118
MITOS DALAM BUDAYA BATAK TOBA DISOROTI DI JEMAAT AGAPE RESSORT
PEMATANG SIANTAR I Oleh:
Marojahan Hutabarat Abstraksi
Sebuah cerita dapat disampaikan melalui
komunikasi verbal maupun non-verbal, maksudnya cerita yang langsung diceritakan dan cerita yang didengar dari orang lain kepada orang tertentu dan ini didapat kita atau ditemukan cerita yang sudah beredar luas di masyarakat.
Mitos adalah sebuah cerita yang beredar luas ditengah-tengah masyarakat, apalagi konteksnya dalam masyarakat Batak Tobasudah beredar cerita-cerita yang beraroma mistis dan magic, seperti kasus begu ganjang, tempat-tempat angker yang banyak terdapat di wilayah Tapanuli Utara (sekarang terbagi menjadi kabupaten Toba Samosir, Humbahas, dan Tapanuli Utara).
Cerita mitos ini sebenarnya memiliki pesan-pesan yang terselubung bagi generasi kita pada masa kini, tinggal bagaimana kita sebagai generasi Batak Toba dapat menyumbangkan mitos yang beraroma mistik dan magis menjadi mitos yang bersifat realitas dan urgensitas dapat dipergunakan.
Segala sesuatu dapat dipakai untuk keperluan hidup kita disini dan kini, tinggal bagaimana mitos dalam sebuah bentuk turi-turian (cerita) dapat ditarik benang merah kepada konteks kehidupan pada masa kini dalam ruang dan waktu tanpa batas. Maka cerita ini akan dapat lestari seiring dengan kebutuhan jaman. Biarlah cerita mitos ini bercerita apa adanya dan bukan mengada-ada.
I. Pendahuluan.
Pada masa lalu dalam konteks kemasyarakatan Batak toba yang tinggal di daerah tapanuli menurut pembagian
119
wilayah pada masa kolonialisme Belanda; orang-orang batak toba masih hidup dalam sistim kepercayaan ‘Paganisme’.
Paganisme adalah sebuah bentuk sistim kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang tinggal di sunia ketiga atau yang masih terbelakang sistim kebudayaan yang diukur dalam sistim dunia barat. Tidak heran sistim pembagian ini masih menimbulkan pro dan kontra pada teknorat yang berada di dunia timur secara khusus para pemikir/teolog yang berada di Indonesia secara khusus di kalangan teolog orang-orang Batak Toba, seperti Pdt. Dr. A. A. Sitompul yang mempopulerkan istilah ‘Teologi In Loco”.
Maka dari sinilah penulis menyoroti pandangan dan pemahaman mitos-mitos yang terdapat dalam sistim masyarakat batak toba secara khusus di jemaat agape HKIP ressort Pematang Siantar
Mitos dalam sistim kemasyarakatan batak toba adalah sebuah cara alat berkomunikasi antara konteks dunia yang diatas [banua ginjang], dengan dunia tengah [banua tonga], dimana manusia tinggal dan menjalani hidup yang real dan mencoba menghadirkan peristiwa-peristiwa dari konteks para makhluk supra naturan yang bersifat baik yang tinggal diatas dan yang jahat yang tinggal dinia bawah [banua toru].
Dan sistim ini kadang kala bersifat ambigu dan dualisme bagi orang-orang yang masih mau menjalani kehidupan pada masa lalu.
II. Sistim Kepercayaan Mitos Dalam Masyarakat Batak Toba.
Mitos adalah sebuah bentuk pengungkapan [ekspresi] simbolis dari nilai-nilai sosial yang menghubungkan praktek-praktek sekarang dengan kepercayaan dan peristiwa masa lalu;
mitos juga adalah sebuah piaham masa lalu1.
Itu berarti nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat Batak Toba tidak ada yang berasal langsung dari atas, melainkan sebuah peristiwa yang terjadi secara kontiniutas yang
1 Basyral Namidy Harahap dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak, Jakarta, Sanggar Willem Iskandar, 1987, hl 62..
120
didalamnya mengalamai sebuah proses evolusi secara berkala. Nilai-nilai itu dapat bersifat sektoral, lokal maupun universal. Misalnya dalam praktek acara kematian dalam budaya batak toba antara praktek di daerah Samosir dan Toba melakukan ritual Sijagaron, tetapi pada konteks masyarakat Humbang dan Silindung praktek ini tidak ada; tetapi dalam merencanakan sebuah kegiatan tersebut di semua wilayah batak toba melakukan ritual Maria raja [bila dilain tempat namanya pangrapotan].
Nilai-nilai inilah dikemudian hari berkembang dalam proses yang panjang dalam masyarakat batak toba dari dahulu sampai pada masa sekarang.
Dan secara lambat-laun nilai-nilai ini dipandang memiliki hal-hal yang sakral dan yang profan; karena dilakukan dalam konteks interaksi antara sesama mereka.
Inilah yang dikemudian hari dalam masyarakat batak toba dipandang sebagai hal yang mutlak dan dalam bentuk umpasa berbunyi ’Tungkot sialagundi, aha na pinungka ompungta na parjolo ido na pinaihutihut ta saonari. Artinya leluhur kita yang memegang tongkat yang bertuah dan apa yang mereka lakukan pada masa lalu menjadi hal yang mutlak harus diperbuat oleh generasi-generasi kita. Inilah hal yang wajar harus diuti oleh setiap orang. Karena dalam sistim masyarakat batak toba orang yang dipandang memiliki kharisma dianggap berasal dari ALLAH.
Faktor inilah yang menjadi perekat bagi orang-orang batak toba, karena bila sesuatu yang berasal dari makhluk surgawi tidak boleh dibantah kebenarannya.
Makhluk surgawi inilah yang diklaim oleh orang batak toba dalam sistim kepercayaaannya sangat begitu komleks; karena makhluk-makhluk tersebut memiliki sebuah tindakan
yang real dan kata-kata yang mumpuni.23
2 Praktek Sijagaron ini hanya dilakukan oleh orang-orang Batak yang berasal dari Samosir dan Toba; pada zaman dahulu kala Sijagaron ini bertujuan untuk membujuk Sahala dari orang sudah meninggal ini agar mau tinggal ditengah-tengah keluarga dalam ruang lingkup kesejahteraan. Hal ini terbukti dengan memasukan butir-butir padi untuk diberkati oleh sahala para leluhurnya.dan jemaat Agape dalam pengalamn penulis menyertai istri dalam
121
Dan konsep ini tidak langsung lahir begitu saja karena menurut hemat penulis hal ini dilatar belakangi dalam konteks Hinduisme yang sudah masuk ke wilayah tapanuli sekitar abab 2 Masehi.
Dan ini terlihat dalam sistim kepercayaan pada orang-orang batak toba yang memandang sejarah adalah sebuah peristiwa yang pernah terjadi dalam konteks pengulangan-pengulangan atau dalam bentuk siklus yang kemungkinan terambil dalam doktrin Hindu dan Budha yang mempercayai tali reinkarnasi, maksudnya bahwa sebuah peristiwa kehidupan yang dialami oleh semua makhluk hidup selalu tersinkronkan dari masa lalu menuju pada masa kini dan akan terjadi terus-menerus pada masa depan.
Rantai kehidupan inilah yang kita kenal dalam bentuk sebuah ungkapan bahwa hidup ini seperti roda yang berbutar terus-menerus yang kadang kali membawa kita ke atas dan juga menurunkan kita ke bawah; tidak ada yang konstan dan yang kekal.
Jadi sebuah mitos itu dalam sistim kemasyarakatan batak toba sangat erat berhubungan dengan makhluk-makhluk surgawi, sehingga dipandang sebagai hal yang sakral; sekaligus sebuah ungkapan bahwa tidak ada satu kekuatan yang paling dominan, karena setiap tempat memiliki kuasa-kuasa yang tidak dapat melakukan intervensi sekaligus.
Inilah yang kemungkinan sekali dalam pemikiran orang barat yang biasa berpikir secara garis lurus dan selalu mengedepankan nalar dan pengalaman dianggap sebagai hal yang membingungkan bahkan bersifat dualisme dan sinkritisme.
Sebuah cerita tentang makluk-makluk supra natural ini penuh dengan muatan-muatansimbolis yang asali dalam konteks masyarakat batak toba. Cerita ini dapat kita lihat dalam pandangan seorang tokoh antropolog indonesia yaitu Shohibul
pelayanan masih ditemykan praktek tersebut; Tetapi motifnya penulis belum dalami.
3 Maria Susai Dhevomony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta, Kanisius, 1995, hl 62.
122
Ansor Serigar yang melihat tokoh-tokoh tersebut seperti yang
penulis ungkapkan diatas yaitu45.
Pertama adalah konsep Debata Mula Jadi Na Bolon yang menduduki posisis yang paling senteral. Debata Mula Jadi Na Bolon sendiri bermakna adalah ALLAH yang Esa yang menjadi asal muasal segala sesuatu kejadian; Debata Mula Jadi Na Bolon yang menjadikan langit dan segala sesuatu beserta isinya. Debata Mula Jadi Na Bolon begitu besar kasihnya kepada orang batak toba yang memberikan roh-Nya menjelma menjadi anak-Nya. Sebagai aparat yang kelak menegakan ajaran-Nya di bumi ini.
Kelihatan konsep ini diambil menurut ajaran Kristen, dan konsep ini juga yang masih diterapkan di agama Parmalim.
Kedua tentang Debata Na Tolu [Tuhan Yang Tiga], kelihatan figur ini terambil dalam konteks Trimurti; ALLAH yang tiga itu terdiri sebagai berikut:
a. Batara guru yaitu asal muasal segala hukum kerajaan
dan hal-hal yang berhubungan dengan adat dan hukum.
b. Sori Sohaliapan yaitu asal muasal kesucian dan
kekudusan.
c. Bala Bulan yaitu asal muasal kekuatan yang
menganugerahkan kemuliaan, kewibawaan dan
kharisma. Dalam bahasa tonggo [doa] agama malim fungsi dari DEBATA bulan ini juga selalu disebutkan sebagai: silehon pargogoihoin asa lam margogo di ngolu dohot haporseaon; Si tiop timbangan harajaon, pinasahat
4 Eka Darmaputera dalam bukunya Pancasila Identitas dan Modrenitas, BPK Gunung Mulia, Jakarta1992, hl 26-30 ;menggambarkan bahwa nilai-nilai yang masuk ke wilayah indonesia ada yang berasal dari India;India adalah negara yang memiliki kekayaan budaya tinggi, hal ini terbukti agama hindu dan budha berasal dari India ini; Bahkan eka Darmaputera
berkeyakinan lapisan kedua budaya yang terdapat dalam konteks Jawa berasal dari India. Dan penulispun setuju dengan pandanga tersebut bila dilacak dari nilai-nilai budaya batak Toba yang terdapat pada masa lalu dan diteruskan dalam prakteknya pada masa kini, secara khusus di jemaat Agape.Tetapi tidak semua nilai-nilai tersebut diterima dan diterapkan secara utuh.
5 Shohibul Ansor Serigar, Perubahan agama malim, Yogyakarta, Terawang Press, hl 76.
123
na tu patuan malim; Pargogo na so hatudoson, na patuat sahala marsangap sahala martua’, artinya pemberi kekuatan spiritual dan intelektual sebagai modal dalam menjalani kehidupan dan meneruskan kepercayaan; yang memegang timbangan kerajaan yang didelegasikan
kepada raja SISINGAMANGARAJA; YANG
MEMEGANG KEIMAMAM YANG DIAMANATKAN
KEPADA PADUKA RAJA IMAM; SUMBER
KEKUATAN YANG TIADA TARA, YANG
MENURUNKAN KESUCIAN, KEMULIAAN DAN KHARISMA.
Ketiga Boru Saniang Naga adalah puteri dari Batara Guru yang berkuasa atas segala air. Kuasa ini juga mencakup tentang bagaimana tata cara penggunaan air untuk kepentingan hidup. Hingga dalam keperluan mandi juga Boru Saniang Naga ini harus disebutkan.
Bila dibuat diagramnya sebagai berikut: Debata
Mula Jadi Na Bolon
Para Malaikat dan Pesuruh
Debata Na Tolu
(Batara Guru Sori Sohaliapan Bala Bulan) Para Malaikat dan Pesuruh
Dunia /Alam Atas
Si Boru Deak Parujar Boru Saniang Naga
Para Malaikat dan Pesuruh
Patuan Raja Uli Si Maribulu Bosi Raja Na Opat Pulu Opat Sisingamangar aja Raja Na Siak Bagi
Para Malaikat dan Pesuruh Dunia /Alam Tengah
Dunia /Alam Bawah
Para Malaikat dan Pesuruh Naga Padoha
124
III. Analisa Mitos Terhadap Jemaat Agape
Di bawah ini penulis menyebarkan angket terhadap 200 responden jemaat agape, dan angket ini berjumlah 12 daftar pertanyaan yang terdiri sebagai berikut:
1. Apakah menurut saudara/i penyebutan Debata dalam
bahasa Batak toba sama saja dengan penyebutan Allah, Tuhan dalam bahasa Indonesia?
A. Percaya sekali C. Kurang percaya
B. Percaya D. Tidak percaya
2. Apakah menurut saudara/i berpendapat bahwa Batara
Guru dalam agama Batak Toba sama saja dengan Allah di dalam Alkitab?
A. Percaya sekali C. Kurang percaya
B. Percaya D. Tidak percaya
3. Apakah menurut saudara/i berpendapat bahwa Sori
Sohaliapan sama saja dalam agama Batak Toba dengan Allah di Alkitab?
A. Percaya sekali C. Kurang percaya
B. Percaya D. Tidak percaya
4. Apakah menurut saudara/i berpendapat bahwa Bala
bulan dalam agama Batak Toba sama saja dengan Allah di Alkitab?
A. Percaya sekali C. Kurang percaya
B. Percaya D. Tidak percaya
5. Apakah menurut saudara/i berpendapat bahwa Si Boru
Deak Parujar dalam agama Batak Toba sama saja dengan Allah di Alkitab?
A. Percaya sekali C. Kurang percaya
B. Percaya D. Tidak percaya
6. Apakah menurut saudara/i berpendapat bahwa Boru
Saniang Naga dalam agama Batak Toba sama saja dengan Allah di Alkitab?
A. Percaya sekali C. Kurang percaya
B. Percaya D. Tidak percaya
7. Apakah menurut saudara/i berpendapat bahwa Patuan
Raja Uli dalam agama Batak Toba sama saja dengan Allah di Alkitab?
125
B. Percaya D. Tidak percaya
8. Apakah menurut saudara/i berpendapat bahwa
Simaribulu Bosi dalam agama Batak Toba sama saja dengan Allah di Alkitab?
A. Percaya sekali C. Kurang percaya
B. Percaya D. Tidak percaya
9. Apakah menurut saudara/i berpendapat bahwa Raja Na
Opat Pulu Opat dalam agama Batak Toba sama saja dengan Allah di Alkitab?
A. Percaya sekali C. Kurang percaya
B. Percaya D. Tidak percaya
10.Apakah menurut saudara/i berpendapat bahwa
Sisingamangaraja dalam agama Batak Toba sama saja dengan Allah di Alkitab?
A. Percaya sekali C. Kurang percaya
B. Percaya D. Tidak percaya
11.Apakah menurut saudara/i berpendapat bahwa Raja Na
Siak dalam agama Batak Toba sama saja dengan Allah di Alkitab?
A. Percaya sekali C. Kurang percaya
B. Percaya D. Tidak percaya
12.Apakah menurut saudara/i berpendapat bahwa Naga
Padoha Ni Aji dalam agama Batak Toba sama saja dengan Allah di Alkitab?
A. Percaya sekali C. Kurang percaya
B. Percaya D. Tidak percaya
P J 1 2 3 4 5 6 Jlh % Jlh % Jlh % Jlh % Jlh % Jlh % A 50 25 6 3 4 2 1 0,5 1 0,5 1 0,5 B 49 24,5 18 9 4 2 4 2 3 1,5 3 1,5 C 1 0,5 30 15 35 17,5 37 18,5 25 12,5 36 18 D 4 2 52 26 56 28 62 37 71 35,5 89 44,5
126 P J 7 8 9 10 11 12 Jlh % Jlh % Jlh % Jlh % Jlh % Jlh % A 1 0,5 1 0,5 1 0,5 1 0,5 1 0,5 1 0,5 B 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 0,5 C 23 11,5 21 10,5 15 7,5 22 11 22 11 24 12 D 74 37 75 37,5 84 42 83 41,5 83 41,5 77 38,5
Jumlah rata-rata dari presentasi keseluruhan untuk jawaban A
2,8% dan dari jumlah responden yang menjawab 69 orang sama dengan 5,7%
Jumlah rata-rata dari presentasi keseluruhan untuk jawaban B
3,8% dan responden yang menjawab 108 = 9%
Jumlah rata-rata dari presentasi keseluruhan untuk jawaban C
11,4% dan dari responden yang menjawab 201= 16,6%
Jumlah rata-rata dari presentasi keseluruhan untuk jawaban D
32,5% dan dari responden yang menjawab 892= 74,5% KOMENTAR
Bila dilihat dalam konteks jemaat Agape yang berada atau yang berdomisili di P. Siantar memiliki pemahaman yang dualistis; hal ini dibuktikan dari jawaban para responder yang menjawab point c yang memilih “Kurang percaya 11% dari rata-rata jumlah yang menjawab angket tersebut sekitar 16,6%. Dan hal ini dikaitkan lagi dari jawaban para responder untuk point rata-rata nilai A 2,8% dari yang menjawab angketnya sekitar 5,7%; dan bila ditilik lagi untuk jaaban para responder untuk nilai rata-rata B 3,8% dari jumlah angketnya 10,8%.
Itu berarti bila dijumlahkan orang-orang tidak percaya tentang mitos bila dijumlahkan dari nilai A, B, C sekitar 18% berbanding yang menolak sama sekali konsep dari mitos yang terdapat di jemaat agape ini sekitar 32%; itupun 32% itu masih jauh belum menuju level 60% keatas.
Jangan-jangan jemaat masih bingung untuk membedakan antara nilai-nilai yang sudah ada pada konteks budaya Batak Toba dengan realitas nilai-nilai iman berdasarkan “Standart Gerejawi”
127
Kemungkinan yang kedua jemaat Agape ini sudah mendalami dan memahami nilai-nilai Kekristenan itu secara benar dan sehat; Tetapi penulis berasumsi bahwa kemungkinan kedua ini masih jauh dari yang sebenarnya. Hal ini terbukti masih banyak jemaat mempraktekkan nilai-nilai Habatakon secara langsung.
IV. Kesimpulan.
Orang Batak Toba tidak dapat dicabut dari akar budayanya karena ia masih hidup ditengah-tengah realitas yang kongkret, bukan di dunia ”Utopia”. Maka dari sinilah peran gereja untuk menstabilkan dan memurnikan nilai-nilai Kekristenan itu jangan bercampur baur (Marsaok), melainkan harus dapat menyeimbangkan dan bahkan mensterilkan nilai-nilai yang berasal dari Paganisme itu secara utuh.
Inilah tugas dan tanggung jawab gereja terhap nilai-nilai yang masih dipandang agak begitu negatif.
V. Kepustakaan
Darmaputera, Eka, Pancasila Identitas dan Modrenitas, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1992.
Dhavomony, Maria Susai, Fenomenologi Agama, kanisius, Yagyakarta, 1995.
Namidy, Basyral dan Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak, Sanggar Willem Iskandar, Jakarta, 1987. Siregar, Shohibul Ansor, Perubahan Agama Malim, Terawang