• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study Deskriptif Tentang Adversity Quotient pada Anggota Kelompok Pencinta Alam 'X' di Kota Bandung.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study Deskriptif Tentang Adversity Quotient pada Anggota Kelompok Pencinta Alam 'X' di Kota Bandung."

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

Anggota Kelompok Pencinta Alam ‘X’ di Kota Bandung. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui tentang Adversity Quotient Pada Anggota KPA ‘X’ di Kota Bandung. Tujuan penelitian untuk memperoleh gambaran mengenai derajat Adversity Quotient pada Anggota KPA’X’ di Universitas ‘X’ kota Bandung. Kegunaan penelitian bagi lembaga KPA X, hasil penelitian ini dapat menjadi informasi untuk memberikan pelatihan pada anggotanya dan membantu anggota meningkatkan AQ dalam rangka pengembangan diri sesuai dengan visi dan misi organisai.

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Adversity Quotient dari Paul G. Stoltz. Adversity Quotient adalah seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dalam pekerjaannya dan mengatasinya. Stoltz membagi 3 kelompok manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung, yaitu: (1) high AQ dinamakan climbers yaitu kelompok yang suka akan tantangan. Kedua, low AQ dinamakan Quitters, kelompok yang melarikan diri dari tantangan.Ketiga, moderat AQ dinamakan Campers yaitu mereka yang setidaknya telah menanggapi tantangan dan mencapai suatu tingkat tertentu. Namun, saat mereka telah merasa nyaman, mereka berhenti di tempat dan tidak berusaha untuk meraih sesuatu yang lebih baik daripada apa yang telah dicapainya

Populasi pada penelitian ini berjumlah 40 anggota. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah distribusi frekuensi. Hasil yang diperoleh dianalisis dengan menghitung frekuensi Adversity Quotient. Hasil perhitungan tersebut digunakan untuk kesimpulan sehingga secara umum dapat menggambarkan derajat AQ. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner Adversity Quotient yang terdiri dari 28 item. Kuesioner Adversity Quotient merupakan modifikasi dari alat ukur Paul G. Stoltz.

(2)

Lembar Pengesahan

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar isi ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Identifikasi Masalah ... 11

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ... 11

1.3.1. Maksud Penelitian ... 11

1.3.2. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Kegunaan Penelitian ... 12

1.4.1. Kegunaan Teoritis ... 12

1.4.2. Kegunaan Praktis ... 12

1.5. Kerangka Pemikiran ... 13

(3)

2.1.1 Pengertian Adversity Quotient... 19

2.2 Ilmu pengetahuan tentang Adversity Quotient ... 20

2.2.1 Psikologi Kognitif ... 20

2.2.2 Neurofisiologi ... 22

2.2.3 Psikoneuroimunologi ... 23

2.3. Dimensi-dimensi Adversity Quotient ... 24

2.3.1 Control ... 24

2.3.2 Ownership ... 24

2.3.3 Reach. ... 24

2.3.4 Endure ... 25

2.4 Tipe-tipe manusia berdasarkan Adversity Quotient ... 26

2.4.1 Quitters ... 26

2.4.2. Campers ... 27

2.4.3 Climbers ... 27

2.4.4 Perbedaan Quitters, Campers, Climbers ... 27

(4)

2.5 Faktor-faktor pendukung Adversity Quotient... 32

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 34

3.2 Bagan Rancangan Penelitian ... 35

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 35

3.3.1 Variabel Penelitian ... 35

3.3.2 Definisi Operasional... 35

3.4. Alat Ukur ... 36

3.4.1 Alat Ukur Adversity Quotient ... 36

3.4.2 Sistem Penilaian ... 38

3.4.3. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 38

3.4.3.1 Validitas Alat Ukur ... 38

3.4.3.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 40

(5)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Responden ... 43

4.1.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin... 43

4.1.2 Gambaran Responden Berdasarkan lamanya Berorganisasi ... 43

4.2 Hasil Penelitian ... 44

4.2.1 Derajat Adversity Quotient ... 44

4.2.2 Derajat Adversity Quotient pada aspek control ... 44

4.2.3 Derajat Adversity Quotient pada aspek Ownership ... 45

4.2.4 Derajat Adversity Quotient pada aspek Reach ... 45

4.2.5 Derajat Adversity Quotient pada aspek Endure ... 46

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian ... 47

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 55

(6)

DAFTAR PUSTAKA

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Kelompok Pencinta Alam ‘X’ (KPA ‘X’) merupakan salah satu unit

kegiatan kemahasiswaan tertua yang berada di lingkungan Universitas ‘X’ di

Bandung. KPA X didirikan berdasar visi dan misi pengembangan diri

mahasiswa. Adapun visi kelompok ini adalah menciptakan anggota sebagai

suatu keluarga besar yang solid dan tempat pengembangan diri, mental, moral,

sosial, intelektual dan fisik di dalam berorganisasi dan bermasyarakat. Misi

KPA ‘X’ adalah menumbuhkan rasa kekeluargaan, menciptakan kesempatan

belajar dalam kegiatan berorganisasi, memberikan pembekalan ilmu dalam

bidang pengembangan diri, mental, moral, sosial, intelektual, dan fisik di

dalam bidang kepecintaalaman.

KPA ‘X’ juga menjadi wadah bagi mahasiswa untuk menyalurkan

hobby mereka terhadap kegiatan alam terbuka. Kegiatan yang dilakukan

antara lain adalah pendakian gunung, penyusuran pantai, penyusuran goa,

mengikuti SAR, mengadakan kejuaraan panjat dinding buatan, lomba lintas

alam, rock climbing, pendidikan dan latihan dasar (DIKLATSAR), pelatihan

(8)

Untuk mencapai tujuan yang diturunkan melalui visi dan misi KPA,

tiap tahun Dewan Pengurus (DP) KPA ‘X’ menyelenggarakan kegiatan

penerimaan anggota baru KPA ‘X’. Untuk menjadi anggota Kelompok

Pencinta Alam ‘X’, setiap mahasiswa universitas ‘X’ wajib mengikuti

Pendidikan dan Latihan Dasar (DIKLATSAR). Penerimaan anggota KPA ‘X’

ini diselenggarakan oleh panitia Diklatsar dan dipimpin oleh seorang

komandan latihan (DANLAT). Diklatsar dibagi ke dalam beberapa tahapan,

yaitu tahap pendaftaran, tes penerimaan, pengajaran teori dan praktik serta

kegiatan hutan gunung yang didalamnya terdapat berbagai macam sesi, seperti

sesi pendakian, sesi sungai, sesi navigasi dan SAR, sesi survival, dan sesi

longmarch.

Pendaftaran dilaksanakan pada saat open house dimana tujuannya open house adalah untuk memperkenalkan segala sesuatu mengenai KPA ‘X’

beserta kegiatan-kegiatannya. Setelah proses pendaftaran selesai

dilaksanakan, kegiatan dilanjutkan dengan tes penerimaan. Tes penerimaan

tersebut terdiri atas medical test, fitness test, serta wawancara. Tes ini berguna

untuk mengetahui kondisi kesehatan, riwayat penyakit, kemampuan fisik,

kemampuan berorganisasi peserta, serta informasi lain yang diperlukan. Bagi

para peserta yang dinyatakan lulus tes penerimaan, akan diberikan materi

(9)

kepencintaalaman. Kegiatan selanjutnya adalah kegiatan hutan gunung

sebagai praktik latihan dan pendidikan dasar pencinta alam.

Kegiatan hutan gunung merupakan suatu rangkaian kegiatan yang

dilaksanakan selama kurang lebih 10-12 hari. Dalam kegiatan hutan gunung,

peserta diajarkan bersosialisasi dengan peserta lainnya, membina team work

yang baik, memiliki mental yang kuat, pengetahuan di alam bebas, seperti

teknik dasar dalam perjalanan, teknik packing (pengaturan barang di ransel),

teknik berjalan, teknik pengaturan nafas, serta teknik lain yang dapat

membuat para anggotanya mampu bertahan hidup selama melakukan kegiatan

kepencintaalaman. Diajarkan pula materi kemampuan dasar berupa navigasi

(pengetahuan peta, kompas, kondisi medan), serta kemampuan hidup di alam

bebas, seperti mendirikan tenda, memasak, mengetahui cuaca, survival, dan

lain-lain.

Dalam pelaksanaan pendidikan tersebut, para peserta didampingi oleh para instruktur KPA ‘X’ yang sudah berpengalaman dalam memberikan

instruksi dan materi.Materi-materi yang sudah diajarkan tersebut harus

benar-benar dikuasai oleh peserta sebagai bekal untuk memahami kondisi alam.

Selain itu peserta dituntut pula untuk mempunyai kemampuan memanfaatkan

perlengkapan dan peralatan yang dimiliki sehingga perjalanan akan menjadi

aman dan lancar.

Diklatsar adalah dimana para peserta dihadapkan pada keadaan yang

(10)

mereka kenal dan situasi yang berat. Peserta akan menghadapi alam yang

sulit, memperoleh hujan, ataupun panas terik yang tidak dapat dihindari oleh

para peserta, tanjakan terjal dan jauhnya perjalanan yang harus mereka

tempuh. Peserta juga dikondisikan untuk survival dimana para peserta dituntut

untuk dapat bertahan di hutan. Mereka harus mencari makan sendiri karena

pada session survival tersebut peserta diminta untuk dapat mengaplikasikan

ilmu survivalnya.

Para peserta juga banyak memperoleh hambatan pada saat session

navigasi dimana peserta diminta untuk dapat mengaplikasikan ilmu

navigasinya di tengah hutan yang tidak diketahui oleh para peserta, peserta

juga banyak menemui hambatan di dalam session penyusuran sungai yang

cukup panjang dan jauh pada saat fisik para peserta sudah terkuras, peserta

harus melakukan session longmarch dimana para peserta harus melakukan

perjalanan jauh yang bisa memakan waktu sampai tiga hari untuk dapat

mengakhiri kegiatan tersebut, dimana session longmarch adalah session

terakhir pada kegiatan Diklatsar untuk penerimaan anggota baru

tersebut.Acara puncak dari Diklatsar adalah acara pelantikan Anggota baru

KPA ‘X’ yang menjadi Anggota Muda KPA’X’ Setelah mereka berhasil

menyelesaikan semua kegiatan Diklatsar.

(11)

lagi sebagai seorang mahasiswa/I yang harus menjalani kewajiban mereka sebagaimana layaknya seorang mahasiswa. KPA ‘X’ mengharapkan mereka

para anggota muda tersebut setelah dididik dan dilatih pengembangan diri,

mental, moral, sosial, intelektual, dan fisik dapat di terapkan juga di dalam

keseharian mereka terutama di dalam perkuliahan mereka.

Para anggota muda KPA ‘X’ diharapkan dapat mengendalikan diri

mereka, dapat membagi waktu mereka antara kuliah dengan berorganisasi,

dapat bertanggung jawab, mau belajar dari kesalahan, tekun, mampu menilai

performance diri di KPA ‘X’ tidak akan menghambat kehidupan yang lain,

komitment, dan dapat merasakan bahwa berkuliah dan berorganisasi

merupakan sesuatu yg harus dilalui dan hasilnya baik, sehingga ada gunanya

untuk kehidupan para anggota.

Kegiatan Diklatsar dan kegiatan KPA ‘X’ ditujukan untuk membuat

anggotanya menjadi handal dalam kehidupan akademik di kampus maupun di

masyakarakat. Kegiatan diklatsar di atas merupakan representasi dari sulitnya

kehidupan yang dihadapi oleh mahasiswa umumnya dan anggota khususnya.

Mereka dipersiapkan menjadi individu yang kompeten dan memiliki daya

tahan yang kuat saat studi dan saat nanti terjun ke masyarakat.

Gejala yang tampak pada organisasi adalah pada saat dibukanya

(12)

sebanyak kurang lebih 30-50 calon anggota, 20-40 mahasiswa dinyatakan

tidak lulus diklatsar. Mahasiswa lainnya yang tidak lulus diklatsar

dikarenakan oleh beberapa faktor, yaitu tidak memperoleh izin dari orang tua,

tidak mempunyai kecocokan waktu dengan diklatsar, sakit, merasa tidak

sanggup mengikuti diklatsar, dan mengikuti diklatsar namun berhenti

ditengah jalan. Untuk faktor yang terakhir cukup banyak terjadi oleh para

mahasiswa, salah satu contohnya adalah mahasiswa mengundurkan diri

karena merasa tidak sanggup lagi meneruskan diklatsar, sakit, dan ajakan

teman. Delapan sampai sepuluh orang mahasiswa dinyatakan diterima dan

diangkat menjadi anggota muda karena telah lulus diklatsar setelah diberikan

kegiatan pradiklat seperti tes fisik, cek perlengkapan, dan diklatsar selama

kurang lebih dua minggu. .

Seiring dengan berjalannya waktu tidak semua anggota KPA ‘X’

berhasil dalam menjalaninya. Ada anggota yang tidak dapat membagi waktu

antara kuliah dan berorganisasi, sehingga pada akhirnya nilai perkuliahannya

menjadi turun karena berada diluar kendali anggota. Tidak bertanggung jawab

pada apa yang dilakukan, seperti sulit memutuskan untuk ikut dalam kegiatan KPA ‘X’, karena takut menyita waktu kuliahnya.

Saat menjadi panitia kegiatan tidak bertanggung jawab pada tugas dan

(13)

sangat padat sehingga anggota tersebut tidak bisa menjalankan keduanya

sekaligus. Tidak berani mengambil resiko. Kurang mampu menilai

performance dirinya, dan tidak gigih serta cenderung pemalas. Padatnya

jadwal kuliah mengakibatkan anggota sulit untuk aktif di organisasi. Ada juga

anggota yang semakin menghindarkan diri dari tanggung jawab dalam suatu

situasi, dimana anggota tersebut menyalahkan dosen dan situasi lain seperti

sulitnya membagi waktu kuliah dengan kegiatan organisasi yang ada yang

menyebabkan anggota mendapat hasil ujian tidak memuaskan.

Anggota yang memandang kesulitan sebagai sesuatu yang dapat

memasuki bagian-bagian kehidupan lain dimana gangguan-gangguan kecil

yang terjadi dalam studinya bisa menjadi besar apabila dibiarkan terus

berkembang dalam pikiran anggota. Anggota yang mendapat tugas banyak,

jadwal yang padat, banyaknya materi yang harus dipelajari, relasi yang kurang

baik dengan dosen dan sesama anggota, dapat menyebabkan anggota kurang

dapat menjalankan kuliah dengan baik dan menyebabkan relasi dengan

keluarga, teman dan dosen menjadi berkurang. anggota yang memandang

kesulitan dan penyebab-penyebabnya sebagai peristiwa yang berlangsung

lama, dan menganggap peristiwa positif sebagai sesuatu yang bersifat

sementara, akan menganggap bahwa kesulitan akan ditemui selama studi di

Fakultas dan diorganisasi, dan akan menganggap sulit untuk mencapai suatu

(14)

Menurut anggota KPA’X’ di Universitas ‘X’ kota Bandung mengenai

kesulitan yang mereka hadapi dalam menjalankan organisasi dan studinya,

diantaranya adalah padatnya jadwal kuliah seperti kuliah tatap muka,

praktikum, ujian, tugas dan padatnya kegiatan organisasi seperti persiapan

diklatsar, ekspedisi, Sekolah Dasar Caving, Rock Climbing, Hutan Gunung,

yang diselenggarakan setiap satu minggu sekali dan untuk ekspedisi lima kali

seminggu. Dengan padatnya jadwal kuliah dan kegiatan berorganisasi yang

terdapat pada anggota KPA ‘X’ di Universitas ‘X’ membuat anggota KPA ‘X’ di Universitas ‘X’ sulit untuk menyelesaikan tugas dengan baik dan sulit

untuk menguasai materi, karena materi yang harus dikuasai cukup banyak,

yang mengakibatkan anggota KPA ‘X’ di Universitas ‘X’ sulit untuk

memperoleh nilai yang memuaskan di perkuliahan dan performance yang baik

di organisasinya. Situasi tersebut juga dapat mempengaruhi komunikasi

dengan keluarga dan teman, karena anggota KPA ‘X’ di Universitas ‘X’mempunyai sedikit waktu untuk dapat berkumpul bersama mereka.

Adversity Quotient memiliki dimensi yang biasa disebut dengan CORE yaitu, Control, Ownership, Reach, dan Endurance. Seberapa besar

kemampuan untuk mengendalikan kesulitan ketika studi dan berorganisasi

yang mengacu pada dimensi Control. Control adalah sejauhmana anggota

merasa mampu mengendalikan atau mengontrol terhadap peristiwa yang

(15)

KPA ‘X’ di Universitas ‘X’ bersedia mengakui dan bertanggung jawab

terhadap suatu situasi ketika menemui kesulitan yang mengacu pada dimensi

Ownership. Ownership berkaitan dengan sejauhmana anggota mampu mengakui dan bertanggung jawab terhadap suatu situasi dan bersedia

memperbaiki situasi tersebut, ada yang menyalahkan orang lain atas situasi

yang dihadapi. Selain itu ada anggota yang bersedia mengakui dan

bertanggung jawab atas perbuatannya untuk memperbaiki situasi.

Dampak dari kesulitan berorganisasi terhadap area kehidupan lain

seperti keluarga, teman, dan dosen yang mengacu pada dimensi Reach. Reach

membahas apakah suatu kesulitan atau permasalahan yang muncul pada suatu

bidang kehidupan dapat mempengaruhi seseorang dalam kehidupan lainnya.

Ada anggota yang menyatakan bahwa kesulitan studi berdampak pada relasi

dengan keluarga, teman dan dosen dan ada juga anggota yang menyatakan

bahwa kesulitan studi tidak berdampak pada relasi dengan keluarga, teman,

dan dosen. Anggota juga menemui kesulitan dalam studinya yang mengacu

pada Endurance. Endurance berkaitan dengan sejauhmana anggota

mempersepsi kesulitan akan berlangsung sementara atau permanen. Ada

anggota yang berpersepsi bahwa kesulitan berorganisasi dan studi akan

berlangsung permanen, ada juga anggota yang berpersepsi tentang kesulitan

(16)

Dalam menghadapi situasi tersebut, anggota KPA ‘X’ di Universitas ‘X’ diharapkan dapat bertahan menghadapi kesulitan tersebut. Menurut Paul

G.Stoltz, Adversity Quotient merupakan suatu kemampuan untuk mengubah

hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan melalui

kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk

suatu pola tanggapan kognitif dan perilaku atas stimulus peristiwa-peristiwa

dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan. Adversity

Quotient dapat dibagi menjadi tiga yaitu, Adversity Quotient rendah, Adversity Quotient sedang dan Adversity Quotient tinggi. Adversity Quotient rendah adalah individu yang memilih untuk menyerah ketika menghadapi

kesulitan. Adversity Quotient sedang adalah individu yang setidaknya telah

menanggapi tantangan dan mencapai suatu tingkat tertentu. Namun, saat

mereka telah merasa nyaman, mereka berhenti di tempat dan tidak berusaha

untuk meraih sesuatu yang lebih baik daripada apa yang telah dicapainya.

Adversity Quotient tinggi adalah Individu yang berani menghadapi tantangan, mempunyai keinginan untuk terus berusaha mengatasi kesulitan menjadi lebih

baik (Paul G.Stoltz, 2007).

Anggota KPA ‘X’ di Universitas ‘X’yang memiliki Adversity Quotient

rendah akan mudah menyerah dan menghindari situasi sulit, karena usaha

(17)

dapat bertahan pada studi dan organisasinya, meskipun menghadapi situasi

yang sangat sulit, mereka terus berusaha agar mencapai suatu keberhasilan

dalam studinya. Sedangkan Anggota KPA ‘X’ di Universitas ‘X’yang

memiliki Adversity Quotient sedang setidaknya telah menanggapi tantangan

serta kesulitan yang ada didalam studi dan organisasinya dan telah mencapai

suatu tingkat tertentu. Namun, saat mereka telah merasa nyaman, mereka

berhenti di tempat dan tidak berusaha untuk meraih sesuatu yang lebih baik

daripada apa yang telah dicapainya.

Oleh karena itulah, peneliti ingin mengetahui bagaimanakah Adversity

Quotient Anggota KPA’X’ di Universitas ‘X’ kota Bandung dalam menghadapi pekerjaannya.

1.2. Identifikasi Masalah

Bagaimana Adversity Quotient pada Anggota KPA’X’ di Universitas ‘X’ Kota

Bandung?

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1 Maksud Penelitian

- Menjaring aspek-aspek CORE dalam Adversity Quotient pada

(18)

1.3.2 Tujuan

- Memperoleh gambaran mengenai derajat Adversity Quotient pada Anggota KPA’X’ di Universitas ‘X’ kota Bandung

1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan Teoritis

- Memperdalam pemahaman tentang Adversity Quotient pada Anggota KPA’X’ di Universitas ‘X’ kota Bandung dalam bidang ilmu

Psikologi Industri dan Organisasi.

- Memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan

penelitian lanjutan dan penelitian dengan topik yang serupa.

1.4.2 Kegunaan Praktis

- bagi anggota KPA ’X’, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk

memahami Adversity Quotient dalam memahami aspek-aspek dari AQ

dan diharapkan mampu menghadapi kesulitan dalam menghadapi

situasi yang sulit dalam perkuliahan atau dalam kehidupan

bermasyarakat.

- bagi lembaga KPA ’X’, hasil penelitian ini dapat menjadi informasi

(19)

meningkatkan Adversity Quotions dalam rangka pengembangan diri

sesuai dengan visi dan misi organisasi.

1.5 Kerangka Pemikiran

KPA ‘X’ adalah salah satu Organisasi yang ada di Universitas ‘X’ di

Kota Bandung. KPA ‘X’ memiliki visi yaitu menciptakan anggota sebagai

suatu keluarga besar yang solid dan tempat pengembangan diri, mental, moral,

sosial, intelektual dan fisik di dalam berorganisasi dan bermasyarakat. Selain

itu memiliki misi menumbuhkan rasa kekeluargaan, menciptakan kesempatan

belajar dalam kegiatan berorganisasi, memberikan pembekalan ilmu dalam

bidang pengembangan diri, mental, moral, sosial, intelektual, dan fisik di

dalam bidang kepecintaalaman. Visi misi tersebut tertuang dalam beragam

kegiatan pengembangan diri para anggotanya.

Kegiatan-kegiatan KPA ‘X’ umumnya merupakan kegiatan yang

membutuhkan kekuatan fisik yaitu kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan

alam. Kegiatannya dikemas dalam beragam kegiatan seperti Diklatsar,

pendakian gunung. Kegiatan ini ditujukan untuk menempa tidak hanya

kekuatan fisik tapi juga kekuatan kepribadian. Kegiatan-kegiatan tersebut

memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Anggota-anggotanya dilatih untuk

mampu mengatasi kesulitan yang ditemui dalam beragam kegiatan. Tingkat

kesulitan yang cukup tinggi merupakan representasi dari kesulitan dalam

(20)

memiliki peluang kegagalan yang besar. Untuk mampu mengatasi situasi yang

sulit dan keberhasilan untuk mencapai tujuan yang diinginkan melalui Visi Misinya. Para anggota KPA ‘X’ di harapkan memiliki kemampuan untuk

bertahan dan menanggulangi situasi yang sulit tersebut. Kemammpuan ini

disebut dengan Adversity Quotient.

Adversity Quotient merupakan kesanggupan seseorang untuk melihat dan mengubah persoalan menjadi sebuah kesempatan. Adversity Quotient

adalah seberapa jauh seseorang mampu bertahan menghadapi kesulitan dalam

pekerjaannya dan mengatasinya. Adversity Quotient merupakan pola

tanggapan yang ada dalam pikiran individu terhadap kesulitan, yang

selanjutnya menentukan bagaimana tindakan individu tersebut terhadap

kesulitan yang dihadapinya, Kemampuan tanggapan terhadap kesulitan adalah

kapasitas seseorang untuk mempertahankan kejelasan, fokus, dan arah di masa

yang penuh dengan kesulitan, Adversity Quotient memiliki peranan penting

dalam kehidupan anggota KPA ’X’ yang dihadapkan pada kegiatan –kegiatan

yang sulit. Adversity Quotient akan memunculkan daya saing, produktivitas,

kreatifitas, motivasi, keberanian mengambil resiko, perbaikan hidup, dan

ketekunan. Adversity Quotient juga menjadikan anggota KPA memiliki

kesediaan belajar yang lebih tinggi, ulet, dan memiliki kesehatan fisik dan

(21)

Stolzt (2000) memberikan penjelasan tentang AQ melalui 4 dimensi. Keempat dimensi tersebut adalah Control, Ownership, Reach, dan

Endurence yang disingkat dengan CORE. Dimensi yang pertama adalah

dimensi Control, yaitu kemampuan Anggota KPA untuk mengendalikan

sesuatu atau situasi yang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Kontrol atau

kendali berkaitan dengan seberapa besar kemampuan anggota untuk mampu

mengendalikan kesulitan. Kemampuan ini mencakup pengendalian terhadap

tanggung jawab yang berkaitan dengan hasi kegiatan, penyelesaian tugas dan

kerja sama dalam kelompok.

Dimensi yang kedua yaitu Ownership adalah kemampuan anggota KPA ’X’ untuk mengemban tanggung jawab dengan kemampuan

mengenali akibat dari apa yang dilakukan. Ownership meliputi tanggung

jawab terhadap materi yang dipelajari, jadwal, menanggung resiko

berorganisasi dan kuliah, menghadapi tekanan orangtua, teman dan dosen.

Dimensi berikutnya adalah Reach, yang dipahami sebagai

kemampuan seseorang untuk tidak membiarkan kesulitan yang dihadapi

menjangkau area-area kehidupan yang lain. Reach (jangkauan kesulitan)

berkaitan dengan seberapa jauh kesulitan-kesulitan yang ada mempengaruhi

bagian lain dari kehidupan anggota tersebut. Reach dijaring melalui

ketahanan dalam menjalankan kewajiban, kegigihan mencapai target yang

(22)

Dimensi terakhir adalah Endure, kemampuan Anggota KPA ’X’

mempersepsi kesulitan yang terjadi dan persepsi tentang dirinya sendiri dalam

menghadapi kesulitan-kesulitan, dimana persepsinya tersebut akan

berpengaruh pada anggota dalam menghadapi kesulitannya. Endure

digambarkan melalui ketahanan mengatasi kesulitan yang berkaitan dengan

relasi dengan dosen, kurikulum, tugas dan materi kuliah dan kesiapan

mengikuti ujian.

Interaksi antara Control, Ownership, Reach, dan Endure akan

saling mempengaruhi dan membentuk perilaku anggota KPA ’X’ dalam

menghadapi kesulitan pekerjaannya. Aspek control, ownership, reach dan

endure yang ditampilkan anggota Anggota ’X’ dalam menghadapi kesulitan pekerjaannya ini yang akan menentukan derajat Adversity Quotient nya :

tinggi, sedang, atau rendah. Pembagian ini menurut Stoltz (Stoltz, 2000), dianalogikan dengan 3 kelompok manusia yang diibaratkan sedang dalam

perjalanan mendaki gunung. AQ yang tinggi disebut dengan climbers. AQ

yang sedang disebut Campers. Kelompok ketiga yang AQnya rendah disebut

dengan Quitters.

Anggota KPA ‘X’ yang memiliki Adversity Quotient yang

tinggi atau Climber akan menunjukkan ciri-ciri CORE yang tinggi. Anggota KPA ‘X’ akan mampu bertahan dan mengatasi kesulitan dalam beragam

(23)

situasi, mampu mengambil tanggung jawab pribadi pribadi untuk menghadapi

situasi sulit, mampu fokus pada masalah yang dihadapi sehingga tidak

mempengaruhi area kehidupan lainnya, mampu mengusahakan ketahanan

yang tinggi jika berada dalam situasi sulit. Anggota KPA ‘X’ yang tergolong

dalam kategori Climber memiliki ciri-ciri mampu mengendalikan kesulitan,

secara positif mampu mempengaruhi situasi, mengendalikan usaha, cepat

pulih dari kegagalan dan selalu berusaha menyelesaikan masalah hingga

tuntas.

Anggota KPA ‘X’ yang tergolong dalam Camper atau memiliki AQ sedang menunjukkan Aspek-aspek CORE yang sedang. Anggota KPA ‘X’ yang memiliki AQ sedang memiliki kemampuan yang cukup dalam

pengendalian namun pengendalian menjadi kurang memadai jika dihadapkan

pada tinggkat kesulitan yang tinggi, tanggung jawab terhadap masalah yang

dihadapi cukup namun jika dihadapkan pada kondisi yang makin sulit maka

cenderung mempersalahkan lingkungan. Anggota KPA ‘X’ yang memiliki

AQ yang sedang menunjukkan pula kecenderungan memahami situasi atau

kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya sementara, namun cenderung mudah

putus asa jika tingkat kesulitannya bertambah. Ciri-ciri Anggota KPA ‘X’

dengan AQ sedang adalah mudah menyerah, merasa terbebani serta mudah

putus asa jika dihadapkan pada sesuatu hal yang tingkat kesulitannya semakin

(24)

Kategori terakhir dari Adversity Quotient adalah Quitter Anggota KPA ‘X’ yang tergolong dalam Quitter atau memiliki AQ rendah

menunjukkan Aspek-aspek CORE yang rendah. Kelompok ini

menggambarkan kemampuan yang kurang dalam hal daya tahan dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah yang sulit. Anggota KPA ‘X’

dengan Adversity Quotient yang rendah memiliki kemampuan yang kurang

dalam pengendalian terhadap kesulitan, kurang mampu bertanggung jawab

jika dihadapkan pada situasi yang sulit, memandang satu permasalahan

kehidupan sebagai representasi dari semua area kehidupannya dan kurang

mampu mengerahkan energy untuk tekun menyelesaikan semua

permasalahannya. Kelompok ini memiliki ciri-ciri membiarkan kesulitannya

semakin menumpuk, tidak bertanggung jawab pada penyelesaian dan

tugas-tugas dan penyelesaian studinya, tidak mampu memilah-milah permasalahan,

cenderung mencapur adukkan permasalahan dan mudah menyerah.

Adversity Quotient anggota ’KPA’X dipengaruhi oleh beberapa karakter yang dianggap mendukung kemampuan seseorang dalam

menghadapi kesulitan. Stolzt (2007) menganalogikan karakter ini melalui

simbol kekuatan pohon, melalui simbol akar, batang, ranting atau dahan serta

daun. Aversity Quotient dipengaruhi oleh karakter yang dilambangkan dengan

akar pohon sebagai landasan dalam menghadapi kesulitan hidup. Karakter

(25)

belajar), dan keyakinan. Ketiganya merupakan dasar bagi perkembangan kemampuan anggota KPA ’X’dalam menghadapi kesulitan hidup.

Faktor kedua, diibaratkan Stolzt (2007) sebagai batang yang berfungsi

sebagai penopang pohon. Batang merupakan simbol dari kesehatan,

kecerdasan dan kedisiplinan. Batang itu fungsinya sebagai perwujudan dari

kekuatan akar. Faktor berikutnya adalah karakter, yang disimbolkan dengan

ranting atau dahan yaitu kemampuan menyelesaikan masalah, bertanggung

jawab dan kesungguhan atau motivasi menyelesaikan masalah. Faktor ini

merupakan perwujudan dari kekuatan landasan dari karakter yang ditopang

sebelumnya. Faktor terakhir yaitu daun, yang menyimbolkan hasil kerja yang

dapat memperkuat ketahanan seseorang untuk mengatasi kesulitan hidup.

(26)

Dari uraian di atas maka peneliti membuat skema berpikir seperti

(27)

1.6 Asumsi

Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka peneliti dapat menarik asumsi sebagai berikut :

Situasi adverse (mencekam) membutuhkan seseorang untuk memiliki kemampuan untuk bertahan dalamsituasi tersebut dan mangatasi kesulitan yang muncul

Adversity Quotions dipahami melalui 4 dimensi, yaitu Control, Ownership, Reach dan Endurence.

Penghayatan pada dimensi Control, Ownership, Reach, dan Endurence akan menentukan derajat Adversity Quotions, yang dikategorikan tinggi (Climber), Sedang (Campers) dan Rendah (Quitters).

(28)

5.1 Kesimpulan

Dari hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap anggota KPA „X‟, maka

dapat ditarik kesimpulan, yaitu :

1. Sebanyak 97.5 % anggota KPA „X‟ memiliki derajat AQ yang sedang atau

disebut dengan camper. lni berarti anggota KPA „X‟ memiliki kemampuan

yang cukup dalam bertahan menghadapi kesulitan serta kemampuan yang

cukup dalam menghadapi kesulitan tersebut, namun tidak berupaya untuk

mengembangkan diri dan mengerahkan usaha yang lebih untuk mengatasi

usaha.

2. Sebanyak 70 % anggota KPA „X‟, memiliki aspek control pada derajat

sedang. Hal ini berarti bahwa cukupnya kemampuan dalam menghadapi dan

mengatasi kesulitan ditunjang oleh kemampuan yang cukup pula dalam

mengendalikan sesuatu. Hal ini menunjukkan anggota KPA „X‟ kurang

memiliki otoritas dalam menegakkan kendali terhadap beragam kondisi yang

(29)

3. Sebanyak 70 % anggota KPA „X‟, memiliki daya tahan terhadap kesulitan

(endure) yang sedang. Hal ini menggambarkan daya tahan anggota KPA „X‟

terhadap kesulitan tidak cukup kuat.

4. Sebanyak 65 % anggota KPA “X”, memiliki tingkat jangkauan (reach) yang

sedang. Hal ini menunjukkan anggota KPA „X‟ memiliki kemampuan

menghadapi kesulitan dan tantangan yang tergolong sedang karena

permasalahan yang dihadapi dianggap sebagai kesulitan yang sulit diatasi dan

meluas kebeberapa area kehidupan.

5. Sebanyak 55 % anggota KPA „X‟, menunjukkan ownership atau tanggung

jawab pada penyelesaian masalah pada derajat sedang. Hal ini

menggambarkan kemampuan mengemban tanggung jawab minimal dari

tugas-tugas yang harus dilaksanakannya.

6. Terdapat keterkaitan antara Adversity Quotient yang sedang dengan

faktor-faktor kesehatan, keyakinan, problem solving, motivasi, dan kinerja yang

tergolong tinggi.

7. Terdapat keterkaitan antara Adversity Quotient yang sedang dengan faktor

kedisiplinan yang tergolong rendah.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka peneliti memberi saran bagi penelitian

(30)

5.2.1 Saran Teoritis

1. Disarankan melakukan penelitian lanjutan untuk meneliti signifikansi

keterkaitan masing-masing aspek dengan AQ.

2. Bagi peneliti lain yang tertarik tentang AQ , disarankan melakukan

penelitian lanjutan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi AQ

sehingga dapat diketahui bagaimana kontribusi masing-masing factor

terhadap aspek-aspek dari AQ khusunya dan keterkaitannya AQ pada

umumnya.

3. Untuk memperoleh gambaran yang akurat akan keterkaitan antara AQ

dengan faktor-faktornya, diperlukan seperangkat alat ukur untuk

mengetahui faktor-faktor yang valid dan reliabel.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi anggota kelompok pencinta alam “X” dengan informasi tentang

kategori AQ yang dimiliki yang mayoritas berada pada kelompok sedang

atau camper. Sehingga mereka memahami di satu sisi bahwa mereka

cukup menanggapi tantangan dan berupaya mencapai tingkat tertentu

untuk menghadapi kesulitan namun kurang berupaya untuk

mengembangkan diri karena cepat puas dengan apa yang sudah diraih.

Berdasarkan pemahaman ini diharapkan masing-masing anggota dapat

(31)

2. Bagi kelompok KPA „X‟, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

informasi untuk merancang suatu intervensi untuk meningkatkan AQ

anggota-anggotanya sehingga menjadi individu yang handal dalam menjalani beragam kegiatan yang berat di KPA „X‟ dan mampu

menghadapi beragam permasalahan yang muncul dalam kehidupan

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Gulo, W. (2002) METODE PENELITIAN. Jakarta : Grasindo.

Siegel, Sidney.1997. Statistik Nonparametrik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT. Gramedia.

Stoltz, Paul G. 2000. Adversity quotient : Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta : PT. Grasindo.

Referensi

Dokumen terkait

− Tindakan perbaikan ke-1 (21 Oktober 2016).. Hasil verifikasi tindakan perbaikan telah dinyatakan memenuhi. Target persentase tindak lanjut atas hasil pengawasan eksternal

Sama halnya pada ampermeter, kalibrasi voltmeter arus searah dilakukan dengan cara membandingkan harga tegangan yang terukur voltmeter yang dikalibrasi (V) dengan voltmeter..

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat determinasi yang positif dan signifikan antara nilai ujian nasional dengan prestasi belajar matematika siswa kelas X di SMA

Saya I Dewa Made Agus Pramana, ST, mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Sumatera Utara sedang melakukan Penelitian tentang Analisis

Singapura tidak dikenakan pajak. !ung !unga" untu a" untuk bunga yang di k bunga yang dibay bayark arkan oleh per an oleh perusa usahaa haan yang berke n yang

Tingginya peluang anak dengan bulu putih disebabkan oleh gen inhibitor yang tidak komplit akan menutup semua pigmen bulu yang berwarna, meskipun pada anak tersebut terdapat

Sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memperoleh data terhadap sifat diskriminasi Peraturan Walikota Nomor 85

dengan penelitian pembuatan kamus elektronik Indonesia – Arab, yaitu