• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tanah air. Jumlah tersebut mengacu pada data Kementrian Pariwisata dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tanah air. Jumlah tersebut mengacu pada data Kementrian Pariwisata dan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Sejak dikenalkannya konsep desa wisata sebagai salah satu bentuk pariwisata alternatif1, maka jumlah desa wisata khususnya di Indonesia mengalami peningkatan tajam bak jamur yang menyebar di berbagai pelosok tanah air. Jumlah tersebut mengacu pada data Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif bahwa di tahun 2012 di Indonesia memiliki 978 desa wisata yang jumlahnya meningkat drastis dibanding tahun 2009 yang hanya tercatat 144 desa untuk tujuan pariwisata2. Optimisme yang memprovokasi terbentuknya desa-desa wisata umumnya berasal dari keyakinan bahwa potensi daya tarik yang dimiliki sperti alam, budaya, dan tradisi masyarakat, mampu menarik minat sekelompok wisatawan baik domestik maupun internasional. Peluang tersebut muncul sejak terjadinya trend perubahan aspek psikografis dan demografis individu maupun sekelompok wisatawan di seluruh dunia yang bergeser meninggalkan jenis pariwisata konvensional yang sifatnya massal menuju jenis pariwisata alternatif yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan (Mowforth and Munt, 1998; Cooper and Hall, 2008; Fandeli, 2002; Damanik dan Weber, 2006).

1 Di Eropa terdapat bentuk-bentuk pariwisata yang berkembang sejak tahun 1980-an yaitu wisata pedesaan (village tourism) yang terdiri dari wisata di lahan pertanian dan perkebunan (farm tourism). Bentuk pariwisata ini termasuk pariwisata alternatif (Lihat Fandeli, 2002).

(2)

2

Agenda utama yang ingin dicapai dari keberadaan desa wisata adalah upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pariwisata. Namun banyak kalangan mengkritisi bahwa dampak besaran devisa3 yang dihasilkan dari industri pariwisata tidak berkorelasi secara langsung dengan penurunan angka kemiskinan. Timbul perdebatan para ahli yang mengatakan bahwa perkembangan industri pariwisata dianggap sebagai kapitalisasi perekonomian bagi para investor dengan modal besar yang justru memarginalisasi keberadaan masyarakat miskin4. Cita – cita untuk mengembangkan sektor pariwisata demi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat justru berdampak sebaliknya, yakni pariwisata yang memarjinalkan masyarakat di segala bidang (Damanik, 2005; Karim, 2008). Singkatnya, pencapaian devisa dari sektor pariwisata tidaklah seimbang bila disandingkan dengan jumlah masyarakat miskin5.

Terlepas dari problematika berkepanjangan antara pariwisata dan kemiskinan, kita tetap dapat merespon positif fenomena menjamurnya desa-desa wisata. Setidaknya masyarakat lokal menemukan celah untuk terlibat dan menerima manfaat dari sumberdaya wisata yang mereka miliki. Masyarakat lokal adalah komponen yang harus dilibatkan dalam berbagai kegiatan mulai dari

3

Sumbangan sektor pariwisata internasional mencapai US $ 1,075 trilyun dengan pertumbuhan sebesar 4% di tahun 2012 (un-wto.org). Di Indonesia, devisa yang disumbangkan pariwisata mencapai US$ 8,554 miliar (investor.co.id)

4 Adanya prinsip ekonomi pasar yang mengutamakan pengembangan resort-resort wisata yang ekslusif daripada akomodasi sederhana yang diorganisir oleh masyarakat lokal. Dengan cara ini tidak jarang masyarakat lokal yang merupakan salah satu pemangku kepentingan menjadi terpinggirkan dari pengelolaan sumberdaya pariwisata (UNED-UK,1998) dalam Damanik (2005). 5

Data BPS pada Maret 2013 menunjukkan bahwa angka masyarakat miskin Indonesia masih cukup tinggi yakni 28,7 juta orang.

(3)

3

perencanaan, pengambilan keputusan, hingga yang harus menanggung dampak kumulatif dari perkembangan wisata (Murphy, 1985; Raharjana, 2012; Damanik, 2013). Dengan kata lain komponen masyarakat lokal adalah aktor yang akan berperan sebagai pengelola segala bentuk aktivitas kepariwisataan di desa wisata.

Desa Wisata Religi Bongo adalah salah satu ratusan desa wisata yang telah terbentuk di Indonesia. Desa yang secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo ini diresmikan dengan SK Gubernur pada tanggal 9 Mei tahun 2004. Desa Bongo diresmikan dengan nama “Desa Wisata Religi”. Pemilihan konsep “religi” adalah gagasan yang dirintis oleh Bapak Yosef Tahir Maruf berdasarkan daya tarik utamanya yakni tradisi budaya islami berupa perayaan “Walima” yang dilaksanakan setiap Maulid Nabi tanggal 12 Rabiul Awal tahun Hijiriah. Saat ini tradisi Walima telah ditetapkan sebagai Calendar of Event budaya pariwisata Provinsi Gorontalo. Di samping itu, desa ini menyimpan daya tarik alam perbukitan, pantai, dan beberapa peninggalan sejarah. Perpaduan daya tarik budaya religi islami, alam, dan sejarah ini menjadikan Desa Bongo memiliki keistimewaan dan menjadi salah satu desa sasaran pengembangan pariwisata berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Gorontalo Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Daerah (RIPPDA) Provinsi Gorontalo.

Sebagai desa wisata yang sudah cukup lama terbentuk, seharusnya desa ini telah memasuki tahap kemandirian masyarakat untuk mengelola pariwisata di daerahnya. Kemajuan desa wisata dari segi fisik harus diimbangi dengan kapasitas yang memadai dari pengelola untuk menjalankan program-program desa wisata,

(4)

4

sebab tingkat kapasitas pengelola yang rendah akan berpotensi menghambat kemajuan sebuah desa wisata. Oleh karena itu isu mengenai kapasitas pengelola desa wisata ini kemudian menjadi sebuah kebutuhan untuk diidentifikasi. Kebutuhan tersebut berangkat dari identifikasi beberapa permasalahan terkait Desa Wisata Religi Bongo yang dapat diuraikan sebagai berikut.

Pertama, mayoritas penduduk Desa Bongo bermata pencaharian sebagai

nelayan dan petani. Jenis pekerjaan yang tidak berkaitan dengan kepariwisataan ini tentu saja memerlukan sebuah proses transformasi untuk mengelola pariwisata sebagai aktivitas baru bagi masyarakat. Dari pra-observasi yang dilakukan peneliti di tahun 2012 muncul persoalan ditinjau dari kapasitas atau kemampuan pengelola dalam mengelola pariwisata di Desa Bongo. Pengelolaan sektor pariwisata di desa ini masih sangat bergantung pada Bapak Yosef (perintis Desa Wisata Religi Bongo). Dirinya memiliki peran yang dominan dalam mengemukakan gagasan, implementasi program, bahkan mengeluarkan dana yang besar untuk membangun beberapa atraksi wisata buatan beserta sarana prasarana penunjang. Kondisi ini menimbulkan asumsi bahwa komponen pengelola lainnya belum sepenuhnya memiliki kapasitas memadai untuk mengelola pariwisata di desa ini. Hal ini didukung dengan laporan tim Pendampingan PNPM Pariwisata 2013 yang menyebutkan bahwa masyarakat masih membutuhkan peningkatan kapasitas dalam manajemen desa wisata (Puspar UGM, 2013). Asumsi sementara tersebut perlu ditindaklanjuti dengan identifikasi lebih dalam dengan menggunakan indikator-indikator kapasitas baik individual maupun organisasional dalam mengelola desa wisata.

(5)

5

Kedua, ketika menelusuri pustaka, hasil-hasil penelitian tentang desa

wisata didominasi oleh obyek penelitian di desa-desa wisata kawasan barat Indonesia, khususnya Pulau Jawa dan Bali. Kondisi ini menyebabkan justifikasi terhadap kapasitas pengelolaan desa-desa wisata kawasan tengah dan timur Indonesia, khususnya di Provinsi Gorontalo agak terabaikan. Memang pada beberapa data dari pemerintah, kita dapat mengakses laporan evaluasi terhadap program pemberdayaan masyarakat misalkan saja pada laporan PNPM Pariwisata6. Tetapi sering sekali ditemukan ketidak puasan pada hasil evaluasi yang terkesan tidak secara detail memuat informasi tingkat kapasitas masyarakat setempat. Penyebabnya adalah proses evaluasi tersebut sarat dengan berbagai keterbatasan antara lain waktu dan biaya, serta berbagai persoalan politis lainnya yang dapat menurunkan tingkat keakuratan dan obyektivitas data. Di sisi lain, analisis yang akurat dan obyektif sangat dibutuhkan untuk menuntaskan permasalahan desa wisata. Pemerintah harusnya menghindari pelaksanaan program peningkatan kapasitas masyarakat yang terkesan seragam untuk seluruh desa wisata di Indonesia, melainkan lebih kontekstual atau disesuaikan dengan kondisi di lapangan7. Demikian halnya dengan Desa Wisata Religius Bongo yang

6 Salah satu tujuan PNPM Mandiri Pariwisata adalah meningkatnya kapasitas kemampuan berusaha dan berkarya masyarakat di desa wisata dan sekitarnya, yang mencakup wilayah pedesaan atau komunitas masyarakat yang memiliki hubungan atau keterkaitan fungsi dan peran (sebagai objek pendukung, pemasok bahan baku, pemasok logistik, dan sebagainya), sehingga masyarakat miskin yang berdomisili di sekitar daya tarik wisata atau pusat-pusat kegiatan pariwisata dan budaya tersebut dapat meningkatkan kesejahteraannya (Puspar UGM, 2012) 7 Dalam kondisi yang ideal proses pengembangan kapasitas masyarakat harus dijalankan dengan menyesuaikan kemampuan dan karakteristik masyarakat setempat, sebagaimana yang dikatakan Mathieson (2006:307) bahwa sebuah komunitas tidaklah homogen, tetapi memiliki keandekaragaman distribusi sumberdaya, tingkat pendidikan, pengalaman di bidang pariwisata, tingkat keterlibatan, sejarah, unsur politis, administrasif, dan kondusifitas daerah masing-masing.

(6)

6

masih dalam tahapan berkembang. Masih sangat dibutuhkan sebuah penelitian yang secara substansial membahas tingkat kapasitas pengelola yang diharapkan dapat membantu menuntaskan permasalahan-permasalahan yang muncul dalam menjalankan roda pariwisata di desa tersebut.

Uraian permasalahan di atas mengerucut pada substansi untuk meneliti tingkat kapasitas pengelola Desa Wisata Religi Bongo. Tujuan utamanya adalah membantu kemajuan desa wisata yang tidak hanya handal dari sisi daya tarik dan sarana prasarana fisik, tetapi juga kapasitas para pengelola. Melalui penelitian ini diperoleh gambaran kelebihan dan kekurangan kapasitas pengelola yang akan memudahkan rumusan kebutuhan program peningkatan kapasitas (capacity

building) yang sesuai.

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian permasalahan maka peneliti merumuskan pertanyaan penelitian untuk menganalisis tingkat kapasitas yang ditujukan kepada pengelola Desa Wisata Religi Bongo. Variabel yang akan diteliti adalah kapasitas individual dan organisasional pengelola dalam dalam mengelola desa wisata, dengan rumusan pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat kapasitas individu pengelola dalam pengelolaan Desa Wisata Religi Bongo?

2. Bagaimana tingkat kapasitas organisasional pengelola dalam pengelolaan Desa Wisata Religi Bongo?

(7)

7

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji dan mendeskripsikan tingkat kapasitas individual pengelola baik kelebihan yang dapat memajukan, maupun kekurangan yang dapat menghambat proses pengelolaan desa wisata.

2. Mengkaji dan mendeskripsikan tingkat kapasitas organisasional pengelola baik kelebihan yang dapat memajukan, maupun kekurangan yang dapat menghambat proses pengelolaan desa wisata.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu:

1.4.1. Manfaat Teoritis

1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu kajian kepariwisataan dalam mengembangkan sebuah desa wisata dari aspek peningkatan kapasitas pengelola desa wisata.

2) Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya terkait pengelolaan desa wisata.

1.4.2. Manfaat Praktis

1) Penelitian ini diharapkan dapat membantu Desa Wisata Religi Bongo untuk mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari sisi kapasitas SDM pengelola.

2) Penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi pemerintah dan

stakeholder terkait untuk mengevaluasi dan merumuskan rencana

program-program peningkatan kapasitas masyarakat desa wisata yang sesuai kebutuhan.

(8)

8

1.5. Keaslian Penelitian

Sejumlah penelitian terkait program-program pemberdayaan, partisipasi masyarakat, dan kajian potensi desa wisata banyak ditemukan dalam penelusuran pustaka. Namun yang mendeskripsikan secara mendalam tingkat kapasitas pengelola Desa Wisata Religi Bongo, Kabupaten Gorontalo belum pernah dilakukan. Berikut beberapa contoh penelitian sejenis yang diambil diantaranya sebagai berikut:

1. Penelitian oleh Beata Maria Kurniawati Apu (Thesis UGM, 2010),

Implementasi PNPM Mandiri Pariwisata dalam Pengembangan Agrowisata Pengembangan Agrowisata di Desa Koanara Kabupaten Ende. Terdapat kemiripan obyek penelitian Apu (2012) dengan obyek

pada penelitian ini, yakni dilakukan pada sebuah desa wisata yang telah menerima program PNPM. Tetapi penelitian Apu tidak mendeskripsikan kapasitas pengelola desa wisata yang terbentuk setelah PNPM, tetapi cenderung mendeskripsikan proses implementasi program PNPM Pariwisata di Desa Koanara.

2. Penelitian oleh Dewi, Fandeli, Damanik dan Baiquni, 2013 tentang

Partisipasi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Desa Wisata di Kabupaten Tabanan, Bali. Penelitian ini terkait dinamika partisipasi

masyarakat dalam pembangunan pariwisata di tiga desa wisata. Tingkat partisipasi diuji dengan melakukan indikator-indikator keterlibatan dan menyebutkan variabel-variabel yang mempengaruhi partisipasi tersebut. Pengukuran tingkat partisipasi menyebabkan penelitian ini menggunakan

(9)

9

metode campuran yakni kuantitatif dan kualitatif, sedangkan penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif untuk mendeskripsikan tingkat kapasitas masyarakat melalui indikator kapasitas individu dan kapasitas organisasional.

3. Pavlína Látková and Christine A. Vogt (2011) Residents' Attitudes toward

Existing and Future Tourism Development in Rural Communities.

Penelitian ini mendeskripsikan sikap masyarakat terhadap pembangunan pariwisata di desanya dengan pendekatan teori-teori sosial. Data yang dihimpun dari masyarakat adalah pandangan mereka terhadap pariwisata, bukan pada tahapan keterlibatan dan gambaran kapasitas yang dimiliki.

4. Claire Haven‐Tang and Eleri Jones (2012). Local leadership for rural

tourism development: A case study of Adventa, Monmouthshire, UK.

Kepemimpinan dianggap faktor penentu dalam kemajuan desa wisata, sehingga Tang dan Jones tertarik untuk mengukur faktor tersebut. Fokus penelitian adalah faktor kepemimpinan dalam mengorganisir berbagai program pariwisata.

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana membuat video pariwisata Kabupaten Pacitan bergenre mockumentary laporan perjalanan yang berisi tentang potensi wisata alam yaitu goa, pantai, dan pemandian air

Pada Penelitian ini akan meneliti kawasan pariwisata berdasarkan daya tarik wisata dan melakukan penilaian potensi dan masalah komponen desa wisata yang ada untuk mengetahui

Strategi Promosi Desa Wisata Kampung Badud oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pangandaran. Strategi Promosi Wisata pada Dinas

Partisipasi masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata di desa wisata Ketenger masih tidak terkoordinir dan tidak merata di tiga dusun. Sebagian besar warga masih

Tidak lama kemudian pemerintah memberikan bantuan dana untuk pengembangan sektor pariwisata di desa tersebut melalui Program Nasioal Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)

Untuk menjawab tantangan pembangunan pariwisata di desa pesisir tertinggal Temajuk, diperlukan sebuah perencanaan pembangunan wisata yang dibuat dengan

Jika diamati dari tabel diatas maka dapat diperoleh gambaran bahwa kawasan pariwisata Cigugur memiliki objek wisata cukup banyak dan beragam jenisnya yaitu

Yang dimaksud objek wisata pedesaan adalah suatu desa yang mempunyai potensi besar dalam sektor pariwisata sehingga layak untuk dijadikan dan dikembangkan menjadi daya