1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kromium dalam larutan-larutan air dapat berupa kation-kation kromium II dan kromium III, serta anion kromat maupun dikromat dengan bilangan oksidasi kromium + 6.
Mengingat sifat masing-masing spesies kromium dengan toksisitas yang berbeda maka penentuan kadar kromium total di alam belum dapat digunakan untuk menentukan atau meramalkan tingkat toksisitas dan pencemaran oleh kroium. Di alam kromium terdapat sebagai spesies Cr3+ dan Cr6+ . Spesies Cr6+ bila masuk ke dalam tubuh akan terakumulasi dalam paru-paru, hati dan ginjal yang dapat mengakibatkan tidak berfungsinya organ-organ tersebut. Di lain pihak Cr3+ justri keperlukan untuk mengatur konsentrasi glukosa dalam darah, pemeliharaan lemak dan metabolisme protein.
2
Phosfin Oksida (TOPO). Kondisi ekstraksi dilakukan dalam suasana asam dan asam yang digunakan adalah asam sulfat (H2SO4) dengan konsentrasi yang divariasi.
1.2 Permasalahan
Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana daya ekstraksi sikloheksan sebagai pelarut TOPO terhadap proses
pemisahan Cr3+ dan Cr6+ ditinjau dari rasio distribusinya.
2. Pada variasi konsentrasi H2SO4 berapa rasio distribusi Cr6+ tertinggi dicapai.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Menentukan daya ekstraksi TOPO siklooheksan pada proses pemisahan Cr3+ dan Cr6+.
2. Menentukan pada konsentrasi H2SO4 berapa rasio distribusi Cr6+ tertinggi dicapai.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
3 1.5 Metode Penelitian
4 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Ekstraksi
Ekstraksi pelarut adalah suatu metode pemisahan yang berdasarkan perbedaan distribusi dari zat yang dipisahkan dalam dua pelarut yang tidak saling campur. (1).
Diantara berbagai jenis metode pemisahan, metode ekstraksi pelarut merupakan metode yang populer dan banyak digunakan karena metode pemisahan ini dapat dilakukan baik dalam tingkat makro maupun tingkat mikro. (3,7)
Suatu proses ekstraksi pelarut terjadi karena adanya distribusi zat terlarut pada kedua fasa yang tidak saling campur (biasanya fasa air dan fasa organik). Distribusi pada kedua fasa ini terjadi karena adanya ekstraksi kimia antara zat terlarut dengan senyawa pengekstrak. Berdasarkan jenis interaksi yang terjadi, proses ekstraksi pelarut dapat digolongkan menjadi 3 golongan yaitu : ekstraksi solvasi, ekstraksi yang melibatkan pembentukan pasangan ion dan ekstraksi kelat. (7)
2.1.1 Ekstraksi Solvasi
5
Kompleks terekstrak tersebut biasanya terbentuk dengan adanya ion lain sehingga terbentuk molekul dengan muatan listrik netral. Apabila dimisalkan S sebagai pengekstrak sekaligus, Mm+ adalah ion logam yang akan diekstraksi sedangkan X -adalah anion mineral yang juga berada dalam pelarut air, maka proses ekstraksi dapat digambarkan sebagai berikut :
mm+ + mX- + sS MSsXm………..….(1) Beberapa pelarut yang memperlihatkan sifat solvasi yang menarik adalah senyawa-senyawa yang mengandung ikatan oksigen dengan karbon atau oksigen dengan fosfor. Gugus fungsional yang berperanan dalam molekul tersebut adalah gugus karbonil atau fosforil yang semi polar. Beberapa pengekstrak jenis ini misalnya TBP, TOPO dan eter. (1)
2.1.2 Ekstraksi yang melibatkan pembentukan pasangan ion
Ekstraksi ini berlangsung melalui pembentukan spesies netral yang tidak bermuatan, karena bergabungnya ion logam dengan pengekstrak, yang dapat diekstraksi ke fasa organik. Persamaan yang menggambarkan ekstraksi model ini adalah :
aa+ + Bb- (Aa+ , Bb-) 0 ………. (2) kompleks (Aa+ , Nb-) 0 merupakan kompleks yang terekstrak.
2.1.3 Ekstraksi Kelat
6
peranan penting dalam ekstraksi logam, karena banyak logam yang dapat diekstraksi sekaligus terpisahkan. Senyawa kelat logam merupakan jenis senyawa koordinasi dimana ion logam berkaitan dengan basa polifungsional yang mampu menempati satu atau lebih posisi koordinat logam untuk membentuk senyawa siklik. Persamaan yang menggambarkan ekstraksiu golongan ini adalah sebagai berikut :
M(H2O)xn+ + nHX MXn + nh+ + xH2O ………(3) Keterangan :
M(H2O)x-n+ = ion logam dalam pelarut air
HX = pengkelat asam dalam pelarut organik
MXn = bentuk kompleks terekstrak dalam pelarut organik
2.2 Tri-n Oktil Phosfin Oksida (TOPO)
Tri-n Oktil Phosfin Oksida (TOPO) adalah senyawa organik nofosfor yang netral. Senyawa ini mengandung 3 gugus oktil dan mempunyai satu (1) atom oksigen donor yang terikat pada atom fosfor. Strukturnya adalah sebagai berikut :
C8H17
C8H17 o = 0
C8H17
7
TOPO merupakan kristal putih dengan berat molekul 386 dan titik leleh 50 – 52oC. Sebagai pereaksi ekstraksi TOPO perlu dilarutkan dalam pelarut organik.
2.3 Kromium
Dalam tabel periodik, unsur Kromium (Cr) dengan nomor atom 24 terdapat pada periode ke-4 golongan VIB. Konfigurasi elektron dasar kromium adalah :
24Cr : 18Ar 3d5 4s1
Unsur ini mempunyai 6 leketron valensi seperti unsur-unsur golongan VI B pada umumnya. Logam kromium banyak digunakan sebagai lapisan pelindung pada barang-barang elektronik karena logam kromium bersifat resisten terhadap korosi. Logam kromium dapat larut dalam H2SO4 atau HCl yang menghasilkan Cr2+, reaksinya adalah sebagai berikut (9) :
Cr + H2SO4 Cr (II) SO4 + H2……….. (4) Cr2+ ini sangat tidak stabil, dan merupakan reduktor yang sangat kuat. Dalam larutan Cr2+ akan segera teroksidasi menjadi Cr3+. Kromium merupakan logam yang bersifat inert, berwarna putih, mengkilat, keras dan meleleh pada suhu 1860oC.
2.3.1 Krom (III) atau Cr3+
8
[ Cr(H2O)6 ]3+ + H2O [Cr(OH) (H2O)5 ]2+ + H3O …………....(5) Karakteristik pokok kompleks ini dalam air adalah relatif inert. Reaksi pergantian ligan dalam kompleks Cr3+ berlangsung lambat dengan waktu paruh dengan kisaran jam. Kebanyakan karena sifat tersebut, maka spesies kompleks dapat tetap bertahan dalam waktu yang relatif lama.
2.3.2 Krom (IV) atau Cr6+
Senyawa Cr6+ jumlahnya terbatas, meliputi CrO3, CrF6 , CrO2Cl2 , CrO2F2 , kromat (CrO42-) serta dikromat (Cr2O72 -). Pada larutan yang bersifat asam, ion kromat akan berubah menjadi ion dikromat, reaksinya adalah sebagai berikut : 2 CrO4-2 + 2H+ Cr2O72- + H2O
Ion dikromat ini ternyata mampu bertahan dalam larutan asam dengan pH mendekati nol. (8).
2.3.3 Pemisahan Cr3+ dan Cr6+
Pemisahan spesies kromium telah banyak dilakukan Iqbal dan Ejas (1975) mempelajari ekstraksi dan pemisahan Cr6= dalam larutan asam nitrat menggunakan 4- (5noni) Piridin. Mereka telah mempelajari pengaruh konsentrasi asam nitrat terhadap hasil ekstraksi dengan melihat harga rasio distribusi. Rasio distribusi terbesar dicapai pada konsentrasi asam nitrat 0,25 M dan konsentrasi piridin 0,1 M dalam benzene.
9
dihasilkan bahwa Cr6+ terekstrak pada konsentrasi asam klorida dengan kisaran 1-7 M dan konsentrasi asam sulfat dengan kisaran 1-4 M.
2.3.4 Sikloheksan
Sikloheksan merupakan pelarut organik dengan rumus C6H12 berat molekulnya adalah 84,16, C = 85,62% H = 14,37%. Sikloheksan didapat dari proses distilasi petroleum atau bisa juga dengan hidrogenasi pada benzene. Hidrogenasi pada benzene dilakukan dengan menggunakan katalis nikel dan tekanan paling sedikit 10 atm. Kegunaan sikloheksan adalah sebagai pelarut pernis, pelarut damar, cat dan untuk ekstraksi minyak esensial. Kelarutan sikloheksan dalam air sedikit lebih kecil dari kerosen dan sikloheksan mempunyai titik didih 81oC, titik beku 6,5oC.
2.3.5 Asam Sulfat (H2SO4)
Asam sulfat merupakan asam kuat dengan berat molekul 98,08, terdiri dari H = 2,06%, O = 65,25% S = 32,69%, SO2 = 65,32%, SO3 = 81,63%, SO4 = 97,94%.
Proses reaksi pembentukan H2SO4 :
2 SO2 + O2 2 SO3 ……….(7)
10
HSO4- H+ + SO42-………..……….(10) Etapan kesetimbangan disosiasi H2SO4 pada tingkat disosiasi pertama adalah 4.10 -1
dan pada tingkat disosiasi kedua adalah 1.27.10-2. (10)
2.4 Hukum Distribusi
Ekstraksi adalah pemisahan yang didasarkan pada perbedaan distribusi spesies yang dipisahkan pada dua pelarut yang terlibat dalam ekstraksi. Pada proses ekstraksi biasanya terdapat dua fasa yang tidak saling campur, yaitu fasa air dan fasa organik.
Apabila suatu zat terlarut membagi diri diantara dua cairan yang tidak bercampur, maka ada hubungan tertentu antara kedua konsentrasi zat terlarut di dalam dua fasa pada kesetimbangan. Bila suatu zat terlarut terdistribusi diantara dua pelarut yang tidak saling campur maka perbandingan konsentrasi zat terlarut pada kedua pelarut dalam ksetimbangan pada suatu suhu tertentu adalah tetap. (3) Zat terlarut pada pelarut 1 [A]1
= = tetap = KD…….…………(12) Zat terlarut pada pelarut 2 [A]2
Keterangan :
[A]1 = konsentrasi zat terlarut A dalam fasa cairan 1 [A]2 = konsentrasi zat terlarut A dalam fasa cairan 2 KD = koefesien distribusi ekstraksi
11
lain yang juga terlarut. Oleh karena itu dikenalkan bentuk rasio distribusi atau perbandingan distribusi D :
[CA]1
D = ……….……….(13)
[CA]2 Keterangan :
[CA]1 = konsentrasi A dalam semua bentuk yang dapat ditentukan secara analisis pada pelarut a
[CA]2 = konsentrasi A dalam semua bentuk yang dapat ditentukan secara analisis pada pelarut s
2.5 Mekanisme Ekstraksi Ion Logam
Pada umumnya senyawa organik akan cenderung lebih larut dalam pelarut organik dengan polaritas yang lebih rendah. Masalah yang dihadapi dalam ekstraksi logam adalah bagaimana mengurangi kelarutan ion logam dalam air dengan jalan mereaksikan ion tersebut dengan pereaksi tertentu yang ternyata sangat berpengaruh terhadap kelarutan ion logam dalam air. (1)
Pada umumnya mekanisme ekstraksi berlangsung tiga tahap yaitu : pembentukan kompleks tidak bermuatan, distribusi kompleks terekstraksi dan terakhir adalah interaksi pada fasa organik.
2.5.1 Pembentukan Kompleks Tidak Bermuatan
12
atau anion, lain agar dihasilkan kompleks yang tidak bermuatan. Kompleks ini yang nantinya dapat diekstraksi ke fasa organik. Pembentukan kompleks oleh ion logam tergantung pada kecenderungannya untuk mengisi orbital atom yang masih kosong dalam usaha mencapai konfigurasi elektron yang lebih stabil. Biasanya apabila kompleks yang terbentuk bermuatan maka akan diusahakan untuk dinetralkan oleh muatan ion lain untuk memudahkan ekstraksi. (7)
2.5.2 Distribusi Kompleks Terekstraksi
Tahap kedua yang penting pada mekanisme ekstraksi adalah proses distribusi zat terekstraksi ke dalam pelarut. Kelarutan kompleks yang terbentuk selain ditetapkan oleh koefesien distribusinya juga ditentukan oleh aktivitas zat terlarut pada kedua pelarut. Kompleks logam yang terekstraksi bersifat netral dan kurang larut dalam air. Pada ekstraksi melalui solvasi, pelarut itu sendiri akan berperanan dalam pembentukan kompleks. Adanya atom oksigen dalam pelarut akan memungkinkan terbentuknya ikatan koordinasi antara ion logam dengan pelarut untuk membentuk kompleks tersolvasi yang dapat larut dalam larutan organik. (7).
2.5.3 Interaksi yang Mungkin Terjadi pada Fasa Organik
13
Polimerisasi ini akan mengurangi aktivitas zat terekstraksi, sehingga efisiensi ekstraksi turun. (7)
2.6 Ekstraksi Kromium dengan TOPO
Ekstraksi suatu ion logam dengan TOPO berlangsung dengan proses solvasi. Pasangan elektron bebas oksigen pada TOPO memungkinkan terjadinya ikatan koordinasi antara ion logam dengan TOPO membentuk kompleks tersolvasi. Proses ekstraksi ion logam dengan TOPO digambarkan dengan kesetimbangan berikut :
Mm+ + sTOPO + mX M (TOPO)sXm ……….…….(14) Maka konstanta ekstraksi adalah :
[M (TOPO)sXm]
Keks = ………..……….(15)
[Mm+] [X-]m [TOPO]
Perbandingan distribusi ion logam adalah : [M (TOPO)sMm
DM = ………..………..………(16)
[Mm+]
Substitusi kedua persamaan (15) dan (16) akan diperoleh :
DM = Keks [X- ]m [TOPO]s……….………(17) Harga log dari persamaan (17) adalah :
14
pelarut air. Perbedaan interaksi akan menyebabkan perbedaan rasio distribusi kedua bentuk spesies yang terekstrak.
2.7 Metode Spektrofotometri
Metode spektrofotometri dalam pelaksanaannya mengikuti Hukum Lambert – Beer. Hukum Lambert menyatakan bahwa fraksi penyerapan sinar tidak tergantung dari intensitas sumber cahaya. Hukum Beer menyatakan bahwa penyerapan Energi radiasi sebanding dengan jumlah molekul yang menyerap. Dari Hukum Lambert Beer dapat diketahui hubungan antara transmitan, tebal cuplikan dan konsentrasi. Hubungan ini dapat dinyatakan sebagai berikut :
Log Io/ I = k . c . b . = A ………..(19) Keterangan :
Io = Intensitas sinar datang
I = Intensitas sinar yang diteruskan k = Tetapan karakteristik dari zat terlarut c = Konsentrasi
b = Tebal sel A = Absorbansi
Jika konsentrasi dinyatakan dalam Molar dan b dinyatakan dalam cm, persamaan 919) menjadi :
A = Σ . b . c ………..…………..(20)
15 Keterangan :
Σ = Absorptivitas Molar
16 BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Bahan Kimia dan Peralatan yang Digunakan 3.1.1 Bahan Kimia yang Digunakan
- CrCl3 . g H2O p.a - K2Cr2O7 p.a - TOPO p.a - H2SO4 p.a - H2O2 30% - NaOH p.a - Sikloheksan p.a - Aquades
- Potassium di Hidrogen Posphate 0,1 M
3.1.2 Peralatan yang Digunakan - Pengocok mekanik
- Corong pisah
- Spektrofotometer UV-VIS DMS 70
- Labu takar 100 ml, 250 ml, 500 ml, 1000 ml - Erlenmeyer 50 ml
17 - Pipet volume
- Gelas ukur - Pemanas - Thermometer
3.2 Cara Analisis Data
3.2.1 Pengujian ada dan tidaknya korelasi linier antara absorbansi dengan kadar larutan baku
Konsentrasi larutan akhir diketahui melalui kurva baku. Untuk membuat kurva baku tersebut diperlukan pengujian ada atau tidaknya korelasi linier antara absorbansi dan kadar larutan baku. Hal ini dapat diuji dengan harga koefesien korelasi dengan menggunakan rumus :
Σ ( X – X ) ( Y – Y) Rxy =
Σ (X – X) 2Σ (Y – Y )2
Keterangan :
rxy = koefesien korelasi linier Σ = jumlah
X = konsentrasi larutan Y = Absorbansi
X = Konsentrasi rata-rata Y = Absorbansi rata-rata
18 3.2.2 Persamaan Kurva Baku
Persamaan kurva baku dibuat dengan menggunakan persamaan regresi linier dengan rumus :
Y = ax + b
n .Σxy –Σx . Σy a =
n . Σx2–(Σx)2
Σx2. Σy –Σx . Σxy b =
n . Σx2–(Σx)2
Keterangan : Y = Absorbansi
X = Konsentrasi larutan baku a = Kemiringan
b = Titik potong pada sumbu Y
3.3 Prosedur Kerja 3.3.1 Pembuatan Larutan
Pada penelitian ini, pembuatan pereaksi dilakukan sebagai berikut : A. Larutan Cr3+ 1000 ppm
19 B. Larutan Cr6+ 1000 ppm
Ditimbang sebanyak 2,8270 gram kristal K2Cr2O7 dan dimasukkan ke dalam labu takar 1000 ml, kemudian dilarutkan sampai batas tana pada labu takar tersebut.
C. Larutan TOPO 0,1 M dalam sikloheksan
Ditimbang sebanyak 19.8000 gram kristal TOPO, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 500 ml dan dilarutkan dengan sikloheksan sampai batas tanda pada labu takar tersebut.
D. Larutan H2SO4 1 M, 2 M, 3 M, 4 M, 5 M
Diambil dengan gelas ukur dan pipet berskala larutan H2SO4 17,82 M sebanyak 70,14 ml, perlahan-lahan dituangkan ke dalam labutakar 250 ml yang sebelumnya telah diisi aquades, lalu encerkan larutan tersebut dengan aquades, lalu encerkan larutan tersebut dengan aquades sampai batas tanda pada labu takar tersebut. Dari pengenceran ini didapat larutan H2SO4 dengan konsentrasi 5,0 M.
20 E. Larutan Cr6+ 5, 7,5, 10, 12,5, 15 ppm
Diambil dengan pipet volume sebanyak 10,0 ml larutan Cr6+ 1000 pm, lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Larutan diencerkan dengan aquades sampai batas tanda pada labu takar tersebut. Dari pengenceran ini didapat larutan Cr6+ dengan konsentrasi 100 ppm. Diambil dengan Buret larutan Cr6+ ppm sebanyak 5,00 ml, 7,50 ml, 10,00 ml, 12,50 ml, 15,00 ml, kemudian masing-masing dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, lalu diencerkan dan ditambahkan larutan buffer 5,0 ml dan dengan aquades sampai batas tanda pada labu takar tersebut. Dari pengenceran ini didapat larutan Cr6+ masing-masing dengan konsentrasi 5,0, 7,5 10,0, 12,5, 15,0 ppm.
F. Pembuatan larutan Buffer pH 6
Dicampur sebanyak 50 ml larutan 0,1 M pottasium di hidrogen phospahte ditambah 5,6 ml larutan 0,1 M Larutan NaOH dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan dilarutkan dengan aquades sampai batas volumenya.
G. Pembuatan Larutan H2O2 6%
21 H. Pembuatan Larutan NaOH 5,0 M
Ditimbang sebanyak 20,0000 gram kristal NaOH, dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, lalu diencerkan dengan aquades sampai batas volume pada labu takar tersebut.
3.4 Pelaksanaan Penelitian A. Penentuan λ maksimum Cr6+
Diambil 10,0 ml larutan Cr6+ 100 ppm dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml, ditambah larutan buffer 5,0 ml dan diencerkan dengan aquades sampai batas volumenya. Larutan tadi diukur absorbansinya pada berbagai panjang gelombang dari 345 – 375 nm dan tentukan panjang gelombang maksimumnya.
B. Pembuatan Kurva Baku Cr6+
Diambil larutan Cr6+ masing-masing dengan konsentrasi 5,0, 7,5, 10,0, 12,5, 15,0 ppm diukur absorbansinya dengan spektofotometer UV-VIS pada λ maksimum Cr6+ kemudian dibuat grafik kurva bakunya.
3.4.1 Penentuan Pengaruh Konsentrasi H2SO4 terhadap hasil Ekstraksi
dengan menggunakan pengekstrak TOPO 0,1 M yang dilarutkan dalam Sikloheksan (TOPO – S)
A. Perlakuan sebelum ekstraksi
1. Campuran Cr3+ dan Cr 6+ sebelum oksidasi
22
aquades sampai batas volumenya. Campuran pada masing-masing labu takar diambil sebanyak 20,0 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml lalu ditambah 5,0 ml larutan buffer dan ditambah aquades sampai batas volumenya. Diukur absorbansi larutan pada λ maksimum Cr6+
. Larutan blanko dibuat seperti langkah 3.4.1 A1 di atas tetapi sampel untuk Cr3= dan Cr6+ diganti dengan aquades. Perlakuan ini diulang tiga kali.
2. Campuran Cr3+ dan Cr6+ setelah oksidasi
Disiapkan 5 buah erlenmeyer, masing-masing diisi dengan 5,0 ml larutan Cr3+ 1000 ppm dan 5,0 ml Cr6+ 1000 ppm dan masing-masing ditambah dengan larutan NaOH 5,0 M sampai suasana alkalis dan 1 ml H2O2 6%. Setelah itu campuran dididihkan selama 5 menit. Setiap erlenmeyer ditambah berturut-turut dengan larutan H2SO4 1 M, 2 M, 3 M, 4 M, 5 M sebanyak 5,0 ml. Masing-masing campuran ini dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambah aquades sampai batas volumenya. Larutan pada masing-masing labu takar diambil sebanyak 20,0 ml lalu dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambah dengan larutan buffer 5,0 ml dan diiencerkan dengan aquades sampai batas volumenya. Masing-masing larutan diukur absorbansi Cr6+ nya pada λ maksimum Cr6+. Dari pengukuran ini didapat konsentrasi Cr6+ setelah
23 3. Pengujian Tunggal Cr3+ yang dioksidasi
Disiapkan 5 buah erlenmeyer, masing-masing diisi 5,0 ml larutan Cr3+ 1000 ppm. Setelah itu ditambah dengan larutan NaOH 5,0 M sampai suasana alkalis dan ditambah NaOH 5,0 M sampai suasana alkalis dan ditambah larutan H2O2 6% sebanyak 1,0 M. Campuran ini dididhkan selama 5 menit. Setiap erlenmeyer ditambah berturut-turut dengan larutan H2SO4 1 M, 2 M, 3 M, 4 M , 5 M, sebanyak 5,0 ml. Masing-masing campuran dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambah aquades 5,0 ml. Masing-masing campuran dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambah aquades sampai batas volumenya. Campuran ada masing-masing labu takar diambil sebanyak 20,0 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambah 5,0 ml larutan buffer dan diencerkan dengan aquades sampai batas volumenya. Diukur absorbansinya pada λ maksimum Cr6+
. Larutan blanko dibuat seperti langkah 3.4.1 (A3) di atas tetapi sampel untuk Cr3+ diganti dengan aquades. Perlakuan ini diulang tiga kali.
4. Pengujian Tunggal Cr6+ tanpa dioksidasi
Disiapkan 5 buah erlenyemer dan masing-masing erlenmeyer diisi 5,0 ml Cr6+ 1000 ppm dan berturut-turut ditambah dengan 5,0 ml larutan H2SO4 1 M, 2 M, 3 M, 4 M, 5 M. Masing-masing campuran dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml lalu dilarutkan dengan aquades sampai batas volumenya. Campuran pada masing-masing labu takar diambil sebanyak 20,0 ml dan ditambah 5,0 ml larutan buffer dan diencerkan dengan aquades sampai batas volumenya. Diukur absorbansinya pada λ maksimum Cr6+
24
konsentrasi Cr6+ tanpa dioksidasi. Larutan blanko dibuat seperti langkah 3.4.1 A4 diatas tetapi sampel untuk Cr6+ diganti dengan aquades. Perlakuan ini diulang tiga kali.
B. Perlakuan pada Waktu Proses Ekstraksi 1. Campuran Cr3+ dan Cr6+ Sebelum oksidasi
25 2. Campuran Cr3+ dan Cr6+ setelah Oksidasi
Langkah B.1 diulangi lagi sampai pada tahap pemisahan dan lapisan air dari masing-masing hasil pemisahan pada penambahan H2SO4 1 M, 2 M, 3 M, 4 M, 5 M, dioksidasi dengan penambahan larutan NaOH 5,0 M, masing-masing sebanyak 3,0, 5,0, 7,0, 9,0, 11,0 ml. Campuran ini didihkan selama 5 menit. Masing-masing campuran ini dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambah aquades sampai batas tanda pada labu takar tersebut. Terakhir campuran pada masing-masing labu takar diambil sebanyak 20,0 ml dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml. Masing-masing campuran dalam labu takar ditambah 5,0 ml larutan buffer dan diencerkan dengan aquades sampai batas volumenya, diukur absorbansinya pada λ maksimum Cr6+
. Dari pengukuran ini didapat konsentrasi Cr6+ setelah oksidasi. Konsentrasi Cr3+ fasa air diperoleh dengan menghitung selisih konsentrasi Cr6+ setelah oksidasi dengan konsentrasi Cr6+ sebelum oksidasi. Larutan blanko dibuat seperti langkah 3.4.1. B2 diatas tetapi sampel untuk Cr3+ dan Cr6+ diganti dengan aquades. Perlakuan ini diulang tiga kali.
3. Pengujian Tunggal Cr6+ tanpa Dioksidasi
26
dengan lapisan organiknya. Masing-masing lapisan airnya dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan dilarutkan dengan aquades sampai batas volumenya. Campuran dari masing-masing labu takar diambil sebanyak 20 ml dan masing-masing dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan ditambah 5,0 ml larutan buffer dan diencerkan dengan aquades sampai batas volumenya, diukur absorbansinya pada λ maksumum Cr6+
. Larutan blanko dibuat seperti langkah 3.4.1 (B3) diatas, tetapi sampel untuk Cr6= diganti dengan aquades. Perlakuan ini diulang tiga kali.
4. Pengujian Tunggal Cr3+ yang Dioksidasi
27
gelombang maksimum Cr6+. Larutan blanko dibuat seperti langkah 3.4.1 (B4) diatas, tetapi samel untuk Cr3+ diganti dengan aquades. Perlakuan ini diulang tiga kali.
C. Konsentrasi Cr3+ dan Cr6+ pada fasa organik diperoleh dengan menghitung selisih antara konsentrasi Cr3+ dan Cr6+ sebelum ekstraksi dengan konsentrasi Cr3+ dan Cr6+ setelah ekstraksi.
28 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
4.1.1 Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Cr6+
Data penentuan panjang gelombang maksimum larutan Cr6+ diperlihatkan pada tabel 1.
Tabel 1. Data penentuan panjang gelombang maksimum
nm Absorbansi
345 347 349 350 351 352 353 354 356 360 370 375
0,295 0,299 0,203 0,304 0,306 0,308 **
29
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa serapan maksimum dari larutan Cr6+ terjadi pada panjang gelombang 352 nm.
4.1.2 Pembuatan Kurva Baku
Data pengukuran absorbansi dari larutan Cr6+ dengan berbagai konsentrasi diperlihatkan dalam tabel 2.
Tabel 2. Data pengukuran absorbansi larutan Cr6+
Konsentrasi (ppm) Absorbansi
5,0 7,5 10,0 12,5 15,0
0,148 0,229 0,313 0,387 0,453
Dari hasil analisis tabel 2 dengan menggunakan persamaan regresi linier, diperoleh persamaan kurva baku adalah : Y = 0,031 x - 0,0012. Analisis data persamaan regresi linier disajikan dalam tabel 24 lampiran 2.
4.1.3 Pengujian ada atau tidak adanya korelasi linier antara absorbansi dengan kadar larutan baku
30
0,873. Karena koefisien korelasi yang diperoleh dari perhitungan (rxy) lebih besar dari koefesien korelasi (rxy) tabel, berarti ada korelasi linier antara absorbansi dengan kadar larutan baku. Data pengujian korelasi linier disajikan dalam tabel 25 lampiran 3.
4.1.4 Penentuan pengaruh konsentrasi H2SO4 terhadap hasil ekstraksi
[image:30.595.108.547.388.585.2]dengan menggunakan pengekstrak TOPO- sikloheksan 0,1 M a. Penentuan konsentrasi Cr6+ dan Cr3+ sebelum ekstraksi
Tabel 3. Data absorbansi campuran Cr6+ dan Cr3+ sebelum oksidasi dan sesudah oksidasi
Cr3+ + Cr6+ sebelum oksidasi Cr3+ + Cr6+ setelah oksidasi
H2SO4(M) 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
31
Tabel 4. Data absorbansi Cr6+ tunggal tanpa dioksidasi dan Cr3+ tunggal sesudah dioksidasi
Keterangan : 1, 2, 3, 4, 5 = konsentrasi H2SO4 (M) I, II, III = ulangan
b. Penentuan Konsentrasi Cr6+ dan Cr3+ Setelah Proses Ekstrasi
Tabel 5. Data Absorbansi campuran Cr3+ dan Cr6+ sebelum dan sesudah Oksidasi dengan menggunakan TOPO – Sikloheksan
Cr3+ + Cr6+ sebelum oksidasi Cr3+ + Cr6+ setelah oksidasi
H2SO4(M) 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
I 352 II III 0,156 0,154 0,155 0,153 0,152 0,154 0,149 0,149 0,149 0,121 0,120 0,120 0,128 0,129 0,128 0,230 0,228 0,230 0,220 0,222 0,221 0,218 0,216 0,217 0,214 0,213 0,214 0,218 0,220 0,219 Cr6+ tunggal tanpa dioksidasi Cr3+ tunggal yang dioksidasi
H2SO4(M) 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
[image:31.595.98.541.565.709.2]32
Tabel 6. Data Absorbansi Cr3+ tunggal yang dioksidasi pada proses ekstraksi dengan menggunakan TOPO – Sikloheksan
H2SO4 (M)
Cr3+ 1 2 3 4 5
(I) (II) 352 (III) 0,160 0,165 0,160 0,154 0,157 0,155 0,149 0,148 0,150 0,139 0,140 0,140 0,142 0,145 0,141
Tabel 7. Data Absorbansi Cr6+ tanpa dioksidasi pada proses ekstraksi dengan menggunakan TOPO – Sikloheksan
H2SO4 (M)
Cr6+ 1 2 3 4 5
(I) (II) 352 (III) 0,126 0,124 0,127 0,126 0,124 0,125 0,121 0,123 0,122 0,119 0,119 0,117 0,120 0,123 0,121
a. Perhitungan Data Sebelum Ekstrasi
[image:32.595.114.516.166.311.2] [image:32.595.114.518.391.531.2]33
Data absorbansi tunggal Data campuran absorbansi
H2SO4 [Cr3+] diox [Cr6+] H2SO4
[Cr3+ + Cr6+] tanpa diox
[Cr3+ + Cr6+] setelah diox
1 M 0,289 0,271 1 M 0,310 0,504
Disubstitusi ke dalam
Persamaan Y = 0,031 X - 0,0012
Data Konsentrasi (ppm) Data Konsentrasi (ppm)
H2SO4 [Cr3+] diox [Cr6+] H2SO4
[Cr3+ + Cr6+] tanpa ox
[Cr3+ + Cr6+] setelah ox
1 M 9,361 8,781 1 M 10,039 16,297
(a) (b) (c) (d) Dari data tersebut didapat :
(Cr3+) yang tertinggal karena tidak teroksidasi = (a+b) - d
= (9,361 + 8,781) - 16,297 = 1,845
(Cr3+) yang teroksidasi = d - c
= 16,297 - 10,039 = 6,258
(Cr3+) = (Cr3+) yang tertinggal + (Cr3+) yang teroksidasi = 1,845 + 6,258
= 8,103
(Cr6+) = c = 10,039
34
b. Perhitungan Data setelah ekstraksi dengan TOPO – Sikloheksan
Data perhitungan ini diambil dari data pada tabel 5,6,7, masing – masing pada konsentrasi H2SO4 1 M pada ulangan I
Data absorbansi tunggal Data campuran absorbansi
H2SO4 [Cr3+] diox [Cr6+] H2SO4
[Cr3+ + Cr6+] tanpa ox
[Cr3+ + Cr6+] setelah ox
1 M 0,160 0,126 1 M 0,156 0,230
Disubstitusi ke dalam
Persamaan Y = 0,031 X - 0,0012
Data Konsentrasi (ppm) Data Konsentrasi (ppm)
H2SO4 [Cr3+] diox [Cr6+] H2SO4
[Cr3+ + Cr6+] tanpa ox
[Cr3+ + Cr6+] setelah ox
1 M 5,200 4,103 1 M 5,071 7,458
(a1) (b1) (c1) (d1) Dari data tersebut didapat konsentrasi pada fasa air sebagai berikut :
(Cr3+) yang tertinggal karena tidak teroksidasi
= (a1) + (b1) - (d1)
= (5,200 + 4,103) - 7,458 = 1,845
35
(Cr3+)a = (Cr3+) yang tertinggal + (Cr3+) yang teroksidasi = 1,845 +2,387
= 4,232
(Cr6+)a = c1 = 5,071
(Cr3+)a dan (Cr6+)a = konsentrasi Cr3+ dan Cr6+fasa air pada proses ekstraksi (Cr3+)o = selisih konsentrasin Cr3+ awal sebelum ekstraksi
dengan konsentrasi Cr3+ fase air setelah ekstraksi
(Cr6+)o = selisih konsentrasin Cr6+ awal sebelum ekstraksi dengan konsentrasi Cr6+ fase air setelah ekstraksi
Rasio distribusi dari Cr3+ dan Cr6+ masing – masing dihitung dengan membandingkan konsentrasi Cr3+ dan Cr6+ pada fasa organik dengan konsentrasi Cr3+dan Cr6+ pada fasa air.
(Cr3+)o dan (Cr6+)o = konsentrasi Cr3+ dan Cr6+ pada fasa organik
36
Tabel 11. Data Rasio Distribusi Cr6+ pada proses Ekstraksi dengan TOPO – Sikloheksan
H2SO4 [Cr6+]V [Cr6+]a [Cr6+]o [Cr6+]o / [Cr6+]a D
[image:36.595.111.566.163.619.2]37
Tabel 11. Data Rasio Distribusi Cr3+ pada proses Ekstraksi dengan TOPO – Sikloheksan
H2SO4 [Cr3+]V [Cr3+]a [Cr3+]o [Cr3+]o / [Cr3+]a D
[image:37.595.111.566.163.619.2]38 4.2 PEMBAHASAN
A.Dari tabel 11 memperlihatkan harga rasio distribusi Cr6+ pada variasi penambahan konsentrasi H2SO4 1 M, 2 M, 3 M, 4 M, 5 M dalam larutan kerja ekstraksi. Dari tabel tersebut terlihat bahwa rasio distribusi Cr6+akan naik dengan kenaikan konsentrasi asam sampai konsentrasi H2SO4 4 M. Pada konsentrasi H2SO4 di atas 4 M. Ternyata terjadi penurunan rasio distribusi. Bila ditinjau dari kesetimbangan yang terjadi selama ekstraksi berlangsung maka kesetimbangan tersebut dapat dituliskan sebagai berikut :
(Iqbal dan Ejas 1975)
(C8H17)3PO + H+ (C8H17)3PO - H+ (1)
(C8H17)3 PO - H)+ + Cr2O2-7 (C8H17)3PO – H)2 Cr2O7 (2)
39
40 BAB V KESIMPULAN
41
KARYA ILMIAH
DAYA EKSTRAKSI – TRIOKTIN FOSFIN OKSIDA – SIKLOHEKSAN DAN PENGARUH VARIASI KONSENTRASI H2SO4 PADA PEMISAHAN
Cr3+ DAN Cr6+ SECARA EKSTRASI PELARUT
OLEH :
NI KOMANG ARIATI,S.Si.,M.P 197012032000122001
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA
42 RINGKASAN
Ekstraksi pelarut adalah suatu metode pemisahan yang berdasarkan perbedaan distribusi dari zat yang dipisahkan dalam dua pelarut yang tidak saling campur. Suatu proses ekstraksi pelarut terjadi karena adanya distribusi zat terlarut pada kedua fase yang tidak saling campur. Distribusi pada kedua fase ini terjadi karena adanya ekstraksi kimia antara zat terlarut dengan senyawa pengekstrak.
Adapun jenis pelarut yang digunakan adalah sikloheksan yang berfungsi sebagai pelarut trioktin fosfin oksida (TOPO). Penggunaan ekstraksi pelarut dalam praktek perlu memperhatikan fraksi total zat terlarut dalam masing – masing pelarut tanpa memperhatikan variasi spesies tersebut dengan spesies lain yang juga terlarut. Oleh karena itu dikenalkan bentuk rasio distribusi atau perbandingan distribusi yaitu perbandingan konsentrasi zat terlarut pada pelarut pertama dengan konsentrasi zat terlarut pada pelarut ke dua.
43
DAFTAR PUSTAKA
Basset, J. 1978. Text Book of Quantitative Inorganic Analysis Inc, Elementary Instrument Analysis 4. Edisi The English Book Society Longman, London.
Cotton A.F. and Wilkinson g. 1980. Advanced Inorganic Chemistry A Comprehensive Text. 4th, John Wiley and Sons, New York.
Day, R.A. and Underwood, A.L. diterjemahkan oleh Drs R Soendoro, 1988. Analisa Kimia Kuantitatif, Edisi ke 4. Erlangga. Jakarta.
Dix R.A. and Underwood a.l. diterjemahkan oleh Drs. R Soendoro, 1988. Analisa Kimia Kuantitatif, edisi ke 4. Erlangga, New York.
Iqbal, M and Ejas. M. 1975. Extraction and Separation Studies of Chromium (IV) from Nitric Acid Solution Using 4-(S-Nonyl) Oyridine, J. Anal Chem 47. 936-940
J.C. White and W.J. Roos. 1955. Separation by Solvent Extraction With Tri n-Octylphosphine Oxide, Nuclear Science Series Radiochemical Techniques (U S Atomic Energy Commision).
Khopkar, S.M. diterjemahkan oleh A. Saptoraharjo, 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik, edisi ke 1 UI Press Jakarta.
Mackoy K.M and Mackoy A.R. 1973. Introduction to Modern Inorganic Chemistry, 2 edisi Intertext Book, London.
Tyree, Y and Knox K, 1961. Text Book of Inorganic Chemistry 1st, edisi , MC Millan Co, New York.
Vogel, diterjemahkan oleh Or. L Setiono dan Dr. A. Hadyana Pudjaatmaka, Analisis Organik Kualitatif Makro dan Semimakro edisi ke 5. Universitas Queen, Belfast.
Samsulan Saleh, Statistik Deskriptif Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN Yogyakarta.
Samsulan Saleh, Statistik Deskriptip, Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN Yogyakarta.
44
45 DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……… i
DAFTAR ISI……….. ii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang………. 1
1.2 Permasalahan……….. 2
1.3 Tujuan Penelitian……… 2
1.4 Manfaat Penelitian……….. 2
1.5 Metode Penelitian……… 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Ekstraksi………. 4
2.1.1 Ekstraksi Solvasi……… 4
2.1.2 Ekstraksi yang Melibatkan Pembentukan Pasangan Ion……….. 5
2.1.3 Ekstraksi Kelat……… 6
2.2 Tri-n Oktil Phospin Oksida (TOPO)……… 6
2.3 Kromium……….. 7
2.3.1 Krom (III) atau Cr3+……….. 8
2.3.2 Krom (IV) atau Cr6+………. 8
2.3.3 Pemisahan Cr3+ dan Cr6+……….. 9
2.3.4 Sikloheksan ……….. 9
2.3.5 Asam Sulfat (H2SO4)………. 10
2.4 Hukum Distribusi………. 10
46
2.5 Mekanisme Ekstraksi Ion Logam………. 12
2.5.1 Pembentukan Kompleks tidak bermuatan………… 12
2.5.2 Distribusi Kompleks Terekstraksi………. 13
2.5.3 Interaksi yang Mungkin terjadi pada Fasa Organik… 13 2.6 Ekstraksi Kromium dengan TOPO………. 13
2.7 Metode Spektrofotometri……… 14
BAB III MATERI DAN METODE 3.1 Bahan Kimia dan Peralatan yang Digunakan………. 16
3.1.1 Bahan Kimia yang Digunakan……….. 16
3.1.2 Peralatan yang Digunakan………. 16
3.2 Cara Analisis Data……….. 17
3.2.1 Pengujian ada dan tidaknya korelasi linier antara absorbansi dengan kadar larutan baku……….. 17
3.2.2 Persamaan Kurva Baku………. 18
3.3 Prosedur Kerja……… 18
3.3.1 Pembuatan Larutan………. 18
3.4 Pelaksanaan Penelitian………. 21
3.4.1 Penentuan Pengaruh Konsentrasi H2SO4 terhadap Hasil Ekstraksi dengan menggunakan Pengekstrak TOPO 0,1 M yang dilarutkan dalam Sikloheksan (TOPO-S)……… 21
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ………. 28
47
4.1.1 Penentuan panjang gelombang maksimum Cr6+….. 28 4.1.2 Pembuatan kurva baku ………. 29 4.1.3 Pengujian ada atau tidak adanya korelasi linier antara
absorbansi dengan kadar larutan baku……….. 29
4.1.4 Penentuan Pengaruh Konsentrasi H2SO4 terhadap Hasil Ekstraksi dengan menggunakan Pengekstrak
TOPO - Sikloheksan 0,1 M ….……… 30
4.2 Pembahasan .………. 38