• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. LANDASAN TEORI. 5 Uniersitas Kristen Petra

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "2. LANDASAN TEORI. 5 Uniersitas Kristen Petra"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Pajak Penghasilan (PPh) Badan

Menurut menurut UU Perpajakan, penghasilan adalah setiap tambahan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan dan dalam bentuk apapun.

2.1.1 Laporan Keuangan Komersial vs Laporan Keuangan Fiskal Berdasarkan perbedaan pengakuan penghasilan menurut konsep akuntansi (SAK) terdapat laporan keuangan komersial yaitu laporan keuangan yang disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berlaku. Agar dapat menghasilkan laporan keuangan fiskal, maka kita harus menyesuaikan laporan keuangan komersial sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku.

2.1.2 Koreksi Fiskal

Koreksi fiskal adalah penyesuaian atas laba usaha menurut akuntansi komersial dalam rangka menghitung besarnya laba usaha kena pajak.

Adanya perbedaan – perbedaan antara laporan keuangan komersial berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan dan laporan keuangan fiskal berdasarkan Peraturan Perpajakan disebabkan oleh lima hal yang diatur dalam Peraturan Perpajakan, yaitu objek pajak penghasilan, bukan objek pajak penghasilan, penghasilan yang dikenakan final, beban – beban yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, beban – beban yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.

1. Objek Pajak Penghasilan

Menurut Undang – Undang PPh No. 17 Tahun 2000 Pasal 4 ayat 1 yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik

(2)

yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

a. penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang - Undang ini;

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;

c. laba usaha;

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai penggantian saham atau penyertaan modal;

2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;

3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;

4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, aepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak – pihak yang bersangkutan;

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;

f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

(3)

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

h. royalti;

i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;

m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

n. premi asuransi;

o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

2. Bukan Objek Pajak

Menurut Undang – Undang Pajak No.17 Tahun 2000 Pasal 4 ayat 3, yang bukan merupakan objek pajak adalah sebagai berikut :

a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;

2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;

sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak – pihak yang bersangkutan;

b. warisan;

(4)

c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;

e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :

1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen peling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;

g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

h. penghasilan dari modal yang ditanamakan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang – bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan ;

i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham – saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;

(5)

j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;

k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :

1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor – sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan

2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

3. PPh Final

Menurut pasal 4 ayat (2) Undang – Undang No.17 Tahun 2000, beberapa penghasilan tertentu pengenaan pajaknya bersifat final. PPh final adalah pajak atas penghasilan tertentu yang bukan merupakan kredit pajak atau tidak dapat diperhitungkan sebagai pengurang PPh yang terutang pada akhir Tahun Pajak.

Beberapa jenis objek pajak bersifat final tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Penghasilan atas bunga deposito/ tabungan dan diskonto SBI, dikenakan pemotongan pajak penghasilan sebesar 20% dari penghasilan bruto. Dasar hukumnya Keputusan Menteri Keuangan No. 51/KMK.04/2001 Pasal 3.

b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi penjualan di bursa efek. Besarnya pajak penghasilan yang dipungut adalah :

1) Untuk semua transaksi penjualan saham sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan.

2) Untuk transaksi penjualan saham milik perusahaan modal ventura sebesar 0,1% dari jumlah bruto nilai transaksi penjualan.

Dasar hukumnya Peraturan Pemerintah No.14 Tahun 1997

(6)

c. Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan, dikenakan PPh dengan tarif PPh sebesar 5% dari jumlah bruto pengalihan hak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi. Dasar hukumnya Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 1999 Pasal 4.

d. Penghasilan atas hadiah undian dikenakan PPh dengan tarif sebesar 25% dari jumlah bruto yang dibayarakan. Dasar hukumnya Peraturan Pemerintah No. 132 Tahun 2000

e. Penghasilan persewaan atas tanah/bangunan dikenakan tarif pemotongan pajak sebesar 10% dan penghasilan bruto. Dasar hukumnya Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2000 Pasal 3

4. Beban – beban yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto

Seperti diuraikan sebelumnya semua penghasilan yang disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) dapat dikurangkan dengan biaya yang disebutkan pada pasal 6 ayat (1) Undang – Undang No. 17 Tahun 2000. Untuk menentukan penghasilan neto secara pembukuan, penghasilan bruto dikurangi dengan pengurangan – pengurangan yang diperkenakan menurut peraturan perpajakan yang berlaku.

Pengurangan – pengurangan yang diperkenankan adalah sebagai berikut:

a. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;

b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11 A;

c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan;

(7)

d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan;

e. kerugian dari selisih kurs mata uang asing;

f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia;

g. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;

h. piutang yang nyata – nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat :

1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/ pembebasan utang antara kreditur dan debitur ang bersangkutan;

3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umu atau khusus; dan 4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak

dapat ditagih kepada Direktorat Jendral Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jendral Pajak.

Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud diatas didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut – turut sampai dengan lima tahun.

Menurut Keputusan Dirjen Pajak nomor KEP – 220/PJ/2002 Pasal 1 ayat 1 dan 2, mengenai perlakuan pajak penghasilan atas biaya pemakaian telepon selular :

(1) Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian.

(8)

(2) Atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Menurut Keputusan Dirjen Pajak nomor KEP – 220/PJ/2002 pasal 3 ayat 1 dan 2, yang mengatur mengenai perlakuan pajak penghasilan atas biaya pemakaian kendaraan perusahaan :

(1) Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya perolehan atau pembelian

(2) Atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen) dari jumlah biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak nomor SE - 01/PJ.42/2002 yang mengatur tentang perlakuan pajak Penghasilan atas pengeluaran untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai biaya/

pengurang penghasilan bruto.

Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor : SE-27/PJ.22/1986, yang mengatur mengenai biaya ”entertainment” dianggap sebagai pengurang penghasilan bruto apabila Wajib Pajak memiliki Surat Pemberitahuan Tahunan daftar nominatif untuk membuktikan, bahwa biaya – biaya tersebut benar – benar telah dikeluarkan dan benar ada hubungannya dengan kegiatan perusahaan untuk mendaptkan, menagih dan memelihara penghasilan perusahaan.

(9)

5. Beban – beban yang Tidak Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto Biaya – biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto

Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap seperti disebutkan dalam Pasal 9 ayat 1 Undang – Undang Nomor 17 tahun 2000 :

a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen, termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota;

c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat – syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, ayang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan;

e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;

g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata – nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib

(10)

Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk oleh Pemerintah;

h. Pajak Penghasilan;

i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya;

j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang – undangan di bidang perpajakan

Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 atau pasal 11 A.

2.1.3 Jenis Koreksi Fiskal

Koreksi Fiskal ada dua jenis yaitu:

1. Koreksi fiskal positif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat menambah penghasilan atau mengurai biaya – biaya komersial.

2. Koreksi fiskal negatif adalah penyesuaian terhadap penghasilan neto komersial (di luar unsur penghasilan yang dikenakan PPh final dan tidak termasuk Objek Pajak) dalam rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat mengurangi penghasilan dan atau menambah biaya – biaya komersial.

Menurut Tjahjono (2005,p.526) langkah – langkah dalam menyusun koreksi fiskal adalah sebagai berikut :

(11)

a. Wajib Pajak tetap menyelenggarakan proses akuntansi komersial (menurut SAK) sebagai proses akuntansi utama, sehingga pada akhir tahun akan menghasilkan produk berupa laporan keuangan komersial.

b. Menyelenggarakan pencatatan tamabahan untuk menghitung laba usaha kena pajak. Yang dimaksud dengan kegiatan pencatatan tambahan disini adalah terbatas untuk menghitung harta/biaya/penghasilan yang kebijakan akuntansinya berbeda dengan SAK.

c. Melakukan koreksi fiskal dengan langkah sebagai berikut : 1) Mengenali penyesuaian pajak yang diperlukan

2) Melakukan analisis terhadap elemen – elemen yang perlu disesuaikan untuk mementukan pengaruhnya terhadap laba usaha kena pajak

3) Melakukan penyesuaian fiskal, dengan cara melakukan penambahan/ pengurangan atas laba usaha sebagai berikut :

Tabel 2.1 Tahapan Koreksi Fiskal Laba Usaha (Akuntansi Komersial)

Koreksi Fiskal (Positif/Negatif) : +/- Akibat kebijakan akuntansi

+/- Akibat pengakuan pendapatan +/- Akibat pengakuan biaya

Laba Usaha Kena Pajak

4) Menyusun laporan keuangan fiskal, sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

5) Mengisi dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan.

Berdasarkan penjelasan di atas maka untuk melakukan penghitungan PPh terutang sampai dengan hasil akhir yaitu PPh kurang/

lebih dibayar, dapat dilakukan dengan langkah – langkah sebagai berikut :

(12)

Tabel 2.2 Skema Penghitungan PPh terutang WP Badan

Penjualan xxx

Harga Pokok Penjualan (xxx)

Laba Kotor xxx

Beban – Beban Usaha (xxx)

Laba Usaha xxx

Pendapatan dan Beban lain – lain - Pendapatan lain – lain xxx

- Beban lain – lain (xxx)

Total Pendapatan dan Beban lain – lain xxx

Laba Usaha (Komersial) xxx

Penyesuaian/Koreksi Fiskal - Koreksi Positif xxx

- Koreksi Negatif xxx xxx

Laba Usaha Kena Pajak xxx

Kompensasi Kerugian (xxx)

Penghasilan Kena Pajak (PKP) xxx

x Tarif PPh pasal 17 : - 10% x xxx

- 15% x xxx

- 30% x xxx xxx

PPh Terutang xxx

Kredit Pajak (KP) : - KP I : PPh 22 (xxx)

PPh 23 (xxx)

Total KP I (xxx)

- KP II : PPh 25 (xxx)

Fiskal Luar Negeri (xxx)

Total KP II (xxx)

PPh Kurang/ Lebih dibayar xxx 2.1.4 Kredit Pajak

2.1.4.1 PPh pasal 22

Pajak Penghasilan pasal 22 ini dibedakan berdasarkan jenis kegiatan yang dilakukan . Kegiatan – kegiatan yang dikenakan pajak

(13)

a. Kegiatan impor barang;

b. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah;

c. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang dananya bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja Daerah (APBD);

d. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan bank – bank BUMN yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non – APBN;

e. Penjualan hasil produksi oleh Pertamina dab badan usaha lainnya Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT, dan gas;

f. Pembelian bahan – bahan untuk keperluan industri atau ekspor industri yang dilakukan oleh eksportir yang bergerak di bidang perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan.

A. PPh 22 Bendaharawan

Setiap aktivitas penjualan atau penyerahan barang kepada suatu instansi pemerintah, BUMN atau BUMD dikenakan pemungutan PPh Pasal 22 oleh Bendaharawan.

Objek PPh 22 Bendaharawan ini adalah penjualan hasil produksi atau penyerahan barang. Pemungut PPh 22 Bendaharawan menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 236/KMK.03/ 2003 adalah :

1. Direktorat Jenderal Anggaran, Bendaharawan Pemertintah baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun di tingkat Pemerintah Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian barang.

(14)

2. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara (APBN) dan atau belanja daerah (APBD)

3. Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, Pertamina, dan Bank – Bank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN.

Dasar pemungutan dan penghitungan PPh 22 bendaharawan adalah harga pembelian. Yang dimaksud dengan harga pembelian adalah harga faktur, tidak termasuk PPN dan PPnBM.

Tarif pemungutan pajak penghasilan pasal 22 Bendaharawan ini adalah 1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian barang (tidak termasuk PPN dan PPnBM).

2.1.4.2 PPh pasal 23

PPh pasal 23 adalah pajak penghasilan sehubungan dengan dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak penghasilan pasal 21 ayat (1) huruf e, bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi, sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21, dengan nama dan bentuk apapun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap.

Subyek PPh 23 adalah Wajib Pajak Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap. Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Dalam Negeri adalah : a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi

yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga)

(15)

hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai miat untuk bertempat tinggal di Indonesia

b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

Menurut Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2000, obyek PPh 23 adalah sebagai berikut :

a. Dividen

b. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian hutang

c. Royalti

d. Hadiah dan penghargaan selain yang dipotong PPh 21(yang diterima oleh WP Badan)

e. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi

f. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta gerak

g. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong PPh 21.

Tarif pajak PPh Pasal 23 ATAS dividen, bunga, royalti, hadiah, dan penghargaan adalah 15% dari jumlah bruto. Tarif PPh pasal 23 atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi adalah 15% dari jumlah bruto (sifatnya final). Tarif PPh pasal 23 atas sewa dan imbalan adalah 15% dari perkiraan penghasilan neto.

2.1.4.3 PPh Pasal 24

Pajak penghasilan pasal 24 adalah pajak yang terutang atau dibayarkan di luar negeri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang dapat dikreditkan terhadap pajak penghasilan yang terutang atas seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.

Besarnya kredit pajak luar negeri yang diperbolehkan untuk dikreditkan adalah:

(16)

a. Hanya atas pajak yang langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak dari luar negeri dan;

b. Setinggi – tingginya sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri, tapi tidak boleh melebihi jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap penghasilan kena pakjak dikalikan dengan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak, atau setinggi – tingginya sama dengan pajak yang terutang atas penghasilan kena pajak dalam hal penghasilan kena pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri.

Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri (BMKPLN) merupakan jumlah yang dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri terhadap penghasilan kena pajak yang terhutang atas penghasilan kena pajak.

Rumus penghitungan BMKPLN

BMKPLN = Penghasilan Luar Negeri x PPh Terhutang Penghasilan Kena Pajak

2.1.4.4 PPh Pasal 25

Prinsip utama dalam pengenaan pajak penghasilan pasal 25 adalah membantu Wajib Pajak dalam mengangsur pajak sedapat mungkin diupayakan mendekati jumlah pajak yang akan terutang pada akhir tahun. Angsuran PPh pasal 25 tersebut dapat dijadikan sebagai kredit pajak atas seluruh penghasilan pada akhir tahun pajak.

Dasar penghitungan PPh pasal 25 ada beberapa macam tergantung peristiwa yang menyebabkan timbulnya hutang pajak. Dasar penghitungan yang dimaksud adalah :

- Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (SPT PPh) tahun yang lalu dikurangi dengan kredit pajak

- Untuk bulan – bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT adalah angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.

- Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun – tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak

(17)

dihitung kembali berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP.

Untuk menentukan besarnya angsuran PPh 25, jumlah PPh yang terutang menurut SPT PPh tahun pajak yang lalu dikurangi dengan PPh yang dipotong/ dipungut serta PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan kemudian dibagi dengan banyaknya bulan dalam satu tahun takwim yaitu 12 atau dibagi dengan banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Rumus penghitungan angsuran PPh pasal 25 : PPh 25 = 1/12 x (Pajak terutang – Kredit Pajak)

Berdasarkan Pasal 25 ayat (6) Undang – Undang Nomor 17 tahun 2000, Direktur Jenderal Pajak mempunyai wewenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal – hal tertentu. Yang dimaksud dengan hal – hal tertentu yaitu:

a. Wajib Pajak Berhak atas Kompensasi Kerugian;

b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;

c. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh melewati batas waktu 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun pajak;

d. Wajib Pajak memperoleh ijin perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan PPh;

e. Wajib Pajak melakukan pembetulan sendiri SPT PPh yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan;

f. Wajib Pajak dalam tahun berjalan mengalami perubahan keadaan usaha atau kegiatannya.

2.1.4.5 PPh Kurang/ Lebih Bayar

Setelah menemukan PPh terutang dan dikurangkan dengan kredit pajak maka menghasilkan PPh Kurang/ Lebih dibayar. PPh Lebih Bayar terjadi apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih

(18)

kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan (restitusi) setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut sanksi-sanksinya

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 B ayat (1) UU KUP, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak.

Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah :

a. kebenaran materiil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang terutang;

b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan untuk tahun pajak yang bersangkutan.

Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan, Direktur Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan, buku-buku, dan catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang, kebenaran jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah dikreditkan dan untuk menentukan besarnya kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan.

Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar merupakan hak Wajib Pajak. Sedangkan PPh kurang bayar terjadi apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar daripada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) UU PPh, maka kekurangan pajak yang terutang harus dilunasi selambat- lambatnya tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir, sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan disampaikan.”

Ketentuan Pasal ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan

(19)

Undang-undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunnan Pajak Penghasilan disampaikan. Apabila tahun buku sama dengan tahun takwim maka kekurangan pajak tersebut wajib dilunasi selambat- lambatnya tanggal 25 Maret setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun takwim, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni, maka kekurangan pajak wajib dilunasi selambat-lambatnya tanggal 25 September.

2.2 Surat Pemberitahuan

Surat Pemberitahuan merupakan sarana yang digunakan oleh Wajib Pajak PPh untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.

Surat Pemberitahuan pada dasarnya ada dua macam yaitu :

1. Surat Pemberitahuan Masa (SPT Masa) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak yang terutang dalam Masa Pajak atau pada suatu saat. SPT Masa meliputi SPT Masa PPh Pasal 21, SPT Masa PPh Pasal 22 Bendaharawan, SPT Masa PPh Pasal 22 Impor, SPT Masa PPh Pasal 23, SPT Masa PPh Pasal 25, SPT Masa PPh Pasal 26, SPT Masa PPN.

2. Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan pembayaran pajak yang terutang dalam satu tahun pajak. Jenis – jenis SPT Tahunan meliputi SPT Tahunan PPh WP Pribadi (Formulir 1770), SPT Tahunan PPh WP Badan (Formulir 1771) dan SPT Tahunan PPh Pasal 21 (Formulir 1721)

Ketentuan tentang pengisian SPT yaitu SPT wajib diisi dengan benar, lengkap, jelas, dan ditandatangani. Pengertian benar yaitu data dan informasi yang dilaporkan dalam SPT harus menggambarkan fakta/ keadaan WP yang sebenarnya. Lengkap yaitu seperti yang disampaikan disertai dengan lampiran – lampiran yang diwajibkan dan lampiran lain sebagai tambahan informasi yang dilaporkan dalam SPT.

Sedangkan yang dimaksud dengan jelas adalah data dan informasi

(20)

yang disajikan dalam SPT mudah dimengerti dan dipahami sehingga tidak menyesatkan bagi DJP.

Fungsi Surat Pemberitahuan bagi Wajib Pajak adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang : 1. pembayaran dan pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan

atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak;

2. penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;

3. harta dan kewajiban;

4. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundang – undangan perpajakan yang berlaku.

2.2.1. Yang Wajib Mengisi dan Menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan

Yang wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (Formulir 1771) meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan perkumpulan, firma, kongsi, koperasi yayasan atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, bentuk usaha tetap, serta bentuk badan usaha lainnya.

2.2.2. Bahasa dan Mata Uang yang Digunakan

Setiap Wajib Pajak mengisi Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani dan menyampaikannya ke kantor Direktorat Jendral Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau dikukuhkan (Pasal 3ayat (1),UU No.16/2000)

(21)

2.2.3 Batas Waktu, Tempat, Cara Penyampaian SPT Tahunan WP Badan

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU KUP), hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut :

1. Batas waktu Penyampaian SPT Tahunan PPh

SPT Tahunan PPh yang telah diisi secara benar, lengkap, jelas dan ditandatangani selambat – lambatnya 31 Maret tahun berikutnya. Bagi Wajib Pajak yang tahun bukunya tidak sama dengan tahun takwim, SPT Tahunan PPh harus disampaikan selambat – lambatnya tiga bulan setelah tahun buku berakhir.

2. Tempat Penyampaian SPT Tahunan PPh

SPT Tahunan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau ke Kantor Penyuluhan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Wajib Pajak (Pasal 3 ayat (1) jo.

Pasal 5 UU KUP)

3. Cara Penyampaian SPT Tahunan PPh

Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos atau bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk menerima pembayaran pajak (Bank Persepsi). Penyampaian SPT Tahunan dapat dilakukan melalui Kantor Pos secara tercatat atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-518 / PJ. / 2001.

2.2.4 Petunjuk Singkat Pengisian SPT Formulir 1771

Dalam pengisian SPT Formulir 1771, dimulai dari lembar pertama yaitu SPT Induk lalu berikutnya terdapat Lampiran I sampai dengan Lampiran VI dan dilanjutkan lagi dengan Lampiran – Lampiran Khusus.

(22)

Lampiran I berisi mengenai penghasilan neto komersial dalam negeri. Yang dimaksud dengan penghasilan neto komersial dalam negeri adalah semua penghasilan yang diterima dan atau diperoleh dari kegiatan usaha dan dari luar kegiatan usaha di Indonesia, termasuk penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk Objek Pajak, dikurangi dengan pengeluaran / biaya-biaya sesuai dengan sistem dan metode akuntansi komersial Indonesia yang dianut secara taat azas, sebelum dilakukan penyesuaian-penyesuaian fiskal berdasarkan UU PPh dan peraturan pelaksanaannya.

Lampiran II diisi dengan perincian Harga Pokok Penjualan, Biaya Usaha Lainnya dan Biaya Dari Luar Usaha secara komersial sesuai dengan Lampiran 1771-I

Lampiran III diisi dengan rincian bukti pungut PPh Pasal 22 dan bukti potong PPh Pasal 23 yang telah dibayar melalui pemungutan/pemotongan pajak oleh pihak lain, atas penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tidak bersifat final yang diterima/ diperoleh dan dilaporkan dalam SPT Tahunan tahun pajak ini.

Lampiran IV diisi dengan penghasilan-penghasilan tertentu yang dikenakan PPh final baik melalui pemotongan oleh pihak lain atau dengan menyetor sendiri serta penghasilan-penghasilan tertentu yang tidak termasuk sebagai Objek Pajak yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak ini, sesuai dengan jumlah bruto atau nilai transaksinya.

Wajib Pajak wajib memperlihatkan serta membuat daftar rincian bukti- bukti pemotongan / pembayaran pajaknya apabila diminta untuk keperluan pemeriksaan kewajiban pajak.

Lampiran V diisi dengan daftar pemegang saham/ pemilik modal dan jumlah dividen, daftar susunan pengurus dan komisaris

Lampiran VI diisi dengan daftar penyertaan modal pada perusahaan afiliasi,

daftar pinjamam (hutang) dari pemegang saham dan atau perusahaan afiliasi, daftar pinjaman (piutang) kepada pemegang saham dan atau perusahaan afiliasi

(23)

Sedangkan untuk SPT Induk berisi mengenai data perusahaan seperti NPWP, nama wajib pajak, jenis usaha, alamat, kelurahan/kecamatan, kota/kode post, nomor telepon,negara domisili, pembukuan/ laporan keuangan yang menyatakan apakah perusahaan

”Diaudit” atau ”Tidak Diaudit”. Lalu penghitungan PKP, PPh terutang, Kredit Pajak, PPh kurang/lebih bayar, dan angsuran PPh pasal 25 tahun berjalan, PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, serta lampiran. Dan yang paling penting pernyataan yang berisi nama lengkap dan tanda tangan wajib pajak serta cap perusahaan.

Terakhir lampiran – lampiran khusus SPT Tahunan seperti daftar penyusutan dan amortisasi fiskal, perhitungan kompensasi kerugian fiskal, pernyataan transasksi dalam hubungan istimewa, daftar fasilitas penanaman modal, daftar cabang utama, perhitungan PPh pasal 26 ayat 4, dan kredit pajak luar negeri.

Pengkreditan Pajak Penghasilan yang terutang / dibayar di luar negeri terhadap Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia adalah mana yang lebih kecil antara jumlah yang sebenarnya atau jumlah tertentu yang dihitung berdasarkan formula sebagai berikut :

Jumlah Penghasilan dari Luar Negeri x Total PPh Terutang Penghasilan Kena Pajak

Atau sama dengan total PPh terutang, mana yang lebih kecil

Referensi

Dokumen terkait

Bagian ini digunakan untuk melaporkan besarnya penghasilan neto dalam negeri lainnya seperti bunga, dividen, royalti, sewa, penghargaan dan hadiah, keuntungan dari

Bagian ini digunakan untuk melaporkan besarnya penghasilan neto dalam negeri lainnya seperti bunga, dividen, royalti, sewa, penghargaan dan hadiah, keuntungan dari

Menurut Sandford, sacrifice of income adalah pengorbanan Wajib Pajak yang menggunakan sebagian penghasilan atau uang dan hartanya untuk membayar pajak, distortion

PPh pasal 23 adalah pajak yang harus dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal dari

Salah satu unsur atau jenis pajak penghasilan adalah pajak penghasilan (PPh) pasal 21 yang dipotong atas penghasilan kena pajak, yaitu penghasilan sehubungan

Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 mengatur pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap yang berasal

Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah, sehubungan

1) Pemotong PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dan penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang