• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user 1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kurikulum 2013 adalah kurikulum berbasis kompetensi yang diarahkan pada pencapaian kompetensi yang dirumuskan dari kompetensi inti lulusan.

Proses pembelajaran pada kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar karakteristik kompetensi pengetahuan yang diajarkan secara langsung, keterampilan kognitif dan psikomotorik bersifat pengembangan yang dilatih dan diajarkan langsung, dan sikap bersifat pengembangan melalui proses pembelajaran yang tidak langsung (Kemendikbud. 2013: 87).

Berdasarkan kompetensi inti lulusan pada kurikulum 2013 pada aspek keterampilan menuntut siswa memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret (Kemendikbud. 2013: 105).

Kemampuan pikir dalam ranah abstrak salah satunya adalah kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi yang menuntut siswa menjadi pebelajar aktif karena siswa melakukan kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan mencipta (Conklin, 2012: 21). Menurut Facione (2015:3) berpikir kritis adalah berpikir yang memiliki tujuan membuktikan sebuah kasus, menginterpretasikan apa yang terjadi, dan menyelesaikan masalah. Indikator berpikir kritis menurut Facione (2015:5) yaitu menginterpretasikan, menginferensi, mengatur diri, menganalisis, mengevaluasi, dan mengeksplanasi.

Berdasarkan teori tahap perkembangan kognitif Piaget, siswa SMP merupakan siswa yang telah mencapai tahapan operasi formal pada umur 11 sampai masa dewasa, sehingga mampu untuk berpikir abstrak, berpikir hipotesis (dugaan sementara), dan alasan logis abstrak (Fleming, 2004: 16).

Kemampuan berpikir kritis penting dimiliki siswa dalam pembelajaran IPA karena pada pembelajaran IPA siswa dituntut untuk mengenal dan memecahkan masalah, menginferensi, menganalisis, menyimpulkan dan mengevaluasi. Manfaat

(2)

commit to user

kemampuan berpikir kritis pada saat ini adalah meningkatkan penghargaan akademik bagi siswa sebagai pembelajar sepanjang hayat (Conklin, 2012: 21).

Berdasarkan hasil penelitian Sung, H.Y., Hwang, G.J., & Chang, H.S. (2015) menyimpulkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa meningkat, maka hasil belajar siswa juga meningkat secara signifikan. Selain itu, manfaat di masa mendatang adalah sebagai bekal dalam persaingan kemajuan teknologi informasi, masalah lingkungan hidup, ekonomi berbasis pengetahuan yang membutuhkan kemampuan berpikir kritis (Kemendikbud. 2013: 74). Manfaat lain memiliki kemampuan berpikir kritis adalah menunjukkan motivasi instrinsik yang konsisten untuk menyadari, ingin tahu, terorganisir, analitis, percaya diri, toleran, bijaksana ketika menimbang suatu alternatif solusi, intelektual jujur ketika menilai penerimaan ide-ide dan filosofi sebagai kebenaran orang lain atau ketika ditantang oleh situasi (Tan. 2004: 51).

Kemampuan berpikir kritis siswa di Indonesia memprihatinkan. Hal ini ditunjukkan pada hasil penelitian Maasawet (2008:2) yang menyatakan 47%

dengan kriteria cukup baik, guru di SMP Samarinda belum melatihkan kemampuan berpikir kritis siswa. Penelitian Afrizon (2012: 15) di MTsN Model Padang menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa sebesar 11,76%

dengan kriteria sangat kurang baik. Kemampuan berpikir kritis siswa di Malang sebesar 45,14% dengan kriteria cukup baik (Pratiwi. 2013 :7). Kemampuan pemecahan masalah dengan persentase sebesar 50% dengan kategori cukup baik di SMP Negeri 3 Sidemen kelas VIII (Arimbawa. 2013: 5). Berdasarkan data hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa di Indonesia memprihatinkan.

Permasalahan rendahnya kemampuan berpikir kritis siswa juga terjadi di SMP Negeri 1 Gedangan. Berdasarkan tes kemampuan berpikir kritis menurut Facione yang diberikan kepada siswa SMP Negeri 1 Gedangan diperoleh data sebagai berikut: kemampuan interpretasi sebesar 70,27% dengan kriteria baik;

kemampuan inferensi sebesar 47,03% dengan kriteria cukup; kemampuan analisis sebesar 66,67% dengan kriteria baik; kemampuan evaluasi sebesar 87,39%

dengan kriteria sangat baik; kemampuan regulasi diri (self regulation) sebesar

(3)

commit to user

42,34% dengan kriteria cukup; dan kemampuan eksplanasi sebesar 33,98%

dengan kriteria kurang baik. Rata-rata keseluruhan indikator kemampuan berpikir kritis siswa yaitu 51,35% dengan kriteria cukup. Hal tersebut menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa masih sangatlah kurang optimal.

Salah satu strategi untuk meningkatkan berpikir kritis siswa adalah dengan menumbuhkan keinginan dan melatih siswa untuk berpikir kritis. Pendidik membutuhkan sarana agar dapat melatihkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Sarana yang mendukung siswa untuk melatihkan kemampuan berpikir kritis berupa bahan ajar.

Modul merupakan salah satu bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa sesuai dengan tingkat pengetahuan dan usianya agar mereka dapat belajar mandiri dengan bimbingan dari guru (Prastowo. 2014: 209). Selain itu, siswa dapat mengukur tingkat kemampuan mereka dengan mengerjakan soal evaluasi yang terdapat pada modul (Prastowo. 2011: 106). Hal ini sesuai dengan karakteristik siswa SMP Negeri 1 Gedangan yang memiliki kecepatan belajar yang berbeda-beda.

Standar modul yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis meliputi modul yang memuat indikator-indikator kemampuan berpikir kritis menurut Facione (2015:3) yaitu menginterpretasikan, menginferensi, mengatur diri, menganalisis, mengevaluasi, dan mengeksplanasi. Kegiatan menginterpretasi adalah kegiatan yang menyajikan fenomena-fenomena permasalahan dalam kehidupan sehari-hari yang bertujuan untuk mengartikan atau memahami suatu masalah terhadap fenomena yang disajikan (Facione. 2015: 5). Kegiatan meregulasi diri adalah kegiatan yang menyajikan prosedur atau langkah kerja atas solusi penyelesaian masalah bertujuan untuk memantau aktivitas kognitif seseorang, dan hasil perkembangan khususnya dengan menerapkan kemampuan dalam menganalisis dan mengevaluasi kepada penilai penyimpulan dengan pandangan terhadap pertanyaan, konfirmasi, validasi, atau pembetulan dari hasil atau alasan (Facione. 2015: 7). Kegiatan menganalisis adalah kegiatan yang menyajikan analisis data dari pengamatan atau percobaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan di antara dua

(4)

commit to user

pendekatan pada solusi sebuah masalah yang diberikan (Filsaime. 2008: 66).

Kegiatan menginferensi adalah kegiatan yang menyajikan siswa menyimpulkan berdasarkan hasil data pengamatan atau percobaan bertujuan untuk menggambarkan kesimpulan yang beralasan, dan untuk mempertimbangkan informasi yang relevan (Facione. 2015: 6). 5). Kegiatan mengevaluasi adalah kegiatan yang menyajikan suatu masalah yang sudah ada untuk mengambil keputusan berdasarkan kriteria bertujuan untuk penaksiran kepercayaan (kredibilitas) dari pernyataan atau perwakilan dari deskripsi seseorang yang ahli dalam persepsi, pengalaman, penilaian, untuk penafsiran kemampuan logikal yang sebenarnya, dan memberikan keputusan tentang nilai yang diukur (Facione. 2015:

6). Kegiatan mengeksplanasi adalah kegiatan yang menyajikan suatu perbedaan peristiwa yang saling berkaitan bertujuan untuk menjelaskan hasil, prosedur penilaian, dan mempertahankan alasan yang baik serta penjelasan konseptual dari suatu peristiwa atau pandangan tertentu (Facione. 2015: 6).

Hasil analisis buku IPA BSE kelas VII SMP (Teguh Sugiyarto dan Eny Ismawati) menunjukkan bahwa pelatihan kemampuan berpikir kritis pada buku tersebut belum diberdayakan secara optimal. Kegiatan pada buku yang melatih kemampuan berpikir kritis meliputi: menginterpretasi sebesar 25% dengan kriteria kurang; meregulasi diri sebesar 25% dengan kriteria kurang; menganalisis sebesar 75% dengan kriteria baik; menginferensi sebesar 25% dengan kriteria kurang;

mengevaluasi sebesar 25% dengan kriteria kurang dan mengeksplanasi 25%

dengan kriteria kurang. Siswa langsung disajikan kegiatan percobaan yang tersedia rumusan masalah, langkah-langkah kegiatan yang dilakukan untuk memecahkan masalah, dan meminta siswa membuat kesimpulan. Sedangkan, buku IPA kurikulum 2013 sudah mengembangkan indikator kemampuan berpikir kritis yaitu menganalisis sebesar 75% dengan kriteria baik; mengevaluasi sebesar 75% dengan kriteria baik; menginferensi sebesar 75% dengan kriteria baik; dan mengeksplanasi sebesar 100% dengan kriteria sangat baik;. Namun, belum memberdayakan kegiatan menginterpretasi sebesar 25% dengan kriteria kurang;

dan meregulasi diri sebesar 25% dengan kriteria kurang.

(5)

commit to user

Hasil angket analisis kebutuhan siswa menunjukkan bahwa: a) persentase siswa yang tidak memiliki buku teks atau pegangan lain untuk belajar materi IPA selain BSE dari Sekolah sebesar 89,66 %; b) persentase siswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari materi IPA pada bahan ajar yang digunakan di Sekolah sebesar 51,72%; c) persentase siswa yang tidak pernah mempelajari modul untuk belajar IPA adalah 100%; d) persentase siswa membutuhkan modul untuk mempermudah pemahaman materi IPA sebesar 100%; e) persentase siswa membutuhkan modul yang didukung dengan latihan soal untuk melatihkan kemampuan berpikir kritis sebesar 100%. Hasil angket kebutuhan siswa menunjukkan bahwa dibutuhkan bahan ajar IPA di SMP Negeri 1 Gedangan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

Hasil analisis kebutuhan guru menunjukkan bahwa: a) persentase guru memiliki buku pegangan lain selain BSE di Sekolah sebesar 100%; b) persentase guru yang tidak memiliki bahan ajar yang berupa modul IPA berbasis Problem Based Learning sebesar 100%; c) persentase guru yang memiliki kesulitan pada

materi kalor dan perpindahan dikarenakan keterbatasan sumber belajar sebesar 100%; d) persentase guru membutuhkan bahan ajar berupa modul dengan sintaks Problem Based Learning yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan

berpikir kritis siswa sebesar 100%.

Berdasarkan data hasil nilai ujian nasional (UN) siswa SMP Negeri 1 Gedangan pada tahun 2013/2014 rata-rata hasil UN bidang studi IPA sebesar 7,61.

Kemampuan daya serap yang siswa paling rendah pada materi zat dan kalor sebesar 65,04% dibandingkan dengan materi yang lainnya. Berikut rincian perbandingan persentase penguasaan IPA pada materi zat dan kalor di SMP Negeri 1 Gedangan, Kota/Kab sebesar 73,83%; Propinsi sebesar 73,82; dan Nasional sebesar 67,41%.

Kurikulum 2013 materi IPA tentang Kalor dan perpindahannya pada Kompetensi Dasar 3.7 yakni memahami konsep suhu, pemuaian, kalor, perpindahan kalor, dan penerapannya dalam mekanisme menjaga kestabilan suhu tubuh pada manusia dan hewan serta dalam kehidupan sehari-hari. 4.10 yaitu melakukan percobaan untuk menyelidiki suhu dan perubahannya serta pengaruh

(6)

commit to user

kalor terhadap perubahan suhu dan perubahan wujud benda. 4.11 yaitu melakukan penyelidikan terhadap karakteristik perambatan kalor secara konduksi, konveksi, dan radiasi.

Penelitian Husein (2015) menunjukkan bahwa materi kalor dapat melatih logika berpikir siswa dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dibuktikan bahwa rata-rata N- Gain score kelas eksperimen sebesar 61% dan kelas kontrol sebesar 54% dengan

kriteria sedang.

Berdasarkan pada kompetensi inti lulusan (SKL) kurikulum 2013 aspek pengetahuan sebagai berikut: memiliki pengetahuan prosedural dan metakognitif dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni, budaya, humaniora dengan wawasan kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban, serta terkait penyebab fenomena dan kejadian yang tampak mata yang mencakup penyebab, alternatif solusi, kendala dan solusi akhir (Kemendikbud. 2013: 105).

Sehubungan dengan kompetensi inti lulusan pentingnya penyebab peristiwa atau fenomena pada kehidupan sehari-hari dapat diselesaikan proses pemecahan masalahnya sebagai suatu solusi terhadap fenomena tersebut. Problem Based Learning (PBL) dirancang untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan

berpikir, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan intelektualnya;

mempelajari peran-peran orang dewasa dengan mengalaminya melalui berbagai situasi riil atau situasi yang disimulasikan, dan menjadi pelajar yang mandiri (Arends. 2008: 43).

PBL merupakan model pembelajaran yang mendorong siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan penyelesaian masalah yang bisa menjadi pengalaman sepanjang hidup (Tan. 2004: 46).

Menurut Ibrahim (2005: 5), pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Learning) merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai

titik awal untuk mengakuisisi pengetahuan baru. PBL merupakan model pembelajaran yang menggunakan masalah pada kehidupan kontekstual bagi siswa untuk belajar cara berpikir kritis dalam menyelesaikan masalah serta memperoleh konsep dari materi pelajaran, dan menghasilkan suatu produk hasil karya berupa

(7)

commit to user

alat maupun poster yang merupakan suatu hasil dari solusi penyelesaian masalah.

Kelas yang menerapkan pembelajaran masalah, siswa bekerja dalam tim untuk memecahkan masalah dunia nyata (Kemendikbud. 2013: 238). Keterlibatan dengan masalah dan proses penyelidikan masalah dapat menstimulasi belajar dan perkembangan pengetahuan melalui proses kerjasama sosial dan evaluasi terhadap nilai dari satu titik pandang. Keefektifan PBL adalah mengajarkan dengan perancah (scaffolding) dan teknik pertanyaan. Dalam kehidupan nyata, ilmuwan, wirausahawan, dan pembuat keputusan yang efektif mengetahui bagaimana menanyakan pertanyaan yang baik untuk membantu pencapaian solusi (Tan.

2004: 12).

Berdasarkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan diperlukan solusi untuk mengatasi masalah pembelajaran. Salah satu alternatif solusi yaitu pengembangan bahan ajar IPA berupa modul berbasis Problem Based Learning yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik modul IPA berbasis Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP kelas VII?

2. Bagaimana kelayakan Modul IPA berbasis Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP kelas VII?

3. Bagaimana keefektifan modul IPA berbasis Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP kelas VII?

C. Tujuan Pengembangan

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan karakteristik modul IPA berbasis Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP kelas VII.

(8)

commit to user

2. Mendeskripsikan kelayakan Modul IPA berbasis Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP kelas VII.

3. Mendeskripsikan keefektifan modul IPA berbasis Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa SMP kelas VII.

D. Pentingnya Pengembangan

Dari penelitian pengembangan modul pembelajaran dapat diperoleh pentingnya pengembangan antara lain:

1. Manfaat Teoritis

a. Meningkatkan kualitas pembelajaran dari segi ketersediaan sumber belajar.

b. Membantu guru untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis, karena siswa melakukan pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Learning).

c. Memberikan alternatif pemilihan bahan ajar yang dapat digunakan pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Siswa

a) Menyediakan alternatif sumber belajar yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan mengkaitkan dalam kehidupan sehari-hari.

b) Memberikan suasana yang kondusif dan variatif sehingga pembelajaran IPA dapat berlangsung menyenangkan.

c) Memberikan paradigma baru bahwa IPA merupakan suatu mata pelajaran sains yang melibatkan aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

b. Bagi Guru

a) Hasil penelitian pengembangan modul ini dapat menjadi referensi bagi guru untuk membuat bahan ajar kurikulum 2013 yang menarik dan menyenangkan untuk siswa.

(9)

commit to user

b) Hasil penelitian pengembangan dapat digunakan sebagai literatur untuk menyusun bahan ajar IPA sesuai dengan analisis kebutuhan siswa di Sekolah.

E. Spesifikasi Produk yang Dikembangkan

Pada penelitian ini, spesifikasi produk yang dikembangkan adalah modul IPA guru dan modul IPA siswa cetak berbasis masalah pada materi kalor dan perpindahan yaitu:

1. Modul siswa cetak IPA Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan memiliki sub bagian yaitu: Kata Pengantar, Petunjuk Siswa, Peta Konsep, Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) pada materi kalor dan perpindahan, Kegiatan Belajar Memuat Merumuskan Masalah, Merumuskan Hipotesis, Mengumpulkan Data, Menguji Hipotesis, Menentukan Alternatif Penyelesaian (Aplikasi), Info Sains, Contoh Soal, Soal berpikir kritis, Uji Kompetensi, Glosarium, dan Daftar Pustaka.

2. Modul guru cetak IPA Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan memiliki sub bagian yaitu: Kata Pengantar, Peta Isi Modul, Petunjuk Guru, Pendahuluan, Rekomendasi skenario pembelajaran 1, kunci jawaban kegiatan belajar 1, Rekomendasi skenario pembelajaran 2, kunci jawaban kegiatan belajar 2, Rekomendasi skenario pembelajaran 3, kunci jawaban kegiatan belajar 3. Pada modul guru semua kegiatan dan soal berpikir kritis sudah ada jawabannya, bertujuan untuk memberi pedoman atau petunjuk kepada guru agar sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai.

F. Asumsi dan Keterbatasan Pengembangan

Penelitian ini memiliki asumsi dan keterbatasan pengembangan meliputi:

1) Asumsi Pengembangan Modul

Pengembangan modul IPA Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan dengan asumsi sebagai berikut:

a. Modul Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan layak diterapkan pada pembelajaran IPA.

b. Modul Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan efektif diterapkan pada pembelajaran IPA.

(10)

commit to user

c. Modul Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa.

2) Keterbatasan Pengembangan Modul

Pengembangan modul IPA Problem Based Learning pada materi kalor dan perpindahan memiliki keterbatasan sebagai berikut:

a. Pembahasan pada modul ini terbatas pada materi yang berhubungan dengan kalor dan perpindahan.

b. Modul ditinjau oleh dosen pembimbing, ahli media dan materi, ahli desain dan keterbacaan, guru IPA dan peer review untuk memberikan masukkan.

c. Kelayakan modul dinilai oleh validator ahli materi, ahli desain dan keterbacaan, guru IPA, dan siswa.

d. Keefektifan modul dinilai dari peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa berdasarkan KKM pada saat mengerjakan soal berpikir kritis pada akhir kegiatan belajar.

e. Pengembangan modul ini dilakukan di SMP Negeri 1 Gedangan.

f. Modul IPA berbasis Problem Based Learning yang dikembangkan mengacu pada Sanjaya (2013), sehingga tidak menggunakan fase penyajian hasil karya siswa dan tidak menghasilkan produk berupa alat atau poster.

G. Definisi Istilah

Penjelasan tentang beberapa istilah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Modul

Modul merupakan sebuah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa sesuai dengan tingkat pengetahuan dan usianya agar mereka dapat belajar mandiri dengan bimbingan dari guru (Prastowo. 2014: 209).

b. Problem Based Learning

Menurut Ibrahim (2005: 5), pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Learning) merupakan suatu model pembelajaran yang menggunakan

(11)

commit to user

masalah sebagai titik awal untuk mengakuisisi pengetahuan baru. Pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Learning) yang digunakan pada penelitian ini meliputi merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data, pengujian hipotesis, dan menentukan alternatif penyelesaian.

c. Modul IPA berbasis Problem Based Learning

Bahan ajar yang berbasis masalah (Problem Based Learning/PBL) meliputi kemampuan interpretasi (membuat rumusan masalah), kemampuan inferensi (membuat hipotesis), kemampuan regulasi diri (mengumpulkan data), kemampuan analisis dan evaluasi (menguji hipotesis), kemampuan eksplanasi (menentukan pilihan penyelesaian).

d. Kalor dan Perpindahan

Kurikulum 2013 materi IPA tentang pada Kompetensi Dasar 3.7 yaitu memahami konsep suhu, pemuaian, kalor, perpindahan kalor, dan penerapannya dalam mekanisme menjaga kestabilan suhu tubuh pada manusia dan hewan serta dalam kehidupan sehari-hari. 4.10 yaitu melakukan percobaan untuk menyelidiki suhu dan perubahannya serta pengaruh kalor terhadap perubahan suhu dan perubahan wujud benda. 4.11 yaitu melakukan penyelidikan terhadap karakteristik perambatan kalor secara konduksi, konveksi, dan radiasi.

e. Berpikir Kritis

Menurut Facione (2015: 4) berpikir kritis adalah berpikir yang memiliki tujuan membuktikan sebuah kasus, menginterpretasikan apa yang terjadi, menyelesaikan masalah. Indikator berpikir kritis menurut Facione (2015:5) yakni menginterpretasikan, menginferensi, mengatur diri, menganalisis, mengevaluasi, dan mengeksplanasi.

Referensi

Dokumen terkait

Lalu mereka pun akan ber- tanya kepada-Nya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar, atau haus, atau sebagai orang asing, atau telanjang atau sakit, atau dalam

Analisis varians varians dipergunakan untuk menguji perbedaan rata-rata hitung jika dipergunakan untuk menguji perbedaan rata-rata hitung jika kelompok sampel yang diuji lebih

Kekuatan dari animasi pendek ini adalah cerita yang dalam mengenai hubungan ayah dan anak, bagaimana kita melihat perspektif dari orang tua bukan dari anak

Posted at the Zurich Open Repository and Archive, University of Zurich. Horunā, anbēru, soshite sonogo jinruigakuteki shiten ni okeru Suisu jin no Nihon zō. Nihon to Suisu no kōryū

Pada tahap Siklus I dan Siklus II yang dilakukan dengan bantuan Perangkat Lunak AutoCAD pada pembelajaran Kompetensi Menggambar Simbol-Simbol Kelistrikan pada

[r]

Go-Food adalah layanan jasa sistem online dalam bentuk melakukan beli dan antar makanan yang telah dipilih oleh pelanggan sesuai pilihan menu dari restoran

Pada tahap pertama ini kajian difokuskan pada kajian yang sifatnya linguistis antropologis untuk mengetahui : bentuk teks atau naskah yang memuat bentuk