• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. media cetak, media elektronik dan media internet. Media cetak sebagai contohnya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN. media cetak, media elektronik dan media internet. Media cetak sebagai contohnya"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Ada beberapa bentuk media massa yang beredar di masyarakat, yaitu media cetak, media elektronik dan media internet. Media cetak sebagai contohnya media surat kabar, majalah, dan tabloid. Bentuk media lainnya adalah media elektronik contohnya adalah media televisi dan radio. Sekarang ada juga bentuk media baru yang digunakan sebagai alat penyebaran informasi yaitu media internet. Melalui berbagai bentuk media massa tersebut kebutuhan masyarakat akan informasi bisa terpenuhi.

Salah satu bentuk media massa yang masih populer di masyarakat adalah bentuk media cetak, termasuk di dalamnya adalah media majalah. Terdapat ratusan judul terbitan majalah yang beredar di Indonesia, tema dan segmentasi dari penerbit majalah sangatlah beragam, ada majalah yang khusus membahas politik, olahraga, kuliner, fashion, gaya hidup, dan masih banyak tema lainnya.

Melalui majalah kebutuhan masyarkat akan informasi bisa terpenuhi, karena majalah bisa membahas suatu topik lebih mendalam dari pada media lainnya dan juga media majalah memiliki kemasan penulisan yang menarik.

Media massa khususnya majalah juga merupakan media yang baik dalam memasarkan produk melalui iklan yang dicetak di dalam majalah. Sifat media massa yang tersebar luas ke masyarakat tentu memberikan keuntungan untuk menyebarkan iklan agar iklan yang ditayangkan dapat sampai ke masyarakat luas.

Iklan yang biasanya dicetak di dalam majalah juga sangat beragam, mulai dari

(2)

commit to user

iklan produk makanan, alat transportasi, alat elektronik, fashion, dan produk lainnya dapat diiklankan melalui majalah. Gambar yang dicetak di dalam iklan dapat dibuat sebaik mungkin agar menarik perhatian pembaca untuk menggunakan produk atau jasa yang ditawarkan. Gambar yang dicetak bisa mengenai gambar produk yang ditawarkan, ataupun dengan menggunakan model sebagai objek iklannya.

Lebih jauh lagi, fenomena munculnya pria sebagai model di dalam iklan sudah cukup marak. Tidak sedikit juga model pria yang digambarkan di dalam iklan yang terbit di majalah, mulai dari produk elektronik hingga produk perawatan tubuh. Gambar yang menunjukan sosok pria di iklan majalah cukup beragam, ada yang digambarkan sedang melakukan aktivitas olah raga, berlatar belakang perkotaan, memainkan alat musik, bersosialisasi dengan temannya dan banyak lainnya. Iklan yang ada di majalah menggambarkan pria sebagai pusat perhatian, dengan pakaian yang cukup trendy dan juga wajah dan tubuh yang terawat.

Sejalan dengan fenomena tersebut, dalam beberapa penelitian yang menunjukan bahwa terdapat peningkatan kemunculan sosok pria sebagai pusat perhatian di dalam media massa khususnya iklan di majalah. Dalam sebuah jurnal

“Investigating Hegemonic Masculinity - Sex Roles” menemukan bahwa ada peningkatan penggambaran pria sebagai objek di majalah baik dalam artikel majalah maupun iklan di majalah, bahkan kebanyakan digambarkan lebih sensual dan menampilkan bentuk tubuh mereka (Ricciardelli, 2010:64-78). Menurut Rohlinger (2002) dalam jurnalnya “Erotizing Men: Cultural Influences on

(3)

commit to user

Advertising and Male Objectification” mengatakan bahwa dalam era post industrial sekarang ini para pengiklan sedang berlomba untuk mencari pasar baru.

Imaji laki-laki yang maskulin kemudian dijual, imaji yang mempresentasikan maskulinitas laki-laki melalui penampakan fisik ideal laki-laki dijadikan

‘pajangan’ dalam iklan. Dalam penelitian yang dimuat dalam sebuah jurnal “Men, appearences and Cosmetic Surgery”, bahkan menyebutkan belakangan ini citra tubuh pria semakin terlihat dan sensual, sebagai contoh iklan yang menampilkan sosok pria seperti produk Calvin Klein, Dolce and Gabbana semakin sering terlihat di majalah dan billboard. (Rosemary, 2010).

Melihat seringnya muncul citra pria yang ada di iklan majalah sebagai pusat perhatian dengan wajah dan tubuh yang terawat, ternyata sejalan dengan peningkatan konsumsi produk perawatan pria. Melalui terpaan media yang menggambarkan citra maskulinitas pria yang memiliki tubuh dan wajah terawat ternyata mempengaruhi konsumsi masyarakat terhadap produk perawatan tubuh.

Konsumsi produk perawatan tubuh pria sendiri sudah mengalami peningkatan yang cukup besar, dalam berita dari portal berita Detik diberitakan bahwa tahun 2010 saja di dalam negeri telah terjadi peningkatan konsumsi pria dalam menggunakan produk perawatan tubuh hingga 11 triliun rupiah (http://finance.detik.com ,diakses pada tanggal 17 April 2013).

Tidak hanya itu, riset Nielsen juga telah mengungkapkan bahwa ada peningkatan 15% dalam pembelanjaan pria untuk produk perawatan diri pada tahun 2010. Hasil survei Nielsen menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kepedulian yang sama ketika berbicara mengenai penampilan dan

(4)

commit to user

fashion. Dua per tiga dari kedua gender ini setuju bahwa penting bagi mereka untuk terlihat muda; dan lebih dari setengah jumlah penduduk laki-laki dan perempuan juga setuju bahwa penting terlihat menarik bagi lawan jenis.

(http://www.marketing.co.id ,diakses pada tanggal 17 April 2013). Hasil survei Nielsen tersebut berdasarkan kebisaaan belanja pada 4.550 rumah tangga di Jakarta, Bandung, Semarang, Medan, dan Surabaya. Hasil survei itu mewakili 25,5 juta penduduk di Indonesia. Jumlah pembelian produk untuk pria juga meningkat di lima kota besar tersebut. Di Jakarta, pertumbuhan pembelian produk pria sepanjang 2009-2010 meningkat 55 %, di Bandung sebanyak 63 %, di Surabaya sebanyak 66 %, di Semarang sebanyak 63 %, dan Medan sebanyak 59

%. (http://bataviase.co.id/, diakses pada tanggal 28 Januari 2013).

Sementara itu hasil penelitian Mintel yaitu sebuah perusahaan penelitian pasar, menunjukan bahwa penjualan produk perawatan kulit untuk pria meningkat 20 persen dalam lima tahun terakhir, yaitu produk kosmetik pelembab paling diburu oleh kaum pria sebesar 42 persen, sementara pembersih wajah digunakan oleh sekitar 22 persen. Tidak hanya itu, sebanyak 23 persen pria menggunakan lip balm, sementara 16 persen menggunakan tisu wajah. Produk komestik lainnya yang juga digunakan oleh kaum adam ini diantaranya, krim mata, gel, masker wajah dan kulit serta produk anti penuaan. Riset tersebut juga menyebutkan, “19 persen pria setuju mereka hanya menggunakan produk perawatan kulit wajah ketika kulit mereka membutuhkannya," ujar Charlotte Libby, seorang analis Mintel. (http://www.portalkbr.com,diakses pada tanggal 4 September 2013).

(5)

commit to user

Tampaknya kesadaran pria terhadap penampilan tubuhnya mulai meningkat, pria mulai tidak malu lagi merawat tubuhnya untuk mendapatkan penampilan yang diinginkan. Dalam harian portal berita Detik juga menganjurkan pria untuk melakukan perawatan wajah, dan mengajak pria untuk tidak malu untuk pergi ke salon untuk merawat wajah mereka. (http://health.detik.com, diakses pada tanggal 17 April 2013). Dari hasil survei Mark Plus & Co. pada November-Desember 2003 melibatkan 284 responden pria di Jabotabek juga menemukan sebagian besar pria berpendapat bahwa mereka menganggap tidak ada salahnya pria melakukan facial, manicure, pedicure bahkan beroperasi plastik untuk memperbaiki penampilan. (http://swa.co.id/, diakses pada tanggal 5 Mei 2014).

Terhadap kondisi ini, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Partini menilai fenomena pria pesolek atau metroseksual merupakan bagian dari globalisasi di era postmodern. Selain itu, maraknya majalah khusus laki-laki yang mengekspos seluk-beluk 'kaum adam' setelah sebelumnya didominasi majalah gaya hidup wanita. (http://krjogja.com ,diakses pada tanggal 1 Mei 2013).

Pergeseran stereotipe maskulinitas pria sepertinya perlahan mulai terjadi di dalam pria, bisa dilihat dari fenomena meningkatnya frekuensi penampakan pria di iklan majalah, dan peningkatan belanja pria akan kebutuhan perawatan tubuh dan perhatian pria terhadap penampilan tubuhnya. Data-data yang didapatkan akhir-akhir ini tentu berbeda dengan stereotipe pria konservatif yang secara umum digambarkan menjadi tiga konsep yaitu Sturdy oak (tidak memperlihatkan kelemahan), petarung, dan pemenang. (Wood, 2001 : 249-250). Maskulinitas

(6)

commit to user

seharusnya merupakan bentuk lebih kaku dari feminitas, yaitu kuat, kasar dan mandiri, sebagai contoh nilai maskulinitas konservatif di era tahun 1990-an representasi maskulinitas pada laki-laki bersifat tidak peduli terhadap remeh- temeh, stereotipe maskulinitas yang biasa disebut The New Lad ini berasal dari budaya musik pop dan football yang mengarah kepada sifat kelaki-lakian yang macho, kekerasan, dan hooliganism. (http://argyo.staff.uns.ac.id, diakses pada tanggal 1 Mei 2013). Dalam jurnal “Enticing The New Lad” (Cortese:2011), menggambarkan stereotipe The New Lad yang muncul di tahun 1990-an bahwa pria yang tidak feminim, mengambil resiko, identik dengan kekerasan dan suka bergaul dengan teman prianya.

Tidak seperti pada tahun 90-an, pada masa kini yakni tahun 2000-an, mulai terjadi pergeseran imaji pria di majalah. Seperti dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Anita Elisabeth, yang meneliti penampilan nilai maskulinitas pria dalam majalah Men’s Health Indonesia, juga menunjukan bahwa kini mayoritas penampilan sosok pria di iklan majalah tidak menunjukkan tipe maskulinitas konservatif. Saat ini kebanyakan citra maskulinitas pria yang ditampilkan lebih ke arah maskulinitas yang modern dan progresif atau lebih ke arah maskulinitas New Men, yakni pria yang lebih mementingkan penampilan tubuh mereka, sementara itu tipe maskulinitas konservatif yang muncul tidaklah sebanyak tipe maskulinitas modern (Anita, 2012:113). Hasil penelitian tersebut bisa menjadi bukti bahwa mulai terjadi pergeseran dalam imaji pria di dalam media massa, yang mana pada awalnya pria disebut lebih digambarkan melalui

(7)

commit to user

kekuatan fisik dan dominasi mereka, ke arah sebagai pria yang lebih memperhatikan tubuh dan penampilan mereka.

Di balik fenomena tersebut ternyata semakin sering tubuh pria di ekspos di dalam media massa, menimbulkan kekhawatiran pria terhadap penampilan tubuhnya. Dr Phillippa Diedrichs dari University of the West of England, melakukan penelitian tentang penampilan di mata pria. Dia menemukan bahwa pria akhirnya mengupayakan hal yang terbaik demi mendapatkan penampilan yang ideal sesuai dengan apa yang mereka dengar dari kebanyakan orang. Dari 394 pria Inggris yang dijadikan sampel penelitian, sekitar 80,7% mengaku khawatir jika penampilan fisiknya dianggap kurang nyaman dipandang. Untuk mengatasi hal ini, 38% pria tidak sungkan membelanjakan pendapatannya dalam setahun demi memperbaiki penampilan. Hal tersebut bertolak belakang dengan survei yang dilakukan pada wanita. Ternyata, wanita yang mencemaskan penampilannya hanya ada sekitar 75%. Ini menunjukkan ada perubahan ekspektasi penampilan dari seorang pria. (http://sidomi.com/, diakses pada tanggal 18 Januari 2013).

Dalam penelitian yang di tulis di jurnal “Investigating Hegemonic Masculinity - Sex Roles” juga mengungkapkan dengan meningkatnya gambar pria sebagai objek perhatian juga memberikan tekanan psikologis bagi pria untuk mempunyai tubuh yang kekar atau ideal seperti yang digambarkan di majalah (Ricciardelli, 2011: 64-78). Dalam laporan jurnal penelitian “Men, appearences and Cosmetic Surgery”, juga mengatakan melalui fenomena banyaknya pria yang digambarkan di dalam media, pria masa kini merasa harus meningkatkan bentuk

(8)

commit to user

tubuhnya sebagai bentuk identitas pria maskulin, tentu dengan efek tersebut pria dipaksa untuk memperhatikan bentuk tubuh dan penampilan mereka agar sesuai dengan gambaran maskulinitas ideal yang digambarkan di majalah, maka dalam penelitiannya ditemukan juga banyak pria yang tidak puas dengan penampilan tubuh yang mereka miliki sekarang. (Rosemary, 2010).

Di majalah banyak iklan yang menampilkan sosok pria, mulai dari iklan perawatan wajah pria, fashion, produk elektronik, dan iklan lainnya menampilkan pria sebagai objek iklannya. Melalui iklan di majalah, pembaca secara tidak langsung diarahkan untuk memiliki tubuh atau wajah seperti yang tergambarkan di dalam iklan, karena iklan dapat menciptakan tren sosial dan memiliki kekuatan untuk mendikte orang berpikir dan bertindak seperti gambar yang terlihat di dalam iklan. Iklan juga memiliki kekuatan untuk membentuk nilai dan juga menggambarkan nilai bahkan membentuk stereotipee mengenai gender. (Moriaty, 2011: 83). Maka para pembaca pria bisa terpengaruh untuk ingin memiliki tubuh yang indah seperti yang digambarkan di iklan majalah.

Lebih jauh lagi iklan bisa memberikan andil dalam pembentukan karakter seseorang, iklan dapat membangun citra diri seorang individu dengan memakai produk yang mereka tawarkan. Secara sadar ataupun tidak sadar, kita membiarkan iklan merubah perilaku dan membangun identitas kita agar sesuai seperti yang ditampilkan di dalam iklan mereka. Iklan dapat mengkonstruksi nilai yang mereka bangun sehingga kita merasakan nilai yang dibangun tersebut adalah timbul secara alamiah atau natural, bukan suatu yang dikonstruksi. (Cross, 1996:

97). Melalui pendapat tersebut, iklan-iklan yang ada di media majalah gaya hidup

(9)

commit to user

pria tentu bisa menjadi pembangun nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, khususnya nilai mengenai maskulinitas.

Ditambah dengan kekuatan sebaran informasi yang sangat luas, iklan yang biasanya tersebar secara global telah membentuk homogenisasi kultural. Karena melalui iklannya yang tersebar ke seluruh dunia, pesan yang dibawa bisa menembus nilai budaya (Moriaty, 2011: 85). Maka dari itu sebuah iklan bisa tersebar ke seluruh dunia melalui media massa termasuk majalah, menembus segala tembok budaya dan menyebarkan nilai-nilai yang dikandungnya.

Sadar akan besarnya efek dari iklan di majalah, peneliti ingin melihat lebih jauh citra maskulinitas yang terdapat di iklan majalah, serta ingin meneliti apakah ada perubahan dalam menampilkan imaji sosok pria di dalam iklan di majalah dalam rentang waktu tertentu. Di dalam penelitian ini, majalah gaya hidup pria digunakan sebagai objek penelitian, karena majalah gaya hidup pria merupakan area yang kaya untuk mendapatkan pemahaman bagaimana maskulinitas di bangun sebagai produk konsumsi, karena di dalam majalah gaya hidup pembaca belajar bagaimana membangun identitas gender di dalam dirinya melalui iklan produk yang dikonsumsinya yang dibangun oleh pengiklan. (Cortese:2011).

Dalam iklan di dalam majalah juga memiliki nilai komunikasi didalamnya, karena dalam sebuah iklan terjadi pertukaran informasi antara pengiklan dan audien. Dalam penelitian ini komponen komunikasi yang diteliti adalah komponen pesan yang terdapat di dalam iklan majalah. Dalam iklan di majalah pria tentu saja terdapat pesan-pesan yang menggambarkan nilai-nilai maskulinitas pria didalamnya, sehingga pesan-pesan tersebut dapat diserap khalayak luas.

(10)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Majalah gaya hidup pria yang dipilih sebagai objek penelitian adalah majalah Hai. Majalah Hai (Hibur Asuh Ilmu) merupakan sebuah majalah untuk para remaja pria yang telah terbit sejak tanggal 5 Januari 1977 di Indonesia.

Majalah Hai merupakan salah satu produk Kompas Gramedia yang menerbitkan media cetak seperti majalah, koran dan bahkan sekarang masuk ke industri radio dan televisi. Majalah Hai adalah majalah remaja yang mengkhususkan isi artikelnya mengenai informasi untuk para remaja pria Indonesia. Adapun isi artikel majalah tersebut mengenai segala hal yang berhubungan dengan dunia remaja, misalnya mengenai gaya hidup, musik, film, pendidikan, tempat berkumpul para remaja, teknologi terbaru, olahraga, psikologi, dan tentu saja cerita pendek serta komik. (http://Hai-Online.com diakses pada tanggal 16 September 2013).

Sekolah Menengah Pertama (SMP). Masa remaja merupakan masa mencari jati diri, dan berusaha ,melepaskan diri dari lingkungan orang tua untuk menemukan jati dirinya, maka masa remaja menjadi periode yang sangat penting dalam pembentukan nilai. (Ali, 2010:145). Maka dari itu majalah Hai yang diperuntukkan bagi pembaca remaja pria dinilai berkontribusi dalam pembentukan nila-nilai maskulinitas pria.

Majalah yang menyasar ke kalangan pria remaja ini selalu berubah sesuai perkembangan zaman, majalah Hai bermula dari majalah yang berisikan komik

(11)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

cerita dan dari tahun ke tahun berubah mengikuti kebutuhan pembacanya. Ulasan dalam majalah Hai tergolong lengkap, mulai dari artikel mengenai film, musik, gaya hidup, dan juga tips serta isu-isu yang sedang hangat di masyarakat dibahas dalam majalah hai.

Hai juga bisa ditemui di Banjarmasin, Balikpapan, dan majalah Hai bisa didapatkan di seluruh toko buku Gramedia di Indonesia. Tidak hanya itu pembaca juga bisa berlangganan majalah Hai dengan memesan melalui website dari majalah Hai. Adapun pembaca bisa membeli majalah digital melalui internet yang bisa diakses dari seluruh Indonesia. Maka tak heran tiras penjualan majalah Hai mingguan mencapai 80.000 eksemplar per minggu. (http://Hai-Online.com diakses pada tanggal 16 September 2013).

Melalui kriteria itulah majalah Hai dinilai bisa dipakai sebagai subjek dalam penelitian ini, karena majalah ini di peruntukkan bagi pria khususnya remaja, dan sudah beredar di masyarkat sejak tahun 70-an, memiliki sebaran majalah yang luas dan omset penjualan yang tinggi sehingga dinilai sudah diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia.

Sementara itu tahun terbitan yang akan digunakan adalah tahun terbitan 1999 dan 2013. Alasan penggunaan tahun terbitan tersebut sebagai objek penelitian karena dengan terbitan 1999 yang mewakili era 90-an saat dimana belum maraknya produk perawatan pria seperti sekarang ini dan strereotip

(12)

commit to user

maskulinitas pria yang masih mengarah kepada sisi kekerasan, macho, kuat dan lainnya. Pada periode 90-an juga terjadi fenomena tumbuh pesatnya industri media majalah di Indonesia ditandai dengan banyaknya pengusaha yang terjun ke industri media majalah. (Junaedhie 1995:31). Dan juga secara khusus pada tahun 1999 dipilih karena era kebebasan pers di Indonesia mulai di tegakkan setelah runtuhnya era orde baru yang mengekang kebebasan pers. Sementara terbitan tahun 2013 digunakan sebagai representasi majalah masa kini, dan dinilai sebagai rentang waktu yang cukup jauh agar bisa menjadi pembanding dengan tahun 1999.

Setelah menetapkan tahun terbitan yang akan diteliti, lebih khusus lagi penelitian ini hanya difokuskan pada edisi majalah kuartal pertama dalam tahun penerbitan yaitu bulan Januari, Februari, Maret, karena menurut beberapa lembaga peneliti seperti AC Nielsen menyatakan belanja iklan pada kuartal pertama selalu tumbuh dari tahun ke tahun (http://Kompas.com, diakses pada tanggal 10 mei 2014), dengan demikian diharapkan data yang akan didapat dalam penelitian ini bisa maksimal.

Melalui iklan-iklan yang ada di majalah kita ingin mengetahui gambaran maskulinitas ideal apa yang digambarkan di dalam majalah terbitan tahun 1999 dengan gambaran maskulinitas masa kini yang direpresentasikan dengan terbitan tahun 2013. Selain itu kita juga bisa meneliti apakah iklan dalam majalah terbitan 1999 dan 2013 memiliki perbedaan dalam menggambarkan citra pria. Melalui penelitian ini diharapkan kita bisa mengetahui apakah ada perubahan citra maskulinitas pria yang tergambarkan di dalam iklan yang ada di majalah. Karena

(13)

commit to user

melalui gambar iklan yang muncul di majalah kita bisa mengetahui apakah ada perubahan gambaran stereotipe maskulinitas pria. Penelitian ini juga diharapkan bisa membuktikan studi mengenai gender yang menyebutkan bahwa stereotipe gender pria dan wanita selalu berubah-ubah sepanjang waktu.(Fakih, 1996:8).

Melalui penelitian ini juga diharapkan kita bisa menambah wawasan akan iklan di majalah pria yang ternyata juga ikut membentuk stereotipe maskulinitas pria dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penelitian ini adalah;

1. Citra maskulinitas apakah yang paling sering muncul pada iklan di majalah Hai periode Januari 1999 - Maret 1999 dan Januari 2013 - Maret 2013?

2. Apakah ada perbedaan yang signifikan dalam menampilkan citra maskulinitas pria di iklan majalah Hai antara periode Januari 1999 - Maret 1999 dan Januari 2013 - Maret 2013?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana kecenderungan isi pesan citra maskulinitas yang digambarkan dalam iklan, citra maskulinitas manakah yang paling sering muncul pada iklan di majalah Hai dalam periode Januari 1999 - Maret 1999 dan Januari 2013 - Maret 2013.

(14)

commit to user

2. Mengetahui adakah perbedaan yang signifikan dalam menampilkan citra maskulinitas pria di iklan majalah Hai antara periode Januari 1999 - Maret 1999 dan Januari 2013 - Maret 2013.

D. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah:

Akademis:

1. Memperkaya kajian penelitian sebelumnya mengenai bagaimana maskulinitas pria dalam media iklan di majalah ditampilkan.

2. Penelitian ini akan memperkaya kajian ilmu mengenai gender, terutama maskulinitas, untuk mengetahui apakah perubahan konstruksi gender selalu berubah dari waktu ke waktu melalui iklan di majalah.

Praktisi:

1. Membuka wawasan masyarakat luas bagaimana identitas gender bisa di bangun melalui media iklan di majalah gaya hidup pria.

2. Agar masyarakat khususnya pria tidak hanya terkekang oleh stereotipe maskulinitas pria saat ini, dimana pria digambarkan harus memiliki tubuh kekar dan wajah terawat, karena gender merupakan konstruksi sosial yang tidak harus selalu dipenuhi.

(15)

commit to user E. Landasan Teori

1. Komunikasi

Media majalah seperti halnya majalah Hai merupakan salah satu bentuk media komunikasi. Konten dalam majalah Hai seperti iklan dan artikel mengandung banyak informasi, seperti artikel dalam majalah, gambar, dan iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi. Melalui konten-konten majalah tersebut kita dapat saling bertukar informasi, ide, gagasan dan pengalaman.

Lebih jauh lagi istilah “komunikasi” berasal dari bahasa latin

“communicatus” yang berarti “berbagi” dengan demikian menurut kamus bahasa mengacu pada suatu upaya yang bertujuan untuk mencapai kebersamaan. Bernard Berelson dan Gary A.Steiner mendefinisikan komunikasi sebagai suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahlian dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka dan lain-lain.

(Riswandi, 2009:15).

Hovland, Janis & Kelly dalam buku Ilmu Komunikasi Teori dan Praktik (Fajar, 2009:27) berpendapat komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam bentuk kata- kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak). Kegiatan komunikasi pada prinsipnya adalah aktivitas pertukaran ide atau gagasan. Secara sederhana, kegiatan komunikasi dipahami sebagai kegiatan penyampaian dan penerimaan pesan atau ide dari satu pihak ke pihak lain, dengan tujuan untuk mencapai kesamaan pandangan atas ide yang dipertukarkan tersebut.

(16)

commit to user

Majalah Hai dan iklan-iklan yang ada di dalamnya tentu saja memiliki nilai komunikasi, karena melalui majalah dan iklan kita bisa bertukar informasi dan gagasan. Konten dan iklan di majalah Hai juga menggunakan simbol-simbol gambar, kata-kata, angka-angka untuk menyalurkan informasi ke khalayak luas.

Secara kronologis komunikasi merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara berurutan (ada tahapan atau sekuensi), serta berkaitan satu sama lainnya dalam kurun waktu tertentu. Proses komunikasi melibatkan banyak faktor atau komponen antara lain; komunikator, komunikan, pesan (isi, bentuk, dan cara penyampaian), saluran atau media yang digunakan untuk menyampaikan pesan, waktu, tempat, dan juga tahapan hasil atau akibat yang ditimbulkan oleh komunikasi.

Definisi Lasswell secara ekplisit dan kronologis menjelaskan tentang lima komponen yang terlibat dalam komunikasi yaitu:

a. Siapa (pelaku komunikasi pertama yang mempunyai inisiatif atau sumber).

b. Mengatakan apa (isi informasi yang disampaikan).

c. Kepada siapa (pelaku komunikasi lainnya yang dijadikan sasaran penerima).

d. Melalui saluran apa (Alat/saluran penyampaian informasi).

e. Dengan akibat/hasil apa (hasil yang terjadi pada diri penerima).

Dari lima poin di atas maka bisa dijabarkan definisi komunikasi menurut Laswell adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu (Onong, 2005:10).

(17)

commit to user

Dalam kaitannya dengan penelitian ini komponen komunikasi yang dimaksud adalah, redaksi majalah Hai sebagai komunikator yang menciptakan pesan dan informasi, sementara media penyalurnya adalah media majalah yang disebar ke masyarkat luas, dan pesan yang terkandung adalah segala sesuatu yang dituliskan di dalam majalah tersebut. Sementara komunikannya adalah para pembaca majalah Hai, dan melalui kegiatan komunikasi tersebut diharapkan muncul efek balik, dalam kasus ini efek baliknya bisa berupa efek perilaku dimana tingkah laku para pembaca terpengaruh dari isi pesan di majalah Hai.

Dalam penelitian ini, komponen pesan akan diteliti lebih jauh lagi. Pesan yang dimaksud adalah iklan di majalah Hai yang menampilkan sosok pria sebagai model yang tergambarkan di dalam iklannya. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah pesan atau gambaran maskulinitas yang terkandung di dalam iklan majalah Hai mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

2. Komunikasi Massa dan Majalah sebagai Bentuk Komunikasi Massa Menurut Defleur dan Dennis McQuail, komunikasi massa adalah suatu proses dimana komunikator-komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak-khalayak yang besar dan berbeda-beda melalui berbagai cara. Sementara menurut Bittner komunikasi massa adalah pesan–pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang. (Riswandi, 2009:105-109).

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, komunikasi massa menyampaikan pesan kepada orang banyak melalui media, sama halnya dengan majalah Hai,

(18)

commit to user

redaksi majalah Hai juga menyebarkan informasi ke khalayak luas melalui media majalah yang disebarkan ke seluruh Indonesia. Melalui majalah tersebut masyarakat bisa mendapatkan informasi yang dibutuhkan dan tentu bisa terpengaruh oleh isi majalah, termasuk juga menunjukan pembaca bagaimana maskulinitas di gambarkan di dalam iklan-iklan di majalah Hai.

Media cetak atau contohnya media majalah umumnya memberikan banyak informasi, gambar, dan pesan yang lebih awet dari pada media siaran. Media cetak adalah lingkungan yang kaya akan informasi, media cetak sering digunakan untuk menghasilkan respon positif. (Moriaty, 2011:283).

Berbeda dengan media massa lain, media majalah memiliki karakteristik dan perbedaan dengan media massa lain, fokus terhadap minat audiensi adalah faktor utama dalam mengklasifikasikan majalah. Majalah memiliki fokus ke dalam target pembaca yang lebih kecil. Dalam artian majalah tidak perlu membuat seluruh pembaca majalah senang, alih-alih majalah bisa memperkecil target pembacanya dengan populasi pembaca yang lebih spesifik seperti penggiat olah raga ataupun pecinta kuliner (Schement, 2002: 569). Demikian pula majalah Hai, yang yang memiliki target pembaca khusus untuk remaja pria, sehingga di dalamnya terdapat artikel, iklan atau informasi yang ditulis secara khusus utuk pria remaja.

Pembaca majalah dapat diklasifikasikan menurut segmen-segmen demografis (misalnya ada majalah khusus pria, wanita, anak-anak, remaja dan lainnya) ataupun secara geografis, psikografis, dan dari segi kebijakan editorial.

(19)

commit to user

(Kasali, 1992: 111). Dengan kategoriasasi yang jelas, pembaca bisa memilih jenis atau isi majalah apa yang ingin dibaca agar sesuai dengan minat isi pembaca.

Dengan melihat kategorisasi majalah yang ada tersebut, kita juga bisa mendapatkan gambaran mengenai identitas pribadi pembaca. Misalnya bila orang tersebut membaca majalah bisnis maka bisa dipastikan pribadi pembaca tersebut adalah seorang pebisnis, atau bila orang tersebut membaca majalah olah raga, bisa dipastikan orang tersebut gemar olah raga. (Trenholm, 1995: 292). Tentu dengan kategorisasi tersebut memudahkan juga untuk para pengiklan untuk bisa menerbitkan iklan mereka kepada target calon pembeli yang lebih tepat.

Melihat karakteristik dari majalah di atas, maka bisa kita melihat bagaimana fungsi-fungsi komunikasi massa ada di dalam media majalah, termasuk majalah Hai. Di dalam majalah Hai kita bisa menyebarkan komunikasi secara luas, dan karena segmentasi majalah Hai yang lebih sempit mengarah ke segmentasi pembaca tertentu, maka informasi yang disebar akan lebih tepat sasaran.

3. Majalah Gaya Hidup Pria dan Gender

Majalah seperti yang dijelaskan sebelumnya memiliki segmentasi pembaca yang jelas sesuai dengan minat para pembaca. Salah satu segmentasi yang ada adalah majalah khusus gaya hidup pria, segmentasi majalah ini ditujukan untuk para pembaca pria yang mencari informasi mengenai seluk beluk kehidupan seorang pria, seperti informasi mengenai hobby, fashion, berita olahraga dan lainnya.

(20)

commit to user

Media majalah terutama majalah gaya hidup pria seperti majalah Hai, yang sering memuat gambar tentu menjadi sarana penyebar informasi yang sangat kuat, salah satunya adalah penyebaran nilai-nilai gender seperti maskulinitas.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, majalah gaya hidup pria merupakan area yang kaya untuk mendapatkan pemahaman bagaimana maskulinitas di bangun sebagai produk konsumsi, karena di dalam majalah gaya hidup pembaca belajar bagaimana membangun identitas gender di dalam dirinya melalui banyaknya iklan produk yang ada di majalah (Cortese, 2011).

Melalui gambar pria di majalah Hai, para pembaca bisa mengidentifikasi bagaimanakah seharusnya pria maskulinitas tampil dan berperilaku dan melalui majalah Hai juga para pembaca pria secara langsung di edukasi bagaimana menjadi pria maskulin seperti halnya gambar-gambar model pria yang terpampang di majalah tersebut. Majalah juga memiliki long life span, dimana usia edar majalah lebih panjang dari seluruh media massa yang ada dan pada umumnya majalah juga dapat disimpan hingga bertahun-tahun sebagai referensi (Kasali, 1992:113), sehingga majalah bisa membawa efek afektif, kognitif dan behavioral lebih kuat kepada pembacanya, jadi apa yang ditampilkan di dalam majalah bisa berpengaruh ke masyarkat luas.

Ditambah lagi dengan banyaknya iklan yang dimuat di dalam majalah gaya hidup pria juga turut membawa simbol-simbol maskulinitas di dalamnya, sehingga para pembaca bisa mengidentifikasi nilai-nilai gender yang ada. Melalui iklan-iklan yang ada di majalah gaya hidup tersebut, perilaku dan gaya hidup

(21)

commit to user

seseorang bisa terpengaruh, Kellner menjelaskan kaitan iklan dengan gaya hidup bahwa:

Iklan berkaitan erat dengan gaya hidup yang menjual dan identitas yang didambakan secara sosial, yang dikaitkan dengan produk-produk mereka sendiri serta penjualannnya, atau tepatnya, bahwa pemasang iklan menggunakan konstruksi –konstruksi simbolis di mana konsumen diajak untuk mengidentifikasi, mencoba, dan membujuk menggunakan produk mereka.(Kellner, 2010:344).

Iklan di majalah gaya hidup pria merupakan salah satu media yang turut membantu membentuk nilai-nilai gender di masyarakat, bagaimana seorang pria berperilaku dan bertindak. Goffman berpendapat dengan kekuatan media tersebut perilaku seseorang yang terpengaruh oleh gambar atau iklan dalam media tidak menyadari perilaku yang dilakukannya telah dipengaruhi oleh media, melainkan merasa melakukan secara spontan atau alamiah, padahal perilaku tersebut dikonstruksi oleh iklan di media (Cross, 1996:97).

Melalui kekuatan visual yang ada di media majalah, gambar di majalah beperan dalam pembentukan stereotipe gender. Di dalam majalah gaya hidup pria, pria sering ditampilkan sebagai mahluk yang dominan, kuat, dan berkuasa maka seperti yang dijelaskan sebelumnya, para pembaca pria juga teredukasi untuk memiliki kesamaan dengan model pria yang digambarkan di dalam iklan di media massa. Bila di dalam majalah sering di gambarkan sosok pria memiliki wajah dan tubuh yang indah, para pembaca pria akhirnya juga ingin memiliki tubuh yang berotot dan wajah yang terawat seperti halnya yang tergambarkan di majalah.

Maka dengan pembentukan stereotipe gender tersebut, muncul juga rasa ketidakpuasan akan tubuh dikalangan pria karena membandingkan tubuhnya

(22)

commit to user

dengan gambaran tubuh pria yang ada di majalah, mereka merasa harus memiliki tubuh yang sempurna demi memenuhi kriteria sebagai pria yang maskulin (Rosemary, 2010).

Dengan kuatnya pengaruh majalah gaya hidup pria dalam membawa pesan mengenai nilai maskulinitas ke dalam masyarakat, majalah Hai sebagai salah satu majalah gaya hidup pria yang cukup terkenal bisa menjadi agen menyebar dan pembentuk nilai gender di masyarakat. Dengan banyaknya gambar pria yang terkandung khususnya iklan di majalah Hai yang menampilkan sosok pria, tentu saja dapat membangun dan menyebarkan nilai-nilai gender pria,bagaimana pria seharusnya berpenampilan, berperilaku dan bertindak.

4. Maskulinitas dalam Iklan di Majalah

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi karena dalam sebuah iklan di majalah terdapat juga proses komunikasi. Dimana pengiklan di ibaratkan sebagai komunikator, iklan sebagai pesan yang dibawa lalu disalurkan melalui media dalam hal ini majalah, lalu disampaikan kepada khalayak dalam hal ini komunikan, setelah itu timbul efek berupa rasa ingin membeli sebuah produk ataupun jasa yang dikomunikasikan oleh komunikator. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, komponen pesan atau iklan akan dibahas lebih jauh dalam penelitian ini.

Iklan didefinisikan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan oleh media, ditujukan kepada sebagian atau semua orang, namun iklan lebih diarahkan untuk membujuk orang supaya membeli suatu barang,

(23)

commit to user

seperti yang dikatakan oleh Frank Jefkins “Advertising Aims to persuade people to buy” (Kasali, 1992:11).

Iklan merupakan salah satu bentuk khusus komunikasi untuk memenuhi fungsi pemasaran. Agar memenuhi fungsi tersebut iklan harus tidak hanya sekedar memberikan informasi ke khalayak. Iklan tidak hanya memberikan informasi kepada khalayak akan produk atau jasa yang diiklankan, tetapi iklan harus mampu membujuk khalayak ramai agar berperilaku sedemikian rupa sesuai dengan strategi pemasaran. Iklan harus dibuat sedemikian rupa agar dapat menarik minat khalayak, orisinal, serta memiliki karakteristik tertentu dan persuasif sehingga tindakan yang diharapkan sesuai dengan apa yang diinginkan pengiklan. (Jefkins, 1996:18).

Iklan sebagai pesan komunikasi yang baik harus memenuhi beberapa prinsip. Prinsip yang harus ditemui terdiri dari visibilitas, identitas, janji, serta pemikiran yang terarah. Jadi sebuah iklan yang baik harus visible, artinya mudah dilihat atau memikat perhatian. Identitas pengiklan, yakni produk barang dan jasa harus dibuat sejelas mungkin. Janji terhadap konsumen akan keunggulan barang atau jasa yang ditawarkan juga harus dijelaskan. Dalam iklan juga harus ada pemikiran yang terarah, konsep dan tujuan iklan yang jelas. (Jefkins, 1996:16).

Dalam komponen pesan yang terkandung dalam sebuah iklan di majalah, tidak hanya terkandung pesan untuk membeli atau menggunakan produk atau jasa yang ditawarkan oleh pengiklan, dalam iklan di majalah Hai banyak juga nilai- nilai maskulinitas yang digambarkan dalam iklan-iklan produk yang ditawarkan.

(24)

commit to user

Lebih jauh lagi pesan dalam sebuah iklan dapat membangun citra diri seorang individu dengan memakai produk yang mereka tawarkan. (Cross, 1996: 97)..

Majalah bisa menjadi media penyebar iklan yang cukup efektif karena tersebar luas dan memiliki pembaca yang tersegmentasi dengan jelas, sehingga iklan yang ditayangkan bisa lebih tepat sasaran. Sama halnya dengan majalah Hai yang mengkhususkan majalahnya untuk pembaca pria, maka iklan produk yang menggambarkan sosok pria ataupun produk-produk khusus pria akan sangat cocok di terbitkan di dalam majalah Hai.

Ditambah dengan daya tarik visual di dalam iklan, tentu akan menambah daya tarik para pembaca untuk membeli produk tersebut. Kekuatan utama dari iklan media cetak adalah visual atau gambar yang ada di dalam iklan tersebut.

Dalam iklan yang efektif baik media cetak maupun televisi, bukan hanya kata yang perlu mengkomunikasikan pesan tetapi juga visual. Visual biasanya bekerja sama dengan kata untuk menghadirkan konsep kreatif, namun visual melakukan beberapa hal dengan lebih baik ketimbang kata-kata. Gambar lebih mudah dimengerti dan memiliki efek yang lebih besar dari pada kata-kata, dan lebih mudah menjelaskan imajinasi, perasaan, dan semangat yang dibawa oleh iklan tersebut. Sebuah gambar digunakan untuk menarik perhatian dalam sebuah iklan, sementara kata-kata digunakan untuk memperjelas gambar di sebuah iklan. (Dyer, 1996: 86).

Penggunaan visual yang efektif dalam periklanan harus memenuhi beberapa aspek yaitu; Menarik perhatian, melekat dalam memori penonton, memperkuat keyakinan akan produk, menceritakan kisah menarik,

(25)

commit to user

mengkomunikasikan dengan cepat, dan juga memiliki asosiasi antar visual yang digambarkan dengan produk yang dijual (Moriaty, 2011:509)

Ilustrasi visual di dalam iklan di majalah Hai juga berfungsi memperjelas dan juga sekaligus sebagai daya tarik visual semua gagasan atau ide yang terdapat dalam iklan. Pada dasarnya pembaca lebih tertarik pada bahasa gambar dari pada tulisan (Riyanto, 2000:21). Maka dari itu penempatan model pria di dalam iklan tentu saja sebagai daya tarik agar dilihat oleh pembaca. Sebagai contoh iklan susu kesehatan pria, tentu akan lebih menarik bila ditampilkan dengan model pria yang meiliki tubuh sehat dan kekar, agar lebih menarik perhatian.

Melalui kekuatan visual dari iklan di majalah Hai, tentu saja membantu para pembaca pria mengidentifikasi nilai-nilai maskulinitas yang terkandung dalam unsur visual dari iklan di media cetak. Ditambah lagi kualitas reproduksi majalah dan iklan majalah yang baik, memungkinkan produk pengiklan dan citra brand disajikan dalam format yang lebih bagus ketimbang kualitas koran (Moriaty, 2011:289).

Lebih jauh lagi, pesan dari iklan tidak hanya mempengaruhi orang untuk membeli suatu produk atau jasa tetapi lebih jauh lagi dapat membentuk kepribadian seseorang. Ada yang berpendapat pesan dari iklan yang ada di media massa dianggap hanya sebagai cerminan budaya, namun tidak hanya itu iklan tidak hanya sebagai cerminan budaya, tetapi secara lebih jauh juga sebagai pembentuk budaya (Cross, 1996: 91). Dengan kekuatan visual yang dipunya dari iklan di media cetak tentu dapat membantu pembaca dalam mengidentifikasi simbol-simbol yang terdapat di iklan tersebut. Salah satunya adalah melalui

(26)

commit to user

simbol-simbol gambar di iklan yang ada di majalah Hai kita bisa melihat bagaimana sosok pria ideal digambarkan. Melalui iklan di majalah Hai yang disebarkan ke masyarakat luas, iklan-iklan tersebut ikut memkonstruksi nilai-nilai maskulinitas yang ada di masyarakat.

Pesan dari iklan mengarahkan individual untuk mengidentifikasi identitas mereka dengan produk tertentu, gambar dan perilaku. Pesan yang terkandung dalam iklan memberikan gambaran semu terhadap diri kita yang lebih menarik, lebih sukses, berharga dengan membeli produk tertentu. Iklan menjual produknya dan pandangan dunia melalui gambar, retorika dan slogan dalam iklannya dengan menggunakan sumber daya artistik mereka, riset psikologis dan juga strategi pemasaran. (Kellner, 1995:251). Melalui ilustrasi yang diberikan di dalam iklan di media cetak, pengiklan bisa menciptakan kaitan antara gambar simbolis yang ada di iklan tersebut dengan citra yang diinginkan konsumen, sebagai contoh dalam iklan rokok “Marlboro” bila ingin menjadi “lelaki sejati” sebaiknya mengkonsumsi rokok “Marlboro” yang menggambarkan seorang cowboy dengan kudanya di dalam iklannya sehingga nampak maskulin (Kellner, 1995: 247-248).

Douglas Kellner juga menyatakan semua iklan adalah teks sosial yang merespon perubahan penting pada masa mereka muncul. Iklan membentuk sistem tekstual, dengan komponen-komponen dasar yang saling berkaitan untuk memposisikan produk secara positif. (Kellner, 2010:340).

Melalui iklan, pengiklan bisa menggambarkan citra produknya sesuai dengan keinginan mereka. Melalui citra tersebut khalayak bisa mengidentifikasi bagaimana citra produk tersebut nampak, apakah produk tersebut berkesan

(27)

commit to user

macho, feminim, aman, kuat, dll. Tetapi kadang-kadang iklan tidak hanya bertujuan mengubah citra merk itu sendiri, tetapi lebih jauh merubah citra orang yang memakai produk tersebut (Sutherland, 2005:15). Sebagai contoh, iklan produk perawatan wajah yang sebelumnya model iklannya didominasi oleh kaum wanita namun kini juga menggunakan model pria, maka produk perawatan wajah sekarang ini tidak hanya identik dengan image feminim tapi juga image maskulin.

Iklan di media majalah Hai juga ikut membangun stereotipe mengenai maskulinitas pria. Dalam iklan di majalah Hai kita bisa menemukan banyaknya citra pria yang ditampilkan di dalam iklannya. Iklan yang terdapat di majalah bisa berupa produk elektronik, perawatan tubuh, fashion ataupun jasa sering kali memuat sosok pria sebagai daya tarik visual dari iklan tersebut. Melalui gambaran sosok pria yang ada di iklan tersebut nilai-nilai maskulinitas dapat dikonstruksi dan disebarluaskan ke masyarakat.

Goffman mengatakan iklan sebagai representasi yang sangat manipulatif dari kehidupan sehari-hari yang nyata. Iklan merubah dan membentuk nilai dan kebutuhan orang lain agar bisa menjual produknya. Bahkan industri iklan sangat berpengaruh dalam mengedukasi orang-orang bagaimana berperilaku dan berpakaian. (Cross, 1996:95). Seperti pernyataan tersebut, di dalam iklan para pembaca mengidentifikasi cara dan perilaku berpakaian dan bertindak melalui iklan, termasuk mengenai bagaimana seharusnya seorang pria berperilaku dan bertindak.

Moriaty berpendapat penampakan gambar pria di dalam iklan di majalah berkontribusi bagi pembaca pria dalam mengidentifikasi standar maskulinitas

(28)

commit to user

sebagai pria sejati, lebih jauh lagi Moriaty menjelaskan secara historis iklan menggambarkan gender stereotipe pria sebagai sosok yang kuat, independen dan berorientasi akan prestasi, sementara perempuan digambarkan sebgai sosok yang berempati, kasih sayang, bergantung kepada laki-laki dan patuh (Moriaty, 2011:

83). Gambaran pria di dalam iklan di majalah Hai juga beragam, mulai dari pria sebagai atlit yang memiliki tubuh berotot, maupun sebagai manajer dalam sebuah perusahaan. Melalui gambar-gambar tersebut para pembaca pria mengidentifikasi nilai-nilai maskulinitas pria.

Citra maskulin dalam iklan secara umum memperlihatkan kekuatan kejantanan, otot laki-laki, ketangkasan, keperkasaan, keberanian menantang bahaya, keuletan, dan keteguhan hati. Di dalam iklan, pencitraan maskulin digambarkan sebagai kekuatan otot lelaki yang menjadi dambaan wanita. Citra maskulin adalah stereotipe laki-laki dalam realitas sosial nyata yang digambarkan dalam realitas media. (Bungin, 2008: 122-124).

Melalui penjelasan tersebut, bisa disimpulkan pesan dari sebuah iklan di media cetak termasuk yang ada di majalah Hai tidak hanya menawarkan produk semata, tetapi lebih jauh menawarkan citra diri, ideologi, dan gaya hidup. Lebih jauh lagi iklan dapat menciptakan tren sosial dan memiliki kekuatan untuk mendikte orang berpikir dan bertindak. Melalui terpaan iklan secara kumulatif tersebut maka dapat mempengaruhi orang-orang (Moriaty, 2011: 78).

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, dengan banyaknya penampakan model pria yang ada di iklan majalah Hai tentu juga telah mempengaruhi pembentukan nilai-nilai gender. Kekuatan iklan yang bisa mengkonstruksi nilai

(29)

commit to user

budaya, lebih jauh dapat juga mengkonstruksi nilai-nilai mengenai stereotipe gender. Melalui gambaran iklan di media massa, pengiklan memberikan gambaran bagaimana seharusnya pria atau wanita berpenampilan atau bertindak.

Apabila pria sering digambarkan dengan tubuh dan wajah yang terawat tentu saja akan mempengaruhi nilai-nilai maskulinitas pria yang ada di masyarakat, bahwa pria yang maskulin adalah pria yang memperhatikan penampilan mereka.

5. Maskulinitas Konservatif Versus Maskulinitas Modern

Maskulinitas tentu erat kaitannya dengan studi gender, Julia T. Wood dalam bukunya Gendered Lives: Communication, Gender, and Culture membedakan antara jenis kelamin dan gender. Gender menganggap konsep yang lebih kompleks dari pada jenis kelamin, Julia T.Wood mengkalsifikasikan bahwa jenis kelamin merupakan bawaan biologis dari lahir, sementara gender merupakan konsep sosial yang terbentuk dari masyarakat. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap: kuat, rasional, jantan, perkasa. Sifat dan ciri tersebut dinamis dan bisa dipertukarkan. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. (Fakih, 1996:8).

Fakih menjelaskan perbedaan gender pria dan wanita memiliki sejarah yang panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi. Melalui konstruksi gender tersebut secara perlahan

(30)

commit to user

mempengaruhi kondisi biologis seseorang. Misalnya karena konstruksi gender, kaum laki-laki harus bersifat kuat dan agresif, maka kaum laki-laki termotivasi untuk mempunyai fisik seperti sifat gender yang ditentukan oleh suatu masyarakat. (Fakih, 1996:10)

Nilai gender pria pada awalnya, sering dikaitkan dengan konsep maskulinitas konservatif. Konsep maskulinitas konservatif pada pria secara umum digambarkan ke dalam tiga bentuk, ada tiga stereotipe pria yaitu Sturdy oak, Petarung, dan Pemenang (Wood, 2001 : 249-250) :

(1) Sturdy oak, Stereotipe ini menggambarkan pria tidak boleh memperlihatkan kelemahan kepada orang lain. Pria, tidak memiliki keraguan, lalu pria berani mengambil resiko walaupun tidak bijaksana.

(2) Petarung, stereotipe ini menganggap pria sebagai petarung atau pejuang yang pergi ke medan perang. Selalu berkomitmen secara penuh, agresif, berhasrat kuat untuk bertarung dan kejam mengalahkan dalam kompetisi. Stereotipe pria sebagai petarung bergema dalam tema lain dari maskulinitas : dominan, kekuatan, dan kekerasan.

(3) Breadwinner. Pria diharapkan menjadi pencari nafkah utama untuk keluarganya dan inilah bagaimana masyarakat kita melihat kesuksesan pria.

Dalam kehidupan sosial kita, pria harus memenuhi beberapa kriteria untuk menjadi pria yang maskulin, nilai maskulinitas konservatif biasa di ambil dari stereotipe pria hegemonic masculinity (Cornwall, 1997:11). Hegemoni menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengaruh kepemimpinan, dominasi,

(31)

commit to user

kekuasaan, dsb suatu negara atas negara lain (Kamus Besar Indonesia, 2007:394).

Dalam konteks hegemoni maskulinitas, berarti pengaruh dominasi suatu konstruksi maskulinitas atas bentuk maskulinitas lain. Dalam teori ini, maskulin berhubungan dengan dominasi dan kekuatan. Teori hegemonic masculinity dianggap sebagai cara yang paling tepat dan sukses dalam mendifinisi bagaimana seharusnya menjadi seorang laki-laki. Dalam teori ini maskulinitas didefinisikan dengan kekuatan fisik, agresivitas, pengendalian emosi, serta dominasi akan lingkungan sekitar (http://Syahid.hdpin.net,diakses pada tanggal 28 Juni 2014).

House, Dallinger dan Killgaen menjelaskan arti maskulin sebagai berikut,

“menjadi maskulin adalah menjadi kuat, ambisius, sukses, rasional dan memiliki kontrol emosi.“ (Wood, 2001:22). Sementara itu, Harry Brod berpendapat mengenai gambaran maskulinitas pria sejati, yaitu “Gambaran pasti maskulinitas dari pria sejati adalah secara fisik kuat, agresif, dan memiliki kendali atas pekerjaannya” (Katz, 1995:135).

Setelah era kemunculan maskulinitas pria “hegemonic masculinity”, muncul juga gelombang maskulinitas pria yang disebut “the new lad”. Pada era ini pria digambarkan sebagai pria yang gemar berkumpul dengan teman prianya sambil meminum alkohol, suka mengambil resiko, melontarkan ejekan kotor, dan merendahkan wanita. Fenomena ini merupakan tandingan dari munculnya gerakan feminism (Cortese, 2011). Munculnya gelombang “the new lad”

memiliki perbedaan gambaran maskulinitas konservatif dengan tahun 80an dimana pada era “hegemonic masculinity” pria digambarkan lebih ke arah

(32)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

kekuatan, dominasi, dan kesuksesan, sementara “the new lad” pria lebih digambarkan santai dan menikmati hidup.

Stereotipe gender pria yang terbentuk di masyarakat seperti yang dijelaskan sebelumnya tentu selalu berubah dari waktu ke waktu, tidak seperti halnya dengan jenis kelamin yang terbentuk secara alamiah, konstruksi gender selalu berubah. Atas alasan tersebut, konsep maskulinitas pun terus mengalami pendefinisian ulang. Munculnya era pria modern juga merupakan hasil dari yang diusung oleh pria-pria yang mengklaim diri mereka sebagai pria modern.

Ditambah lagi meningkatnya frekuensi kemunculan pria di dalam media dengan gambaran yang sensual dan dengan tubuh yang terbuka, telah merubah pandangan stereotipe pria. Melalui beberapa perubahan terjadi pergeseran nilai maskulinitas konservatif ke arah maskulinitas modern. Dengan dipengaruhi kapitalisme dan budaya konsumerisme, sosok pria di dalam iklan dan media dari waktu ke waktu semakin menampakan tubuhnya. Dari bentuk tubuh yang samar- samar terlihat, hingga sangat terlihat oleh pembaca. Meningkatnya produk perawatan dan fashion pria dan juga meningkatnya pengeluaran pria untuk merawatan tubuhnya telah melahirkan era baru dari maskulinitas modern, yaitu era new man.

Berbeda dengan konstruksi maskulinitas pria konservatif yang muncul pada tahun 80-an dan tahun 90-an, new man merupakan gambaran maskulinitas

(33)

commit to user

modern dimana pria yang memiliki kelembutan, memperhatikan penampilan tubuh dan fashionable. Dalam artikel Exhibiting Masculinity (Nixon 2003), menyebut sebagai new man yang menekankan pada bentuk fisik maskulin pria yang mengandung perhatian. Dia membahas gambaran yang dipresentasikan oleh model-model pria dalam majalah gaya hidup pria. Gambar-gambar ini lah menjadi tanda munculnya fenomena “pria baru”. Dalam artikel tersebut Nixon memaparkan imaji pria baru mengkobinasikan dengan kelembutan anak laki-laki dan maskulinitas asertif. Hal ini didukung oleh pakaian yang digunakan, postur dan ekspresi yang ditampilkan oleh model.

Munculnya new men tentu saja identik dengan pria pesolek atau pria metroseksual. (Barnard, 2007:197) juga menjelaskan tentang pria pesolek yaitu pria yang sangat memperhatikan penampilan mereka sendiri dan mereka menghabiskan banyak waktu dalam mendefinisikan dan mendefinisi-ulang kode busana. Kondisi ini sebenarnya juga bisa tercipta karena konstruksi media yang sering menampilkan gambar pria di iklan dan artikelnya dengan tubuh yang terekspos dan memiliki tubuh berotot dan indah terawat.

Bila kita melihat bagaimana karakteristik dari pria konservatif dan modern digambarkan, maka kita bisa menarik garis besar secara umum perbedaan karakteristik penggambaran pria konservatif dan pria modern ke dalam kategorisasi tipe pria maskulin yang dipakai di dalam penelitian oleh Deana A.Rohlinger (2002) dalam jurnal penelititan yang berjudul “Erotizing men:

Cultural Influences on Advertising and Male Objectification”. Dari penelitian tersebut, Rohlinger mengkategorisasikan gambaran pria dalam periklanan ke

(34)

commit to user

dalam sembilan kategori : the hero, the outdoorsman, the urban man, the family man/nurturer, the breadwinner, the man at work, the erotic male, the consumer and the quiescent man. The hero digambarkan sebagai bintang/selebriti dalam olahraga, bisnis, politik atau layanan militer. The outdoorsman digambarkan pria yang menaklukkan alam atau hewan, nampak lingkungan liar. The family man/nurture digambarkan pria yang berpatisipasi aktif dengan anak-anak sebagai ayah, anggota keluarga atau pelatih. Sementara, The breadwinner digambarkan tidak berpartisispasi dengan aktivitas keluarga tetapi sebagai pemimpin yang memerintah keluarga. The man at work terikat dalam pekerjaan/profesinya atau di area perkantoran, biasanya menggunakan pakaian resmi atau formal. The consumer adalah pria yang menggunakan produk yang diiklankan. Pria yang membutuhkan atau memakai produk. Ada hubungan yang jelas antara model dengan konsumsi produk yang diiklankan. The urban man digambarkan menikmati kemewahan dan penawaran dari kota besar biasanta digambarkan di sekitar bar, restaurant, bioskop atau gedung tinggi. The quiescent man terikat dalam aktivitas rekreasional dalam wisata, seperti main video game. The erotic male merupakan pria yang digambarkan dengan penonjolan tubuh dan fisik dalam display iklan (Rohlinger, 2002:66-67).

Apabila kita membagi tipe maskulinitas pria yang dipakai oleh Rohlinger (2002) ke dalam dua jenis karakteristik maskulinitas, yakni maskulinitas konservatif yang sering digambarkan dengan dominasi serta kekuatan dan maskulinitas modern yang lebih lembut, maka hasilnya dapat dilihat dalam tabel 1.1

(35)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Tabel 1.1. Pembagian Kategorisasi Maskulinitas Rohlinger yang dibagi ke dalam Maskulinitas Konservatif dan Maskulinitas Modern

Bisa kita lihat terdapat perbedaan antara maskulinitas konservatif dan modern, dengan selalu berubahnya konsep maskulinitas dari waktu ke waktu, penelitian ini ingin melihat apakah citra maskulinitas benar-benar selalu berubah dilihat dari bagaimana citra pria di dalam iklan di majalah Hai ditampilkan.

6. Penelitian Terdahulu tentang Majalah dan Maskulinitas

Penelitian mengenai maskulinitas di dalam majalah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, salah satunya adalah Ricciardelli (2010), dalam penelitiannya Ricciardelli ingin melihat apakah ada perbedaan penggambaran maskulinitas pria di delapan majalah gaya hidup di Kanada, majalah yang di teliti adalah majalah Mens Health, Esquire, GQ, Maxim, Stuff, OUT, Detail’s, FHM Ricciardelli meneliti secara khusus mengenai penampakan tubuh pria, estetika, perawatan wajah dan fashion. Penelitian tersebut mencakup seluruh isi konten dari majalah mulai dari teks dan gambar. Seluruh konten majalah di analisis secara independen oleh beberapa peneliti.

Maskulinitas Konservatif Maskulinitas Modern

• The man at work • The consumer

• The quiescent man

(36)

commit to user

Temuan dari penelitian yang dilakukan Rosemary menemukan setiap majalah menampilkan bentuk maskulinitas yang berbeda majalah Details, GQ, Esquire dan OUT lebih menampilkan pria metroseksual dalam majalahnya, sementara majalah Stuff, FHM and Maxim menampilkan pria ke arah yang lebih sensual, sedangkan tubuh berotot yang ekstrim hanya ditemukan di majalah Mens Health.

Penelitian Rosemary juga menyimpulkan adanya peningkatan penampakan tubuh pria, dimana tubuh pria secara gamblang diperlihatkan dan terlihat sensual di dalam majalah. Hal ini juga pernah terjadi pada wanita dimana sebelumnya tubuh wanita sering digambarkan sensual di majalah, yang telah menimbulkan konsekuensi negatif pada perempuan. Hal ini mulai terjadi pada pria dimana pria semakin sering digambarkan secara sensual di media. (Ricciardelli 2010, 64-78).

Sementara itu peneliti lainnya yakni Deana A.Rohlinger juga telah melakukan penelitian mengenai maskulinitas di majalah yang berjudul “Erotizing men: Cultural Influences on Advertising and Male Objectification”. Dalam penelitian ini secara khusus Rohlinger meneliti penampakan pria yang ada di dalam iklan di majalah saja. Rohlinger meneliti lima majalah yaitu Sport Illustrated, Men’s Health , Polular Mechanics, GQ dan Bussiness Week selama tahun 1987 hingga 1997. Salah satu poin penelitiannya adalah meneliti tipe maskulinitas yang nampak (hero, outdoorsman, urban man, family man/nurturer, breadwinner, man at work, erotic male, consumer and quiescent man).

Temuan yang didapat menunjukkan adanya empat kode maskulinitas yang secara dominan sering muncul di dalam iklan di majalah yaitu: the erotic

(37)

commit to user

male/pria yang erotis (37,8%), the hero/pria pahlawan (21,8%), man at work/pria pekerja (16,4%), the consumer/pria konsumen (10,5%), quiescent/pria yang tak aktif (0,1%) dan family man/nuture/pria ‘rumah tangga’ (0,04%). Dari penelitian tersebut terlihat bahwa kode maskulinitas the erotic male mendominasi periklanan yang menjadi mainstream selama sepuluh tahun penelitian tersebut. The erotic male disini yang dimaksud adalah tubuh pria yg ditonjolkan atau ditampilkan dalam display iklan. (Rohlinger, 2002:68-70).

Melalui penelitian Rohlinger tersebut kita bisa melihat adanya perubahan stereotipe pria, dimana sebelumnya stereotipe pria tradiosional yang kuat dan tangguh telah bergeser ke gambaran pria yang sensual. Seiring dengan berjalannya waktu perubahan karakteristik gender juga telah berubah, hal ini kita bisa lihat dengan adanya perubahan penampilan pria di dalam iklan di media majalah.

Dengan adanya hasil penelitian tersebut maka kita bisa mengetahui bahwa di majalah yang ada dunia barat telah terjadi pergeseran imej pria maskulin ke arah yang lebih sensual. Melalui penelitian ini kita akan mengetahui apakah di dalam majalah Hai juga terdapat pergeseran penggambaran sosok pria di dalam iklan majalahnya.

(38)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user F. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini dimulai dari munculnya fenomena peningkatan frekuensi citra pria yang ada di dalam iklan majalah, dan juga meningkatnya konsumsi produk perawatan pria. Tentu saja fenomena ini cukup menarik, karena stereotipe pria yang awalnya digambarkan dengan sosok maskulinitas konservatif yang kuat, justru akhir-akhir ini digambarkan dengan tubuh yang terawat dan trendy, melalui fenomena tersebut peneliti ingin meneliti apakah ada perubahan citra maskulinitas dalam iklan di majalah gaya hidup pria.

Iklan yang menampilkan citra pria dalam majalah Hai periode Januari 1999 - Maret

1999 dan Januari 2013 - Maret 2013

Tipe maskulinitas yang ditampilkan di iklan majalah Hai periode Januari 1999 - Maret 1999 dan Januari 2013 - Maret 2013

Tipe maskulinitas yang paling sering muncul dan perbedaan tipe maskulinitas yang ditampilkan di iklan majalah Hai antara periode Januari 1999 - Maret 1999 dan Januari 2013 - Maret 2013

(39)

commit to user

Untuk meneliti fenomena tersebut, peneliti menggunakan majalah gaya hidup pria Hai sebagai objek penelitian. Agar dapat melihat citra maskulinitas apa yang digambarkan dan menangkap perubahan maskulinitas yang ada, peneliti menggunakan dua periode majalah Hai yakni tahun edisi Januari-Maret 1999 dan Januari-Maret 2013. Melalui kedua periode tersebut diharapkan peneliti bisa melihat citra maskulinitas apa yang digambarkan dalam iklan di majalah Hai dan apakah ada perubahan citra maskulinitas diantara kedua periode tersebut.

Setelah menentukan objek penelitian, seluruh iklan yang ditemukan sosok pria di dalamnya akan didata sesuai dengan tipe maskulinitas apa yang muncul melalui kategoriasi maskulinitas yang dipakai oleh Rohlinger. Setelah seluruh data didapat maka kita bisa melihat tipe maskulinitas apa yang paling sering muncul dalam kedua periode Januari-Maret 1999 dan Januari-Maret 2013. Serta melalui data dan kategorisasi tersebut kita akan memperbandingkan tipe maskulinitas yang muncul antara Januari-Maret 1999 dan Januari-Maret 2013, apakah terdapat perbedaan yang signifikan dalam menampilkan tipe sosok pria maskulin di dalamnya.

(40)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user G. Hipotesis

Berdasarkan rumusan permasalahan kedua dalam penelitian ini, maka penulis megemukakan hipotesis dalam penelitian ini adalah :

Ho : Tidak ada perbedaan citra maskulinitas pria yang signifikan dalam iklan di majalah Hai antara periode Januari 1999 - Maret 1999 dan Januari 2013 - Maret 2013.

Ha : Ada perbedaan citra maskulinitas pria yang signifikan dalam iklan di majalah Hai antara periode Januari 1999 - Maret 1999 dan Januari 2013 - Maret 2013.

H. Definisi Konseptual 1. Maskulinitas

Menurut Rohlinger (2002), maskulinitas adalah menunjukan kekuatan, apakah itu di ruang rapat, kamar tidur, ataupun di lapangan permainan. Dalam konteks ini maskulinitas tidak di definisikan melalui kecantikan dan fashion, tetapi melalui kekuatan.

2. Majalah Gaya Hidup Pria

Majalah merupakan salah satu produk jurnalistik yang memuat informasi, bentuk dan segmentasi sesuai dengan sasaran pembaca. Majalah gaya hidup pria merupakan salah satu jenis majalah yang dikhususkan membahas seluk beluk kehidupan pria.

(41)

commit to user 3. Iklan

Iklan adalah bagian dari bentuk promosi dan bentuk promosi adalah bagian dari pemasaran. Jadi secara sederhana iklan didefinisikan sebagai pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat lewat suatu media, iklan bersifat persuasif untuk membujuk penonton untuk membeli barang atau jasa yang akan ditawarkan (Kasali, 1992:32). Sementara Moriarty menjelaskan secara sederhana periklanan adalah soal penciptaan pesan dan mengirimkannya kepada orang dengan harapan orang itu akan bereaksi dengan cara tertentu (Moriaty, 2011:283).

I. Definisi Operasional 1. Maskulinitas

Maskulinitas dalam penelitian ini dioperasionalkan berdasarkan peran maskulin hasil penelitian Rohlinger (2002) yang berjudul Erotizing Man: Cultural Influence on Advertising and Male Objectification, Dari beberapa kategori yang dipakai oleh Rohlinger, peneliti hanya menggunakan enam kategori sama yakni kategori pria the hero, the consumer, outdoorsman, quiescent man, urban man, dan kategori pria lainnya. Alasan dipakainya kategori di atas adalah karena dinilai cocok dan relevan dengan majalah yang akan di teliti, yakni majalah Hai yang menyasar ke pembaca remaja. Penjelasan kategorinya sebagai berikut:

- The Hero : Pria yang ditampilkan dalam iklan di majalah Hai digambarkan sebagai selebritis atau sebagai pusat perhatian, olahragawan, atau sedang melakukan aktifitas militer.

(42)

commit to user

- The Outdoorsman : Pria ditampilkan di majalah Hai sedang melakukan kegiatan di alam bebas atau dengan latar belakang lingkungan liar dalam iklan majalah Hai.

- The Urban Man : Bila gambaran pria ditampilkan di majalah Hai sedang menikmati kemewahan dari kota besar, berlatar belakang gedung perkotaan, bar, bioskop, restaurant.

- The Consumer : Gambaran pria dalam iklan majalah Hai yang berkaitan antara model dengan konsumsi produk yang diiklankan.

- Quiescent Man : Pria yang ditampilkan dalam iklan majalah Hai sedang melalakukan kegiatan rekreasional seperti wisata, bermain alat musik, bermain video game atau berkumpul dengan kerabat.

- Maskulinitas pria lainnya : Pria yang ditampilkan dalam majalah Hai namun tidak sesuai dengan kategorisasi manapun.

2. Majalah

Dalam penelitian ini majalah yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah majalah Hai periode tahun 1999 bulan Januari sampai Maret dan majalah Hai periode tahun 2013 bulan Januari sampai Maret. Majalah Hai terbit satu kali dalam seminggu sehingga total edisi majalah yang di teliti berjumlah 24 edisi.

Iklan yang ditemukan dianalisa dan dikategoriasikan berdasarkan penelitian dari Rohlinger (2002) mengenai gambar pria erotis di majalah FHM di Singapura.

(43)

commit to user 3. Iklan

Dalam penelitian ini seluruh sajian iklan dan juga advertorial yang memuat sosok pria dalam majalah Hai periode Januari 1999 - Maret 1999 dan Januari 2013 - Maret 2013, baik iklan yang berukuran kecil dan besar, berwarna ataupun hitam putih akan menjadi bahan penelitian. Bila ada sosok wanita ataupun benda lain akan dimasukan ke dalam objek penelitian apabila disandingkan dengan gambaran sosok pria.

J. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kuantitatif, riset kuantitatif dapat menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Melalui penelitian kuantitatif peneliti bisa mementingkan aspek keluasan data sehingga data atau hasil riset dianggap merupakan representasi dari seluruh populasi. (Kriyantono 2010:55). Dengan menggunakan metode ini diharapkan dapat mendeskripsikan jenis maskulinitas apa yang paling sering muncul pada majalah Hai dalam periode Januari 1999 - Maret 1999 dan Januari 2013 - Maret 2013.

2. Metode Penelitian

Dalam meneliti citra maskulinitas pria dalam iklan di majalah Hai periode Januari 1999 - Maret 1999 dan Januari 2013 - Maret 2013, peneliti menggunakan metode riset analisis isi kuantitatif. Analisis isi merupakan salah satu teknik untuk menganalisa konten ataupun teks. Konten di sini menunjuk pada kata, makna,

Referensi

Dokumen terkait

• Konsep ‘kebaikan’ ( virtue ) dan individu yang dianggap baik dan terhormat oleh masyarakat Greek pada ketika itu adalah individu yang mempunyai kemampuan tinggi

Persoalan tentang masalah pemungutan biaya transport yang tidak diatur secara tegas dalam Perda Kota Kupang Nomor 05 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Perda Nomor 06 Tahun

Dampak yang ditimbulkan dari pembelajaran yang tidak menggunakan media, kemampuan membaca anak tidak berkembang dengan baik, pada kondisi awal, dari total

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada ﷲ yang telah memberikan rahmat, nikmat, dan pertolongan sehingga pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan

Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel terikat dan variabel bebas keduanya mempunyai distribusi normal atau tidak.Model regresi

Dari penjelasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa, walaupun program “Bosan Jadi Pegawai” bisa mempengaruhi penontonnya dalam hal perspektif, sikap atau pandangan, ia belum

Dengan demikian, nilai Fhitung lebih besar dari pada nilai Ftabel dan hipotesis nol ditolak, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara tata ruang kelas

Namun koperasi guru pada SMP Negeri 53 Palembang ini dalam melaksanakan kegiatan pencatatan data pada koperasi tersebut masih sangat sederhana yaitu dengan cara mencatat