• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tingkat keterbacaan wacana dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia dan buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2007 untuk SMA kelas XI berdasarkan grafik FRY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tingkat keterbacaan wacana dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia dan buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia tahun 2007 untuk SMA kelas XI berdasarkan grafik FRY"

Copied!
221
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT KETERBACAAN WACANA

DALAM BUKU TEKSKOMPETEN BERBAHASA INDONESIA

DAN BUKU TEKSPANDUAN BELAJAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA TAHUN 2007 UNTUK SMA KELAS XI BERDASARKAN GRAFIK FRY

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Disusun oleh: Merryta 061224008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

TINGKAT KETERBACAAN WACANA

DALAM BUKU TEKSKOMPETEN BERBAHASA INDONESIA

DAN BUKU TEKSPANDUAN BELAJAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA TAHUN 2007 UNTUK SMA KELAS XI BERDASARKAN GRAFIK FRY

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah

Disusun oleh : Merryta 061224008

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA, DAN DAERAH JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

PERSEMBAHAN

Tuhan Yesus yang senantiasa memberkati, melindungi, mengasihi, dan

menuntun setiap langkah hidupku dengan kuat kuasa-Nya yang luar biasa.

Terima kasih Tuhan untuk kemenangan ini.

Ibuku tercinta, M. Titik Wahyudiati yang tak pernah lelah mendoaku,

menyemangati, dan menyayangiku dengan kasih tulusnya.

Ayahku, Eddy Hariyanto Sutomo yang mengajariku untuk kuat dan selalu

menjadi yang terhebat dalam hidup. Aku selalu merindukanmu

Kedua adikku, Theodora Destyka dan Benediktus Yuda Kesawa. Terima kasih

untuk selalu memotivasiku menjadi kakak dan pribadi yang lebih baik.

Yusuf Davit Palma dan keluarga yang selalu memberikan dukungan kasihnya.

(6)
(7)

vi MOTTO

Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai

kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari. (Matius 6: 34)

Bersukacita senantiasa. Tetaplah berdoa. Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itu

yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu. (2 Tesalonika 5: 16-18)

Mulailah membangun dari mimpi, berusahalah untuk melakukan yang terbaik, dan

(8)
(9)

viii ABSTRAK

Merryta. 2013. Tingkat Keterbacaan Wacana dalam Buku Teks Kompeten Berbahasa Indonesia dan Buku Teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia Tahun 2007 Untuk SMA Kelas XI Berdasarkan Grafik Fry.Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tingkat keterbacaan wacana dalam dua buku teks bahasa Indonesia, yaitu buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dan buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis yang ditujukan untuk siswa SMA kelas XI. Ada tiga pokok permasalahan dalam penelitian ini, yakni (a) apakah wacana pada buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia sesuai untuk siswa kelas XI SMA berdasarkan grafik Fry, (b) apakah wacana pada buku teks Panduan Belajar dan Sastra Indonesia sesuai untuk siswa kelas XI SMA berdasarkan grafik Fry, dan (c) bagaimana perbandingan wacana dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia dan buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai bahan pembelajaran.

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini berasal dari wacana-wacana yang terdapat di dalam dua buku teks bahasa Indonesia yang keseluruhannya berjumlah 38. Ada empat langkah yang ditempuh setelah memperoleh data penelitian, yaitu (a) mengelompokkan wacana dari dua buku teks, (b) menghitung jumlah kalimat dan suku kata pada setiap wacana, (c) memasukkan jumlah kalimat dan suku kata untuk masing-masing wacana pada grafik Fry, dan (d) menafsirkan tingkat keterbacaan wacana berdasarkan grafik Fry. Untuk memperoleh hasil penelitian yang benar maka dilakukan triangulasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya terdapat dua wacana yang cocok untuk siswa SMA kelas XI dari buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia

(10)

ix

11. Itu artinya wacana ini dapat digunakan untuk siswa kelas IX pada jenjang pendidikan SMP dan siswa kelas X dan XI SMA.

(11)

x ABSTRACT

Merryta. 2013. The Readibility Level of The Reading Passages in the Textbooks Kompeten Berbahasa Indonesia and Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia in 2007 for Eleventh Grade Senior High School Students Based on the Fry Graph. Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Study Program, of Local and Indonesian Literature and Language Education. Faculty of Teachers Training and Education. Sanata Dharma University.

This study aims to analyze the readibility level of the reading passages found in two Indonesian language textbooks, namely Kompeten Berbahasa Indonesia published by Erlangga and Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia published by Esis are designed for eleventh grade senior high school students. There are three problems formulated in this study, namely (a) are the reading passages in the textbookKompeten Berbahasa Indonesia appropriate with the readibility level of eleventh grade senior high school students based on the fry graph, (b) are the reading passages in the textbook Panduan Belajar dan Sastra Indonesia appropriate with the readibility level of elventh grade senior high school students based on the Fry graph, (c) how is the comparison of the readibility level of the reading passages found in the textbooks Kompeten Berbahasa Indonesia published and Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesiaas a learning material.

(12)

xi

high school. There is only one reading passage in the textbook Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesiawhich is appropriate for eleventh grade senior high school students. Based on the Fry graph, the reading passage entitled “The Indonesian-Australian Security Framework” with the code Es. 9 shows the intersection between the line from dot 5 for the number of sentences with the line from dot 156 for the number of syllables falls on the level/grade 9, 10, 11. They indicate that the reading passage is suitable for ninth grade junior high school students and tenth and eleventh grade senior high school students.

(13)

xii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas karunia, rahmat, berkat, dan cinta kasihnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Tingkat Keterbacaan Wacana dalam Buku Teks Kompeten Berbahasa Indonesia dan Buku Teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia Tahun 2007 Untuk SMA Kelas XI Berdasarkan Grafik Fry” dengan baik.Penyusunan skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia, dan Daerah, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan, dorongan, petunjuk, dan nasehat. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rohandi, Ph.D., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Dr. B. Widharyanto, M.Pd., selaku dosen pembimbing I yang dengan bijaksana dan sabar telah meluangkan waktu, membimbing, menasehati, menguatkan, dan mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. Yuliana Setyaningsih, selaku Ketua Program Studi Bahasa, Sastra

Indonesia, dan Daerah sekaligus dosen pembimbing II yang dengan sabar membimbing, menasehati, memberikan arahan yang berguna serta mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini

4. L. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., yang telah bersedia menjadi penyidik dan memberikan pengarahan yang berguna dalam skripsi ini. 5. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan

masukan dan pengarahan yang berguna bagi penulis dalam skripsi ini. 6. R. Marsidiq selaku karyawan PBSID yang telah memberikan bantuan dan

(14)
(15)

xiv DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

MOTTO ... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... x

KATA PENGANTAR ... xii

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Penelitian ... 1

(16)

xv

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

1.6 Batasan Istilah ... 9

1.7 Sistematika Penyajian ... 10

BAB II LANDASAN TEORI ... 12

2.1 Penelitian Relevan ... 12

2.2 Kerangka Pustaka ... 15

2.2.1 Pengertian Buku Teks ... 15

2.2.2 Fungsi Buku Teks ... 16

2.2.3 Penyusunan Buku Teks ... 17

2.2.4 Kriteria Telaah Buku Teks ... 18

2.2.5 Wacana ... 32

2.2.6 Jenis-jenis Wacana ... 33

2.2.7 Pengertian Keterbacaan ... 37

2.2.8 Cara Mengukur Keterbacaan ... 39

2.2.8.1 Grafik Fry ... 41

2.2.8.2 Petunjuk Penggunaan Grafik Fry ... 43

2.2.8.3 Beberapa Catatan Penting Tentang Grafik Fry ... 46

2.3 Kerangka Berpikir ... 48

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 51

(17)

xvi

3.2 Instrumen Penelitian ... 52

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 53

3.4 Teknik Analisis Data ... 55

3.5 Triangulasi ... 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 60

4.1 Deskripsi Data ... 61

4.2 Hasil Penelitian ... 66

4.2.1 Tingkat Keterbacaan Wacana Pada Buku Teks Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI terbitan Erlangga Berdasarkan Grafik Fry ... 67

4.2.2 Tingkat Keterbacaan Wacana Pada Buku Teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA Kelas XIterbitan Esis Berdasarkan Grafik Fry …………... 74

4.2.3 Tingkat Keterbacaan Wacana Dalam Buku TeksKompeten Berbahasa Indonesia dan Buku Teks Panduan Belajar dan Sastra IndonesiaSebagai Bahan Pembelajaran ……... 78

4.3 Pembahasan ... 84

4.3.1 Hasil Analisis Tingkat Keterbacaan Wacana Dalam Buku TeksKompeten Berbahasa Indonesia………... 84

4.3.2 Hasil Analisis Tingkat Keterbacaan Wacana Untuk Buku TeksPanduan Belajar Bahasa Indonesia……… 88

(18)

xvii

4.4 Triangulasi ... 95

BAB V PENUTUP ... 97

5.1 Kesimpulan ... 97

5.2 Implikasi ... 98

5.3 Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA ... 101

LAMPIRAN ... 103

(19)

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1

Tabel Analisis Wacana dalam Buku Teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga Berdasarkan Jumlah Kalimat dan Jumlah

Suku Kata………... 103

Tabel Analisis Wacana dalam Buku Teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis Berdasarkan Jumlah Kalimat dan Jumlah

Suku Kata ……… 115

Grafik Fry untuk Tingkat Keterbacaan Wacana Buku Teks Kompeten

Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga ………... 122 Grafik Fry untuk Tingkat Keterbacaan Wacana Buku Teks Panduan

Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis ……… 134 Lampiran TriangulasiPenyidik ………. 141 Lampiran 2

Data Asli Wacana dari Buku Teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dan Wacana dari Buku Teks Panduan Belajar Bahasa

(20)

xix

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1: Analisis Data ... 57 Tabel 2: Analisis Tingkat Keterbacaan Berdasarkan Grafik Fry ... . 57 Tabel 3: Daftar Wacana dalam Buku Teks Kompeten Berbahasa

Indonesia untuk SMA Kelas XIterbitan Erlangga ... 61 Tabel 4: Daftar Wacana dalam Buku Teks Panduan Belajar Bahasa dan

Sastra Indonesia untuk SMA dan MA Kelas XIterbitan Esis ... ... 63 Tabel 5: Analisis Wacana dalam Buku Teks Teks Kompeten Berbahasa

Indonesia untuk SMA Kelas XI terbitan Erlangga Berdasarkan Jumlah Kalimat dan Suku Kata... 65 Tabel 6: Analisis Wacana dalam Buku Teks Panduan Belajar Bahasa

dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA Kelas XIterbitan Esis Berdasarkan Jumlah Kalimat dan Suku Kata ... ... 66 Tabel 7: Analisis Tingkat Keterbacaan Wacana Buku Teks Kompeten

Berbahasa Indonesia untuk SMA Kelas XI terbitan Erlangga Berdasarkan Fry ... ... 67 Tabel 8: Analisis Tingkat Keterbacaan Wacana Buku Teks Panduan

Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA Kelas XIterbitan Esis Berdasarkan Grafik Fry ... 74 Tabel 9: Tingkat Keterbacaan Wacana dalam Buku Teks Kompeten

(21)

xx

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1: Contoh Gambar Grafik Fry ... 42

Gambar 2: Grafik Fry untuk Kode Teks Er. 5 ... 70

Gambar 3: Grafik Fry untuk Kode Teks Er. 10 ... 71

Gambar 4: Grafik Fry untuk Kode Teks Er. 1 ... 73

Gambar 5: Grafik Fry untuk Kode Teks Es. 9 ... 76

(22)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian

Kemampuan membaca menjadi syarat mutlak yang harus dimiliki oleh siswa dalam memahami suatu bacaan. Dalam kegiatan membaca, siswa-siswa SMA diharapkan berubah dalam perilaku membaca, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak sadar menjadi sadar, atau dari tidak bisa menjadi bisa.

Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis (Tarigan, 1983: 7). Kata-kata yang sederhana akan mudah dipahami oleh para siswa, sehingga isi atau makna yang dimaksudkan oleh penulis akan mudah ditangkap oleh para siswa.

Kridalaksana dalam Suladi, dkk (2000: 1) menyebutkan bahwa membaca mempunyai arah bagaimana seseorang memahami informasi melalui kegiatan menggali informasi dari wacana (teks). Dalam kehidupan masyarakat keragaman bahan membaca untuk konsumsi baca ini terasa sangat beragam, dapat berupa teks, buku ilmiah, surat kabar, majalah, dan lain-lain.

(23)

siswa. Oleh karena itu, penting bagi seorang guru dalam menentukan kriteria materi bacaan bagi siswanya. Salah satu kriteria pemilihan materi bacaan dapat menggunakan keterbacaan. Keterbacaan merupakan istilah dalam bidang pendidikan membaca yang memperhatikan tingkat kesulitan materi yang harus dibaca (Hardjasujana, dkk. 1999: 41). Tingkat keterbacaan dalam sebuah materi harus sesuai dengan tingkat kemampuan siswa.

Pentingnya tingkat keterbacaan dalam suatu buku teks akan berpengaruh terhadap motivasi dan minat siswa untuk membaca. Aspek keterbacaan berkaitan dengan tingkat kemudahan bahasa (kosakata, kalimat, paragraf, dan wacana) bagi siswa sesuai dengan jenjang kemudahan membaca, bentuk tulisan atau topografi, lebar spasi, dan aspek-aspek grafika lainnya, kemenarikan bahan ajar sesuai dengan minat pendidikannya. Keterbacaan yang tinggi artinya kalimat-kalimatnya mudah dipahami; paragraf-paragrafnya memiliki kesatuan, kelengkapan, kesetalian, dan isi yang memadai, bab-babnya tersusun runtut, dan daya bahasanya sederhana (Hardjasujana, dkk., 1999: 10). Tingkat keterbacaan ini digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pemilihan bahan pengajaran. Hal ini berguna untuk menyesuaikan dengan tingkat kemampuan membaca para siswa.

Buku merupakan penunjang yang penting dalam proses belajar mengajar di sekolah. Buku yang berisi bahan pembelajaran ialah buku teks (Hardjasujana, dkk., 1990: 1). Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 11/25 tentang

(24)

pendidik dan dapat menggunakan buku pengayaan, dan buku referensi dalam

proses pembelajaran.” Pada kenyataannya, buku-buku yang digunakan di sekolah-sekolah di Indonesia terdiri atas empat jenis, berdasarkan klasifikasi buku pendidikan, maka terdiri atas (1) buku teks pelajaran; (2) buku pengajaran; (3) buku pengayaan; dan (4) buku rujukan (Pusat Perbukuan Depdiknas, 2004: 4).

Buku teks pelajaran merupakan buku yang berfungsi sebagai pedoman bagi siswa untuk belajar. Buku pengajaran dinamakan pula buku panduan pendidik (Permendiknas No. 11/2005). Buku ini berfungsi sebagai pedoman bagi guru dalam mengajarkan suatu materi pelajaran. Buku teks pelajaran muatan lokal yang digunakan pada satuan pendidikan dasar dan menengah dipilih dari buku-buku teks pelajaran yang ditetapkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai kewenangan masing-masing dengan berpedoman pada standar buku teks yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan Nasional. Buku teks harus dapat dimengerti dan dipahami oleh para siswa guna menunjang suatu program pengajaran.

(25)

penggunaan bahasanya wajar, menarik, dan sesuai dengan perkembangan siswa atau tidak. Walau sebenarnya penulisan buku tersebut telah menggunakan bahasa yang benar, namun dalam kenyataannya, para siswa terkadang masih kesulitan dalam memahami isi bacaan yang terdapat dalam buku teks.

Seiring perkembangan kurikulum yang diterapkan oleh pemerintah saat ini, maka buku teks pun disesuaikan dengan kurikulum yang dilaksanakan di sekolah. Terdapat dua buku teks yang banyak digunakan di sekolah-sekolah sebagai pedoman dalam proses belajar mengajar, antara lain buku Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA kelas XI terbitan Erlangga tahun 2007 dan

Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA kelas XI terbitan Esis tahun 2007 dengan menggunakan kurikulum KTSP Standar Isi 2006 yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. KTSP Standar Isi 2006 memuat kebutuhan dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Sejauh pengamatan peneliti kedua buku ini merupakan buku pengayaan yang digunakan di sekolah-sekolah sebagi sarana belajar mengajar.

Keterbacaan dapat diukur dengan menggunakan sejumlah formula (rumus) keterbacaan seperti, Spache, Guning’s, Fog Index, SMOG Grading, Raygor

(26)

Adapun buku teks Bahasa Indonesia yang dipilih untuk diteliti oleh peneliti, yaitu Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA kelas XI yang diterbitkan oleh penerbit Erlangga dan Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA kelas XI yang diterbitkan oleh penerbit Esis dikarenakan kedua buku teks tersebut digunakan dibeberapa sekolah sebagai buku pegangan oleh guru dalam proses belajar mengajar. Beberapa sekolah yang menggunakan buku Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA kelas XI yang diterbitkan oleh penerbit Erlangga antara lain: SMA N 6 Yogyakarta, SMA Pangudi Luhur Yogyakarta, SMA N 1 Pakem, sedangkan buku Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesiauntuk SMA dan MA kelas XI yang diterbitkan oleh penerbit Esis digunakan di sekolah-sekolah seperti: SMA N 6 Yogyakarta, SMA N 1 Cangkringan. Peneliti juga menilai bahwa kedua buku teks Bahasa Indonesia, yaitu Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA kelas XI yang diterbitkan oleh penerbit Erlangga danPanduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA dan MA kelas XI yang diterbitkan oleh penerbit Esis sudah berlabelkan kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) Standar Isi 2006.

(27)

KTSP Standar Isi 2006. Selain itu, belum ada penelitian yang mengkaji tingkat keterbacaan pada kedua buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA kelas XI terbitan Erlangga dan Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia

terbitan Esis tersebut menggunakan grafik Fry.

(28)

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan paparan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya yaitu:

(1) Apakah wacana pada buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga sesuai untuk siswa kelas XI SMA berdasarkan grafik Fry?

(2) Apakah wacana pada buku teks Panduan Belajar dan Sastra Indonesia

terbitan Esis sesuai untuk siswa kelas XI SMA berdasarkan grafik Fry?

(3) Wacana apa sajakah yang sesuai untuk siswa kelas XI SMA dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dan buku teks

Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesiaterbitan Esis sebagai bahan pembelajaran?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah:

(1) Mendeskripsikan tingkat keterbacaan wacana buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlanggauntuk para siswa kelas XI SMA. (2) Mendeskripsikan tingkat keterbacaan wacana buku teks Panduan Belajar

(29)

(3) Mendeskripsikan wacana yang sesuai untuk para siswa kelas XI SMA dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dan buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis

sebagai bahan pembelajaran.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memiliki lima ruang lingkup yaitu pertama, tingkat keterbacaan wacana dalam buku teks. Kedua, peneliti memilih dua buah buku teks bahasa Indonesia, yaitu Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dan buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis sebagai sumber penelitian. Ketiga, peneliti memilih buku teks yang digunakan untuk kelas XI SMA. Keempat, pemilihan wacana yang representatif berdasarkan jumlah kalimat dan suku kata. Kelima, peneliti memilih grafik Fry untuk menguji tingkat keterbacaan.

1.5 Manfaat Penelitian

(30)

(1) Informasi mengenai tingkat keterbacaan buku teks dapat menambah khazanah pengetahuan bagi penulis dalam penyusunan buku teks.

(2) Informasi mengenai tingkat keterbacaan buku teks dapat menjadi pertimbangan bagi guru dan calon guru Bahasa Indonesia dalam memilih buku teks yang tepat sebagai sumber pengajaran dalam proses belajar mengajar.

(3) Informasi mengenai tingkat keterbacaan dapat menjadi salah satu rujukan dalam memilih buku teks untuk pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.

(4) Informasi mengenai tingkat keterbacaan dapat memberikan sumbangan pengetahuan bagi kalangan pendidik sebagai sumber belajar.

(5) Informasi mengenai tingkat keterbacaan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.

1.6 Batasan Istilah

Berikut ini akan disajikan istilah untuk menghindarkan kesalahpahaman, yaitu (1) keterbacaan, (2) wacana, (3) buku teks

(1) Keterbacaan

(31)

dengan pembaca maka keterbacaan yang dimaksud adalah ukuran tentang sesuai tidaknya suatu bacaan bagi pembaca tertentu dilihat dari tingkat kemudahan atau kesukaran wacananya.

(2) Tingkat Keterbacaan

Tingkat keterbacaan adalah tingkat kesulitan atau kemudahan sebuah wacana atau buku. Tingkat keterbacaan biasanya dinyatakan dengan peringkat kelas (Hardjasujana, dkk., 1999: 4.2).

(3) Wacana

Wacana adalah suatu kebahasaan yang terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi dan terbesar, direalisasikan dalam bentuk karangan utuh (novel, buku, seri, ensiklopedia, dsb), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat lengkap (Kridalaksana, 1993: 23).

(4) Buku teks

(32)

1.7 Sistematika Penyajian

(33)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Penelitian yang Relevan

Terdapat beberapa penelitian yang mendukung terhadap penelitian yang hendak dilakukan. Beberapa penelitian itu antara lain, pertama, penelitian yang dilakukan Dewi (2001) yang berjudul “Uji Keterbacaan Wacana Buku Teks Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMU Karangan A. Rumadi, dkk,

kedua, Emanuel Rastomo Jati dengan topik “Tingkat Keterbacaan Teks-Teks Bacaan dalam Buku Teks Penuntun Terampil Berbahasa Indonesia untuk SLTP Kelas II cawu 1, 2, dan 3 Karangan Ambary, dkk. Terbitan Trigenda Karya Bandung” yang dilakukan tahun 2003, dan ketiga, penelitian Suryani (2007) berjudul “Tingkat Keterbacaan Wacana dalam Dua Buku Teks Bahasa Indonesia Kelas VIII.”

(34)

instruksional. Hal ini berarti bahwa siswa masih memerlukan bantuan guru untuk dapat memahami isi wacana.

Penelitian Jati (2003) bertujuan (1) mendeskripsikan tingkat keterbacaaan teks-teks bacaan dalam buku teks Penutur Terampil Berbahasa Indonesia untuk SLTP Kelas II cawu 1, 2, dan 3 karangan Ambary, dkk. terbitan Trigenda Karya Bandung pada siswa SLTPN I dan II Kretek Bantul berdasarkan tes pemahaman, (2) mendeskripsikan tingkat keterbacaaan teks-teks bacaan dalam buku teks Penutur Terampil Berbahasa Indonesia untuk SLTP Kelas II cawu 1, 2, dan 3 karangan Ambary, dkk. terbitan Trigenda Karya Bandung pada siswa SLTPN I dan II Kretek Bantul berdasarkanFox Index. Hasil penelitian tingkat keterbacaaan teks-teks bacaan dalam buku teks Penutur Terampil Berbahasa Indonesia untuk SLTP Kelas II cawu 1, 2, dan 3 karangan Ambary, dkk. terbitan Trigenda Karya Bandung berdasarkan tes pemahaman menunjukkan bahwa tingkat keterbacaan wacana buku teks siswa kelas II tergolong sedang. Namun tidak semua teks dapat dipakai sebagai bahan pembelajaran. Tingkat keterbacaan buku teks berdasarkan

Fox Index menunjukkan bahwa teks-teks dalam wacana tersebut dapat dikategorikan menjadi tiga, yaitu teks keterbacaan tinggi, sedang, dan rendah. Teks-teks yang dapat dipakai sebagai bahan pembelajaran adalah teks-teks yang berketerbacaan tinggi dan sedang.

(35)

terbitan PT Grasindo tahun 2006. Data penelitian dikumpulkan dengan menggunakan instrument berupa soal-soal cloze test. Soal-soal cloze test dibuat dengan cara peneliti mengosongkan kata keenam dan mengutuhkan paragraf pertama dan paragraf terakhir.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa buku teks Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMP kelas VIII karangan Nurhadi, dkk. terbitan Erlangga tahun 2004 untuk siswa pada satu sekolah termasuk kategori frustasi, sedangkan untuk siswa pada empat sekolah yang lain termasuk dalam kategori instruksional. Buku teks Mampu Berbahasa Indonesia SMP dan Mts Kelas VIII karangan Asul Wiyanto, dkk. terbitan PT Grasindo tahun 2006 menunjukkan bahwa siswa pada tiga sekolah termasuk kategori frustasi dan siswa pada dua sekolah yang lain termasuk dalam kategori instruksional.

Berdasarkan relevansi penelitian di atas dengan penelitian yang sedang dilakukan peneliti adalah sama-sama merupakan penelitian kualitatif yang mendeskripsikan tentang tingkat keterbacaan buku teks. Hal yang membedakan adalah cara mengukur tingkat keterbacaannya, meskipun beberapa penelitian yang ditemukan menggunakan tes klos sebagai alat pengujinya. Dari hal inilah, peneliti mendapat inspirasi untuk melakukan penelitian sejenis terhadap buku teks

Kompeten Berbahasa Indonesia untuk SMA kelas XI terbitan Erlangga dan

(36)

2.2 Kerangka Pustaka

Dalam penelitian ini, teori yang digunakan meliputi pengertian buku teks, fungsi buku teks, penyusunan buku teks, kriteria buku teks, wacana, jenis-jenis wacana, pengertian keterbacaan, dan cara mengukur keterbacaan. Masing-masing dijabarkan sebagai berikut.

2.2.1 Pengertian Buku Teks

Dalam bukunya Tarigan (1990), beberapa ahli menjelaskan pengertian mengenai buku teks. Hall-Ouest (1915) mengatakan buku teks adalah rekaman pikiran rasial yang disusun buat maksud-maksud dan tujuan-tujuan instruksional. Sementara itu, Lange (1940) mengemukakan buku teks adalah buku standar atau buku setiap cabang khusus studi dan dapat terdiri dari dua tipe yaitu buku pokok atau utama dan suplemen atau tambahan. Bacon (1935) berpendapat bahwa buku teks adalah buku yang dirancang buat penggunaan di kelas, dengan cermat disusun dan disiapkan oleh para pakar atau para ahli dalam bidang itu dan diperlengkapi dengan saran-sarana pengajaran yang sesuai dan serasi.

(37)

teks itu selalu merupakan buku yang standar. Standar yang dimaksud adalah baku, menjadi acuan, berkualitas, dan biasanya ada tanda pengesahan dari badan berwenang. Keempat, buku teks itu biasanya disusun dan ditulis oleh para pakar (ahli, ekspert) di bidangnya masing-masing. Kelima, buku teks itu ditulis untuk tujuan instruksional tertentu. Keenam, buku teks biasa juga dilengkapi sarana pengajaran, misalnya pita rekaman dalam pelajaran menyimak.Ketujuh, buku teks itu ditulis untuk jenjang pendidikan tertentu. Kedelapan, buku teks itu selalu ditulis untuk menunjang sesuatu program pengajaran.

Secara garis besar, buku teks adalah buku pelajaran. Buku pelajaran yang dibuat oleh para ahli dari bidang studi tertentu dengan tujuan instruksional tertentu yang dilengkapi dengan sarana pengajaran sesuai dengan standar pada jenjang pendidikan tertentu guna menunjang proses pengajaran.

2.2.2 Fungsi buku Teks

Buku teks memegang peranan penting dalam proses pengajaran. Adanya kesempatan untuk mengulang atau meninjau kembali, waktu dan lamanya membaca tidak terbatas, membantu menyegarkan ingatan, dapat membuat catatan-catatan penting, sarana-sarana penunjang yang dapat membantu dalam proses memahami suatu buku teks merupakan peranan yang dapat diambil dari buku teks bagi siswa dalam proses pengajaran.

(38)

mudah dibaca, dan bervariasi sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa. Ketiga, menyediakan suatu sumber yang tersusun rapi dan bertahap. Keempat, menyediakan aneka metode dan sarana pengajaran.Kelima, fiksasi (perasaan yang mendalam) awal bagi tugas dan latihan. Keenam, menyajikan sumber bahan evaluasi dan remedial menyajikan (Greene dan Petty, 1971: 540-2).

2.2.3 Penyusunan Buku Teks

Seorang guru tidak begitu saja menggunakan suatu buku teks berdasarkan penampilan fisik atau kemenarikan sampul depannya saja. Tujuan pengajaran yang sesuai, bahan bacaan yang relevan, metode dan sarana penunjang yang tepat menjadi beberapa faktor dalam pemilihan buku teks. Berdasarkan hal tersebut, maka penyusunan buku teks yang tepat dan sesuai perlu diperhatikan. Sedikitnya ada empat hal yang perlu diperhatikan pada waktu menyusun buku teks, yaitu:

(1) informasi yang lengkap tentang pendidikan, motivasi, dan pengalaman pembaca (siswa),

(2) pemilihan dan penentuan tujuan yang hendak dicapai secara mantap,

(3) pemilihan kata, yaitu mulai kata yang paling akrab,

(4) penyusunan kalimat yang tepat, gaya bahasa yang sederhana (Depdikbud, 1999: 13).

(39)

sumber, penilaian, dan bahasa. Patokan kedua bersifat khusus yang berlaku bagi buku teks tertentu saja, misalnya buku teks bahasa Indonesia. Patokan umum biasanya bersumber dari kurikulum (Depdikbud, 1999: 69-70).

Dengan memperhatikan dasar-dasar penyusunan buku teks di atas, diharapkan guru lebih mudah dalam memilih dan menentukan buku teks yang akan digunakan dalam proses pengajaran. Hal ini juga tentunya akan mendukung keberhasilan proses pengajaran.

2.2.4 Kriteria Telaah Buku Teks

Kriteria menurut KBBI merupakan ukuran yg menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu. Kriteria telaah (menilai) buku teks merupakan acuan yang dapat digunakan oleh guru atau peneliti yang ingin mengetahui kesesuaian suatu buku teks dengan kebutuhan penggunanya. Kriteria menilai buku teks juga dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam pemilihan suatu buku teks yang akan dijadikan bahan pengajaran bagi siswa. Adapun beberapa sumber acuan yang dapat digunakan dalam penyusunan pedoman penelaahan buku teks antara lain:

(1) Kurikulum;

(2) Karakteristik mata pelajaran (ilmu yang relevan);

(3) Hubungan antara kurikulum, mata pelajaran, dan buku teks;

(4) Dasar-dasar penyusunan buku teks;

(40)

(6) Prisnsip-prinsip penyusunan buku teks;

(7) Penyeleksian buku kerja (Dekdipbud, 1999: 81).

Dasar umum penyusunan buku teks adalah kurikulum. Dasar penyusunan buku teks dibagi menjadi 2 sifat, yaitu umum dan khusus. Dasar penyusunan buku teks yang bersifat umum berlaku bagi setiap mata pelajaran, sedangkan dasar penyusunan buku teks bersifat khusus hanya berlaku bagi mata pelajaran tertentu.

Untuk menyusun kriteria penelaahan buku teks dalam mata pelajaran tertentu yang dilakukan adalah menyesuaikan butir-butir dalam pedoman umum dengan ciri khas atau tuntutan mata pelajaran yang bersangkutan. BSNP ( Badan Standar Nasional Pendidikan) menetapkan beberapa kriteria kualitas buku teks pelajaran bahasa Indonesia yang memenuhi syarat kelayakan yang meliputi sebagai berikut:

1. Kelayakan Isi

Kelayakan isi menyangkut materi apa yang disajikan dalam buku teks. Ada beberapa hal penting yang harus dipenuhi agar buku teks dapat dikatakan memiliki isi yang layak untuk dipakai. Kelayakan isi terlihat dari kesesuaian uraian materi dengan SK dan KD, keakuratan materi, dan materi pendukung.

a. Kesesuaian Uraian Materi dengan Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD).

(41)

BSNP dalam standar isi. SK dan KD merupakan tolok ukur pedoman dalam pembelajaran dan merupakan tujuan ketercapaian pembelajaran. Uraian materi yang ada di dalam buku secara implisit memuat materi yang mendukung tercapainya minimum SK-KD yang lengkap dengan ketentuan sebagai berikut:

• 40≤ KD ≤ 60, masuk kedalam kategori sangat baik • 21≤ KD ≤ 40, masuk kedalam kategori baik

• KD≤ 20, masuk kedalam kategori cukup baik

• Dan jika tidak memenuhi ketentuan di atas masuk kedalam kategori kurang baik.

Keluasan materi berkenaan dengan materi yang disajikan harus mencerminkan jabaran yang mendukung pencapaian semua Kompetensi Dasar (KD) dan sesuai dengan tingkat pendidikan peserta didik.

b. Kesesuaian materi dengan kurikulum

Buku teks bahasa Indonesia yang memenuhi syarat kriteria kelayakan berdasar BSNP haruslah sesuai dengan kurikulum yang berlaku (Kurikulum 2006/KTSP). Kurikulum merupakan suatu usaha untuk menyampaikan asas-asas dan ciri-ciri yang penting dari suatu rencana pendidikan dalam bentuk yang sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan oleh guru di sekolah.

(42)

Aspek kebahasaan meliputi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik, sedangkan aspek kemampuan kesastraan meliputi sejarah sastra, teori sastra, dan kritik sastra.

c. Kelengkapan Materi

Dalam buku teks Bahasa Indonesia setidaknya kelengkapan materi mencakup beberapa hal yaitu wacana, pemahaman wacana, fakta kebahasaan/kesastraan, dan aplikasi.

(1) Wacana dapat berupa 1) percakapan; 2) karangan atau laporan utuh: cerpen, novel, buku, artikel, pidato, khotbah; atau puisi merupakan materi utama yang harus ada dalam buku teks pelajaran Bahasa Indonesia. Wacana biasanya mengawali uraian materi setiap bab. Berdasarkan pada wacana itulah uraian materi, pemahaman wacana, fakta kebahasaan/kesastraan, dan implikasi wacana, dibahas. Wacana yang disajikan mencakup ruang lingkup yang ada dalam standar isi berupa empat aspek keterampilan berbahasa (mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis) mulai dari pengenalan konsep sesuai dengan tuntutan yang ada di Standar Komptensi maupun Kompetensi Dasar pelajaran Bahasa Indonesia.

(43)

(3) Uraian materi berisi fakta kebahasaan: kalimat, kosa kata, istilah, ungkapan, peribahasa, atau kesastraan sesuai tuntutan SK dan KD.

(4) Implikasi wacana merupakan unsur di luar wacana, bisa berupa analogi, perbandingan, kesejajaran wacana yang mampu memperkuat penyampaian materi sesuai dengan tuntutan SK dan KD. Implikasi wacana berisi konsep dasar keluasan materi melalui pelatihan, tugas, dan kegiatan mandiri sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik mampu menggali dan memanfaatkan informasi, menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan dalam kerja ilmiah

2. Kedalaman Materi

Selain kelengkapan, kedalaman materi sebuah buku teks juga harus diperhatikan. Kedalaman materi merupakan uraian materi yang mendukung tercapainya minimum KD yang sesuai dengan tingkat pendidikan peserta didik. Harus jelas pembagian kedalaman materi pada tiap tingkatan kelas. Hal yang diperhatikan dalam poin kedalaman materi yaitu kesesuaian, kuantitas, dan kualitas wacana.

a. Kesuaian wacana

(44)

antarkonsep, dan memperhatikan tuntutan SK dan KD. Tingkat kesulitan disesuaikan dengan tingkat pemahaman peserta didik yang lebih

menekankan pada “concrete-operational” dan “system of operations.” b. Kuantitas wacana

Ditunjukkan oleh jumlah minimal yang sesuai dengan tuntutan SK dan KD. Untuk mencapai kedalaman materi, maka kuantitas wacana ditentukan oleh pengembangan atau penambahan dengan jenis wacana lain yang dapat berfungsi sebagai pembanding, penjelas, analogi, atau kebutuhan lain yang sejalan dengan tuntutan materi. Dengan demikian, materi yang disajikan memuat sumber-sumber tambahan itu mencerminkan kontinuitas, dengan kedalaman spiralitas mengembangkanan materi. Materi yang ditampilkan menjadi lebih menarik dan inovatif, serta memotivasi peserta didik senang belajar.

c. Kualitas wacana

Mencerminkan kedalaman materi yang ditentukan oleh keaktualan, kemutakhiran, kefaktualan, dan kevariasian topik. Kualitas wacana mencerminkan kedalaman isi atau pesan dengan spiralitas pengembangan materi pelajaran bahasa.

3. Keakuratan Materi

(45)

akurat. Keakuratan materi dalam buku teks Bahasa Indonesia tercermin dari hal-hal berikut, yaitu:

a. Keakuratan dalam pemilihan wacana

Wacana yang disajikan berdasarkan kenyataan yang ada (faktual) serta sedang hangat dibicarakan (aktual) dengan menyebutkan sumber yang jelas sesuai dengan tingkat pemahaman peserta didik.

b. Keakuratan dalam konsep dan teori

Konsep dan teori yang disajikan untuk mencapai KD sesuai dengan definisi sesuai dengan bidang keilmuan (linguistik tidak menimbulkan banyak tafsir dan ilmu sastra, digunakan secara tepat sesuai dengan fenomena yang dibahas dan tidak menimbulkan banyak tafsir).

c. Keakuratan dalam pemilihan contoh

Uraian dan contoh menanamkan keruntutan konsep: yang mudah, sukar, konkret, abstrak, yang sederhana, kompleks yang telah dikenal dan yang belum dikenal. Contoh yang disajikan mengandung keunggulan nilai-nilai moral seperti keteladanan, kejujuran, tanggung jawab, kedisiplinan, kerja sama, dan toleransi.

d. Keakuratan dalam pelatihan

(46)

lingkungan dekat ke yang jauh secara bertahap dan berkesinambungan (continuity) sesuai dengan prinsip proses belajar.

4. Materi Pendukung Pembelajaran

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan materi pendukung dalam buku teks yaitu:

a. Kesesuaian dengan perkembangan ilmu

Materi yang disajikan dalam buku up to date, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) yang relevan dengan tingkat kognisi peserta didik.

b. Kesesuaian fitur, contoh, dan rujukan

Wacana dan pengembangannya memperlihatkan fitur, gambar, contoh, atau ilustrasi yang mencerminkan peristiwa atau kejadian nyata, diutamakanan yang mutakhir (up to date) yang dapat dilihat dan dialami peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.

c. Pengembangan wawasan kebinekaan

(47)

agama. Apresiasi terhadap kemajemukan masyarakat, misalnya tugas, pelatihan, gambar, contoh atau ilustrasi yang disajikan dapat membuka wawasan peserta didik mengenal dan menghargai perbedaan perilaku, pendapat, penampilan, dan adat istiadat.

Apresiasi terhadap keanekaan produk dan jasa, misalnya tugas, pelatihan, gambar, contoh atau ilustrasi yang disajikan dapat membuka wawasan peserta didik mengenal dan menghargai perbedaan dan persebaran produk dan jasa. Apresiasi terhadap potensi kekayaan budaya dan alam, misalnya tugas, pelatihan, gambar, contoh atau ilustrasi yang disajikan dapat membuka wawasan peserta didik mengenal, menghargai dan memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan setempat.

d. Pengembangan wawasan kebangsaan dan integrasi bangsa

(48)

5. Kelayakan Penyajian

Teknik penyajian sebuah buku teks setidaknya memiliki pedoman sebagai berikut:

(1) Kekonsistenan sistematika penyajian

Sistematika penyajian disampaikan secara jelas, fokus, dan taat asas dalam setiap bab, yakni ada bagian pendahuluan (berisi tujuan penulisan buku teks pelajaran, sistematika buku, cara belajar yang harus diikuti, serta hal-hal lain yang dianggap penting bagi peserta didik), bagian isi (uraian, wacana, pelatihan, ilustrasi, gambar, dan pendukung lain), serta bagian penutup (rangkuman, ringkasan), serta relevan dengan pokok bahasan sehingga mampu membangkitkan rasa senang siswa dalam belajar.

(2) Keruntutan konsep

Uraian, latihan, contoh dalam hal materi kebahasaan dan kesastraan yang disajikan ada hubungan satu dengan yang lain sehingga peserta didik mampu mengaplikasikan konsep-konsep dasar keilmuan secara terintegrasi dan holistik sesuai tuntutan KD.

(3) Keseimbangan antarbab

(49)

beberapa pelatihan, contoh, ilustrasi, atau gambar secara seimbang sesuai dengan kebutuhan masing-masing pokok bahasan.

(4) Penyajian pembelajaran

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyajian pembelajaran dalam buku teks antara lain:

(1) Keterpusatan pada peserta didik

Sajian materi menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran sehingga uraian dalam buku perlu didukung oleh kegiatan yang mampu membentuk kemandirian belajar peserta didik, misalnya dengan tugas-tugas mandiri. Penyajian materi bersifat interaktif dan partisipatif yang memotivasi peserta didik terlibat secara mental dan emosional dalam pencapaian SK dan KD sehingga antarpeserta didik termotivasi untuk belajar secara komprehensif tentang berbagai persoalan kebahasaan dan kesastraan.

(2) Keterangsangan metakognisi peserta didik

(50)

(3) Kerangsangan daya imajinasi dan kreasi berpikir peserta didik

Penyajian materi dapat merangsang daya imajinasi dan kreasi berpikir peserta didik melalui ilustrasi, analisis kasus, dan latihan.

(4) Bagian pendahulu berisi pengantar materi setiap bab serta memuat tujuan yang hendak dicapai melalui sajian bab, materi, dan pelatihan yang akan dibahas pada bab tersebut.

(5) Bagian isi adalah bagian yang memuat keseluruhan materi yang memuat SK dan KD mulai dari bab, subbab sampai subbab-subbab dengan pengembangannya serta rangkuman setiap bab.

(6) Bagian penyudah berisi rujukan, daftar pustaka, indeks, glosarium, dan evaluasi.

6. Kelayakan Bahasa

Dalam kelayakan buku teks yang perlu diperhatikan adalah penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan adalah sebagai berikut.

a. Lugas

Bahasa yang digunakan dalam BTBI haruslah lugas (apa adanya), tidak berbelit-belit, hanya mencantumkan penjabaran materi yang pokok, penting, dan yang perlu saja. Misalnya yang berkenaan dengan:

(1) Ketepatan struktur kalimat

(51)

(2) Keefektifan kalimat

Kalimat yang dipakai sederhana dan langsung ke sasaran. (3) Kebakuan istilah

Istilah yang digunakan sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia dan istilah teknis yang telah baku digunakan dalam TIK. Padanan istilah teknis yang masih cukup asing diberikan penjelasannya pada glosarium.

b. Komunikatif

BTBI yang memenuhi kelayakan yaitu yang menggunakan bahasa yang komunikatif, sehingga mudah untuk dipahami dan dimengerti oleh siswa. Pesan atau informasi disampaikan dengan bahasa yang menarik dan lazim dalam komunikasi tulis Bahasa Indonesia.

(1) Diaologis dan interaktif

BTBI yang baik mengunakan bahasa yang dapat memotivasi siswa, bahasa yang digunakan membangkitkan rasa senang ketika peserta didik membacanya dan mendorong mereka untuk mempelajari buku tersebut secara tuntas.selain itu buku teks juga harus mendorong siswa untuk berpikir kritis, bahasa yang digunakan mampu merangsang peserta didik untuk mempertanyakan suatu hal lebih jauh, dan mencari jawabnya secara mandiri dari buku teks atau sumber informasi lain.

(2) Kesesuaian dengan perkembangan peserta didik

(52)

harus sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Kesesuaian dengan tingkat perkembangan emosional peserta didik juga merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam BTBI, bahasa yang digunakan sesuai dengan tingkat kematangan emosional peserta didik. (3) Kesesuaian dengan kaidah Bahasa Indonesia

Dalam penulisan buku teks terutama BTBI haruslah memperhatikan kaidah bahasa Indonesia baik dan benar, sesuai dengan pedoman ejaan yang disempurnakan, dan KBBI.

(4) Penggunaan istilah, simbol, dan ikon

Dalam BTBI, penggunaan istilah dan penggambaran simbol atau ikon yang menggambarkan suatu konsep harus konsisten antar-bagian dalam buku konsisten.

Buku ajar yang baik memiliki kriteria tertentu atau standar tertentu seperti tentang relevansinya dengan kurikulum yang sedang berlaku saat ini, kesesuaian metode dengan materi yang disampaikan serta isi buku secara keseluruhan. Seorang guru profesional tentunya mempertimbangkan beberapa hal dalam menentukan buku teks apa yang sesuai dengan kemampuan siswanya. Butir-butir pedoman kriteria buku teks di atas bisa dijadikan pegangan bagi para guru dalam menelaah buku teks yang hendak digunakan dalam proses pengajaran.

(53)

kriteria telaah buku teks yang ada tentunya akan menunjang dalam peningkatan motivasi dan minat siswa dalam proses pembelajaran.

2.2.5 Wacana

Menurut Edmondson (dalam Tarigan 1987: 25) wacana adalah suatu peristiwa yang terstruktur yang dimanifestasikan dalam perilaku linguistik (atau yang lainnya), sedangkan teks adalah suatu urutan ekspresi-ekspresi linguistik yang terstruktur yang membentuk suatu keseluruhan yang padu atau uniter. Masing dalam bukunya Tarigan (1987: 25), Stubbs mendefinisikan wacana sebagai organisasi bahasa di atas kalimat atau klausa; dengan perkataan lain unit-unit linguistik yang lebih besar daripada kalimat atau klausa, seperti pertukaran-pertukaran percakapan atau teks tertulis. Secara singkat: apa yang disebut teks bagi wacana adalah kalimat bagi ujaran (utterence).

Pendapat yang serupa dengan Stubbs dikemukakan oleh Kridalaksana (1984: 208) menyebutkan wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat lengkap.

(54)

Lubis (1993: 21) mengistilahkan wacana (discourse) yaitu sama dengan teks, yakni kesatuan bahasa yang diucapkan atau tertulis panjang atau pendek, itulah yang dinamakan teks atau discourse. Teks adalah satu kesatuan semantik dan bukan kesatuan gramatikal. Kesatuan yang bukan lantaran bentuknya (morfem, klausa, kalimat) tetapi kesatuan artinya.

Menurut Syamsuddin (1992: 5) menyimpulkan pengertian wacana sebagai rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun nonsegmental bahasa. Sedangkan menurut Tarigan (1987: 27) menyimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir yang nyata disampaikan secara lisan atau tertulis.

Definisi yang disimpulkan oleh Tarigan yang diambil dari definisi beberapa ahli telah secara lengkap dan jelas menguraikan pengertian wacana. Hal ini bisa dijadikan landasan teori wacana dalam penelitian ini. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa wacana adalah kesatuan bahasa yang lengkap dan tertinggi yang tersusun rapi dan berkesinambungan yang direalisasikan dalam bentuk lisan maupun tulis.

2.2.6 Jenis-jenis Wacana

(55)

1. Berdasarkan Tertulis atau Tidaknya

Berdasarkan tertulis atau tidaknya, wacana dapat diklasifikan atas wacana tulis dan wacana lisan.

a. Wacana Tulis atauwritten discourse

Wacana Tulis atau written discourse adalah wacana yang disampaikan secara tertulis, melalui media tulis (Tarigan, 1993: 52). Penerima pesan wacana tulis adalah pembaca. Sehubungan dengan hal tersebut, maka keterampilan menulis merupakan pokok penting dalam menyampaikan pesan. Ia juga menyatakan bahwa untuk menerima, memahami, atau menikmati wacana tulis maka sang penerima pesan harus membacanya. Untuk sampai kepada penerimaan, pemahaman, atau penikmatan pesan yang disampaikan dalam wacana tulis, maka kalimat yang digunakan harus efektif. Kefektifan kalimat mencerminkan pesan yang disampaikan dapat diterima dengan sempurna (Tarigan, 1993: 52).

b. Wacana Lisan

Tarigan (1987: 55) mengatakan bahwa wacana lisan atau spoken discourse

adalah wacana yang disampaikan secara lisan, melalui media lisan. Untuk menerimanya, memahami, atau menikmati wacana ini maka sang penerima harus menyimak atau mendengarkannya. Dengan kata lain, penerima adalah penyimak. Wacana lisan sering dikaitkan dengan

(56)

2. Berdasarkan Langsung atau Tidaknya Pengungkapan

Berdasarkan langsung atau tidaknya pengungkapan, wacana dapat dibedakan atas wacana langsung dan wacana tidak langsung.

a. Wacana Langsung atau direct discourse adalah kutipan yang sebenarnya dibatasi oleh oleh intonasi atau fungtuasi (Kridalaksana, 1993: 231). Wacana langsung berhubungan dengan istilah kalimat langsung, yakni kalimat yang diungkapkan secara langsung dalam bentuk lisan atau tertulis dari pembicara atau penulis.

b. Wacana Tidak Langsung atau indirect discourse adalah pengungkapan kembali wacana tanpa mengutip secara harfiah kata-kata yang dipakai oleh pembicara dengan menggunakan konstruksi gramatikal atau kata tertentu, antara lain dengan klausa subordinatif, kata bahwa dan sebagainya (Kridalaksana, 1993: 231). Kata-kata yang disampaikan oleh pembicara secara tidak langsung mengungkapkan pesan kepada pendengar.

3. Berdasarkan Cara Membeberkan atau Cara Menuturkannya

Berdasarkan cara membeberkan atau menuturkannya, wacana dapat diklasifikasikan atas wacana pembeberan dan wacana penuturan.

(57)

yakni tulisan atau karangan yang membeberkan pokok permasalahan agar pendengar atau pembaca luas pengetahuannya.

b. Wacana Penuturan atau narratif discourse adalah wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu, berorientasi pada pelaku, dan seluruh bagiannya diikat oleh kronologi (Kridalaksana, 1993: 231). Wacana penuturan merupakan wacana yang mementingkan urutan peristiwa dalam waktu dan ruang. Wacana ini biasa disebut juga dengan karangan atau tulisan narasi yaitu karangan yang menceritakan suatu peristiwa secara kronologis atau berurutan dalm ruang dan waktu.

4. Berdasarkan Bentuknya

Berdasarkan bentuknya, wacana dapat dibedakan atas prosa, puisi, dan drama.

a. Wacana Prosa

(58)

Perbedaan wacana fiksi dan nonfiksi dapat dilihat dari ciri-ciri yang membentuknya. Salah satu ciri yang membedakannya adalah bahasa. Bahasa wacana fiksi cenderung konotatif dan khayalan, sedangkan wacana nonfiksi bersifat denotatif dan ilmiah.

b. Wacana Puisi merupakan wacana yang disampaikan dalam bentuk puisi, baik secara tertulis maupun lisan (Tarigan, 1993: 57). Wacana ini dibentuk dengan menggunakan pilihan kata yang singkat, padat, dan jelas. Selain itu, wacana puisi mementingkan pilihan bunyi, irama, serta unsur keindahan.

c. Wacana Drama adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk dialog, baik secara tertulis maupun secara lisan (Tarigan, 1993: 59). Karya sastra yang mementingkan dialog ini termasuk wacana karena dibangun oleh kalimat-kalimat yang tersusun dan membentuk satu kesatuan yang lengkap dan mengandung pesan atau makna.

Pada penelitian ini, wacana yang akan dijadikan bahan penelitian adalah wacana yang dijadikan bahan pembelajaran membaca. Jenis wacana yang digunakan umumnya berjenis pembeberan, ditinjau dari cara membeberkan atau menuturkannya, atau wacana prosa ditinjau dari bentuknya.

2.2.7 Pengertian Keterbacaan

Menurut Hardjasujana (1999: 10), keterbacaan merupakan padanan

(59)

atau tulisan tangan, kedua kemudahan membaca yang disebabkan oleh daya tarik bahan bacaan dan tingkat minat baca, atau ketiga kemudahan memahami bahan bacaan yang disebabkan ketedasan bahasanya. Definisi lain yang sedikit berbeda dikemukakan Tampubolon (1990: 213) menurutnya, keterbacaan (readability) adalah sesuai tidaknya suatu wacana bagi pembaca tertentu dilihat dari aspek/tingkat kesukarannya. Dari istilah asing yang sama, muncul dua definisi yang berbeda, tetapi ada persamaannya yaitu keterbacaan berkaitan dengan mudah atau sukarnya suatu wacana.

Menurut Suladi (2000: 4), salah satu cara untuk mendapatkan wacana yang sesuai dengan yang diharapkan adalah dengan studi keterbacaan. Untuk mengukur tingkat keterbacaan, perlu mempertimbangkan beberapa variabel, seperti struktur bahasa, isi wacana, tipografi, dan minat baca. Menurut Adjat Sakri (1994), menjelaskan bahwa keterbacaan merupakan perpaduan antara ketedasan dan kejelahan. Ketedasan berhubungan dengan keterbacaan bahasa, sedangkan kejelahan berhubungan dengan keterbacaan tata huruf. Kedua istilah ini muncul karena dalam proses membaca, siswa akan dihadapkan pada wacana yang beragam. Penggunaan bahasa yang mudah, sederhana, dan tipografi atau tata huruf yang baik akan mempengaruhi minat baca siswa. Hal ini membantu siswa dalam proses pemahaman suatu bacaan.

(60)

terhadap bahan-bahan bacaan untuk sekolah karena keberadaan bahan bacaan memegang peranan penting dalam kegiatan pengajaran. Ketepatan pemilihan bacaan akan menentukan keberhasilan proses pengajaran.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988: 62),

keterbacaan itu merupakan perihal dapat dibacanya teks secara cepat, mudah dimengerti, dipahami, dan mudah pula diingat. Kridalaksana (1994) pun memaknai keterbacaan sebagai taraf dapat tidaknya suatu karya tulis dibaca oleh orang yang mempunyai kemampuan membaca yang berbeda-beda.

Suatu buku teks bukan hanya dilihat dari segi penampilan fisik saja, tetapi isi yang terdapat di dalamnya sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Pemilihan bahan bacaan yang tepat bagi pembaca, khususnya siswa menjadi kunci keberhasilan proses pengajaran. Berpedoman dari pengertian keterbacaan yang dikemukakan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia, agar bahan bacaan dapat dimengerti siswa sehingga penggunaan bahasa yang baik, sederhana, dan mudah dimengerti menjadi sangat penting. Adanya studi keterbacaan berguna dalam penentuan wacana yang sesuai terhadap minat baca siswa

2.2.8 Cara Mengukur Keterbacaan

(61)

pemakaian, yaitu Reading Ease Formula, Human Interest Formula, Dale and Chall Formula, dan Fog Index(Hafni, 1981: 15).

Keterbacaan suatu teks berkaitan erat dengan untaian- untaian kalimat yang membangun wacana dalam teks itu (Suladi, 2000: 12). Menurut Naga dalam Suladi (2000: 13), banyak hal yang turut mempengaruhi keterbacaan suatu tulisan. Salah satunya adalah panjang kalimat dan panjang kata. Makin panjang suatu kalimat, makin sulit dipahami, demikian juga dengan panjang kata. Untuk mengukur keterbacaan berbagai faktor perlu dipertimbangkan, seperti struktur bahasa (kosakata dan kalimat), jenis isi bacaan, tipografi, dan minat baca (Tampubolon dalam Suladi, 2000: 13).

Adanya usaha untuk mempermudah siswa dalam memahami suatu wacana dilakukan oleh Thorndike (1921) dengan memusatkan perhatian pada kata-kata sulit berdasarkan kekerapan pemakaian sebuah kata. Sementara itu, menurut Krause, Robinson, dan Sakri (1976, 1979, 1994) menyebutkan mengenai kriteria penentuan keterbacaan, yaitu:

(1) Kepadatan konsep tidak boleh membuat pembaca mengalami frustrasi. Artinya kalimat dalam wacana tidak boleh dipadati dengan banyak gagasan.

(2) Tingkat kekompleksan kalimat tidak boleh tinggi. Artinya tidak membuat kalimat-kalimat yang terlalu panjang yang sulit dipahami siswa.

(62)

dengan menggunakan grafik dan carta. Ada beberapa macam grafik dan carta, antara lain Fry (1968), McLaughlin (1968), dan Mugford (1969). Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan menggunakan grafik Fry.

2.2.8.1 Grafik Fry

Formula Grafik Fry merupakan suatu instrumen yang sederhana dan efisien untuk menentukan tingkat keterbacaan buku teks. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam instrumen Grafik Fry meliputi panjang kalimat dan tingkat kesulitan kata. Kata yang sulit tersebut disebabkan oleh terlalu banyaknya jumlah suku kata, sedangkan tingkat kesulitan kalimat disebabkan oleh terlalu kompleksnya kalimat (Depdikbud, 1999: 5).

(63)

Jumlah suku kata per seratus perkataan, yakni jumlah kata dari wacana sampel yang dijadikan sampel pengukuran keterbacaan wacana. Pertimbangan penghitungan suku kata pada grafik ini merupakan cerminan dari pertimbangan faktor kata sulit. Di sisi lain, jumlah kalimat per seratus perkataan merupakan perwujudan dari landasan lain faktor penentu formula keterbacaan yaitu faktor panjang-pendek kalimat.

(64)

peringkat baca 1 SD; angka 2 untuk peringkat baca 2 SD, angka 3 untuk peringkat baca 3 SD, dan seterusnya hingga universitas.

Daerah yang diarsir pada grafik yang terletak di sudut kanan atas dan di sudut kiri bawah grafik merupakan wilayah invalid. Maksudnya, jika hasil pengukuran keterbacaan wacana jatuh pada wilayah gelap tersebut, maka wacana tersebut kurang baik karena tidak memiliki peringkat mana pun. Oleh karena itu, wacana yang demikian sebaiknya tidak digunakan dan diganti dengan wacana lain. Seratus perkataan merupakan jumlah angka yang dianggap sebagai jumlah yang representatif untuk mewakili sebuah wacana.

2.2.8.2 Petunjuk Penggunaan Grafik Fry

Menurut Harjasujana dan Yetti (1999) petunjuk penggunaan grafik Fry adalah sebagai berikut:

(1) Pilih penggalan yang representatif dari wacana dengan mengambil 100 buah perkataan. Kata adalah sekelompok lambang yang di kiri dan kanannya berpembatas misalnya Budi, IKIP, 2000 masing-masing dianggap kata. Wacana tabel diselingi dengan gambar, kekosongan halaman, tabel, dan atau rumus-rumus yang mengandung banyak angka-angka tidak dihitung.

(65)

(persepuluhan). Misalnya, jika wacana sampel itu terdiri atas 13 kalimat dan kalimat terakhir yaitu kalimat ke-13 terdiri dari 18 kata dan kata ke-100 jatuh pada kata ke-8, kalimat itu dihitung sebagai 8/16 atau 0,5. Sehingga jumlah seluruh kalimat dari wacana sampel adalah 12 + 0,5 atau 12,5 kalimat.

(3) Hitung jumlah suku kata dari wacana sampel hingga kata ke-100. Suku kata yang dimaksud adalah suku kata fonetis. Kelompok lambang yang terdiri atas angka atau singkatan, diperhitungkan satu suku kata. Misalnya 196 terdiri atas 3 suku kata dan IKIP

terdiri atas empat suku kata.

(4) Untuk wacana bahasa Indonesia, penggunaan grafik Fry masih harus ditambah satu langkah, yakni mengalikan hasil peghitungan suku kata dengan angka 0,6 (Harjasujana, 1998). Karena itu, angka 228 x 0,6 = 136,8 dibulatkan menjadi 137 suku kata.

(5) Plotkan angka-angka itu ke dalam Grafik Fry. Kolom tegak lurus menunjukkan jumlah suku kata per seratus kata dan baris mendatar menunjukkan jumlah kalimat per seratus kata.

(66)

diperkirakan dengan tingkat keterbacaan yang cocok untuk peringkat 5 yakni (6 - 1), 6, dan 7 (6 + 1). Berikut ini merupakan contoh dari penggunaan grafik Fry.

10 Hal yang Tak Bisa Dibeli dengan Uang

Kita sering membicarakan tentang uang; bagaimana mendapatkan banyak uang, bagaimana mengatur pengeluaran, berapa yang ditabung, serta diinvestasikan di mana. Kita sibuk merencanakan, memikirkan, dan mengkhawatirkan uang yang kita miliki, sehingga seolah-olah uang adalah hal paling penting di dunia. Uang memang penting dalam kehidupan. Tanpa alat tukar ini, kita tak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup. Uang membuat kita bisa melakukan banyak hal dibandingkan jika kita tak memilikinya. Tetapi, sepenting-pentingnya uang, sebanyak apa pun pundi-pundi uang Anda, ada hal-hal yang tak bisa dibeli olehnya, seperti kehilangan waktu, kebahagiaan, kebahagiaan anak, cinta, penerimaan (diterima oleh lingkungan pergaulan), kesehatan, kesuksesan, bakat, sikap yang baik, dan kedamaian.

Wacana Kata Kalimat Suku

Kata Kita sering membicarakan tentang uang;

bagaimana mendapatkan banyak uang, bagaimana mengatur pengeluaran, berapa yang ditabung, serta diinvestasikan di mana. Kita sibuk merencanakan, memikirkan, dan mengkhawatirkan uang yang kita miliki, sehingga seolah-olah uang adalah hal paling penting di dunia. Uang memang penting dalam kehidupan. Tanpa alat tukar ini, kita tak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup. Uang membuat kita bisa melakukan banyak hal dibandingkan jika kita tak memilikinya. Tetapi, sepenting-pentingnya uang, sebanyak apa pun pundi-pundi uang Anda, ada hal-hal yang tak bisa dibeli olehnya, seperti kehilangan waktu, kebahagiaan, kebahagiaan anak, cinta, penerimaan (diterima oleh lingkungan pergaulan), kesehatan, kesuksesan, bakat, sikap yang baik, (catatan: kata ke-100) dan kedamaian.

100 6 262

(67)

Kesimpulan:

a. Jumlah kalimat utuh = 5 kalimat,

b. 262 suku kata 262 x 0,6= 157,2 dibulatkan menjadi 157,

c. Jumlah kalimat terakhir: 2 kata setelah kata ke 100 = 34/38 = 0,89 dibulatkan menjadi 0,9,

d. Jumlah kalimat = 5 + 0,9 = 5,9.

Setelah diketahui hasil perhitungan jumlah kalimat dan jumlah suku kata, Maka hasil tersebut diplotkan ke dalam grafik Fry seperti di bawah ini.

Berdasarkan grafik Fry di atas, wacana tersebut jatuh di wilayah peringkat 10. Sesuai dengan teori maka peingkat tersebut dikurangi satu tingkat 10 – 1 = 9 dan ditambah satu peringkat 10 + 1 = 11. Jadi, wacana tersebut dapat digunakan untuk kelas 9, 10, 11.

2.2.8.3 Beberapa Catatan Penting tentang Grafik Fry

(68)

dengan pemilihan sampel yang berbeda-beda, yakni wacana dari bagian awal buku, bagian tengah buku, dan bagian akhir buku. Untuk artikel dan jurnal, atau surat kabar, pengkuran keterbacaan wacananya cukup dilakukan satu kali, kecuali jika penulisnya berbeda-beda. Dalam mengukur tingkat keterbacaan sebuah buku setelah menempuh langkah-langkah petunjuk penggunaan Grafik Fry, selanjutnya hitunglah hasil rata-ratanya. Data hasil rata-rata inilah yang kemudian akan dijadikan dasar untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana buku tersebut.

(69)

Ketiga, kadang-kadang guru perlu mengevaluasi bacaan yang terdiri atas kata-kata yang jumlahnya kurang dari seratus buah, seperti pertanyaan-pertanyaan dalam tes, petunjuk untuk melakukan kegiatan tertentu, pengumuman-pengumuman singkat, atau petunjuk-petunjuk penggunaan obat-obatan tertentu. Untuk menentukan tingkat keterbacaan wacana-wacana yang demikian, yang jumlah katanya kurang dari seratus perkataan, para ahli telah menemukan jalan pemecahan yang cukup sederhana. Mereka telah melakukan penyesuaian terhadap prosedur penggunaan Grafik Fry dengan mengajukan daftar konversi Grafik Fry.

Prosedur kerja yang disarankan ialah dengan menempuh langkah-langkah berikut ini:

(1) Hitunglah jumlah kata dalam wacana dan bulatkan pada bilangan puluhan yang terdekat. Jika wacana tersebut terdiri atas 54 buah kata, misalnya, maka jumlah tersebut diperhitungkan sebagai 50; jika jumlah wacana itu ada 26 buah, maka bilangan kebulatannya ialah 30. (2) Hitunglah jumlah suku kata dan kalimat yang ada dalam wacana

tersebut. Kegiatan ini dilakukan dengan cara yang sama seperti langkah 2 dan 3 pada petunjuk penggunaan Grafik Fry.

(70)

data yang diplotkan ke dalam grafik adalah data yang telah diperbanyak dengan daftar konversi.

2.3 Kerangka Berpikir

(71)

Skema Kerangka Berpikir

1. Apakah wacana pada buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlanggasesuai untuk siswa kelas XI SMA berdasarkan grafik Fry?

2. Apakah wacana pada buku teksPanduan Belajar dan Sastra Indonesia terbitan Esissesuai untuk siswa kelas XI SMA berdasarkan grafik Fry? 3. Wacana apa sajakah yang sesuai untuk siswa kelas XI SMA dalam buku teksKompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlanggadan buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis sebagai bahan pembelajaran?

Dari hasil analisis ke-38 wacana berdasarkan grafik Fry ditemukan dua wacana yang cocok untuk siswa SMA kelas XI dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dan satu wacana yang cocok dari buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis. Dalam hasil analisis juga ditemukan (1) terdapat delapan variasi kemunculan tingkat baca dalam buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga dan tujuh variasi kemunculan tingkat baca dalam buku teksPanduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis, (2) berdasarkan bentuk wacananya terdapat 13 wacana fiksi dan 25 wacana non fiksi.

Kesimpulan berdasarkan grafik Fry, buku teks Kompeten Berbahasa Indonesia terbitan Erlangga buku teks Panduan Belajar Bahasa dan Sastra Indonesia terbitan Esis tidak sesuai untuk siswa SMA kelas XI. Wacana yang sesuai untuk siswa kelas XI SMA sebagai bahan pembelajaran adalah “Penerapan Manajemen untuk Kemajuan Koperasi”, “Kualitas Penduduk Indonesia Memprihatinkan”, dan “Kerangka Keamanan RI-Australia”

Teori yang digunakan untuk menganalisis 38 wacana adalah teori Harjasujana (1999) yaitu mengenai petunjuk pengunaan Grafik Fry dalam mengukur tingkat keterbacaan, yaitu (1) pilih penggalan wacana yang representatif dengan mengambil 100 buah kata, (2) hitung jumlah kalimat, (3) hitung jumlah suku kata dan kalikan 0,6, (4) memplotkan ke dalam grafik Fry.

(72)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini akan memaparkan uraian mengenai: (1) jenis penelitian, (2) instrumen penelitian, (3) teknik pengumpulan data, (4) teknik analisis data, dan (5) triangulasi. Berikut ini penjelasan masing-masing kelima hal di atas.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian tentang “Tingkat Keterbacaan Wacana dalam Buku Teks

Gambar

Tabel Analisis Wacana dalam Buku Teks Kompeten Berbahasa
Tabel 1: Analisis Data ...............................................................................
Gambar 1: Contoh Gambar Grafik Fry ........................................................
Grafik Fry merupakan hasil upaya untuk menyerdahanakan dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH TEKNIK SCRAMBLE TERHADAP KEMAMPUAN MENENTUKAN IDE POKOK DAN MEMPARAFRASE DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Berdasarkan pembahasan, ternyata faktor-faktor tersebut tidak mempengaruhi secara nyata, hal ini disebabkan karena faktor pribadi dari tenaga penjual lebih besar pengaruhnya

Ngasem sebagai pasar burung tradisional yang sudah mendunia/ dalam hitungan hari bakal tinggal kenangan // Tanggal 22 April mendatang / pedagangnya boyongan menuju lokasi baru

Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan suatu konsep atau tindakan yang dilakukan oleh perusahaan sebagai rasa tanggung jawab perusahaan terhadap sosial

Pengaruh Repsepsi Siswa Tentang Layanan Akademik Dan Administrasi Terhadap Prestasi Belajar Siswa Program Keahlian TGB SMKN 2 Garut.. Universitas Pendidikan Indonesia

Penelitian ini menemukan pola perkembangan morfologi desa pada saat ini memiliki konsep yang masih berpegang teguh pada awig-awig desa, akan tetapi pola pertumbuhan

dengan industri skala kecil (TDI atau industri rumah tangga/pengrajin) bukan pemilik ETPIK yang telah memiliki S-LK atau DKP.. Prinsip

Pada pengujian output ini alat dipasang pada miniatur rumah kemudian diuji dengan menggunakan aplikasi Pengendali Lampu Rumah yang telah diinstal pada