• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN TEORI. terapeutik, komunikasi interpersonal, persiapan tindakan operasi dan kecemasan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN TEORI. terapeutik, komunikasi interpersonal, persiapan tindakan operasi dan kecemasan."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II TINJAUAN TEORI

Dalam tinjauan teoritis ini akan dibahas tentang konsep dasar hubungan terapeutik, komunikasi interpersonal, persiapan tindakan operasi dan kecemasan.

2.1. Konsep Hubungan terapeutik 2.1.1 Pengertian

Hubungan terapeutik adalah kemampuan seseorang melakukan suatu interaksi atau mengkomunikasikan perkataan, perbuatan, atau ekspresi yang memfasilitasi proses penyembuhan (Stuart dan Sundeen,1995). Hubungan terapeutik perawat-pasien adalah pengalaman belajar bersama dan pengalaman untuk memperbaiki emosi pasien. Pengertian lain menurut Liliweri (2008 ) komunikasi dalam hubungan terapeutik berkaitan dengan proses pertukaran pengetahuan, meningkatkan konsesus, mengidentifikasi aksi-aksi yang berkaitan dengan kesehatan yang mungkin dapat dilakukan secara efektif. Dalam hubungan ini perawat memakai diri sendiri dan teknik pendekatan yang khusus dalam bekerja dengan pasien untuk memberikan pengertian dan merubah prilaku pasien (Machfoedz, 2009).

2.1.2 Tujuan Hubungan Terapeutik

Hubungan terapeutik perawat – pasien bertujuan untuk perkembangan pasien (Nurjanah, 2005) yaitu :

a. Kesadaran diri, penerimaan diri, dan penghargaan diri yang meningkat. b. Pengertian yang jelas tentang identitas diri dan integritas diri .

(2)

c. Kemampuan untuk membina hubungan erat, interdependen, pribadi dengan kecakapan menerima dan memberi kasih sayang.

d. Kemampuan untuk membentuk suatu keintiman dan saling ketergantungan. e. Mendorong fungsi dan meningkatkan kemampuan terhadap kebutuhan yang

memuaskan dan mencapai tujuan pribadi yang realistik.

2.1.3 Tahapan Hubungan Terapeutik

Dalam proses, perawat membina hubungan sesuai tingkat perkembangan pasien dalam menyadari dan mengidentifikasi masalah dan membantu memecahkan masalah. Tahapan hubungan terapeutik ini dibagi dalam empat tahapan atau fase yaitu pra interaksi, orientasi atau perkenalan, kerja, dan terminasi.

a. Pra interaksi

Prainteraksi mulai sebelum kontak pertama dengan pasien. Perawat mengeksplorasikan perasaan, fantasi dan ketakutannya, sehingga kesadaran dan kesiapan perawat untuk melakukan hubungan dengan pasien dapat dipertanggung jawabkan. Perawat yang sudah berpengalaman dapat menganalisa diri sendiri serta nilai tambah pengalamannya berguna agar lebih efektif dalam memberikan asuhan keperawatan. Perawat harus mempunyai konsep diri yang stabil dan harga diri yang adekuat, mempunyai hubungan yang konstruktif dengan orang lain dan berpegang pada kenyataan dalam menolong pasien (Stuart dan Sundeen, 1987). Tugas tambahan pada fase ini adalah mendapatkan informasi tentang pasien dan menentukan kontak pertama.

(3)

b. Perkenalan atau orientasi

Fase ini dimulai dengan pertemuan dengan pasien. Hal utama yang perlu dikaji adalah alasan pasien minta pertolongan yang akan mempengaruhi terbinanya hubungan perawat-pasien. Dalam memulai hubungan, tugas utama adalah membina rasa percaya, penerimaan, dan pengertian, komunikasi yang terbuka dan perumusan kontrak dengan pasien. Stuart dan Sundeen (1987) mengatakan elemen-elemen kontrak perlu diuraikan dengan jelas pada pasien sehingga kerja sama perawat-pasien dapat optimal. Diharapkan pasien berperan serta secara penuh dalam kontrak. Perawat dan pasien mungkin mengalami perasaan tidak nyaman, bimbang karena memulai hubungan yang baru. Pasien yang mempunyai pengalaman hubungan interpersonal yang menyakitkan akan sukar menerima dan terbuka pada perawat. Dimana pada tahap ini tugas perawat adalah mengeksplorasikan pikiran, perasaan, perbuatan pasien, dan mengidentifikasi masalah,serta merumuskan tujuan bersama pasien.

c. Kerja

Pada fase ini, perawat dan pasien mengungkapkan stressor yang tepat dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi, pikiran, perasaan dan perbuatan pasien. Perawat membantu pasien mengatasi kecemasan, meningkatkan kemandirian dan tanggung jawab diri sendiri, dan mengembangkan mekanisme coping yang konstruktif. Perubahan perilaku maladaptif menjadi adaptif merupakan fokus fase ini.

(4)

d. Terminasi

Terminasi merupakan fase yang sangat sulit dan penting dari hubungan terapeutik. Rasa percaya dan hubungan erat yang terapeutik sudah terjalin dan berada pada tingkat yang optimal. Perawat dan pasien, akan merasakan kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau pasien akan pulang. Dimana perawat dan pasien bersama-sama meninjau kembali proses perawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Proses terminasi yang sehat akan memberi pengalaman positif dalam membantu pasien mengembangkan koping untuk perpisahan. Terminasi yang mendadak dan tanpa persiapan mungkin dipersepsikan pasien sebagai penolakan, atau dengan harapan perawat tidak akan mengakhiri hubungan karena pasien masih memerlukan bantuan perawat (Keliat,1992).

2.1.4 Komponen Hubungan Terapeutik

Komponen-komponen hubungan terapeutik perawat dengan pasien terdiri dari enam komponen :

a. Kualitas personal/pribadi perawat

Fokus analisa diri perawat adalah kesadaran diri, klarifikasi nilai, pengungkapan perasaan, dan rasa tanggung jawab.

1. Kesadaran diri perawat, merupakan kemampuan seseorang untuk memahami diri sendiri baik perilaku, perasaan maupun pikirannya sendiri. Pemahaman dan penerimaan diri akan membuat perawat menghargai perbedaan dan keunikan yang dimiliki pasien. Menurut Stuart dan Sundeen yang dikutip Keliat (1992), kesadaran diri dapat ditingkatkan melalui tiga cara : a)

(5)

Mempelajari diri sendiri meliputi proses pengungkapan diri, pikiran, perasaan, perilaku, termasuk pengalaman yang menyenangkan, hubungan interpersonal dan kebutuhan pribadi, b) Belajar dari orang lain, merupakan suatu kesedian dan keterbukaan menerima umpan balik dari orang lain c) Membuka diri merupakan salah satu kriteria kepribadian yang sehat. Kesadaran diri dapat ditingkatkan agar penguasaan diri secara terapeutik dapat lebih efektif.

2. Klarifikasi nilai, Covey (1997) mengatakan bahwa metode dimana seseorang menemukan nilai-nilainya sendiri dengan mengkaji, mengungkapkan dan menentukan nilai-nilai pribadi serta bagaimana nilai-nilai tersebut digunakan sebagai acuan dalam mengambil keputusan. Hal ini perlu dilakukan karena nilai itu bermacam-macam, dari sinilah seorang yang proaktif mendasarkan pemilihan responnya, pilihan tersebut merupakan hasil dari pertimbangan yang matang berdasarakan nilai bukan emosi sesaat. Perawat sebaiknya mempunyai sumber kepuasan dan rasa aman yang cukup, sehingga tidak menggunakan pasien untuk kepuasan dan keamanannya.

3. Pengungkapan perasaan, disini dilakukan terhadap hubungan seseorang dengan lingkungan luar atau interaksinya dengan orang lain. Perawat perlu terbuka dan sadar terhadap perasaannya, dan mengontrol agar dapat menggunakan diri secara terapeutik. Jika perawat terbuka pada perasaannya akan mendapatkan bagimana informasi tentang respon dan penampilan pada pasien.

(6)

4. Etik dan tanggung jawab, perawat mempunyai kode etik dan tanggung jawab tertentu yang mengambarkan nilai-nilai yang terdapat dalam hubungan perawat dengan pasien. Dengan demikian perawat perlu memahami kode etik keperawatan dan menggunakan kode etik dalam melaksanakan tugas.

b. Fasilitasi Komunikasi

Komunikasi pada dasarnya dapat menjadi suatu alat untuk memfasilitasi dan tanpa komunikasi tidak mungkin terjadi hubungan terapeutik antara perawat–pasien. Menurut Wilson dan Kneisi (1983), fasilitasi komunikasi bertujuan untuk memulai, membangun dan membina keterlibatan dan hubungan saling percaya, antara perawat dan pasien. Dalam berkomunikasi faktor yang perlu diperhatikan agar hubungan dapat berlangsung secara efektif diperlukan suatu pengenalan kesadaran diri sendiri dan mengenal orang lain dengan demikian tujuan komunikasi dapat tercapai. Dalam proses komunikasi ada beberapa faktor yang yang mempengaruhi, sehingga komunikasi yang dibangun tidak dapat berlangsung secara efektif antara lain : 1) perkembangan, 2) persepsi, 3) nilai atau standar, 4) latar belakang sosial budaya, 5) emosi, 6) jenis kelamin, 7) pengetahuan, 8) peran dan hubungan, 9) lingkungan, dan 10) jarak.

c. Dimensi respon

Menurut Stuart and Sundeen dikutip dari Keliat (2003), dimensi respon terdiri dari respon perawat yang ikhlas, menghargai, empati dan konkrit. Dimensi respon sangat penting pada awal berhubungan dengan pasien untuk membina hubungan saling percaya dan komunikasi yang terbuka.

(7)

1. Keikhlasan, perawat menyatakan melalui keterbukaan, kejujuran, ketulusan, dan berperan aktif dalam hubungannya dengan pasien. Perawat berespon dengan tulus, tidak berpura-pura, mengungkapkan perasaan yang sebenarnya dan spontan.

2. Menghargai, perawat menerima pasien apa adanya. Sikap perawat tidak menghakimi, tidak mengkritik, tidak mengejek, atau tidak menghina. Rasa menghargai dapat dikomunikasikan melalui duduk diam bersama pasien yang menangis, minta maaf pada hal yang tidak disenangi pasien.

3. Empati, merupakan kemampuan masuk dalam kehidupan pasien agar dapat merasakan pikiran dan perasaannya. Perawat memandang melalui pandangan pasien, merasakan melalui perasaan pasien dan kemudian mengidentifikasi masalah pasien, serta membantu pasien mengatasi masalah tersebut.

4. Konkrit, Perawat harus dapat menghindari keraguan dan ketidakjelasan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan: a) mempertahankan respon perawat terhadap pasien, b) memberikan penjelasan yang akurat, c) mendorong pasien memikirkan masalahnya.

d. Dimensi Tindakan

Dimensi tindakan tidak dapat dipisahkan dengan dimensi respon. Tindakan yang dilaksanakan harus dalam konteks kehangatan dan pergertian Stuart dan Sundeen (dikutip oleh Keliat,1992), dimensi tindakan terdiri dari konfrontasi, kesegeraan, keterbukaan, emosional catharsis..

1. Konfrontasi, konfrontasi merupakan ekspresi perasaan perawat tentang perilaku pasien yang tidak sesuai.

(8)

Carkhoff (1988) yang dikutip oleh Keliat (1992), mengidentifikasi ada tiga kategori yaitu: a) Ketidaksesuaian antara konsep tentang diri pasien dan ideal diri pasien, b) Ketidaksesuaian antara ekspresi non verbal dan perilaku pasien, c) Ketidaksesuaian antara pengalaman pasien dan perawat. Sebelum melakukan konfrontasi, perawat perlu mengkaji tingkat hubungan saling percaya, waktu yang tepat, tingkat kecemasan pasien, dan kekuatan coping pasien. Konfrontasi ini berguna untuk meningkatkan kesadaran pasien akan kesesuaian perasaan, sikap, kepercayaan dan perilaku yang dilakukan secara asertif.

2. Kesegeraan, kesegeraan berfokus pada interaksi dan hubungan perawat- pasien saat ini. Perawat sensitif terhadap perasaan dan berkeinginan membantu pasien dengan segera.

3. Keterbukaan perawat, perawat memberikan informasi tentang dirinya, idealnya, perasaanya, sikap dan nilainya. Perawat

membuka diri tentang pengalaman yang berguna. Keterbukaan antara perawat dan pasien akan menurunkan tingkat kecemasan perawat-pasien (Keliat,1992).

4. Emosional Catharsis, terjadi jika pasien diminta bicara tentang hal yang sangat menganggu dirinya seperti ketakutan, perasaan, dan pengalaman. Jika terjadi hubungan perawat – pasien dimana pasien menyadari perasannya dalam suasana yang diterima dan aman ,maka pasien akan memperluas kesadaran dan penerimaan pada dirinya. Menurut Goldstein (1975), yang dikutip oleh Smet (1994), mengatakan makin baik hubungan interpersonal

(9)

perawat dengan pasien makin terbuka pasien mengungkapkan perasaannya dan makin cenderung mendengarkan dengan penuh perhatian serta bertindak atas nasehat yang diberikan oleh perawat.

2.1.4 Pengukuran Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien

Menurut Stuart dan Sundeen , dalam Cristina, dkk., (2003) Hubungan terapeutik perawat-pasien diukur dengan tahapan-tahapan hubungan terapeutik. Untuk melihat hubungan terapeutik yang dilakukan perawat kepada pasien dinilai dari dimensi respon dan dimensi tindakan. Alat ukur yang digunakan terdiri dari 21 pertanyaan, masing-masing pertanyaan diberikan penilaian (score) 1-3 yang artinya adalah: nilai 1= tidak pernah, 2= kadang-kadang, 3= ya. Masing-masing score dari ke 21 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan hasil dari penjumlahan tersebut dapat diketahui penerapan hubungan terapeutik perawat kepada pasien yaitu: total score < 30= hubungan terapeutik kurang, 30-50= hubungan terapeutik sedang, dan > 50= hubungan terapeutik baik (Penelitian Dewi, Suarniati, dan Ismail, 2013)

2.2 Komunikasi Interpersonal

Menzies (1970), mengatakan ada beberapa kajian terakhir yang mengidentifikasi masalah komunikasi sebagai penyebab yang harus selalu diperhatikan dalam proses pemberian pelayanan kesehatan. Alasan yang paling sering disebut antara lain: kurangnya ketrampilan dan pelatihan, kurangnya sumber daya dan waktu, kepekaan emosional, dan letak emosional. Peplau (1988) mengatakan bahwa keperawatan pada intinya merupakan sebuah proses interpersonal, maka perawat

(10)

yang kompeten harus menjadi komunikator yang efektif dan setiap perawat mempunyai tanggung jawab untuk memperhatikan perkembangnya sendiri. Ada empat faktor utama yang menunjang terjadinya masalah komunikasi dalam perawatan yang nantinya akan mempengaruhi hubungan perawat dengan pasien yaitu : kurangnya kesadaran diri perawat, kurangnya ketrampilan interpersonal yang sistematik, kurangnya kerangka konseptual dan kurangnya kejelasan tujuan:

a. Kurangnya kesadaran diri perawat

Kesadaran diri perawat akan aspek – aspek diri sendiri sangat mempengaruhi interaksi dengan orang lain. Faktor pribadi yang mempengaruhi seperti sikap, nilai-nilai, kepercayaan, perasaan dan perilaku. Kesadaran diri perawat akan menghasilkan interaksi yang lebih produktif dan penggunaan diri lebih berarti serta akan mengubah potensi kegagalan. Purba (2008) mengatakan perawat perlu mengembangkan kesadaran diri yang akut manakala terlibat dalam interaksi dan hubungan dengan pasien, melalui kesadaran diri perawat akan tahu apa yang sedang pasien lakukan dan bagaimana tindakannya mempengaruhi pasien yang sedang dirawat. Kesadaran diri perawat perlu ditingkatkan agar penggunaan diri secara terapeutik dapat lebih efektif. Ellis (1974 ) menyatakan bahwa unsur inti dari hubungan pertolongan adalah kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan perhatian positif yang tidak bersyarat. Unsur-unsur ini sangat diperlukan untuk mendapatkan perubahan yang konstruktif bagi pasien dalam situasi terapeutik.

(11)

b. Kurangnya pelatihan keterampilan interpersonal yang sistematik

Keterampilan yang sistematis mempunyai peranan dalam proses menjadikan seseorang komunikator yang efektif dan kompeten, serta dapat mengintegrasikan keterampilan yang sudah dikenalnya kedalam gaya komunikasi yang unik. Keterampilan interpersonal meliputi keterampilan verbal dan non verbal yang terdiri dari keterampilan mendengarkan dengan penuh perhatian, menujukkan penerimaan, mengulangi ucapan pasien dengan menggunakan kata kata sendiri, memfokuskan pembicaraan, menganjurkan pasien untuk menguraikan persepsinya dan memberikan kesempatan kepada pasien memulai pembicaraan. Keterampilan tersebut, akan dipraktekkan sampai kompetensi dicapai. Egan (1990) memperhatikan seringkali tidak memiliki keterampilan dasar untuk menolong (keterampilan interpersonal ).

c. Kurangnya kerangka konseptual

Dunn (1991) Perawat yang menunjukkan kompetensi dalam penerapan keterampilan interpersonal kadang-kadang dapat menggunakan cara yang khusus (dikutip oleh Ellis,1999). Dibutuhkan sebuah kerangka teoritis yang memberikan informasi dan menyediakan sebuah struktur untuk analisis, refleksi dan evaluasi interaksi. Upaya untuk memahami hubungan tanpa sebuah konsep adalah hal yang bemasalah. Adalah penting bagi perawat untuk mengkonseptualisasikan apa yang sedang perawat lakukan untuk memastikan bahwa keterampilan digunakan dengan cara yang koheren dan strategis. Dan akan terungkap dalam model kerangka konseptual yang jelas seperti model keperawatan Orem (1985), dimana area kerja perawat adalah membina dan mempertahankan hubungan

(12)

terapeutik perawat-pasien menentukan kapan sesorang membutuhkan bantuan, memperhatikan respon pasien (Jumadi,1999) Model Betty Neuman (1982) meletakkan dasar bagi komunikasi terbuka antara perawat dan pasien dalam keterlibatan perawat yang efektif. Model yang diterapkan ini, berfokus pada individu dan respon atau reaksi individu terhadap stress termasuk faktor-faktor yang mempengaruhi dan kemampuan adaptasi pasien (Gaffar,1999).

d. Kurangnya kejelasan tujuan

Hubungan yang efektif akan mempunyai angka keberhasilan dalam membuat pilihan yang benar pada situasi-situasi yang dihadapi karena perawat mengetahui dengan jelas tentang tujuan atau maksud dari setiap interaksi (Ellis,1999). Ini memungkinkan untuk membeda-bedakan dan memilih pilihan yang cocok dengan situasi tertentu. Biasanya bukan perawat yang menentukan tujuan interaksi tetapi kebutuhan pasien. Proses ini, membutuhkan kepekaan dan empati agar perawat mampu membaca situasi secara tepat dan menilai apa yang diperlukan serta mengetahui tujuan yang jelas, dan melakukan secara strategis.

2.3 Persiapan Tindakan Operasi

Tindakan pre operasi penting sekali untuk memperkecil resiko operasi karena hasil akhir suatu pembedahan sangat bergantung pada penilaian keadaan pasien dan persiapan pre operasi (Brunner & Suddarth, 2002). Dalam persiapan ditentukan indikasi atau kontra indikasi operasi, toleransi pasien terhadap tindakan bedah dan ditetapkan waktu yang tepat untuk melaksanakan pembedahan. Menurut Lukman dan Sorensen (1993) tindakan keperawatan pre

(13)

operasi yang dilakukan setelah diputuskan melakukan pembedahan adalah untuk mempersiapkan pasien agar penyulit paska bedah dapat dicegah sebanyak mungkin. Tindakan bedah adalah upaya yang dapat mendatangkan stress karena terdapat ancaman terhadap tubuh, integritas dan terhadap jiwa seseorang. Perawat berada dalam posisi untuk memberikan bantuan kepada pasien agar bisa menyesuaikan dengan stressor (Meyer & Gray, 2001).

2.3.1 Persiapan mental

Persiapan mental pasien sebelum menjalani tindakan operasi meliputi tiga hal penting yaitu :

a. Informasi

Menurut Long (1996), informasi merupakan fungsi untuk mengurangi rasa cemas. Pasien yang menerima informasi yang benar sebelum menghadapi prosedur tindakan, tujuan operasi dan efek sampingnya lebih dapat melakukan perawatan yang mandiri (Keliat,1998). Adapun informasi yang harus diterima pasien meliputi prosedur dan resiko yang mungkin terjadi, alternatif tindakan yang dapat dipilih, perubahan bentuk dan penampilan, anestesi yang digunakan ( kondisi pada periode pasca operasi dan biaya operasi ).

b. Dukungan

Merupakan dukungan dari petugas kesehatan dan terutama dari keluarga. Dari petugas kesehatan dapat berupa informasi tentang operasi serta cara kerja yang profesional dalam mempersiapkan operasi. Sedangkan dari keluarga dapat berupa kasih sayang, doa, kehadiran, dan keuangan.

(14)

c. Post op Exercise

Misalnya diagfragmatic breathing, turning and leg exercise, dsb. Post op exercise dapat meningkatkan kepercayaan diri pasien dalam menghadapi operasi. 2.3.2 Persiapan fisik

Persiapan fisik meliputi persiapan berbagai sistem tubuh dan organ, keadaan gizi pasien, pemeriksaan laboratorium, foto dan pemasangan alat perawatan sesuai prosedur operasi serta penyulit pasca bedah lainnya yang mungkin timbul.

2.3.3 Persetujuan tindakan medik

Merupakan perjanjian legal antara dokter dan pasien yang harus ditanda tangani oleh pasien / orang tua / wali sebelum dokter melakukan tindakan (Appelbaum, 1987).

2.4 Konsep Kecemasan 2.4.1 Pengertian Kecemasan

Kecemasan adalah perasaan yang tidak menyenangkan atau ketakutan yang tidak jelas dan hebat. Hal ini terjadi sebagai reaksi terhadap sesuatu yang dialami oleh seseorang (Nugroho, 2008).

Kecemasan merupakan gangguan alam perasaan (affective) yang ditandai dengan perasaan ketakutan atau kekhawatiran yang mendalam dan berkelanjutan tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (masih baik), kepribadian tetap utuh dan prilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal (Hawari, 2001).

(15)

2.4.2 Rentang Respon dan Proses Adaptasi Terhadap Cemas

Stuart dan Sundeen (2000) mengatakan rentang respon individu berfluktuasi antara respon adaptif dan maladaptif seperti :

Adatif Maladatif

Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik Gambar 2.1 Rentang Respon Adaptif dan Maladaptif

Roy (1992) mengatakan manusia mahluk yang unik karenanya mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap cemas tergantung kemampuan adaptasi ini dipengaruhi oleh pengalaman berubah dan kemampuan koping individu. Menurut Stuart & Sundeen (2000) koping adalah mekanisme mempertahankan keseimbangan dalam menghadapi stress. Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi dua yaitu :

a. Mekanisme Koping Adaptif

Adalah mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah berbicara dengan orang lain, memecahkan masalah secara efektif, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif.

(16)

b. Mekanisme Koping Maladaptif

Adalah mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan / tidak makan, bekerja berlebihan dan menghindar.

2.4.3 Tingkat Kecemasan

Menurut Stuart & Sundeen (2000), tingkat kecemasan dibagi menjadi empat tingkatan yaitu :

a. Ansietas ringan

Pada fase ini pasien akan merasa :

1. Berhubungan dengan ketegangan dalam peristiwa sehari-hari. 2. Kewaspadaan meningkat.

3. Persepsi terhadap lingkungan meningkat.

4. Dapat menjadi motivasi positif untuk belajar dan menghasilkan kreativitas. 5. Respon kognitif tampak mampu menerima rangsangan yang kompleks,

konsentrasi pada masalah, menyelesaikan masalah secara efektif dan terangsang untuk melakukan tindakan.

6. Respon prilaku dan emosi terlihat tidak dapat duduk tenang dan kadang– kadang suara meninggi.

(17)

b. Ansietas sedang

Pada fase ini akan muncul respon sebagai berikut :

1. Respon fisiologis terlihat sering nafas pendek, tekanan darah meningkat, mulut kering, anoreksia, sakit kepala, letih dan sering berkemih.

2. Respon kognitif tampak memusatkan perhatiannya pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain, lapang persepsi menyempit, dan rangsangan dari luar tidak mampu diterima.

3. Respon perilaku dan emosi terlihat gerakan tersentak–sentak, terlihat lebih tegang, bicara banyak, dan lebih cepat, susah tidur dan perasaan tidak aman.

c. Ansietas berat

Pada fase ini individu cenderung memikirkan hal yang kecil saja serta mengabaikan hal yang lain, dan respon yang muncul antara lain :

1. Respon fisiologis tampak nafas pendek, nadi dan tekanan darah naik, berkeringat dan sakit kepala, pengelihatan kabur, serta tampak tegang. 2. Respon kognitif tampak tidak mampu berfikir berat dan membutuhkan

banyak pengarahan/tuntunan, serta lapang persepsi menyempit.

3. Respon perilaku dan emosi tampak adanya perasaan terancam yang meningkat dan komunikasi terganggu (verbalisasi cepat).

d. Ansietas sangat berat / panik

Pada fase ini respon yang muncul antara lain :

1. Respon fisiologis tampak nafas pendek, rasa tercekek, sakit dada, pucat, hipotensi, serta rendahnya koordinasi motorik.

(18)

2. Respon kognitif terjadi gangguan realitas, tidak dapat berfikir logis, persepsi terhadap lingkungan mengalami distorsi dan ketidakmampuan memahami situasi.

3. Respon perilaku dan emosi terlihat mengamuk dan marah, ketakutan, berteriak – teriak, kehilangan kendali / kontrol diri, perasaan terancam serta dapat berbuat sesuatu yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.

2.4.4 Faktor Pencetus Kecemasan

Faktor yang dapat menjadi pencetus seseorang merasa cemas dapat berasal dari diri sendiri (faktor internal) maupun dari luar dirinya (faktor eksternal). Namun demikian pencetus ansietas dapat dikelompokkan kedalam dua kategori:

a. Ancaman terhadap integritas diri, meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan dalam melakukan aktivitas sehari–hari guna pemenuhan kebutuhan dasarnya.

b. Ancaman terhadap sistem diri yaitu adanya sesuatu yang dapat mengancam terhadap identitas diri, harga diri, kehilangan status/peran diri dan hubungan interpersonal.

2.4.5 Dampak Kecemasan

Dampak yang paling umum dari kecemasan adalah rasa tidak nyaman baik secara fisik maupun secara psikologis (Hawari, 2008). Kecemasan itu adalah suatu proses melelahkan karena memerlukan tenaga tubuh, sumber-sumber fisik dan psikologis (Rasmun, 2004). Dampak dari kecemasan terhadap integritas dan kesehatan seseorang adalah menurunnya daya tahan tubuh karena pada saat

(19)

mengalami kecemasan maka tubuh akan mengeluarkan hormon kortisol yang mempunyai efek menekan sistem kekebalan tubuh (Wardhana, 2010).

2.4.6 Pengukuran Kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan digunakan alat ukur kecemasan. Ada dua jenis alat ukur yang sering di gunakan untuk menilai tingkat kecemasan, alat ukur yang sering digunakan adalah Halmiton Anxiety Rating Scale (HARS) dan Depression Anxiety Stress Scale (DASS).

a. Alat ukur HARS

Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang didasarkan pada munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 symptoms yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe). Penilaian kecemasan terdiri dari 14 item, meliputi : perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan kecerdasan, perasaan depresi, gejala somatik, gejala sensorik, gejala kardiovaskuler, gejala pernafasan, gejala gastroinstensinal, gejala urogenital, gejala vegetative, dan perilaku sewaktu wawancara. Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dan kategori : nilai 0= tidak ada gejala sama sekali, 1= satu dari gejala yang ada, 2= sedang atau separuh gejala yang ada, 3= berat/lebih dari setengah gejala yang ada, 4= sangat berat/semua gejala ada. Masing-masing score dari ke 14 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu: <6= tidak ada kecemasan, 7-14= kecemasan ringan, 15-27= kecemasan sedang, >27= kecemasan berat.

(20)

b. Alat ukur DASS

Menurut Hardjanah 1994 (dalam Sriati 2008) DASS adalah seperangkat skala subyektif yang dibentuk untuk mengukur status emosional negatif dari depresi, kecemasan dan stress. DASS 42 dibentuk tidak hanya mengukur secara konvensional mengenai status emosional, tetapi untuk proses yang lebih lanjut untuk pemahaman, pengertian, dan pengukuran yang berlaku dimanapun dari status emosional secara signifikan biasanya digambarkan dengan stress. DASS baik digunakan untuk individu maupun kelompok untuk tujuan penelitian.

Pengukuran skala kecemasan menilai gairah otonom, efek otot rangka, kecemasan situasional, dan pengalaman subjektif yang mempengaruhi cemas. Alat ukur ini terdiri dari 14 pertanyaan. Masing-masing pertanyaan diberikan penilaian (score) antara 0-3, yang artinya adalah : nilai 0 = tidak pernah, 1 = kadang-kadang, 2 = lumayan sering, 3 = sering sekali. Masing-masing score dari ke 14 pertanyaan tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang yaitu : total score 0-7 = tidak ada kecemasan, 8-9 = kecemasan ringan, 10-14 = kecemasan sedang, 15-19 = kecemasan berat, >20 = kecemasan sangat berat (Lovibond, 1995).

Dari 2 jenis alat ukur kecemasan diatas, alat ukur dengan menggunakan DASS yang dipilih dan dianggap sesuai dengan penelitian ini. DASS menggunakan klasifikasi penilaian yang lebih jelas dan lebih mudah dipahami, setiap item pertanyaan DASS lebih menggali kondisi psikologis yang dirasakan pasien yang mencirikan pasien yang sedang mengalami kecemasan.

(21)

2.4.7 Hubungan Terapeutik Perawat-Pasien dengan Tingkat Kecemasan

Penerapan hubungan terapeutik perawat-pasien sangat berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pasien pre operasi. Keberhasilan hubungan tersebut sangat dipengaruhi oleh kemampuan perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan langsung kepada pasien. Status pasien dalam hubungan perawat-pasien merupakan hubungan interdependent dan perawat memberikan alternatif dan membantu pasien dalam proses pemecahan masalah yang dihadapi (Cook dan Fontaine,1987). Dalam hubungan terapeutik tersebut, perawat harus mampu membina hubungan saling percaya serta tindakan yang dilaksanakan dalam konteks kehangatan dan pengertian. Maka berdasarkan hal tersebut penulis ingin membuktikan kebenaran teori dengan kenyataan dilapangan.

Berdasarkan hasil penelitian Dewi,Suarniati,Ismail (2013) di ruang perawatan bedah RSUD kota Makasar pada bulan Januari - Februari 2013 menunjukkan bahwa terdapat pengaruh komunikasi terapeutik terhadap penurunan tingkat kecemasan pasien pada pasien pre operasi di RSUD kota makasar. Dalam menilai komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat, peneliti mengukur dari segi dimensi respon dan dimensi tindakan. Dari dimensi respon dan dimensi tindakan itulah peneliti dapat mengetahui kepedulian dan kepekaan perawat untuk menempatkan diri dan memahami perilaku yang menunjukan perhatian perawat terhadap pasien yaitu dalam tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh perawat dalam merespon suatu rangsangan. Hasil penelitian menunjukan tingkat dimensi respon didapat nilai (p = 0,03) dan nilai tingkat dimensi tindakan yaitu (p = 0,023), dimana hasil tersebut lebih kecil dari tingkat kemaknaan yang ditentukan

(22)

yaitu (< α = 0,05). Hasil penelitian tersebut menunjukkan 27 orang (60,7%) memiliki respon baik setelah diberikan intervensi komunikasi teraupetik.

Referensi

Dokumen terkait

Tingkat pengetahuan seseorang akan sangat berpengaruh dalam berinteraksi dengan orang lain. Seseorang dengan tingkat pengetahuan yang rendah akan sulit merespon pertanyaan

Sementara itu menurut Read dan Rama (2003) audit internal akan mempunyai peran penting dalam meminimalkan financial fraud dengan menggunakan sarana whistle blowing. BPKP

bersangkutan tidak terlalu cemas dalam setiap tindakan, dapat bebas melakukan hal-hal yang disukai dan bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan, hangat dan

a) Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan komunikasi terbuka. Untuk membina hubungan saling percaya perawat harus terbuka, jujur, ikhlas,

Menurut Mardiasmo (2004) yang dikutip dalam Yahya (2006) menyebutkan bahwa akuntabilitas publik dapat didefinisikan sebagai pengungkapan dan pemberiaan informasi

Stress menurut Santrock (2003) adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang

Semakin rendah adversity quotient dan respon seseorang pada dimensi ini, semakin besar kemungkinannya ia akan memandang kesulitan dan penyebab- penyebabnya sebagai

Menurut Wawan dan Dewi 2011 yang dikutip Widiyaningsih 2020 faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang tentang suatu hal adalah: 1 Faktor Internal a Pendidikan