• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Persepsi

1. Definisi persepsi

Sensasi yang ditransmisikan ke otak adalah bentuk mentah dari energi yang harus diinterpretasi dan diorganisasi melalui sebuah proses yang disebut persepsi (Lahey, 2007). Atkinson (2000) mendefinisikan persepsi sebagai proses pengorganisasian dan penafsiran stimulus dalam lingkungan dan menyangkut penilaian yang dilakukan individu baik positif maupun negatif terhadap suatu benda, manusia, atau kejadian.

Sebuah kejadian pada umumnya didefinisikan sebagai peristiwa yang meliputi ruang dan waktu. Melalui definisi ini, dapat disimpulkan bahwa kejadian meliputi semua persepsi mengenai gerak, namun persepsi mengenai kejadian sering kali disebut sebagai event perception, bukan motion perception. Event perception digunakan untuk menjelaskan persepsi visual dari aliran optik, pergerakan manusia dan objek yang relatif terhadap lingkungan (Shiffrar, 2005). Shaw, Flascher & Mace (1995) mendefinisikan event perception sebagai deteksi dari informasi mengenai gaya dari perubahan yang terjadi pada struktur dalam ruang dan waktu tertentu. Perbedaan antara event perception dan motion perception adalah pada motion perception terjadi dalam isolasi, sedangkan event perception terjadi pada ruang dan waktu.

(2)

Berdasarkan theory of unconscious inference yang dicetuskan oleh Helmholtz, beberapa dari persepsi adalah hasil dari asumsi ketidaksadaran yang dibuat mengenai lingkungan. Teori ini meliputi prinsip likelihood, yang mengatakan bahwa individu merasakan objek yang menyebabkan pola stimulis yang diterima. Proses persepsi dinilai sama dengan proses pemecahan masalah. Dalam persepsi, masalahnya adalah untuk menentukan objek mana yang menyebabkan pola tertentu dari stimulus, dan masalah ini diselesaikan dengan proses dimana pengamat menerapkan pengetahuannya untuk menarik kesimpulan mengenai apakah objek tersebut (Goldstein, 2011).

Dalam penelitian ini, definisi persepsi yang akan digunakan adalah proses pengorganisasian dan penafsiran stimulus dalam lingkungan dan menyangkut penilaian yang dilakukan individu terhadap suatu benda, manusia, atau kejadian.

2. Aspek persepsi

Ittelson (dalam Carmona dkk, 2003) menyatakan bahwa ada 4 aspek persepsi yaitu :

a. Kognitif, meliputi berpikir mengenai, mengorganisasi dan menyimpan informasi.

b. Afektif, perasaan kita yang mempengaruhi bagaimana kita mempersepsi sesuatu.

c. Interpretatif, sejauhmana individu memaknai sesuatu.

(3)

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi. Faktor-faktor ini menyebabkan adanya perbedaan persepsi tiap-tiap individu. Menurut Rookies & Willson (2000), faktor-faktor tersebut adalah :

a. Usia

Kemampuan perseptual berubah dan matang seiring dengan perkembangan. Secara umum, kemampuan perseptual meningkat dansecara lebih akurat merepresentasikan dunia fisik, namun ada juga kemampuan perseptual yang menurun seiring bertambahnya usia. Perbedaan ini dapat memberikan perubahan dalam dunia persepsi seseorang.

b. Gender

Masalah perbedaan gender dalam proses psikologi sangat kontroversial. Kemampuan yang memiliki perbedaan gender yang konstan adalah kemampuan visual spasial. Pada kemampuan ini, pria mempunyai skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. c. Kepribadian

Orang-orang dengan kepribadian yang berbeda akan bersikap berbeda dalam berbagai situasi sosial dan mungkin saja memberikan respon yang berbeda terhadap berbagai informasi.

d. Keadaan psikologis

Ada banyak kerusakan fisik yang dapat mempengaruhi persepsi. Penyakit seperti katarak, agnosia dan prosopagnosia dapat

(4)

mengakibatkan kesulitan dalam mempersepsikan sesuatu. Selain kerusakan dan penyakit, penggunaan obat-obatan baik yang legal maupun illegal juga dapat mempengaruhi persepsi. Oleh karena itu, mungkin saja orang yang menggunakan zat tertentu seperti kafein, akan mempunyai pengalaman perseptual yang berbeda.

e. Perceptual set

Set adalah ekspektansi yang dibawa oleh observer ke dalam situasi perseptual. Latar belakang dan pengalaman kita sepertinya membuat kita melihat suatu hal dengan cara tertentu, terutama jika stimulus yang diberikan ambigu. Ada beberapa hal yang mempengaruhi set yaitu motivasi, konteks, ekpektansi, pengalaman sebelumnya dan emosi. f. Budaya

Ada aspek dalam lingkungan dan budaya yang membuat individu mempersepsikan dan mendapatkan pengalaman yang berbeda. Individu yang dibesarkan dengan pengaruh budaya Barat akan mengenali stimulus visual tertentu seperti televisi dan film, namun stimulus tersebut akan membingungkan individu yang dibesarkan dari daerah yang terpencil. Beberapa studi telah menemukan bukti yang kuat untuk mendukung adanya pengaruh lingkungan fisik terhadap persepsi individu.

g. Pengetahuan sebelumnya

Persepsi bergantung kepada informasi tambahan yang dimiliki oleh individu. Individu dapat mengenali objek yang berbeda karena adanya

(5)

pengetahuan sebelumnya yang dibawa individu ke dalam situasi tersebut (Goldstein, 2011).

B. E-Learning

1. Pengertian e-learning

Comerchero (dalam Berman, 2006) mengatakan bahwa e-learning adalah sebuah pendidikan yang menggabungkan motivasi diri, komunikasi, efisiensi dan teknologi. Adanya keterbatasan dalam interaksi sosial pada e-learning membuat pelajar harus memotivasi diri mereka sendiri. E-learning mengharuskan pelajar sering berkomunikasi dengan satu sama lain dan dengan pengajar untuk menyelesaikan tugas yang diberikan kepada mereka. E-learning efektif karena mengatasi masalah jarak dimana materi disusun dengan media yang dapat diakses dengan komputer dan internet. E-learning adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan pembelajaran melalui teknologi.

Naidu mendefinisikan e-learning sebagai penggunaan dari teknologi informasi dan komunikasi dalam proses belajar mengajar (Naidu, 2006). Menurut American Society for Training and Development, e-learning adalah segala sesuatu yang disampaikan dan dimediasi oleh teknologi elektronik untuk tujuan pembelajaran. Definisi ini lebih luas daripada online learning, Web-based learning, dan computer-based training.E-learning meliputi pembelajaran satu arah dan dua arah serta interaksi antar pelajar (Fee, 2009)

Mengacu pada pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa e-learning adalah proses pembelajaran yang menggunakan dan dimediasi oleh teknologi informasi dan komunikasi.

(6)

2. Tipe-tipe e-learning

Menurut Romiszowski (dalam Naidu, 2006), tipe-tipe e-learning dibagi menjadi empat yaitu :

a. Individualized self-paced e-learning online adalah situasi dimana individu mengakses bahan belajar secara online via internet. Contoh dari tipe ini adalah saat individu belajar sendiri atau melakukan suatu penelitian di internet.

b. Individualized self-paced e-learning offline adalah situasi dimana individu menggunakan bahan belajar saat tidak dihubungkan dengan internet. Contoh dari tipe ini adalah saat individu belajar sendiri menggunakan CD atau DVD.

c. Group-based e-learning synchronously adalah situasi dimana kelompok bekerja sama menggunakan internet dalam real time. Tipe ini meliputi text-based conferencing dan audio atau video conferencing.

d. Group-based e-learning asynchronously adalah situasi dimana kelompok bekerja menggunakan internet dimana pertukaran terjadi dengan penundaan waktu. Contohnya adalah dengan menggunakan e-mail.

C. Kualitas E-Learning 1. Pengertian kualitas

Tidak ada cara yang universal untuk mendeskripsikan kualitas. Dalam mengukur kualitas, berbagai perspektif yang berbeda harus dipertimbangkan.

(7)

Kualitas bukanlah sesuatu yang absolut, tidak memiliki kategori yang tetap dan bergantung pada situasi (Ehlers, 2006).

Dalam bidang pendidikan, ada lima arti berbeda dari kualitas yaitu (Harvey dalam Ehlers, 2006) :

a. Kualitas adalah sebuah pengecualian, mendeskripsikan proses yang melampui standard.

b. Kualitas adalah kesempurnaan, mendeskripsikan sebuah keadaan yang tidak bercela.

c. Kualitas adalah fungsionalitas, mengacu pada derajat kegunaan. d. Kualitas adalah adequate return, diukur dengan rasio cost benefit.

e. Kualitas adalah transformasi, mendeskripsikan hubungan antara pelajar dan lingkungan belajar dan mengacu pada kemajuan pelajar dalam proses belajar.

2. Pengertian kualitas e-learning

Kualitas adalah faktor yang paling menentukan masa depan dari e-learning. Kualitas e-learning adalah konsep yang beragam dan bergantung pada situasi. Tidak ada negara yang telah mencapai kesepakatan mengenai apa sebenarnya kualitas e-learning itu. Definisi dari kualitas selalu mengacu pada konteks yang spesifik. Berbagai metode yang berbeda telah dipakai untuk mengukur kualitas e-learning (Ehlers & Pawlowski, 2006). Quality Assurance Framework merupakan salah satu contoh program yang digunakan di Inggris untuk mengukur kualitas e-learning berdasarkan mekanisme penyampaiannya.

(8)

Total Quality Management (TQM) dan Continuous Quality Improvement (CQI) juga merupakan metode untuk mengukur kualitas e-learning (Parker, 2004).

Subjective learning theory adalah sebuah konsep mengenai deskripsi dari aspek dan faktor dari pengembangan kualitas e-learning yang berfokus pada pelajar. Menurut teori ini, konsep kualitas berarti memperhitungkan motivasi, kognitif dan situasi personal pelajar sebagai dasar dari penilaian. Subjective model of quality adalah model yang digunakan untuk mengukur kualitas e-learning yang didasarkan pada teori tersebut (Ehlers & Pawlowski, 2006).

Dalam penelitian ini, konsep kualitas e-learning yang digunakan adalah subjective model of quality, dimana penilaian kualitas berfokus pada pelajar ..

3. Model kualitas subjektif (subjective model of quality)

Ehlers (dalam Ehlers & Pawlowski, 2006) melakukan sebuah penelitian di Eropa yang mengukur kualitas e-learning berdasarkan persepsi pelajar dan kemudian merumuskan subjective model of quality. Penelitian ini dilakukan dalam tiga level. Seratus lima puluh tiga subjective quality factor merupakan dasar empiris dari model ini yang berasal dari wawancara secara mendalam dengan subjek, kemudian faktor-faktor ini dibentuk menjadi survei online yang terstandarisasi. Hasilnya disusun menjadi 30 dimensi dari kualitas e-learning dengan menggunakan principal component analysis. Pada level ketiga, 30 faktor ini kemudian dikelompokkan menjadi 7 area kualitas subjektif (fields of subjective quality) menurut temanya.

Dimensi ini adalah hasil dari principal component analysis (PCA). Metode ini dapat mengurangi banyak faktor yang bervariasi menjadi beberapa kumpulan

(9)

faktor atau dimensi yang dapat menjelaskan perbedaan preferensi kualitas pada pelajar.ketiga puluh dimensi ini tidak sama pentingnya bagi tiap-tiap pelajar. Dimensi-dimensi ini akan membentuk jaringan yang akan relevan bagi pelajar tertentu. Bagi setiap pelajar, dimensi tersebut akan menjadi kualitas e-learning yang berbeda tingkat kepentingannya bagi tiap-tiap pelajar.

Ketujuh area kualitas subjektif tersebut adalah : 1. Dukungan tutor (tutor support)

a. Interaksi (interaction)

Dimensi ini berhubungan dengan komunikasi dan interaksi antara pengajar dan pelajar. Dalam interaksi, aspek yang paling penting adalah interaksi dua arah (bi-directional interaction), dimana pelajar tidak hanya menerima feedback tetapi juga memberikan feedback kepada pengajar.

b. Moderasi dari proses belajar (moderation of learning processes) Dimensi ini menggambarkan kecenderungan untuk memilih proses belajar yang aktif melalui pengajar dalam cara yang komunikatif. c. Pemusatan pada pelajar vs. materi (learner vs. content centredness)

Pelajar berbeda dalam pilihan mereka mengenai prilaku dalam pembelajaran. Ada sebagian pelajar yang memilih pembelajaran yang mempunyai interaksi yang lebih berfokus kepada pelajar dimana interaksi antara pengajar dan pelajar di dalam kelas berfokus pada proses belajar pelajar secara personal. Kelompok pelajar lainnya lebih memilih interaksi yang lebih berorientasi pada materi belajar.

(10)

d. Individualised learner support

Dimensi ini berhubungan dengan dukungan yang diberikan oleh pengajar kepada pelajar. Dukungan ini disesuaikan dengan situasi pelajar. Dukungan dapat diberikan pada pelajar dengan memberikan informasi tambahan yang menarik minat pelajar, walaupun informasi tambahan tersebut tidak berhubungan dengan materi pembelajaran. e. Pemusatan pada tujuan vs. perkembangan (goal vs. development

centredness)

Dimensi ini mendeskripsikan bahwa ada pembelajaran lebih berorientasi pada tujuan belajar dan ada pula pembelajaran yang berorientasi pada pelajar dan mendukung perkembangan personal serta kompetensi sosial pelajar.

Pelajar tidak hanya berbeda dalam pilihan mereka mengenai komunikasi dalam pembelajaran tetapi juga pada jenis media yang ingin mereka gunakan untuk berhubungan dengan pengajar.

f. Media komunikasi tradisional (traditional communication media) Media dalam dimensi ini yang disukai oleh pelajar adalah telepon, faks dan surat.

g. Media komunikasi synchronous (synchronous communication media) Media dalam dimensi ini yang disukai oleh pelajar adalah konferensi video dan chat.

(11)

h. Media komunikasi asynchronous (asynchronous communication media)

Media dalam dimensi ini yang disukai oleh pelajar adalah e-mail dan forum diskusi.

2. Kooperasi dan komunikasi (cooperation and communication)

Area ini meliputi persyaratan kualitas yang diekspresikan pelajar terhadap pembelajaran yang berhubungan dengan komunikasi dan kooperasi dengan pelajar lain, dalam kelompok belajar dan dengan pengajar.

a. Kerjasama sosial (social cooperation)

Kerja sama seharusnya berfokus pada aspek dalam interaksi sosial seperti pada diskusi online, aktivitas yang melibatkan kerja kelompok dan komunikasi tatap muka.

b. Discursive cooperation

Dalam dimensi ini, ditekankan bahwa pelajar harus mampu bekerja sama bukan hanya pada situasi yang datar tetapi juga dalam situasi konflik. Pelajar diharapkan dapat bekerja sama dalam memecahkan masalah pada topik yang saling bertentangan, misalnya dalam forum debat. Pada dimensi ini, yang ditekankan bukan aspek sosial, melainkan bagaimana pelajar dapat membangun pengetahuan mereka secara aktif dalam setting yang argumentatif.

3. Teknologi (technology)

Area teknologi juga dapat menjadi sesuatu yang penting bagi pelajar, namun, teknologi merupakan hygienic factor yang artinya, jika standar

(12)

terpenuhi, kualitas tidak akan meningkat terlalu banyak. Akan tetapi apabila tidak terpenuhi, penilaian kualitas menurun.

a. Adaptivitas dan personalisasi (adaptivity and personalisation)

Teknologi yang digunakan dalam program harus memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan pengguna dan dapat memberikan fasilitas yang memungkinkan pengguna untuk “starting where the user logged off last time”.

b. Kemungkinan komunikasi synchronous (synchronous communication possibilities)

Teknologi yang digunakan harus dapat mendukung komunikasi synchronous seperti konferensi video dan chatting.

c. Ketersediaan materi (availability of contents (technical))

Materi yang digunakan dalam proses pembelajaran harus tersedia dalam berbagai format. Materi harus dapat diperoleh dan disimpan oleh pelajar dalam komputer mereka masing-masing di rumah.

4. Biaya – ekspektansi – keuntungan (costs – expectations – benefit)

Area ini merupakan salah satu faktor yang menentukan penilaian terhadap kualitas.Aspek ini dapat dilihat dalam hubungan yang dekat dengan ekspektansi mereka terhadap setting pembelajaran. Usaha yang dilakukan oleh pelajar dalam proses belajar harus seimbang dengan keuntungan dan hasil.

a. Ekspektansi dari individualisasi dan orientasi kebutuhan (expectation of individualisation and need orientation)

(13)

Program e-learning diharapkan merupakan program yang fleksibel dalam hal waktu. Program juga harus merupakan sesuatu yang memiliki setting yang terindividualisasi, dalam artian dapat memenuhi kebutuhan tiap-tiap individu.

b. Biaya non-ekonomi individual (individual non-economic costs)

Walaupun e-learning lebih menekankan pada proses individual, program harus dapat memotivasi pelajar untuk belajar dan berkonsentrasi pada hal yang diajarkan.

c. Biaya ekonomi (economic costs)

Dimensi yang paling penting adalah yang menyangkut hal ekonomis. d. Keuntungan praktis (practical benefits)

Materi yang dipelajari oleh pelajar di kelas harus memiliki manfaat praktis yang dapat digunakan dalam kehidupan mereka sehari-hari. e. Ketertarikan dalam Rangkaian Pelajaran dan Penggunaan Media

(Interest in Course and Media Usage)

Program harus membuat pelajar bukan hanya berminat pada topik yang diajarkan tetapi juga pada penggunaan internet dan online learning.

5. Information transparency

Area ini meliputi informasi yang dimiliki oleh pelajar sebelum memulai pelajaran dan mengenai institusi yang memberikan pelajaran. Area ini meliputi pemberian informasi yang formal dan standard dan juga

(14)

konseling individual terhadap isi pelajaran, metode pembelajaran atau nasehat teknis.

a. Counseling, advise

Konseling dan nasehat yang diberikan kepada pelajar sebelum memulai suatu program dapat menjadi aspek yang berguna.

b. Informasi organisasional (organisational information)

Dimensi ini menekankan bahwa penting bagi pelajar untuk mendapat informasi mengenai mata pelajaran yang akan mereka jalani dan juga masalah berkaitan dengan sertifikat mata pelajaran, kualifikasi pengajar dan organisasi yang menawarkan mata pelajaran tersebut. c. Informasi mengenai tujuan dan materi pembelajaran (information

about course goals and contents)

Dimensi ini menekankan bahwa penting bagi pelajar untuk mendapat informasi mengenai mata pelajaran secara mendetail.

6. Struktur dari skenario belajar (structure of the learning scenario)

Area ini meliputi persyaratan pelajar yang berkaitan dengan struktur dari progam e-learning.

a. Dukungan personal dari proses belajar (personal support of learning processes)

Dimensi ini menekankan pentingnya dukungan individual dan personal dalam program.

(15)

b. Pengenalan kepada aspek teknis dan materi (introduction to technical aspects and to the content)

Pelajar hendaknya mendapat pengenalan mengenai materi dan aspek teknis yang penting dalam program yang akan dijalaninya.

c. Ujian (tests and exams)

Fungsi penting dalam aspek ini adalah kemungkinan untuk mengikuti ujian.

7. Didactics

Aspek ini meliputi isi, tujuan belajar, metode dan materi. a. Background material

Dimensi ini menekankan bahwa penting bagi pelajar untuk mendapatkan akses terhadap background material dari topik yang dibahas.

b. Multimedia enriched presentation material

Ada kelompok pelajar tertentu yang lebih memilih untuk menggunakan materi yang diperkaya oleh multimedia dan menggunakan tidak hanya satu tetapi beberapa sumber media seperti audio, visual, film, teks dan sebagainya.

c. Materi yang terstruktur dan berorientasi pada tujuan (structured and goal oriented course material)

Program harus dibangun dalam struktur yang berorientasi pada tujuan. d. Dukungan belajar (support of learning)

(16)

Program harus dapat mendukung pelajar untuk mendapatkan pengetahuan dan membantu pelajar menjadi lebih kompeten dalam pembelajaran sepanjang masa.

e. Feedback pada proses belajar (feedback on learning progress) Ujian harus disertakan dalam program untuk mendapatkan feedback. f. Tugas individual (individualised tasks)

Tugas harus didesign untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan pelajar.

D. Mahasiswa

1. Pengertian mahasiswa

Secara harfiah, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di universitas, institut, maupun akademi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi.

Hurlock (1999) mengkategorikan usia mahasiswa ke dalam masa dewasa dini. Menurut Hurlock (1999) masa dewasa dini dimulai pada usia 18 tahun sampai kira-kira usia 40 tahun dimana tugas perkembangan pada masa dewasa dini salah satunya adalah mencakup pemilihan karir atau mendapatkan suatu pekerjaan. Pada masa dewasa dini terjadi perubahan nilai dimana banyak nilai pada masa kanak-kanak dan remaja berubah karena pengalaman dan hubungan sosial yang lebih luas dengan orang-orang yang berbeda usia.

Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa mahasiswa merupakan peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu serta berada pada masa dewasa dini dimana tugas

(17)

perkembangan pada masa dewasa dini salah satunya adalah mencakup pemilihan karir atau mendapatkan suatu pekerjaan.

2. Mahasiswa sebagai e-learner

E-learner dapat didefinisikan sebagai pelajar yang mengikuti proses e-learning (Keiser, Kollar & Schmidt, 2006). Dalam penelitian ini, e-learner adalah mahasiswa yang mengikuti proses e-learning.

Mahasiswa sebagai e-learner akan menghadapi banyak tantangan akademis, termasuk memiliki motivasi diri dan disiplin diri yang tinggi. E-learner juga harus menunjukkan kemampuan untuk berpartisipasi dengan nyaman, mempunyai pikiran yang terbuka dan kemampuan komunikasi yang baik. Seorang e-learner juga harus memperhatikan netiquette atau yang sering disebut sebagai etika internet.

Proses e-learning memerlukan komunikasi dan kerja sama kelompok. Untuk dapat mempertahankan lingkungan belajar yang baik, seorang e-learner harus mempersiapkan dirinya dengan baik. Jika e-learner tidak siap untuk menyelesaikan tugas, kesempatan mereka untuk berhasil dalam proses e-learning akan berkurang secara drastis. Ada beberapa rintangan yang dapat menghambat e-learner :

a. Global accessibility

E-learner harus mempunyai akses terhadap teknologi yang diperlukan agar dapat berpartisipasi dengan baik dalam lingkungan e-learning. Tanpa sistem koneksi yang baik, partisipasi dalam e-learning tidak dapat dilakukan.

(18)

b. Rural vs urban/suburban community

Komunitas di pedesaan mungkin saja tertinggal dalam hal akses internet. Pengguna internet di pedesaan cenderung lebih tertarik pada kelas e-learning dibandingkan dengan yang ada di kota atau pinggiran kota.

c. Pengalaman web

E-learners harus mempunyai latar belakang yang cukup di bidang komputer dan merasa nyaman dengan berbagai tugas komputer. d. Tertarik pada subjek

Mempunyai pikiran terbuka dan ketertarikan pada subjek yang dipelajari penting untuk menjadi seorang e-learner yang sukses. Faktor lain yang mempengaruhi keterlibatan learner dalam proses

e-learning adalah e-readiness, kesiapan untuk menerima e-e-learning. Komponen

pertama dalam e-readiness adalah kemampuan teknikal, namun kemampuan teknikal saja tidak cukup untuk melihat kesiapan individu untuk berpartisipasi dalam kelas e-learning. Ada dua komponen dalam e-readiness yaitu technical readiness dan readiness for self directed learning. Masing-masing komponen terdiri dari pengetahuan, sikap, kemampuan dan kebiasaan yang spesifik. Pengetahuan adalah tahap pertama dari pemahaman yaitu memiliki informasi dasar yang diperlukan. Sikap adalah perasaan, kepercayaan dan kecenderungan berperilaku individu yang berasal dari hereditas maupun lingkungan yang memiliki pengaruh kuat terhadap perilaku. Pengetahuan dan sikap merupakan dasar bagi self directed learning, namun kedua hal itu saja tidak cukup jika tidak

(19)

mempunyai kemampuan yang diperlukan untuk implementasi. Bila ketiga aspek sudah dipenuhi, pembentukan kebiasaan yang positif akan memperkuat tingkat kesuksesan e-learning (Guglielmino & Guglielmino, 2003).

Masalah lain dalam sistem belajar e-learning adalah perbedaan gender. Penelitian yang dilakukan oleh (Salminen-Karlsson, 2010) ditemukan bahwa pria dan wanita mempunyai perbedaan yang sangat besar dalam hal computer competency, dimana pria menunjukkan skor yang lebih tinggi. Pria juga cenderung membantu orang lain yang mempunyai masalah dengan komputer. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa wanita mempunyai computer anxiety yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pria.

E. Gambaran Persepsi Mahasiswa tentang Kualitas E-Learning pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

Ketertarikan terhadap penggunaan metode e-learning telah meningkat dengan pesat. E-learning juga telah menjadi suatu ranah yang diminati dalam proses pembelajaran di universitas. Organisasi pendidikan melihat e-learning sebagai suatu cara untuk meningkatkan program mereka (Naidu, 2006). Pada saat pertama diaplikasikan, penekanan e-learning diletakkan pada ekspektansi yang tidak realistis bahwa e-learning akan dapat mengurangi biaya dan dapat menggantikan proses belajar tatap muka. Hasil yang didapat jauh dari memuaskan dimana pelajar menjadi terisolasi. Pada saat ini, e-learning telah dimengerti dengan lebih baik dan pendekatan yang sepenuhnya menggunakan teknologi telah digantikan oleh pandangan bahwa e-learning seharusnya menjadi proses belajar yang diperkaya oleh penggunaan teknologi.

(20)

Di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, ada beberapa mata kuliah yang menggunakan sistem e-learning yang menggunakan blog, group chat dan forum diskusi online. Pembelajaran dengan e-learning ini diintegrasikan dengan pembelajaran tatap muka. Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti dengan beberapa orang mahasiswa, ada mahasiswa yang mempunyai persepsi yang positif dan mengatakan bahwa sistem pembelajaran ini dapat menghemat waktu mereka, namun ada juga mahasiswa dengan persepsi negatif yang merasa terbebani dan tidak terbiasa dengan sistem yang baru ini. Perbedaan persepsi pada mahasiswa bisa disebabkan oleh banyak faktor seperti pengalaman belajar sebelumnya, perbedaan gender, perbedaan tingkat e-readiness atau dalam hal accessibility.

Banyak peneliti telah menemukan bahwa efektivitas e-learning sama dengan atau bahkan melampaui proses belajar di kelas, akan tetapi kualitas dari e-learning masih diperdebatkan. Individu yang terbiasa dengan kelas tradisional dan menyukai pembelajaran tatap muka akan mengalami kesulitan dengan pembelajaran online (Elango, 2008). Hal ini menyebabkan berbagai organisasi, pengajar maupun pelajar sendiri mencari cara untuk mengukur kualitas dari program yang telah dijalankan terutama efektivitas dan efisiensinya (Eschenlohr, 2004).

Kualitas adalah konsep yang multifaset. Kualitas bukan sesuatu yang absolut tetapi selalu bergantung pada situasi dimana proses belajar terjadi (Ehlers, 2003). Garvin (dalam Nichols, 2002) mengatakan bahwa walaupun kualitas sulit didefinisikan, pentingnya kualitas telah diakui secara universal. Ehlers (2006)

(21)

berpendapat bahwa kualitas adalah sebuah kategori yang sangat dipengaruhi oleh subjektivitas individual. Ehlers (2003) menyebutkan bahwa sekelompok pelajar mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Perbedaan ini meliputi komponen demografik (status profesionalitas dan tingkat pendidikan), isi (pengetahuan dan kemampuan sebelumnya) dan pengalaman belajar. Schulmeister (dalam Ehlers, 2006) mengatakan bahwa mengabaikan keberagaman pelajar dapat berakibat pada kegagalan.

Ehlers (2006) mengembangkan sebuah program untuk mengukur kualitas berdasarkan perspektif pelajar yang disebut sebagai model kualitas subjektif. Model ini meliputi tujuh area kualitas subjektif yaitu dukungan tutor, kooperasi dan komunikasi, teknologi, biaya, ekspektansi dan keuntungan, information transparency, struktur dari skenario belajar, dan didactics.

Dimensi yang pertama adalah dukungan tutor. Komunikasi antara dosen dengan mahasiswa hendaknya berlangsung secara dua arah dimana bukan hanya dosen saja yang memberikan umpan balik kepada mahasiswa tetapi mahasiswa juga diberikan kesempatan memberikan umpan balik kepada dosen. Dosen hendaknya menjadi moderator yang komunikatif dalam proses belajar mahasiswa. Orientasi pengajaran di kelas hendaknya bukan hanya berfokus pada materi tetapi dosen perlu memperhatikan proses belajar mahasiswa secara personal. Dukungan secara personal perlu diberikan kepada masing-masing mahasiswa untuk membantu proses belajar mereka. Pembelajaran di kelas hendaknya tidak hanya berfokus pada tujuan pembelajaran. Perkembangan personal masing-masing mahasiswa juga merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya.

(22)

Dimensi kedua adalah kooperasi dan komunikasi. Mahasiswa mengharapkan kerjasama sosial melibatkan interaksi sosial dengan menggunakan diskusi online, kerja kelompok dan juga komunikasi tatap muka. Mahasiswa juga mengharapkan kerjasama yang dibentuk dalam situasi konflik seperti forum debat. Foum debat diharapkan dalam membantu mahasiswa membangun pengetahuan dalam situasi yang argumentatif.

Dimensi ketiga, teknologi, merupakan hal yang penting dalam menentukan kualitas. Teknologi diharapkan dalam memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan keperluan mahasiswa serta dapat mendukung fasilitas chatting dan konferensi video. Ada baiknya bila materi pembelajaran dapat diakses oleh mahasiswa dalam berbagai format dan dapat disimpan oleh mahasiswa dalam komputer mereka masing-masing.

Dimensi keempat adalah biaya, ekspektansi dan keuntungan. Program e-learning diharapkan sebagai program yang fleksibel dalam hal waktu dan juga dapat memenuhi kebutuhan masing-masing individu. Selain menekankan pada proses individu, program harus dapat memotivasi mahasiswa untuk belajar dan berkonsentrasi pada hal yang diajarkan. Biaya yang dikeluarkan untuk e-learning hendaknya tidak memberatkan mahasiswa. Mahasiswa berharap apa yang telah dipelajari di kelas dapat mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Program e-learning juga harus membuat mahasiswa bukan hanya tertarik pada materi tetapi juga tertarik pada penggunaan internet.

Dimensi kelima, information transparency, meliputi informasi yang dimiliki mahasiswa sebelum memulai pelajaran. Konseling dan nasehat yang

(23)

diberikan kepada mahasiswa akan berguna bagi mereka. Informasi mengenai mata pelajaran yang akan dijalani, pengajar, tujuan dan materi kuliah penting diketahui oleh mahasiswa.

Dimensi keenam adalah struktur dari skenario belajar. Penting bagi mahasiswa untuk mendapatkan dukungan dalam menjalani program, mendapatkan informasi mengenai aspek teknis dari program dan juga mengenai ujian yang akan dijalani.

Dimensi terakhir adalah didactics. Dimensi ini menekankan penting bagi mahasiswa untuk mendapatkan informasi mengenai background material dari topik yang sedang dibahas. Banyak mahasiswa yang menyukai penggunaan beberapa media yang berbeda untuk mendukung proses pembelajaran. Materi yang diajarkan juga harus terstruktur dan berorientasi pada tujuan. Mahasiswa juga memerlukan dukungan yang dapat membantu mereka mendapatkan pengetahuan. Ujian sebaiknya dirancang untuk memberikan umpan balik bagi mahasiswa. Tugas juga harus dirancang untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa.

Penilaian kualitas dari proses belajar dengan sistem e-learning di Fakultas Psikologi menggunakan teori Ehlers akan dapat memberikan gambaran mengenai persepsi mahasiswa tentang kualitas program e-learning yang telah mulai diujicobakan di Fakultas Psikologi.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal tidak terdapat kekurangan, kekeliruan, keberatan, dan atau penolakan dari Pengusul, maka Kepala LPPM dan Ketua Pengusul dapat langsung menandatangai

Tersedianya pendamping iman kaum muda minimal 5 orang pendamping di setiap kevikepan 2..

14 Penuliss menggunakan pendekatan kualitatif karena permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini tidak berkenaan dengan angka-angka, tetapi mendeskripsikan, menguraikan

Plaxis output dapat dipanggil dengan mengklik toolbar Plaxis output, atau dari start menu yang bersesuaian dengan program plaxis. Toolbar Calculation pada

Senantiasa menjaga atau mengawasi efisiensi lembaga keuangan (perbankan) agar reaksi optimal atau respons lembaga tersebut terhadap shock rSBI makin memperkuat

2 Dimensi yang diperoleh setelah direduksi dengan PCA 10 3 Akurasi organisme dikenal menggunakan k=3 pada KNN (dalam %) 11 4 Akurasi organisme dikenal menggunakan k=5 pada KNN

 Untuk sekedar diketahui (seperti yang diberitahukan pada pembekalan KKN) bahwa posisi PCM ialah sebagai pihak pemantau kelompok KKN, sehingga untuk berbagai tugas yang ada

menunjukkan bahwa agresi pada anak dapat terbentuk karena setiap hari anak sering melihat dan menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga baik secara langsung atau