• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Media Pembelajaran

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana dalam upaya mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian, setiap keterampilan, kepribadian, dan kecerdasan individual harus dikaitkan dengan proses pendidikan terutama pada anak usia sekolah yang akan berperan sebagai agen perubahan dan generasi penerus bangsa, sehingga pendidikan yang diberikan harus dioptimalkan dengan memanfaatkan komponen-komponen belajar yang ada.

Media merupakan salah satu komponen belajar yang dapat menunjang kegiatan pembelajaran (Iryanto & Arthana, 2015).

Kata “media” berasal dari bahasa latin “medius” dan merupakan bentuk jamak dari kata “medium” yang secara harfiah berarti “tengah”, “perantara” atau “pengantar”

yang berarti perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan (Bekti, 2012). Pembelajaran merupakan suatu usaha pengajar untuk membantu siswa/anak didiknya agar dapat belajar sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. Media pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu alat atau perantara yang dapat membantu proses belajar mengajar dan berfungsi untuk memperjelas makna dari pesan yang

(2)

disampaikan kepada peserta didik/siswa dengan menciptakan suasana yang dapat menarik antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan baik (Irawan, 2015). Hal serupa juga dikemukakan oleh Ibrahim dan Nana Syaodih (2003) dalam Dwi Rohmawati (2012) yang menyatakan bahwa media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pelajaran, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa, sehingga dapat mendorong proses belajar mengajar.

Association of Education and Communication Technology (AECT) di Amerika membatasi media sebagai bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan informasi (Iryanto & Arthana, 2015).

Menurut Notoatmodjo (2007a), pendidikan kesehatan tidak dapat terlepas dari media karena dengan media, pesan yang disampaikan dapat lebih menarik dan mudah dipahami sasaran. Dalam proses kegiatan belajar mengajar, media pembelajaran sangat berperan penting didalamnya. Metode mengajar dan media pembelajaran merupakan dua unsur yang sangat penting dan saling berkaitan dalam proses belajar mengajar, sebab pemilihan metode mengajar tertentu akan mempengaruhi jenis media pembelajaran yang sesuai dengan metode tersebut (Sukarno, 2009; Dwi Rohmawati, 2012). Sri Astami (2010) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa menggunakan media pengajaran yang berbeda akan memberikan hasil dan pengalaman pembelajaran yang berbeda pula. Pengalaman pembelajaran tersebut dapat digambarkan dalam kerucut pengalaman Edgar Dale (Edgar Dale’s Cone of Experience) yang memberikan gambaran mengenai keterkaitan metode dan media yang digunakan dalam proses pembelajaran (Astami, 2010).

(3)

Gambar 2.1 Kerucut Edgar Dale (Sumber : Nursulistiyo, 2014)

Dalam kerucut pengalaman Edgar Dale ini pengalaman belajar diklasifikasikan menjadi 10 tingkatan dari yang paling konkrit sampai yang paling abstrak. Dimana semakin keatas di puncak kerucut, semakin abstrak media penyampaian pesannya (Astami, 2010). Melalui kerucut pengalaman tersebut dapat diketahui bahwa siswa/peserta didik akan mencapai hasil belajar 10% dari apa yang ia baca, 20% dari apa yang ia dengar, 30% dari apa yang ia lihat, 50% dari apa yang ia lihat dan dengar, 70% dari yang ia katakan, dan 90% dari yang ia lakukan. Usman (2005) dalam Wibawa (2007) menyebutkan bahwa keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh strategi, metode serta alat bantu pembelajaran yang digunakan dalam proses pendidikan, maka dari itu perlu didesain secara efektif. Belajar yang efektif harus mulai dengan pengalaman langsung atau pengalaman konkret dan menuju pengalaman yang lebih abstrak (Wibawa, 2007).

Penelitian yang dilakukan Haryoko (2010), mendapatkan hasil bahwa hasil belajar dengan penggunaan media audio visual memiliki skor yang jauh lebih tinggi

(4)

dibandingkan dengan hasil belajar dengan pendekatan konvensional. Handayani (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penggunaan media komik (visual) mampu meningkatkan pengetahuan tiga kali lebih besar dibandingkan dengan media leaflet, dan meningkatkan sikap empat kali lebih besar dibandingkan dengan media leaflet. Nur Laili Siyam et al. (2015) juga menyatakan dalam penelitiannya bahwa pendidikan kesehatan menggunakan alat pendidikan edukatif (APE) permainan ular tangga memiliki pengaruh terhadap peningkatan pengetahuan anak. Penelitian Hamdalah tahun 2013 dengan menggunakan media ular tangga juga menyimpulkan bahwa permainan ular tangga lebih efektif dalam upaya meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap kesehatan gigi dan mulut serta penerapan cara menggosok gigi yang baik dan benar (Siyam et al., 2015).

2.2 Film Edukatif

Film edukatif merupakan salah satu contoh media pembelajaran yang bersifat audio visual. Dalam penelitian ini film edukatif yang dimaksud berupa film kartun yang merupakan gabungan dari gambar kartun yang diproyeksikan sedemikian rupa hingga menjadi gambar bergerak yang mempunyai cerita. Film kartun juga dapat disebut film animasi (Karunia & Hariani, 2014).

Menurut Daryanto (2010) dalam Gustinawati (2014), film edukatif merupakan perpaduan antara pemaparan imajinatif, faktual, dan teknis. Dikatakan imajinatif karena pembuatan film memerlukan daya khayal. Faktual, karena imajinasi tersebut berisi informasi-informasi materi pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didik. Sedangkan dikatakan teknis karena pembuatan film harus berdasarkan karakteristik peserta didik dan kompetensi dasar yang harus dicapai. Berdasarkan Teori Kerucut Pengalaman Edgar Dale, media film ini merupakan media yang termasuk dalam fase melibatkan penglihatan dan pendengaran pesertanya.

(5)

Media film sangat memiliki kemungkinan untuk memacu dan memberi stimulant pada daya apresiasi anak didik. Kisah-kisah yang ditampilkan melalui film dapat membantu anak memahami dan merespon kehidupan sekitarnya. Media film disajikan sebagai media pengajaran untuk mengambil pesan dari alur cerita sesuai dengan tema dan subyek pelajaran yang diajarkan, sehingga anak didik akan mudah memahami dan mengambil pelajaran dari film yang di tonton (Gustinawati, 2014).

Menurut Waluyanto (2006) dalam Karunia & Hariani (2014), media film kartun dipilih sebagai media pembelajaran karena memiliki kelebihan, antara lain : lebih mudah diingat karena penggambaran karakter yang unik, efektif langsung pada sasaran yang dituju, efisien sehingga memungkinkan frekuensi yang tinggi, lebih fleksibel mewujudkan hal-hal khayal, dapat dikombinasikan dengan live action, dan kaya akan ekspresi warna.

Berdasarkan penelitian kuasi eksperimen Rahmattullah (2011) mengenai Pengaruh Pemanfaatan Media Film Animasi Terhadap Hasil Belajar Siswa pada siswa kelas VII di SMPN 6 Banjarmasin, didapatkan hasil bahwa penggunaan media pembelajaran film animasi memberikan pengaruh yang signifikan pada hasil belajar siswa dibandingkan dengan yang tidak menggunakan media film animasi.

Karunia & Hariani (2014) dalam penelitiannya mengenai Penggunaan Media Film Kartun Untuk Meningkatkan Keterapilan Menyimak Cerita Siswa Kelas VA SDN Balasklumprik I No.434 Surabaya, didapatkan hasil bahwa penggunaan film kartun sangat efektif sebagai media belajar Bahasa Indonesia kelas V SD, karena siswa lebih antusias dan tertarik dalam mengikuti pembelajaran, serta hasil belajar siswa pun dapat tercapai dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata perolehan KKM (nilai di atas KKM dan sama dengan KKM) yang mengalami kenaikan dari siklus I yaitu 80,28

(6)

menjadi 81,15 pada siklus II. Selain itu, penggunaan media film kartun juga dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menyimak pelajaran Bahasa Indonesia yang dapat dilihat dari presentase keberhasilan ketuntasan klasikal pada siklus I sampai siklus II. Dimana pada siklus I rata-rata ketuntasan klasikal yaitu 74,29% meningkat sebanyak 11,42%.

2.3 Permainan Edukatif

Permainan edukatif adalah semua bentuk permainan yang dapat memberikan pengalaman pendidikan atau pengalaman belajar kepada para pemainnya (Christianna, 2013). Permainan edukatif merupakan permainan yang mampu meningkatkan perkembangan fisik, perilaku, dan kecerdasan otak. Dimana melalui permainan, anak dapat mengekpresikan ide-ide dan imajinasinya untuk mengembangkan kreativitasnya (Rahma, 2009). Menurut Rahmawati (2014), permainan edukatif merupakan alat bantu yang dapat digunakan dalam pembelajaran agar materi pembelajaran dapat mudah diterima oleh siswa.

Penggunaan permainan edukatif dapat membantu anak dalam memahami materi pembelajaran karena permainan ini memiliki fungsi, diantaranya yaitu : membantu dan mendukung proses pembelajaran anak didik agar lebih baik, menarik, dan jelas;

mengembangkan seluruh aspek perkembangan anak; memberi kesempatan kepada anak didik memperoleh pengetahuan baru dan memperkaya pengalamanya dengan berbagai alat permainan; memberi kesempatan kepada anak didik untuk mengenal lingkungannya dan mengetahui kekuatan dirinya; memperjelas materi yang diberikan pada anak; dan memberikan motivasi serta merangsang anak untuk melakukan eksplorasi dan bereksperimen dalam pertumbuhan dan mengembangkan bahasa, kecerdasan, fisik, sosial, dan emosional anak (Christianna, 2013).

(7)

Dalam hal ini, adapun indikator keberhasilan penggunaan media permainan edukatif Badan POM khususnya permainan ular tangga yaitu adanya peningkatan baik dari segi pengetahuan, sikap, dan perilaku sasaran setelah diberikan perlakuan.

2.3.1 Permainan Ular Tangga

Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan sikap anak terhadap permasalahan kesehatan, dapat diberikan stimulus berupa permainan. Jenis permainan yang dapat digunakan salah satunya yaitu permainan ular tangga. Permainan ular tangga merupakan salah satu permainan yang sejalan dengan perkembangan kognitif anak usia 8-11 tahun. Dimana pada usia ini, anak dapat menerima suatu permainan yang banyak diwarnai dengan nalar dan logika yang bersifat obyektif serta kegiatan anak dalam bermain lebih banyak dikendalikan oleh aturan yang ada dalam permainan (Siyam et al., 2015). Permainan ular tangga ini melibatkan hampir seluruh indera pesertanya, baik dengan melihat, mendengar, meraba, dan terlibat langsung dalam permainan. Pada umumnya, permainan ini dapat dilengkapi dengan gambar yang menarik dan berhubungan dengan pesan atau tulisan singkat yang berhubungan dengan isi penyuluhan (Labibah, Nurhapsari, & Mujayanto, 2015). Menurut Astrianingsih, Kristiawati, & Krisnana (2014), permainan ular tangga dapat mengembangkan kemampuan kognitif, moral, mental emosional dan sosial, serta psikomotor seseorang.

Agar pengembangan media permainan ular tangga sesuai dengan tujuan yang diharapkan, maka sangat penting untuk memperhatikan prinsip-prinsip penilaian media pembelajaran. Dimana pengembangan media pembelajaran permainan ular tangga harus mengacu pada prinsip-prinsip evaluasi media pembelajaran, yaikni:

media pengajaran harus sesuai dengan tujuan pembelajaran, kosakata, kesesuaian

(8)

dengan isi materi, kesesuaian dengan karakteristik siswa, dan kualitas gambar atau visual (Afandi, 2015).

Penelitian deskriptif dengan desain pre dan post-test yang dilakukan oleh Laili Siyam et al. (2015) mengenai pengaruh stimulasi ular tangga tentang gingivitis terhadap pengetahuan anak usia 8-11 tahun menyebutkan bahwa alat pendidikan edukatif (APE) seperti ular tangga memiliki pengaruh terhadap pengetahuan anak.

Dimana hal tersebut ditunjukkan melalui hasil signifikan dari perhitungan uji Wilcoxon Signed Rank yaitu 0,00 (p < 0,05).

Selain itu, penelitian Laili Siyam et al. (2015) juga sejalan dengan penelitian kuasi eksperimen Hamdalah (2013) dengan menggunakan media permainan ular tangga yang menyimpulkan bahwa media permainan ular tangga lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap kesehatan gigi dan mulut. Hal tersebut dibuktikan dengan uji statistik menggunakan Uji Kruskal wallis yang menunjukkan nilai Asym. Sig (2-tailed) sebesar 0,0001 ( p < α (0,05)) sehingga Ho ditolak.

2.4 Keamanan Pangan

Keamanan pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia (Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan).

Makanan yang sehat, aman, dan bergizi adalah makanan yang mengandung zat gizi yang diperlukan seorang anak untuk hidup sehat dan produktif. Makanan tersebut harus bersih, tidak kadaluarsa, dan tidak mengandung bahan kimia maupun mikroba berbahaya bagi kesehatan. Gizi yang baik dan cukup akan membantu pertumbuhan

(9)

dan perkembangan anak secara optimal dan akan meningkatkan kecerdasan seorang anak (Nasution, 2009).

Ketidakamanan pangan dapat berasal dari berbagai cemaran, baik cemaran biologis (Salmonella, E. Coli, Clostridium, dan Listeria monocytogenes), cemaran kimia (formalin, rhodamin B, boraks, dan methanil yellow) , maupun cemaran fisik (pecahan gelas, kawat stepler, potongan kayu, kerikil, rambut, dan kuku). Selain berbagai cemaran tersebut, pangan juga dapat menjadi tidak aman karena kondisi bahan baku, bahan tambahan, dan peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan pangan. Selain itu, lingkungan dan penjamah yang terlibat dalam proses pengelolaan pangan juga dapat turut berperan dalam menentukan kondisi keamanan pangan tersebut (Kemenkes RI, 2011).

2.5 Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2014), pengetahuan adalah hasil tahu dari seseorang setelah ia melakukan penginderaan terhadap suatu objek. Penginderaan yang dimaksud yaitu melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.

dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek tersebut. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui pendengaran dan penglihatan.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2014). Pengetahuan dapat diperoleh dari pengalaman, melalui proses belajar terhadap suatu informasi yang diperoleh seseorang, dan proses pendidikan atau edukasi (Nurjanatun N, 2012).

Notoatmodjo (2007a) berpendapat bahwa pengetahuan seseorang terhadap obyek memiliki intensitas dan tingkat yang berbeda-beda, hal ini tercakup dalam domain kognitif yang dibagi menjadi enam tingkatan, antara lain : (1) Tahu (Know)

(10)

yaitu mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya atau dapat dikatakan mengingat kembali suatu materi yang spesifik dari seluruh materi yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Maka dari itu, tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah; (2) Memahami (Comprehension), diartikan bahwa seseorang harus dapat menjelaskan dan menginterpretasikan dengan benar suatu objek atau materi yang diketahuinya. Seseorang yang telah paham terhadap suatu objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dan meramalkan objek yang dipelajari tersebut; (3) Aplikasi (Application), dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang menggunakan atau mengimplementasikan materi yang telah dipelajarinya pada kondisi yang riil (sebenarnya); (4) Analisis (Analysis) yaitu suatu kemampuan dalam menjabarkan suatu materi atau objek kedalam beberapa komponen, tetapi masih dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain; (5) Sintesis (Synthesis) dapat dikatakan sebagai kemampuan untuk menghubungkan atau meletakkan beberapa bagian kedalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada; (6) Evaluasi (Evaluation) berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memberikan penilaian terhadap suatu objek. Penilaian yang diberikan didasari terhadap suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria yang sudah ada.

Menurut Notoatmodjo yang dikutip dalam Nurjanatun N (2012), beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan individu, diantaranya yaitu : (1) Usia, dimana semakin cukup usia seseorang, maka tingkat kematangannya akan lebih tinggi pada saat berfikir dan bekerja. Hal ini merupakan akibat dari pengalaman dan kematangan jiwa; (2) Pendidikan, yang merupakan proses belajar, dimana terjadinya proses pertumbuhan, perkembangan atau perubahan kearah lebih dewasa, lebih baik dan lebih matang pada diri individu, keluarga, dan masyarakat. Semakin tinggi tingkat

(11)

pendidikan seseorang, maka akan semakin banyak pengetahuan yang dimilikinya; (3) Persepsi, dapat dikatakan mengenal dan memilih obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil; (4) Motivasi, yaitu dorongan keinginan dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi muncul apabila terdapat rangsangan dari dalam dan luar diri individu; (5) Sumber Informasi, seseorang yang sering terpapar informasi akan mempengaruhi tingkat pengetahuannya. Paparan informasi dapat diperoleh melalui buku, media massa seperti koran, majalah, televisi, serta saling bertukar informasi.

2.6 Sikap

Sikap merupakan predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, dan merupakan suatu proses kesadaran yang bersifat individual (Nurjanatun N, 2012). Sedangkan Newcomb salah seorang ahli psikologi dalam Notoatmodjo (2007a), menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Selain itu, beberapa ahli menyimpulkan bahwa sikap merupakan hasil dari proses sosialisasi dan interaksi seseorang dengan lingkungannya, yang merupakan perwujudan dari pikiran, perasaan seseorang serta penilaian terhadap suatu objek yang didasarkan pada pengetahuan, pemahaman, pendapat, dan keyakinan serta gagasan-gagasan terhadap suatu objek sehingga menghasilkan suatu kecenderungan untuk bertindak pada suatu objek Suharyat (2009).

Secara umum, sikap memiliki tiga komponen, yaitu : kognitif, afektif, dan kecenderungan bertindak. Komponen kognitif merupakan aspek sikap yang berhubungan dengan penilaian individu terhadap suatu subyek atau obyek. Informasi yang masuk ke dalam otak akan menghasilkan nilai baru yang akan disinkronkan dengan pengetahuan yang sudah ada di dalam otak melalui proses analisis, sintesis,

(12)

dan evaluasi. Pada akhirnya, nilai-nilai yang diyakini baik, benar, dan indah akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu. Oleh karena itu, komponen afektif dapat dikatakan sebagai perasaan (emosi) individu terhadap obyek atau subyek yang sejalan dengan hasil penilaiannya. Sedangkan kecenderungan bertindak berkaitan dengan keinginan individu melakukan perbuatan sesuai dengan keyakinan dan keinginannya (Suharyat, 2009).

Ketiga komponen sikap tersebut saling berkaitan satu sama lain, dimana ketiga komponen tersebut dapat menumbuhkan sikap individu. Sikap individu sangat berkaitan dengan perilaku mereka. Jika faktor sikap telah mempengaruhi sikap seseorang, maka antara sikap dan perilaku adalah konsisten. Apabila sikap dengan perilaku tidak konsisten, maka mungkin ada faktor luar yang mempengaruhi sikap dan perilaku individu tersebut. Faktor tersebut merupakan faktor eksternal yang ada dalam masyarakat, seperti norma, politik, dan budaya (Suharyat, 2009).

Sikap seseorang terhadap suatu obyek atau subyek dapat bersifat positif maupun negatif. Dimana sikap positif memiliki kecenderungan tindakan untuk menyenangi, mendekati, dan mengharapkan obyek tertentu. Sedangkan sikap negatif memiliki kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, dan tidak menyukai obyek tertentu (Purwoko, 2011).

2.7 Perilaku

Notoatmodjo dalam Widiari (2014) menyatakan pada hakikatnya perilaku manusia adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang memiliki bentangan yang sangat luas, antara lain berjalan, berbicara, menangis, tertawa, dan membaca, sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Skiner mengatakan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi

(13)

seseorang terhadap stimulus dari luar (Notoatmodjo, 2014). Sedangkan menurut Kurt Lewin yang dikutip dalam Suharyat (2009), perilaku adalah fungsi karakteristik individu (motif, nilai-nilai, sifat kepribadian) dan lingkungan. Faktor lingkungan memiliki kekuatan besar dalam menentukan lebih besar daripada karakteristik individu sehingga menjadikan prediksi perilaku lebih kompleks. Jadi, perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan kekuatan- kekuatan penahan (Suharyat, 2009).

Lawrence Green dalam menyebutkan bahwa faktor penyebab masalah kesehatan disebabkan oleh faktor perilaku dan faktor non perilaku (Geswaty, 2010). Faktor perilaku khususnya perilaku kesehatan dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni : faktor predisposing, enabling, dan reinforcing. (1) Faktor Predisposing (faktor predisposisi) adalah faktor yang terwujud dalam kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan variasi demografi, seperti : status ekonomi, umur, jenis kelamin, dan susunan keluarga. Faktor ini lebih bersifat dari dalam diri individu; (2) Faktor Enabling (faktor pemungkin) merupakan faktor pendukung yang terwujud dalam lingkungan fisik, termasuk di dalamnya adalah berbagai macam sarana dan prasarana, seperti : dana, transportasi, fasilitas, kebijakan pemerintah; dan (3) Faktor Reinforcing (faktor pendukung) yang meliputi : faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan, undang-undang dan peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan (Geswaty, 2010).

2.8 Teori Perubahan Perilaku

Notoatmodjo (2007b) dalam bukunya menerangkan berbagai teori perubahan perilaku, diantaranya yaitu Teori Kurt Lewin, Teori Fungsi, dan Teori SOR.

(14)

Dalam teorinya, Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia merupakan suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong dan kekuatan-kekuatan penahan. Apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut dalam diri seseorang, maka perilaku seseorang akan dapat berubah.

Terjadinya perubahan perilaku terhadap diri seseorang dipengaruhi oleh beberapa kemungkinan, diantaranya : kekuatan-kekuatan pendorong meningkat, kekuatan- kekuatan penahan menurun, kekuatan pendorong meningkat dan kekuatan penahan menurun. Kekuatan-kekuatan pendorong meningkat terjadi karena adanya stimulus- stimulus yang mendorong terjadinya perubahan perilaku. Stimulus-stimulus ini dapat berupa penyuluhan atau informasi yang berhubungan dengan perilaku yang bersangkutan. Berlawanan dengan hal diatas, kekuatan-kekuatan penahan menurun terjadi karena adanya stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut.

Sedangkan perubahan perilaku juga jelas dapat terjadi ketika kekuatan pendorong meningkat dan kekuatan penahan menurun.

Berbeda dengan Teori Kurt Lewin, Teori Fungsi beranggapan bahwa perubahan perilaku seseorang didasari karena kebutuhan. Jadi, stimulus yang dapat mengubah perilaku seseorang ini adalah stimulus yang dapat mengerti akan kebutuhan seseorang tersebut. Teori ini berkeyakinan bahwa perilaku memiliki fungsi untuk menghadapi dunia luar individu dan senantiasa menyesuaikan diri dengan lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh karena itu, perilaku di dalam kehidupan manusia tampak terus- menerus dan dapat berubah secara relatif.

Sedangkan Teori Stimulus Organisme Respon (SOR) diasumsikan bahwa perubahan perilaku itu terjadi tergantung dari kualitas rangsangan (stimulus) yang berkomunikasi dengan organisme. Ini artinya bahwa kualitas dari sumber komunikasi,

(15)

seperti kredibilitas, kepemimpinan, dan gaya berbicara sangat menentukan keberhasilan perubahan perilaku seseorang, kelompok, atau masyarakat. Selain itu, teori ini juga menyatakan bahwa perilaku dapat berubah hanya apabila stimulus yang diberikan benar-benar melebihi stimulus semula. Stimulus yang dapat melebih stimulus semula berarti stimulus yang diberikan harus dapat meyakinkan organisme.

Dalam meyakinkan organisme, faktor reinforcement memegang peranan penting.

2.9 Kuasi Eksperimen

Penelitian kuasi eksperimen menurut (Creswell, J, 2003) diartikan sebagai eksperimen semu atau penelitian yang mendekati eksperimen. Penelitian ini sering digunakan di bidang ilmu pendidikan atau penelitian lain dengan subyek penelitiannya adalah manusia. Dimana subyek tidak boleh dibedakan dalam memberikan perlakuan karena berstatus sebagai grup kontrol. Pada penelitian kuasi eksperimen ini, peneliti dapat membagi grup yang ada, tanpa membedakan antara grup dan kontrol secara nyata dengan tetap mengacu pada bentuk alami yang sudah ada.

Gambar

Gambar 2.1 Kerucut Edgar Dale  (Sumber : Nursulistiyo, 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Judul Skripsi : Pengembangan Media Ular Tangga Untuk Permainan Simulasi sebagai Upaya Promotif Meningkatkan Pengetahuan Siswa Memilih Jajanan Sehat Di

Perbedaan Efektivitas Metode Ceramah dengan Media Cerita Bergambar dan Ceramah dengan Media Permainan Ular Tangga dalam Meningkatkan Pengetahuan, Sikap dan Praktik Kesehatan Gigi

Upaya untuk meningkatkan pengetahuan prajurit TNI tentang pertolongan pertama, prajurit TNI memerlukan pengetahuan untuk sikap yang lebih dalam penanganan pertolongan pertama

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembinaan adalah suatu proses belajar dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap yang bertujuan untuk

Penelitian yang dilakukan oleh Erlin Nopiani (2013) dengan skripsinya yang berjudul Model Pembelajaran TGT Berbantuan Media Permainan Ular Tangga Berpengaruh Terhadap Hasil

Pengaruh Permainan Ular Tangga sebagai Media Pesan Gizi Seimbang Terhadap Pengetahuan, Sikap dan Tindakan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri 002 Samarinda

Rata-rata Tingkat Sikap responden Sebelum dan Sesudah Diberikan Edukasi Gizi dengan Media Permainan Ular Tangga .... Pengaruh Edukasi Gizi deangan Permainan Ular Tangga Terhadap Tingkat

"Pengaruh pendidikan kesehatan gosok gigi dengan metode permainan simulasi ular tangga terhadap perubahan pengetahuan, sikap, dan aplikasi tindakan gosok gigi anak usia sekolah di SD