• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR Penelitian Pola Penguasaan Dan Pemilikan Tanah Di Pulau-pulau Kecil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR Penelitian Pola Penguasaan Dan Pemilikan Tanah Di Pulau-pulau Kecil"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

i

LAPORAN AKHIR

Penelitian Pola Penguasaan Dan Pemilikan Tanah

Di Pulau-pulau Kecil

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN Kementerian Agraria dan Tata Ruang /

Badan Pertanahan Nasional

2014

(2)

ii

P

enyusunan laporan akhir ini dibuat dalam rangka pertanggungjawaban terhadap Penelitian Swakelola tahun 2014 tentang Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah di Pulau-pulau Kecil.

Hak penguasaan Negara atas tanah, dalam ketentuan hukumnya dilihat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber daya alam tersebut termasuk dalam pengertian

”dikuasai oleh Negara” tersebut kemudian dijabarkan dalam UUPA.

Di dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA ditentukan ”Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian pada ayat (2) diuraikan bahwa hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian ”dikuasai” bukan berarti ”dimiliki”

akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut. Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum (subyek hak, UUPA pasal 4), adapun hak-hak atas tanah sebagaimana tercantum dalam UUPA pasal 16, yang kemudian diimplementasikan kedalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Secara konsepsional, seluruh permukaan bumi (tanah) yang ada di seluruh wilayah Indonesia dapat dimiliki dan diberikan hak-hak atas tanah kepada setiap warga negara Indonesia sesuai

Penyusunan laporan akhir ini dibuat dalam rangka pertanggung jawaban terhadap Penelitian Swakelola tahun 2014 tentang Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah di Pulau-pulau Kecil.

Kata Pengantar

(3)

iii

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk yang berada di kepulauan atau merupakan pulau atau juga pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia, sehingga kita temukan beberapa pola penguasaan dan pemilikan tanah di pualu-pulau kecil. Pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil harus juga mengacu kepada peraturan- peraturan yang bersifat sektoral antara lain tentang sempadan pantai dan ruang terbuka hijau.

Melalui laporan akhir ini secara garis besar dapat diketahui :

Pertama, Pola Penguasaan dan Pemilikan tanah di pulau-pulau kecil lokasi penelitian adalah (i) Satu pulau dimiliki oleh satu Badan Hukum yakni Gili Nanggu, Pulau Nikoi, dan Pulau Lengkana; (ii) Satu pulau dimiliki oleh satu Holding/Group yakni pulau Bulan; (iii) Satu pulau dikuasai oleh satu orang pulau Kiluan; (iv) Satu pulau diindikasikan dimiliki satu orang yakni Pulau Panjurit ; (v) Satu pulau diindikasikan dikuasai tiga orang yakni Pulau Rimaubalak; (vi) Satu pulau dikuasai dan dimiliki oleh masyarakat dan badan hukum, yakni Gili Terawangan, Gili Meno, Gili Air, Pulau Saonek, Pulau Dum, Pulau Derawan dan Pulau Maratua.

Kedua, Pemerintah Daerah sebagian besar belum menerbitkan Perda terkait dengan sempadan pantai dan ruang terbuka hijau, sehingga BPN dalam memlaksanakan pengukuran dan pemetaan serta memberikan hak atas tanah dimulai dari bibir pantai, sehingga Penguasaan dan pemilikan tanah oleh badan hukum dan perorangan dimulai dari bibir pantai. Namun, pemanfaatan tanah di bibir pantai telah memperhatikan kepentingan publik, antara lain untuk bersandarnya perahu/speed boat di dermaga/dibibir pantai.

Ketiga, langkah-langkah pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil adalah: (1) Terbitkan Peraturan Pemerintah tentang HGU, HGB, HM atau HP bagi seluruh pulau (kecil) berdasarkan PP No.40/1996, pasal 60, (2) Terbitkan Peraturan Presiden dan Peraturan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN dalam penetapan sempadan pantai yang disesuaikan dengan karakteristik topografi, biofisik, hidro-oseanografi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya, serta ketentuan lainnya, (3) Terbitkan Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Kementerian Agraria dan tata Ruang/BPN dalam kaitannya dengan pemanfaatan hak atas tanah yang dapat dimanfaatkan dengan memperhatikan Ruang Terbuka Hijau, (4) Daftarkan seluruh pulau-pulau kecil di Indonesia sesuai pasal 19 UUPA dan PP 24 tahun 1997, agar supaya : (a) dapat diketahui berapa jumlah dan luas pulau-pulau kecil yang tersebar di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan (b) dapat ditetapkan sebagai wilayah bagi : (i) Pertahanan dan Keamanan Negara , (ii) Konservasi, (iii) Kesejahteraan Masyarakat.

Penyusun,

Tim Peneliti

(4)

iv

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 2

1.2. Permasalahan Penelitian 6

1.3. Tujuan Penelitian 7

1.4. Hasil Akhir Penelitian 7 1.5. Kegunaan Penelitian 7

1.6. Lokasi Penelitian 7

1.7. Ruang Lingkup Penelitian 7

BAB II LANDASAN YURIDIS 9 2.1. Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Nomor IX/TAP/MPR Tahun 2001, tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam 10 2.2. Undang Undang Dasar (UUD) 1945 10 2.3. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960,

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria (UUPA) 10

2.4. Undang Undang Nomor 24 tahun 1992 jo Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang 17 2.5. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014,

tentang Perubahan atas undang undang nomor 27 tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-

pulau kecil 18

2.6. Undang Undang Nomor 32 tahun 2009, tentang Perlindungan dan pengelolaan

Lingkungan Hidup 18

2.7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai 18 2.8. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun

2004 tentang Penatagunaan Tanah 19 2.9. Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No.

41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan

Perikanan No. 67/2002 20

2.10. Surat Edaran Menteri Negara Agraria/

Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1197 Tanggal 3 Juni 1997 20

2.11. Hak atas tanah di wilayah Sempadan

Pantai 20

2.12. Landasan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan sekitar 21

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 23 3.1. Metode Penelitian 24 3.2. Metode dan Teknik Pengumpulan Data 24 3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 24 3.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data 25 3.5. Landasan operasioal 25

3.6. Lokasi Sampel 25

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA LOKASI PENELITIAN 27 4.1. Provinsi Nusa Tenggara Barat 28 a. Kabupaten Lombok Barat 29 b. Kabupaten Lombok Utara 31 4.2. Provinsi Papua Barat 32 a. Kabupaten Raja Ampat 33

b. Kota Sorong 39

4.3. Provinsi Kalimantan Timur 40

a. Kabupaten Berau 44

4.4. Provinsi Lampung 47

a. Kabupaten Tanggamus 54 b. Kabupaten Lampung Selatan 64 4.5. Provinsi Kepulauan Riau (KEPRI) 68 a. Kabupaten Bintan, Pulau Bintan 73 b. Kota Batam, Pulau Batam 75

BAB V HASIL PENELITIAN

DAN PEMBAHASAN 87

5.1. Pola Penguasaan dan Pemilikan Tanah di Pulau-Pulau Kecil Lokasi Penelitian 88 5.2. Langkah-Langkah Pengaturan

Penguasaan dan Pemilikan Tanah di

Pulau-Pulau Kecil 141

BAB VI KESIMPULAN DAN

REKOMENDASI 143

6.1. Kesimpulan 144

6.2. Rekomendasi 144

DAFTAR PUSTAKA 145

(5)

1

PENELITIAN POLA PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH DI PULAU-PULAU KECIL

1 Pendahuluan Bab I

(6)

2

1.1. LATAR BELAKANG

Negara Indonesia disebut sebagai negara kepulauan, karena berdasarkan data yang ada, terdapat 17.508 buah pulau besar dan kecil. Berdasarkan pasal 121 (1) UNCLOS 1982, pulau adalah daerah daratan yang dibentuk secara alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada air pasang. Pasal 49 UNCLOS 1982 mengatakan:

1. Kedaulatan suatu Negara kepulauan meliputi perairan yang ditutup oleh garis pangkal kepulauan, yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal 47, disebut sebagai perairan kepulauan, tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.

2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas perairan kepulauan, juga dasar laut dan tanah di bawahnya, dan sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Kedaulatan Indonesia sebagai Negara Kepulauan berdasarkan:

l Deklarasi Juanda 13 Desember 1957 yang ditetapkan sebagai UU No.4/PRP/1960 tentang Perairan Indonesia.

l Konvensi hukum laut PBB ke-III Tahun 1982 yaitu United Nations Convention On The Law of The Sea atau UNCLOS 1982, yang di ratifikasi dalam UU No.17 Tahun 1985.

Pulau-pulau yang besar di Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) pada umumnya ditempati oleh sebagian besar manusia Indonesia, sedangkan pulau-pulau kecil masih sedikit dihuni, namun pada saat ini pulau-pulau kecil tersebut, juga sudah banyak yang dikuasai, dan dimiliki oleh Badan Hukum maupun perorangan.

BAB I

PENDAHULUAN

Negara Indonesia disebut sebagai negara kepulauan,

karena berdasarkan data yang ada, terdapat 17.508 buah

pulau besar dan kecil.

(7)

3

Memperhatikan Undang Undang 27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, dalam pasal 1 mengatakan antara lain Pulau Kecil adalah: “ pulau yang luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 Km2 atau 200.000 hektar, beserta kesatuan Ekosistemnya”. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.

Disamping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular, mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dengan bernilai tinggi, tidak mampu mempengaruhi hindroklimat, memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil, sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut , serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

Sedangkan pulau kecil terluar (PPKT) adalah pulau-pulau kecil yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang menghubungkan garis pangkal lurus kepulauan sesuai dengan hukum internasional dan nasional.

Disamping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular, mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dengan bernilai tinggi, tidak mampu mempengaruhi hindroklimat, memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil, sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut, serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau- pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya. Berdasarkan tipe pulau-pulau kecil tersebut, akan berpengaruh pada penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan tanahnya.

Apabila pulau-pulau kecil tersebut sudah dikuasai, dimiliki dan dimanfaatkan oleh Badan Hukum maupun perorangan, maka bidang-bidang tanah dari pulau tersebut sudah merupakan rumah tempat tinggalnya (perumahan) maupun untuk tempat berusaha mencari nafkah berupa pertanian, perkebunan dan non pertanian.

Penguasaan tanah yang dilakukan secara terus-menerus menimbulkan hubungan nyata antara manusia dengan tanah, sehingga dapat dikatakan, bahwa hubungan dan tindakan pengolahan nyata atas tanah adalah unsur utama lahirnya hak atas tanah*1).

Penguasaan dan tindakan pengolahan/pemanfaatan atas tanah secara nyata dan terus-menerus berkesinambungan, maka penghuni di pulau-pulau kecil dimaksud mempunyai hubungan hukum dengan tanah yang di tempati dan diusahakannya, kemudian hubungan hukum tersebut diakui oleh penguasa dan masyarakat setempat atau oleh pemerintah di daerah tersebut yang ditandai dengan pengakuan secara tertulis maupun secara lisan.

Pengakuan secara tertulis dapat berupa Surat Pernyataan atau Surat Keterangan Penguasaan Atas Tanah (SKT/SPH) dari pejabat yang berwenang yang menyatakan yang bersangkutan benar menguasai,

*1). Mhd.Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm.234

(8)

4

memiliki, menggunakan dan memanfaatkan suatu bidang tanah dengan batas-batas bidang tanah yang disahkan serta tidak ada pihak lain yang mempermasalahkannya. Bukti penguasaan atas tanah secara tertulis yang menerangkan adanya hubungan hukun atas tanah dengan yang menguasai dan memanfaatkan tanah tersebut disebut sebagai “alas hak”*2).

Apabila sudah ada alas hak, maka tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan tersebut telah membenarkan kepunyaan dari yang menguasainya, secara keperdataan dapat juga dikatakan sebagai “milik”. Akan tetapi walaupun sudah ada alas hak atau penguasaan atas tanah secara fisik dan pemanfaatannya, bahkan telah disebut sebagai kepunyaan atau kepemilikan, maka pemilikan atau penguasaan serta pemanfaatan atas tanah yang berada pada pulau-pulau kecil tersebut, tidak serta merta memberikan hak dan keleluasaan kepada pemiliknya untuk menguasai sepenuhnya, sebab keberadaan suatu pulau tidak saja untuk kepentingan Badan Hukum dan pribadi penghuninya dan masyarakat setempat, tetapi ada aspek-aspek lain yang melingkupinya, seperti aspek politik pertanahan, juga ada kepentingan politik dan keamanan dari Negara/Pemerintah. Oleh karena itu keberadaan pulau- pulau kecil mempunyai arti yang strategis, karena di atasnya ada kepentingan ekonomi bagi Badan Hukum dan orang perorang serta masyarakat setempat.

Dengan adanya berbagai kepentingan yang diletakan diatas pulau-pulau kecil tersebut, maka diperlukan pengaturan yang memberikan jaminan kepastian hukum terhadap penguasaan, dan pemilikan atas tanahnya.

Pengaturan terhadap penguasaan dan penggunaan/pemanfaatan tanah untuk kepentingan Badan hukum dan perorangan yang ada di pulau-pulau kecil, mengacu kepada pengaturan penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah di atas permukaan bumi pada umumnya, yakni sesuai dengan UUD 1945 pasal 33 ayat (3) dan UUPA pasal 16 ayat (1) yang berkaitan dengan hak-hak yang dapat diberikan oleh Negara/Pemerintah (BPN-RI) kepada Badan Hukum dan Perorangan atas obyek tanah tertentu yang berada di atas suatu pulau-pulau kecil di Indonesia. Secara konseptual seluruh permukaan bumi (tanah) yang ada di seluruh wilayah Indonesia, dapat dimiliki dan diberikan hak-hak atas tanah kepada Badan Hukum dan perorangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku, termasuk yang berada di pulau-pulau kecil yang ada di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk mengimplementasikan penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil, maka apabila kita perhatikan Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah pasal 60 dinyatakan, bahwa :”Pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau yang berbatasan dengan pantai diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah”.

Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1698 Tanggal 14 Juli 1997 antara lain dinyatakan bahwa: “Permohonan ijin lokasi dan permohonan hak atas tanah yang berbatasan dengan pantai masih dimungkinkan diproses yang dilakukan secara hati-hati dan selektif dan permohonan yang diajukan setelah tanggal 3 Juli 1997, agar dilaporkan kepada Menteri untuk mendapat petunjuk pelaksanaan lebih lanjut.”

*2). Ibid,

(9)

5

Kemudian dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil yang diundangkan pada tanggal 17 Juli 2007, maka dalam hal pengelolaan tanah di kawasan pantai dan juga di pulau-pulau kecil dapat juga diberikan hak atas tanah oleh Instansi Badan Pertanahan Nasional. Selanjutnya dengan diperbaharuinya UU 27/2007 dengan Undang Undang Nomor 1 tahun 2014, tentang Perubahan atas undang undang nomor 27 tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, antara lain dinyatakan bahwa: (1) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi.(2) Izin Lokasi diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.(3) Izin Lokasi diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.(4) Dalam hal pemegang Izin Lokasi tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak izin diterbitkan, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Lokasi.”

Pada sat ini di dalam tataran operasional penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil di indikasikan antara lain sebagai berikut:

1) Pada wilayah pesisir sudah diterbitkan sertipikat hak atas tanah yakni Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Milik oleh Kantor Pertanahan yang diberikan kepada perorangan maupun badan hukum.

Berdasarkan data dari P3WT BPN-RI dapat diketahui tentang Penguasaan dan Pemilikan Tanah di Pulau-Pulau Kecil antara lain yang terletak di pantai utara/ timur Jawa Tengah, seperti di Kabupaten Jepara, terdapat pulau-pulau kecil yang sudah dikuasai dan dimiliki oleh perorangan dan badan hukum, yakni di:

l Pulau Kumbang,

l Pulau Menyawakan,

l Pulau Cemara Kecil Pulau Kumbang

l Dikuasai perorangan 26,19% dan tanah negara bebas sebesar 73,81 %

l Tanah di P. Kumbang belum terdaftar 73,81 persen. 26,19 persen sudah terdaftar dengan status Hak Milik (HM), terdiri dari 4 bidang tanah. 3 bidang tanah Hak Milik (HM) a.n. Slamet Hadi Wibowo dan 1 bidang tanah HM a.n. Muhammad Taufiq.

l Penggunaan tanah di Pulau Kumbang mayoritas berupa padang rumput/sabana/alang-alang sebesar 38,98 %, berupa hutan 34,83 %, kebun kelapa 24,57 % dan rumah 1,62 %.

Pulau Menyawakan

l Secara administrasi, Pulau menyawakan termasuk ke dalam wilayah Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Provinsi Jawa Tengah.

l Luas: 21 hektar

l Terdapat hotel dan resort juga penangkaran kura-kura atau penyu.

l Dikuasai Badan Hukum yaitu PT Wisata Laut Nusa Permai dan kelompok masyarakat sebagai tanah wakaf untuk Masjid Besar Karimunjawa.

l 82,41% terdaftar Hak Guna Bangunan (HGB) berupa hotel dan resort. 18,59% Hak Milik (awalnya terdapat 4 bidang tanah yang kemudian diwakafkan untuk Masjid besar Karimunjawa).

l 81,41 persen berupa kebun kelapa dan 18,59 persen berupa hotel dan resort bernama Kura- kura Resort

(10)

6

Pulau Cemara Kecil

l Letak: Desa Karimunjawa, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara.

l Luas: 3 hektar

Pulau Cemara Kecil tanahnya sebagian kecil dikuasai oleh perorangan, sedangkan yang lainnya masih berupa tanah negara bebas.

l terdapat satu bidang tanah dengan status Hak Milik (HM) yang di[ergunakan untuk kebun kelapa.

l Penggunaan tanah mayoritas hutan cemara (64,05%), kebun kelapa (18,98 %), mangrove (13,53%) dan rumah (3,44%).

l Pulau Cemara Kecil saat ini untuk tanah di daratan pulau tersebut tidak ada pemanfaatan lainnya. Namun di daerah perairannya merupakan obyek wisata bahari.

l Di Pulau Cemara Kecil juga tidak ditemukan adanya penguasaan pulau oleh WNA.

2). Adanya kecenderungan “pengkaplingan” dan penjualan pulau-pulau oleh sekelompok orang, seperti kasus jual beli pulau Bidadari di Nusa Tenggara Timur yang dijual oleh Haji Yusuf, penduduk setempat kepada pihak warga negara asing (Ernest Lewandowski, Warga Negara Inggiris) pada tahun 2006 lalu. Penjualan pulau tersebut mendapat reaksi beragam dari berbagai kalangan, termasuk Menteri Dalam Negeri saat itu M. Ma’ruf yang menyatakan pembelian Pulau Bidadari oleh warga Inggiris tersebut menyalahi prosedur karena dilakukan di bawah tangan, padahal izin yang diberikan adalah untuk investasi. Terjadinya jual beli pulau Bidadari tersebut menimbulkan persoalan tersendiri, apalagi dijual kepada orang asing, sebab dapat berpotensi menimbulkan ancaman keamanan dalam konteks kenegaraan, juga jelas-jelas menyalahi aturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UUPA yang melarang orang asing mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan tanah yang ada di Indonesia.

Di dalam Undang Undang Nomor 32 tahun 2009, tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 57 (huruf b) menyatakan, bahwa: Pencadangan sumber daya alam meliputi sumber daya alam yang dapat di kelola dalam jangka panjang dan waktu tertentu sesuai dengan kebutuhan. Untuk melaksanakan pencadangan sumber daya alam, Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah Kabupaten/Kota dan perseorangan dapat membangun:

a. Taman keanekaragamanan hayati di luar kawasan hutan;

b. Ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30% dari luas pulau/kepulauan; dan/atau c. Menanam dan memelihara pohon di luar kawasan hutan, khususnya tanaman langka.

Merujuk kepada hal-hal tersebut di atas dan de ngan mengingat urgennya penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil, namun belum ada payung hukum berupa Peraturan Pemerintah yang mendasarinya sebagaimana yang diamanatkan oleh: 1). Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996, tentang HGU, HGB dan HP Atas Tanah pasal 60, 2). Undang Undang Nomor 1 tahun 2014, tentang Perubahan atas undang undang nomor 27 tahun 2007, tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, 3). Undang Undang Nomor 32 tahun 2009, tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 57 (huruf b) Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah Kabupaten/

Kota dan perseorangan dapat membangun dengan memperhatikan Ruang Terbuka Hijau (RTH) paling sedikit 30% dari luas pulau/kepulauan, dan 4) Peraturan perundang-undangan lainnya yang diterbitkan se cara sektoral, maka pertanyaannya adalah sam pai sejauhmana penguasaan dan pemilik an tanah dapat diberikan oleh BPN-RI dan jajarannya kepada Badan Usaha dan per orangan? Apakah penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil sudah memperhatikan ruang terbuka hijau paling sedikit 30%?

(11)

7

dan Sampai sejauh mana sinkronisasi, harmonisasi dan koordinasi peraturan-peraturan tersebut dalam implementasinya?

Berdasarkan problematika tersebut di atas, maka Puslitbang BPN-RI pada tahun 2014 melakukan penelitian mengenai pola pemilikan, penguasaan tanah di pulau-pulau kecil.

1.2. PERMASALAHAN PENELITIAN

1). Bagaimana Pola penguasaan dan pemilikan tanah Pulau-pulau Kecil Di Indonesia?

2). Bagaimana langkah-langkah pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah, di Pulau-pulau Kecil Di Indonesia?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1). Mengidentifikasi dan menganalisa Pola penguasaan dan pemilikan tanah Pulau-pulau Kecil Di Indonesia.

2). Mengidentifikasi dan menganalisa langkah-langkah pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah, di Pulau-pulau kecil di Indonesia.

1.4. HASIL AKHIR PENELITIAN

1). Identifikasi dan analisa Pola penguasaan dan pemilikan tanah Pulau-pulau Kecil Di Indonesia.

2). Identifikasi dan analisa langkah-langkah pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah, di Pulau-pulau Kecil Di Indonesia.

1.5. KEGUNAAN PENELITIAN

Informasi langkah-langkah pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil sebagai bahan penyusunan Kebijakan Pertanahan dalam mengantisipasi pemberlakuan Undang Undang Pertanahan.

1.6. LOKASI PENELITIAN 1). Provinsi Kepulauan Riau 2). Provinsi Lampung 3). Provinsi NTB

4). Provinsi Kalimantan Timur 5). Provinsi Papua Barat

Alasan pemilihan Provinsi, disebabkan karena di wilayah Provinsi tersebut tersebar pulau-pulau kecil yang sudah dikuasai, dimiliki oleh masyarakat secara kelompok/perorangan dan badan hukum.

1.7 . RUANG LINGKUP PENELITIAN a. Materi

1). Kriteria Pulau kecil dalam penelitian ini adalah:

a). Luasan 2 hektar sampai dengan 10.000 hektar;

b). Berpenghuni / tidak berpenghuni;

c). Sudah ada/belum sertipikat pe ngu asa an dan pemilikan atas tanah.

d). Sudah dimanfaatkan sesuai penggunaannya/belum

2). Pemberian Penguasaan dan pemilikan tanah (70%) di luar ruang terbuka hijau (30%) 3). Kategori Penguasaan Tanah

a). penguasaan oleh pemilik sendiri,

(12)

8

b). Penguasaan dengan cara bagi hasil, c). Penguasaan dengan cara gadai, d). Penguasaan dengan Ijin e). Penguasaan tanpa ijin.

4). Kategori Pemilikan tanah

Tanah adalah hak atas tanah yang tercatat pada administrasi pertanahan yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan hak, seperti sertipikat, akta jual beli, fatwa waris atau bentuk lainnya yang mengandung kekuatan hukum pertanahan di indonesia. Sedangkan bukti kepemilikan tanah (alas hak) dapat berupa:

a). Sertipikat: sertipikat HM, sertipikat HGU, sertipikat HGB, sertipikat hak pakai dan sertipikat hak pengelolaan.

b). Bukan sertipikat: Groose akte eigendom, surat bukti hak milik, Petuk PBB, Akte jual beli PPAT, Akte ikrar wakaf, rízala lelang, surat penunjukan kavling, ijin lokasi, surat keterangan riwayat tanah, surat keterangan waris

c). Tanpa bukti jual beli di bawah tangan, waris/wakaf/hibah lisan, diakui masyarakat 5). Kesesuaian antara pemanfaatan tanah dengan RTRW dengan Penggunaan Tanah dari

Pemda.

6). Dampak penguasaan, pemilikan tanah penggunaan dan pemanfaatan tanah terkait dengan aksesibilitas, sosial ekonomi masyarakat sekitar.

b. Lokasi penelitian

1 (satu) atau 2 (dua) Pulau-pulau kecil di wilayah administrasi Kabupaten dan Kota.

(13)

9

PENELITIAN POLA PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH DI PULAU-PULAU KECIL

Landasan Yuridis 2 Bab II

(14)

10

Penguasaan dan pemilikan tanah adanya pengakuan dari Pemerintah termasuk dalam penataan penggunaannya serta melegalkan haknya, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan dalam bertindak bagi masyarakat dan pemerintah. Di dalam pengaturan sesuatu obyek dan subyek telah ada sistem hukum yang menatanya, antara lain sebagai berikut:

2.1. KETETAPAN MAJELIS PERMUSYA WARAT AN RAKYAT NOMOR IX/TAP/MPR TAHUN 2001, TENTANG PEMBAHARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM Dinyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya agraria/sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Kemudian dipahami pula, bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya agraria/ sumberdaya alam sering tumpang tindih dan kadang-kadang bermuatan kepentingan sektoral. Ketimpangan P4T terjadi sebagai akibat belum adanya: penyusunan zonasi pemanfaatan kawasan, penataan kawasan dan pemanfaatan kawasan.

2.2. UNDANG UNDANG DASAR (UUD) 1945

Pertanahan yang disebut sebagai sumber-sumber utama kesejahteraan dan menjadi indikator penting dari keadilan dikonstatir dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Penggunaan bumi, air dan kekayaan alam untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tersebut menunjukkan bahwa tujuan pemanfaatannya semata-mata untuk mensejahterakan rakyat sekaligus dengan memperhatikan aspek keadilan yang ditunjukkan dari kata “sebesar-besarnya”, artinya hasil dari penggunaan dan pemanfaatan bumi, air dan kekayaan alam tersebut bukan untuk perseorangan atau kelompok tertentu tetapi untuk rakyat banyak.

2.3. UNDANG UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960, TENTANG PERATURAN DASAR POKOK- POKOK AGRARIA (UUPA)

Lingkup permukaan bumi tersebut meliputi tanah yang ada di seluruh Indonesia sesuai dengan konsep kesatuan seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, maksudnya tanah tidak semata-mata hak dari pemiliknya tetapi juga merupakan hak bersama rakyat Indonesia yang merupakan semacam hubungan hak ulayat Bangsa Indonesia.

Pengaturan terhadap penguasaan dan pemilikan tanah yang ada di pulau-pulau kecil mengacu kepada pengaturan di atas permukaan bumi pada pada umumnya, yakni untuk kepentingan pemerintah maupun kepentingan masyarakat/rakyat.

BAB II

LANDASAN YURIDIS

Penguasaan dan pemilikan tanah adanya pengakuan dari

Pemerintah termasuk dalam penataan penggunaannya

serta melegalkan haknya

(15)

11

Dalam hal ini kepentingan masyarakat/rakyat berkaitan dengan hak-hak yang dapat dikuasai dan dimiliki atau dapat diberikan oleh Negara kepada masyarakat/rakyatnya atas obyek tanah tertentu yang berada di atas suatu pulau. Menyangkut hak-hak masyarakat/rakyat tersebut, konstitusi Negara menjamin adanya hak-hak dasar rakyat terhadap hak-hak atas tanah yang memang diemban oleh rakyat dan wajib dilindungi oleh negara.

Hak-hak dasar merupakan kondisi dasar yang harus ada dan tersedia dalam kehidupan, baik yang sifatnya individual maupun kolektif. Hak-hak dasar yang lahir oleh karena proses kesejahteraan dan proses perjalanan bangsa selama ini yang mewujud dalam banyak hal, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rasa aman, rasa nyaman, kebebasan, keadilan dan dalam berbagai bentuk lainnya.

Hampir semua hal yang berkaitan dengan hak-hak dasar rakyat langsung atau tidak langsung berkaitan dengan persoalan pertanahan. Hak-hak dasar rakyat yang mewujud dalam bentuk keadilan, misalnya seperti tidak berkaitan dengan pertanahan, tetapi karena tanah dan pertanahan merupakan sumber-sumber utama kemakmuran sumber utama ekonomi dan bahkan politik, maka pengaturan penguasaan dan pemilikannya menjadi indikator penting dari keadilan.

Selanjutnya kebijakan di bidang pengelolaan bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (sumber daya agraria) diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau disebut juga dengan Undang- undang Pokok Agraria (UUPA). Kemudian aturan tersebut ditindaklanjuti dengan peraturan pelaksanaan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang bersifat organik, baik dalam bentuk undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, keputusan presiden, peraturan menteri, keputusan menteri dan lain-lain.

1). Hak Penguasaan Negara Atas Tanah

Ketentuan hukumnya dilihat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber daya alam tersebut termasuk dalam pengertian ”dikuasai oleh Negara” tersebut kemudian dijabarkan dalam UUPA.

Di dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA ditentukan: ”Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian pada ayat (2) diuraikan bahwa hakmenguasai dari negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan

bumi, air dan ruang angkasa tersebut.

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.

(16)

12

Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian ”dikuasai” bukan berarti ”dimiliki”

akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada Negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut. Dijelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan negara mengenai tanah mencakup tanah yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu, artinya sampai seberapa Negara memberikan kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh, artinya negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.

Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik yaitu wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat peribadi. Secara teoritis, penyebutan ketentuan konstitusional mengenai Hak Menguasai dari Negara ini sesungguhnya bersifat deklaratif, artinya dengan atau tanpa penyebutan ketentuan tersebut setiap negara tetap mempunyai hak menguasai negara. Namun demikian, ketentuan tersebut tetap penting untuk mengkonfirmasi eksistensi dari hak menguasai negara tersebut dan menunjukkan sifat hubungan antara negara dengan tanah.

Namun dalam tataran operasionalnya, hak-hak atas tanah tidak dapat diberikan untuk seluruh permukaan bumi di seluruh Indonesia, karena yang semula diatur dalam UUPA, sejak tahun 1967 diterbitkan beberapa peraturan perundang-undangan dari berbagai sektor yang bersifat sektoral.

Di samping itu sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUPA bahwa terdapat pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah untuk kawasan tertentu berdasarkan rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaannya, baik yang disusun perencanaannya oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah untuk :

(1). keperluan negara;

(2). keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya;

(3). keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-lain kesejahteraan;

(4). keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perikanan serta sejalan dengan itu; dan

(5). keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.

2). Penguasaan dan Pemilikan Tanah

Penguasaan dan pemanfaatan atas tanah merupakan hal penting dalam mengatur lalu lintas hukum di bidang pertanahan. Penguasaan tersebut dapat juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu

”hak”. Kata ”penguasaan” menunjukkan adanya suatu hubungan antara tanah dengan yang mempunyainya. Hubungan hukum tersebut berupa hubungan nyata manusia dengan tanah, sebab tanpa hubungan nyata tersebut maka tidak akan lahir suatu hak apapun atas tanah.

(17)

13

Artinya ada sesuatu hal yang mengikat antara orang dengan tanah tersebut, ikatan tersebut ditunjukkan dengan suatu tanda bahwa tanah tersebut telah dikuasai dan dimilikinya. Tanda tersebut bisa berbentuk fisik maupun bisa berbentuk bukti tertulis.

Menurut Boedi Harsono, hubungan penguasaan dapat dipergunakan dalam arti yuridis maupun fisik. Penguasaan dalam arti yuridis maksudnya hubungan tersebut ditunjukkan dengan adanya alas hak dari penguasaan tanahnya, apabila telah ada alas hak, maka hubungan tanah dengan obyek tanahnya sendiri telah dilandasi dengan suatu hak. Sedangkan penguasaan tanah dalam arti fisik menunjukkan adanya hubungan langsung antara tanah dengan yang empunya tanah tersebut, misalnya didiami dengan mendirikan rumah tinggal atau ditanami dengan tanaman produktif untuk tanah pertanian.

Penguasaan tanah dapat menjadi pertanda adanya pemilikan dan hal tersebut juga dapat merupakan permulaan adanya atau diberikannya hak atas tanah, dengan perkataan lain penguasaan tanah secara fisik merupakan salah satu faktor utama dalam rangka pemberian hak atas tanahnya, sungguhpun penguasaan tanah dapat saja dilakukan oleh orang yang tidak berhak atau hanya sebagai penyewa.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat dijelaskan bahwa sekalipun tidak ada alat-alat bukti penguasaan secara yuridis, namun apabila dalam kenyataan bidang tanah tersebut telah dikuasai secara fisik secara terus menerus selama 20 tahun dengan itikat baik, maka dapat dilegitimasi penetapan/pemberian haknya kepada yang bersangkutan dengan memberikan alat bukti tertulis.

Penguasaan tanah tersebut dapat dikatakan lengkap untuk disebut sebagai pemilikan tanah apabila didukung oleh bukti tertulis berupa surat-surat tanah yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang. Jadi faktor penguasaan secara fisik tersebut masih harus diikuti dengan syarat-syarat tertentu, sehingga dapat dikatakan sebagai pemilikan atau permulaan adanya hak yakni dilakukan secara terus menerus, dengan jangka waktu tertentu dan dilakukan dengan itikat baik, sebaiknya dilengkapi dengan bukti tertulis, baru kemudian dapat diberikan tanda bukti penguasaannya.

Unsur jangka waktu tersebut ditentukan secara limitatif yakni minimal 20 (dua puluh) tahun, namun unsur itikat baik tidak ada dijelaskan pengertiannya. Hal itu dimengerti karena itikat baik itu sendiri tidak ada pengertian yang diterima secara universal, hanya saja pengertian itikat baik memiliki dua dimensi, pertama dimensi subyektif yang berarti mengarah kepada makna kejujuran, sedang dimensi kedua dimensi obyektif yang berarti kerasionalan dan kepatutan atau keadilan.

Terhadap pemilikan dan penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai bukti pemilikan atau penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat juga berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan

(18)

14

dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, alas hak tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak, tanah tersebut sudah berada dalam penguasannya atau telah menjadi miliknya.

Secara konsepsional, seluruh permukaan bumi (tanah) yang ada di seluruh wilayah Indonesia dapat dimiliki dan diberikan hak-hak atas tanah kepada setiap warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk yang berada di kepulauan atau merupakan pulau atau juga pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia.

Sejalan dengan hal tersebut, maka berdasarkan UUPA Pasal 2 mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, dan atas dasar hak menguasai dari negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum (subyek hak, UUPA pasal 4).

Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan peraturan perundangan.

Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah oleh negara kepada orang atau badan hukum yang dilakukan secara terukur supaya dapat digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.

Dari ketentuan yang terdapat dalam UUPA dapat dilihat bahwa Negara memberikan hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum (subyek hak), bahkan menjamin, mengakui, melindungi hak-hak tersebut untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan kehidupannya.

Negara tidak hanya memberikan begitu saja hak-hak atas tanah tersebut kepada subyek hak untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan kehidupannya, tetapi Negara juga memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah tersebut melalui pendaftaran tanah.

Kegiatan pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat (2) meliputi : 1. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;

2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanahnya;

3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kegiatan pendaftaran tanah baik untuk pendaftaran pertama kali maupun untuk pendaftaran yang berkelanjutan berupa pendaftaran peralihan haknya, baru dapat dilakukan apabila subyek hak dapat membuktikan adanya hubungan hubungan baik yang bersifat keperdataan (perorangan) maupun bersifat publik (tanah yang dikuasai oleh instansi Pemerintah atau tanah hak ulayat masyarakat hukum adat) antara subyek hak dengan tanahnya.

Hubungan hukum tersebut dapat dibuktikan dengan cara menguasai secara fisik tanah yang

(19)

15

bersangkutan dan atau mempunyai bukti yuridis atas penguasaan tanahnya. Bukti yuridis atas penguasaan tanah tersebut dapat saja dalam bentuk keputusan dari pejabat di masa lalu yang berwenang memberikan hak penguasaan kepada subyek hak untuk menguasai tanah dimaksud dan dapat juga dalam bentuk akta otentik yang diterbitkan oleh pejabat umum yang menunjukkan tanah tersebut diperolehnya akibat adanya perbuatan hukum berupa perjanjian pemindahan/peralihan hak atau dapat juga melalui pembukaan tanah menurut sistemhukum adat.

Bila dikatakan perolehan hak atas tanah, maka tersirat adanya perbuatanhukum yang dilakukan oleh subyek hak, hal ini sejalan dengan pengertian perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dikembangkan oleh Pasal 1 angka 2 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) yakni perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan, seperti jual beli, tukar-menukar, hibah, wasiat, hibah wasiat, pewarisan dan lain-lain, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur undang-undang.

Namun perolehan hak atas tanah juga termasuk dalam hal perbuatan hukum orang untuk mendapatkan tanah dengan melakukan penguasaan tanah secara fisik berupa penggarapan atau pembukaan tanah. Bahkan lahirnya pemilikan tanah bagi individu menurut sistem hukum adat umumnya diawali dengan pembukaan tanah yang diberitahukan kepada persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanah itu telah digarap. Dari pembukaan tanah tersebut apabila terus dikuasai dan diusahakan secaraterus menerus dan mendapat persetujuan pemerintahan desa/persekutuan adat akan melahirkan hak wenang pilih lalu menjadi hak menarik hasil, selanjutnya jika dari upaya penguasaan dan pengusahaan tanah tersebut telah beberapa kali panen dantetap mengolah tanahnya secara tidak terputus lalu diperolehnya hak milik atastanah.

Pemilikan atas tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan untuk menguasai fisik tanahnya, oleh karena pemilikan secara yuridis memberikan alas hak terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan. Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka persoalannya hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Negara agar hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum. Proses penetapan dan pengakuan alas hak menjadi hak atas tanah disebut pendaftaran tanah yang produknya adalah sertipikat tanah.

Oleh karena itu alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal atau pengakuan atas penguasaan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun idealnya agar penguasaan suatu bidang tanah juga mendapat legitimasi dari Negara, maka harus dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh Negara (Pemerintah).

AP. Parlindungan menyatakan bahwa alas hak atau dasar penguasaan atas tanah dapat diterbitkan karena penetapan pemerintah atau ketentuan peraturan perundangan, maupun karena suatu perjanjian khusus yang diadakan untuk menimbulkan suatu hak di atas hak tanah lain (misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik) juga karena ketentuan konversi hak atas tanah. Sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa memperoleh suatu hak

(20)

16

dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur dalam Pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan merupakan juga salah satu alas hak.

Alas hak itu sendiri adalah bukti penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang.

Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain

Dinyatakan juga bahwa alas hak untuk tanah menurut UUPA adalah bersifat derivative, artinya berasal dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti hak-hak adat atas tanah dan hak-hak yang berasal dari hak-hak Barat,33 dengan catatan dilakukan penyesuaian dengan ketentuan yang baru yang dalam Hukum Agraria dikenal dengan istilah konversi. Maksud dari konversi hak atas tanah tersebut adalah perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru sebagaimana yang diatur dalam UUPA.34

Sedang menurut AP. Parlindungan, konversi adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam system UUPA. 35 Konversi dibagi dalam tiga jenis, yaitu 1) konversi hak yang berasal dari tanah hak barat yaitu hak eigendom, opstal, erfpacht; 2) konversi hak yang berasal dari tanah hak Indonesia yaitu terhadap hak erfpach yang altijdurend, hak agrarische eigendom dan hak gogolan dan 3) konversi hak yang berasal dari tanah bekas swapraja, yaitu terhadap hak anggaduh, hak grant, hak konsesi dan sewa untuk perumahan dan kebun besar.

Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang tanah yang diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya (dasar penguasaan/alas hak lama) masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku pada masa itu.

Hak-hak adat maupun hak-hak Barat yang dijadikan sebagai alas hak tersebut ada yang sudah didaftar pada zaman Hindia Belanda dan ada yang belum didaftar. Pendaftaran hak atas tanah pada waktu itu hanya pada hak atas tanah yang tunduk pada KUH Perdata, sungguhpun ada juga orang-orang Bumi Putera yang mempunyai hak atas tanah yang berstatus hak Barat selain golongan Eropa dan Timur Asing termasuk golongan China. Untuk Golongan Bumi Putera umumnya tidak ada suatu hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform, sungguhpun ada secara sporadis ditemukan beberapa pendaftaran yang sederhana dan belum sempurna seperti Grant Sultan Deli, Geran lama, Geran Kejuran, pendaftaran tanah yang terdapat di kepulauan Lingga-Riau, di daerah Yogyakarta dan Surakarta dan di lain-lain daerah yang sudah berkembang dan menirukan system pendaftaran kadaster. Sebaliknya juga dikenal pendaftaran tanah pajak, seperti pipil, girik, petuk, ketitir, letter C yang dilakukan oleh Kantor Pajak di Pulau Jawa.

Selain itu ditemukan juga alas hak atas tanah berupa surat-surat yang dibuat oleh para Notaris atau yang dibuat oleh Camat dengan berbagai ragam bentuk untuk menciptakan bukti tertulis dari tanah-tanah yang dikuasai oleh warga masyarakat. Penerbitan bukti-bukti penguasaan

(21)

17

tanah tersebut ada yang dibuat di atas tanah yang belum dikonversi maupun tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan kemudian tanah dimaksud diduduki oleh rakyat baik dengan sengaja ataupun diatur oleh Kepala-kepala Desa dan disahkan oleh para Camat, seolah-olah tanah tersebut telah merupakan hak seseorang ataupun termasuk kategori hak-hak adat.

Khusus terhadap tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang telah dikuasai oleh seseorang, maka surat-surat tersebutlah yang dijadikan sebagai alas hak atau bukti perolehan atau pemilikan tanah yang dijadikan sebagai kelengkapan persyaratan dalam mengajukan permohonan pendaftaran tanahnya. Bukti kepemilikan hak-hak atas tanah yang dapat diajukan sebagai kelengkapan persyaratan permohonan hak atas tanah yang diketegorikan sebagai alas hak telah ditentukan secara limitatif dalam Penjelasan Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Pasal 60 ayat (1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yakni : a. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvingsordonantie

(Staatsblad 1834-27) yang telah dibubuhi catatan bahwa hak eigendomnya dikonversi menjadi hak milik atau,

b. Grosse akta hak eigendom yang diterbitkan berdasarkan Overschrijvingsordonantie (Staatsblad 1834-27) sejak berlakunya UUPA sampai tanggal pendaftaran tanah dilaksanakan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 di daerah yang bersangkutan, c. Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Swapraja yang

bersangkutan;

d. Sertipikat hak milik yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1959;

e. Surat keputusan pemberian hak milik dari pejabat yang berwenang, baik sebelum ataupun sejak berlakunya UUPA, yang tidak disertai kewajiban mendaftarkan haknya, tetapi dipenuhi semua kewajiban yang ada

f. Akta pemindahan hak yang dibuat di bawah tangan yang disaksikan oleh Kepala Adat/

Kepala Desa/Kelurahan yang dibuat sebelum PP ini;

g. Akta pemindahan hak atas tanah yang dibuat oleh PPAT, yang tanahya belum dibukukan;

h. Akta Ikrar Wakaf /surat ikrar wakaf yang dibuat sebelum atau sejak mulai dilaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977; atau

i. Risalah lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang berwenang yang tanahnya belum dibukukan;

j. Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti tanah yang diambil oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; atau

k. Petuk Pajak Bumi / Landrente, girik, pipil, kekitir dan verponding Indonesia sebelum berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961;

l. Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan; atau

m. Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun yang sebagaimana dimaksud dalam Pasal II, Pasal VI dan Pasal VII Ketentuan-ketentuan Konversi UUPA.

(22)

18

2.4. UNDANG UNDANG NOMOR 24 TAHUN 1992 JO NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG.

Perencanaan yang bermaksud menyediakan tanah untuk berbagai keperluan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku diatur dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang dibuat secara hierarki mulai dari tingkat Nasional, Provinsi, sampai Kabupaten/Kota sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14.

Pulau-pulau tersebut yang merupakan ruang daratan merupakan kawasan penting dalam penguasaan dan penggunaan tanahnya karena selain dapat dimanfaatkan untuk tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan pangan seperti usaha pertanian, peternakan, perikanan/tambak, industri dan pertambangan, sumber energi, tempat penelitian dan percobaan, kawasan pariwisata juga dapat difungsikan untuk kepentingan yang lebih tinggi, antara lain menyangkut masalah lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan atau kepentingan masyarakat setempat khususnya nelayan dan pekebun. Sedang di sisi lain, kawasan pulau-pulau tersebut juga tidak tertutup kemungkinan ada yang hilang secara alami, baik karena abrasi pantai, tenggelam atau hilang karena naiknya permukaan laut disebabkan pemanasan global atau karena gempa bumi (tsunami) atau sebaliknya dapat saja bertambah luas karena munculnya tanah timbul akibat gelombang laut. Selain itu, kawasan pulau-pulau tersebut juga dapat diperluas dengan cara ditimbun (reklamasi) untuk kepentingan tertentu 2.5. UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2014, TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2007, TENTANG PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

Dalam pasal 16 dinyatakan: (1) Setiap Orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian Perairan Pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi.(2) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan.” Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

1) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan berdasarkan rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

2) Pemberian Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mempertimbangkan kelestarian Ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, Masyarakat, nelayan tradisional, kepentingan nasional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.

3) Izin Lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam luasan dan waktu tertentu.

4) Izin Lokasi tidak dapat diberikan pada zona inti di kawasan konservasi, alur laut, kawasan pelabuhan, dan pantai umum.”

Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Dalam hal pemegang Izin Lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak izin diterbitkan, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin Lokasi.”

2.6. UNDANG UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009, TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Di dalam 57 (huruf b) menyatakan, bahwa: Pencadangan sumber daya alam meliputi sumber daya alam yang dapat di kelola dalam jangka panjang dan waktu tertentu sesuai dengan

(23)

19

kebutuhan. Untuk melaksanakan pencadangan sumber daya alam, Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah Kabupaten/Kota dan perseorangan dapat membangun:

a. Taman keanekaragamanan hayati di luar kawasan hutan;

b. Ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30% dari luas pulau/kepulauan; dan/atau c. Menanam dan memelihara pohon di luar kawasan hutan, khususnya tanaman langka.

2.7. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 40 TAHUN 1996 TENTANG HAK GUNA USAHA, HAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI

Semula oleh UUPA tidak ada diatur mengenai pulau-pulau dan sempadanpantai tersebut apakah dapat diberikan hak-hak atas tanah, selanjutnya berdasarkan. Pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dinyatakan bahwa pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

Diatas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. dalam pasal 60 dinyatakan bahwa pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas sebidang tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai akan diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.

2.8. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG PENATAGUNAAN TANAH

Penguasaan tanah tersebut menurut pasal 1 angka (2) adalah hubungan hukum antara orang- perorang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria. Setelah dibuktikan adanya hubungan hukum atau penguasaan atas tanah yang dimiliki oleh subyek hak, maka Pemerintah sebagai pemangku Hak Menguasai Negara yang berwenang melakukan pengaturan dan menentukan hubunganhubungan hukum antara orang dengan tanah, melaksanakan tugasnya memberikan hak-hak atas tanah yang dibuktikan dengan penerbitan keputusan pemberian haknya.

Sedangkan terhadap pemilikan atau penguasaan atas tanah yang ditandai dengan adanya hak-hak lama (berasal dari hak-hak Adat dan hak-hak Barat, dilakukan pengaturannya dengan menegaskan atau mengakui hak-hak lama (konversi).

Selanjutnya kepada penerima hak atau yang ditegaskan/diakui hak-haklamanya diterbitkan produk hukum berupa sertipikat tanah yang berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat dan memberikan jaminan kepastian hukum ataspenguasaan/pemilikana tanahnya

Ketentuan yang lebih tegas diatur dalam Pasal 11 ayat (1) yang mengatur bahwa terhadap tanah dalam kawasan lindung yang belum ada haknya dapat diberikan hak atas tanah, kecuali pada kawasan hutan. Akan tetapi sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah benteng alam dan ekosistem alami.

Dalam hal ini pemilikan dan penguasaan atas tanah menjadi faktor penting untuk dapat memanfaatkan dan menggunakan tanahnya, namun dalam penggunaan tanah tersebut ada aturan yang membatasi kewenangan dari yang menguasai tanah tersebut. AP Parlindungan menyatakan,

“dikuasai” dan “dipergunakan” harus dibedakan, dalam arti bahwa dipergunakan itu sebagai tujuan

(24)

20

daripada dikuasai dan kedua kata tersebut tidak ada sangkut pautnya dalam hubungan sebab akibat.

Walaupun dinyatakan bahwa dipergunakan sebagai tujuan daripada dikuasai, namun pengertian tersebut berbeda antara konsepsi yang dianut oleh Pemerintah melalui peraturan perundangan dengan pengertian yang dianut oleh masyarakat, dalam hal ini masyarakat memandang bahwa apabila sebidang tanah dikuasainya, maka penggunaannya juga sesuai dengan kepentingannya. Hal ini dapat dimengerti karena sejak dahulu terdapat perbedaan antara perasaan hukum rakyat dan kesadaran hukum penguasa atas tanah.

Perselisihan mengenai tanah antara rakyat dan pemerintah secara umum telah terjadi karena pandangan yang berbeda mengenai konsep hak atas tanah.15 Dalam kaitan ini, peraturan perundang-undangan memandang diperkenankannya diberikan hak atas tanah pada suatu pulau termasuk pada kawasan pantainya dengan ketentuan penggunaannya harus disesuaikan dengan fungsi kawasan yakni sebagai kawasan lindung, sungguhpun pengaturan untuk pemberian hak atas tanah pada suatu pulau masih menunggu aturan pelaksanaannya. Sedang masyarakat beranggapan bahwa penguasaan atas tanah berkaitan erat dengan penggunaannya, menguasai tanah berarti dapat menggunakannya juga.

2.9. KEP. MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NO. 41/2000 JO KEP. MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NO. 67/2002

Pulau-pulau kecil didefinisikan berdasarkan dua kriteria utama yaitu luasan pulau dan jumlah penduduk yang menghuninya. Definisi pulau-pulau kecil yang dianut secara nasional sesuai dengan Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41/2000 Jo Kep. Menteri Kelautan dan Perikanan No.

67/2002 adalah pulau yang berukuran kurang atau sama dengan 10.000 km2 , dengan jumlah penduduk kurang atau sama dengan 200.000 jiwa. Di samping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terpencil dari habitat pulau induk, sehingga bersifat insular; mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi; tidak mampu mempengaruhi hidroklimat; memiliki daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut serta dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya.

Masing-masing tipe pulau tersebut memiliki kondisi lingkungan biofisik yang khas, sehingga perlu menjadi pertimbangan dalam kajian dan penentuan pengelolaannya agar berkelanjutan. Hal ini akan berpengaruh pula terhadap pola permukiman yang berkembang di pulau-pulau kecil berdasarkan aktivitas yang sesuai dengan kondisi lingkungan biofisik tersebut. Misalnya tipologi pulau kecil lebih dominan ke arah pengembangan budidaya perikanan, maka kemungkinan besar pola permukiman yang berkembang adalah masyarakat nelayan.

2.10. SURAT EDARAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 500-1197 TANGGAL 3 JUNI 1997

Ketentuan tersebut kemudian ditindak lanjuti dengan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1197 Tanggal 3 Juni 1997, antara lain dinyatakan bahwa :

“Permohonan hak atas tanah yang seluruhnya merupakan pulau atau berbatasan dengan pantai untuk tidak dilayani sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut.”

(25)

21

Selanjutnya berdasarkan Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 500-1698 Tanggal 14 Juli 1997 antara lain dinyatakan bahwa : “Permohonan ijin lokasi dan permohonan hak atas tanah yang berbatasan dengan pantai masih dimungkinkan diproses yang dilakukan secara hati-hati dan selektif dan permohonan yang diajukan setelah tanggal 3 Juli 1997 agar dilaporkan kepada Menteri untuk mendapat petunjuk pelaksanaan lebih lanjut.”

2.11. HAK ATAS TANAH DI WILAYAH SEMPADAN

Mengingat urgennya fungsi dan manfaat pulau-pulau yang sebagian dapat dimanfaatkan sebagai tempat melakukan kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia namun sekaligus pemanfaatan yang tidak terencana dapat merusak ekosistem, sehingga perlu perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup di sekitarnya, maka berdasarkan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 ditentukan bahwa penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, waduk dan atau sempadan sungai, harus memperhatikan kepentingan umum dan keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan. Kemudian bagian dari pulau-pulau tersebut terdapat sempadan pantai, karena itu berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 ditentukan bahwa kawasan/ sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung atau kawasan perlindungan setempat. Lihat juga Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah yang menegaskan bahwa sempadan pantai dikategorikan sebagai kawasan lindung/kawasan perlindungan setempat.

2.12. LANDASAN PULAU-PULAU KECIL DAN PERAIRAN SEKITAR:

l UU No. 27/2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PPK Jo UU No. 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas UU No. 27/2007

l PP No. 38/2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemda Provinsi dan Pemda Kabupaten/Kota.

l PP No. 62/2010 Tentang Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT)

l Perpres No. 78/2005 tentang Pengelolaan PPK Terluar

l Permen KP No.20/Men/2008 tentang Pemanfaatan PPK dan Perairan di Sekitarnya.

(26)

22

(27)

23

PENELITIAN POLA PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH DI PULAU-PULAU KECIL

3 Metodologi Penelitian Bab III

(28)

24

3.1. METODE PENELITIAN

Metode penelitian menggunakan deskriptif analitis yang bermaksud memberikan gambaran yang utuh dan menyeluruh dari kondisional penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil sehingga dapat diketahui pola penguasaan dan pemilikannya serta permasalahannya.

Pendekatan penelitian menggunakan yuridis normatif, Didukung yuridis empiris yang menghimpun data dari bahan hukum yg berkaitan dengan peraturan perundang-undangan tentang penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil dan data lapangan (field research) pola penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil serta permasalahannya.

3.2. METODE DAN TEKNIK PENGUMPULAN DATA 1) Jenis data (sekunder dan primer)

Data Sekunder seluruh bahan bahan hukum baik primer, sekunder maupun tersier yang diperoleh dari library research (studi kepustakaan yang terdiri dari seluruh peraturan perundang-undangan yang bersifat vertikal maupun horisontal), pendapat para pakar (buku refrensi dan kamus-kamus hukum yang diperoleh dari buku dan internet yang berkaitan dengan penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil).

Data primer seluruh data lapangan terhadap pulau-pulau kecil yang menjadi obyek penelitian (dihuni atau tidak dihuni, sudah ada penguasaan, dan sudah ada/belum hak yang diterbitkan)

2) Sumber data dari riset pustaka dan riset lapangan 3) Teknik pengumpulan data

Observasi langsung ke lapangan dan langsung melalui wawancara dengan nara sumber.

Tidak langsung melalui kuesioner 3.3. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Populasi adalah pulau-pulau kecil di perairan yang berada di wilayah Kabupaten dan Kota, yang berpenghuni/tidak berpenghuni, dikuasai/ dimiliki tanahnya oleh perorangan atau badan hukum, sudah mempunyai hak atas tanah/belum.

Dari populasi tersebut akan diambil sampel dengan teknik simple random sampling, dengan mengambil pulau secara acak yang mewakili sebanyak 1-3 pulau kecil sebagai sampel. Adapun Responden yang dijadikan sumber data adalah:

1) Kepala Kantor Pertanahan dan jajarannya, 2) Kepala Desa/lurah dan jajarannya, 3) Pengelola pulau dan jajarannya.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian menggunakan deskriptif analitis

yang bermaksud memberikan gambaran yang utuh dan

menyeluruh dari kondisional penguasaan dan pemilikan

tanah di pulau-pulau kecil sehingga dapat diketahui pola

penguasaan dan pemilikannya serta permasalahannya.

(29)

25

3.4. METODE PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Sesuai dengan sifat penelitian ini yang bersifat yuridis kualitatif, maka setelah diperoleh data primer, dilakukanlah pengelompokan data yang sama sesuai dengan kategori yang ditentukan.

Penelusuran data dalam penelitian ini mulai dari aspek riwayat penguasaan dan pemilikan atas tanah, kemudian dikelompokan kedalam pola-pola hak atas tanahnya. Dari pola-pola hak atas tanah tersebut akan dihadapkan kesesuaiannya dengan peraturan penguasaan dan pemilikan tanah di pulau-pulau kecil dengan kesesuaian pemanfaatannya berdasarkan arahan RTRW dan penggunaan atas tanah berdasarkan Surat keputusan Kepala BPN-RI. Kemudian diuji dan dianalisis dengan teori hukum yang ada serta peraturan perundangan yang berlaku.

3.5. LANDASAN OPERASIOAL

a. Pulau adalah daratan yang terbentuk secara alami, dan dikelilingi oleh air dan selalu di atas muka air pada saat pasang naik tertinggi. (UNCLOS 1982, Pasal 121)

b. Pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) atau 200.000 hektar. Luas pulau kecil dihitung berdasarkan garis pantai pada saat pasang tertinggi. Disamping kriteria utama tersebut, beberapa karakteristik pulau-pulau kecil adalah secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik (UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014)

c. Subyek hak atas tanah di Pulau Kecil : 1) Warga Negara Indonesia

2) Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia d. Hak atas tanah yang dapat diberikan adalah:

l Hak milik;

l Hak Guna Bangunan perorangan/badan hukum

l Hak Guna Usaha perorangan/badan hukum

l Hak Pakai

l Hak Pengelolaan (HPL)

e. Pemanfaatannya harus memperhatikan : 1) 70% (tujuh puluh persen) dari luas pulau.

2) 30% (tiga puluh persen) dikuasai langsung oleh negara sebagai kawasan lindung.

3.6. LOKASI PENELITIAN

Lokasi penelitian adalah pulau-pulau kecil yang berada di wilayah Administrasi Kota dan Kabupaten di Provinsi sampel.

(30)

26

(31)

27

PENELITIAN POLA PENGUASAAN DAN PEMILIKAN TANAH DI PULAU-PULAU KECIL

4 Bab IV

Gambaran Umum

Provinsi dan

Kabupaten/Kota

Lokasi Penelitian

(32)

28

4.1. PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

BAB IV

GAMBARAN UMUM

PROVINSI DAN KABUPATEN/KOTA LOKASI PENELITIAN

Propinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari dua pulau besar yaitu Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Kedua pulau ini terbagi habis ke dalam 10 wilayah administrasi, yaitu:

l Pulau Lombok: Kotamadya Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Utara,

l Pulau Sumbawa: Kotamadya Bima, Kabupaten Bima, Kabupaten Sumbawa, Kabupaten Sumbawa Barat dan Kabupaten Dompu.

Propinsi Nusa Tenggara Barat diapit oleh Propinsi Bali di sebelah barat dan Propinsi Nusatenggara Timur di sebelah Timur, masing-masing propinsi dipisahkan oleh selat yang merupakan jalur parairan laut. Demikian pula dengan Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa dipisahkan oleh Selat Alas, sebagai pintu masuknya di Pelabuhan penyeberangan Kayangan yang terdapat di Pulau Lombok Timur dan Pelabuhan penyeberangan Pototano di Pulau Sumbawa.

Provinsi NTB merupakan provinsi kepulauan yang terbagi ke dalam 2 pulau besar dan sekitar 280 pulau kecil. Luas wilayah 20.153,2 KM2, maka 60% diantaranya adalah lautan. Wilayah Provinsi NTB terbentang dari laut Jawa dan laut Flores di sebelah utara , samudera Hindia di selatan, serta dipisahkan dengan Provinsi Bali oleh Selat Lombok dengan Provinsi NTT oleh Selat Sape. Jumlah penduduk 4.363.75. Jumlah Kabupaten/Kota: 8 Kabupaten dan 2 Kota, Jumlah Kecamatan dan Desa: 116 Kecamatan dan 913 Desa. Sektor unggulan adalah pertanian dan parawisata. (2008, BPS). Mengingat banyaknya sebaran pulau-pulau kecil di wilayah Provinsi NTB, maka penelitian ini memfokuskan penelitian di wilayah Lombok Barat dan lombok Utara

Gambar

Gambar  : Peta Provinsi Papua Barat
Gambar 1 :  Gili Nanggu
Gambar 2 : Peta sebaran bidang tanah di Gili Nanggu
Gambar  : Peta Gili Trawangan.
+7

Referensi

Dokumen terkait