"Koalisi Oposisi" Pada Harian Jawa Pos Edisi 6 Februari 2010)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPN “Veteran” Jawa Timur
Oleh :
YUDAS XASA DERA
NPM. 0543010163
YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
"
VETERAN"
JAWA TIMURFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
PEMAKNAAN KARIKATUR EDITORIAL CLEKIT VERSI
KOALISI OPOSISI
(Studi Semiotika Tentang Pemaknaan Karikatur Editorial Clekit Versi
"Koalisi Oposisi" Pada Harian Jawa Pos Edisi 6 Februari 2010)
Oleh :
YUDAS XASA DERA NPM. 0543010163
Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi
Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur
Pada tanggal 8 Juni 2010.
Pembimbing Utama Tim Penguji :
1. Ketua.
Zainal Abidin, S.Sos, MSi Ir. Didiek Tranggono, MSi
NIP. 3 7303 99 0170 1 NIP. 19581225 19900 1001
2. Sekretaris.
Drs. Saifuddin Zuhri, MSi NIP. 3 7006 94 00351
3. Anggota.
Zainal Abidin, S.Sos, MSi NIP. 3 730399 0170 1
Mengetahui, DEKAN
Dra. Ec. Hj. Suparwati, MSi NIP. 1955 0718 198302 2001
skripsi dengan judul "PEMAKNAAN KARIKATUR EDITORIAL CLEKIT
VERSI "KOALISI OPOSISI" (Studi Semiotika Tentang Pemaknaan
Karikatur Editorial Clekit Versi "Koalisi Oposisi" Pada Harian Jawa Pos
Edisi 6 Februari 2010)". Penulisan skripsi ini merupakan mata kuliah wajib
bagi mahasiswa program studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Pembangunan Nasional Jawa Timur.
Begitu banyak hambatan yang dialami penulis, mulai dari pengumpulan
data dsb. Semuanya dapat dinetralisir berkat kerjasama dan bantuan pihak
dosen, orangtua, serta teman-temanku semua.
Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan
terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Allah SWT. yang tiada henti untuk memberikan pencerahan serta kasih sayangNya.
2. Bpk. Juwito, S.sos, Msi. selaku ketua program studi Ilmu Komunikasi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pembangunan Nasional Jawa Timur.
3. Bpk. M Zainal Abidin, Msi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan sangat telaten menghadapi mahasiswanya.
4. Mom n’ Dad. Terimakasih atas segala yang telah diberikan baik moril
maupun materiil.
5. SHOPWINDOW team support. Matur nuwun es..
v
6. Seluruh teman seperjuangan. TITO (anak ganteng), THEO (collie), IKRAR
(gundul), INDRA (petot), DONA, VIKAR, DHANI, BINTARI, NADIA, SAMID, mari memberikan contoh yang baik bagi junior.!!!!!
7. Dan semua pihak yang belum tercantum. Terimakasih semua.
Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa ini semua masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran, kritik dan pendapat dari
pembaca sangat saya nantikan. Terimakasih.
Surabaya, Juni 2010
Penulis
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... iii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang Permasalahan ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Kegunaan Penelitian ... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 10
2.1. Landasan Teori ... 10
2.1.1. Karikatur ... 10
2.1.2. Karikatur Dalam Media Massa ... 11
2.1.3. Karikatur Editorial ... 13
2.1.4. Karikatur Sebagai Kritik Sosial ... 14
2.1.5. Karikatur Sebagai Proses Komunikasi ... 16
2.1.6. Surat Kabar ... 18
2.1.7. Koalisi dan Oposisi ... 20
2.1.8. Konsep Makna ... 21
2.1.9. Komunikasi Non Verbal ... 23
2.1.10. Pendekatan Semiotika ... 24
2.1.11. Semiotika Charles Sanders Peirce ... 27
2.2. Kerangka Berpikir ... 27
BAB III METODE PENELITIAN ... 33
3.1. Metode Penelitian ... 33
3.2. Corpus ... 34
3.3. Unit Analisis Data ... 35
3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 37
3.5. Metode Analisis Data ... 38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41
4.1. Karikatur Editorial Clekit ... 41
4.2. Jawa Pos ... 43
4.3. Penyajian Data ... 44
4.3.1. Tanda, Objek, dan Interpretan ... 45
4.3.2. Ikon, Indeks, dan Simbol ... 47
4.4. Karikatur Editorial Clekit Edisi 6 Februari 2010 ... 49
4.5. Interpretasi Tanda Di Dalam Objek Karikatur Editorial Clekit Edisi 6 Februari 2010 Berdasarkan Teori Segitiga Makna ... 51
4.6. Interpretasi Terhadap Objek Karikatur Editorial Clekit Edisi 6 Februari 2010 Berdasarkan Jalinan Tanda Teori Segitiga Makna ... 66
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 69
5.1. Kesimpulan ... 69
5.2. Saran ... 70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Gambar 2.2. Model Kategori Tanda Oleh Pierce ... 30
Gambar 2.3. Sistematika Kerangka Berpikir Penelitian ... ... 32
Gambar 2.4. Objek Karikatur Editorial Clekit Edisi 6 Februari 2010
Berdasarkan Model Semiotika Charles Sanders Peirce ... 40
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
ABSTRAKSI
YUDAS XASA DERA. (0543010163). PEMAKNAAN KARIKATUR EDITORIAL CLEKIT VERSI KOALISI OPOSISI (Studi Semiotika Tentang Pemaknaan Karikatur Editorial Clekit Versi "Koalisi Oposisi" Pada Harian Jawa Pos Edisi 6 Februari 2010).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna karikatur editorial Clekit versi "Koalisi Oposisi" di harian Jawa Pos edisi 6 Februari 2010.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sistem tanda, dengan pendekatan semiotika milik Charles Sanders Peirce. Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk mengetahui pemaknaan secara menyeluruh karikatur Editorial Clekit versi "Koalisi Oposisi" di harian Jawa Pos edisi 6 Februari 2010.
Metode analisis semiotika yang membagi sistem tanda menjadi ikon, indeks, dan simbol. Dari hasil pemaknaan tanda-tanda tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dalam penelitian saling berhubungan atau terkait.
Berdasarkan analisis peneliti mengenai pemaknaan karikatur Editorial Clekit versi Koalisi Oposisi dengan pendekatan semiotika Peirce, maka dapat disimpulkan : Dalam visualisasi karikatur ini secara jelas mengandung unsur sindiran dan menunjukkan bahwa Presiden SBY sebagai pihak Demokrat kecewa dengan partai oposisi Golkar yang diketuai oleh Abu Rizal Bakrie. Pada karikatur ini menunjukkan ketatnya persaingan dalam dunia perpolitikan.
Kata kunci : Karikatur Editorial Clekit, Semiotika, Charles Sanders Peirce.
1.1. Latar Belakang Masalah
Proses penciptaan bentuk nyata melalui model-model yang tidak asal-asalan
referensi realitasnya mampu membuat yang supernatural, ilusi, fantasi, dan
khayal menjadi tampak nyata. Dalam menggambarkan suatu fenomena yang
terjadi kedalam sebuah hasil karya seni gambar akan lebih tampak nyata bila
ditambahkan dengan tanda (ikon, indeks, dan simbol) untuk
mengilustrasikannya.
Tanda tersebut sering digunakan dalam ilustrasi/gambar karikatur. Karikatur
itu sendiri dalam penulisan bahasa latin adalah carricare, yang berarti gambar
yang didistorsikan, diplesetkan, dan dipletotkan secara karakteristik tanpa
bermaksud melecehkan si pemilik wajah. Seni memeletotkan wajah ini sudah
berkembang sejak abad ke-17 di Eropa, Inggris, dan sampai ke Amerika
bersamaan dengan perkembangan media cetak pada masa itu (Pramoedjo,
2008:13).
Karikatur merupakan deformasi berlebih pada wajah seseorang atau tokoh,
biasanya orang terkenal dengan mempercantik bertujuan mengejek. Deformasi
itu sendiri adalah penggambaran berlebihan terhadap salah satu fokus dalam
objek. Deformasi dikatakan berlebihan dalam arti ukuran bisa besar, menonjol,
dan bisa pula diperkecil, sehingga tampak berbeda dari gambar lainnya di dalam
2
objek. Objeknya biasanya seperti tokoh terkenal seperti presiden, ketua parpol,
ketua DPR dsb. Biasanya bagian yang dideformasi adalah wajah, perut, hidung,
mulut, gigi, mata dsb, atau bahkan sosok dari gambar di dalam objek (Sudarta,
1987:49 dalam Sobur, 2006:138).
Gambar karikatur sering dimuat pada media massa cetak, karikatur ini
menggambarkan tentang permasalahan yang terjadi di negeri ini. Permasalahan
itu merupakan sesuatu yang dapat menimbulkan pergunjingan di masyarakat.
Selama ini kita tahu bahwa media cetak hanya berperan sebagai member
informasi yang utama dalam fungsinya. Media cetak juga mempunyai suatu
karakteristik yang menarik, dan perlu diperhatikan untuk memberikan analisis
yang sangat kritis yang akan menumbuhkan motivasi dan pola pikir bagi
masyarakat untuk semakin kritis dan selektif dalam menyikapi suatu fenomena
yang terjadi.
Dalam menyikapi suatu fenomena yang terjadi, manusia dalam kehidupan
sehari-hari dimana masing-masing individu satu sama lain saling melakukan
interaksi dan saling mempengaruhi demi keuntungan masing-masing individu
ataupun pihak-pihak tertentu. Interaksi yang dilakukan bisa dilakukan dengan
berbagai cara, dari face to face maupun melalui media massa. Media massa
bertanggungjawab atas informasi atau berita yang disiarkan. Di dalam proses
pembuatan berita, pers harus menjaga identitasnya sebagai lembaga
kemasyarakatan yang dapat melakukan kontrol sosial. Pers dianggap dapat
menjalankan kontrol masyarakat terhadap fenomena yang terjadi baik berupa
pada penulisan tajuk rencana dalam menanggapi permasalahan-permasalahan
yang terjadi dan berkembang. Permasalahan itu yang mendominasi tentang
berita-berita yang dipublikasikan oleh media massa dalam waktu tertentu.
Idealisme pers yang identik dengan kebebasan berpendapat dalam menulis
berita, sering dipersepsikan dengan pers yang selalu tidak sepaham dengan apa
yang dipikirkan oleh pemerintah. Mengingat rezim Soeharto waktu itu pers
sempat tidak lagi bebas dalam memberikan informasi.
Pers tidak selalu menentang dan menganggap negatif pemerintah, kontrol
sosial dapat dilakukan dengan beberapa cara baik secara eksplisit maupun
implisit. Secara eksplisit kontrol sosial ini dapat terlihat dari berita utama.
Sedangkan implisit kontrol sosial dapat dilakukan salah satunya dengan tampilan
kartun. Keberadaan karikatur dalam surat kabar bukan hanya sebagai pelengkap
dalam penyajian berita surat kabar, namun karikatur dapat memberikan
informasi secara menarik, setelah pembaca membaca artikel dalam bentuk
tulisan yang berjejer maka pembaca dapat menikmati karikatur yang juga
memiliki informasi namun dengan penyajian berita yang berbeda. Penyajian
berita karikatur dengan gambar dan tulisan-tulisan tetang kritik sosial maupun
opini tajam namun dapat menggelitik. Unsur humor yang dikedepankan
membuat kelugasan karikatur sehingga membuat pembaca dapat tersenyum dan
tertawa (Waluyo, 2000:128).
Gambar merupakan media yang lebih cepat untuk menanamkan
pemahaman. Informasi berupa gambar lebih disukai dibandingkan dengan
informasi berupa tulisan (orang cenderung suka dengan informasi yang disertai
4
gambar). Gambar berdiri sendiri, memiliki subyek yang mudah dipahami dan
merupakan simbol yang jelas dan mudah dikenal.
Dari sedikit uraian di atas maka kita dapat melihat dan mengetahui gambar
karikatur bahwa karikatur merupakan perwujudan suatu lambang atau bahasa
visual, keberadaanya dikelompokan dalam komunikasi non verbal, karikatur
dibedakan dengan bahasa verbal yang perwujudannya disertai tulisan maupun
ucapan, karikatur merupakan ungkapan ide dan pesan dari karikaturis pada
publik yang dituju melalui simbol yang berupa gambar, tulisan dsb.
Menurut Effendy (2003:93), idealisme yang melekat pada pers dijabarkan
dalam pelaksanaan fungsinya, selain menyiarkan informasi yang mendidik,
menghibur, dan mempengaruhi.
1) Fungsi pertama adalah menyebarkan informasi, dimana pers berusaha memenuhi kebutuhan pembaca dengan isi bacaan yang diambil dari suatu peristiwa, adanya gagasan-gagasan atau pemikiran dari orang lain atau narasumber dsb.
2) Fungsi kedua adalah bersifat mendidik, dimana pers bisa sebagai sarana dalam memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan yang luas, fungsi mendidik bisa secara implisit dalam bentuk artikel atau tajuk rencana, cerita bersambung, dan cerita bergambar yang mengandung informasi atau kata-katanya mudah dimengerti.
3) Fungsi ketiga adalah dimana pers bisa sebagai sarana yang bersifat menghibur melalui cerita pendek dan cerita bergambar.
Komunikasi massa secara umum diartikan sebagai komunikasi yang
dilakukan melalui media massa seperti surat kabar, radio, televisi dsb.
Komunikasi massa merupakan komunikasi dimana penyampaian pesan kepada
sejumlah orang dilakukan melalui media massa. Baik kartun maupun karikatur
di Indonesia belakangan ini sudah bisa menjadi karya seni yang menyimpan
gema panjang, sarat oleh pesan dan estetika, disamping kadar humornya.
Karikatur penuh dengan perlambang-lambangan yang kaya akan makna, oleh
karena itu karikatur merupakan ekspresi dari situasi yang menonjol di dalam
masyarakat. Setajam atau sekeras apapun kritik yang disampaikan sebuah
gambar karikatur, tidak akan menyebapkan terjadinya evolusi. Dengan kata lain,
karikatur dapat mengetengahkan suatu permasalahan yang sedang hangat
dipermukaan.
Dalam penyajiannya di media cetak, karikatur merupakan salah satu unsur
penting, bahkan tidak terpisahkan dalam tajuk rencana, opini dan artikel pilihan
lainnya. Bagi pembaca atau setidak-tidaknya bagi para pembaca awam, karikatur
membawa arti komunikasi yang cukup penting. Ketika pesan tidak lagi
disampaikan dalam bentuk tulisan, maka karikatur seringkali justru bermakna
penting karena bisa diinterpretasikan menurut pengalaman personal. Fakta-fakta
yang terkadang merupakan peristiwa pahit bisa dikemukakan tanpa
menyinggung perasaan (Bintoro, 2002:3)
Keberadaan karikatur dalam surat kabar bukan hanya melengkapi saja,
tetapi memberikan hiburan selain berita-berita utama yang disajikan dan juga
memberikan tambahan informasi dan pengetahuan kepada khalayak pembaca.
6
Karikatur merupakan bentuk komunikasi yang mudah terbaca, karena sering
diberikan kata-kata tertulis kartun terlihat mudah untuk dimaknai. Namun pada
kenyataannya kita harus terlebih dahulu mendeskripsikan jalinan tanda pada
karikatur tersebut, yang selanjutnya karikatur tersebut tampil sebagai “tanda”
karena ada kedekatan antara gambar dengan obyeknya. Setelah itu kita
mengganti unsur-unsur pembentuk karikatur yang tercantum dalam ilustrasi
tersebut, dan kemudian mendeskripsikannya mempertimbangkan ikon, indeks,
dan simbol.
Karikatur Clekit merupakan penggambaran dari peristiwa yang terjadi di
masyarakat yang meliputi peristiwa politik, sosial, ekonomi, budaya, dsb.
Karikatur Clekit dalam satu minggu dimuat hanya tiga kali, penyampaian pesan
implisit dalam artian karikatur sebagai komunikasi secara tidak langsung
(symbolic speech) dimaksudkan untuk mengembangkan kreatifitas dan imajinasi
pembaca dalam menginterpretasikan makna yang terkandung dalam pesan dan
gambar karikatur tersebut. Hasil dari interpretasi tersebut yang diharapkan
mampu memberikan solusi, pemecahan, atau koreksi diri bagi kalangan
masyarakat, pemerintah, ataupun individu-individu tentang suatu permasalahan.
Dari pemilihan gambar karikatur Clekit yang berurutan tentang
permasalahan atau kasus yang terjadi di partai politik Demokrat. Penulis hendak
menjabarkan makna yang terkandung dalam karikatur secara semiotika
berdasarkan ikon, indeks, dan simbol. Penulis akan mengartikan karikatur
“Koalisi, Oposisi” yang termasuk karikatur editorial, karikatur editorial
sosial. Alasan yang mendasari pemilihan gambar karikatur Clekit adalah adanya
deformasi jasmani terhadap pihak-pihak yang menjadi sasaran, penggambaran
dalam karikatur Clekit yang menyebapkan keimplisitan pesan, yaitu didalam
gambar karikatur terdapat perubahan gambar tokoh yang tidak sesuai lagi
dengan gambar atau bentuk asli karena adanya tambahan efek-efek gambar dari
kartunis sehingga karikatur tersebut memiliki makna dan pesan yang
menimbulkan imajinasi bagi pembaca dalam menyikapi gambar karikatur Clekit.
Karikaturis menciptakan sensasi melalui gambar tentang sesuatu yang memiliki
peristiwa yang memiliki makna tersembunyi yang menggelitik bagi pembaca.
Yang dimaksud makna tersembunyi merupakan makna konotatif, makna
konotatif bersifat subyektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna
umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau
ada makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna
konotatif ini hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya relatif lebih kecil
(Sobur. 2003:264).
Dalam persidangan kasus Bank Century tentang penyaluran dana
bailout ini, beberapa pekan pemberitaannya mendominasi media massa
dan menyita perhatian masyarakat, maka Penulis tertarik mengungkapkan
pesan apa yang ingin disampaikan dari karikaturis. Dari pemilihan gambar
karikatur Clekit “Koalisi, Oposisi” di surat kabar harian Jawa Pos edisi
Sabtu 06 Februari 2010, penulis ingin memaknai karikatur karyanya
melalui pendekatan semiotika.
8
Istilah semiotika yang muncul pada akhir abad ke-19 oleh filosof aliran
pragmatisme Amerika, Charles Sanders Peirce merujuk pada doktrin formal
tentang tanda-tanda. Yang menjadi dasar bagi semiotika adalah konsep tentang
tanda, tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh
tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiripun sejauh terkait dengan pikiran manusia
seluruhnya terdiri atas tanda-tanda karena jika tidak begitu manusia tidak akan
bisa menjalin hubungannya dengan realistis. Bahasa itu sendiri merupakan
sistem tanda yang paling fundamental bagi manusia, sedangkan tanda-tanda non
verbal seperti gerak-gerik, bentuk-bentuk pakaian, serta beraneka praktik sosial
konvensional lainnya dapat dipandang sebagai jenis bahasa yang tersusun dari
tanda-tanda bermakna yang dikomunikasikan berdasarkan relasi-relasi (Sobur,
2003:13).
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah pemaknaan karikatur editorial Clekit Koalisi Oposisi pada
Harian Jawa Pos edisi 6 Februari 2010?
1.3. Tujuan Penelitian
Dari perumusan permasalahan diatas, maka tujuan dalam penelitian ini
adalah untuk mengetahui pemaknaan karikatur editorial Clekit Koalisi Oposisi
1.4. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Teoritis.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan, referensi, dan
sumbangan ilmu atas wawasan bagi mahasiswa komunikasi pada umumnya
untuk perkembangan ilmu komunikasi khususnya mengenai studi analisis isi
dengan pendekatan semiotik, dan dapat digunakan untuk menambah referensi
kepustakaan Universitas Pembangunan Nasional mengenai penelitian yang
menggunakan pendekatan semiotik.
2. Kegunaan Praktis.
Memberikan landasan pada pengelola media massa dalam hal ini bahwa
informasi atau berita tidak hanya bisa dijabarkan melalui tulisan maupun
siaran, namun dapat pula berupa bentuk gambar kartun berupa karikatur yang
menarik, memiliki nilai humor didalamnya, mengandung kritikan dan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Karikatur
Gambar Karikatur adalah karya pribadi, produk suatu keahlian seorang
karikaturis, baik dari segi pengetahuan, intelektual, seni melukis, psikologis,
maupun bagaimana ia memilih tema atau isu yang tepat. Karikatur merupakan
tanggapan atau opini secara subyektif terhadap suatu kejadian, tokoh, suatu soal,
pemikiran atau pesan tertentu. Gambar karikatur merupakan symbolic speech
(komunikasi secara tidak langsung) artinya bahwa penyampaian pesan yang
terdapat dalam gambar karikatur tidak dilakukan secara langsung tetapi dengan
menggunakan bahasa simbol. Dengan kata lain makna yang terkandung dalam
karikatur adalah makna yang terselubung. Simbol-simbol dalam karikatur
tersebut merupakan simbol yang disertai maksud (signal) yang digunakan
dengan sadar oleh orang yang mengirimnya (komunikator) dan mereka yang
menerimanya (komunikan) (Van Zoest, 1996:3).
Karikatur adalah bagian dari opini penerbit yang dituangkan dalam bentuk
gambar-gambar khusus. Semula, karikatur ini merupakan selingan atau ilustrasi
belaka. Pada perkembangan selanjutnya, karikatur dijadikan sarana untuk
menyampaikan kritik yang sehat karena penyampaiannya dilakukan dengan
gambar-gambar lucu dan menarik (Sobur, 2006:40).
10
Sebuah gambar lelucon yang membawa pesan kritik sosial sebagaimana
disetiap ruang opini surat kabar biasanya disebut karikatur. Sedangkan gambar
lelucon yang muncul di media massa, yang hanya berisikan humor semata tanpa
membawa beban kritik sosial apapun biasanya disebut kartun (Sobur, 2006:38).
2.1.2. Karikatur Dalam Media Massa
Proses komunikasi pada hakekatnya adalah proses penyampaian pikiran
atau perasaan seseorang kepada orang lain, komunikator kepada komunikan,
pada dasarnya pikiran bisa berupa gagasan atau ide, opini, informasi dan lain
sebagainya, dimana gagasan, opini, dan informasi muncul dari pemikiran
seorang itu sendiri, perasaan bisa berupa keyakinan, kepastian, kekhawatiran,
kemarahan, kepuasan, dan keberanian dimana hal-hal tersebut bisa muncul dari
perasaan masing-masing. Banyak pengertian yang memberi penjelasan tentang
komunikasi massa secara umum, komunikasi massa diartikan sebagai
penyampaian pesan dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan
media massa adalah komunikasi yang pesannya ditujukan untuk sejumlah besar
orang anonym, heterogen dan tersebar luas melalui media cetak atau elektronik
sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak serta tidak mengenal
batas geografis kultural. Dengan kata lain kominkasi massa adalah penyaluran
pesan-pesan kepada sejumlah orang melalui media massa. Media massa dalam
disiplin komunikasi adala sejumlah alat untuk menyampaikan pesan untuk
berkimunikasi. Dalam konteks masyarakat modern, ia merupakan instrument
12
Dalam masyarakat dari yang awam hingga terkompleks komunikasi massa
memiliki beberapa fungsi. Menurut laswell ada tiga fungsi komunikasi, Yaitu.
1. The surveilence of the environtment.
Fungsi ini biasa disebut pengamatan lingkungan, yaitu pengamatan yang dilakukan untuk mengetahui kejadian-kejadian yang akan terjadi.
2. The corelation of part of society in responding to the environment.
Fungsi ini adalah fungsi korelasi, fungsi yang ada dalam masyarakat yang menaggapi lingkungan, yakni dengan menghasilkan atau memiliki alternatif-alternatif solusi dalam menangani masalah sosial.
3. The transmission of the social heritage from one generation to the next.
Fungsi ini biasa disebut sosialisasi dan pendidikan yaitu fungsi transmisi nilai dan norma sosial dari satu generasi ke generasi berikutnya (Winarso, 2005:21).
Karikatur merupakan salah satu dari isi surat kabar yang bersifat hiburan,
karena karikatur merupakan gambar lelucon yang bersifat lucu dan mengandung
unsur humor dengan membawa pesan sosial. Pada abad XVII di Italia tempat
gambar kartun pertama kali muncul di dunia. Perintisnya bernama Amnibale
Caricci, seorang karikaturis yang mampu mengubah wajah seseorang menjadi
bentuk binatang atau sayuran namun tetap mirip dengan subyeknya yang
bertujuan sebagai ungkapan protes ataupun kritik sosial. Di Inggris, karikatur
pertama kali muncul oleh Thomas Rowlandson (1756-1872) dan James Gillary
(1757-1815). Dalam perkembangan selajutnya karikatur dihubungkan dengan
2.1.3. Karikatur Editorial
Sebetulnya karikatur adalah bagian dari kartun opini, tetapi kemudian
menjadi salah total. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik dsb. berarti
telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa pesan kritik
sosial, yang muncul disetiap penerbitan surat kabar adalah political cartoon atau
editorial cartoon, yakni versi lain dari editorial atau tajuk rencana dalam versi
gambar humor (Sobur, 2006:139)
Karikatur editorial atau yang disebut juga kartun opini harus dilihat dari cara
bagaimana karikatur tersebut dibuat, unsur-unsur apa saja yang perlu dan
penting. Semua hal tersebut sangat penting agar karikatur editorial benar-benar
baik, cerdas, lucu, kritis, dan tentunya proporsional. Sebagai karikatur editorial
yang menyampaikan opini redaksi, karikatur harus mengandung teknis karikatur.
1. Karikatur harus informatif dan komunikatif.
Karikatur pada kriteria ini berlaku sebagai penyampai pesan atau informasi berkaitan dengan fenomena tertentu. Informasi tersebut disampaikan dengan gaya bahasa non verbal yang lucu dan sedikit satu atau dua kata verbal disisipkan sebagai penguat sehingga pesan gambar tersebut komunikatif. Tujuannya agar dalam penyampaian pesan gambar tersebut tidak terjadi salah pengertian, walaupun dalam penafsiran karikatur berbeda-beda dan bila tidak ditafsirkan secara benar maka akan terjadi bias.
2. Karikatur harus mengangkat permasalahan yang fenomenal dan sedang ramai dibicarakan publik.
14
kalangan anak-anak karena isinya yang ringan dan tidak kritis. Berbeda dengan karikatur, muatan isinya lebih pada ranah publik yang fenomenal dan ramai diperbincangkan karena pengaruhnya yang begitu besar bagi semua individu, misalnya karikatur tentang lapindo, BLBI, terorisme, bencana alam dan sebagainya.
3. Supaya karikatur kritis, cerdas, dan lucu adalah memuat kandungan humor.
Kelucuan menjadi penetral sekaligus sebagai identitas karikatur. Sifat atau teknis yang humoris menjadi sarana refreshing atau bersantai khalayak meskipun sadar atau tidak mereka tetap kritis terhadap segala permasalahan yang diangkat.
4. Karikatur memiliki gambar yang baik.
Maksud dari gambar yang baik adalah gambar harus dibuat semirip mungkin dengan tokoh yang disindir dan permasalahan yang diangkat. Karikatur harus mirip dengan objek yang asli meskipun dalam karikatur terdapat deformasi terhadap tokoh-tokohnya (Sobur. 2006 ; 139).
Karikatur editorial sebagai opini surat kabar berbentuk humor visual juga
memiliki kata-kata sebagai penegas, kata-kata tersebut merupakan
onomatopetica, yaitu penggambaran suara dari objek. Onomatopetica itu
biasanya suara orang yang bersiul, harimau yang mengaum, teriakan orang
marah dan lain-lain (Sobur, 2006:138).
2.1.4. Kariaktur Sebagai Kritik Sosial
Dalam beberapa pengertian kritik sosial mengandung konotasi negatif
seperti celaan, namun kata “kecaman” mengandung kemungkinan arti yang
adalah “one who appraise literary or artistic work” atau suatu hal yang
membentuk dan memberikan penilaian untuk menemukan kesalahan terhadap
sesuatu. Kritik berasal dari bahasa Yunani yaitu kritike yang artinya pemisahan,
dan berkembang dalam bahasa Inggris yaitu critism yang berarti evaluasi atau
penilaian tentang sesuatu. Sementara sosial adalah suatu kajian yang
menyangkut kehidupan manusia dalam bermasyarakat seperti interaksi sosial,
gaya hidup masyarakat, perubahan sosial yang terkait dengan kehidupan sosial
masyarakat. Sehingga kritik sosial dapat diartikan sebagai evaluasi atau
penilaian yang menyangkut kehidupan bermasyarakat menciptakan suatu kondisi
sosial yang tertib dan stabil. Kritik sosial adalah salah satu bentuk komunikasi
dalam masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai sumber kontrol
terhadap jalannya sebuah sistem sosial atau proses bermasyarakat, dalam
konteks inilah kritik sosial merupakan unsur penting dalam memelihara sistem
sosial. Dengan kata lain, kritik sosial dalam hal ini berfungsi sebagai wahana
untuk konservasi dan reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat (Masoed,
1999:47).
Kritik sosial juga dapat berarti sebuah inovasi sosial, menjadi sarana
komunikasi, gagasan baru, sembari menilai gagasan yang lama untuk suatu
perubahan sosial. Persepsi kritik sosial yang demikian lebih banyak dianut oleh
kaum kritis dan strukturalis. Mereka melihat kritik sosial adalah wahana
komunikatif untuk suatu tujuan perubahan sosial. Kritik sosial yang murni
kurang didasarkan pada peneropongan kepentingan diri saja, melainkan justru
16
kebutuhan-kebutuhan nyata dalam masyarakat. Suatu kritik sosial kiranya
didasarkan pada rasa tanggungjawab bahwa manusia bersama-sama
bertanggungjawab atas perkembangan lingkungan sosialnya (Masoed, 1999:49).
Bagi pers, menjalankan kritik sosial adalah salah satu cara menjalankan
salah satu normatifnya, yakni sebagai satu alat kontrol sosial. Menyampaikan
kritik sosial bagi pers juga bermakna sebagi cara bagaimana pers menyalurkan
aspirasi masyarakat, begitu pula menyampaikan kritik bagi pers adalah salah
satu cara bagaimana menggambarkan kegelisahan, keprihatinan, dan bahkan
kemarahan masyarakat (Masoed, 1999:50).
Kritik memiliki fungsi taktis dan peranan strategis dalam menumbuhkan
berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat dan pemerintahannya. Kontrol
sosial dan kritik sosial meriupakan dua sisi mata uang yang sama, yang selalu
ada di dalam masyarakat manapun. Dengan demikian, apabila kontrol sosial
cenderung dipahami sebagai aktivitas pengendalian, kritik sosial cenderung
dianggap sebagai aktivitas pembebasan dari segala bentuk kontrol dan
pengendalian. Kritik sosial sebenarnya bagian yang sangat penting dalam
kemajuan jalannya pemerintahan, karena kritik menciptakan pemerintahan agar
mampu dan sebisa mungkin mengerti apa yang diinginkan masyarakat. Kritik
sosial juga merupakan apresiasi dari masyarkat terhadap pemerintahan, lewat
karikatur media cetak yang diproduksi para designer. Kritik sosial sering kali
dijumpai di dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar, majalah, dan
tabloid. Kritikan-kritikan yang jenaka disampaikan secara jenaka disarankan
2.1.5. Karikatur Sebagai Proses komunikasi
John Dewey menyatakan bahwa “komunikasi adalah hal yang
menakjubkan”. Dalam pandangannya, masyarakat terus berkembang berkat
komunikasi. Dengan komunikasi manusia bisa berinteraksi dan bisa saling
memahami apa yang telah terjadi maupun apa yang akan terjadi dalam
memenuhi tuntutan kebutuhan kehidupan. Karena manusia dapat menciptakan
simbol makna, manusia juga mampu mengutarakan suatu minat dan niat dengan
komunikasi, dan hal tersebut dapat pula mempengaruhi bentuk kehidupan
sosialnya (Rivers, 2003:33).
Dalam kehidupan modern manusia tidak bisa melepaskan simbolisme dalam
komunikasi modern karena penggunaan ini begitu jelas ada disekitarnya.
Simbolisme adalah ciri universal yang hakiki dari semua kebudayaan agama.
Peradaban tergantung kemampuan manusia untuk menggunakan dan
menciptakan simbol-simbol, bahasa itu sendiri merupakan sekumpulan simbol
yang dimanipulasi untuk menyampaikan ide. Bila tidak diberi nama maka ide
tidak diungkapkan dan nama yang diberikan kepadanya adalah suatu simbol.
Simbol-simbol perlu digunakan untuk memberi nama kepada suatu objek yang
tidak bisa dijangkau lebih jauh lagi oleh pikiran komunikasi manusia tergantung
18
Simbol-simbol digunakan untuk menyampaikan ide, makna dan simbol juga
dikombinasikan untuk membentuk ungkapan-ungkapan baru. Simbolisme kuno
dalam bentuk gambaran yang pada akhirnya melahirkan tulisan abjad.
Simbolisme adalah sesuatu yang hidup. Simbolisme telah mengambil bentuk
baru dengan penggunaan yang baru pula. Dari awal munculnya peradaban
hingga masa kontemporer ini simbol merupakan bagian yang hakiki kehidupan
sehari-hari. Tanda-tanda lalulintas dan petunjuk arah membimbing seseorang
untuk mencapai tujuannya, simbol dilarang merokok atau dilarang membuang
sampah memberikan ancaman bagi mereka yang melanggarnya, orang bisa saja
melaggar peraturan berupa simbol-simbol atau larangan-larangan yang dapat
membahayakan, namun ia harus siap menaggung resiko yang terjadi terhadap
simbol-simbol atau larangan-larangan tersebut.
2.1.6. Surat kabar
"Setiap masyarakat membutuhkan berita" kata penulis Inggris Dame
Rebecca West, "seperti orang membutuhkan mata, ia ingin tahu segala sesuatu
yang terjadi". Tapi berita tidak selamanya demikian, menurut William Radolf
Hearts salah satu tokoh penerbitan di Amerika punya sinisme. Berita,
menurutnya ialah seseorang yang menghentikan sesuatu yang hendak dicetak
karena iklan Iebih penting.
Dua hal tersebut menyertai perkembangan dunia persurat kabaran modern.
Sejalan dengan daya rengkuhnya terhadap jutaan pembaca diberbagai belahan
dunia, serta persaingannya dengan radio dan televisi. Teknologi elektronik yang
pencetakan surat kabar. Kehadiran televisi membuat kemunculan koran atau
surat kabar dibagikan secara gratis (di negara-negara Eropa dan Amerika). Iklan
telah menutup biaya produksi cetak.
Sebuah surat kabar berbeda dari tipe publikasi lain, karena kesegarannya,
karakteristik headlinenya dan keaneka ragaman liputan yang menyangkut
berbagai topik isu dan peristiwa. Hal ini terkait dengan kebutuhan pembaca,
akan sisi menarik informasi yang ingin dibacanya dari surat kabar yang menjadi
langganannya. Walau demikian surat kabar bukan sekedar pelapor kisah-kisah
human interest dari berbagai peristiwa.
Pada abad ke-19, surat kabar independent pertama memberikan kontribusi
signifikan bagi penyebaran keaksaraan. Membuat khalayak keluar dari buta
huruf dan berbagai konsep hak asasi manusia dan kebebasan demokratis. Surat
kabar terus menerus mengasah pandangan-pandangan ihwal "global village",
perkampungan dunia di akhir abad ke-20. Setiap kejadian international terkait
erat dengan kepentingan tiap orang di belahan dunia manapun ia berada. Setiap
kisah tragedi perseorangan menjadi milik tiap orang untuk mempersoalkannya
ke dalam drama persoalan internasional.
Asumsinya, setiap orang memiliki hak untuk mengetahui segala
pernak-pernik kejadian. Karena dari bekal informasi itulah setiap orang dapat turut urun,
rembug, dan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mendapatkan
kepastian informasi dan kemampuan tersebut, tiap orang membutuhkan
wartawan surat kabar yang bertugas sebagai wakil masyarakat untuk mencari
dan memberi tahu tentang segala peristiwa yang terjadi dan dibutuhkan
20
segala informasi publik dan diberi keleluasaan untuk mencari ke mana pun
informasi itu berada. Sebab, wartawan bertanggung jawab pada kebutuhan
masyarakat akan informasi yang ada di lingkungannya.
Surat kabar harian sendiri terbit untuk mewadahi keperluan tersebut.
Informasi menjadi instrumen penting dari masyarakat industri. Maka itulah,
surat kabar harian bisa disebut sebagai produk dari industri masyarakat. Di
samping itu, dalam bentuknya yang independen (dalam kemandirian), surat
kabar biasanya integral dengan perkembangan paham demokrasi di sebuah
masyarakat. Hal itu bisa terlihat dari kondisi kebebasan pers yang terdapat pada
suatu masyarakat, dan tingkat keaksaraan membuat khalayak keluar dari buta
huruf masyarakat (Santana, 2005:87).
2.1.7. Koalisi dan Oposisi
Koalisi.
Koalisi dalam kamus partai politik merupakan kerja sama antara beberapa
partai untuk memperoleh suara mayoritas dalam parlemen dalam membentuk
satu kabinet atau pemerintah. Koalisi biasanya dibentuk antara partai-partai yang
memiliki suara yang hampir sama, bukan partai yang memiliki suara mayoritas.
Koalisi multi partai merupakan kerjasama antara beberapa partai untuk
memperoleh suara mayoritas di parlemen. Koalisi semacam itu biasanya
merupakan pemerintahan yang dipimpin perdana menteri, dengan perajanjian
bahwa masing-masing partai yang bergabung dengan koalisi memiliki
memiliki peluang untuk menduduki pos-pos pemerintahan yang penting sesuai
dengan perimbangan dalam koalisi.
Oposisi.
Oposisi diartikan sebagai kelompok yang mempunyai pendirian yang
bertentangan dengan garis kebijakan kelompok yang menjalankan pemerintahan
atau pengurusan/perusahaan. Tujuan jangka panjang kedua kelompok itu, yakni
yang membentuk pemerintah dan yang beroposisi adalah sama : kemajuan dan
kemakmuran negara atau organisasi, tetapi terdapat perbedaan tentang cara dan
tahap-tahap mencapainya. Maka oposisi bukan musuh, melainkan lawan dalam
percaturan politik. Dalam demokrasi, oposisi dianggap sesuatu yang sangat
diperlukan, sehingga oposisi dalam parlemen melembaga secara resmi. Sebap,
oposisi menjalankan suatu fungsi yang penting, yaitu mengontrol pemerintahan
yang didukung oleh mayoritas, menguji kebijaksanaan pemerintah dengan
memperlihatkan titik kelemahannya, menganjurkan alternatif.
2.1.8. Konsep Makna
Para ahli mengakui, makna (mean) memang merupakan kata dan istilah
yang membingungkan. Dalam bukunya Ogden dan Richards yang berjudul “The
Meaning of Meaning” telah mengumpulkan telah mengumpulkan tidak kurang
dari dua puluh dua batasan mengenai makna (Kurniawan, 2008:27).
Makna merupakan konsep yang abstrak yang telah menarik perhatian para
22
dalam Sobur, 2004:248). Semenjak Plato mengkonseptualisasikan makna
manusia sebagai salinan ultrarealitas, para pemikir besar telah sering
mempergunakan konsep itu dengan penafsiran yang sangat luas yang merentang
sejak pengungkapan mental dari Locke sampai respon yang dikeluarkan oleh
Skinner. Berbeda dengan Jerold Katz, menurutnya “setiap usaha untuk
memberikan jawaban yang langsung telah gagal. Beberapa seperti misalnya
Plato, telah terbukti terlalu samar dan spekulatif. Yang lainnya memberikan
jawaban salah” (Kurniawan, 2008:47).
Ada tiga hal yang dijelaskan para filusuf dan linguis sehubungan dengan
usaha menjelaskan istilah makna. Ketiga hal tersebut adalah: menjelaskan
makna secara alamiah, mendeskripsikan secara alamiah, dan menjelaskan makna
dalam proses komunikasi (Sobur, 2004:258).
Ada beberapa pandangan yang menjelaskan teori atau konsep makna, model
konsep makna sebagai berikut.
1. Makna dalam diri manusia.
Makna tidak terletak pada kata-kata melainkan pada manusia. Kita menggunakan kata-kata untuk mendekati makna yang ingin kita komunikasikan, tetapi kata-kata itu tidak secara sempurna dan lengkap menggambarkan makna yang kita maksudkan. Komunikasi adalah proses yang kita gunakan untuk memproduksi di benak pendengar apa yang ada dalam benak kita dan proses ini adalah proses yang bisa salah.
2. Makna berubah.
Kata-kata relatif statis, banyak dari kata-kata yang kita gunakan 200 atau 300 tahun lalu. Tetapi makna dari kata-kata ini berubah dan ini khusus yang terjadi pada dimensi emosional makna.
Walaupun tidak semua komunikasi mengacu pada dunia nyata, komunikasi hanya masuk akal bilamana komunikasi mempunyai kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. 4. Penyingkatan berlebihan akan merubah makna.
Berkaitan erat dengan gagasan bahwa acuan tersebut kita butuhkan bilamana terjadi masalah komunikasi yang akibat penyingkatan berlebihan tanpa mengaitkan acuan yang diamati. Bila kita berbicara tentang cerita persahabatan, kebahagiaan, kejahatan, dan konsep-konsep lain yang serupa tanpa mengaitkannya dengan sesuatu yang spesifik, kita tidak akan bisa berbagi makna dengan lawan bicara.
5. Makna tidak terbatas jumlahnya.
Pada saat-saat tertentu, jumlah kata dalam suatu bahasa terbatas, tetapi maknanya tidak terbatas. Karena itu kebanyakan kita mempunyai banyak makna. Ini bisa menimbulkan masalah bila ada sebuah kata diartikan secara berbeda oleh dua orang yang sedang berkomunikasi.
6. Makna yang dikomunikasikan hanya sebagian.
Makna yang kita peroleh dari suatau kejadian bersifat multi aspek dan sangat kompleks, tetapi hanya sebagian saja dari makna-makna ini yang benar-benar dapat dijelaskan. Banyak dari makna tersebut yang tetap tinggal dalam benak kita, karenanya pemaknaan yang sebenarnya mungkin juga merupakan tujuan yang ingin kita capai tetap tidak pernah tercapai (Sobur, 2003:285-289).
2.1.9. Komunikasi Non Verbal
Istilah non verbal biasanya digunakan untuk melakukan semua peristiwa
komunikasi di luar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat yang sama kita harus
menyadari bahwa banyak peristiwa dan perilaku non verbal ini ditafsirkan
melalui simbol-simbol verbal. Dalam pengertian ini, peristiwa dan perilaku non
verbal itu tidak sungguh-sungguh bersifat non verbal (Mulyana, 2001:312).
Jurgen Ruesch mengklasifikasikan isyarat non verbal menjadi beberapa
24
1. Isyarat Tangan.
Isyarat tangan atau berbicara dengan tangan termasuk apa yang disebut emblem, yang dipelajari yang punya makna suatu budaya atau subkultur. Meskipun isyarat tangan yang digunakan sama, maknanya boleh jadi berbeda, atau isyarat fisiknya berbeda namun maksudnya sama.
2. Postur Tubuh.
Postur tubuh sering bersifat simbolik. Postur tubuh memang mempengaruhi citra diri. Beberapa penelitian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara fisik dan karakter atau temperamen. Klasifikasi bentuk tubuh yang dilakukan Wiliam misalnya menunjukan hubungan antara bentuk tubuh dan temperamen.
3. Ekspresi Wajah dan Tatapan Mata.
Secara umum dapat dikatakan bahwa maknaekspresi wajah dan pandangan mata tidaklah universal, melainkan sangat dipengaruhi oleh budaya.
2.1.10. Pendekatan Semiotika
Semiotika adalah ilmu tentang tanda, berbicara tentang ilmu berarti
berbicara tentang teori. Kata “semiotika” berasal dari bahasa Yunani yaitu
semeion yang berarti tanda, atau seme yang berarti penafsiran tanda. Tanda itu
sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial yang
terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain (Eco,
1979:16).
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji
tanda-tanda. Tanda-tanda merupakan perangkat yang kita kaji dalam upaya mencari
jalan di sekitar kita. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi pada
hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal-hal ini tidak dapat dicampuradukkan
dengan mengkomunikasikan (to communicate).
Semiotika sendiri berakar dari studi klasik dan skolatik atas seni logika,
retorika, dan poetika. Semiotika adalah cabang sebuah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tentang tanda. Tanda terdapat dimana-mana, kata adalah tanda
demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dsb. Struktur karya
sastra, struktur film, bangunan (arsitektur) atau nyanyian burung dapat dianggap
sebagai tanda. Segala sesuatu dapat menjadi tanda, tanda-tanda tersebut
menyampaikan suatu informasi atau pesan baik secara verbal maupun non verbal
sehingga bersifat komunikatif. Hal tersebut memunculkan suatu proses
pemaknaan oleh penerima tanda akan makna informasi atau pesan dari
komunikator. Semiotika merupakan cabang ilmu yang semula berkembang
dalam bidang bahasa. Dalam perkembangannya kemudian semiotika bahkan
masuk pada semua segi kehidupan manusia. Menurut Derrida “there is nothing
outside language” yang artiya tidak ada sesuatu di dunia ini diluar bahasa.
Dalam konteks ini tanda memegang peranan penting dalam kehidupan umat
manusia, sehingga manusia yang tidak mampu mengenal tanda tidak dapat hidup
(Kurniawan, 2008:34).
Menurut Peirce, semiotika merupakan kata yang sudah digunakan sejak
abad ke-18 oleh ahli filsafat Jerman yaitu Lambert, yang merupakan sinonim
dari kata logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Penalaran
menurut hipotesis Peirce yang mendasar dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda
26
memberikan makna tentang apa yang akan ditampilkan oleh alam. Semiotika
bagi Peirce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence) atau kerjasama
antara tiga subyek yaitu. Tanda (sign), obyek (object), dan interpretant
(interpretant).
Semiotik dikenal sebagai disiplin ilmu yang mengkaji tanda, proses
penanda, dan proses menandai. Bahasa merupakan jenis tanda tertentu, dengan
demikian dapat dipahami jika ada hubungan antara linguistik dan semiotik.
Saussure menggunakan kata “semiologi” yang mempunyai pengertian sama
dengan semiotika pada aliran Peirce. Kedua kata ini kemudian digunakan untuk
mengidentifikasikan adanya dua tradisi dari semiotika. Tradisi linguistik
menunjukan tradisi-tradisi yang berhubungan dengan nama Saussure sampai
Hejamslev dan Barthes yang menggunakan istilah semiologi. Sedangkan yang
menggunakan teori umum tentang tanda-tanda yang dikaitkan dengan
nama-nama Peirce dan Morris menggunakan istilah semiotika. Kata semiotika
kemudian diterima sebagai sinonim dari kata semiologi (Sobur, 2003:13).
Teori dari Peirce menjadi grand theory dalam semiotika. Gagasannya
bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Peirce
ingin mengidentifikasikan partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali
semua komponen dalam struktur tunggal. Semiotik ingin membongkar bahasa
secara keseluruhan seperti ahli fisika membongkar suatu zat dan kemudian
menyediakan model teoritis untuk menunjukan bagaimana semuanya bertemu di
Para ahli semiotik yang beraliran ekspansionis menelaah dengan
menggunakan konsep yang terdapat di dalam linguistik ditambah dengan konsep
semiotik yang beraliran behavioris mengembangkan teori semiotik dengan jalan
memanfaatkan pandangan yang berlaku dalam psikologi (misalnya pandangan
skinner) yang tentu saja berpengaruh dalam dunia linguistik. Kaum behavioris
dalam linguistik membahas bahasa sebagai siklus stimuli , respon yang jika
ditelaah dari segi semiotika adalah persoalan sistem tanda yang berproses pada
pengirim dan penerima (Pateda, 2001:33).
Dalam kaitannya dengan ilmu bahasa, semiotika menurut Charles Morris,
memiliki tiga cabang, yakni sintatika yang artinya studi relasi formal
tanda-tanda, semantika yang artinya studi relasi dengan penfsirannya, dan pragmantika
yang artinya cabang ilmu bahasa yang mengkaji penggabungan satuan-satuan
kebahasaan (Wijana, 1996:5). Paham mengenai semiotika atau ilmu tentang
tanda ini telah menjadi salah satu konsep yang paling bermanfaat di dalam kerja
kaum strukturalis sejak beberapa dasawarsa lalu. Basisnya adalah pengertian
tanda, yakni segala sesuatu yang secara konvensional dapat menggantikan atau
mewakili sesuatau yang lain. Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau
ilmu tentang tanda, secara sistematika menjelaskan esensi (ciri-ciri dan bentuk
suatu tanda, proses signifikansi yang menyertainya). Menurut Jhon Fiske,
terdapat tiga area penting dalam studi semiotika yaitu.
1. Tanda itu sendiri.
28
Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan masyarakat di dalam sebuah kebudayaan.
3. Kebudayaan dimana kode dan lambang itu beroperasi.
Maka bisa dikatakan semiotik adalah suatu teori dan analisa dari berbagai tanda (sign) dan pemaknaan (signification). Semiotik mengkaji tanda, penggunaan tanda dan segala sesuatu yang bertalian dengan tanda. Semua jelas tidak ada yang tidak dapat dijadikan topik penelitian semiotik. Dengan kata lain perangkat-perangkat pengertian semiotik dapat diterapkan pada semua bidang kehidupan asalkan persyaratan dipenuhi, yaitu ada arti yang diberikan, ada pemaknaan, dan ada interpretasi (Cristomy, 2004:79).
2.1.11. Semiotika Charles Sanders Peirce
Semiotika untuk studi media massa tidak hanya terbatas sebagai kerangka
teori, namun sekaligus juga sebagai metode analisis (Sobur, 2004:83). Bagi
Peirce, tanda “is something which stands to somebody for something in some
respect or capacity”. Kita misalnya dapat menjadikan teori segitiga makna
(triangel of meaning) menurut Peirce salah satu bentuk tanda adalah kata.
Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sesuatu yang digunakan
agar tanda dapat berfungsi, oleh Peirce disebut “ground”. Konsekuensinya,
tanda (sign atau representamen) selalu terdapat dalam sebuah triadik, yakni
ground, object, & interpretant (Sobur, 2004:41).
Menurut Barthes interpretan adalah tanda yang ada dalam benak seseorang
tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Apabila ketiga elemen makna itu
berinteraksi dakam benak seseorang, maka muncul makna tentang sesuatu yang
dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi
(Kurniawan, 2008:37).
Charles S. Peirce membagi antara tanda dan acuannya tersebut menjadi tiga
kategori yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ketiga-tiganya adalah tanda yang
hubungan antara penanda dan penandanya bersifat bersamaan bentuk alamiah.
Atau dengan kata lain ikon adalah hubungan antara tanda objek atau acuan yang
bersifat kemiripan, misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang
menunjuk adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda yang bersifat
kausal atau hubungan sebap akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada
kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai adanya api. Tanda dapat
pula mengacu pada denotatum melalui konvesi. Tanda seperti itu adalah tanda
konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi simbol adalah tanda yang
menunjuk hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan
diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvesi atau
perjanjian masyarakat (Sobur, 2004:42).
Peirce membagi tanda atas sepuluh jenis.
1. Qualisign, yakni kualitas sejauh yang dimiliki tanda.
2. Iconic Sinsign, yakni tanda yang memperlihatkan kemiripan.
3. Rhematic Indexical Sinsign, yakni tanda berdasarkan pengalaman langsung, secara langsung menarik perhatian karena kehadirannya disebabkan sesuatu.
4. Dicent Sinsign, yakni tanda yang memberikan informasi tentang sesuatu.
5. Iconic Legisign, yakni tanda yang menginformasikan norma atau hukum.
6. Rhematic Indexical Legisign, yakni tanda yang mengacu kepada objek tertentu.
30
8. Rhematic Symbol, yakni tanda yang dihubungkan dengan objeknya melalui asosiasi ide umum.
9. Dicent Symbol atau Proposition, yakni tanda yang langsung menghubungkan dengan objek melalui asosiasi dalam otak.
10. Argument, yakni tanda yang merupakan iferent seseorang terhadap sesuatu berdasarkan alasan tertentu (Sobur, 2004:42-43).
Menurut Peirce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek
adalah sesuatu yang dirujuk oleh tanda. Sementara interpretan adalah tanda yang
ada dalam benak seseorang, jadi adanya tanda menajadikan adanya suatu bentuk
pemikiran dari seseorang akan tanda tersebut, hasil dari pemikiran seseorang
menjadikan adanya komentar dari seseorang berbentuk pemaknaan dari tanda
tersebut. Maka munculah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda
tersebut. Yang dikupas dalam teori segitiga makna adalah persoalan bagaimana
makna tersebut muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan seseorang
pada waktu berkomunikasi (Sobur, 2002:115).
Gb. 1.1. Hubungan Tanda, Objek, dan Interpretant Peirce (Triangle of meaning). Charles S. Peirce membagi antara objek menjadi tiga kategori yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ketiga kategori tersebut digambarkan dalam sebuah model
Gb. 1.2. Model Kategori Tanda Oleh Peirce.
2.2. Kerangka Berpikir
Menurut Van Zoest, manusia adalah homo semioticus dimana
masing-masing individu mempunyai latar belakang pemikiran yang berbeda, dalam
memaknai suatu objek atau peristiwa. Manusia dapat memproklamasikan
sesuatu, apa saja, sebagai tanda karena hal itu dapat dilakukan oleh semua
manusia (Sobur, 2003:13). Pada penelitian ini melakukan pemaknaan atau
menginterpretasikan dengan cara mengidentifikasi secara keseluruhan. Makna
yang akan diidentifikasi pertama adalah makna denotatif, yaitu mencatat semua
tanda visual atau makna mengambang dan bisa dibaca di permukaan.
Selanjutnya akan diidentifikasi makna-makna yang tersembunyi yaitu makna
konotatif atau kita membaca yang tersirat yang memungkinkan terbacanya
nilai-nilai yang digunakan sebagai referensi untuk mengkonstruksikan makna
32
Alur pemikiran ini akan dianalisa menggunakan metode semiotika Peirce
untuk memperoleh hasil dari interpretasi data mengenai gambar karikatur Clekit
“Koalisi, Oposisi” pada surat kabar Jawa Pos. Yang diutamakan disini adalah
pemaknaan yang mendalam dari karikatur tersebut, sehingga peristiwa yang
melatar belakangi pembuatan karikatur ini terungkap. Peirce menggunkan istilah
sign yang merupakan representasi dari sesuatu di luar tanda, yaitu objek dan
dipahami oleh peserta komunikasi (interpretant).
Hal tersebut dilakukan untuk dapat mengetahui makna-makna yang terdapat
dalam karikatur Clekit tersebut baik dari makna denotatif maupun dari konotatif.
Maka dari itu tanda-tanda yang akan diuraikan berdasarkan struktur penanda dan
petanda, agar dapat diperoleh dan terbaca makna denotatif maupun makna
konotatif.
Dari hasil interpretasi tersebut akan dapat diungkapkan muatan pesan yang
terkandung dalam karikatur tersebut, apa saja kandungan faktual yang terdapat
dalam karikatur, siapa yang menjadi sasaran kritik serta bagaimanakah
pandangan seorang karikaturis dalam menanggapi permasalahan atau fenomena
yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat yang tertuang dalam karikatur
yang diciptakannya.
3.1. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan menggunakan
pendekatan semiotika. Yang melatar belakangi digunakannya metode deskriptif
kualitatif ini adalah terdapat beberapa faktor pertimbangan. Pertama, metode
deskriptif kualitatif akan mudah lebih mudah menyesuaikan bila dalam
penelitian ini kenyataannya ganda. Kedua, metode deskriptif kualitatif
menyajikan secara langsung hubungan antara objek dengan peneliti. Ketiga,
metode deskriptif kualitatif lebih peka serta dapat menyesuaikan diri dengan
banyak pengaruh terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moelong, 2002:33).
Pada dasarnya semiotik bersifat kualitatif-interpretatif, yaitu suatu metode
yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajian, serta
bagaimana menafsirkan dan memahami kode dibalik tanda dan teks tersebut
(Marliani, 2004:48).
Oleh karena itu peneliti harus memperhatikan beberapa hal dalam penelitian
ini. Pertama, konteks atau situasi sosial di seputar dokumen atau teks yang
diteliti. Di sini peneliti diharapkan dapat memahami makna dari teks yang
diteliti. Kedua, proses bagaimana suatu produksi media atau isi pesannya
dikemas secara aktual dan diorganisasikan secara bersama. Ketiga, pembentukan
secara bertahap dari makna sebuah pesan melalui pemahaman dan interpretasi.
33
34
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mangkaji tanda.
Dengan menggunkan metode semiotika, peneliti berusaha menggali realitas
yang didapatkan mealui interpretasi simbol-simbol dan tanda-tanda yang
ditampilkan sepanjang dalam gambar karikatur. Pendekatan semiotik termasuk
dalam metode kualitatif. Tipe penelitian ini adalah deskriptif, dimana peneliti
berusaha untuk mengkaji pemaknaan karikatur Clekit “Koalisi Oposisi” pada
harian Jawa Pos edisi 06 Februari 2010.
3.2. Corpus
Di dalam penelitian kulaitatif diperlukan adanya suatu batasan masalah
yang disebut corpus. Corpus adalah sekumpulan bahan terbatas yang ditentukan
pada perkembangannya oleh analisis kesemenaan. Corpus haruslah cukup luas
untuk memberi harapan yang beralasan bahwa unsur-unsurnya akan memelihara
sebuah sistem kemiripan dan perbedaan yang lengkap. Corpus juga bersifat
sehomogen mungkin, baik homogen pada taraf substansi maupun taraf waktu
(Kurniawan, 2001:70).
Corpus merupakan sampel terbatas pada penelitian kualitatif yang bersifat
homogen. Tetapi sebagai analisa, corpus bersifat terbuka pada konteks yang
beraneka ragam, sehingga memungkinkan memahami berbagai aspek dari
sebuah teks pesan. Corpus bertujuan khusus digunakan untuk analisa semiotik
dan analisa wacana. Pada penelitian kualitatif memberikan peluang yang besar
bagi dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif.
Corpus pada penelitian kualitatif ini adalah gambar karikatur Clekit
“Koalisi, Oposisi” pada harian Jawa Pos edisi 06 Februari 2010.
3.3. Unit Analisis
Unit analisis pada penelitian ini adalah tanda yang ada di dalam karikatur
“Koalisi, Oposisi”, yang diinterpretasikan menggunakan ikon, indeks, dan
simbol tersebut dalam kaitannya menggunkan metode model Charles Sanders
Peirce.
Ikon, sebuah tanda bersifat ikonik apabila terdapat kemiripan rupa
(resemblance) antara tanda dan hal yang diwakilinya. Di dalam ikon hubungan
antara tanda dan objeknya terwujud sebagai kesamaan dalam beberapa kualitas
yakni kesesuaian rupa yang terungkapkan oleh tanda dan dapat dikenali oleh
penerimanya (Budiman, 1999:49). Pada gambar karikatur Clekit ini ditunjukan
dengan pria tambun berambut jambul dan pria tambun berkepala botak.
Indeks, sebuah tanda disebut sebagai indeks apabila terdapat hubungan
fenomenal atau eksternal diantara tanda dan hal yang ditandainya. Di dalam
indeks hubungan antara tanda dan objeknya bersifat konkret, aktual, dan
biasanya melalui cara yang sekuensial atau kausal (Budiman, 1999:50). Pada
gambar karikatur Clekit ini ditunjukan dengan. Garis tengah, tiga garis lekuk
disebelah siku dan punggung, warna hitam di bawah kaki, ekspresi wajah,
mulut, lirikan mata, alis, mata tertutup, kaki kiri di depan dan kaki kanan di
belakang, tangan yang saling merangkul, tangan kanan dilipat kebelakang, dan
tangan kiri terbuka, jas yang terbuka, gambar depan dan belakang.
36
Simbol, merupakan salah satu jenis tanda yang bersifat arbitrer dan
konvensional. Dengan demikian, berdasarkan pengertian ini simbol merupakan
pengertian tentang tanda. Istilah simbol bisa dipergunakan secara luas dengan
pengertian yang beraneka ragam dan dengan demikian tentu harus selalu
dipahami secara hati-hati (Budiman, 1999:108). Pada gambar karikatur Clekit
ini ditunjukan dengan. Lambang partai demokrat yang ada di jas putih, tulisan
Koalisi yang ada di kaos warna putih dan tulisan Oposisi di jas warna gelap di
punggung jas dan celana warna putih, jas dan celana warna gelap, dan kaos
warna putih, rambut jambul, rambut botak, badan dan hidung besar.
Penempatan tanda menjadi ikon, indeks, dan simbol tergantung dari
kebutuhan dan sudut pandang khalayak (point of interest) yang memaknainya.
Sehingga penempatan tanda-tanda dalam karikatur “Koalisi, Oposisi” di atas,
yang mana sebagai ikon, mana sebagai indeks, dan mana yang sebagai simbol
tersebut hanya sebatas subjektifitas peneliti, bukan menjadi sesuatu yang
mutlak. Hal ini kembali lagi kepada sudut pandang khalayak yang memaknai
karikatur Clekit “Koalisi, Oposisi” pada harian Jawa Pos edisi 06 Februari 2010
sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Gb. 2.4. Objek Karikatur Editorial Clekit Edisi 6 Februari 2010 Berdasarkan Model Semiotika Charles Sanders Peirce.
38
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah berasal dari data-data primer
dan data-data sekunder.
Data Primer.
Data Primer adalah sesuatu yang diberikan bentuknya bisa berupa angka,
kata-kata, dan juga cerita yang selanjutnya dapat diolah, data primer dari
penelitian ini adalah karikatur gambar Clekit yang diambil dari surat kabar Jawa
Pos pada edisi Sabtu 6 Februari 2010, pada gambar karikatur edisi ini
mengangkat tema tentang Partai Demokrat memprihatinkan manuver politik
mitra koalisinya yang dianggap tak bisa diandalkan sebagai ”benteng
pertahanan”. Selain mengancam mengusulkan reshuffle kabinet terhadap
menteri yang berasal dari Parpol koalisi, Sekjen Partai Demokrat Amir
Syamsuddin juga mempersilakan mitra koalisi jadi oposisi. Dia mengatakan,
warning ini bukan untuk mengancam, melainkan agar mitra koalisi menyadari
posisinya.
”Kalau tidak takut silakan saja. Kalau merasa bukan mereka, memang tidak
perlu takut. Kalau mereka mau jadi oposisi malah bagus,” kata Amir, Kamis
kemarin.
Dengan tegas Amir mengatakan, Demokrat tak persoalan jika koalisi
mengubah jalur menjadi oposisi. ”Kami tidak pernah takut mereka mau jadi
oposisi, silakan saja. Oposisi yang kuat malah bagus untuk pemerintahan,”
ujarnya.
Peringatan keras Demokrat ini dikeluarkan menyusul gerak-gerik koalisi di
parlemen, khususnya Pansus Century. Amir mengungkapkan, salah satu
alasannya karena mitra koalisi tidak pernah menunjukkan empati dan simpatinya
terhadap ”serangan” yang dilayangkan kepada pemerintah, khususnya Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono.
Data Sekunder.
Data sekunder dalam penelitian ini diambil dari buku literatur sebagai bahan
referensi, internet (wahyukokkang.wordpress.com, demokrat.or.id, dan
jawapos.com), koran yang berhubungan dengan objek yang diteliti.
3.5. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode model Charles Sanders
Peirce, metode data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mengamati
gambar karikatur secara langsung dari hasil pengamatan dan berdasarkan
landasan teori semiotika milik Peirce, maka akan ditemukan pemaknaan melalui
sistem tanda dan lambang dalam gambar karikatur Clekit yang berupa ikon,
indeks, dan simbol.
Data-data berupa tanda visual maupun verbal yang dapat dianalisis dengan
menggunakan kerangka tripihak yang ditunjukan oleh Peirce, yaitu sign, object,
& interpretant. Cara yang dilakukan adalah dengan mengamati tanda-tanda yang
terdapat dalam kartun tersebut untuk kemudian diinterpretasikan melalui proses
semiosis yang menggunakan proses getok tular dimana pemaknaan yang dibuat
tidak berhenti pada satu makna tetapi dapat berkembang atau berkelanjutan, dan
40
kedua melalui pengkombinasian tanda (tipologi tanda). Interpretasi yang
dilakukan juga ditunjang oleh frame of reference serta field of experience yang
dimiliki oleh peneliti. Hal ini dimaksudkan untuk memperkuat tafsiran yang
4.1. Karikatur Editorial Clekit
Karikatur Editorial Clekit Jawa Pos awalnya hanya terbit rutin satu minggu
satu kali, yaitu pada hari sabtu. Clekit muncul secara periodik sejak bulan
Oktober 1994. Beberapa bulan kemudian, atas kesepakatan rapat dewan redaksi
maka periode penerbitan clekit sebagai opini visual ditambah dua kali dalam
satu minggu, yaitu pada hari Rabu dan Sabtu. Namun terjadi kembali perubahan
setelah beberapa tahun berjalan, tepatnya sejak bulan Januari 1997. Sejak saat
itu, opini visual clekit waktu terbitnya ditambah menjadi tiga kali, dalam satu
minggu yaitu hari Selasa, Kamis, dan Sabtu. Sejak waktu itu hingga kini waktu
terbit editorial clekit tetap yaitu setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu.
Karikaturis clekit adalah Wahyu Kokkang. Dia masuk menjadi karikaturis
sejak tahun 2003. Karya Wahyu Kokkang ini memakai tokoh seorang laki-laki
tidak terlalu tua tetapi juga tidak terlalu muda. Laki-laki ini mengenakan kemeja
lengan panjang dengan bagian ujungnya dilipat hingga di bawah siku, celana
jeans dan topi sebagai penutup rambutnya yang sedikit gondrong.
Wahyu Kokkang bermaksud memperlihatkan bahwa karikatur clekit ini
adalah bentuk kontrol sosial dan keberpihakannya pada rakyat kecil.
Sebelum tahun 2003 karikaturis clekit adalah Leak Koestiya. Leak adalah
karikaturis pertama Jawa Pos sekaligus yang memberi nama karikatur opini
Jawa Pos itu clekit. Clekit adalah nama salah satu rubrik yang pernah dikerjakan
Leak semasa masih berada di majalah mahasiswa "Fokal" IKIP PGRI Semarang.
41
42
Clekit berasal dari bahasa jawa yang berarti rasa sakit akibat cubitan atau
gigitan serangga. Begitu pula dengan pesan yang disampaikan Clekit bermaksud
memberikan kritik yang membangun. Misi Clekit sendiri adalah memberikan
peringatan atau mengingatkan pembaca dan pemerintah sebagai khalayak bahwa
diantara mereka telah terjadi sesuatu, dan membutuhkan perhatian. Sesuai
dengan namanya clekit, maka dari editorial tersebut diharapkan dapat
memberikan kesadaran terhadap pihak-pihak terkait peristiwa.
Clekit disini sebagai penyalur kontrol sosial, dimana kontrol sosial
merupakan salah satu fungsi surat kabar. Dengan fungsi ini surat kabar dapat
menyebarkan suatu pesan tentang suatu peristiwa dengan konsep visual humoris.
Dengan pesan yang disampaikan berbentuk visualisasi humor. Sadar atau
tidak, dengan humor pembaca sebagai khalayak dapat menanggapi pesan yang
disampaikan karikatur Editorial Clekit Jawa Pos. Dengan kemasan humor yang
baik clekit mampu "memaksa" khalayak mengamati kejadian atau peristiwa
yang sedang hangat di masyarakat. Konsep karikatur yang humoris, maka
peristiwa penting menjadi tampak ringan dihadapan khalayak. Kemasan yang
menonjolkan kelucuan sebagai salah satu faktor utama, merupakan salah satu
strategi Jawa Pos agar khalayak tetap kritis meskipun dikemas dalam bentuk
humor. Topik yang menjadi bahan penyampaian opini pesan terhadap khalayak
merupakan cermin dari segala peristiwa yang terjadi, baik di pemerintahan,
DPR, instansi-instansi maupun sosial masyarakat
(http//www.jawapos.co.id/cv/l.html/230208).
4.2. Jawa Pos
Didirikan oleh The Chung Shen pada 1 Juli 1949 dengan nama Djawa
Post. Saat itu The Chung Shen hanyalah seorang pegawai bagian iklan sebuah
bioskop di Surabaya. Karena setiap hari dia harus memasang iklan bioskop di
surat kabar, lama-lama ia tertarik membuat surat kabar sendiri. Sukses dengan
Jawa Pos-nya, The Chung Shen mendirikan pula koran berbahasa Mandarin dan
Belanda.
Bisnis The Chung Shen di bidang surat kabar tidak selamanya mulus. Pada
akhir tahun 1970-an, omzet Jawa Pos mengalami penurunan. Tahun 1982,
oplahnya hanya tinggal 6.800 eksemplar. saja. Koran-korannya yang lain sudah
lebih dulu pensiun. Ketika usianya menginjak 80 tahun, The Chung Shen
akhirnya memutuskan untuk menjual Jawa Pos. Dia merasa tidak mampu lagi
mengurus perusahaannya, sementara tiga orang anaknya lebih memilih tinggal
di London, Inggris.
Pada tahun 1982, Eric FH Samola, waktu itu adalah Direktur Utama PT.
Grafiti Pers (penerbit majalah Tempo) mengambil alih Jawa Pos. Dengan
manajemen baru, Eric mengangkat Dahlan Iskan, yang sebelumnya adalah
Kepala Biro Tempo di Surabaya untuk memimpin Jawa Pos. Eric Samola
meninggal dunia pada tahun 2000. Dahlan Iskan menjadikan Jawa Pos yang
waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 eksemplar, dalam waktu 5 tahun
menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar.
Lima tahun kemudian terbentuklah Jawa Pos News Network (JPNN),
salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, memiliki lebih dan 80 surat
kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Pada