekasi adalah sungai utama yang mengalir di tengah Kota Bekasi yang tidak memiliki sistem drainase kota. Pintu Air Bekasi yang dibangun tahun 1958 di tengah kota menghambar aliran air Sungai Bekasi.

6. Residual Basin and Urban Drainage Area di Jakarta

Kawasan ini dapat dipandang sebagai suatu daerah tangkapan air tersendiri. Di daerah urban, air hujan dialirkan oleh sistem drainase lokal yang kecil, dan kemudian dibuang langsung atau dipompakan ke sungai atau drainasi yang besar.

Para ahli sangat menekankan bahwa seluruh sistem penanggkapan air yang relevan untuk Jakarta harus diperhatikan agar banjir di Jakarta dapat diatas. Dewasa ini sedang dibangun Sistem Banjir Kanal Timur yang dipandang sebagai pasangan dari Sistem banjir Kanal Barat dan diharapkan dapat mencegah masuknya air melalui aliran sungai ke kota, disamping berbagai fungsi lainnya, seperti peresapan air tanah, dan transportasi air (Kimpraswil, 2003). Gambaran pola drainase dari sistem kanal tersebut seperti pada Gambar 3. Selanjutnya, apabila upaya mengatasi banjir tersebut dikaitkan dengan Peta Masalah Lingkungan Jakarta (Gambar 1), maka terlihat bahwa Sistem Banjir Kanal hanya dibuat untuk mengatasi banjir yang berkaitan dengan aliran permukaan, dan tampaknya dibuat dengan asumsi bahwa banjir di Jakarta hanya karena masalah aliran air permukaan yang tinggi di musim hujan yang datang dari daerah hulu. Sementara itu, persoalan banjir yang terjadi di kawasan dekat pantai karena pasang surut dan

subsidence belum diupayakan cara untuk mengatasinya secara terpadu, padahal di lapangan

subsidence terlihat jelas. Demikian pula sedimentasi dan penyumbatan sampah di alur-alur sungai, penyempitan alur sungai karena rumah penduduk, dan urbanisasi tidak jelas apa kebijakannya.

Kemungkinan Dampak

Salah satu jalan untuk melihat kemungkinan dampak dari pembangunan Sistem Banjir Kanal adalah melalui analisis keseimbangan interaksi agen-agen asal darat dan laut atau neraca muatan sedimen (sediment budget).

(7)

Gambar 3. Rencana Sistem Banjir Kanal di Jakarta. Sumber: Urban Poor Consortium (tt), http://www.urbanpoor.or.id/web_lama/banjir/data.htm.

Dengan asumsi bahwa kondisi sekarang ini berada dalam keadaan seimbang, tidak ada erosi atau sedimentasi yang berarti terjadi di pantai Jakarta, maka keseimbangan interaksi agen-agen yang berinteraksi di pantai Jakarta dapat digambarkan sebagai berikut:

Kekuatan asal laut Kekuatan asal darat Gelombang = Jenis batuan pantai + suplai muatan

sedimen melalui aliran sungai

Adapun keseimbangan neraca muatan sedimen yang terjadi adalah sebagai berikut:

Sedimen masuk Sedimen keluar

Transportasi sepanjang pantai + Suplai melalui aliran sungai

= Transportasi sepanjang pantai

Pada suatu sistem pantai, erosi pantai akan terjadi bila kekuatan asal laut lebih besar dari pada kekuatan asal darat, atau sedimen yang ke luar lebih besar dari pada yang masuk ke dalam sistem. Sebaliknya, sedimentasi terjadi di pantai bila kekuatan asal darat lebih besar dari pada kekuatan asal laut, atau sedimen yang masuk lebih besar dari pada sedimen yang ke luar sistem.

Pembangunan Sistem Banjir Kanal Timur yang memotong tujuh aliran sungai berarti memotong suplai sedimen, yang berarti pula merubah keseimbangan interaksi antara agen-agen asal darat dan laut di daerah pesisir Jakarta. Suplai muatan sedimen yang semula masuk ke laut melalui tujuh titik yang terpisah, berubah menjadi satu titik gabungan dari tujuan aliran sungai.

(8)

Suplai muatan sedimen dari tujuh muara itu akan sangat kecil, sementara di Marunda sangat besar. Apabila diasumsikan bahwa interaksi antara agen-agen asal darat dan laut sekarang dalam kondisi yang seimbang, maka perubahan suplai muatan sedimen akan merubah keseimbangan itu. Di sekitar tujuh muara sungai yang terpotong alirannya, kekuatan asal laut akan lebih besar dari pada kekuatan asal darat, sehingga besar kemungkinannya akan terjadi erosi. Sebaliknya, suplai muatan sedimen di kawasan Marunda yang menjadi sangat besar akan menyebabkan terjadi sedimentasi di sekitar muara banjir kanal. Adapun lokasi-lokasi erosi atau sedimentasi sangat ditentukan oleh pola arus lokal setempat.

Selanjutnya, berkaitan dengan banjir yang terjadi karena subsidence di daerah dekat pantai yang tidak ditangani dengan memadai, bisa diprediksi bahwa genangan banjir akan bertambah luas. Prakiraan ini didasarkan pada pengamatan lapangan di daerah Manggadua dan Jalan Gunung Sahari. Pembangunan gedung-gedung di kawasan tersebut tampaknya telah memperbesar subsidence, seperti yang terlihat di Pademangan – di Jalan Budi Mulia, dan aliran Sungai Ciliwung. Sekarang, Jalan Budi Mulia hampir sepanjang hari tergenang air, dan genangan makin tinggi bila laut pasang. Sementara itu, di aliran Sungai Ciliwung, tinggi kolong jembatan dengan permukaan air sungai menjadi sangat kecil, terutama pada waktu laut pasang. Dengan kondisi demikian, jembatan telah menjadi penghambat aliran air sungai dan sampah. Terhambatnya aliran air sungai telah mempercepat laju sedimentasi di alur-alur sungai. Keadaan ini terlihat di alur Sungai Ciliwung di sepanjang Jalan Gunung Sahari dan R.E. Martadinata. Upaya pengerukan alur sungai itu pernah dilakukan pada tahun 2003, tetapi sekarang alur sungai telah mendangkal lagi. Dalam pada itu, di daerah Mangga Besar dan Glodok, pada waktu laut pasang, tinggi permukaan air sungai sudah mendekati tinggi permukaan jalan.

Akhirnya terhadap urbanisasi yang secara nyata memperbesar masalah banjir di Jakarta, belum jelas kebijakan apa yang diambil sebagai bagian dari upaya penyelesaian masalah banjir.

Kesimpulan

Sistem Banjir Kanal adalah upaya besar untuk mengatasi banjir di Jakarta. Bila selesai, diperkirakan sistem itu belum menyelesaikan semua masalah banjir di Jakarta, terutama yang berkaitan dengan gejala subsudence; di samping itu, ada kemungkinan akan muncul persoalan erosi atau sedimentasi di pantai. Masalah sampah padat kota dan sedimentasi perlu atasi, dan kebijakan tentang urbanisasi perlu dibuat sebagai bagian dari upaya mengatasi banjir di Jakarta.

Daftar Pustaka

Caljouw, M., Nas, P.J.M. and Pratiwo, 2004. Flooding in Jakarta. Paper presented on The 1st International Conference on Urban History, Surabaya, August 23 – 25, 2004.

Kimpraswil, 2003. Kenapa kanal timur. http://www.kanaltimur.com/kenapa.php. Akses: 29 Juni 2005.

Li, H., 2003. Management of coastal mega-cities – a new challenge in the 21st century, Marine Policy, 27: 333-337.

Setyawan, W.B., 2003. Jakarta coastal megacity and its environmental problems. Paper presented on The 5th IRSA International Conference, Bandung, July 18 – 19, 2003.

Urban Poor Consortium, tanpa tahun. http://www.urbanpoor.or.id/web_lama/banjir/data.htm. Akses: 29 Juni 2005.

Gambar

Gambar 1. Peta masalah-masalah lingkungan di Jakarta (Setyawan, 2003).
Gambar 2. Sungai-sungai dan kanal-kanal utama di Jabotabek. NEDECO (2002)  dikutip dari Caljouw et al
Gambar 3. Rencana Sistem Banjir Kanal di Jakarta. Sumber: Urban Poor  Consortium (tt), http://www.urbanpoor.or.id/web_lama/banjir/data.htm

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini berarti bahwa kondisi NPL yang lebih besar dalam satu periode akan memberikan penurunan laba oleh bank.Alasan mendasar atas diperolehnya pengaruh yang

Selain itu pada dasarnya permohonan pendaftaran yang diajukan atas tanah wakaf yang berasal dari Hak Guna Bangunan di Masjid Al- Hidayah Kelurahan Beji, Kabupaten

mempelajari tentang konsep, teori, dan fakta tetapi juga aplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, materi pembelajaran tidak hanya tersusun atas hal-hal

Dari hasil pengabdian yang telah dilakukan, yaitu berupa pemberian psikoedukasi mengenai parenting skill sebagai bentuk pendampingan kepada orang tua yang memiliki

Dalam hal ini, aktor atau pelaku yang melakukan interaksi sosial dengan dirinya sendiri, menurut Mead dilakukan dengan cara mengambil peran orang lain, dan bertindak berdasarkan

Menyampaikan informasi secara lisan dengan lafal yang tepat dalam kalimat sederhana sesuai konteks yang mencerminkan kecakapan berbahasa yang santun dan

Setelah Islam sudah sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Indikator atau penanda yang saya lihat disini adalah

Penelitian ini hanya dilakukan pada salah satu variabel yang mempengaruhi keputusan pembelian, maka perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk mengukur