• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan Tanaman Kopi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Perkembangan Tanaman Kopi di Indonesia"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Perkembangan Tanaman Kopi di Indonesia

Kopi merupakan tanaman perkebunan yang penting di Indonesia. Sejarah perkopian Indonesia mencatat bahwa kopi pertama kali masuk ke Indonesia sekitar tahun 1699 yang merupakan jenis kopi arabika (Coffea arabica). Pada sejak abad ke 18 kopi arabika menjadi andalan utama ekspor Indonesia yang terkenal dengan nama Java Coffee (Syamsulbahri 1985).

Indonesia memproduksi 420.000 ton metrik kopi ditahun 2007. Dari produksi tersebut, 271.000 ton diekspor. Sekitar 25% ekspor kopi tersebut adalah kopi arabika bernilai pasar lebih tinggi, sementara sisanya adalah kopi robusta dengan negara tujuan ekspor adalah Amerika Serikat (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan 2009).

Perkembangan produksi kopi di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 93% produksinya berasal dari kopi rakyat. Peningkatan produksi dan produktivitas kopi nasional mencapai 684.076 ton/tahun (Herman 2010). Namun demikian, kondisi pengelolaan usaha tani dalam perkebunan kopi rakyat masih relatif rendah dan mutu hasil produksi yang kurang memenuhi syarat untuk ekspor (Noeroel 2006).

Perkembangan produksi kopi di Provinsi Papua pada tahun 2008, 2009 dan 2010 secara berurutan mencapai 2.432 ton, 2.651 ton dan 2.243 ton, dengan jumlah ekspor mencapai 10 ton, 12 ton dan 24 ton ke Amerika Serikat pada perusahaan Starbuck. Dari total produksi tersebut 25% merupakan kopi arabika organik dari Kabupaten Jayawijaya dengan nilai pasar yang tinggi, sementara sisanya adalah kopi robusta (Disbun Provinsi Papua 2010).

Kabupaten Jayawijaya yang menempati sebagian wilayah pegunungan Jayawijaya Papua terletak pada ketinggian 550 m sampai 3500 m dari permukaan laut. Kopi arabika organik pertama kali dikembangkan secara terbatas pada tahun 1956 oleh para misionaris Belanda dengan menanam di pekarangan rumah untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Luas areal yang dikembangkan hanya dalam demplot pekarangan rumah dalam skala kecil.

Selanjutnya dari demplot tersebut dijadikan sumber benih yang kemudian dikembangkan oleh Yayasan Development Foundation (YDFo) Irian Jaya dan dijadikan sebagai bibit untuk dikembangkan serta diperbanyak oleh masyarakat pada tahun 1980-an (Anderson 2008).

(2)

Kopi arabika yang diusahakan oleh petani di Kabupaten Jayawijaya adalah varietas tipika (Coffea arabica var. Tipika cramer) dan sebagian kecil varietas arabika S 795 dan arabika S 288 yang di datangkan dari pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember pada tahun 1990-an. Selain itu juga diidentifikasi adanya beberapa varietas baru diduga merupakan hasil bastar alami (persilangan antar jenis tanaman) antara varietas tipika dan varietas arabika S 795 maupun varietas arabika S 288 (Sawor 2010; Farwas 2010).

Kopi Organik dan Status Sertifikasi

Kesadaran konsumen akan pentingnya kesehatan mendorong untuk mengkonsumsi produk kopi organik. Hal ini ditunjukan dengan meningkatnya permintaan daripada penawaran yang tersedia. Sehingga harga dari kopi organik yang dihasilkan melalui sistem pertanian kopi organik rata-rata harga lebih tinggi dari pada pertanian konvensional. Penghargaan konsumen terhadap produk ini antara lain dinilai dari sisi pemeliharaan ekosistem dan pelestarian lingkungan. Dengan cara mencermati sifat alam dan bersahabat dengan semua rantai ekosistem sehingga dapat menghasilkan produk yang bebas dari pestisida dan pupuk kimia seperti urea,TSP dan KCL ini sesuai dengan mutu yang diharapkan yaitu aman untuk dikonsumsi (Sukardono 2002). Di Amerika Serikat, Departemen Pertanian Amerika Serikat menetapkan standar yang harus dipenuhi untuk suatu produk yang diberi label organik dan membawa meterai ditampilkan di sebelah kanan. Dalam kasus kopi, produsen tidak dapat menggunakan zat sintetis seperti pestisida yang paling, herbisida dan pupuk. Jika kopi berlabel organik, setidaknya 95 persen dari biji pasti ditumbuhkan di bawah kondisi organik (USDA 2007).

Standar NOP butir 205.403(a) menyatakan bahwa setiap unit produksi, fasilitas dan lahan organik harus diinspeksi 100% setiap tahun. Butir ini mensyaratkan bahwa lembaga sertifikasi yang telah terakreditasi USDA harus melakukan inspeksi lapangan terhadap setiap unit produksi, fasilitas dan lahan yang memproduksi/mengelola produk organik dan terlibat di dalam program sertifikasi kelompok. Oleh karena sertifikasi kelompok tani melibatkan banyak orang, maka NOP mewajibkan inspeksi lapang 100% terhadap semua anggota yang terlibat untuk menghindari potensi resiko kontaminasi produk organik dan memastikan bahwa semua proses produksi berjalan sesuai dengan prosedur organik internal dan aturan NOP, akan tetapi persyaratan tersebut membutuhkan biaya yang besar dan sering kali menjadi hambatan utama bagi kelompok tani untuk mensertifikasi produknya. Keberatan terhadap usulan ini bermunculan. Sebagian besar produk organik

(3)

di pasar AS dihasilkan oleh petani-petani kecil dari negara-negara berkembang yang memperoleh sertifikasi secara kelompok (BIOCert 2006).

Hal ini juga tidak berbeda jauh dengan produk organik asal AS sendiri yang dihasilkan dari kelompok-kelompok produsen. Kelompok penentang usulan ini mengatakan bahwa petani-petani yang terlibat dalam sertifikasi kelompok memiliki sistem pengawasan internal (Internal Control System-ICS) untuk memastikan bahwa semua anggota kelompok tani telah mengikuti prosedur organik kelompok dan aturan NOP dengan melakukan inspeksi tahunan ke semua anggota kelompok yang terlibat, kemudian lembaga sertifikasi memverifikasi kebenaran dan efektifitas pelaksanaan pengawasan internal tersebut kepada organisasi produsen dan melakukan inspeksi ke beberapa petani saja (USDA 2007).

Di Indonesia melalui konsensus yang dikordinasikan oleh pusat standardisasi dan akreditasi Deptan pada tanggal 8 Juli 2002, telah dihasilkan SNI No.01-6729-2002 tentang sistem pangan organik. Dalam SNI ini telah tertulis berbagai hal yang mengatur tentang lahan, saprodi, pengelolahan, labeling sampai pada pemasaran produk pangan organik. SNI ini mengikuti Standar Internasional Codex. Tujuan utama dari standar internasional adalah untuk menfasilitasi produk kopi organik Indonesia yang akhir-akhir ini semakin marak, agar mempunyai acuan didalam melabel produknya (Saragih 2008).

Sertifikasi kopi organik tidak mudah untuk mendapatkan sertifikat/label SNI Organik karena untuk mendapatkan label pertanian organik terlebih dahulu harus dilakukan serangkaian kegiatan sertifikasi petani kopi organik. Dalam mendorong perkembangan pertanian kopi organik di Indonesia untuk menuju sertifikat petani kopi organik. Pusat standarisasi dan akreditasi Deptan telah menyususn draf tentang sistem sertifikasi bertahap menuju petanian kopi organik (Donaghue 2008).

Ada empat jenis sertifikasi pertanian organik yang dihasilkan dari kegiatan sertifikasi ini adalah: 1)sertifikat dan label biru untuk produk non pestisida, 2) sertifikat dan label kuning untuk transisi organik, 3)sertifikat dan label hijau untuk produk setara dengan SNI pertanian organik, dan 4)produk pertanian yang tumbuh secara organik dengan sendirinya (Organikally Grown) (BIOCert 2006).

Mekanisme pemberian sertifikat pertanian kopi organik akan dilakukan oleh lembaga sertifikasi yaitu melalui pemerintah atau swasta yang ditunjuk melalui kegiatan verifikasi oleh tim (ahli bidang organik) ke lapangan/melalui produsen pangan organik sesuai dengan permohonannnya. Disadari bahwa produk kopi organik di Indonesia untuk sesuai dengan SNI itu tidaklah mudah sehingga diperlukan upaya-upaya yang dapat

(4)

mendorong dan merangsang para praktiksi produsen kopi organik untuk tetap konsisten pada jalurnya sampai dengan benar-benar mampu menghasilkan produk yang berlabel produk organik. Upaya itu adalah dengan dirintisnya model sertifikasi bertahap menuju pertanian kopi organik oleh PSA-Deptan (Hartanto 2002).

Kenyataan membuktikan bahwa walaupun petani kopi arabika organik belum memiliki sertifikasi sebagai petani kopi organik dari badan Sertifikasi Internasional seperti International Fedration of Organic Movements (IFOAM). Komoditi kopi arabika organik oleh pemerintah Kabupaten Jayawijaya dijadikan sebagai komoditi unggulan daerah telah menembus pasaran internasional seperti Starbucks Amerika, namun belum juga terlepas dari faktor pembatas produksi. Salah satu faktor pembatas produksi adalah serangan hama penggerek buah kopi atau PBKo (Hypothenemus hampei Feer) (USDA 2008)

Jayawijaya merupakan tanah vulkanik, yang sama sekali belum pernah tersentuh pupuk kimia dan pestisida, berada pada ketinggian 1.550 – 1.750 meter diatas permukaan laut, dikenal sebagai wialayah pertanian organik. Semua jenis kopi yang ditanam adalah kopi arabika (varietas tipika). Ditanam diperkebunan-perkebunan berukuran kecil, yang tersembunyi dibawah rindangnya pohon-pohon hutan tropis berusia tua. Dwidjowijoto (2007) mengatakan bahwa panen kopi di Kabupaten Jayawijaya dilakukan dua kali dalam setahun, selanjutnya dijual ke Koperasi Usaha Bersama Arabika Baliem, dengan cara KSU Arabika Baliem jemput dan bayar ditempat (Anderson 2008).

Kabupaten Jayawijaya merupakan salah wilayah penghasil kopi organik, hampir seluruh daerahnya (distrik dan kampung) berusahatanikan kopi arabika organik. Hal ini mengingat dari lingkungan (tanah, iklim, ketinggian tempat dan suhu) yang sangat mendukung pertumbuhan kopi. Di Distrik Kurulu dan Distrik Welesi petani kopi arabika organik mulai tanam kopi sebagian kecil pada tahun 1990, 1992 dan sebagian besar dimulai pada tahun 1994 dan tahun 1997 (Dinas Perkebunan Kabupaten Jayawijaya 2010).

Persyaratan Tumbuh dan Permasalahan Tanaman Kopi

Kondisi tanah yang ideal untuk tanaman kopi adalah solum yang cukup dalam, tekstur tanah lempung atau lempung berpasir, struktur tanah gembur, kandungan humus paling sedikit 3%, drainase baik dan pH 5.0 – 6.5. Curah hujan yang optimum berkisar 2.000 – 3.000 mm per tahun dengan lebih kurang tiga bulan kering. Masa kering ini

(5)

diperlukan bagi pembentukan priomordia bunga, pembungaan dan penyerbukan terutama bagi kopi Arabika (Utomo 1989).

Tanaman kopi memerlukan naungan dengan tujuan agar intensitas cahaya matahari tidak terlalu kuat. Naungan diberikan sedang-sedang saja, tidak terlalu berat, sebab naungan yang terlau berat dapat mengurangi pembuahan. Beberapa jenis pohon pelindung yang digunakan adalah dadap (Erythrina litosperma), jeunjing (Albizzia falcata), lamtoro (Leucaena glauca) (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 2006). Pertanaman kopi yang kurang naungan dapat digunakan tanaman penutup tanah yang berfungsi sebagai mulsa dan penahan erosi. Tanaman penutup tanah yang biasa digunakan adalah Calopogonium spp., Centrosema spp., Psopcarpus spp., Koro dan wedusan (Ditjen Perkebunan 2005).

Ditinjau dari produksi kopi arabika di Lembah Baliem Jayawijaya Papua awalnya produksi meningkat 230 ton/thn atau 19.17 ton/bln, namun kemudian mengalami penurunan dengan rata-rata produktivitas hanya mencapai 0,5 ton/ha. Penurunan produksi umumnya disebabkan oleh serangan hama penggerek buah kopi atau PBKo (Hypothenemus hampeii F), hama ulat daun, hama penggerek batang (Zeuzera), rayap dan busuk buah, yang dapat menurunkan produksi mencapai 15%-40% (Sawor 2010)

Peranan hama dan penyakit pada usahatani kopi semakin terasa bila dikaitkan dengan ekspor. Yahmadi (1988) melaporkan bahwa 75 % dari produksi kopi Jawa Timur diekspor ke beberapa negara yang harus memenuhi persyaratan antara lain bebas hama dan penyakit sehingga pengendalian hama-penyakit menjadi sangat penting. Dalam setiap program perlindungan tanaman di Indonesia, PHT telah merupakan dasar kebijaksanaan pemerintah dengan dasar hukum Inpres No.3 Tahun 19861 UU No. 12 Tahun 1992 menyarankan dalam melaksanakan kebijakan PHT hendaknya mengutamakan keterpaduan komponen- komponen yang kompatibel dan serasi dengan lingkungan setempat (Saptana 2007). Teknologi PHT yang siap diadopsi oleh petani harus dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh petani, tidak mahal, sederhana dan memiliki resiko kegagalan kecil. Teknologi ini dapat dihasilkan melalui penelitian bersifat multidisiplin dan interdisiplin, dilaksanakan di lahan petani oleh petani dengan bimbingan peneliti dan penyuluh (Saptana 2007).

Adopsi teknologi PHT oleh petani sangat dipengaruhi oleh aspek sosial ekonomi petani. Dengan alasan terbatasnya modal, masa panen satu tahun sekali, serta harga jual kopi yang terus turun beberapa tahun terakhir ini, dapat menjadi faktor penghambat adopsi teknologi PHT oleh petani. Untuk mengurangi hambatan ini, perlu tersedia teknologi PHT yang mudah diterapkan oleh petani, efektif mengendalikan hama-

(6)

penyakit, tidak mahal, menguntungkan usahatani dan memiliki resiko kegagalan kecil (Saptana 2007).

Hama Utama Kopi

Hama dan penyakit penting pada tanaman kopi saat banyak menyebabkan kerugian. Sebagaimana dalam usaha pertanian pada umunya, tanaman perkebunan pun tidak luput dari gangguan hama yang sangat merugikan usaha. Tidak hanya tanaman di lapangan saja yang dirusaknya, tetapi hasil yang dipungut dan disimpan tidak luput dari gangguan serangan hama (Kartosaputro 1987).

Hama Penggerek Buah Kopi

Hama penggerek buah kopi atau sering disingkat PBKo memiliki nnama latin Hypothenemus hampei Fer yang tergolong famili Scolytidae dan ordo Coleoptera. Hama ini berasal dari Afrika Tengah, dan pertama kali ditemukan pada tahun 1867 oleh Ferari dalam biji kopi yang dijual dipasar di Afrika dan juga pada biji kopi baru ditemukan pada tahun 1901 di Gabon Afrika Tengah.

Pada umumnya PBKo menyerang buah dengan endosperma yang telah mengeras, namun buah yang belum mengeras dapat juga diserang. Buah kopi yang bijinya masih lunak umunya digerek untuk mendapatkan makanan dan selanjutnya ditinggalkan. Buah demikan tidak berkembang, warnanya berubah menjadi kuning kemerahan dan akhirnya gugur. Serangan pada buah yang bijinya telah mengeras akan berakibat penurunan mutu biji kopi karena biji berlubang. Biji kopi yang cacat sangat berpengaruh negative terhadap susunan senyawa kimianya, terutama pada kafein dan gula pereduksi. Biji berlubang merupakan salah satu penyebab utama kerusakan mutu kimia, sedangkan citarasa kopi dipengaruhi oleh kombinasi komponen-komponen senyawa kimia yang terkandung dalam biji (Tobing et al 2007).

Kerusakan terutama berupa pembusukan dan pengguguran buah, Selain itu terjadi penurunan kualitas kopi dan penyusutan berat yang dapat mencapai 30 – 50% dari berat biji yang diserangnya (Aksi Agraris Kanasius 1988). Di Pulau Jawa pada tahun 1929, diketahui bahwa 40% biji kopi rusak akibat serangannya, sedangkan di Kongo 84% buah yang masih muda dan 96% buah yang masih keras dirusaknya. Jenis kopi yang dirusaknya adalah Jenis kopi Arabika, Robusta dan kemudian Liberika (Manti L 2004).

Mc.Nutt menyatakan bahwa kumbang buah kopi ini merupakan hama utama pada jenis

(7)

kopi Arabika. Menurut Haarer (1970), hal ini karena kopi arabika tidak begitu lunak sehingga PBKo dapat berkembang biak dengan baik (Aksi Agraris Kanasius 1988).

Buah kopi yang diserang PBKo adalah buah yang bijinya cukup keras. Buah yang masih hijau, yang bijinya masih lunak, juga diserangnya, tetapi serangga ini tidak berkembang biak didalmnya maka buah akan segera ditinggalkannya. Buah muda yang diserang akan menjadi busuk kemudian gugur , buah-buah yang gugur ini merupakan inang yang baik untuk perkembangannya. Bila gerekan terjadi pada buah yang sedikit lebih tua, biasanya buah tidak sampai gugur, tetapi biji yang dihasilkannya berkualitas rendah (Irulandi et al 2007).

Imago berwarna hitam coklat dan tungkainya berwarna lebih muda. Kumbang betina lebih besar dari pada kumbang jantan. Panjang kumbang betina kurang 1,7 mm dan lebarnya 0,7 mm, sedang panjang kumbang jantan 1,2 mm dan lebar antara 0,6 mm-0,7 mm. Badan kumbang bulat pendek dengan prontum sepertiga panjang badan yang menutupi kepala (Irulandi et al 2007). Panjang antena 0,4 mm, kepala kecil dan bulat, kepala tidak terlihat dari atas karena ditutupi oleh pronatum. Kumbang betina yang akan bertelur membuat lubang gerekan lebih kurang 1 mm pada buah kopi dan biasanya pada bagian ujung. Kemudian kumbang tersebut bertelur pada lorong yang dibuatnya. Satu induk dalam 3-4 hari dapat menggerek 5-6 buah kopi. Seekor betina bertelur dan meninggalkan jantan untuk menjaga telunya kemudian betina terbang mencari buah kopi yang lain untuk di gereknya. Kumbang betina bersayap hingga bisa terbang dan meninggalkan kumbang jantan yang tidak memeliki sayap pada liang gerekan, kumbang jantang tetap pada liang gerekan hingga telur yang diletakan menetas bila ada yang menjadi imago betina maka terjadi perkawinan didalam liang gerekan (Irulandi et al 2007).

Jumlah telur yang diletakan perhari berkisar antara 2-3 butir. Telur menetas setelah 5-6 hari. Larva berbadan gemuk, tidak bertungkai dan mempunyai kepala yang jelas.

Panjang larva kurang 1,5 mm berwarna putih dan bagian alat mulut berwarna coklat.

Seperti halnya kumbang, larva juga memakan biji dan dapat menimbulkan kerusakan yang cukup besar (Wiryadiputra 2007).

Lamanya stadia larva adalah 10-20 hari, Kemudian mengalami istirhat (prepupa) selama dua hari. Masa pupa sekitar 4-6 hari, kadang-kadang sampai delapan hari.Pupa berwarna putih dengan berukuran panjang lebih kurang 1 mm. Siklus hidup dari telur sampai dewasa adalah 20-36 hari, dalam satu tahun dapat terjadi delapan sampai sepuluh generasi (Priyatno 1980). Semakin tinggi suhu, maka siklus hidupnya makin pendek

(8)

(Priyatno 1976). Pada daerah dengan ketinggian 450 m diatas permukaan laut, lama siklus hidp 25 hari. Sedangkan pada ketinggian 1.200 m diatas pemukaan laut, untuk perkembangan dari telur sampai dewasa membutuhkan waktu selama 33 hari Lefmans 1923 dalam penelitiannya menemukan bahwa kumbang betina lebih banyak dari pada kumbang jantan dan perbandingan jantan dan betina 1 : 59 atau 1 : 40 (Wiryadiputra et al 2007).

Yahmadi (1976) menjelaskan bahwa perbandingan jantan dan betina 1 : 20 atau 1:

30, dan H.hampei fer betina bisa hidup selama 55 hari. Lebih lanjut Begman (1945) menyatakan bahwa kumbang betina rata-rata umurnya 156,6 hari sedangkan kumbang jantan masa hidupnya 78 – 103 hari. Tiap kumbang jantan dapat membuahi 30 ekor kumbang betina. Perkawinan juga terjadi pada liang gerek dalam biji. Setelah itu kumbang betina terbang keluar untuk mencari buah kopi lain untuk tempat bertelur (Ditjen Perkebunan 1980). PBKo betina terbang siang hari, dengan jarak terbang 350 m (Wiryadiputra et al 2007).

Pengendalian PBKo dapat dilakukan dengan penggunaan agensia hayati seperti jamur Beauveria bassiana lebih mudah untuk dikembangkan. Ada dua agensia pengendali hayati yang telah tersedia dan prospektif untuk dikembangkan yaitu jamur Beauveria bassiana dan serangga parasitid Cephalonomia stephanoderis (Wiryadiputra

2007). Pengendalian serangga/binatang H.hampei fer juga menggunakan brocap trap, family scolytidae tertarik pada ethanol dan methanol dan ini juga berlaku untuk PBKo.Pengendalian juga mengumpulkan buah kopi yang terjatuh ditanah kemudian dikubur atau dibakar. Pengendalian lainnya seperti yang di lakukan di daerah Bondowoso Jawa Timur dengan cara petik lelesan atau petik kusus pada buah-buah yang terindikasi terserang hama PBKo kemudianrebus dengan air panas karena buah tersebut masih ada yang digunakan. Ketertarikan serangan pada serangga ini tergantung pada kondisi pertumbuhan tanaman kopi (iklim, pengaturan jarak tanam, kelembaban, kultivar, umur tanaman, arah angin, kecepatan) dapat mempengaruhi penangkapan hama ini.

Berdasarkan uraian tersebut, hasil penelitian melalui informasi yang diperoleh dari petani responden dari kedua Distrik yaitu Walesi dan Kurulu menunjukkan bahwa hasil tangkapan PBKo yang terjebak masuk kedalam brocap trap meningkat dengan menggunakan campuran veromon atraktan dengan perbandingan 1 : 3 ( Amarta 2008).

Pengendalian serangga H.hampei fer dengan menggunakan alat perangkap brocap trap, dengan metode gantung brocap trap dengan ketinggian yang berbeda antara lain: 1 m, 1,1 m 1.4 m menunjukan hasil yang nyata terhadap jumlah imago serangga H.hampei

(9)

fer yang tertangkap. Demikian juga dengan makin tinggi intensitas serangan hama PBKo semakin pula banyak imago serangga yang tertangkap (Manurung 2008).

Pada stadia larva dari serangga H.hampei fer tidak ditemukan pada biji kopi yang berumur dua bulan, namun stadia pupa ditemukan pada buah kopi berumur empat bulan yang telah berwarna merah dan juga imago dari serangga/binatang H.hampei fer dapat menyerang pada semua buah kopi yang berumur 2, 3 dan 4 bulan (Manurung 2008)

Hargreaves (1940) menemukan bahwa penggerek buah kopi mempunyai dua parasit. Selanjutnya dikatakan suatu sebab mengapa hama ini sangat merugikan dan menyebabkan pengguguran buah kopi adalah lingkungan yang kurang menguntungkan bagi perkembangan parasit-parasit. Parasit dari penggerek buah kopi ini adalah Prorops nasuta (Hymenoptera: Bethylidae), sejenis ngengat dengan panjang badan 2-3 mm,

berwarna hitam, tungkai dan antenanya lebih pucat. Parasitoid betina lebih menyukai masuk ke dalam buah kopi yang masih ada dipohon dari pada buah yang gugur ke tanah (Wiryadiputra 2007).

Parasitoid banyak terdapat pada tanaman kopi tanpa atau sedikit pelindung. Induk parasit meletakan sebuah telur dibawah badan larva hama setelah disengatnya larva inangnya. Imago parasitoid berfungsi pula sebagai predator telur, larva atau pupa.

Predator nasuta dapat memakan butir telur atau dua larva atau pupa setiap hari. Secara teoritis predator nasuta dapat merupakan suatu potensi bagi pemberantasan hayati yang baik (Ditjen Perkebunan 1980).

Parasitoid lain dari H.hampei fer adalah Heterospillus coffeicola (Hymenoptera, Braconidae). Parasitoid ini berukuran kecil dan berwarna hitam dengan panjang badan

2,5 mm. Panjang antena sama dengan panjang badan dan panjang ovipositornya berwarna coklat. Parasitoid betina masuk kedalam buah kopi yang sudah terserang untuk meletakan telur pada larva H.hampei fer. Dalam sehari parasit Heterospillus coffeicola dapat menghabiskan sepuluh telur atau tiga larva atau pupa (Aksi Agraris Kanasius 1988).

Selain parasitoid, pengendalian hama penggerek buah kopi dapat dilakukan secara kultur teknis yang dikerjakan atas dasar pemusnahan sumber-sumber infestasi dan pemutusan siklus hidup, melalui petik bubuk, lelesan maupun racutan (Priyano 1976).

Menurut Willet (1957), adanya Koffiebessen boeboek Fonds (Dana bubuk buah kopi) yang didirikan pada tahun 1921, berdasarkan hasil penelitian yang intensif dan disponsori oleh dana tersebut, pencegahan secara kultur teknik terhadap serangan hama ini telah dilakukan secara efektif. Petik bubuk adalah memetik buah kopi yang berlubang

(10)

bersamaan dengan pekerjaan lain seperti misalnya pemangkasan (Aksi Agraris Kanasius 1988).

Di Jawa pengendalian hama penggerek buah kopi dilakukan tiga bulan sebelum masaknya buah, yaitu memungut buah, baik yang ada dipohon atau yang telah jatuh ke tanah. Pemungutan dilakukan tidak hanya terhadap buah-buah yang masak tetapi juga terhadap buah-buah yang muda, yaitu berdiameter 5 mm, dan dilaksanakan pada bualan September atau Oktober tiap tahun. Buah-buah yang berdiameter kurang dari 5mm, tidak dipungut. Buah-buah ini akan masak pada pertengahan bual Januari, dengan demikian penggerek buah kopi tidak dapat berkembang biak pada buah-buah yang belum masak. Demikianlah sehingga perkembangan hama penggerek buah kopi (PBKo) berhenti beberapa lama dan juga pengendalian hama buah kopi para ppetani menggunakan alat perangkap imago dari serangga penggerek buah kopi/PBKo atau yang baias disebut sebagai brocap trap (Cirat 2004).

Dibawah pohon dilakukan lelesan, yaitu memungut buah, baik yang tercecer ke permukaan tanah maupun buah yang gugur karena terlalu masak. Hasil lelesan ataupun hasil petik bubuk dibakar atau dikubur sedalam 0,5 m. Racutan adalah tindakan memetik seluruh buah-buah kopi dari tahun panen yang sama, yang dilakukan pada giliran pemetikan terakir ( Aksi Agraris Kanasius 1988)

Hama Pengerek Ranting

Kumbang penggerek ranting termasuk ordo Coleoptera dari Famili Scolytidae.

Hama yang banyak menimbulkan kerusakan ini ada dua macam yaitu bubuk ranting coklat/Xylosandrus morigerus Bland (syn. Xyleborus coffeae Wurth) dan bubuk ranting hitam (Xylosandrus compactus Eich ; syn. Xyloborus morstati Hage).Dianatara kedua spesies diatas yang paling banyak dijumpai di Indonesia adalah bubuk ranting hitam dan sering menimbulkan kerugian yang tidak sedikit (Yahmadi, 1979).

Hama penggerek ranting menyerang kopi di pembibitan, tanaman muda, dan tanaman dewasa. Dipembibitan, hama menyerang bagian batang, sehingga daun menjadi dan sering kali menyebabkan kematian. Bila tanaman muda yang terserang, bila pertumbuhan dan masa pertumbuhannya akan terhambat. Pada tanaman dewasa, yang disukai adalah pada percabangan yang berumur 6-24 bulan. Di Pantai Gading, Afrika, serangan pada kopi arabika menyebabkan matinya 15% ranting, sehingga permukaan daun berkurang dengan 10% dan mengakibatkan penurunan produksi (Najiyati & Danarti 1990).

(11)

Hama penggerek batang betina menggerek kulit dan membuat lubang kecil sampai pada empulur kayu, kemudian bertelur didalamnya. Lubang gerekan berdiameter lebih kurang 1 mm, kemudian didalam empulur dia membuat rongga saluran sepanjang lebih kurang 3 mm (Nano Pryatno 1976). Lebih lanjut Gramer (1957) menyebutkan bahwa ranting yang dilubangi biasanya berumur 6-24 bulan. Lubang ini digerek oleh serangga betina dengan diameter kurang lebih 1 mm pada ranting sebelah bawah atau pada pertengahan dari raning (Najiyati & Danarti 1990)

Kedua jenis bubuk hampir sama segala-galanya, begitu pula ukuranya, yaitu kira- kira 1,8 mm, tetapi ada perbedaan nyata dalam bagian tanaman yang di rusaknya.

Penggerek hitam merusak bagian tanaman yang ada diatas tanah sedang bubuk coklat dapat pula menyerang dan masuk kedalam akar tunggang tanaman kopi (Najiyati &

Danarti 1990)

Perkembangan telur hingga imago memerlukan waktu lebih kurang lebih kurang tiga minggu (Najiyati, 1990), lama stadia telur empat hari (Nano Priyatno, 1976).

Larvanya tidak bertungkai dan berwarna putih, demikian pula pupanya berwarna putih.

Najiyati dan Danarti (1990) menyatakan bahwa perkembangan penggerek ranting dari fase telur hingga imago, semuanya berlangsung didalam ranting atau cabang yang diserangnya.

Perbandingan antara imago jantan dan betina 1 : 13. Seekor betina bertelur anatar 30 – 50 butir (Danarti 1990). Telur diletakan dalam saluran secara berkelompok antara 8 – 15 butir setelah serangga masuk kedalam ranting selama 7 – 8 hari (Sri Najiyati 1990).

Serangga betina keluar dari lubang gerekan pada sore hari sekitar jam 16.00 – 18.00.

Imago betina mempunyai sayap dan jarak terbangnya sejauh lebih kurang 200 m (Sri Najiyati & Danarti 1990).

Kopulasi terjadi di dalam lubang gerekan, yang jantan tidak bersayap dan sering membuat lubang. Imago betina setelah kopulasi meninggalkan lubang dan kemudian mencari ranting-ranting yang muda untuk tempat bertelur (Kartosaputro 1987). Dalam rongga saluran biasanya tumbuh cendawan Abrisia xylebori Brader, dan cendawan ini sebagai makanan hama penggerek ranting (Nano Priyatno 1976). Spora cendawan ini keluar melalui saluran pencernaan serangga dan kemudian berkecambah dalam saluran ranting yang baru digerek (Nano Priyatno 1980). Disamping cendawan diatas akan tumbuh pula cendawan sekunder Diplodia fusarium yang mengeluarkan sekresi sehingga dapat menyumbat pembuluh-pembuluh ranting dan akhirnya menyebabkan ranting mati (Kartosaputro 1987).

(12)

Sebenarnya hama penggerek ranting tidak memakan jaringan tanaman, melainkan makan konidia cendawan Abrisi xylebori. Pada bagian kepala kumbang betina terdapat dua buah kantong yang berisi spora cendawan tersebut. Spora ini kemudian tumbauh pada dinding liang gerekan dan menjadi makanan larva maupun kumbang. Antara cendawan dan serangga terjalin adanya kerja sama yang saling menguntungkan, serangga memakan spora cendawan sebaliknya spora tidak berkecambah sebelum memasuki saluran pencernaan kumbang (Anonim 1980). Kehidupan cendawan Abrisi xylebori sangat dipengaruhi oleh keelembaban udara. Pada kelembaban tinggi, cendawan ini lebih cepat berkembang biak, sehingga populasi pengerek batang dan ranting meningkat karena tersedianya cukup makanan (Setyoso 1978).

Keadaan yang paling sesuai untuk menyerang ranting adalah pada siang hari, pada suhu antara 26 oC – 29 oC dan kelembaban relatif udara antara 72% – 78% (Nano Priyatno 1980). X.compactus terdapat dibenua Afrika Timur,Indonesia dan Indo China (Martoreja 1984). Daerah penyebaran X. Compactus diduga mulai dari Jepang ke arah Selatan. Kemudian di jumpai di Vietnam, Malasya, Ceylon, India Selatan, Madagaskar, Mauritus, dan kepulauan Fiji (Nano Priyatno, 1980). Di Indonesia Hama ini di temukan di Jawa Timur pada tahun 1977. Akibat gerekannya, ranting-ranting kopi terbelah pada bekas liang gerekan tedapat cendawan Abrisi xylebori yang berwarna putih (Kartosaputro 1987).

Penggerek ranting coklat X .morigerus terdapat di Asia Tenggara dan Afrika Timur.

Di Indonesia banyak terdapat di pulau Jawa. Liang gerekanya tidak tentu, kadang-kadang dari bawah, dari samping, atau darin atas. Daun-daun dari ranting yang digerek menjadi kuning dan rontok, sedang serangan selanjutnya adalah bagian akar sehingga dapat meninmbulkan kematian tanaman (Kartsaputro 1987). Menurut Betrem dalam Yahmadi (1976), hama penggerek ranting banyak dijumpai di Jawa Timur sejak awal tahun 1920 terutama didaerah gunung Kelut dan Kawi dan sampai sekarang masih pula merupakan masalah.

Pengendalian hama penggerek ranting dapat dilakukan secara kultur teknis dan Kimia. Secara kultur teknik pengendalian itu di dasarkan atas pemusnahan sumber- sumber investasi dengan cara memotong ranting-ranting yang terserang. Kebun hendaknya bersih dari ranting-ranting yang berserakan, karena hal dapat merupakan sumber investasi hama dan penyakit. Pada waktu melakukan pemangkasan, cabang dan ranting yang yerserang dikumpulkan, kemudian di bakar (Najiyati & Danarti 1990).

(13)

Kutu Hijau

Dibandingkan dengan penggerek ranting, serangan Coccus viridis atau kutu hijau lebih mudah diketahui. Daun atau ranting-ranting muda kerap kali dipenuhi oelh kutu tersebut. Gejala lain yang sering terlihat adalah adanya daun-daun disekitar koloni kutu, terutama daun-daun dibawahnya yang ditumbuhi cendawan jelaga (Capnodium sp) yang berwarna hitam. Gejala ini tidak khas, karena ada jenis kutu lain yang juga menimbulkan gejala seperti itu (Farida 1980).

Pengendaliannya cendawan jelaga tumbuh dengan memanfatkan embun madu yang dikeluarkan oleh kutu tempurung hijau yang biasanya menempel pada permukaan atas daun atau ranting yang ada dibawah koloni kutu. Kadang kala pada saat itu terdapat pula koloni semut yang memanfatkan embun madu. Jenis semut yang biasanya ditemukan adalah semut rangrang (Oecophylla smaragdina) dan semut gramang (Anoplolepis longipes Jerd) (Aksi Agraris Kanasius 1988).

Dari segi pemencaran dan pemencaran dan pertumbuhan populasi, kehadiran semut-semut itu sangat menguntungkan kutu tempurung hijau. Pada sat semut-semut melewati koloni kutu, maka ada nimfa yang menempel pada tubuh semut dan terbawa ke tempat lain. Selain itu keberadaan semut-semut tersebut dapat mengurangi serangan parasit maupun predator kutu (Le Pelley 1968). Faktor lain yang berpengaruh terhadap populasi kutu naungan. Menurut Nur (1982) seharusnya pertanaman kopi diberi naungan, karena dikebun tanpa naungan populasi kutu tempurung hijau akan lebih tinggidibandingkan dengan di kebun yang menggunakan naungan (Aksi Agraris Kanasius 1988).

Secara alami curah hujan yang cukup tinggi akan menurunkan populasi pertumbuhan kutu tempurung tersebut. Ada beberapa pengendalian yang sebenarnya dilakukan diantaranya menggunakan insektisida sistemik. Dapat juga menggunakan insektisida kontak seperti Methomyl, Carbaril dan Diazinon, tetapi nimfa-nimfa yang ada didalam tubuh induknya dapat terlindungi dari pengaruh insektisida tersebut (Ditjen Perkebunan, 1980). Cara lain adalah menekan populasi semut, misalnya dengan insektisida atau mengambil langsung sarang-sarang semut yang ada lalu dibinasakan (Aksi Agraris Kanasius 1988).

(14)

Kutu Dompolan

Kutu dompolan menyerang tanaman dengan cara mengisap, mengisap cairan kuncup bunga, buah muda, ranting dan daun muda. Akibat seragan hama ini, pertumbuhan tanaman terhenti, daun-daun menguning, calon bunga gagal menjadi bunga dan buah rontok. Bila buah yang diserang tidak rontok maka perkembangan akan terhambat dan kulit keriput sehingga kualitas buah rendah (Najiyati & Danarti 1980).

Ciri-ciri kutu dompolan adalah berbentuk bulat lonjong agak pipih. Tubuh larva dan betina ditutupi oleh lilin berwarna putih. Kutu jantan tidak ditutupi oleh lilin dan bersayap. Satu ekor kutu bisa menghasilkan 50 – 200 telur. Setelah empat sampai lima hari kemudian, telur akan menetas menjadi nimfa yang juga akan berwarna putih dan dapat menyerang tanaman seperti bentuk dewasa (Najiyati & Danarti 1980).

Kutu dompolan biasanya berasosiasi dengan semut. Kotaran banyak mengandung gula sehingga disukai semut. Sebaliknya, semut menyebarluaskan hama ini untuk mencarikan tempat terbaik. Selain berasosiasi dengan semut, kutu ini juga menjadi vektor atau pembawa cendawan atau penyakit lainnya, misalnya cendawan jelaga (Najiyati &

Danarti 1980). Perbedaan dari kedua kutu dompolan (Pseudococcus citri) dan kutu hijau (Coccus viridis) yaitu terdapat pada koloni yang tampak di tanaman. Koloni P.citri atau kutu dompolan memeliki lapisan lilin yang berwarna putih pada tubuhnya, sedangkan kutu tempurung hijau tidak. Disamping itu semua instar kutu dompolan memiliki kemampuan menyebar yang lebih baik dibandingkan dengan kutu tempurung hijau (Najiyati & Danarti 1980). Kerugian terbesar disebabkan karena kutu dompolan menyerang pembuangaan, kuncup bunga dan buah muda yang baru muncul menjadi kering dan gugur karena kutu mengisap tangkai bunga dan tangkai buah (Ditjen Perkebunan 1980).

Pengendalian kutu dompolan dan kutu hijau dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu : cara biologis, yaitu dengan melepaskan parasit Anagyrus grenii dan Leptomastix obyssinica, predator kumbang Symnus apiciflatus, Symnus roepkei, Cryptolaemus mentrouzieri (Najiyati & Danarti 1980). Selain melepaskan musuh alami dan juga memperantas semut yang suka membawa kutu terutama pada musim kemarau. Secara mekanis yaitu memangkas bagian yang terserang, kemudian dibakar. Selain itu, membuang atau menanam pohon pelindung yang disukai oelh hama tersebut seperti gamal (Glirisida maculata) Secaran kimia yaitu dengan menyemprotkan insektisida.

Insektisida yang dianjurkan antara lain Anthio 330 EC, Hostathion 40 EC, Nogos 50 EC,

(15)

Orthene 75 SP, Sevin 85 g dan Supracide 40 EC dengan dosis sesuai petunjuk. Najiyati &

Danarti 1980).

Kutu Lamtoro

Kutu lamtoro merupakan kutu yang pada umumnya menyerang tanaman lamtoro sebagai pohon pelindung pada tanaman kopi, bila serangan lebih berat mengakibatkan kematian pada tanaman pelindung seperti lamtoro atau dadap intensitas penyinaran matahari secara langsung kena tanaman kopi maka produksi kopi akan menurun. Hama ini mempunyai cara hidup dan penyerangan hampir sama dengan kutu dompolan, yaitu mengisap cairan kuncup bunga, buah muda, daun muda dan bagian ranting yang masih muda. Kutu lamtoro juga berwarna putih seperti kutu dompolan. Pada tubuhnya terdapat benang-benang panjang berwarna putih. Kutu jantan bersayap dan berwarna coklat. Pada ujung abdomen (perut) terdapat dua helai benang panjang. Selain menyerang tanaman kopi kutu ini juga menyerang tanaman lamtoro sebagai pelindung oleh sebab itu sering disebut juga sebagai kutu lamtoro. Tanaman lain yang sering diserang adalah dadap dan Tephrosia.

Pengendalian kutu lamtoro dapat dilakukan secara terpadu. Cara biologis dilakukaqn dengan melepaskan musuh alaminya, parasit Leptomastix nyamuk Diplesis, serta predator Scymnus sp. Cryptolaemus sp (Farida 1980). Sementara cara pengendalian secara mekanis dan kimiawi sama seperti pengendalian pada kutu dompolan dan kutu hijau (Farida 1980).

Nematoda

Nematoda merupakan salah satu hama kopi yang menyerang akar. Menurut hasil penelitian dari Wiryadiputra dan Santoso (1988) bahwa, hama ini berukuran sangat kecil sehingga sulit dilihat dengan mata telanjang. Namun, tanda serangannya tampak jelas dan sangat merugikan. Mula-mula daun tampak menguning dan gugur sebelum waktunya.

Terutama pada waktu menjelang musim kemarau. Selanjutnya daun akan tampak mengering, pohon tampak condong, dan kurang sehat. Bila tanaman kalau dicabut tanpak akar-akar akan tumpul, kulitnya mengelupas dan tidak membentuk akar rambut. Bila dibirkan lamakelamaan tanaman akan menjadi mati dan nematoda akan menjalar ke tanaman lain (Morgan & Brown 1980).

Pengendalian hama ini dilakukan secara terpadu dengan cara sebagai berikut yaitu pilih tanaman pelindung yang tahan serangan nemaoda seperti lamtoro, Crotalaria, dan

(16)

salvia, gemburkan tanah secara rutin, cabut dan bakar tanaman yang sudah terserang berat, kemudian tanah ditanami kenikir dan jangan ditanami kopi selama sekitar satu tahun. Satu bulan sebelum penanaman kembali, sebaiknya tanah ditaburi dengan nematisida Basamid G Curafer 3 G sesuai dosis anjuran dan atau diberi tanaman dengan nematisida Fanamigos sebanyak 50 g/m2 setiap tiga bulan sekali untuk mencegah nematoda (Morgan & Brown 1980).

Kutu Loncat (Heteropsylla cubana)

Kutu Loncat adalah hama tanman lamtoro yang sangat berbahaya. Hama ini menyerang tanaman dengan cara bergerombol dan mengisap cairan tanaman muda. Mula- mula pucuk pohon yang terserang akan mati, kemudian daunnya berguguran karena kehabisan cairan. Bila serangan terus berlanjut, batang tanaman akan mengering dan tidak mampu membentuk pucuk baru, lalu akhirnya mati. Hama seperti wereng yang berukuran 1 – 2 mm, berwarna orange kehijauan, dan bersayap ini berkembiakannya sangat cepat dan sulit ditanggulangi (Farida 2004).

Pengemndaliannya sampai saat ini cara pengendalian yang tepat belum ditemukan, tetapi pemerintah saat ini masih sedang mempelajari pola hidupnya untuk menemukan pengendalian yang efektif (Ditjen Perkebunan 2009). Untuk mengurangi resiko kegagalan karena serangan kutu loncat, beberapa cara pencegahan adalah bila belum terlanjur menanam, untuk sementara jangan menggunkan lamtoro sebagai tanaman pelindung. Bila harus menggunakan lamtoro sebaiknya dicampur dengan jenis tanaman pelindung lainnya. Melepaskan musuh alami seperti kumbang Curinus coerulues dan Olla abdominalis (Farida 2004).

Tanaman yang sudah terserang segera disemprot dengan insektisida seperti Bassa 500 EC, dan Sevi 85 g. Setelah disemprot pucuk tanaman yang tersrang dipangkas dan dibakar. Sebagai pencegahan penyemprotan bisa diulang 1 – 2 minggu sekali, baik terhadap tanaman yang terserang maupun yang belum terserang (Sofyan 2004).

Pengendalian Hama dan Penyakit Kopi

Junianto dan Sulistyowati (2002) dalam penelitian formulasi agensya hayati dengan jamur Beauveria bassiana untuk uji pengendalian hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampeii Feer) memperoleh kesimpulan bahwa: 1) formulasi spora jamur Beauveria bassiana dalam minyak nabati dan pati dan mempertahankan viabilitas dan pathogenesis sampai 4 bulan serta mudah disuspensikan dan diaplikasikan, 2) pada suhu 5

(17)

oC jamur Beauveria bassiana dapat disimpan untuk jangka panjang, sedangkan pada suhu kamar viabilitas menurun setelah 2 bulan, 3) penyemprotan jamur Beauveria bassiana dengan konsentrasi 0.05-0.2% menyebabkan hama penggerek buah kopi terinfeksi sebesar 37.8 – 42.4%.

Jumianto et al (2003) dalam penelitian pemanfatan ekstrak mahoni untuk pengendalian penyakit karat daun kopi (Hemileia vastarix) dari 78.64% menjadi 36.98%.

Farwas (2010) dalam penelitian konsentrasi spora jamur Beauveria bassiana strain Wamena terhadap hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampeii F) pada tanaman kopi arabika di Distrik Walesi Kampung Jagara Kabupaten Jayawijaya mendapatkan hasil bahwa: 1) selama 9 hari dalam perendaman menunjukan bahwa dari kelima konsentrasi masing-masing: 0.01%, 0.02%, 0.03%, 0.04% dan 0.05% ternyata bahwa 0.04% dan 0.05% masing-masing menunjukan mortalitas sebanyak 376 dan 363 pada diskus buah kopi merupakan yang tertinggi, 2) pada konsentrasi 0.05% pada uji laboratorium menghasilkan 85.63% merupakan yang tertinggi sedangkan pada uji lapangan pada konsentrasi 0.05% menghasilkan mortalitas 95% merupakan yang tertinggi, dengan demikian maka tidak ada perbedaan konsentrasi antara uji laboratorium dan uji lapangan.

Sawor (2010) dalam penelitian intensitas serangan hama penggerek buah kopi (Hypothenemus hampeii F) di kampung Jagara Distrik Asolokobal Kabupaten Jayawijaya memperoleh kesimpulan: 1) serangan hama PBKo pada tanaman kopi pada perkebunan rakyat di kampung Jagara Distrik Asolokobal telah berada pada kriteria serangan berat dengan intensitas serangan mencapai 93 persen, 2) serangan hama PBKo pada tanaman kopi pada perkebunan rakyat di Kampung Jagara Distrik Asolokobal telah berada pada kriteria serangan berat atau telah berada pada ambang ekonomi dengan intensitas serangan mencapai 68,70%.

Perkembangan Usaha Perkebunan Kopi di Kabupaten Jayawijaya

Produksi kopi di Provinsi Papua pada tahun 2008, 2009 dan 2010 secara berurutan mencapai 2.432 ton, 2.651 ton dan 2.243 ton, dengan jumlah ekspor mencapai 10 ton, 12 ton dan 24 ton ke Amerika Serikat pada perusahaan Starbuck. Dari total produksi tersebut 25% merupakan kopi arabika organik dari kabupaten Jayawijaya dengan nilai pasar yang tinggi. Sementara sisanya adalah kopi robusta dengan wilayah tujuan pemasaran adalah Makasar (Disbun Provinsi Papua 2010)

(18)

Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wally (2001) bahwa usaha tani kopi rakyat di Kabupaten Jayawijaya dapat digambarkan berdasarkan fungsi keuntungan dan efisiensi usaha tani kopi rakyat. Fungsi keuntungan dan dipengaruhi oleh faktor produksi, luasan lahan kopi yang diusahakan serta jumlah faktor produksi yang digunakan.

Faktor produksi tidak tetap mencakup upah tenaga kerja pemeliharaan, upah tenaga kerja pengolahan dan upah tenaga kerja pemasaran memiliki pengaruh negatif terhadap keuntungan usaha tani kopi. Sedangkan faktor produksi tetap yang mencakup jumlah pohon kopi, luas lahan usaha tani, umur pohon kopi, pengalaman petani berusaha tani kopi berpengaruh positif terhadap keuntungan usaha tani kopi. Ditinjau dari luasan lahan, maka antara luas lahan kopi ≥ 2 ha dan < 1.9 ha tidak menunjukkan perbedaan keuntungan yang nyata, namun demikian petani dengan luasan lahan kopi rata-rata ≥ 2 ha memiliki keuntungan lebih tinggi.

Berdasarkan luas areal usaha tani kopi rakyat, kondisi usaha tani berada pada constant return to scale, yang berarti setiap penambahan porsi jumlah faktor produksi

akan memberikan penambahan keuntungan tetap. Sedangkan berdasarkan lokasi usahatani kopi, berada pada kondisi decreasing return to scale yang berarti setiap penambahan proporsi jumlah faktor produksi dalam usaha tani kopi akan memberikan penambahan keutungan yang semakin menurun.

Penawaran produksi kopi dipengaruhi oleh perubahan harga kopi dan perubahan upah tenaga kerja sebaliknya tidak berpengaruh terhadap perubahan upah tenaga kerja pemeliharaan dan upah tenaga kerja pemasaran. Elastisitas permintaan faktor produksi tidak tetap terhadap harga sendiri lebih besar dari satu ini berarti permintaan tenaga kerja pemeliharaan, pengolahan dan pemasaran respon terhadap perubahan upah tenaga kerja masing-masing.

Perkembangan kopi sampai dengan tahun 2010 dapat dilihat dari potensi luasan lahan, luas areal tanam yang mencakup tanaman belum menghasilkan (TBM), tanaman menghasilkan (TM) dan tanaman rusak (TR) serta kapasitas produksi dan jumlah petani di Kabupaten Jayawijaya disajikan pada Tabel 5. Potensi luas lahan kopi di Kabupaten Jayawijaya mencapai 11000 ha dengan sebaran luasan per distrik yang beragam. Lahan kopi terluas terdapat di distrik Bolakme (3500 ha) atau kurang lebih 31.82%, sedangkan terendah di distrik Musatfak (240 ha) atau kurang lebih 2.18% dari luas total lahan kopi di Kabupaten Jayawijaya.

(19)

Nunuela (2006) juga melaporkan bahwa kondisi pertanaman kopi arabika di Kabupaten Jayawijaya kurang baik, karena kurangnya dukungan sumber daya manusia serta cenderung tidak berkelanjutan secara ekonomi. Hal ini terlihat rendahnya populasi tanaman kopi arabika dan populasi pohon pelindung per satuan luas areal tanam, rendahnya produksi, rendahnya tingkat pendapatan usaha tani, rendahnya tingkat pendidikan petani,serta rendahnya partisipasi anggota keluarga. Pengembangan kopi di Kabupaten Jayawijaya saat ini dilakukan pada lahan dengan kelas kesesuaian yang rendah, dengan tingkat erosi tanah yang relatif rendah, potensi adopsi (penerapan) teknologi produksi rendah serta tidak didukung oleh peran kelembagaan sosial–budaya masyarakat petani

Pengembangan tanaman kopi arabika dimasa depan berpeluang untuk diwujudkan apabila dilakukan hal-hal sebagai berikut : a) perbaikan pengelolaan seumber daya lahan melalui pembuatan parit drainase pada areal pertanaman kopi di lahan datar (Distrik Wamena dan Asologaima) dan penerapan teknologi konservasi dengan input teknologi rendah pada lahan miring (Distrik Bolakme dan Kurima), penanaman kopi dan pohon pelindung yang disesuaikan dengan kondisi iklim dan topografi kawasan, b) perbaikan kemampuan (kapasitas) sumber daya manusia petani (pengetahuan, keterampilan, perlaku) dalam pengelolaan tanaman kopi arabika. mendayagunakan peran kelembagaan local menjadi kelompok tani dan kelompok kerja. Strategi pengembangan tanaman kopi arabika berkelanjutan dimasa depan dilakukan dengan pengintegrasian 4 subsistem yaitu : a. sub sistem social, b. subsistem teknologi dan peningkatan produksi, c) subsistem pemasaran daam jangka pendek serta integrasi petani-pengusaha dalam jangka panjang, d) sub sistem kebijakan pemerintah daerah yang kondusif.

Prospek Kopi Nasional

Hutabarat (2004) dalam analisis kondisi pasar dunia dan dampaknya terhadap kinerja industri perkopian nasional menyimpulkan bahwa: 1) keputusan Dirjen Pajak Nomor:

Kep-25/PJ/2003 telah mengakibatkan menurunnya pasokan komoditi kopi dari pedagang pengumpul ke eksportir, serta meningkatnya ekspor kopi dalam bentuk produk primer memiliki nilai tambah yang rendah, 2) menurunnya harga serta melonjaknya pasokan kopi dunia (krisis perkopian internasiaonal) berdampak pada melebarnya senjang pendapatan antara negara pengekspor dan pengimpor, 3) ketidakseimbangan pasar (permintaan dan penawaran) kopi dunia telah mengakibatkan menurunnya harga kopi

(20)

secara drastis, meningkatkan pendapatan perusahaan negara pengimpor serta semakin menurunnya kualitas kopi. Secara kuantitatif, keuntungan negara produsen turun dari 10- 12 miliar dolar pada tahun 1990-an menjadi 5.5 miliar dolar AS menjadi 70 miliar dolar AS pada bulan September 2003.

Liza et al, (2003) dengan penelitiannya membandingkan aspek pendapatan pertanaman kopi rakyat dibawah pelindung monokultur (sistem introduksi) dan pertanaman kopi dalam sistem agroforestri (sistem tradisional) memperoleh kesimpulan bahwa: 1) tidak ada perbedaan tingkat produksi antara kedua sistem ini, 2) ada perbedaan keuntungan yang diperoleh, akibat dari biaya tenaga kerja dan penggunaan pupuk pestisida pada system pohon pelindung monokultur (sistem introduksi), 3) sistem agroforestri mendukung keberlanjutan ekosistem, menghindari risiko usaha serta menghasilkan produk kopi ramah lingkungan.

Referensi

Dokumen terkait

Hendro Gunawan, MA

Dalam pembuatan aplikasi sistem pakar untuk mendiagnosa penyakit kedokteran umum ini digunakan perangkat lunak Borland Delphi 6.0, yang mendukung database dan

Hendro Gunawan, MA

Howard Gardner Linguistic Mathematic- Logic-Cognitive Visual-Spacial Musical Kinesthetic Intrapersonal Interpersonal..

[r]

Untuk daftar kategori kualitas resiko yang utama, diawali dengan menjabarkan proses pengujian ke dalam; pengujian komponen, pengujian integrasi dan pengujian sistem.?. 9

Peserta yang mendaftar dalam program ini akan mengikuti Master Class, Repertoir Group Class atau Pilihan mengikuti Gypsy Music Class, Technique Group Class,

Pelayanan, Harga dan Fasilitas terhadap Keputusan Menginap pada Hotel Jati Wisata Pangkalpinang ”.. Oleh karena itu, mohon bantuan