• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Fotometri dalam astronomi pertama kali diperkenalkan berdasarkan sensitivitas mata. Dengan mengandalkan kepekaan mata maka manusia mengukur dan membandingkan kecerlangan cahaya yang diterima dari objek langit. Dalam bab ini akan dibahas sistem magnitudo Pogson yang selama ini digunakan astronom sebagai skala kecerlangan objek langit. Selanjutnya, dikupas sistem magnitudo baru, yakni magnitudo Lupton yang mampu untuk menangani kelemahan sistem Pogson. Di subbab terakhir, Penulis akan menjelaskan transformasi fotometri ke sistem standar. Persamaan transformasi ini digunakan untuk mengubah nilai magnitudo instrumental yang diperoleh dari pengamatan ke nilai magnitudo standar.

2.1. Sistem Magnitudo Pogson

Sistem fotometri dimulai oleh Hipparchus pada tahun 120 B.C. Bintang-bintang dalam katalog Hipparchus dibagi atas 6 kelas kecerlangan (magnitudo). Bintang yang paling terang tergolong kelas magnitudo pertama hingga yang paling redup, yang hampir tak terlihat oleh mata, termasuk kelas magnitudo keenam. Panjang gelombang yang dapat dideteksi mata disebut daerah kasat mata yaitu antara 375 nm – 750 nm.

Pada tahun 1830 John Herschel merumuskan bahwa perilaku mata manusia dapat diterjemahkan sebagai fungsi logaritmik, yang sebelumnya telah dideskripsikan secara matematis oleh N.R. Pogson pada tahun 1856; fluks cahaya bintang dengan magnitudo 1 adalah 100 kali dari fluks cahaya bintang bermagnitudo 6 (Sterken dan Manfroid, 1992). Dirumuskan dengan :

2 1 5 2 2 1 10 m m F F − ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = 2.1

(2)

6 Persamaan tersebut dapat diturunkan menjadi

2.5log

m= − F C+ 2.2

Persamaan diatas dikenal sebagai persamaan Pogson; C adalah titik nol persamaan. Harga magnitudo m dan titik nol adalah dua hal yang akan dicari dan ditentukan dalam fotometri astronomi.

Pengamatan astronomi terkait dengan peluang mendapatkan informasi foton pada detektor; dimana informasi foton tersebut merupakan informasi cahaya yang dikirimkan oleh benda langit. Foton tiba pada permukaan detektor secara acak. Karena data bintang yang diperoleh berupa cacah foton maka nilai benar jumlah foton yang diperoleh pun berada dalam suatu rentang nilai antara batas bawah dan batas atas fluks bintang. Hal tersebut berpengaruh pada nilai kecerlangan bintang yang kemudian akan berada diantara batas bawah magnitudo dan batas atas magnitudo. Hal tersebut disederhanakan dalam perumusan di bawah ini

m

mmΔ 2.3

dimana mΔ adalah rentang nilai benar magnitudo.

Salah satu cara yang kita kenal dalam menentukan galat atau rentang nilai suatu persamaan adalah melalui perambatan kesalahan. Misal kita memiliki fungsi f = f(x), dengan x merupakan variabel bebas hasil pengukuran. Maka galat pengukuran adalah x dx df f = Δ Δ . 2.4

Sehingga jika kita aplikasikan pada perumusan Pogson (persamaan 2.2) akan diperoleh dm m f df Δ = Δ atau 2,5 1 ln10 m f f Δ = × Δ . 2.5

(3)

7 Fungsi f dapat diurai menurut deret taylor :

... ) )( ( '' ' ! 3 1 ) )( ( " ! 2 1 ) )( ( ' ) ( ) (x = f a + f a xa + f a xa 2 + f a xa 3+ f

a adalah hasil pengukuran yang selanjutnya setelah x.

Untuk nilai xamaka suku ketiga dan seterusnya dapat diabaikan, sehingga diperoleh: ) )( ( ' ) ( ) (x f a f a x a f ≈ + − ) )( ( ' ) ( ) (x f a f a x a f − ≈ − x dx df f ≈ Δ Δ

Melalui penjabaran perumusan perambatan kesalahan tersebut dapat diperhatikan bahwa perumusan matematis yang kita pergunakan selama ini merupakan suatu pendekatan. Point pertama yang harus diperhatikan adalah

terdapat pengabaian pada suku ketiga dan seterusnya dari penguraian deret Taylor fungsi f sehingga diperoleh persamaan perambatan kesalahan. Pengabaian tersebut berlaku untuk suatu nilai Δ yang kecil, xx Δ yang kecil berarti nilai pengamatan yang pertama dan sesudahnya tidak jauh berbeda. Untuk nilai Δx yang cukup besar maka suku-suku yang lebih tinggi tidak boleh diabaikan. Ataupun bila nilai Δx yang dimiliki cukup besar maka perumusan tersebut bisa diaplikasikan hanya jika f(x) merupakan fungsi linear.

Point kedua yang tidak kalah penting adalah, melalui persamaan 2.5

diperoleh satu nilai galat pengukuran. Sementara kita sadar rentang nilai benar suatu pengukuran bergantung pada galat. Untuk fungsi yang linear, maka galat yang dikeluarkan oleh perambatan kesalahan (persamaan 2.5) tersebut berlaku benar. Namun bagaimana halnya untuk suatu fungsi non-linear? Perhatikan ilustrasi grafik dibawah ini untuk suatu fungsi sembarang.

(4)

8

Gambar 2.1 kurva fungsi sembarang

Merujuk pada persamaan 2.5, dapat disimpulkan hanya terdapat satu nilai

m

Δ , dan hal itu berarti untuk nilai Δmatas dan Δmbawah yang diperoleh akan memberikan satu nilai yang sama. Namun setelah melihat grafik di atas, yang kembali menjadi pertanyaan adalah yang selama ini dijadikan galat pengamatan dalam (perumusan) perambatan kesalahan adalah Δfatas atau Δfbawah?

Yang terjadi sebenarnya adalah persamaan 2.4 tersebut dapat diaplikasikan khusus pada suatu fungsi linear. Sehingga nilai galat yang diperoleh pun diberikan berdasarkan sifat linearitas dari fungsi linear, dimana untuk suatu nilai Δxatas dan

bawah

x

Δ yang bernilai sama akan menghasilkan suatu Δfatas atau Δfbawah yang

bernilai sama pula.

Skala magnitudo Pogson (Persamaan 2.2) merupakan fungsi logaritmik, dimana nilai magnitudo objek yang ingin dihitung bergantung pada fluks yang diterima pengamat. Jika fluks F tersebut berada pada suatu nilai benar ΔF maka batas bawah dan batas atas nilai magnitudo yang diperoleh adalah

bawah ( ) mm F+ ΔF Dan ) (F F m matas ≡ −Δ f(x) x Δfatas f(x) Δfbawah Δxbawah Δxatas x

(5)

9

Selisih antara nilai magnitudo dengan batas atas dan batas bawahnya dihitung dengan cara: ) ( ) ( ) ( ) ( F m F F m m F F m F m m atas bawah − Δ − = Δ Δ + − = Δ .

Untuk suatu objek langit yang terang, fluks F akan bernilai cukup besar dengan ΔFyang kecil, sistem pogson akan berperilaku cukup linear. Sehingga untuk memperoleh galat nilai magnitudo yang kecil dan simetris dapat dilakukan dengan penghitungan perambatan kesalahan. Rentang nilai benar magnitudo menentukan seberapa besar ketelitian penghitungan terhadap nilai magnitudo yang sebenarnya. Pada kasus obyek redup Δ yang diperoleh mungkin memiliki F

nilai yang mendekati atau bahkan sama dengan nilai F. untuk kasus tersebut fungsi logaritmik ini akan memberikan nilai galat Δm yang besar dan tidak simetris. Selama ini yang dijadikan acuan suatu bintang memiliki kualitas citra yang baik sehingga dapat direduksi lebih lanjut adalah nilai FF , atau sering dikenal dengan Signal to Noise Ratio (S/N).

Grafik di bawah ini adalah plot berbagai nilai Δmatas dan Δmbawah untuk berbagai ΔF (Nugraha, 2006). Maximum-Minimum -6 -4 -2 0 2 4 6 0 1 2 3 4 5 6

Signal to Noise Ratio

M

agni

tudo

(6)

10

Untuk nilai Δ yang besar dimana nilai FF Δ mendekati nilai F, diperoleh

atas

m

Δ dan Δmbawah yang tidak simetris. Pada kasus ini dapat dikatakan bahwa

untuk fluks dengan noise yang besar, perilaku asimetris dari galat magnitudo Pogson semakin signifikan. Pada nilai S/N yang cukup besar galat yang dimiliki masih simetris dan kecil, namun pada S/N yang mendekati nol maka terlihat rentang galat yang tidak simetris dan membesar. Hal inilah yang menyebabkan untuk bintang yang redup dimana S/N yang dimiliki cukup kecil, nilai magnitudo yang diperoleh makin tidak mempunyai bobot kepastian yang baik, karena rentang nilai benar yang dimiliki terlalu besar.

Pada kenyataannya banyak sekali ditemukan data astronomi dengan S/N

yang rendah terutama pada saat kita mengamati obyek-obyek yang lebih redup. Oleh karena itu dibutuhkan suatu teknik ekstraksi data yang dapat mengambil sebanyak mungkin informasi dari sinyal lemah yang mengandung noise yang relatif besar. Salah satu cara memperbaiki kemampuan ekstraksi data ini adalah dengan pendefinisian ukuran terang bintang yang baru yang dapat digunakan baik pada data S/N tinggi maupun S/N rendah.

2.2. Sistem Magnitudo Lupton

Dengan kelemahan yang terdapat dalam sistem Pogson, dan juga berlimpahnya data dengan S/N rendah, maka Lupton et. al.(1999) mengembangkan suatu pendefinisian skala magnitudo baru. Lupton menemukan bahwa sumber perilaku buruk yang dimiliki sistem Pogson pada data dengan S/N rendah adalah definisi magnitudo Pogson yang menggunakan fungsi logaritma. Lupton mengusulkan suatu fungsi arcus sinus hiperbolicus untuk menyempurnakan kekurangan sistem Pogson pada data dengan S/N rendah. Definisi sistem magnitudo Lupton adalah:

⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ + ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ≡ − b b x a x ln 2 sinh ) ( 1 μ . 2.6

Di sini

μ

( )x adalah magnitudo Lupton (Luptitudo), a adalah Pogson ratio dan b

(7)

11

dibandingkan dengan magnitudo Pogson. Sementara x adalah harga fluks yang ternormalisir.

Sementara varian ( )μ x dihitung menggunakan hubungan (Lupton et al, 1999): 2 2 2 2 ( ) 4 a Var x b μ =σ + . 2.7

dan untuk x mendekati nol, harga varian μ adalah:

2 2 2 ( ) 4 a Var b μ =σ . 2.8

Fungsi arcus sinus hiperbolicus dapat ditulis sebagai fungsi logaritma natural )

1 ln(

arcsin

sinh−1x x x+ x2+ . Menggunakan hubungan ini dan persamaan

2.5, kita bisa mengetahui perilaku asimtotik ( )μ x untuk x tinggi dan x rendah, yakni: m x x→∞ ( )≡ limμ , 0 lim ( ) ln 2 x x x a b b μ → ⎛ ⎞ = − + ⎝ ⎠

Dengan m adalah simbol yang digunakan untuk merepresentasikan nilai magnitudo Pogson.

Menurut perilaku tersebut, pada nilai x yang besar, skala asinh magnitudo menghasilkan harga magnitudo yang sama dengan magnitudo Pogson; sementara pada nilai x yang kecil, skala asinh magnitudo akan berperilaku linear. Nilai yang kecil ini jika kita lihat pada gambar 2.1, terlihat ketidak-linearan kurva mulai memberikan pengaruh pada galat yang tidak simetris pada S/N yang bernilai 4 dan seterusnya hingga mendekati nol. Bahkan kalaupun nilai x yang dimiliki bernilai negatif, secara teoretis skala asinh magnitude ini masih bisa memberikan suatu angka pasti. Sementara pada skala logaritmik yang diterapkan oleh Pogson, untuk suatu harga x yang bernilai negatif, tidak ada magnitudo yang dapat didefinisikan. Pada persamaan 2.5 dapat dilihat bahwa perumusan Lupton selain harus memperhatikan dan menjangkau nilai x yang berasal dari pengamatan, namun juga bergantung pada nilai konstanta b yang dipergunakan. Konstanta b ditentukan dengan mempertimbangkan dua syarat berikut.

(8)

12

Pada data dengan S/N tinggi, skala asinh magnitudo harus menghasilkan harga magnitudo yang sama dengan magnitudo Pogson.

Pada data dengan S/N rendah, skala asinh magnitudo harus menghasilkan angka varian ( )μ x yang kecil (mendekati nol).

Dengan mempertimbangkan kedua syarat diatas, maka diperoleh satu perumusan sederhana yang dapat merangkum kedua poin penting di atas, yaitu

2 2 a

σ

b = . 2.9

dengan σ adalah harga galat pengamatan ternormalisir.

Secara sederhana Lupton et al (1999) berusaha mendefinisikan satu sistem pendefinisian skala magnitudo yang sanggup menerjemahkan data dengan S/N rendah dimana fungsi Logaritmik Pogson tidak mampu memberikan hasil yang baik karena rentang galat yang dimilikinya.

2.3 Metode Pengamatan Fotometri CCD

Pengamatan fotometri pada dasarnya adalah mengumpulkan kecerlangan suatu bintang dan kemudian mengukurnya atau ditransformasikan ke dalam sistem magnitudo, yang menjadi ukuran kecerlangan bintang itu. Sejarah pengamatan fotometri diawali dengan pengamatan secara visual yang kemudian diikuti dengan plat fotografi, photomultiplier menyusul setelahnya, dan saat ini CCD merupakan instrumen yang kontemporer. Beberapa karakteristik CCD yang menjadikannya sebagai detektor yang saat ini sering dipakai dalam pengamatan dibanding dua detektor terdahulu antara lain adalah efisiensi kuantum yang tinggi, respon linear, rentang dinamika yang lebih lebar, citra yang direkam akan disimpan dalam format digital.

(9)

13

Gambar 2.3 Efisiensi kuantum berbagai detektor (Sterken & Manfroid, 1992)

Pengamatan yang dilakukan adalah pengamatan bintang-bintang standar yang berada tersebar di seluruh langit. Bintang standar dibutuhkan sehingga pengamat yang berbeda dapat membandingkan hasil pengamatan yang dilakukan dengan pengamat lain yang notabene menggunakan instrumen berbeda dan juga keadaan atmosfer yang berbeda. Dengan demikian, maka bintang standar merupakan alat kalibrasi untuk pengamat yang berbeda-beda.

Untuk mengatasi masalah ini maka sistem bintang-bintang standar telah dibuat sehingga pengamat dapat mengkalibrasi pengamatan-pengamatan apapun yang dilakukan dibandingkan pada kecerlangan bintang-bintang standar yang telah diketahui kecerlangannnya. Sistem standar ini hanyalah merupakan salah satu pilihan dari setup instrumen tapi secara umum merupakan prosedur yang paling stabil dan telah dihabiskan banyak waktu untuk pengamatan. Secara umum dapat dikatakan sistem standar terkait dengan fluks mutlak pengamatan dari beberapa bintang standar utama sehingga pengamatan-pengamatan pada sistem standar dapat diubah pada fluks yang dapat diukur.

Metode yang dipilih dalam melakukan pengamatan bintang standar adalah fotometri absolut. Ide dasar fotometri absolut yang Penulis kerjakan adalah mengamati bintang standar yang tersebar mewakili berbagai air mass. Dalam setiap pengamatan harus memperhitungkan adanya pengaruh ekstingsi. Ektsingsi

(10)

14

adalah pengaruh yang diakibatkan oleh atmosfer bumi. Perhitungan ekstingsi dapat dilakukan menggunakan persamaan di bawah ini:

z k m

mλo = λ − 'λsec 2.10

dengan k’λ = koefisien ekstingsi atmosfer

sec z = air mass, z = jarak zenith

= magnitudo yang diukur detektor

mλo = magnitudo yang sampai di atas permukaan atmosfer.

Satu seri pengamatan tentu saja harus disertai dengan pengambilan bias, flat field dan dark. Jika pengamatan dilakukan dalam berbagai panjang gelombang, misalnya menggunakan beberapa filter, maka setiap seri pengamatan dilakukan pada setiap filter secara bergantian.

Setiap instrumen fotometri memiliki sistem sendiri, yang dikenal dengan sistem instrumen. Meski duplikasi dilakukan dengan baik dan presisi pada sistem tersebut terhadap hasil observasi, namun pengukuran yang dilakukan tetap memberikan hasil yang berbeda. Oleh karena itu untuk mendapatkan perbandingan langsung hasil observasi yang dilakukan pada berbagai tempat dilakukan standardisasi. Standardisasi dilakukan melalui proses transformasi dari sistem fotometri instrumen ke sistem fotometri standar.

Setelah magnitudo yang teramati dikoreksi terhadap pengaruh ekstingsi, maka magnitudo objek tersebut dapat ditransformasikan ke dalam magnitudo standar melalui persamaan

λ λ

γ

β

+

=

m

(

B

V

)

V

vo bv vo bo

m

m

V

B

)

=

μ

(

)

+

ζ

(

2.11

dimana

β

λ = koefisien transformasi magnitudo

vo

m

= magnitudo instrumen yang sudah dikoreksi terhadap ekstingsi

λ

γ = konstanta zero point instrumen

μ

= koefisien transformasi warna B-V

0

Gambar

Gambar 2.1 kurva fungsi sembarang
Grafik di bawah ini adalah plot berbagai nilai  Δ m atas  dan  Δ m bawah  untuk  berbagai  Δ F  (Nugraha, 2006)
Gambar 2.3 Efisiensi kuantum berbagai detektor (Sterken & Manfroid, 1992)

Referensi

Dokumen terkait

Kelas yang menangani fungsi-fungsi yang harus ada diambil dari pendefinisian use case, kelas ini biasanya disebut dengan kelas proses yang menangani proses

Menurut (Herawati et al., 2020), Fungsi keluarga mempunyai makna masing-masing dan mempunyai peran penting dalam kehidupan keluarga. 1) Fungsi afektif, berhubungan dengan

Kendala umum yang menyebabkan produksi kentang di Indonesia masih rendah adalah karena petani masih menggunakan teknik budidaya konvensional (sederhana) dan masih

Fungsi partisipasi adalah seorang pemimpin berusaha mengaktifkan orang- orang yang dipimpinnya, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam melaksanakannya (Rivai, 2011).

Fungsi persediaan menurut Herjanto (1999) dari segi pemasaran adalah peningkatan tingkat persediaan sesuai tingkat permintaan konsumen, segi pembelian adalah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Curic et al., (1999), pada pemeriksaan histopatologi organ hati babi dara (persilangan babi Swedia dan German Landraces) yang

Pasar tradisional dicirikan oleh organisasi pasar yang sederhana, tingkat efisiensi dan spesialisasi yang rendah, volume barang relative kecil, bentuk bangunan yang apa

Ross et al (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2008) menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan manjemen dalam perusahaan maka manajemen akan cenderung untuk berusaha