• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH BIOPESTISIDA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH BIOPESTISIDA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS KELOMPOK TUGAS KELOMPOK

MAKALAH BIOTEKNOLOGI MAKALAH BIOTEKNOLOGI

BIOPESTISIDA

BIOPESTISID

A ( ENTOMOPATOGEN )

( ENTOMOPATOGEN )

””

OLEH: OLEH: KELOMPOK 9 KELOMPOK 9

RINA YUNIARSIH HASYIM

RINA YUNIARSIH HASYIM

ZULFIDAH

ZULFIDAH

MUHAMMAD SUYUDI

MUHAMMAD SUYUDI

RITA UTAMI

RITA UTAMI

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HASANUDDIN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR MAKASSAR 2014 2014

(2)

BAB I BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1. Latar Belakang

Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) mempunyai arti Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) mempunyai arti penting bagi masyarakat, karena dapat menimbulkan kerusakan serta penting bagi masyarakat, karena dapat menimbulkan kerusakan serta kerugian pada tanaman atau hasil olahannya. Pada umumnya petani kerugian pada tanaman atau hasil olahannya. Pada umumnya petani menggunakan pestisida kimia untuk menekan kerusakan tanaman tersebut, menggunakan pestisida kimia untuk menekan kerusakan tanaman tersebut, karena dianggap lebih cepat memberikan efek hasil, mudah diaplikasikan karena dianggap lebih cepat memberikan efek hasil, mudah diaplikasikan serta mudah untuk mendapatkannya. Dalam perkembangannya, disadari serta mudah untuk mendapatkannya. Dalam perkembangannya, disadari bahwa penggunaan pestisida kimia dapat menyebabkan kerusakan pada bahwa penggunaan pestisida kimia dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan dan memberikan efek negatif pada kesehatan manusia. Hal lingkungan dan memberikan efek negatif pada kesehatan manusia. Hal tersebut mendorong seseorang untuk meminimalkan penggunaan pestisida tersebut mendorong seseorang untuk meminimalkan penggunaan pestisida kimia, dengan cara memanfaatkan agen pengendali hayati.

kimia, dengan cara memanfaatkan agen pengendali hayati.

Penggunaan agen pengendali hayati dalam mengendalikan OPT Penggunaan agen pengendali hayati dalam mengendalikan OPT semakin berkembang, karena cara ini lebih unggul dibanding pengendalian semakin berkembang, karena cara ini lebih unggul dibanding pengendalian berbasis pestisida kimia. Beberapa keunggulan tersebut adalah Aman bagi berbasis pestisida kimia. Beberapa keunggulan tersebut adalah Aman bagi manusia, musuh alami dan lingkungan, dapat mencegah ledakan hama manusia, musuh alami dan lingkungan, dapat mencegah ledakan hama sekunder, produk pertanian yang dihasilkan bebas dari residu pestisida, sekunder, produk pertanian yang dihasilkan bebas dari residu pestisida, terdapat disekitar pertanaman sehingga dapat mengurangi ketergantungan terdapat disekitar pertanaman sehingga dapat mengurangi ketergantungan petani terhada

petani terhadap pestisida sintetis dan p pestisida sintetis dan menghemat biaya prodmenghemat biaya produksi.uksi.

Berdasarkan pernyataan diatas, maka praktikum mengenai Berdasarkan pernyataan diatas, maka praktikum mengenai biopestisida ini sangat penting untuk dilakukan untuk menambah wawasan biopestisida ini sangat penting untuk dilakukan untuk menambah wawasan mengenai pengendalian OPT menggunakan agen hayati. Dan dengan mengenai pengendalian OPT menggunakan agen hayati. Dan dengan dilaksanakannya praktikum ini kita dapat mengurangi penggunaan pestisida dilaksanakannya praktikum ini kita dapat mengurangi penggunaan pestisida kimia dalam pengendalian OPT yang dapat membawa dampak buruk bagi kimia dalam pengendalian OPT yang dapat membawa dampak buruk bagi lingkungan sekitar.

(3)

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimana deskripsi dari biopestisida? 2. Apakah jenis-jenis dari biopestisida?

3. Bagaimana deskripsi dari insektisida dan hubungannya dengan entomopatogen?

4. Bagaimana jenis-jenis agen hayati yang berperan sebagai bioinsektisida serta deskripsinya?

1.3 Tujuan dan Kegunaan

1. Mengetahui deskripsi dari biopestisida. 2. Mengetahui jenis-jenis biopestisida.

3. Mengetahui pengertian insektisida dan entomopatogen.

(4)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Biopestisida

Biopestisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida dan herbisida biologi. Pestisida alami adalah suatu pestisida yang bahan dasarnya berasal dari alam seperti tumbuhan. Pestisida alami merupakan pemecahan jangka pendek untuk mengatasi masalah hama dengan cepat, pestisida nabati bersifat ramah lingkungan karena bahan ini mudah terdegradasi di alam, sehingga aman bagi manusia maupun lingkungan.

Berdasarkan asalnya, biopestisida dapat dibedakan menjadi dua yakni pestisida nabati dan pestisida hayati.

1. Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi bagian tertentu dari tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder dan memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pestisida nabati pada umumnya digunakan untuk mengendalikan hama (bersifat insektisidal) maupun penyakit (bersifat bakterisidal).

2. Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis terhadap mikroba lainnya (penyebab penyakit tanaman) atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga ( hama ) maupun nematoda (penyebab penyakit tanaman).

Bipestisida dapat digolongkan menjadi bermacam-macam dengan berdasarkan fungsi dan asalnya. Penggolongan tersebut adalah sebagai berikut:

(5)

1. Fungisida Biologi (Biofungisida)

Biofungisida berasal dari kata latin fungus atau kata Yunani spongos yang berarti jamur, berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan.

Beberapa fungisida yang telah digunakan adalah:

 Spora Trichoderma sp. digunakan untuk mengendalikan penyakit akar

putih pada tanaman karet dan layu fusarium pada cabai.

 Gliocladium spesies G. roseum dan G. virens. untuk mengendalikan busuk

akar pada cabai akibat serangan jamur Sclerotium Rolfsii.

 Bacillus subtilis yang merupakan bakteri saprofit mampu mengendalikan

serangan jamur Fusarium sp. pada tanaman tomat. 2. Herbisida Biologi (Bioherbisida)

Termasuk dalam golongan herbisida ini ialah pengendalian gulma dengan menggunakan penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri, jamur dan virus. Phytophthora palmivora  yang digunakan untuk mengendalikan Morrenia odorata, gulma pada tanaman jeruk. Colletotrichum gloeosporioides digunakan pada tanaman padi dan kedelai.

3. Insektisida Biologi (Bioinsektisida)

Berasal dari mikroba yang digunakan sebagai insektisida. Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit pada serangga tidak dapat menimbulkan gangguan terhadap hewan-hewan lainnya maupun tumbuhan. Jenis mikroba yang akan digunakan sebagai insektisida harus mempunyai sifat yang spesifik artinya harus menyerang serangga yang menjadi sasaran dan tidak pada jenis-jenis lainnya. Mikroba patogen yang telah sukses dan berpotensi sebagai insektisida biologi salah satunya adalah Bacillus thuringiensis.

Jenis insektisida biologi yang lainnya adalah yang berasal dari protozoa, Nosema locustae,  yang telah dikembangkan untuk membasmi belalang dan jangkrik. Cacing yang pertama kali sebagai insektisida ialah Neoplectana carpocapsae. Insektisida ini digunakan untuk membunuh semua bentuk rayap.

(6)

4. Nematisida Biologi (Bionematisida)

Bionematisida berasal dari kata latin nematoda atau bahasa Yunani nema yang berarti benang, berfungsi untuk membunuh nematoda (semacam cacing yang hidup di akar).

2.2 Insektisida Biologi (Bioinsektisida)

Secara alami, penyakit serangga disebabkan oleh berbagai jenis mikroba, seperti bakteri, jamur, fungi, virus dan protozoa yang sering disebut

sebagai “entomopatogen”. Selama masa keterjangkitan penyakit (epizootic) sering terjadi tingkat kronis yang dapat menyebabkan perubahan luar biasa pada populasi serangga. Beberapa keuntungan penting dari pemakaian entomopatogen ini adalah pengaruhnya yang spesifik hanya pada serangga tertentu. Belum ada jenis entomopatogen yang dilaporkan menyebabkan pengaruh serius pada manusia, mamalia dan vertebrata lain. Hal ini berarti pemakaian pestisida biologi ini dapat meminimalisasi pengaruh buruk pada makhluk lain yang bukan OPT. Sifat ini menyebabkan pestisida biologi banyak dipakai untuk tanaman pangan dan tanaman hias yang dekat dengan lalu lintas manusia.

Insektisida biologi membunuh serangga dengan cara yang sangat berbeda dengan pestisida sintesis. Hal ini membuat pestisida biologi dapat dijadikan alternatif yang layak dipertimbangkan untuk mengatasi kasus-kasus serangga yang telah kebal terhadap pestisida sintesis. Meskipun demikian, bukan berarti pada suatu saat serangga tertentu tidak bisa kebal terhadap pestisida biologi.

Sebagian besar mikroba entomopatogen memperbanyak diri di dalam tubuh serangga inang. Hala ini menyebabkan entomopatogen secara alami mudah tersebar dengan tersendirinya (penyebaran sekunder) setelah aplikasi pertama dan menyebabkan efek pengendalian yang lebih lama.

(7)

2.2.1 Agen Hayati yang berperan sebagai insektisida biologi

Agen hayati yang paling banyak digunakan sebagai insektisida biologi adalah dari jenis bakteri, jamur dan virus. Untuk jenis bakteri dikenal Bacillus thuringiesis, sedangkan untuk jamur yang lazim adalah Beauveria bassiana dan dari golongan nematoda yakni Heterorhabditis indicus.

1. Bakteri Patogen Serangga (Bacillus thuringiensis)

Salah satu alternatif pengendalian serangga hama yang aman bagi lingkungan dan makhluk hidup lain adalah pengendalian secara biologis dengan menggunakan insektisida mikroba. Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan salah satu jenis bakteri yang sering digunakan sebagai insektisida mikroba untuk mengontrol serangga hama seperti Lepidoptera, Diptera, dan Coleoptera.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bacillus thuringiensis  mampu menghasilkan suatu protein yang bersifat toksik bagi serangga, terutama seranggga dari ordo Lepidoptera. Protein ini bersifat mudah larut dan aktif menjadi toksik, terutama setelah masuk ke dalam saluran pencemaan serangga. Bacillus thuringiensis  mudah dikembangbiakkan, dan dapat dimanfaatkan sebagai biopestisida  pembasmi hama tanaman. Pemakaian biopestisida ini diharapkan dapat mengurangi dampak negatif yang timbul dari pemakaian pestisida kimia.

Bakteri penyebab penyakit serangga pada umumnya di bagi ke dalam dua kelompok besar, yakni bakteri yang tidak membentuk spora dan bakteri yang membentuk spora. Bakteri yang tidak membentuk spora terdapat dalam saluran pencernaan serangga, merupakan patogen yang potensial menyerang bagian pencernaan. Tingkat kematian karena bakteri patogen ini rendah. Sedangkan bakteri pembentuk spora menginveksi larva di dalam mesofagus, kemudian membentuk spora dan sporanya menyerang bagian tubuh serangga. Tingkat kematian karena bakteri patogen ini tinggi. Kebanyakan spesies bakteri entomopatogen yang diisolasi dari serangga yang sakit adalah bakteri yang tidak membentuk spora, akan tetapi untuk produksi komersial,

(8)

bakteri yang membentuk spora lebih mudah untuk diformulasikan dan dapat di simpan lebih lama karena dalam bentuk spora bakteri tidak membutuhkan makanan.

Bakteri yang paling banyak dimanfaatkan sebagai insektisida hayati adalah species Bacillus thuringiensis  (Bt). Salah satu keunggulan B. thuringiensis  sebagai agen hayati adalah kemampuan menginfeksi serangga hama yang spesifik artinya bakteri dapat mematikan serangga tertentu saja sehingga tidak beracun terhadap hama bukan sasaran atau manusia dan ramah lingkungan karena mudah terurai dan tidak menimbulkan residu yang mencemari lingkungan.

a. Klasifikasi Bacillus thuringiensis Kingdom : Eubacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Bacillales Famili : Bacillaceae Genus : Bacillus

Spesies : Bacillus thuringiensis b. Deskripsi

Bacillus thuringiensis  adalah bakteri tanah gram positif, pembentuk spora, berbentuk batang dengan lebar 1,0 sampai 1,2 µm dan panjang 3,0 sampai 5,0 µm (Sembiring, 2004). Bakteri ini termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup di daun tanaman

konifer maupun pada tanah. Apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan maka bakteri ini akan membentuk fase sporulasi.

B. thuringiensis  dibagi menjadi 67 subspesies (hingga tahun 1998) berdasarkan serotipe dari flagela (H). Ciri khas dari bakteri ini yang

Spora dan kristal Bacillus thuringiensis morrisoni strain T08025

(9)

membedakannya dengan spesies Bacillus  lainnya adalah kemampuan membentuk kristal paraspora yang berdekatan dengan endospora selama fase sporulasi III dan IV. Sebagian besar ICP disandikan oleh DNA plasmid yang dapat ditransfer melalui  konjugasi antargalur B. thuringiensis, maupun dengan bakteri lain yang berhubungan. Selama pertumbuhan vegetatif terjadi, berbagai galur B. thuringiensis  menghasilkan bermacam-macam antibiotik, enzim,  metabolit, dan toksin, yang dapat merugikan organisme lain. Selain endotoksin (ICP), sebagian subspesies B. thuringiensis  dapat membentuk beta-eksotoksi yang toksik terhadap sebagian besar makhluk hidup, termasuk manusia dan insekta.

Ciri khas yang terdapat pada B. thuringiesis adalah kemampuannya membentuk kristal (tubuh paraspora) bersamaan dengan pembentukan spora, yaitu pada waktu sel mengalami sporulasi. Kristal tersebut merupakan komplek protein yang mengandung toksin ( d – endotoksin ) yang terbentuk di dalam sel 2-3 jam setelah akhir fase eksponesial dan baru keluar dari sel pada waktu sel mengalami autolisis setelah sporulasi sempurna. Sembilan puluh lima persen kristal terdiri dari protein dengan asam amino terbanyak terdiri dari asam glutamat, asam aspartat dan arginin, sedangkan lima persen terdiri dari karbohidrat yaitu mannosa dan glukosa.

Kristal protein merupakan protoksin dalam bentuk protein murni yang kaya akan asam glutamate dan asam aspartat. Berdasarkan protoksinnya, Kristal protein memiliki berbagai macam bentuk antara lain bipiramidal, kuboidal, persegi panjang, dan jajaran genjang. Ada hubungan nyata antara bentuk kristal dengan kisaran daya bunuhnya. Toksisitas B. thuringiensis terhadap serangga dipengaruhi oleh strain bakteri dan spesies serangga yang terinfeksi. Faktor pada bakteri yang mempengaruhi toksisitasnya adalah struktur kristalnya, yang pada salah satu strain mungkin mempunyai ikatan yang lebih mudah dipecah oleh enzim yang dihasilkan serangga dan ukuran molekul protein yang menyusun kristal, serta susunan molekul asam amino dan kandungan karbohidrat dalam kristal.

(10)

Protein atau toksin Cry tersebut akan dilepas bersamaan dengan spora ketika terjadi pemecahan dinding sel.  Apabila termakan oleh larva insekta, maka larva akan menjadi inaktif, makan terhenti, muntah, atau kotorannya menjadi berair. Bagian kepala serangga akan tampak terlalu besar dibandingkan ukuran tubuhnya. Selanjutnya, larva menjadi lembek dan mati dalam hitungan hari atau satu minggu. Bakteri tersebut akan menyebabkan isi tubuh insekta menjadi berwarna hitam kecoklatan, merah, atau kuning, ketika membusuk.

c. Substansi aktif 

Istilah substansi aktif yaitu bahan-bahan yang mempunyai aktivitas tertentu yang dihasilkan oleh makhluk hidup, dan bahan aktif ini biasanya dapat bersifat positif pada makhluknya sendiri akan tetapi dapat bersifat negatif atau positif pada makhluk hidup lain.

Substansi aktif yang dihasilkan oleh mikroorganisme umumnya digolongkan menjadi dua macam, yaitu metabolit primer dan metabolit sekunder. Substansi aktif primer biasanya bersifat intraseluler atau terdapat didalam sel. Biasanya metabolit primer dihasilkan dalam jumlah yang relatif kecil. Substansi sekunder adalah hasil dari metabolisme didalam sel yang disekresikan keluar dari sel atau dikumpulkan dalam kantong-kantong khusus diantara sel atau jaringan didalam tubuhnya.

Bacillus thuringiensis membentuk spora yang membentuk kristal protein-toksin. Kristal tersebut bersifat toksik terhadap serangga. Penelitian H eimpel (1967) diketahui bahwa B. thuringiensis menghasilkan beberapa jenis toksin,

seperti α(alfa), β(beta), γ(gamma)-eksotoksin, dan

δ(delta)-endotoksin, serta faktor louse. Peneliti lain menginformasikan bahwa yang berperan

penting sebagai insektisida adalah protein β

-eksotoksin dan δ-endotoksin.

Struktur tiga dimensi dari toksin Bt.

(11)

Berbagai macam B. thuringiensis diantaranya:

1. Bacillus thuringiensis varietas tenebrionis  menyerang kumbang kentang colorado dan larva kumbang daun.

2. Bacillus thuringiensis varietas kurstaki  menyerang berbagai jenis ulat tanaman pertanian.

3. Bacillus thuringiensis varietas israelensis  menyerang nyamuk dan lalat hitam.

4. Bacillus thuringiensis varietas aizawai  menyerang larva ngengat dan berbagai ulat, terutama ulat ngengat diamondback.

d. Insektisida biologi berbahan aktif Bacillus thuringiensis

Bakteri Bacillus thuringiensis merupakan bakteri yang dapat mengendalikan hama ulat daun, kumbang daun, dan kutu daun pada tanaman holtikultura. Bakteri B. thuringiensis cukup efektif untuk mengendalikan berbagai jenis hama dari golongan lepidoptera, coleoptera, dan hemiptera.

Senyawa toksin penting dalam upaya pengembangan produk

bioinsektisida secara komersial. Karaterisasi kimia β-eksotoksin pertama kali diaporkan oleh Mc. Connel dan Richard. Peneliti tersebut mengatakan bahwa

β-eksotoksin terdiri dari komposisi senyawa asam nukleat, seperti adenine,

ribose, glucose, dan asam alarik dengan ikatan kelompok fosfat. Selain itu, β -eksotoksin diketahui bersifat termostabil, artinya bahwa senyawa tersebut tahan atau tidak rusak jika terkena suhu tinggi, maka digolongkan sebagai thermostabel eksotoksin, larut didalam air dan sangat beracun terhadap

beberapa jenis ulat. Sementara α-eksotoksin bersifat sebaliknya, tidak stabil jika terkena panas. Senyawa tersebut diketahui beracun bagi mencit dan ulat (Plutella xylostella).

Reaksi toksisitas terhadap serangga dari δ-endotoksin dan strain B. thuringiensis  terhadap serangga tampaknya juga sangat bervariasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Heimpel dan rekannya (1959 dan 1967) terhadap serangga Lepidoptera menunjukkan adanya respon yang berbeda

(12)

Fenomena lain mekanisme kerja dari toksin bakteri B. thuringiensis yaitu, terjadinya mekanis intraseluler dari β-eksotoksin, sebagai substansi protein aktif yang bersifat racun, senyawa ini akan menghambat sintesa asam ribonukleat, dengan cara menghentikan proses katalisa polimerasi oleh DNA-dependen RNA-polymersae.

e. Mekanisme Patogenisitas

Kristal protein yang termakan oleh serangga akan larut dalam lingkungan basa pada usus serangga. Pada serangga target, protein tersebut akan teraktifkan oleh enzim pencerna protein serangga.

Protein yang teraktifkan akan menempel pada protein receptor yang berada pada permukaan sel epitel usus. Penempelan tersebut mengakibatkan terbentuknya pori atau lubang pada sel sehingga sel mengalami lisis. Pada akhirnya serangga akan mengalami gangguan pencernaan dan mati.

f. Cara Isolasi

Isolat Bacillus thuringiensis  dapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan bangkainya dan sumber lain. Salah satu cara isolasi yang cukup efektif adalah dengan seleksi asetat. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan bakteri (misal LB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media asetat tersebut menghambat pertumbuhan spora B. thuringiensis  menjadi sel vegetatif. Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu 80°C selama beberapa menit. Pemanasan ini akan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang telah dipanaskan

(13)

diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasi B. thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolat B. thuringiensis.

g. Penapisan Isolat yang Toksik 

Tidak semua isolat Bt   beracun terhadap serangga. Untuk itu perlu dilakukan penapisan daya racun dari isolat-isolat yang telah diisolasi. Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan untuk hal ini. Pertama dengan pendekatan molekular dan kedua dengan bioasai.

Pendekatan molekular dilakukan dengan PCR menggunakan primer-primer yang dapat menggandakan bagian-bagian tertentu dari gen-gen penyandi protein kristal (gen cry ). Hasil PCR  ini dapat dipakai untuk memprediksi potensi racun dari suatu isolat tanpa terlebih dulu melakukan bioasai terhadap serangga target. Dengan demikian penapisan banyak isolat untuk kandungan gen-gen cry  tertentu dapat dilakukan dengan cepat.

Untuk menguji lebih lanjut daya beracun dari suatu isolat maka perlu dilakukan bioasai dengan mengumpankan isolat atau kristal protein dari isolat tersebut kepada serangga target. Dari bioasai ini dapat dibandingkan daya racun antar isolat.

h. Cara Perbanyakan

Perbanyakan bakteri B. thuringiensis  dalam media cair dapat dilakukan dengan cara yang mudah dan sederhana. Karena yang diperlukan sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media yang mengandung tryptose  telah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasi B. thuringiensis. Dalam 2–5 hari B. thuringiensis  akan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada suhu 30°C. Perbanyakan B. thuringiensis  ini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan fermentor.

(14)

i. Potensi sebagai Bioinsektisida

Untuk bahan dasar bioinsektisida biasanya digunakan sel-sel spora atau protein kristal Bt   dalam bentuk

kering atau padatan. Padatan ini dapat diperoleh dari hasil fermentasi sel-sel Bt  yang telah disaring atau diendapkan dan dikeringkan. Padatan spora dan protein kristal yang diperoleh dapat dicampur dengan bahan-bahan pembawa, pengemulsi, perekat, perata, dan lain-lain dalam formulasi bioinsektisida.

2. Jamur Patogen Serangga (Beauveria bassiana)

Contoh insektisida biologi dari jamur adalah Beauveria bassiana. Cendawan ini biasa dikenal sebagai cendawan patogen serangga yaitu cendawan yang dapat menimbulkan penyakit pada serangga. Beberapa contoh serangga yang dapat dikendalian oleh Beauveria bassiana  antara lain berbagai jenis wereng, walang, walang sangit, ulat, lembing dan sundep beluk (penggerek batang).

Beauveria bassiana  secara alami terdapat didalam tanah sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipe ngaruhi oleh kondisi tanah, seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembapan, kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintetis, dan waktu aplikasi. Secara umum, suhu di atas 30 C, kelembapan tanah yang berkurang dan adanya antifungal atau pestisida dapat menghambat pertumbuhannya.

Beauveria bassiana  termasuk dalam golongan pathogen serangga ordo Monililes, famili Moniliaceae. Jamur Beauveria bassiana  menyerang banyak jenis serangga, di antaranya kumbang, ngengat, ulat, kepik dan

Larvasida, produk untuk membunuh larva nyamuk yang terbuat dari kompleks  protein B. thuringiensis israelensis.

(15)

belalang. Jamur ini umumnya ditemukan pada serangga yang hidup di dalam tanah, tetapi juga mampu menyerang serangga pada tanaman atau pohon. a. Klasifikasi BVR (Beauveria bassiana)

Kerajaan: Fungi Filum : Ascomycota Kelas : Sordariomycetes Ordo : Hypocreales Famili : Cordycipitaceae Genus : Beauveria

Spesies : Beauveria bassiana b. Karakteristik Beauveria bassiana

1. Cendawan berwarna putih, penyebaran spora melalui air atau terbawa angin.

2. Menginfeksi serangga melalui integument/jaringan lunak. Selanjutnya hifa tumbuh dari konidia dan merusak jaringan.

3. Cendawan tumbuh keluar dari tubuh inang pada saat cendawan siap menghasilkan spora untuk disebarkan.

4. Apabila keadaan tidak mendukung, perkembangan cendawan hanya berlangsung didalam tubuh serangga tanpa keluar menembus integument.

5. Tubuh serangga mati yang terinfeksi Beauveria bassiana  mengeras seperti mumi.

c. Teknik/ Cara Memperoleh Jamur Beauveria bassiana

Jamur entomopatogen Beauveria bassiana dapat diperoleh dari tanah terutama pada bagian atas (top soil) 5-15 cm dari permukaan tanah, karena pada horizon ini diperkirakan banyak terdapat inokulum B. Bassiana. Teknik untuk memperoleh jamur entomopatogen B. Bassiana dari tanah adalah dengan menggunakan metode umpan serangga (insect bait method).

(16)

Teknik untuk memperoleh jamur dengan metode umpan serangga

Isolat jamur B. bassiana diambil dari tanah. Tanah asal isolat diambil secara acak di sekitar pertanaman pisang. Tanah diambil dengan menggalinya pada kedalaman 5–10 cm masing-masing sebanyak 4 x 500 g kemudian dimasukkan ke kantongan plastik diberi label berupa lokasi dan tanggal pengambilan sampel. Tanah kemudian diayak dengan ayakan 600 mesh dan dimasukkan ke dalam kotak plastik berukuran 13 x 13 x 10 cm masing-masing sebanyak 400 g (tiap daerah menggunakan 4 buah kotak).

Larva T. molitor stadia larva instar 3 yang baru berganti kulit (kulitnya masih berwarna putih) dimasukkan kedalam kotak yang berisi tanah masing-masing sebanyak 10 ekor, sebagai perangkap umpan agar terserang jamur B. bassiana (insect bait methode). Larva ini kemudian ditutupi dengan selapis tipis tanah dan dilembabkan dengan menyemprotkan aquadest steril diatasnya. Selanjutnya kotak ditutupi dengan potongan kain puring hitam ukuran 25 x 25 cm yang juga telah dilembabkan. Larva T. molitor yang diduga terserang jamur B. bassianadiamati 3 hari setelah diperlakukan kemudian diamati setiap harinya dan segera setelah terserang jamur B. bassiana diisolasi sebagai sumber isolat.

Larva yang terinfeksi jamur B. bassiana  terlebih dahulu disterilisasi permukaan dengan 1% Natrium hipoklorit selama 3 menit. Kemudian dibilas dengan air steril sebanyak 3 kali dan dikering anginkan diatas kertas filter

(17)

steril. Larva tersebut kemudian diletakkan dalam petridish berisi tissu lembab steril dan diinkubasikan untuk merangsang pertumbuhan jamur. Spora yang keluar dari tubuhnya kemudian diambil menggunakan jarum inokulasi dan dibiakkan pada PDA (Potato Dextrose Agar) dan diinkubasikan selama 7 hari.

d. Mekanisme infeksi Beauveria bassiana terhadap serangga

Cara cendawan Beauvaria bassiana  menginfeksi tubuh serangga dimulai dengan kontak inang, masuk ke dalam tubuh inang, reproduksi di dalam satu atau lebih jaringan inang, kemudian kontak dan menginfeksi inang baru. Beauveria bassiana  masuk ke tubuh serangga inang melalui kulit, saluran pencernaan, spirakel dan lubang lainnya.

Inokulum jamur yang menempel pada tubuh serangga inang akan berkecambah dan berkembang membentuk tabung kecambah, kemudian masuk menembu s kulit tubuh. Penembusan dilakukan secara mekanis dan atau kimiawi dengan mengeluarkan enzim atau toksin. Pada proses selanjutnya, jamur akan bereproduksi di dalam tubuh inang. Jamur akan berkembang dalam tubuh inang dan menyerang seluruh jaringan tubuh, sehingga serangga mati. Miselia jamur menembus ke luar tubuh inang, tumbuh menutupi tubuh inang dan memproduksi konidia. Dalam hitungan hari, serangga akan mati. Serangga yang terserang jamur Beauveria bassiana akan mati dengan tubuh mengeras seperti mumi dan jamur menutupi tubuh inang dengan warna putih.

Dalam infeksinya, Beauveria bassiana akan terlihat keluar dari tubuh serangga terinfeksi mula-mula dari bagian alat tambahan (apendages)

Gejala pada serangga dewasa yang terinfeks  jamur B.bassiana (a. Gejala 3 hari setelah kematian, b. Gejala 5 hari setelah kematian,

c. Gejala 7 hari setelah kematian, d. Gejala 10 hari setelah kematian)

(18)

seperti antara segmen-segmen antena, antara segmen kepala dengan toraks , antara segmen toraks dengan abdomen dan antara segmen abdomen dengan cauda (ekor). Setelah beberapa hari kemudian seluruh permukaan tubuh serangga yang terinfeksi akan ditutupi oleh massa jamur yang berwarna putih.Penetrasi jamur entomopatogen sering terjadi pada membran antara kapsul kepala dengan toraks atau diantara segmen-segmen apendages demikian pula miselium jamur keluar pertama kali pada bagian-bagian tersebut.

Cara aplikasinya yaitu dengan metode penyemprotan. Serangga yang telah terinfeksi Beauveria bassiana, selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan, baik dengan cara mengeluarkan spora menembus kutikula

keluar tubuh inang, maupun melalui fesesnya yang terkontaminasi. Serangga sehat kemudian akan terinfeksi.

3. Nematoda Patogen Serangga (Heterorhabditis indicus)

Diantara spesies NPS yang diketahui efektif digunakan sebagai agensia hayati untuk mengendalikan hama tanaman adalah Heterorhabditis indicus. H. Indicus  adalah nematoda yang bersimbiosis mutualisme dengan bakteri gram negatif dari famili Enterobacteriaceae. Kompleks nematoda-bakteri ini dalam lingkungan yang sesuai dapat menjadi agen pengendali hayati yang efektif terhadap hama sasaran. Species H. indicus, membawa satu spesies bakteri simbion, Photorhabdus luminescens.  Sel-sel bakteri P. luminescens yang dorman disimpan dalam saluran pencernaan H. indicus. a. Klasifikasi Heterorhabditis indicus

Klasifikasi Heterorhabditis indicus menurut Poinar (1990) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Nematoda

(19)

Kelas : Secermentae Ordo : Rhabditida Famili : Rhabditidae Genus : Heterorhabditis

Species : Heterorhabditis indicus b. Karakteristik Hoterorhabditis indicus

Hoterorhabditis indicus  mempunyai bentuk tubuh sebagaimana cacing, silindris, panjang tubuh betina 479 – 700 μm, tubuh jantan 479-685

μm, sedangkan tubuh juvenil infektif (JI) 479 - 573 μm. Tubuh simentris

bilateral, tidak bersegmen-segmen, mempunyai kutikula sehingga tubuhnya licin, gerakannya fleksibel dan tidak ada gerakan kontraktil memanjang. Terdapat alat pencernaan yaitu mulut, esofagus, intestinum, rektum.

Betina dewasa Heterorhabditis indicus tubuhnya lebih besar dan lebih panjang daripada jantan, pada pertengahan tubuhnya terdapat vulva yang berfungsi untuk perkawinan. Pada bagian kepala terdapat satu mulut dengan enam bibir yang menyerupai gigi dan terdapat satu papilla. Jantan dewasa Heterorhabditis indicus  tubuhnya lebih kecil dan lebih pendek dari betina, ujung posterior melengkung dan terdapat sepasang spikula sebagai alat kopulasi. Kepala spikula pendek, berasal dari penyempitan lamina dan gubernaculum, berukuran setengah dari panjang spikula.

c. Mekanisme serangan Heterorhabditis indicus

Mekanisme patogenitas NPS terjadi melalui simbiosis dengan bakteri patogen Photorhabdus luminescens. Infeksi NPS dilakukan oleh stadium larva instar III atau juvenil infektif (JI) terjadi melalui mulut, anus, spirakel, atau penetrasi langsung membran intersegmental integumen yang lunak. Setelah mencapai homocoel serangga, bakteri simbion yang dibawa akan dilepaskan ke dalam haemolim untuk berkembang biak dan memproduksi toksin yang mematikan serangga. NPS sendiri juga mampu menghasilkan toksin yang mematikan. Dua faktor ini yang menyebabkan NPS mempunyai daya bunuh

(20)

yang sangat cepat. Serangga yang terinfeksi NPS dapat mati dalam waktu 24

– 48 jam setelah infeksi.

d. Perilaku (behavior) Heterorhabditis indicus

Heterorhabditis indicus mempunyai kecendrungan untuk menyebar di seluruh tanah dalam mencari inang. Strategi menjelajah adalah aktif mencari dan mengejar serangga inang, strategi ini digunakan untuk menginvasi inang yang diam. Strategi ini dikarakterisasikan dengan motilitas yang tinggi dan distribusi aktif keseluruh profil tanah, kemampuan untuk orientasi, isyarat inang yang volatil dan penggantian lokasi pencarian setelah kontak inang.

Stadia JI menyimpan sejumlah besar cadangan makanan di dalam tubuhnya untuk melakukan mobilitas dan aktivitas mangsa serta menginfeksi inang. Selama belum menemukan inang daya tahan tubuhnya sangat bergantung pada cadangan makanan yang dimilikinya. Penipisan cadangan makanan ini selain menyebabkan penurunan viabilitas juga menurunkan efektivitas H. indicus .

e. Siklus hidup (life cycle)

Heterorhabditis indicus  memiliki siklus hidup yang sederhana yang terdiri dari 4 stadia juvenil, dan dewasa. Siklus hidup terbagi kedalam siklus reproduktif dan infektif. Siklus infektif dimulai saat serangga terinfeksi oleh JI yang masuk melalui lubang-lubang alami tubuh serangga. Pada siklus reproduktif, JI berubah menjadi juvenil instar ketiga (J3) yang aktif memakan

(21)

produk samping hasil metabolisme bakteri simbion, berganti kutikula menjadi juvenil instar keempat (J4) kemudian berganti kutikula menjadi dewasa. Telur dipro duksi tiga hari setelah invasi nematoda kedalam tubuh serangga. Telur menetas dan berkembang di dalam tubuh induknya menjadi juvenil instar pertama (JI) yang akan berganti kutikula menjadi juvenil instar kedua (J2). Pada stadia J2 nematoda dapat menjalani siklus reproduktif kembali atau memasuki siklus infektif, tergantung kepadatan populasi dan nutrisi inang. Jika nutrisi inang mencukupi dan kepadatan populasi rendah maka J2 berkembang menjadi J3, dan memasuki siklus reproduktif. Sebaliknya bila kepadatan populasi tinggi dan nutrisi sedikit, J2 berkembang menjadi J3 khusus yang bersifat infektif (JI), tidak makan dan mampu hidup di luar tubuh inang serangga.

f. Penyebaran

Pada stadia JI akan aktif meskipun hanya 90 cm ke arah horizontal dan vertikal dalam kurun waktu 30 hari. Penyebaran secara pasif oleh air, angin, inang yang terinfeksi, aktifitas manusia, dan lain-lain dapat menempuh jarak yang luas dan dapat dihitung distribusi penyebarannya. Faktor yang berpengaruh pada motilitas/kematian JI adalah kelembaban, suhu dan tekstur tanah. Faktor yang terpenting adalah kelembaban karena nematoda membutuhkan film air yang menyelubungi area tanah. Di Indonesia H. indicus telah ditemukan di daerah Jawa, Ambon, Bali dan Seram yang umumnya menyukai habitat pantai.

g. Kelangsungan hidup

Faktor abiotik dan biotik sangat mempengaruhi efikasi dan persistensi nematoda entomopatogen untuk mengendalikan serangga hama yang hidup di lingkungan tanah, habitat tersembunyi dan daun. Persistensi JI yang digunakan sangat dipengaruhi faktor instrinsik (tingkah laku, fisiologi, karakteristik genetik) dan ekstrinsik. Faktor ekstrinsik meliputi faktor abiotik (temperatur, kelembaban tanah, tekanan osmotik, tekstur tanah,

(22)

kelembaban, radiasi UV yang ekstrim) dan faktor biotik (antibiosis, kompetisi, dan musuh alami).

h. Perbanyakan Nematoda Patogen Serangga (NPS)

1. NPS dengan populasi 200 juvenil infektil (JI) dalam 10 ml air disebar merata dengan pipet pada dua lapis kertas koran dalam boks plastik. 2. Sebanyak 50 gram ulat hongkong dimasukkan kedalamnya, boks ditutup

rapat selama 2 hari (48 jam), boks di bagian atas diberi kain kasa.

3. Ulat yang mati terinfeksi akan berubah warna menjadi coklat kemerahan, ulat yang terinfeksi kemudian diambil dan diletakkan diatas kain kasa basah pada cawan petri (dalam boks plastik) yang telah diberi aquades 250 ml.

4. Ulang hongkong tersebut diinkubasi selama 14 hari, dan kemudian nematoda siap dipanen.

5. Pemanenan dilakukan 2 hari sekali hingga hari ke -21 setelah inokulasi (panen 3-4 kali selama 7 hari)

6. Nematoda dicuci dengan cara membuang air permukaan, sedimentasi nematoda sebanyak 1– 2 kali dengan spoid sehingga terlihat jernih.

7. Untuk penyimpanan nematoda dimasukkan ke dalam spon lembab pada suhu 100 C, pada suhu tersebut nematoda dapat hidup dan tetap aktif selama 8 bulan.

8. Untuk pemeliharaan Nematoda dapat disimpan dalam toples dengan penambahan air serta dipasang aerator untuk suplai oksigen.

i. Cara dan waktu aplikasi

Cara aplikasinya antara lain:

1. Lahan tanaman yang akan diaplikasikan NPS harus sangat lembab atau macak-macak air.

2. Tangki semprot yang akan digunakan tidak boleh bekas pestisida kimia. 3. Kebutuhan rata-rata per hektar adalah 2,8 liter larutan NPS.

(23)

5. NPS yang disimpan dalam spon basah direndam terlebih dahulu dalam air, agar semua NPS keluar dari spon sebaiknya spon diguyur air yang ditampung ke dalam ember.

6. Jangan dicampur dengan pestisida kimia

Waktu aplikasi yang tepat adalah pada sore

hari karena NPS sangat rentan te rhadap kekeringan. Waktu satu malam cukup bagi NPS untuk menemukan dan menginfeksi inang.

Produk NPS siap pakai berisi  formulasi nematoda di dalam

(24)

BAB III PENUTUP 3.1Kesimpulan

Bipestisida adalah pestisida yang mengandung mikroorganisme seperti bakteri patogen, virus dan jamur. Pestisida biologi yang saat ini banyak dipakai adalah jenis insektisida biologi (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur). Jenis-jenis lain seperti bakterisida, nematisida dan herbisida biologi.

Secara alami, penyakit serangga disebabkan oleh berbagai jenis mikroba, seperti bakteri, jamur, fungi, virus dan protozoa yang sering disebut

sebagai “entomopatogen”.

Insektisida biologi membunuh serangga dengan cara yang sangat berbeda dengan pestisida sintesis. Hal ini membuat pestisida biologi dapat dijadikan alternatif yang layak dipertimbangkan untuk mengatasi kasus-kasus serangga yang telah kebal terhadap pestisida sintesis. Meskipun demikian, bukan berarti pada suatu saat serangga tertentu tidak bisa kebal terhadap pestisida biologi.

Agen hayati yang paling banyak digunakan sebagai insektisida biologi adalah dari jenis bakteri, jamur dan virus. Untuk jenis bakteri dikenal Bacillus thuringiesis, sedangkan untuk jamur yang lazim adalah Beauveria bassiana dan dari golongan nematoda yakni Heterorhabditis indicus.

3.2 Saran

Sebaiknya para penyuluh bekerja ekstra untuk memperkenalkan insektisida biologi kepada para petani sehingga lingkungan dapat. Selain itu karena insektisida biologi dapat mengatasi kasus-kasus serangga yang telah kebal terhadap pestisida sintesis. Walaupun suatu saat serangga tertentu tidak bisa kebal terhadap pestisida biologi.

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Ahlul. 2010. Biopestisida Jamur Kubis Entomopatogenik http://ahlul-leogirl.blogspot.com/2010/05/biopestisida-jamur-kubis.html

Ajuz Yayan. 2012. Makalah Peran Mikroorganisme dalam Pestisida Biologi

http://yayanajuz.blogspot.com/2012/07/makalah-peran-mikroorganisme-dalam.html Google Images

Novizan. 2002. Membuat dan Memanfaatkan Pestisida Ramah Lingkungan. Jakarta: Agro Media Pustaka

(26)

LAMPIRAN PERTANYAAN DARI PESERTA :

1. Andi Ani Kalsum:

Bagaimana siklus atau proses dari cendawan entomopatogen ? 2. Sulhidayat:

Sudah berapa lama biopestisida dikenal di dunia pertanian ? 3. Aulia:

Apa sebabnya sehingga fungisida biologi yang digunakan untuk membasmi cendawan ?

4. Henri:

Bagaimana cara biopestisida digunakan pada tanaman dan bagaimana cara pembiakannya ?

Jawab :

1. Mulanya melakukan penyerangan pada serangga mati yang dilakukan melalui penetrasi langsung pada kutikula. Selanjutnya spora berkecambah melakukan penetrasi terhadap kutikula dan masuk ke homosoel. Cendawan berbentuk hifa, serangga akan mati sedangkan cendawan akan melanjutkan siklus hidupnya dalam fase saprob, setelah itu tubuh serangga yang dipenuhi oleh massa miselium, tubuh rersebut akan mengeras dan berwarna putih kehijau-hijauan atau merah muda. Setelah itu, spora akan diproduksi untuk menginfeksi inang lainnya.

2. Dari kelompok kami kurang tau persis sudah berapa lama biopestisida dikenal dalam dunia pertanian, namun kemunculan biopestisida karena maraknya penggunaan pestisida kimia yang banyak menimbulkan efek negatif.

3. Karena dilihat dari asal katanya biofungisida berasal dari kata latin fungus atau kata Yunani spongos yang berarti jamur, berfungsi untuk membunuh jamur atau cendawan.

4. Cara penggunaan dan perbanyakan dari biopestisida itu berbeda-beda tergantung jenis dan agen hayati yang digunakan. Contohnya yaitu

(27)

Nematoda Patogen Serangga (Heterorhabditis indicus), cara penggunaannya adalah dengan cara penyemprotan dengan syarat:

 Lahan tanaman yang akan diaplikasikan NPS harus sangat lembab

atau macak-macak air.

 Tangki semprot yang akan digunakan tidak boleh bekas pestisida

kimia.

 Kebutuhan rata-rata per hektar adalah 2,8 liter larutan NPS.  Dosis per tangki semprot 14 liter adalah 280 ml larutan NPS.

 NPS yang disimpan dalam spon basah direndam terlebih dahulu

dalam air, agar semua NPS keluar dari spon sebaiknya spon diguyur air yang ditampung ke dalam ember.

 Jangan dicampur dengan pestisida kimia

Adapun cara perbanyakan Nematoda Patogen Serangga (Heterorhabditis indicu)s adalah:

 NPS dengan populasi 200 juvenil infektil (JI) dalam 10 ml air disebar

merata dengan pipet pada dua lapis kertas koran dalam boks plastik.

 Sebanyak 50 gram ulat hongkong dimasukkan kedalamnya, boks

ditutup rapat selama 2 hari (48 jam), boks di bagian atas diberi kain kasa.

 Ulat yang mati terinfeksi akan berubah warna menjadi coklat

kemerahan, ulat yang terinfeksi kemudian diambil dan diletakkan diatas kain kasa basah pada cawan petri (dalam boks plastik) yang telah diberi aquades 250 ml.

 Ulang hongkong tersebut diinkubasi selama 14 hari, dan kemudian

nematoda siap dipanen.

 Pemanenan dilakukan 2 hari sekali hingga hari ke -21 setelah

inokulasi (panen 3-4 kali selama 7 hari)

 Nematoda dicuci dengan cara membuang air permukaan,

sedimentasi nematoda sebanyak 1 –  2 kali dengan spoid sehingga terlihat jernih.

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar rancangan diagram control di atas,masih ada kekurangan, dimana katika system bekerja dengan menggunakan sumber dari PLN, K1 akan mengaktifkan beberapa

Program-program yang telah dilakukan berkaitan dengan kegiatan sosialisasi pajak yang dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak antara lain (Putra et al, 2014). a)

Dimana, dari hasil analisis deskriptif nampak bahwa untuk siswa yang memiliki gaya kognitif field dependent , rata-rata skor hasil belajar matematika siswa yang

(7) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), atas penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu di tempat lain dalam Daerah Pabean oleh pengusaha

Beberapa data yang diambil dalam pengujian ini adalah kecepatan putar rotor, frekuensi listrik keluaran generator, tegangan keluaran generator, arus jangkar generator,

Johnny Widjaja dan Direktur Utama Perseroan (Tn. Andi Mulja, berhenti sejak Juni 1997) dengan provisi kredit 1% (Rp 142.000.000), jatuh tempo untuk fasilitas kredit modal kerja

ini guru model merasa tidak jauh berbeda dengan open lesson ketiga yakni sudah mulai merasa percaya diri, dan masuk kelas tepat waktu sehingga apa yang