• Tidak ada hasil yang ditemukan

dapat dalam bentuk berlari, bertanya, melompat, menangis, memukul, bahkan mendorong. Untuk itu seorang guru Taman Kanak-kanak harus memiliki kepekaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "dapat dalam bentuk berlari, bertanya, melompat, menangis, memukul, bahkan mendorong. Untuk itu seorang guru Taman Kanak-kanak harus memiliki kepekaan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Kecerdasan Emosional Pada Guru Taman Kanak-kanak

(Studi Deskriptif)

Laila Fitriani

Fakultas Psikologi, Universitas Gunadarma

ABSTRAK

Kecerdasan emosional merupakan komponen yang dapat membuat seseorang menjadi lebih pintar dalam menguasai dirinya. Kecerdasan emosional merupakan hal yang diperlukan oleh seorang guru Taman Kanak-kanak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kecerdasan emosional pada guru Taman Kanak-kanak. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berupa study deskriptif. Skala kecerdasan emosional disusun berdasarkan komponen kecerdasan emosional dari Goleman (1996), yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain. Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 50 responden. Uji validitas dan reliabilitas menggunakan korelasi product moment dari pearson dan teknik Alpha Cronbach. Validitasnya bergerak antara 0,309 sampai 0,709 dan nilai reliabilitasnya sebesar 0,939. Secara keseluruhan kecerdasan emosional pada penelitian ini berada pada taraf tinggi. Komponen kecerdasan emosional paling tinggi dalam penelitian ini terdapat pada komponen mengenali emosi orang lain, tertinggi kedua ada pada komponen memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi, sedangkan nilai mean terendah ada pada komponen mengenali emosi diri sendiri. Berdasarkan hasil deskripsi data responden, tingkat kecerdasan emosional paling tinggi dimiliki pada responden dengan usia 37-40 tahun, responden dengan pendidikan D3 dan S1, responden sebagai anak bungsu, responden dengan masa kerja 1-2 tahun, responden yang puas terhadap profesinya, serta responden yang mengikuti kegiatan organisasi.

Kata Kunci : Kecerdasan Emosional, Guru Taman Kanak-kanak

PENDAHULUAN

Guru merupakan sebuah profesi yang mulia atau yang lebih kenal dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa yang mendidik anak didiknya dengan penuh pengorbanan sehingga dapat mengantarkan anak didiknya pada taraf yang lebih tinggi. Jenjang pendidikan terdiri dari beberapa tingkatan,

salah satunya adalah pendidikan usia prasekolah yaitu Taman Kanak-kanak. Dimana anak usia TK Anak usia Taman Kanak-kanak biasanya memiliki karakteristik diantaranya konsentrasi yang masih rendah, bersifat spontan, egosentris, dan masih labil emosi. Wujud perilaku spontan yang ditampilkan oleh anak Taman Kanak-kanak

(2)

dapat dalam bentuk berlari, bertanya, melompat, menangis, memukul, bahkan mendorong. Untuk itu seorang guru Taman Kanak-kanak harus memiliki kepekaan yang cukup tinggi atas perilaku spontan yang dimunculkan oleh anak didiknya, kemampuan seperti ini dikenal dengan istilah kecerdasan emosional. Goleman (2004) mengungkapkan kecerdasan emosional merupakan kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, mengelola emosi dan kemampuan membina hubungan dengan orang lain.

Menurut Goleman (1996) emosi merupakan pusat pengatur seluruh pembelajaran kita. Emosi dapat meningkatkan serta menghambat kemampuan belajar kita. Kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi faktor yang menentukan kesuksesan dalam hidup, sedangkan 80% diisi oleh kekuatan-kekuatan lain, diantaranya adalah kecerdasan emosional (EQ) yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, bertahan mengahadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati dan menjaga beban stres agar tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdoa.

Kecerdasan emosional ini jelas sangat dibutuhkan oleh guru Taman Kanak-kanak untuk menghadapi anak didiknya,

agar dalam proses mengajar dapat berjalan dengan baik sehingga apa-apa yang menjadi tujuan pembelajaran dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris tentang kecerdasan emosional pada guru Taman Kanak-kanak.

KECERDASAN EMOSIONAL

Menurut Goleman (1999) kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) merujuk pada kemampuan mengenali perasaan sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.

Kecerdasan emosional menuntut pemilikan perasaan untuk belajar mengakui, menghargai pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Pada intinya kecerdasan emosi merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakan bahwa emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional

(3)

menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain (Mu’tadin, 2003).

Melalui kecerdasan emosional manusia belajar mengelola perasaannya sehingga dapat mengekspresikan secara tepat Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi.

KOMPONEN-KOMPONEN KECERDASAN EMOSIONAL

Menurut Goleman (1996), komponen-komponen kecerdasan emosional, antara lain:

a. Mengenali emosi diri

Merupakan kemampuan dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi yang merupakan dasar dalam kecerdasan emosional. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan kita yang sesungguhnya membuat kita berada dalam kekuasaan perasaan sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk dalam hal mengambil suatu keputusan.

b. Mengelola Emosi

Kemampuan untuk menangani perasaan agar perasaan dapat

terungkap dengan sesuai dan hal ini bergantung pada kesadaran diri. Kemampuan untuk menghibur diri, melepaskan kecemasan, kemurungan. Seseorang yang memiliki kemampuan yang baik dalam hal ini akan dapat bagkit kembali dengan cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam hidup, sedangkan bagi mereka yang memiliki kemampuan buruk dalam bidang ini mereka akan terus bertarung melwan perasaan murung.

c. Memotivasi Diri Sendiri

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitannya untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri, menguasai diri sendiri dan untuk berkreasi. Menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati serta mampu menyesuaikan diri adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Empati merupakan kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan

(4)

“keterampilan bergaul” dasar. Orang yang empatik mampu mengenali sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan oleh orang lain. Empati dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi diri sendiri maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca emosi orang lain, sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lian. e. Membina Hubungan Dengan Orang

Lain

Membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Keterampilan ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. Orang yang baik dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan dengan orang lain, karena keterampilan ini merupakan keterampilan dalam membina hubungan dengan orang lain, meyakinkan, mempengaruhi dan membuat orang lain merasa nyaman.

GURU

Guru adalah manusia yang memiliki kepribadian sebagai individu, kepribadian guru seperti halnya kepribadian individu pada umumnya seperti aspek jasmaniah, intelektual, sosial dan moral (Sukmadinata, 2002).

Guru merupakan salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar, yang ikut berperan serta dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial dibidang pembangunan dan merupakan sosok manusia yang penuh dengan wibawa sebagai tenaga pendidik dimana perkataannya selalu ditiru dan perbuatannya selalu dijadikan contoh setiap orang khususnya murid mereka.

PENGGUNAAN METODE BELAJAR

MENGAJAR YANG DILAKUKAN

GURU TAMAN KANAK-KANAK

Moeslichatoen (2004) guru Taman Kanak-kanak dalam menghadapi anak didiknya diperlukan metode-metode yang efektif agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan baik, diantaranya adalah:

a. Mengembangan kognisi anak

Dapat dilakukan dengan metode yang mampu menggerakkan anak agar menumbuhkan berfikir, menalar dan

(5)

mampu menarik kesimpulan. Dapat dilakukan dengan cara dengan memahami lingkungan sekitarnya, mengenal orang dan benda-benda yang ada, melatih memahami untuk mengurus diri sendiri, melatih anak dalam menggunakan bahasa dalam hubungan dengan orang lain, serta melakukan apa yang dianggap benar berdasar nilai yang ada dalam masyarakat (Hildebrand dalam Moeslichatoen, 2004).

b. Mengembangan kreativitas anak

Guru mengembangkan kreativitas anak, metode-metode yang dapat dipilih adalah metode yang dapat menggerakkan anak untuk meningkatkan motivasi rasa ingin tahu dan menggembangkan imajinasi. Dalam hal ini penggunaan metode yang dilakukan adalah metode yang dapat mendorong anak mencari tahu, memecahkan masalah, memikirkan kembali, membangun kembali dan menemukan hubungan-hubungan baru. c. Mengembangkan Kemampuan Bahasa

Anak

Guru mengembangkan kemampuan bahasa anak dengan menggunakan metode yang dapat meningkatkan perkembangan

kemampuan berbicara, mendengar, membaca, dan menulis. Guru memberikan kesempatan anak memperoleh pengalaman yang luas dalam mendengarkan dan berbicara. d. Menggembangkan Emosi Anak

Guru mengembangkan emosi anak dengan menggunakan metode-metode yang menggerakkan anak untuk mengekspresikan perasaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan secara verbal dan tepat. e. Mengembangkan Kemampuan

Motorik Anak

Guru mengembangkan kemampuan motorik anak dapat dipergunakan metode-metode yang menjamin anak tidak cidera. Oleh karena itu guru perlu menciptakan lingkungan yang aman dan menentang (Gordon dan Brown, dalam Moeclichatoen, 2004) bahan dan alat yang dipergunakan dalam keadaan baik, tidak menimbulkan perasaan takut, dan cemas dalam menggunakannya.

f. Mengembangkan nilai dan sikap anak Untuk mengembangkan nilai dan sikap anak dapat menggunakan metode-metode yang memungkinkan terbentuknya kebiasaan-kebiasaan yang didasari oleh

(6)

nilai-nilai agama dan moral Pancasila agar anak dapat menjalani hidup sesuai dengan norma yang dianut masyarakat.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif (deskriptif research). Penelitian deskriptif (deskriptif research) adalah jenis penelitian yang digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi (Sugiyono, 2008). Jumlah responden dalam penelitian ini sebanyak 50 responden. Pengambilan responden menggunakan teknik purposive sampling. Pengumpulan

data dalam penelitian ini menggunakan metode kuesioner yaitu suatu daftar yang berisikan rangkaian pernyataan mengenai suatu masalah atau bidang yang akan diteliti, yang disampaikan kepada responden secara tertulis untuk memperoleh data berupa jawaban dari responden (Narbuko dan Achmadi, 2001). Bentuk skala dalam penelitian ini adalah skala Likert yaitu skala mengenai situasi yang mengandung indikasi perilaku tertentu (Azwar, 2006) dengan empat alternatif jawaban yaitu sangat sesuai

(SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS)

HASIL PENELITIAN

Berdasarkan perhitungan mean

empirik dan mean hipotetik, secara keseluruhan didapatkan kecerdasan emosional pada responden dalam penelitian ini berada pada taraf tinggi. Komponen kecerdasan emosional paling tinggi dalam penelitian ini terdapat pada komponen mengenali emosi orang lain, tertinggi kedua ada pada komponen memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi, sedangkan nilai mean terendah ada pada komponen mengenali emosi diri sendiri. Berdasarkan hasil deskripsi data responden, tingkat kecerdasan emosional paling tinggi dimiliki pada responden dengan usia 37-40 tahun, responden dengan pendidikan D3 dan S1, responden sebagai anak bungsu, responden dengan masa kerja 1-2 tahun, responden yang puas terhadap profesinya, serta responden yang mengikuti kegiatan organisasi.

PEMBAHASAN

Berdasarkan perhitungan mean

empirik dan mean hipotetik, secara keseluruhan didapatkan kecerdasan emosional pada responden dalam penelitian

(7)

ini berada pada taraf tinggi. Hal ini disebabkan karena rata-rata responden dalam penelitian ini merasa puas terhadap profesinya serta sebagian besar memiliki kegiatan organisasi yang tentunya dapat menambah kecerdasan emosi mereka.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Novita (2011) dalam bekerja kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan kepuasan kerja. Kecerdasan emosional yang terganggu akan menyebabkan seseorang tidak dapat mencapai kepuasan kerja yang maksimal. Begitu juga sebaliknya, seseorang yang tidak mencapai kepuasan kerja yang maksimal akan menyebabkan kecerdasan emosionalnya terganggu. Oleh karena itu, sangat penting seseorang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi guna menunjang keberhasilan di tempat kerja.

Goleman (2000) mengatakan seseorang yang memiliki kecerdasan emosional yang baik mampu mengetahui perasaan diri sendiri dengan baik, mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan, baik itu dalam hubungan asmara dan persahabatan, serta hubungan kerja. Kecakapan ini menunjukan beberapa banyak potensi yang

telah kita terjemahkan ke dalam kemampuan di tempat kerja.

Berdasarkan analisis deskripsi responden penelitian berdasarkan komponen kecerdasan emosional (dapat dilihat pada tabel 4) tingkat kecerdasan emosional paling tinggi terdapat pada komponen mengenali emosi orang lain. Menurut Goleman (1996) keterampilan dalam hal mengenali perasaan orang lain sangat dibutuhkan pada profesi guru, seorang guru yang memiliki kemampuan yang baik dalam hal memahami perasaan orang lain, maka akan sangat baik dalam keefektifan pekerjaannya. Menurut Goleman (1997) individu yang memiliki kemampuan mengenali emosi orang lain lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain.

Kemudian komponen memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi mendapat nilai tertinggi kedua setelah komponen mengenali emosi orang lain. Seseorang yang memiliki kecakapan dalam memotivasi diri sendiri ia memiliki pandangan yang optimis, mampu menghadapi masalah yang ada dengan bijak sesuai dengan yang diungkapkan oleh Goleman (1997) individu yang cakap dalam hal memotivasi diri sendiri cenderung lebih produktif dan efektif

(8)

dalam hal apapun yang mereka kerjakan. Sedangkan mengelola emosi merupakan kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, serta ketersinggungan. Seseorang yang baik kemampuannya dalam hal ini akan lebih cepat bangkit dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan (Goleman, 1996).

Selanjutnya Goleman (1997) juga mengungkapkan mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Dalam hal menghadapi anak didik seorang guru dituntut untuk memiliki kesabaran yang tinggi, harus dapat mengerti karakteristik tiap anak yang dididiknya dan mampu mengelola emosi dengan baik, terlebih jika anak yang dihadapi adalah anak usia Taman Kanak-kanak. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sardiman (2008) seorang guru harus mampu dalam mengendalikan emosi, sabar, ramah, sopan, memiliki jiwa kepemimpinan serta berani bertanggung jawab.

Nilai mean terendah terdapat pada komponen mengenali emosi diri. Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata responden

sedikit mengalami kesulitan dalam hal mengenali emosi diri.

Dari analisis deskripsi data responden berdasarkan usia (dapat dilihat pada tabel 5) didapat bahwa tingkat kecerdasan emosional paling tinggi ada pada responden dengan usia 37-40 tahun. Sedangkan untuk nilai terendah terdapat pada responden dengan usia 25-28 tahun. Data tersebut menunjukan bahwa semakin bertambah umur seseorang maka akan semakin bertambah pula kecerdasan emosionalnya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Mayer (dalam Goleman, 2000) bahwa kecerdasan emosional berkembang sejalan dengan pengalaman dari masa kanak-kanak hingga akhir hidup dengan kata lain semakin bertambah usia seseorang maka semakin banyak pengalaman hidup, yang pada akhirnya akan menambah kecerdasan emosional seseorang.

Hasil analisis deskripsi data responden berdasarkan posisi dalam keluarga (dapat dilihat pada tabel 6) didapatkan bahwa tingkat kecerdasan emosional paling tinggi ada pada anak bungsu. Sesuai dengan yang diungkapkan Hadibroto, Syamsir, Erik, & Ferni (2003) anak bungsu adalah anak yang memiliki kemampuan bergaul, cenderung populer,

(9)

dan periang. Hal ini bisa jadi disebabkan dari hasil modelling yang didapatkan melalui observasi yang dilakukan pada anak tengah serta anggota keluarga lain secara baik dan cocok baginya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Bandura (dalam Atwater, 1983) bahwa modeling merupakan teknik untuk mengobservasi dan mencontoh model yang cocok. Dalam penelitian ini juga didapatkan bahwa antara anak bungsu dan anak tengah memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tidak jauh berbeda. Menurut Hadibroto, Syamsir, Erik, & Ferni (2003) bahwa anak tengah memiliki kestabilan emosi dimana anak tengah cenderung mudah diatur, terkendali dan memiliki karakter yang ramah dan bersahabat dalam hubungannya dengan orang lain. Menurut Allport (dalam Schultz, 1991) seseorang yang mamiliki kestabilan emosi adalah seseorang yang mampu mengontrol emosi mereka, mampu menerima segala kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya, mereka sedikit memiliki konflik dengan orang lain, dan mereka tidak akan berlarut-larut dalam kekecewaan yang terjadi pada diri mereka.

Selanjutnya dalam penelitian ini anak sulung mendapatkan tingkat kecerdasan emosional yang cenderung rendah. Menurut Hadibroto, Syamsir, Erik,

& Ferni (2003) anak sulung merupakan seorang anak yang memiliki karakteristik cenderung cerewet, sangat teliti, memiliki motivasi yang tinggi sehingga mereka lebih memfokuskan diri pada diri mereka sendiri, oleh sebab itu terkadang mereka kurang memperhatikan hal-hal dalam hubungannya dengan orang lain.

Sedangkan tingkat kecerdasan emosional yang paling rendah terdapat pada anak tunggal. Hal ini mungkin saja terjadi disebabkan karena perlakuan orang tua yang selalu menuruti kemauan anaknya, sehingga kurangnya pembelajaran yang dapat melatih kecerdasan emosional pada anak tunggal. Gaya mendidik orang tua yang seperti ini dikenal dengan sebutan gaya permisif. Menurut Shapiro (1997) gaya permisif merupakan cara mendidik anak, dimana orang tua cenderung pasif dalam hal menentukan apa-apa saja yang menjadi batas-batas perilaku anak, sehingga orang tua permisif tidak begitu menuntut juga tidak menetapkan sasaran yang jelas bagi anaknya, dengan kecenderungan alamiahnya. Menurut Hadibroto, Syamsir, Erik, & Ferni (2003) anak tunggal merupakan seorang anak yang cenderung individualis dimana ia lebih suka menarik diri dari pergaulan atau menyendiri, dan cenderung egois.

(10)

Dari hasil analisis deskriptif data responden berdasarkan pendidikan (dapat dilihat pada tabel 7) didapatkan tingkat kecerdasan emosional yang lebih tinggi terdapat pada responden dengan pendidikan D3 dan S1, sedangkan tingkat kecerdasan emosional lebih rendah terdapat pada responden dengan pendidikan SMA, D1, D2. Seseorang yang memiliki pendidikan yang tinggi, serta kemampuan berfikir yang tinggi, maka akan lebih mudah dalam hal memahami bagaimana menempatkan diri dalam hal hubungannya dengan orang lain. Menurut Fatimah (2008) kapasitas emosi dan kemampuan berfikir mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, menyelesaikan masalah, berbahasa, serta menyesuaikan diri dalam lingkungan masyarakat. Seseorang yang memiliki kemampuan berfikir yang baik dan kemampuan emosional yang stabil akan mudah dalam hal menghadapi permasalahan yang terjadi dalam kehidupannya, sikap saling pengertian dan kemampuan memahami orang lain merupakan modal utama seseorang dalam kehidupan sosial dan hal ini akan mudah dicapai pada orang yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dan kemampuan kognitif yang tinggi.

Jika dilihat dari pengalaman masa kerja (dapat dilihat pada tabel 8) tingkat

kecerdasan emosional responden yang memiliki masa bekerja 1-2 tahun lebih tinggi bila dibandingkan dengan responden yang memiliki masa kerja 3-5 tahun dan lebih dari 6 tahun. Hal ini mungkin saja terjadi dikarenakan pada tahap-tahap awal masa bekerja, individu masih memiliki semangat kerja yang tinggi, sehingga ia menunjukkan kinerja terbaiknya, beda halnya dengan responden yang masa kerjanya 3-5 tahun atau lebih dari 6 tahun yang semangat kerjanya telah mengalami penurunan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh McClelland (dalam Goleman, 2000) lama bekerja tidak mampu menentukan seberapa baik kinerja serta kecerdasan emosional seseorang atau seberapa jauh seseorang dapat dinyatakan sukses dalam pekerjaannya.

Berdasarkan hasil analisis deskripsi responden penelitian berdasarkan kepuasan terhadap profesi (dapat dilihat pada tabel 9) didapat bahwa responden yang merasa puas terhadap profesi memiliki nilai mean lebih besar dari responden yang merasa tidak puas terhadap profesinya. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Howell dan Dipboye (dalam Munandar, 2001) bahwa kepuasan terhadap pekerjaan merupakan hasil keseluruhan dari derajat rasa suka atau tidak sukanya tenaga kerja terhadap berbagai

(11)

aspek dari pekerjaannya, dengan kata lain kepuasan kerja mencerminkan sikap tenaga kerja terhadap pekerjaannya.

Seseorang yang merasa suka terhadap pekerjaannya, maka ia akan menjalani pekerjaannya tersebut tanpa adanya unsur paksaan baik dari dalam dirinya maupun dari lingkungannya, sehingga akan lebih memudahkan individu dalam hal mengatasi tuntutan dari pekerjaannya tersebut, maka dalam hal ini kecerdasan emosional yang berperan penting. Sesuai dengan yang diungkapkan Bar-on (2001) bahwa kecerdasan emosional sebagai serangkaian kemampuan dan kecakapan non-kognitif yang mempengaruhi seseorang untuk mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan termasuk dalam tuntutan pekerjaan.

Dari hasil analisis deskripsi responden berdasarkan ada atau tidaknya organisasi yang diikuti (dapat dilihat pada tabel 10) tingkat kecerdasan emosional responden yang mengikuti organisasi memiliki nilai mean lebih besar dari responden yang tidak mengikuti organisasi. Hal ini mungkin saja terjadi karena responden yang mengikuti organisasi lebih banyak berlatih dalam bergaul dengan orang lain, sehingga intensitas interaksi dengan orang lain lebih sering dan luas. Hal

ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Sardiman (2008) bahwa kecerdasan emosional kiranya tidak datang secara tiba-tiba, secara kodrati tetapi bisa datang secara berangsur-angsur melalui latihan dan keterampilan bergaul, itulah sebabnya untuk menjadi dewasa secara emosional harus banyak berlatih dan belajar melalui pergaulan serta berinteraksi dengan lingkungannya.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, diantaranya adalah:

1. Secara umum responden dalam penelitian ini memiliki tingkat kecerdasan emosional yang tergolong dalam kategori tinggi. Berdasarkan komponen kecerdasan emosional nilai tertinggi yang didapat dalam penelitian ini ada pada komponen mengenali emosi orang lain, tertinggi kedua ada pada komponen memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi sedangkan untuk nilai terendah terdapat pada komponen mengenali emosi diri.

2. Berdasarkan hasil deskripsi data responden tingkat kecerdasan emosional tertinggi terdapat pada; responden

(12)

dengan usia 37-40 tahun, responden sebagai anak bungsu, pendidikan D3 dan S1, responden dengan masa kerja 1-2 tahun, responden yang merasa puas terhadap profesi , dan responden yang mengikuti kegiatan organisasi.

3. Tingkat kecerdasan emosional yang lebih rendah terdapat pada; responden dengan usia 25-28 tahun, responden anak tunggal, responden dengan pendidikan SMA, D1, D2, responden dengan masa kerja 3-5 tahun dan lebih dari 6 tahun, responden yang merasa tidak puas terhadap profesi, dan responden yang tidak mengikuti kegiatan organisasi.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi Responden Penelitian

Bagi responden penelitian disarankan agar dapat mempertahankan serta meningkatkan kecerdasan emosional yang telah mereka miliki. Namun di sisi lain juga disarankan agar lebih meningkatkan kemampuan dalam hal mengenali emosi diri yang merupakan dasar dari kecerdasan emosional sehingga responden dapat lebih mampu dalam hal menguasai emosinya.

2. Bagi Pihak Sekolah

Disarankan agar mengikut sertakan para guru dalam kegiatan-kegiatan yang dapat menambah wawasan para guru, terutama dengan hal yang menyangkut kecerdasan emosional misalnya dapat dilakukan dengan cara mengikuti pelatihan-pelatihan dan seminar.

3. Bagi Penelitian Selanjutnya

Untuk penelitian selanjutnya diharapkan agar meneliti lebih lanjut lagi, misalnya saja dengan menambah jumlah responden penelitian, meneliti responden berdasarkan jenis kelamin yang berbeda, atau dengan menambah variabel psikologis kemudian juga agar dibahas secara lebih mendalam lagi agar dapat lebih menyempurnakan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Atwater, E. (1983). Psychology of adjustment. 2 nd. New Jersey:

Prentince Hall, Inc.

Azwar, S. (1996). Reliabilitas dan validitas. Yogyakarta: Sigma Alpha.

Bar-on, R. (2001). Emotional intelegence and self-aqtualization dalam Joseph, C., Joe, F., & John D. M. Emotional

intelligence in every day life: A scientific inquiry. New York:

(13)

Fatimah, E. (2008). Psikologi

perkembangan (perkembangan

peserta didik). Bandung:

CV. Pustaka Setia.

Goleman, D. (1996). Mengapa EI lebih

penting dari IQ. Terjemahan

Hermaya, T. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

---. (1997). Emotional intelligence. Terjemahan Karjono. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

---. (1999). Kecerdasan emosional untuk

mencapai puncak prestasi. Alih

Bahasa: Widodo, A. T. K. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

---. (2000). Kecerdasan emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ---. (2004). Emotional inteligence. Alih

Bahasa: Hermaya, T. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hadibroto, I., Syamsir, A., Erik, S., & Ferni, O. (2003). Misteri perilaku anak

sulung, tengah, bungsu, dan tunggal.

Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Moeslichatoen. (2004). Metode pembelajaran di Taman Kanak-kanak. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Munandar, A.S. (2001). Psikologi industri

dan organisasi. Jakarta: Universitas

Indonesia.

Mu’tadin, Z. (2003). Mengenal kecerdasan emosional pada remaja. www.iqieq.com.org. Diakses pada tanggal 10 Mei 2010.

Narbuko, C., & Achmadi, A. (2001).

Metodologi penelitian. Jakarta: PT.

Bumi Aksara.

Novita, L. (2001). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja pada karyawan PT. Alva Retalindo tbk cabang Ahmad

Yani Surabaya.

http://repository.petra.ac.id/1486/. Diakses pada tanggal 30 Maret 2011.

Sardiman, A. M. (2004). Interaksi dan

motivasi belajar mengajar. Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada.

Schultz, D. (1991). Psikologi pertumbuhan. Terjemahan Yustinus. Yogyakarta: Kanisius.

Shapiro, L. E. (1997). Mengajarkan

emotional intelligence pada anak.

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sugiyono. (2008). Metode penelitian

kuantitatif, kualitatif dan R & D.

Bandung: Alfa Beta.

Sukmadinata, N. S. (2004). Landasan

psikologi proses pendidikan.

Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

[r]

LAMPIRAN PROGRAM DAN HASIL PEMGOLAHAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS.

Untuk pasien relatif sedikit dengan penyakit jantung rematik di antaranya infeksi profilaksis endokarditis tetap dianjurkan, seperti yang dengan prostetik katup prostetik atau

(c) Pada umumnya strategi bauran pemasaran smartphone Samsung di Kota Manado yang dijalankan telah sesuai dengan teori strategi bauran pemasaran berdasarkan posisi

Perbaikan Tanah Media Tanaman Jeruk Dengan Berbagai Bahan Organik Dalam Bentuk Kompos, Bogor.. Penerapan

Dari data diatas dapat dilihat bahwa pengaruh kecepatan potong pada flame cutting terjadi penurunan kekuatan luluh karena penurunan kecepatan potongnya, untuk