BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Operasi
1. Pengertian Operasi
Operasi atau tindakan pembedahan adalah peristiwa kompleks yang menegangkan. Menurut Long yang dikutip oleh Rosintan pada tahun 2003, tindakan pembedahan merupakan ancaman potensial maupun aktual pada integritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi stress fisiologis maupun psikologis. Contoh dari perubahan fisiologis yang muncul akibat kecemasan atau ketakutan antara lain pasien dengan riwayat hipertensi jika mengalami kecemasan sebelum operasi dapat mengakibatkan sulit tidur dan tekanan darahnya akan meningkat sehingga operasi bisa dibatalkan, pasien wanita yang terlalu cemas menghadapi operasi dapat mengalami menstruasi lebih cepat dari biasanya, sehingga operasi terpaksa harus ditunda.
Ada 3 faktor penting yang terkait dalam pembedahan yaitu penyakit pasien, jenis pembedahan yang dilakukan dan pasien sendiri. Dari ketiga faktor tersebut faktor pasien merupakan hal yang paling penting, bagi penyakit tersebut tindakan pembedahan adalah hal yang baik/benar. Bagi pasien sendiri pembedahan mungkin merupakan hal yang paling mengerikan yang pernah mereka alami. Mengingat hal tersebut diatas,
sangatlah penting untuk melibatkan pasien dalam setiap langkah-langkah perioperatif.
2. Indikasi dan Klasifikasi
a. Tindakan pembedahan dilakukan dengan berbagai indikasi diantaranya adalah:
1) Diagnostik : biopsi atau laparotomi eksplorasi
2) Kuratif : Eksisi tumor atau mengangkat apendiks yang mengalami inflamasi
3) Reparatif : Memperbaiki luka multipel
4) Rekonstruktif/Kosmetik : mammoplasty, atau bedah platik
5) Palliatif : seperti menghilangkan nyeri atau memperbaiki masalah, contoh: pemasangan selang gastrostomi yang dipasang untuk mengkomponsasi terhadap ketidakmampuan menelan makanan. b. Menurut urgensi dilakukan tindakan pembedahan, maka tindakan
pembedahan dapat diklasifikasikan menjadi 5 tingkatan, antara lain (Brunner and suddarth, 2012)
1) Kedaruratan/Emergency
Pasien membutuhkan perhatian segera, gangguan mungkin mengancam jiwa. Indikasi dilakukan pembedahan tanpa ditunda, misal: perdarahan hebat, obstruksi kandung kemih atau usus sangat luas.
2) Urgen
Pasien membutuhkan perhatian segera. Pembedahan dapat dilakukan dalam 24-30 jam, misal: infeksi kandung kemih akut, batu ginjal atau batu pada uretra.
3) Diperlukan
Pasien harus menjalani pembedahan. Pembedahan dapat direncanakan dalam beberapa minggu atau bulan, misal: Hiperplasia prostat tanpa obstruksi kandung kemih. Gangguan tyroid, katarak.
4) Elektif
Pasien harus dioperasi ketika diperlukan. Indikasi pembedahan, bila tidak dilakukan pembedahan maka tidak terlalu membahayakan, misal: perbaikan Scar, hernia sederhana, perbaikan vaginal
5) Pilihan
Keputusan tentang dilakukan pembedahan diserahkan sepenuhnya pada pasien. Indikasi pembedahan merupakan pilihan pribadi dan biasanya terkait dengan estetika, misal: bedah kosmetik.
c. Sedangkan menurut faktor resikonya, operasi dapat diklasifikasikan sebagai besar atau kecil, tergantung pada keseriusan dari penyakit, maka bagian tubuh yang terkena, kerumitan pengoperasian, dan waktu pemulihan yang diharapkan.
1) Minor Operasi minor adalah operasi yang paling sering dilakukan dirawat jalan, dan dapat pulang hari yang sama. Operasi ini jarang menimbulkan komplikasi (Virginia, 2014).
2) Mayor
Operasi mayor adalah operasi yang penetrates dan exposes semua rongga badan, termasuk tengkorak, termasuk pembedahan tulang, atau kerusakan signifikan dari anatomis atau fungsi faal (Guide and Ag Guide, 2013).
Operasi mayor adalah pembedahan kepala, leher, dada, dan perut. Pemulihan dapat waktu panjang dan dapat melibatkan perawatan intensif dalam beberapa hari di rumah sakit. Pembedahan ini memiliki resiko komplikasi lebih tinggi setelah pembedahan (Virgina, 2014). Operasi mayor sering melibatkan salah satu badan utama di perut-cavities (laparotomy), di dada (thoracotomy), atau tengkorak (craniotomy) dan dapat juga pada organ vital. Operasi yang biasanya dilakukan dengan menggunakan anestesi umum di rumah sakit ruang operasi oleh tim dokter. Setidaknya pasien menjalani perawatan satu malam di rumah sakit setelah operasi Ada berbagai definisi dari operasi mayor, dan apa yang merupakan perbedaan antara operasi mayor dan minor. Sebagai aturan umum, yang utama adalah operasi besar dimana pasien harus diletakkan di bawah anestesi umum dan diberikan bantuan pernafasan karena dia tidak dapat bernafas secara mandiri. Operasi besar biasanya
membawa beberapa derajat resiko bagi pasien hidup, atau potensi cacat parah jika terjadi suatu kesalahan selama operasi. Beberapa gambaran lainnya dapat digunakan untuk membedakan besar kecilnya dari operasi. Misalnya, dalam sebuah prosedur operasi mayor dapat terjadi perubahan signifikan ke anatomi yang terlibat. Seperti dalam situasi di mana organ akan dihilangkan, atau sendi yang dibangun dengan komponen buatan. Setiap penetrasi organ tubuh dianggap sebagai operasi besar, seperti pembedahan ekstensif tulang pada kaki.
Bedah syaraf umumnya dianggap utama karena resiko kepada pasien. Beberapa contoh utama operasi meliputi: penggantian lutut, operasi kardiovaskular, dan transplantasi organ. Prosedur ini pasti membawa risiko bagi pasien seperti infeksi, pendarahan, atau komplikasi dari yang menyebabkan kematirasaan umum digunakan.
Untuk mengurangi potensi komplikasi utama operasi berlangsung di ruang steril dimana sangat tepat prosedur yang diamati untuk mengurangi resiko kontaminasi dan pasien ini diawasi oleh seorang anesthesiologist dan tim medis untuk setiap tanda-tanda distress (SE. Smith, 2013)
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan bahwa bedah mayor adalah pembedahan yang melibatkan organ tubuh secara luas dan
mempunyai tingkat resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup pasien. Contoh: total abdominal histerektomi, reseksi kolon dan lain-lain.
B. Kecemasan 1. Pengertian
Kecemasan merupakan istilah yang digunakan untuk perasaan khawatir, gelisah, tidak tentram yang disertai dengan gejala fisik. Ansietas atau kecemasan adalah respon emosional terhadap penilaian ibu hamil yang subjektif dimana keadaannya dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan belum diketahui pasti penyebabnya (Pieter, 2011).
Gangguan kecemasan adalah sebuah penyakit mental yang mengarah ke kecemasan yang tidak perlu melalui berbagai kegiatan dan peristiwa (Mandal, 2011). Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik. Kecemasan dialami secara subjektif dan di komunikasikan secara interpersonal. Kecemasan berbeda dengan rasa takut, yang merupakan penilaian intelektual terhadap bahaya. Kecemasan adalah respons emosional terhadap penilaian tersebut. Kapasitas untuk menjadi cemas diperlukan untuk bertahan hidup, tetapi tingkat ansietas yang berat tidak sejalan dengan kehidupan.(Hawari, 2011).
Kecemasan adalah respon terhadap situasi tertentu yang mengancam dan merupakan hal yang normal terjadi menyertai
perkembangan, perubahan baru atau yang belum pernah dilakukan. Kecemasan dan ketakutan memiliki komponen fisiologis yang sama tetapi kecemasan tidak sama dengan ketakutan. Penyebab kecemasan berasal dari dalam dan sumbernya sebagian besar tidak diketahui sedangkan ketakutan merupakan respon emosional terhadap ancaman atau bahaya yang sumbernya biasanya dari luar yang dihadapi secara sadar.(Sobur, 2015)
Walaupun merupakan hal yang normal dialami namun kecemasan tidak boleh dibiarkan karena dapat menyebabkan neurosa cemas melalui mekanisme yang diawali dengan kecemasan akut, yang berkembang menjadi kecemasan menahun akibat represi dan konflik yang tak disadari. Adanya stres pencetus dapat menyebabkan penurunan daya tahan dan mekanisme untuk mengatasinya sehingga mengakibatkan neurosa cemas. 2. Epidemiologi
Gangguan ansietas merupakan kelompok gangguan psikiatri yang paling sering ditemukan. National comordibity study melaporkan bahwa satu diantara empat orang memenuhi kriteria untuk sedikitnya satu gangguan ansietas dan terdapat angka prevalensi 12 bulan sebesar 17,7 persen. Perempuan (prevalensi seumur hidup 30,5 persen) lebih sering mengalami gangguan ansietas dari pada laki-laki (prevalensi seumur hidup 19,2 persen). Prevalensi gangguan ansietas menurun dengan meningkatnya status sosio ekonomik.
Indonesia merupakan negara dimana setiap tahunnya angka kecemasan semakin meningkat, kecemasan diperkirakan 20% dari populasi dunia dan sebanyak 47,7% remaja merasa cemas. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 prevalensi penduduk Indonesia mengalami gangguan mental emosional secara nasional seperti gangguan kecemasan sebesar 6%.(Riskesdas, 2013)
3. Etiologi Kecemasan
Penyebab kecemasan tidak spesifik bahkan tidak diketahui oleh individu. Perasaan cemas diekspresikan secara langsung melalui perubahan fisiologis dan perilaku, dapat juga diekspresikan secara tidak langsung melalui timbulnya gejala dan mekanisme koping sebagai upaya melawan kecemasan (Silva C, 2014). Penyebab kecemasan secara pasti belum dapat diketahui secara tepat, namun pemicu kecemasan tertentu dapat diteliti secara tepat seperti masalag gen yang dapat menentukan kecenderungan untuk mendapatkan kecemasan gangguan . jenis kelamin, perempuan cenderung lebih banyak mengalami gangguan kecemasan daripada laki laki .Kecemasan gangguan mungkin juga dipicu oleh peristiwa yang berat (Bentley, 2015).
Selama kehidupannya manusia selalu berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan alam maupun sosial budaya. Proses tersebut terjadi melibatkan jalur : korteks serebri – sistem limbik –sistem aktivasi retikuler – hipotalamus, yang selanjutnya akan memberikan impuls pada kelenjar hipofisis untuk mengekskresikan mediator hormonal yang
lain, misalnya kaetokolamin. Setelah itu barulah muncul tanda dan gejala pada tubuh sebagai reaksi dari perubahan hormonal tersebut. Kumpulan dari gejala-gejala tersebut yang dimaksud dengan gangguan kecemasan (Maslim dalam Hamdani, 2016).
Ada beberapa teori mengenai penyebab kecemasan yaitu Teori Psikologis dan Teori Biologis (Courtet, 2014):
a. Teori Psikologis, dalam teori psikologis terdapat 3 bidang yaitu: 1) Teori psikoanalitik
Freud menyatakan struktur kepribadian terdiri atas tiga elemen yaitu, id, ego, dan superego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif. Superego mencerminkan hati nurani seseorang dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Sedangkan ego digambarkan sebagai mediator antara tuntutan dari id dan superego. Menurut teori psikoanalitik, kecemasan merupakan konflik emosional yang terjadi antara id dan superego, yang berfungsi memperingatkan ego tentang sesuatu bahaya yang perlu diatasi.
2) Teori perilaku
Teori perilaku menyatakan bahwa kecemasan disebabkan oleh stimuli lingkungan spesifik. Pola berpikir yang salah, terdistorsi, atau tidak produktif dapat mendahului atau menyertai perilaku maladaptive dan gangguan emosional. Penderita gangguan cemas cenderung menilai lebih terhadap derajat bahaya dalam situasi tertentu dan menilai rendah kemampuan dirinya untuk mengatasi ancaman.
3) Teori eksistensial
Teori ini memberikan model gangguan kecemasan umum dimana tidak terdapat stimulus yang dapat diidentifikasikan secara spesifik untuk suatu perasaan kecemasan yang kronis.
b. Teori Biologis
Peristiwa biologis dapat mendahului konflik psikologis namun dapat juga sebagai akibat dari suatu konflik psikologis (Carpenito, 2012).
1) Sistem saraf otonom
Stresor dapat menyebabkan pelepasan epinefrin dari adrenal melalui mekanisme berikut: Ancaman dipersepsi oleh panca indera, diteruskan ke korteks serebri, kemudian ke sistem limbik dan RAS (Reticular
Activating System), lalu ke hipotalamus dan hipofisis. Kemudian
kelenjar adrenal mensekresikan katekolamin dan terjadilah stimulasi saraf otonom. Hiperaktivitas sistem saraf otonom akan mempengaruhi berbagai sistem organ dan menyebabkan gejala tertentu, misalnya: kardiovaskuler (contohnya: takikardi), muskuler (contohnya: nyeri kepala), gastrointestinal (contohnya: diare), dan pernafasan (contohnya: nafas cepat).
2) Neurotransmiter
Tiga neurotransmiter utama yang berhubungan dengan kecemasan adalah norepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA).
Pasien yang menderita gangguan kecemasan mungkin memiliki sistem noradrenergik yang teregulasi secara buruk. Badan sel system noradrenergik terutama berlokasi di locus ceruleus di pons pars rostralis dan aksonnya keluar ke korteks serebral, sistem limbik, batang otak, dan medula spinalis. Percobaan pada primata menunjukkan bahwa stimulasi lokus sereleus menghasilkan suatu respon ketakutan dan ablasi lokus sereleus menghambat kemampuan binatang untuk membentuk respon ketakutan. Pada pasien dengan gangguan kecemasan, khususnya gangguan panik, memiliki peningkatan kadar metabolit noradrenergik yaitu
3-methoxy-4- hydroxyphenyl glycol (MHPG) yang meninggi dalam
cairan serebrospinalis dan urin. b) Serotonin
Badan sel pada sebagian besar neuron serotonergik berlokasi di nukleus raphe di batang otak rostral dan berjalan ke korteks serebral, sistem limbik, dan hipotalamus. Pemberian obat serotonergik pada binatang menyebabkan perilaku yang mengarah pada kecemasan. Beberapa laporan menyatakan obat-obatan yang menyebabkan pelepasan serotonin, menyebabkan peningkatan kecemasan pada pasien dengan gangguan kecemasan.
c) Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Peranan GABA dalam gangguan kecemasan telah dibuktikan oleh manfaat benzodiazepine sebagai salah satu obat beberapa jenis
gangguan kecemasan.Benzodiazepine yang bekerja meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA terbukti dapat mengatasi gejala gangguan kecemasan umum bahkan gangguan panik. Beberapa pasien dengan gangguan kecemasan diduga memiliki fungsi reseptor GABA yang abnormal.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan (Bentley, 2015): a. Faktor eksternal
1) Ancaman integritas diri
Meliputi ketidakmampuan fisiologis atau gangguan terhadap kebutuhan dasar (penyakit, trauma fisik, pembedahan yang akan dilakukan).
2) Ancaman sistem diri
Antara lain: ancaman terhadap identitas diri, harga diri, hubungan interpersonal, kehilangan, dan perubahan status dan peran.
b. Faktor internal (Rasmun, 2012) 1) Stresor
Stresor psikososial merupakan keadaan yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan sehingga individu dituntut untuk beradaptasi.
2) Maturitas
Tingkat perkembangan individu dapat membentuk kemampuan adaptasi yang semakin baik terhadap stresor yang berbeda sehingga
resiko terjadi stres dan kecemasan akan berbeda pula. Kematangan kepribadian inidividu akan mempengaruhi kecemasan yang dihadapinya. Kepribadian individu yang lebih matur maka lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan, karena individu mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan. 3) Pendidikan
Tingkat pendidikan individu berpengaruh terhadap kemampuan berpikir. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka individu semakin mudah berpikir rasional dan menangkap informasi baru. Kemampuan analisis akan mempermudah individu dalam menguraikan masalah baru.
4) Respon koping
Mekanisme koping digunakan seseorang saat mengalami kecemasan. Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan penyebab terjadinya perilaku patologis. Pengalaman masa lalu individu dalam menghadapi kecemasan dapat mempengaruhi individu ketika menghadapi stresor yang sama karena individu memiliki kemampuan beradaptasi atau mekanisme koping yang lebih baik, sehingga tingkat kecemasan pun akan berbeda dan dapat menunjukan tingkat kecemasan yang lebih ringan.
Status sosial ekonomi yang rendah pada seseorang akan menyebabkan individu mudah mengalami kecemasan.
6) Keadaan fisik
Individu yang mengalami gangguan fisik akan mudah mengalami kelelahan fisik. Kelelahan fisik yang dialami akan mempermudah individu mengalami kecemasan.
7) Tipe kepribadian
Individu dengan tipe kepribadian A lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan daripada orang dengan tipe kepribadian B. Individu dengan tipe kepribadian A memiliki ciri-ciri individu yang tidak sabar, kompetitif, ambisius, ingin serba sempurna, merasa diburu-buru waktu, mudah gelisah, tidak dapat tenang, mudah tersinggung dan mengakibatkan otot-otot mudah tegang. Individu dengan tipe kepribadian B memiliki ciri-ciri yang berlawanan dengan tipe kepribadian A. Tipe kepribadian B merupakan individu yang penyabar, tenang, teliti dan rutinitas. 8) Lingkungan dan situasi
Seseorang yang berada di lingkungan asing lebih mudah mengalami kecemasan dibandingkan bila berada di lingkungan yang sudah dikenalnya.
9) Dukungan sosial
Dukungan sosial dan lingkungan merupakan sumber koping individu. Dukungan sosial dari kehadiran orang lain membantu
seseorang mengurangi kecemasan sedangkan lingkungan mempengaruhi area berfikir individu.
10) Usia
Usia, seseorang yang mempunyai usia lebih muda ternyata lebih mudah mengalami gangguan akibat kecemasan dibandingkan individu dengan usia yang lebih tua.
11) Jenis kelamin
Gangguan panik merupakan suatu gagasan cemas yang ditandai dengan kecemasan yang spontan dan episodik. Gangguan kecemasan ini lebih sering sering dialami wanita daripada pria. Wanita memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan subjek berjenis kelamin pria. Dikarenakan bahwa wanita lebih peka dengan emosinya, yang pada akhirnya peka juga terhadap perasaan cemasnya. Perbedaan ini bukan hanya dipengaruhi oleh faktor emosi, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor kognitif. Wanita cenderung melihat hidup atau peristiwa yang dialaminya dari segi detail, sedangkan pria cara berpikirnya cenderung tidak detail. Individu yang melihat lebih detail, akan lebih mudah cemas karena informasi yang dimiliki lebih banyak dan itu akhirnya bisa benar-benar menekan perasaannya.
Dampak negatif dari kecemasan merupakan rasa khawatir yang berlebihan tentang masalah yang nyata maupun potensial. Keadaan cemas akan membuat individu menghabiskan tenaganya,
menimbulkan rasa gelisah, dan menghambat individu melakukan fungsinya dengan adekuat dalam situasi interpersonal maupun hubungan sosial.
5. Gejala dan Gambaran Klinis Kecemasan
Pedoman Diagnostik Menurut PPDGJ gejala kecemasan diantaranya adalah:(Idrus, 2015)
a. Gejala dan gambaran klini dari kecemasan menunjukkan kecemasan sebagai gejala primer. yang berlangsung hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau “mengambang”.
b. Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut :
1) Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit konsentrasi, dsb)
2) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai); dan
3) Over aktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, Over aktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar, sesak nafas, keluhan kembung, pusing kepala, mulut kering, tung berdebar-debar, sesak nafas, keluhan kembung, pusing kepala, mulut kering, dsb).
c. Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan (reassurance) serta keluhan-keluhan somatik berulang yang menonjol.
d. Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari), khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama.
Sedangkan diagnosa untuk kecemasan dengan menggunakan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (Teks revision)
juga disebut DSM-IV-TR diantaranya adalah (Bentley, 2015)
a. Kehadiran kecemasan yang berlebihan tentang peristiwa atau kegiatan yang terjadi di hampir setiap hari selama setidaknya 6 bulan
b. Kehilangan kontrol atas intensitas khawatir
c. Setidaknya tiga gejala termasuk gelisah atau jumpiness, kelelahan, kurangnya konsentrasi, mudah marah, otot ketegangan dan tidur masalah
d. Signifikan gangguan gejala dengan sosial dan pekerjaan terkait berfungsi atau menuju signifikan tertekan
e. Tidak ada gangguan suasana hati atau masalah psikiatri
Kecemasan ditandai oleh rasa ketakutan yang difus, tidak menyenanangkan dan samar-samar. Seseorang yang cemas mungkin juga merasa gelisah, seperti dinyatakan oleh ketidakmampuan untuk duduk dan berdiri lama (Kappan & Saddock, 2009) :
Pada pemeriksaan fisik terdapat nadi yang sedikit lebih cepat (biasanya tidak lebih dari 100 kali per detik), hiperventilasi, kaki dan
tangan dingin, tremor pada jari –jari tangan dan refleks tendon meningkat. Di samping kecemasan terdapat juga gejala lain seperti depresi, amarah, perasaan tak mampu, gangguan psikosomatik dan sebagainya. Kadang-kadang kecemasan tidak tampak jelas dalam keadaan bangun, tetapi dalam keadaan tidur keluar tanda – tanda seperti mimpi yang menakutkan dan sering terkejut bangun (Riyadi & Teguh 2009).
6. Tingkat Kecemasan
Terdapat empat tingkat kecemasan yang dialami oleh individu, yaitu: (Yadav, 2017)
a. Kecemasan ringan
Pada tingkat ini sebenarnya merupakan hal yang normal karena merupakan tanda bahwa keaadan jiwa dan tubuh manusia agar dapat mempertahankan diri dari lingkungan yang serba berubah. Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat dan tingkah laku sesuai situasi.
b. Kecemasan sedang
Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang
mengalami perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah. Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat, kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit, mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan untuk konsentrasi menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak menambah kecemasan, mudah tersinggung, tidak sabar, mudah lupa, marah dan menangis.
c. Kecemasan berat
Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik, serta tidak dapat berfikir tentang hal lain. Orang tersebut memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing, diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.
d. Panik
Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Pada lapanganpanik
persepsi seseorang sudah menyempit dan sudah mengalami gangguan sehingga tidak bisa mengendalikan diri lagi. Tanda dan gejala yang terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi, pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi.
7. Pengukuran Kecemasan
Tingkat kecemasan dapat diukur dengan menggunakan Hamilton
Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Skala HARS pertama kali digunakan
pada tahun 1959, yang diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic. Pengukuran tingkat kecemasan ini dikeluarkan oleh seorang ahli psikolog bernama Max R Hamilton pada tahun 1959.
Dikutip dari Skala Penilaian Kegelisahan Hamilton (HAM-A) adalah salah satu skala penilaian pertama yang dikembangkan untuk mengukur tingkat keparahan gejala kecemasan, dan masih banyak digunakan saat ini di kedua rangkaian klinis dan penelitian. Skala terdiri dari 14 item, masing-masing ditentukan oleh serangkaian gejala, dan mengukur kecemasan psikis (agitasi mental dan tekanan psikologis) dan kecemasan somatik (keluhan fisik yang berkaitan dengan kecemasan). Setiap item diberi skor pada skala 0 (tidak ada) sampai 4 (berat), dengan rentang skor total 0-56, di mana tingkat keparahan ringan <17 indikator, tingkat keparahan ringan sampai sedang 18-24 dan 25-30 sedang sampai parah.
Kecemasan dapat diukur dengan pengukuran tingkat kecemasan menurut alat ukur kecemasan yang disebut HARS (Hamilton Anxiety
Rating Scale). Skala HARS merupakan pengukuran kecemasan yang
didasarkan pada munculnya symptom pada individu yang mengalami kecemasan. Menurut skala HARS terdapat 14 syptoms yang nampak pada individu yang mengalami kecemasan. Setiap item yang diobservasi diberi 5 tingkatan skor antara 0 (Nol Present) sampai dengan 4 (severe).
Skala HARS telah dibuktikan memiliki validitas dan reliabilitas cukup tinggi untuk melakukan pengukuran kecemasan pada penelitian
trial clinic. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengukuran kecemasan
dengan menggunakan skala HARS akan diperoleh hasil yang valid dan reliable.
Skala HARS (Hamilton Anxiety Rating Scale) yang dikutip Nursalam penilaian kecemasan terdiri dan 14 butir, meliputi:
a. Perasaan Cemas firasat buruk, takut akan pikiran sendiri, mudah tersinggung.
b. Ketegangan merasa tegang, gelisah, gemetar, mudah terganggu dan lesu.
c. Ketakutan: takut terhadap gelap, terhadap orang asing, bila tinggal sendiri dan takut pada binatang besar.
d. Gangguan tidur: sukar memulai tidur, terbangun pada malam hari, tidur tidak pulas dan mimpi buruk.
e. Gangguan kecerdasan: penurunan daya ingat, mudah lupa dan sulit konsentrasi.
f. Perasaan depresi: hilangnya minat, berkurangnya kesenangan pada hobi, sedih, perasaan tidak menyenangkan sepanjang hari.
g. Gejala somatik: nyeri pada otot-otot dan kaku, gertakan gigi, suara tidak stabil dan kedutan otot.
h. Gejala sensorik: perasaan ditusuk-tusuk, penglihatan kabur, muka merah dan pucat serta merasa lemah.
i. Gejala kardiovaskuler: takikardi, nyeri di dada, denyut nadi mengeras dan detak jantung hilang sekejap.
j. Gejala pernapasan: rasa tertekan di dada, perasaan tercekik, sering menarik napas panjang dan merasa napas pendek.
k. Gejala gastrointestinal: sulit menelan, obstipasi, berat badan menurun, mual dan muntah, nyeri lambung sebelum dan sesudah makan, perasaan panas di perut.
l. Gejala urogenital: sering kencing, tidak dapat menahan kencing, aminorea, ereksi lemah atau impotensi.
m. Gejala vegetatif: mulut kering, mudah berkeringat, muka merah, bulu roma berdiri, pusing atau sakit kepala.
n. Perilaku sewaktu wawancara: gelisah, jari-jari gemetar, mengkerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus otot meningkat dan napas pendek dan cepat.
Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan kategori:
0 = tidak ada gejala sama sekali 1 = Satu dari gejala yang ada
2 = Sedang/ separuh dari gejala yang ada 3 = berat/lebih dari ½ gejala yang ada 4 = sangat berat semua gejala ada
Penentuan derajat kecemasan dengan cara menjumlah nilai skor dan item a. Tidak ada cemas (<14)
b. Ringan (14-20) c. Sedang (21-27) d. Berat (28-41) e. Berat sekali (42-56)
C. Teknik Lima Jari
Salah satu intervensi keperawatan yang dapat dilakukan adalah tehnik lima jari, yang merupakan bagian dari reduksi stres hipnose diri sendiri.Tehnik lima jari adalah proses yang menggunakan kekukatan pikiran dengan menggerakan tubuh untuk menyembuhkan diri dan memelihara kesehatan atau rileks melalui komunikasi dalam tubuh melibatkan semua indra meliputi sentuhan, penciuman, penglihatan, pendengaran (Davis, et al; 2012). Tehnik ini bermanfaat dalam penanganan kecemasan pada pasien karena dengan imajinasi terbimbing maka akan membentuk bayangan yang akan diterima
sebagai rangsangan oleh berbagai indra maka dengan membayangkan sesuatu yang indah perasaan akan merasa tenang. Ketegangan otot dan ketidaknyamanan akan dikeluarkan makan akan menyebabkan tubuh menjadi rileks dan nyaman (Smeltzer & Bare, 2012 dalam (Widiyanti, 2013).
Menurut Wong (2011), prosedur penatalaksanaan teknik relaksasi genggam jari dilakukan selama 15 menit dengan tahapan antara lain:
a. Mengatur posisi pasien senyaman mungkin
b. Pejamkan mata dan lakukan teknik nafas dalam secaa perlahan sebanyak 3 kali
c. Meminta pasien untuk relaks
d. Meminta pasien untuk menautkan ibu jari dengan jari telunjuk dan minta pasien untuk membayangkan kondisi dirinya ketika kondisi begitu sehat e. Tautkan ibu jari dengan jari tengah minta pasien untuk membayangkan
ketika mendapat hadiah atau barang yang sangat disukai
f. Tautkan ibu jari dengan jari manis, bayangkan ketika pasien berada di tempat yang paling nyaman, tempat yang membuat pasien merasa sangat bahagia
g. Tautkan ibu jari dengan kelingking, bayangkan ketika pasien mendapat suatu penghargaan
h. Tarik nafas, lakukan perlahan lakukan selama 3 kali i. Buka mata kembali
Hipnotis lima jari merupakan salah satu bentuk self hipnosis yang dapat menimbulkan efek relaksasi yang tinggi, sehingga akan mengurangi
ketegangan dan stress dari pikiran seseorang. Hipnotis lima jari mempengaruhi system limbik seseorang sehingga berpengaruh pada pengeluaran hormone-hormone yang dapat memacu timbulnya stress. Pasien yang diberikan hipnotis lima jari akan mengalami relaksasi sehingga berpengaruh terhadap system tubuh dan menciptakan rasa nyaman serta perasaan tenang (Mahoney, 2012).
Hipnotis lima jari juga dapat mempengaruhi pernafasan, denyut jantung, denyut nadi, tekanan darah, mengurangi ketengangan otot dan kordinasi tubuh, memperkuat ingatan, meningkatkan produktivitas suhu tubuh dan mengatur hormon-hormon yang berkaitan dengan stress. Penerapan teknik lima jari dalam menurunkan kecemasan pada pasien preoperasi telah dilakukan beberapa penelitian.
Davis, Eshelman, Mckay (1995) dalam Widyanti (2013) mengemukakan beberapa manfaat dari hipnose diri sendiri tehnik lima jari antara lain kemampuan menghasilkan mati rasa pada setiap bagian tubuh, kemampuan memberi sugesti setelah hipnose untuk memperbaiki masalah tidur, koping, pengendalian gejala nyeri, kontrol beberapa fungsi organik seperti perdarahan, denyut jantung, kemunduran umur sebagian: pengalaman kembali mengenang sesuatu yang telah lama berlalu, sebagaimana hal itu terjadi, dengan menggunakan kelima panca indera untuk membuat bunyi, bau, penampilan, dan sebagian hidupnya kembali. Kenangan yang muncul biasanya bukan sesuatu yang ada dipikiran sadar karena hal tersebut merupakan hal yang telah dilupakan, atau tenggelam karena menyakitkan. Kemampuan konsentrasi yang
tidak normal (kapasitas belajar dan memngingat yang sangat rinci). Penyimpangan waktu: kemampuan memadatkan isi pikiran yang banyak dan mengingatnya dalam waktu yang singkat.
Penelitian Setyaningsih (2017) menemukan bahwa ada perbedaan secara bermakna respon fisiologis pada responden sehingga menunjukkan adanya pengaruh terapi hipnotis lima jari hadap respon fisiologis. Hasil uji statistik menjelaskan walaupun ada perbedaan respon fisiologis sebelum dan sesudah perlakuan, hal tersebut dapat disimpulkan bahwa terapi hipnotis lama jari mampu menurunkan skor respon fisiologis secara bermakna.
Hasil penelitian Mu’afiro (2011). menunjukkan ada perbedaan respon perilaku secara bermakna sebelum dan sesudah perlakuan. Hal tersebut terjadi dikarenakan dampak dari sakit dan dirawat di rumah sakit dapat mempengaruhi perilaku. Ada perbedaan secara bermakna respon emosional pada responden sehingga menunjukkan adanya pengaruh terapi hipnotis lima jari terhadap respon emosional. Ada perbedaan secara bermakna respon emosional sebelum dan sesudah perlakuan.
Fortinash dan Worret (2004) dalam Setyaningsih (2017) menjelaskan bahwa ansietas secara fisiologis dapat ditunjukkan dalam skala normal, meningkat, menurun atau fight or flight. Pemberian terapi hipnotis lima jari berdampak terhadap penurunan respon fisiologis dikarenakan bahwa terapi hipnotis lima jari tidak hanya berfokus pada dimensi psikis dan spiritual namun juga fisik.