• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS TINDAKAN

A. Tinjauan Pustaka

Penelitian biasanya mengacu pada penelitian lain yang dijadikan titik tolak, sehingga penelitian murni yang dimulai dari awal jarang ditemui. Dengan demikian, peninjauan terhadap peneliti lain sangat penting sebab bisa digunakan untuk mengetahui relevansi yang telah lalu dengan yang akan dilakukan. Selain itu, peninjauan terhadap penelitian sebelumnya dapat digunakan untuk membandingkan seberapa besar keaslian dari penelitian yang akan dilakukan. Beberapa penelitian terdahulu yang cukup relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan kajian pustaka adalah sebagai berikut.

Penelitian pertama dilakukan oleh Singwer dan Donlan (2007). Penelitian mereka yang berjudul ―Active Comprehension: Problem-Solving Schema with Question Generation for Comprehension of Complex Short Stories‖ menyatakan bahwa sebuah skema pemecahan masalah untuk memahami cerita pendek dimunculkan dengan pembuatan pertanyaan skema umum untuk setiap elemen cerita. Dengan menggunakan tes kriteria referensi yang diujikan pada semua kelompok, menghasilkan bukti yang menyatakan: (1) instruksi dapat membantu perkembangan siswa dalam proses membaca dari teks, (2) struktur tata bahasa cerita diprioritaskan untuk memperoleh kembali informasi dari cerita pendek yang kompleks.

Persamaan penelitian yang dilakukan peneliti dengan penelitian tersebut adalah sama-sama meningkatkan keterampilan menulis cerita pendek. Perbedaan yang dilakukan peneliti dengan penelitian Singer dan Donlan yaitu penelitian Singer dan Donlan menggunakan problem solving guna mengaktifkan siswa dalam pemahaman karya sastra, yakni cerita pendek, sedangkan peneliti menggunakan metode Experiential Learning.

Penelitian yang kedua dilakukan oleh Hismanoglu (2006) berjudul ―Teaching English Trought Literature‖. Penelitian ini menekankan pada penggunaan sastra sebagai suatu teknik populer untuk mengajar, baik dasar keterampilan bahasa (membaca, menulis, mendengar, dan berbicara) dan daerah bahasa (kosakata, tata bahasa, dan pengucapan). Alasan untuk menggunakan teks-teks sastra di kelas dan kriteria utama

10

(2)

commit to user

memilih teks-teks sastra yang sesuai dalam kelas sehingga membuat siswa akrab dengan sastra dan pembelajaran sastra di kelas tidak membosankan. Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama mengkaji tentang cerita pendek. Penelitian Murat Hismonoglu menekankan penggunaan sastra sebagai suatu teknik populer untuk mengajar, khususnya dalam menulis cerita pendek. Sedangkan perbedaannya terletak pada penggunaan metode pembelajaran.

Penelitian ketiga dilakukan oleh Gulla, Vittorio, dan Zakin (2009) berjudul

―Exploring Relationships between Aesthetic Education and Writing Across the Curriculum Using Poetry‖. Penelitian ini menggabungkan dua pendekatan yang berbeda untuk pembelajaran. Setiap pendekatan pedagogis tidak hanya ditingkatkan, tetapi juga dalam proses penelitian secara terpadu yang memperdalam pemahaman guru tentang metode pengajaran. Pendidikan pada dasarnya memberikan pemahaman tentang penggambaran dunia dalam memproduksi karya seni. Hal ini dengan melibatkan imajinasi siswa dalam menulis dengan menyelami ke dalam imajinasi mereka untuk mengapresiasi karya seni. Pada kenyataannya, hasil dari menulis puisi dan menanggapi sastra cenderung bergerak dinamis dalam mencipta karya seni seperti seni sastra (puisi).

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada keterampilan menulis karya sastra. Penelitian Gulla, dkk memfokuskan pada keterampilan menulis puisi, sedangkan pada penelitian ini tentang menulis cerita pendek. Perbedaannya terletak pada objek kajiannya bahwa penelitian sebelumnya dilakukan di tingkat Universitas, sedangkan penelitian ini akan dilaksanakan di tingkat SMP.

Penelitian keempat dilakukan oleh Saka (2014) yang berjudul ―Short Stories in English Language Teaching‖. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sastra harus dimasukkan dalam program pengajaran bahasa asing, seperti yang tertulis dalam bahasa asli dari penuturnya. Membaca karya-karya sastra memberikan kesempatan yang lebih baik untuk pelajar bahasa. Namun, siswa sudah terlanjur beranggapan bahwa memahami sastra itu sangat sulit , membosankan, dan tidak menyenangkan. Oleh karena itu, guru yang ingin mengajarkan sastra di kelas harus kuat memiliki strategi dalam menghadapi kesulitan siswa untuk mempelajari sastra. Untuk mengatasi permasalahan tersebut guru harus menggunakan materi atau metode pembelajaran yang cocok digunakan supaya kegiatan pembelajaran menjadi menyenangkan. Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini terletak pada penggunaan cerita pendek,

(3)

commit to user

sedangkan perbedaannya terletak pada penggunaan metode pembelajaran Experiential Learning dengan media audiovisual untuk meningkatkan keterampilan menulis cerita pendek.

Penelitian kelima dilakukan oleh Al Dersi (2013) berjudul ―The Use of Short Stories for Developing Vocabulary of EFL Learners‖. Penelitian ini menyimpulkan bahwa penggunaan cerita pendek dapat mengembangkan kosakata dengan pembelajaran EFL. Strategi atau bahan yang digunakan tergantung pada sifat materi dan persepsi EFL peserta didik terhadap materi yang dipelajari. Relevansi penelitian Al Dersi dengan penelitian ini adalah penggunaan cerita pendek, sedangkan perbedaannya terletak pada metode pembelajaran yang digunakan.

Penelitian keenam dilakukan oleh Santi Dewi Farisma (2014). Penelitian yang dilakukan dengan judul ― Keefektifan Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Experiential Learning) dalam Meningkatkan Keterampilan Menulis Karangan Argumentasi Siswa Kelas X MAN III Yogyakarta‖ ini menunjukkan keefektifan metode yang digunakan untuk meningkatkan keterampilan menulis. Relevansi penelitian Santi Dewi dengan penelitian ini adalah penggunaan metode yaitu metode pembelajaran berbasis pengalaman, sedangkan perbedaannya terletak pada keterampilan menulis yang diterapkan.

Penelitian ketujuh dilakukan oleh Ni Ketut Sriani dan I Made Sutama (2015) berjudul ― Penerapan Model Pembelajaran Experiential Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Paragraf Deskripsi Pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 2 Tampaksiring‖. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan siswa dalam menulis paragrap deskripsi semakin meningkat dengan menerapkan Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman dan respon siswa terhadap proses pembelajaran juga semakin baik. Relevansi penelitian Ni Ketut Sriani dengan penelitian ini adalah penggunaan metode yaitu metode pembelajaran berbasis pengalaman, sedangkan perbedaannya terletak pada keterampilan menulis yang diterapkan.

B. Kajian Teori

Pada kajian teori ini ada beberapa hal yang dibahas yaitu (1) hakikat pembelajaran sastra di sekolah (2) hakikat keterampilan menulis cerita pendek , (3) hakikat teks cerita pendek, (4) hakikat Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman, (5)

(4)

commit to user

hakikat media audiovisual, (6) hakikat kualitas pembelajaran, dan (7) penilaian pembelajaran.

1. Hakikat Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran sastra di sekolah sangat bermanfaat bagi siswa. Nurgiyantoro (2013:

35) mengungkapkan ada dua nilai yang dapat diambil dari pembelajaran sastra, yaitu nilai personal dan nilai pendidikan. Nilai personal ini meliputi perkembangan emosional, intelektual, imajinasi, pertumbuhan rasa sosial, dan pertumbuhan rasa etis dan religius. Adapun nilai pendidikan mencakup: (1) membantu siswa bereksplorasi;

(2) membantu keterampilan berbahasa; (3) mengembangkan cipta dan rasa atau nilai keindahan; (4) menanamkan wawasan multikultural; dan (4) menanamkan kebiasaan membaca. Dalam kaitannya dengan bahasa, sebuah karya sastra dapat meningkatkan keempat kemampuan berbahasa seperti mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan guna merealisasikan tujuan dan manfaat pembelajaran sastra yaitu melalui pembelajaran menulis cerita pendek. Pembelajaran menulis cerita pendek dapat dilakukan dengan berbagai metode dan proses evaluasinya dapat dilakukan dengan metode yang beragam.

Karya sastra sebagai hasil kreatif pengarang dikatakan oleh Wellek (dalam Aminuddin, 2004: 38) bahwa banyak permasalahan yang bias diangkat dalam pembelajaran sastra di sekolah dan sangat bermanfaat bagi perkembangan kepribadian anak. Permasalahan-permasalahan yang diungkap dalam karya sastra itu antara lain: (1) masalah keagamaan, sikap terhadap hidup, Tuhan, dosa, dan keselamatan; (2) masalah manusia dan konsep hubungan antarmanusia, kematian, dan cinta; (3) masalah nasib, yang berisi hubungan antara kebebasan dan keterpaksaan; (4) masalah manusia dan alam; serta (5) masalah masyarakat, keluarga dan negara. Dengan semakin banyak membaca karya sastra, anak menjadi semakin kaya dengan pengalaman batiniah dan berbagai permasalahan kehidupan sehingga diharapkan dapat lebih arif menghadapi masalah kehidupan.

Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang dikandung dalam karya sastra tersebut, melalui pembelajaran apresiasi sastra di sekolah dapat menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan kadar jati diri, rasa etik-estetik dan pendidikan moral

(5)

commit to user

siswa di sekolah. Hal ini sejalan dengan hakikat sastra yang bersifat dulce and utile yang berarti menyenangkan dan berguna. Menyenangkan berkenalan dengan unsur- unsur instrinsik, sedangkan berguna berkenaan dengan nilai ekstrinsik karya sastra.

Sifat menyenangkan dapat diperoleh siswa melalui bahasa, irama, simbolisme, pilihan kata dan penyusunan bentuk (tipografi) yang dapat ditangkap melalui indrawi siswa, sedangkan sifat berguna karya sastra berkaitan erat dengan kesadaran manusiawi, realitas subjektif, mentalitas, dan kejiwaan, religiusitas, dan pemahaman terhadap segala aspek kehidupan dan nilai-nilai yang mencakup cipta, rasa, dan karsa siswa selaku individu.

2. Hakikat Keterampilan Menulis Cerpen a. Pengertian Keterampilan Menulis

Chamid (dalam Suladi: 2014) mengatakan bahwa keterampilan adalah kecakapan untuk menyelesaikan tugas. Kecakapan yang menjadi landasan untuk melakukan sesuatu yang pada akhirnya menjadi suatu kebiasaan.

Menurut Yudha dan Rudhyanto (dalam Yunitha, 2014: 11) keterampilan adalah kemampuan anak dalam melakukan berbagai aktivitas, seperti motorik, berbahasa, sosial-emosional, kognitif, dan afektif (nilai-nilai moral). Keterampilan yang dipelajari dengan baik akan berkembang menjadi kebiasaan. Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara keterampilan dengan perkembangan kemampuan keseluruhan anak. Keterampilan anak tidak akan berkembang tanpa adanya kematangan. Beberapa faktor yang mempengaruhi keterampilan pada anak, yaitu keturunan, makanan, intelegensi, pola asuh, kesehatan, budaya, ekonomi, sosial, jenis kelamin, dan rangsangan dari lingkungan.

Menurut Syah (2005: 119) Keterampilan ialah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syarat dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olah raga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya motorik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang teliti dan kesadaran yang tinggi. Dengan demikian, siswa yang melakukan gerakan motorik dengan koordinasi dan kesadaran dan kesadaran yang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil.

(6)

commit to user

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa keterampilan adalah kemampuan untuk menggunakan akal, pikiran, ide, dan kreativitas dalam melakukan berbagai aktivitas sehingga menghasilkan sebuah nilai dari aktivitas tersebut.

b. Pengertian Menulis

Menulis adalah segenap rangkaian seseorang dalam rangka mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada orang lain agar mudah dipahami. Bahwa menulis yang baik adalah menulis yang bisa dipahami oleh orang lain (Nurudin, 2007: 4).

Komaidi (2011: 1-2) menulis adalah sebuah kemampuan berbahasa yang terpadu, yang ditujukan untuk menghasilkan sesuatu yang disebut tulisan. Sekurang- kurangnya, ada tiga komponen yang tergabung dalam kemampuan menulis, yaitu: (1) penguasaan bahasa tulis, meliputi kosa kata, struktur, kalimat, paragraph, ejaan, pragmatik, dan sebagainya; (2) penguasaan isi karangan sesuai dengan topik yang akan ditulis, dan (3) penguasaan tentang jenis-jenis tulisan, yaitu bagaimana merangkai isi tulisan dengan menggunakan bahasa tulis sehingga membentuk sebuah komposisi yang diinginkan, seperti esai, artikel, cerita pendek, makalah, dan sebagainya.

Kemampuan menulis digunakan untuk mencatat, merekam, meyakinkan, melaporkan, menginformasikan, dan mempengaruhi pembaca. Maksud dan tujuan seperti hanya dapat dicapai dengan baik oleh para pembelajar yang dapat menyusun dan merangkai jalan pikiran dan mengemukakan secara tertulis dengan jelas, lancar, dan komunikatif. Kejelasan ini bergantung pada pikiran, organisasi, pemakaian dan pilihan kata, dan struktur kalimat.

Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara bertatap muka dengan orang lain (Rosidi, 2009 : 2)). Sebagai bentuk keterampilan berbahasa, menulis merupakan kegiatan yang bersifat mengungkapkan, dengan maksud mengungkapkan gagasan, buah pikiran, dan perasaan kepada pihak atau orang lain dalam bentuk tulisan yang diharapkan dapat dipahami oleh pembaca dan berfungsi sebagai alat komunikasi secara tidak langsung. Oleh karena itulah, menulis merupakan suatu kegiatan produktif dan ekspresif.

(7)

commit to user

Menurut Mc Crimmon (dalam Slamet, 2009: 96) menulis merupakan kegiatan menggali pikiran dan perasaan mengenai suatu subjek, memilih hal-hal yang akan ditulis, menentukan cara menulisnya sehingga pembaca dapat memahaminya dengan mudah dan jelas. Hal tersebut senada dengan pendapat Mary S. Lawrence (dalam Semi, 2007: 97) menyatakan bahwa menulis merupakan mengomunikasikan apa dan bagaimana pikiran penulis.

Pada dasarnya, menulis itu bukan hanya merupakan melahirkan pikiran atau perasaan saja, melainkan juga merupakan pengungkapan ide, pengetahuan, ilmu, dan pengalaman hidup seseorang dalam bahasa tulis. Oleh karena itu, menulis bukanlah merupakan kegiatan yang sederhana dan tidak perlu dipelajari, tetapi justru dikuasai.

Hal ini sejalan dengan pendapat Nurjamal, dkk., (2011: 69) bahwa menulis merupakan sebuah proses kreatif menuangkan gagasan dalam bentuk bahasa tulis untuk tujuan, misalnya, memberi tahu, meyakinkan, menghibur. Hasil dari proses kreatif menulis ini biasa disebut dengan istilah tulisan atau karangan.

Kegiatan menulis sangat penting dalam pendidikan karena dapat membantu siswa berlatih berpikir, mengungkapkan gagasan, dan memecahkan masalah.

Menulis adalah salah satu bentuk berpikir, yang juga merupakan alat untuk membuat orang lain (pembaca) berpikir. Dengan menulis, seseorang siswa mampu mengkonstruk berbagai ilmu atau pengetahuan yang dimiliki dalam sebuah tulisan, baik dalam bentuk esai, artikel, cerpen, puisi, dan sebagainya (Rosidi, 2009: 3) Berdasarkan hakikat menulis di atas, dapat disimpulkan bahwa menulis adalah suatu kegiatan untuk menuangkan ide, gagasan, pikiran, dan pengalaman, serta perasaan dalam bentuk lambang-lambang grafik atau tulisan secara jelas dan sistematik sehingga pesan yang disampaikan dapat dipahami oleh pembaca.

c. Jenis-jenis Menulis

Menurut Weayer (dalam Tarigan, 2008: 28) mengemukakan klasifikasi tulisan berdasarkan bentuknya, yaitu: (1) eksposisi, yang mencakup definisi dan analisis; (2) deskriptif, yang mencakup deskripsi ekspositori dan literer; (3) narasi, yang mencakup urutan waktu, motif, konflik, titik pandangan, dan pusat minat; (4) argumentasi, yang mencakup induksi dan deduksi. Selanjutnya, Morris (dalam Dalman, 2014 : 124) membuat klasifikasi yang hampir sama, yaitu: (1) eksposisi,

(8)

commit to user

yang mencakup enam metode analisis, yaitu klasifikasi, definisi, eksemplifikasi, sebab akibat, komparasi dan kontras, serta proses; (2) argumen, yang mencakup argumen formal dan persuasi informal; (3) deskripsi, yang meliputi deskripsi ekspositori dan artistik/ literer; dan (4) narasi, yang meliputi narasi informatif dan narasi artistik/ literer.

Menurut Semi (2007: 53) terdapat empat bentuk atau jenis tulisan, yaitu narasi, deskripsi, eksposisi, dan argumentasi. Hal ini senada dengan pendapat Nuruddin (2007: 58-86) yang mendefinisikan tulisan dapat disajikan dalam lima bentuk, yaitu (1) narasi, (2) eksposisi, (3) argumentasi, (4) persuasi, dan (5) deskripsi. Berdasarkan pendapat dari para ahli tersebut, dapat diuraikan penjelasan jenis-jenis tulisan di bawah ini.

(1) Narasi

Narasi adalah ragam wacana yang menceritakan proses kejadian suatu peristiwa. Sasarannya adalah memberikan gambaran yang sejelas-jelasnya kepada pembaca mengenai fase, langkah, urutan, atau serangkaian terjadinya sesuatu hal.

Karangan narasi (berasal dari narration: bercerita) adalag suatu bentuk tulisan yang berusaha menciptakan, mengisahkan, merangkaikan tindak-tanduk perbuatan manusia dalam sebuah peristiwa secara kronologis atau yang berlangsung dalam suatu kesatuan waktu (Lamuddin, 2008: 244).

Lebih lanjut, menurut Dalman (2014:105) menyatakan bahwa narasi (penceritaan atau pengisahan) adalah ragam wacana yang menceritakan proses kejadian suatu peristiwa. Sasarannya adalah memberikan gambaran yang sejelas- jelasnya kepada pembaca mengenai urutan, langkah, atau serangkaian terjadinya sesuatu hal.

Berkenaan dengan tulisan narasi, Semi (2007: 53) menyatakan bahwa narasi ialah tulisan yang tujuannya menceritakan kronologis peristiwa kehidupan manusia.

Adapun yang menjadi ciri tulisan narasi adalah sebagai berikut. (a) tulisan itu berisi kehidupan manusia, (b) peristiwa kehidupan manusia yang diceritakan itu boleh merupakan kehidupan nyata, imajinasi, dan boleh gabungan keduanya, (c) cerita itu memiliki nilai keindahan, baik keindahan isinya maupun penyajiannya, (d) di dalam peristiwa ada konflik, yaitu pertentangan kepentingan, kemelut, atau kesenjangan

(9)

commit to user

antara harapan dan kenyataan, (e) di dalamnya seringkali terdapat dialog untuk menghidupkan cerita, (f) tulisan disajikan dengan menggunakan cara kronologis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa narasi adalah suatu bentuk karangan yang bersifat menceritakan sesuatu berdasarkan perkembangan dari waktu ke waktu. Narasi mementingkan urutan kronologis dari suatu peristiwa, tokoh, kejadian, dan masalah, serta segala sesuatu diusahakan agar menjadi peristiwa yang jelas dan menarik.

(2) Deskripsi

Menurut Lamuddin (2008:103) deskripsi adalah ragam wacana yang melukiskan atau menggambarkan sesuatu berdasarkan kesan-kesan dari pengamatan, pengalaman, dan perasaan penulisnya. Sasarannya adalah menciptakan atau memungkinkan terciptanya imajinasi (daya khayal) pembaca sehingga dia seolah- olah melihat, mengalami, dan merasakan sendiri apa yang dialami penulisnya.

Sementara itu, menurut Semi (2007: 67) mengungkapkan bahwa deskripsi adalah tulisan yang tujuannya untuk memberikan rincian tentang objek sehingga dapat memberi pengaruh pada emosi dan menciptakan imajinasi pembaca bagaikan melihat, mendengar, atau merangsang langsung apa yang disampaikan penulis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disintesiskan bahwa deskripsi adalah bentuk karangan yang memberikan gambaran tentang sesuatu (peristiwa, kegiatan, masalah, atau objek) berdasarkan kesan-kesan dari pengalaman, perasaan, dan pengamatan penulisnya.

(3) Eksposisi

Menurut Lamuddin (2008: 246) eksposisi dimaksudkan untuk menerangkan, meyampaikan, atau menguraikan suatu hal yang dapat memperluas atau menambah pengetahuan dan pandangan pembacanya. Sasarannya adalah menginformasikan sesuatu tanpa ada maksud mempengaruhi pikiran, perasaan, dan sikap pembacanya.

Fakta dan ilustrasi yang disampaikan penulis sekadar memperjelas apa yang disampaikannya. Kata eksposisi berasal dari bahasa Latin exposition yang berarti membuka atau memulai. Hal ini sesuai dengan pendapat Dalman (2014: 119) yang menyatakan bahwa eksposisi merupakan peninjauan pada satu unsur saja. Pada karangan eksposisi, masalah yang dikomunikasikan terutama adalah pemberitahuan atau informasi. Hasil karangan eksposisi berupa informasi dapat dibaca sehari-hari di

(10)

commit to user

dalam media massa. Melalui media massa, berita dipaparkan dengan tujuan memperluas pandangan dan pengetahuan pembaca. Jadi, pembaca tidak dipaksa untuk menerima pendapat penulis, tetapi setiap pembaca sekadar diberitahu bahwa ada orang yang berpendapat demikian. Mengingat paragraf ini bersifat memaparkan sesuatu.

Berpijak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa eksposisi merupakan karangan atau tulisan yang bertujuan memaparkan, menyusun, dan menguraikan ataupun memberikan informasi suatu pokok pikiran seseorang kepada pembaca mengenai wawasan atau pengetahuan. Informasi atau objek yang dipaparkan dengan jelas maka dapat memperluas pengetahuan dan pandangan pembaca.

(4) Argumentasi

Argumentasi merupakan sebuah tulisan yang berusaha membuktikan suatu kebenaran. Penulis berusaha meyakinkan pembaca untuk menerima suatu kebenaran dengan mengajukan bukti-bukti atau fakta-fakta yang menguatkan argumen penulis.

Slamet (2009: 104) menyatakan bahwa argumentasi adalah ragam wacana yang dimaksudkan untuk meyakinkan pembaca mengenai kebenaran yang disampaikan oleh penulisnya.

Menurut Finoza (dalam Dalman, 2014:137) mendefinisikan argumen (bahasan) adalah karangan yang berusaha memberikan alasan untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat, pendirian, atau gagasan. Argumentasi bertujuan mengubah atau mempengaruhi pikiran pembaca, serta mengubah sikap dan pandangan pembaca sehingga mereka menyukai pendapat dan keyakinan penulis.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa argumentasi adalah karangan atau tulisan yang bertujuan meyakinkan pendapat (ide) atau pikiran pembaca yang disertai dengan bukti-bukti yang kuat dan logis. Semakin kuat dasar- dasar pemikiran yang dijadikan landasan maka semakin baik wujud argumentasi yang dikemukakan.

(5) Persuasi

Persuasi merupakan bentuk tulisan yang berusaha mempengaruhi orang lain atau pembaca. Pengaruh yang diberikan tersebut supaya para pendengar atai pembaca melakukan sesuatu bagi orang yang melakukan persuasi, meskipun pembaca atau

(11)

commit to user

pendengar sebenarnya tidak terlalu paham dan percaya dengan apa yang dikatakan itu.

Semi (2007: 104) menyatakan bahwa persuasi adalah ragam wacana yang ditujukan untuk mempengaruhi sikap dan pendapat pembaca mengenai sesuatu hal yang disampaikan penulisnya. Berbeda dengan eksposisi yang pendekatannya bersifat rasional dan diarahkan untuk mencapai kebenaran, sedangkan persuasi lebih menggunakan pendekatan emosional.

Menurut Nursito (2007: 45) persuasi adalah jenis karangan yang disampaikan mengandung alasan-alasan dan bukti atau fakta, juga mengandung ajakan atau himbauan agar pembaca mau menerima dan mengakhiri pendapat atau himbauan supaya pembaca menerima dan mengikuti pendapat atau kemauan penulis.

Berpijak dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa persuasi adalah tulisan yang bertujuan mempengaruhi dan mengubah sikap, atau menghimbau pembaca agar dengan sukarela melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak penulis disertai dengan kesadaran dan dilandasi oleh pengartian. Untuk mempengaruhi seseorang (pembaca), diperlukan alasan dan bukti nyata sehingga pembaca mempercayai penulis.

d. Tujuan Menulis

Menurut Semi (2007:14) tujuan orang menulis sebagai berikut: (1) untuk menceritakan sesuatu, (2) untuk memberikan petunjuk atau pengarahan, (3) untuk meyakinkan, (4) untuk meyakinkan, dan (5) untuk merangkum. Sedangkan menurut Hugo (dalam Tarigan, 2008: 25) tujuan penulisan suatu tulisan, yaitu (1) Assignment purpose (tujuan penugasan) tujuan penugasan ini sebenarnya tidak mempunyai tujuan sama sekali, (2) Altruistic purpose (tujuan altuistik) penulis bertujuan untuk menyenangkan para pembaca, menghindarkan kedukaan para pembaca, ingin menolong para pembaca memahami, menghargai perasaan, dan penalarannya, ingin membuat hidup para pembaca lebih mudah dan lebih menyenangkan dengan karyanya itu, (3) Persuasive purpose (tujuan persuasif) tulisan yang bertujuan meyakinkan para pembaca akan kebenaran gagasan yang diutarakan, (4) Informational purpose (tujuan informasional, tujuan penerangan) tulisan yang bertujuan memberi informasi atau keterangan/ penerangan kepada para pembaca, (5)

(12)

commit to user

Self-ekpressive purpose (tujuan menyatakan diri) tulisan yang bertujuan memperkenalkan atau menyatakan diri sang pengarang kepada para pembaca, (6) Creative purpose (tujuan kreatif) tujuan ini erat hubungannya dengan tujuan pernyataan diri, tetapi keinginan kreatif disini melebihi pernyataan diri dan melibatkan dirinya dengan keinginan mencapai norma artistik, atau seni yang ideal, seni idaman. Tulisan yang bertujuan mencapai nilai-nilai artistik, nilai-nilai kesenian, (7) Problem-solving purpose (tujuan pemecahan masalah) dalam tulisan seperti ini penulis ingin memecahkan yang dihadapi.

3. Hakikat Cerita Pendek

Dalam hakikat teks cerita pendek ini akan dijelaskan beberapa hal yaitu (1) pengertian teks cerita pendek, (2) struktur teks cerita pendek, (3) unsur intrinsik teks cerita pendek, dan (4) kriteria pemilihan cerita pendek.

a. Pengertian Teks Cerita Pendek

Teks adalah satuan bahasa yang dimediakan secara tertulis atau lisan dengan tata organisasi tertentu untuk mengungkapkan makna dalam konteks tertentu pula (Wiratno, 2013). Hal senada diungkapkan oleh Mahsun (dalam Sufanti, 2013:3) yang menyatakan bahwa dalam kurikulum 2013 teks tidak diartikan sebagai bentuk bahasa tulis, melainkan ungkapan pikiran manusia yang lengkap yang di dalamnya ada situasi dan konteksnya. Teks dibentuk oleh konteks situasi penggunaan bahasa yang di dalamnya ada register atau ragam bahasa yang melatarbelakangi lahirnya teks tersebut. Sedangkan menurut Hartoko dan Rahmanto (dalam Sufanti 2013:3) mendefinisikan bahwa teks adalah urutan teratur sejumlah kalimat yang dihasilkan dan atau ditafsirkan sebagai suatu keseluruhan yang kait mengkait. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas mendukung pendapat bahwa teks dapat terdiri dari teks tulis dan lisan.

Pada dasarnya teks memiliki dua unsur utama. Pertama, konteks situasi penggunaan bahasa yang di dalamnya ada register yang melatarbelakangi lahirnya teks, seperti adanya sesuatu (pesan, pikiran, gagasan, ide) yang hendak disampaikan (field), sasaran atau kepada siapa pesan, pikiran, gagasan, atau ide itu disampaikan (tenor), dan dalam format bahasa yang bagaimana pesan, pikiran, gagasan, atau ide itu dikemas (mode). Unsur kedua, konteks situasi yang di dalamnya ada konteks

(13)

commit to user

sosial dan konteks budaya masyarakat tutur bahasa yang menjadi tempat teks tersebut diproduksi (Kemendikbud 2013).

Teks dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, salah satunya berbentuk teks naratif yang termasuk dalam golongan teks sastra. Teks jenis naratif ada berbagai macam salah satunya adalah cerita pendek. Cerita pendek atau cerpen adalah sebuah karya sastra berbentuk prosa yang isinya menceritakan masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, lingkungan, sesama manusia ataupun dengan Tuhan (Nurgiyantoro 2013 :3). Banyak ahli mendefinisi cerpen mulai yang sederhana hingga kompleks. Pengertian cerpen yang sederhana diungkapkan oleh Zaidan Hendy (dalam Kusmayadi 2010:7) bahwa cerpen adalah karya sastra berbentuk prosa yang isinya merupakan kisah pendek yang mengandung kesan tunggal. Sejalan dengan Zaidan, Sumardjo (dalam Kusmayadi 2010:7) mendeskripsikan cerpen sebagai cerita atau rekaan yang fiktif. Artinya bukan berupa analisis argumentasi dan peristiwanya tidak benar-benar terjadi serta relatif pendek.

Kependekan sebuah cerpen bukan karena bentuknya yang lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya.

Definisi cerita pendek yang lebih kompleks diungkapkan oleh Jingga (2012:33) bahwa cerita pendek merupakan cerita yang mengisahkan sebagian kecil aspek dalam kehidupan manusia yang diceritakan secara terpusat pada tokoh dan kejadian yang menjadi pokok cerita. Sedangkan Aminuddin (2004:66) menjelaskan bahwa cerpen merupakan kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita.

Berdasarkan pendefinisian para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa teks cerita pendek adalah karya sastra berbentuk prosa yang isi ceritanya mengisahkan permasalahan kehidupan suatu tokoh yang diceritakan secara ringkas dan berfokus pada suatu tokoh, serta dimediakan secara lisan ataupun tulis.

b. Struktur Teks Cerita Pendek

Kemendikbud (2014: 186) mengemukakan bahwa struktur teks cerita pendek terdiri dari: orientasi, komplikasi dan resolusi. Pada orientasi berisi perkenalan tokoh, perkenalan alur cerita, dan sudah sedikit terlihat konflik antar tokoh. Komplikasi

(14)

commit to user

berisi konflik yang muncul semakin meningkat dan memuncak. Resolusi berisi penyelesaian konflik yang dialami tokoh cerita.

Menurut Sumardjo (2007:63) struktur sebuah cerita secara mudah dapat digambarkan menjadi tiga bagian yaitu (1) bagian permulaan, (2) bagian tengah, dan (3) bagian akhir. Bagian permulaan dituturkan tentang apa, siapa, dimana, kapan, dan munculnya konflik. Bagian kedua adalah bagian tengah cerita, yakni berisi perkembangan dari konflik yang diajukan pengarang. Bagian ketiga sekaligus bagian terakhir yang merupakan penutup cerita. Bagian ini berisi pemecahan konflik atau pemecahan masalah. Hampir sama dengan pendapat Sumardjo, Kemendikbud (2014: 186) menjelaskan bahwa struktur teks cerpen terdiri atas (1) Orientasi (pengenalan) adalah bagian awal yang berisi pengenalan tokoh, latar tempat dan waktu, dan awalan masuk ke tahap berikutnya; (2) komplikasi (pertikaian/

permasalahan) adalah bagian tokoh utama berhadapan dengan masalah (problem).

Bagian ini menjadi inti teks narasi dan harus ada. Jika tidak ada masalah, masalah harus diciptakan; (3) Resolusi (penyelesaian), bagian ini merupakan kelanjutan dari komplikasi yaitu pemecahan masalah. Masalah harus diselesaikan dengan cara yang kreatif.

Montage dan Henshaw (dalam Aminuddin 2004:84) pun menyampaikan lebih rinci lagi tentang struktur cerita pendek. Mereka menjelaskan bahwa tahapan peristiwa dalam suatu plot dapat tersusun dalam berbagai tahapan yaitu (1) tahapan exposisition, yakni tahap awal yang berisi penjelasan tentang tempat terjadinya peristiwa serta perkenalan pelaku yang mendukung cerita, (2) tahap inciting force atau tahap awal konflik, yakni tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun perilaku yang bertentangan dari pelaku, (3) tahap rising action / konflik, yakni situasi panas karena pelaku-pelaku dalam cerita mulai berkonflik, (4) tahap climax atau puncak permasalahan, yakni situasi puncak ketika konflik berada dalam kadar yang paling tinggi, (5) tahap falling action atau anti klimaks, yaitu konflik sudah menurun sehingga ketegangan dalam cerita mulai breda, dan (6) tahap conclusion atau tahap penyelesaian.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa struktur teks cerpen merupakan tahapan-tahapan peristiwa yang terdiri atas orientasi, komplikasi, dan resolusi.

(15)

commit to user c. Unsur-unsur Cerita Pendek

Pada umumnya, membaca novel, cerpen atau fiksi lainnya, yang pertama-tama menarik perhatian orang adalah ceritanya. Menurut Nurgiyantoro (2007: 90) menjelaskan bahwa aspek cerita sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang amat esensial. Ia memiliki peranan sentral. Dari awal hingga akhir karya itu yang ditemui adalah cerita. Cerita, dengan demikian, erat berkaitan dengan berbagai unsur pembangun fiksi yang lain. Struktur atau unsur-unsur intrinsik tersebut adalah tema, amanat, latar, penokohan, sudut pandang, alur, dan gaya bahasa.

(1) Tema

Tema sering disebut juga dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra. Ia terasa dan mewarnai karya sastra tersebut dari halaman pertama hingga terakhir (Suharianto 2005:17). Sehingga keberadaan tema menempati keseluruhan karya sastra. Sependapat dengan pernyataan tersebut, Nurgiyantoro (2009:68) menjelaskan bahwa tema sebuah karya sastra disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu cerita. Tema, walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna yang ―disembunyikan‖, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebagai makna pokok sebuah karya sastra fiksi tidak (secara sengaja) disembunyikan karena justru hal inilah yang ditawarkan kepada pembaca. Namun, tema merupakan makna keseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan ―tersembunyi‖ dibalik cerita yang mendukungnya.

Tema dalam karya sastra menurut Robert Stanton (2007: 36) adalah aspek cerita yang sejajar dengan ‗makna‘ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang selalu diingat. Hal ini senada dengan pendapat Nurgiyantoro (2007: 70) yang mengatakan bahwa tema dapat dipandang sebagai dasar dasar cerita, gagasan dasar umum. Gagasan dasar umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumnya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan cerita.

Tema suatu cerita biasanya bersifat tersirat (tersembunyi) dan dapat dipahami setelah membaca keseluruhan cerita (Kusmayadi 2010:19). Melengkapi penjelasan tersebut, Suharianto (2005:17) menyampaikan bahwa tema karya sastra dapat tersurat dan dapat pula tersirat. Disebut tersurat apabila tema tersebut dengan jelas

(16)

commit to user

dinyatakan oleh pengarangnya. Disebut tersirat apabila tidak secara tegas dinyatakan, tetapi terasa dalam keseluruhan cerita yang dibuat pengarang.

Kusmayadi (2010:19-20) membedakan tema fiksi (cerpen) menjadi lima yaitu:

(a) tema jasmaniah merupakan tema yang cenderung berkaitan dengan keadaan jasmani seorang manusia. Tema jenis ini berfokus pada kenyataan diri manusia sebagai jasad (jasmani); (b) Tema organik diterjemahkan sebagai tema tentang

‗moral‘ karena kelompok tema ini mencakup hal-hal yang berhubungan dengan moral manusia. Hubungan ini diwujudkan dalam bentuk tolong menolong, saling menghargai, dan saling berbagi sesama teman; (c) Tema sosial meliputi hal-hal yang berada di luar masalah pribadi, misalnya masalah pendidikan, masalah anak-anak putus sekolah; (d) Tema egoik merupakan tema yang menyangkut reaksi-reaksi pribadi yang pada umumnya menentang pengaruh sosial; (e) Tema ketuhanan merupakan tema yang berkaitan dengan kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Sama seperti yang diungkapkan oleh Kusmayadi, Sayuti (2000:193-194) mengklasifikasikan tema menjadi lima jenis yaitu tema physical ‗jasmaniah‘, organic

‗moral‘, social ‗sosial‘, egoic ‗egoik‘, dan devine ‗ketuhanan‘.

Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan bahwa tema adalah gagasan sentral yang mewarnai keseluruhan cerita yang dapat ditemukan secara tersurat maupun tersirat dan jenisnya terdiri atas tema jasmaniah, moral, sosial, egoik, dan ketuhanan.

(2) Latar

Latar atau setting yaitu tempat atau waktu terjadinya cerita. Suatu cerita hakikatnya tidak lain ialah lukisan peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan tokoh pada suatu waktu di suatu tempat, maka tidak mungkin ada cerita tanpa latar atau setting. Kegunaan latar atau setting dalam cerita, biasanya bukan sekadar sebagai petunjuk kapan dan di mana cerita itu cerjadi, melainkan juga sebagai tempat pengambilan nilai-nilai yang ingin diungkapkan pengarang melalui ceritanya tersebut (Suharianto, 2005:22-23).

Menurut Kusmayadi (2010:23) dalam sebuah cerita, harus terjadi pada suatu tempat dan waktu. Seperti halnya kehidupan ini yang juga berlangsung dalam ruang dan waktu. Unsur cerita yang menunjukkan kepada kita dimana dan kapan kejadian-

(17)

commit to user

kejadian dalam cerita berlangsung disebut latar (Setting). Ada pula yang menyebutnya landas tumpu, yakni lingkungan tempat peristiwa terjadi. Dengan demikian, yang termasuk di dalam latar ini ialah tempat atau ruang yang dapat diamati: disebuah desa, di kampus, di dalam penjara, di rumah, di kapal, dan seterusnya; serta waktu, hari, tahun, musim, atau periode sejarah, seperti di jaman revolusi fisik, di saat upacara sekaten, di musim kemarau yang panjang, dan sebagainya. Latar dapat dikatakan sebagi tempat atau suasana tertentu yang dialami oleh tokoh pada suatu cerita tertentu.

Nurgiyantoro (2013: 227-234) membedakan unsur latar ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

Berikut ini dijelaskan secara rinci tiga unsur latar sebagai berikut ; (a) latar tempat yaitu menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (b) latar waktu yang berhubungan dengan masalah ―kapan‖ terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah ―kapan‖

tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah; (c) latar sosial yang menyaran pada hal- hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

Jadi simpulan yang dapat dipetik dari pendapat para ahli di atas adalah unsur cerita yang menunjukkan tempat, waktu, dan sosial di dalam sebuah cerita disebut latar.

(3) Sudut Pandang

Sudut pandang atau pusat pengisahan adalah posisi dan penempatan diri pengarang dalam ceritanya, atau dari mana ia melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu. Dari titik pandang pengarang ini pulalah pembaca mengikuti jalannya cerita memahami temanya. Sudut pandang atau pusat pengisahan (point of view) menurut Kusmayadi (2010:26) dipergunakan untuk menentukan arah pandang pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita sehingga tercipta suatu kesatuan cerita yang utuh. Oleh karena itu, sudut pandang pada dasarnya

(18)

commit to user

adalah visi pengarang, dalam arti bahwa ia merupakan sudut pandang yang diambil oleh pengarang untuk melihat peristiwa dan kejadian dalam cerita.

Abrams (dalam Nurgiyantoro 2013:248) Sudut pandang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dengan demikian, sudut pandang hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.

Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi, memang milik pengarang, pandangan hidup dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan dalam sudut pandang tokoh, lewat kaca mata tokoh cerita.

Nurgiyantoro (2013:256-266) membedakan sudut pandang menjadi tiga, yaitu:

(1) Sudut Pandang Persona Ketiga: ―Dia‖. Pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya ―dia‖, narrator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia, mereka. Sudut pandang ―dia‖ dapat dibedakan dalam dua golongan berdasarkan tingkat kebebasan dan keterikatan pengarang terhadap bahan ceritanya.

a) ―Dia‖ Mahatahu: Dalam sudut pandang ini, cerita dikisahkan dari sudut ―dia‖, namun pengarang, narator, dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh ―dia‖ tersebut. Narator mengetahui segalanya, ia bersifat mahatahu (omniscient). b) sudut pandang ―Dia‖ Terbatas, ―Dia‖ sebagai Pengamat: pengarang melukiskan apa yang dia lihat, dia dengar, dia alami, dia pikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja (Stanton), atau terbatas dalam jumlah yang sangat terbatas (Abrahams)

(2) Sudut Pandang Persona Pertama: ―Aku‖. Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona petama, first person point of view, ―aku‖, jadi : gaya ―aku‖ narrator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si ―aku‖ dalam cerita adalah sebagai berikut:

(19)

commit to user

a) ―Aku‖ Tokoh Utama Dalam sudut pandang teknik ini, si ―aku‖ mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri maupun fisik hubungannya dengan sesuatu yang di luar dirinya.

b) ―Aku‖ Tokoh Tambahan: Dalam sudut pandang ini tokoh ―aku‖ tidak muncul sebagi tokoh utama melainkan sebagai tokoh tambahan (first person Pheripheral).

Dengan demikian, si ―aku‖ hanya tampil sebagi saksi (witness). Saksi terhadap berlangsungnya cerita yang ditokohi oleh orang lain. Si ―aku‖ pada umumnya tampil sebagai pengantar dan penutup cerita.

(3) Sudut Pandang Campuran. Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu dalam sebuah karya fiksi mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik ―dia‖ sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik ―aku‖ sebagai tokoh utama dan ―aku‖ tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antarpersona pertama dan ketiga antara ―aku‖ dan

―dia‖ sekaligus.

Kusmayadi (2010:26) membedakan sudut pandang menjadi dua macam, yaitu sudut pandang orang pertama atau gaya ―aku‖ dan sudut pandang orang ketiga atau gaya ―dia‖. Sudut pandang orang pertama meliputi, ―aku‖ sebagai tokoh utama dan ―aku‖ sebagai tokoh tambahan. Sedangkan sudut pandang orang ketiga meliputi, ―dia‘ maha tahu dan ―dia‖ terbatas.

Berdasarkan penjelasan para ahli, dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah posisi dan penempatan diri pengarang melihat peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita yang dibuatnya. Sudut pandang dikategarogikan menjadi tiga yaitu, (1) sudut pandang orang pertamasebagai tokoh utama atau tokoh sampingan, (2) sudut pandang orang ketiga serba tahu atau terbatas, dan (3) sudut pandang campuran.

(3) Alur

Menarik atau tidaknya cerita ditentukan pula oleh penyajian peristiwa demi peristiwa (Kusmayadi, 2010:24). Menurut Suharianto (2005:18) alur adalah cara pengarang menjalin kejadian-kejadian secara beruntun dengan memperhatikan hukum sebab akibat sehingga merupakan kesatuan yang padu, bulat, dan utuh.

Alur tidak hanya sebagai peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu, tetapi juga merupakan penyusunan yang

(20)

commit to user

dilakukan oleh penulisnya mengenai peristiwa-peristiwa tersebut berdasarkan hubungan kualitasnya. Sedangkan Stanton (dalam Nurgiyantoro 2009:112) mengemukakan bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadiannya itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain. Masih dalam sumber yang sama mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang yang ditampilkan dalam cerita yang bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat.

Suharianto (2005:18) membagi alur menjadi lima bagian yaitu: (1) Pemaparan atau pendahuluan, yakni bagian cerita tempat pengarang mulai melukiskan suatu keadaan yang merupakan awal cerita; (2) Penggawatan, yakni bagian yang melukiskan tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita mulai bergerak.

Mulai bagian ini secara bertahap terasakan adanya konflik dalam cerita tersebut.

Konflik itu dapat terjadi antartokoh, antara tokoh dengan masyarakat sekitarnya atau antara tokoh dengan dengan hati nuraninya sendiri; (3) Penanjakan, yakni bagian cerita yang melukiskan konflik-konflik yang mulai memuncak; (4) Puncak atau klimaks, yakni bagian yang melukisakan peristiwa mencapai puncaknya. Bagian ini dapat berupa bertemunya dua tokoh yang yang sebelumnya saling mencari, atau dapat pula berupa terjadinya perkelahian antara dua tokoh yang sbelumnya digambarkan saling mengancam; (5) Peleraian, yakni bagian dari semua peristiwa yang telah terjadi dalam cerita atau bagian-bagian sebelumnya.

Suharianto (2005:18) dilihat dari cara menyususun bagian-bagian plot atau alur cerita dibedakan menjadi tiga, yaitu: (1) alur lurus, suatu cerita disebut beralur lurus apabila cerita tersebut disusun mulai kejadian awal diteruskan dengan kejadian-kejadian berikutnya dan berakhir pada pemecahan masalah; (2) alur sorot balik (flashback). Suatu cerita disebut beralur sosrot balik apabila ceritanya disusun dari bagian akhir dan bergerak ke muka menuju titik awal cerita; (3) alur campuran, Suatu cerita yang menggunakan kedua alur tersebut secara bergantian; maksudnya sebagian ceritanya menggunakan alur lurus dan sebagian lagi menggunakan alur sorot balik. Tetapi keduanya dijalin dalam

(21)

commit to user

kesatuan yang padu sehingga tidak menimbulkan kesan adanya dua buah cerita atau peristiwa yang terpisah baik waktu maupun tempat kejadian

Dari pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa alur atau plot adalah rangkaian cerita yang menjelaskan peristiwa-peristiwa secara utuh, runtut, dan padu yang terdiri atas tahapan pengenalan, konflik, klimaks, peleraian, hingga penyelesaian dari tokoh yang diceritakan. Selain itu, dilihat dari cara menyususun bagian-bagian plot atau alur cerita dibedakan menjadi alur lurus (maju), alur sorot balik (flashback), dan alur campuran.

(4) Penokohan

Karya fiksi mempunyai sifat bercerita, dan yang diceritakan adalah manusia dengan segala kemungkinannya, maka masalah watak dan penokohan ini merupakan hal yang kehadirannya amat penting, bahkan menentukan. Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan mengenai tokoh cerita; baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang dapat berupa: pandangan hidupnya, sikapnya, keyakinannya, adat-istiadatnya, dan sebagainya (Suharianto 2005:20). Hampir sama dengan pernyataan Suharianto, Jones dalam Nurgiyantoro (2009:165) menjelaskan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Seperti yang disebutkan Stanton, penggunaan istilah ―karakter‖ (Character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa Inggris menyarankan pada dua pengertian yang berbeda, yaitu sebagai tokoh- tokoh cerita yang ditampilkan, dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Sedangkan menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (2009:165) tokoh cerita (character) adalah orang- orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Dengan demikian, istilah ―penokohan‖ lebih luas pengertiannya daripada ―tokoh‖ dan

―perwatakan‖ sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Tokoh dalam fiksi biasanya dibedakan menjadi beberapa jenis. Sesuai dengan keterlibatannya dalam cerita dibedakan antara tokoh utama (sentral) dan

(22)

commit to user

tokoh tambahan (periferal). Tokoh disebut tokoh sentral apabila memenuhi tiga syarat yaitu, (1) paling terlibat dengan makna atau tema, (2) paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, (3) paling banyak memerlukan waktu penceritaan. Sedangkan berdasarkan wataknya dikenal dengan tokoh sederhana dan kompleks. Tokoh sederhana adalah tokoh yang kurang mewakili keutuhan personalitas manusia dan hanya ditonjolkan satu sisi karakternya saja.Sementara tokoh kompleks, sebaliknya lebih menggambarkan keutuhan personalitas manusia, yang memiliki sisi baik dan buruk secara dinamis (Sayuti dalam Wiyatmi 2009:31-32).

Suharianto (2005:21) ada dua cara yang sering digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh ceritanya, yaitu dengan cara lansung dan cara tak langsung.

Pernyataan itu dibenarkan oleh Sayuti (dalam Wiyatmi 2009:31-32) yang menyampaikan bahwa cara penggambaran watak tokoh dalam sebuah cerita fiksi ada dua yaitu secara langsung (telling, analitik) dan tak langsung (showing, dramatik). Selanjutnya secara tak langsung watak tokoh digambarkan melalui beberapa cara yaitu: (1) penamaan tokoh (naming), (2) cakapan, (3) penggambaran pikiran tokoh, (4) arus kesadaran (steam of consciousness), (5) pelukisan perasaaan tokoh, (6) perbuatan tokoh, (7) sikap tokoh, (8) pandangan seorang atau banyak tokoh terhadap tokoh tertentu, (9) pelukisan fisik, dan (10) pelukisan latar (Sayuti dalam Wiyatmi 2009:31-32).

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memahami watak pelaku, yaitu dengan menulusurinya lewat (1) tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya, (2) gambaran yang diberikan pengarang lewat gambaran lingkungan kehidupannya maupun caranya berpakaian, (3) menunjukkan bagaimana perilakunya, (4) melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri, (5) memahami bagaimana jalan pikirannya, (6) melihat bagaimana tokoh lain berbincang dengannya, (8) melihat bagaimana tokoh-tokoh yang lain itu memberikan reaksi terhadapnya, dan (9) melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh yang lain (Aminuddin, 2009:80-81).

Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli, dapat disimpukan bahwa penokohan adalah pelukisan atau gambaran yang jelas tentang tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita, baik keadaan lahirnya maupun batinnya yang

(23)

commit to user

dapat berupa pandangan hidupnya, sikap dan tingkah lakunya, keyakinannya, dan sebagainya. Secara sederhana penokohan dibedakan menjadi dua macam yaitu tokoh utama dan tokoh sampingan atau tambahan, Sedangkan dari segi karakter, tokoh dibedakan menjadi dua macam yaitu antagonis dan protagonis.Protagonis adalah tokoh yang baik sedangkan antagonis adalah tokoh penentang protagonis.

(6) Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah teknik pengolahan oleh pengarang dalam upaya menghasilkan karya satra yang hidup dan indah. Pengolahan gaya bahasa harus didukung oleh pilihan kata (diksi) yang tepat (Kusmayadi 2010:27). Sedangkan tingkah laku berbahasa ini merupakan suatu sarana sastra yang amat penting.

Tanpa bahasa, tanpa gaya bahasa, sastra tidak ada.

Menurut Suharianto (2005:26) bahasa dalam karya sastra mempunyai fungsi ganda. Ia bukan hanya sebagai alat penyampai maksud pengarang, melainkan juga sebagai penyampai perasaannya. Secara definisi memang tidak ada perbedaan antara bahasa yang biasa digunakan oleh pengarang cerita rekaan dengan bahasa yang biasa kita digunakan. Letak perbedaannya hanyalah pada efek yang ditimbulkannya. Bahasa cerita rekaan mampu sambil menyampaikan informasi, melantunkan tusukan-tusukan halus ke dalam perasaan pembaca sehingga setiap pembaca cerita rekaan disamping tahu apa yang diinformasikan pengarang, ia juga dapat merasakan apa yang dirasakan oleh pelaku cerita bersangkutan. Hal itu dimungkinkan karena pengarang dalam menggunakan kata dan menyusunnya dalam kalimat-kalimat di samping memperhitungkan maknanya juga memperhitungkan rasanya.

Gaya bahasa yang digunakan pengarang dalam menuliskan karya sastra, tidak jarang menggunakan cara-cara yang lain dari apa yang yang biasa kita temui dalam bahasa sehari-hari. Suharianto (2005:26) menyampaikan cara-cara tersebut misalnya menggunakan perbandingan-perbandingan, menghidupkan benda-benda mati, melukiskan sesuatu dengan lukisan yang tak sewajarnya dan sebagainya.

Karena itulah dalam karya-karya sastra sering dijumpai pemakaian kalimat- kalimat khusus yang biasa dikenal pigura-pigura bahasa dengan aneka jenisnya, seperti metafoa, metominia, hiperbola, litotes, pleonasme, dan lain-lain.

(24)

commit to user

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara pengarang memilih dan menggunakan bahasa tersebut untuk menyampaikan cerita yang dibuatnya kepada pembaca.

(7) Amanat

Dorongan utama seorang pengarang membuat cerita sebenarnya bukan sekedar ingin bercerita belaka, melainkan karena ia ingin menyampaikan sesuatu kepada masyarakat pembaca karyanya. Sesuatu tersebut dapat berupa ajaran mengenai baik dan buruk, mengenai hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan Sang Pencipta kehidupan itu sendiri dan sebagainya.

Pendek kata sesuatu yang bermanfaat bagi manusia. Karena itu memang sangat beralasan kalau ada pendapat yang mengatakan bahwa sastra itu amat besar manfaatnya bagi manusia, sebab dari karya sastra dapat diperoleh berbagai nilai- nilai kehidupan yang anggun dan agung. Karya sastra mampu mendekatkan manusia dengan sesamanya, bahkan mampu pula mendekatkan manusia dengan Yang Maha Pencipta (Suharianto 2005:70).

Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang. Pesan mengandung nilai-nilai kehidupan yang anggun dan agung. Dalam sebuah karya sastra, pesan dapat disampaikan secara tersirat ataupun tersurat. Sependapat dengan pernyataan tersebut, Kusmayadi (2010:32) menyampaikan bahwa amanat atau pesan dalam cerita dapat disampaikan secara tersirat (implisit) melalui tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir ataupun disampaikan secara tersurat (eksplisit) melalui seruan, saran, peringatan, anjuran, atau nasihat, yang disamapaikan langsung ditengah cerita. Sedangkan Zulfahnur (2006:26) mengartikan amanat sebagai pesan berupa ide, gagasan, ajaran moral dan nilai- nilai kemanusiaan yang ingin disampaikan pengarang lewat cerita. Amanat pengarang ini terdapat secara eksplisit dan implisit di dalam karya sastra.

Implisit misalnya disiratkan dalam tingkah laku tokoh-tokoh cerita. Eksplisit bila dalam tengah, atau akhir cerita pengarang menyampaikan pesan-pesan, saran, nasihat, pemikiran, dan sebagainya.

Nurgiyantoro (2013:335-339) cara menyampaikan amanat dengan pesan moral ada dua bentuk, yaitu bentuk penyampaian yang bersifat langsung dan tidak langsung.

(25)

commit to user 1) Bentuk penyampaian pesan moral bersifat langsung

Bentuk penyampaian pesan moral yang bersifat langsung, boleh dikatakan identik dengan cara pelukisan watak tokoh yang bersifat uraian, telling, atau penjelasan, expository. Jika dalam teknik uraian pengarang secara langsung mendeskripsikan perwatakan tokoh-tokoh cerita yang bersifat memberi tahu atau memudahkan pembaca untuk memahaminya, hal yang demikian juga terjadi dalam penyampaian pesan moral.Artinya, moral yang ingin disampaikan atau diajarkan kepada pembaca itu dilakukan secara langsung dan eksplisit.Pengarang dalam hal ini tampak bersifat menggurui pembaca. Secara langsung memberikan nasihat dan petuahnya.

2) Bentuk penyampaian pesan moral bersifat tidak langsung

Bentuk penyampaian pesan yang bersifat tidak langsung adalah pesan yang tersirat dalam cerita, berpadu secara keherensif dengan unsur-unsur cerita yang lain. Walau betul pengarang ingin menawarkan dan menyampaikan sesuatu, ia tidak melakukannya secara serta merta dan vulgar karena ia sadar telah memilih jalur cerita. Karya yang berbentuk cerita bagaimanapun hadir kepada pembaca pertama-tama haruslah sebagai cerita, sebagai sarana hiburan untuk memperoleh berbagai kenikmatan.Kalaupun ada yang ingin dipesankan dan yang sebenarnya justru hal inilah yang mendorong ditulisnya cerita itu.Hal itu hanyalah lewat siratan saja dan terserah kepada penafsiran pembaca.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca melalui cerita. Serta, dapat disampaikan dengan dua cara yaitu implisit (secara langsung) dan eksplisit (secara tidak langsung).

d. Kriteria Pemilihan Teks Cerita Pendek

Dalam pembelajaran menulis teks cerita pendek, terdapat beberapa kriteria atau acuan yang akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam kegiatan belajar mengajar di kelas. Kriteria ini harus memenuhi syarat pemilihan teks cerita pendek yang yang baik sehingga bahan belajar cocok untuk digunakan dan bermanfaat.

(26)

commit to user

Menurut Surana (2001:45), ciri-ciri cerita pendek yaitu, 1) pada umumnya ceritanya pendek, 2) yang ditampilkan dalam cerpen hanya hal-hal yang penting benar dan berarti, 3) isinya singkat lagi padat, 4) menggambarkan tokoh cerita menghadapi suatu pertikaian (konflik) dan untuk menyelesaikannya, dan 5) sanggup meninggalkan suatu kesan dalam hati pembaca.

Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri cerita pendek secara umum ialah 1) ceritanya pendek, 2) hal-hal yang disampaikan pengarang singkat dan padat, 3) bersifat rekaan atau tidak benar-benar ada, 4) menceritakan permasalahan tokoh, 5) terdapat tokoh yang menjadi pelaku utama, 6) memiliki kesan yang tunggal, dan 7) memiliki pesan moral yang baik.

Selanjutnya pembahasan tentang kriteria cerpen yang baik. Dalam artikel penelitian yang ditulis Khairunisa (2014) menyampaikan bahwa cerita pendek yang digunakan untuk pembelajaran adalah cerita pendek yang memenuhi kriteria sebagai berikut.

Cerita pendek itu harus pendek. Hal ini ditujukan agar tidak menguras waktu untuk membacanya dan bisa selesai dibaca dalam waktu singkat. Meskipun ceritanya pendek, akan tetapi tetap memberikan kesan yang mendalam.

a. Cerita pendek membuat efek yang tunggal dan unik. Sebuah cerpen yang baik hanya punya satu pikiran utama dan action yang bisa dikembangkan melalui sebuah garis dari awal hingga akhir. Berbeda dengan novel yang memungkinkan memiliki garis-garis sampingan atau cerita-cerita penyeling.

b. Cerita pendek harus ketat dan padat. Seorang cerpenis harus berusaha memadatkan setiap detil pada ruang tulisannya sepadat mungkin. Tiada ruang untuk memaparkan seraneka kejadian atau serba detil karakter seperti pada novel. Maksudnya tidak lain agar pembaca mendapat kesan tunggal dari keseluruhan cerita. Inilah sebabnya dalam cerpen amat dituntut ekonomi bahasa. Segalanya harus diseleksi secara ketat, agar misi yang hendak disampaikan dapat tersampaikan dengan baik dan mudah ditangkap oleh pembaca.

c. Cerita pendek harus tampak sungguhan. Cerita pendek memang karya fiksi tetapi harus diupayakan agar terkesan nyata. Sebab ―tampak seperti sesungguhnya‖ adalah prinsip seni penceritaan sebuah cerita termasuk pula

(27)

commit to user

cerita pendek. Semua fiksi tidak boleh kentara nilai fiksi atau imajinasinya meskipun semua orang tahu bahwa itu hanya fiksi belaka. Oleh karena itu, seorang cerpenis jangan membuat plot atau alur cerita yang mustahil. Jangan pula melebih-lebihkan karakter tokoh ceritanya seperti pada kartun atau karikatur,

d. Cerita pendek harus memberi kesan yang tuntas. Selesai membaca cerita pendek, pembaca harus merasa bahwa cerita pendek itu benar-benar selesai.

Tidak boleh tidak cerita itu harus selesai pada suatu titik. Jika tidak, pembaca akan bertanya-tanya atau bahkan merasa kecewa. Namun, pada kenyataannya banyak juga cerita pendek terkenal yang melanggarnya.

Berbeda dengan pendapat Khairunisa yang mengkriteriakan cerita pendek secara lahiriyah, maka Little Wood (dalam Jingga, 2012) mencoba mengkriteriakan cerita pendek berdasarkan sasaran bahan ajar itu ditujukan. Ia berpendapat bahwa dalam memilih bahan ajar (cerpen), hendaknya mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut: 1) Ability yaitu kemampuan siswa; 2) Experience yaitu pengalaman kejiwaan siswa dan pengalaman sastra; 3) Interest yaitu daya tarik tarik siswa terhadap masalah tertentu.

Cerita pendek yang tepat untuk digunakan dalam pembelajaran sastra harus memenuhi kriteria sebagai berikut: 1) sesuai dengan tujuan (kompetensi) yang ingin dicapai; 2) sesuai dengan umur, psikologi, kondisi emosional, dan pengetahuan siswa; 3) mampu mengembangkan daya emajinasi, memberi rangsangan yang sehat, dan memberi kemungkinan pengembangan materi; 4) mampu memperkaya pengertian siswa tentang keindahan, kehidupan, kemanusiaan, dan rasa khidmat kepada Tuhan; 5) mempertimbangkan kebutuhan siswa, tuntusan sosial, dan moral; 6) Memberi kesempatan interpretasi yang longgar; 7) mempertimbangkan kebutuhan siswa, tuntusan sosial, dan moral; 8) mempertajam pikiran dan daya kritis subjek didik.

Jadi, dengan mempertimbangkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa kriteria pemilihan teks cerita pendek yang baik dan dapat dijadikan pemodelan harus disesuaikan dengan umur, kondisi emosional, lingkungan, pengetahuan, dan jenjang peserta didiknya. Adapun kriteria pemilihan teks cerpen yang digunakan dalam pembelajaran menulis cerita pendek sebagai berikut: (1)

(28)

commit to user

bahasanya mudah dimengerti peserta didik; (2) ceritanya singkat dan padat; (3) mengandung pesan moral; (4) peserta didik mudah memahami keseluruhan isi cerita; (5) alur ceritanya runtut; (6) struktur teks ceritanya lengkap; dan (7) konflik dalam cerita tidak kompleks. Diharapkan dengan adanya acuan pemilihan bahan belajar teks cerita pendek, pembelajaran menulis cerita pendek di kelas dapat berjalan dengan lancar dan sukses.

4. Hakikat Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman a. Pengertian Metode Pembelajaran

Metode (Yunani; methodos = jalan, cara), dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, metode berarti cara memikirkan dan memeriksa sesuatu hal menurut rencana tertentu.

Sedangkan dalam dunia pengajaran, metode adalah rencana penyajian bahan yang menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan approach tertentu. Jadi, metode merupakan cara melaksanakan pekerjaan, sedangkan approach bersifat filosofis/aksioma (Subana dan Sunarti, 2011: 20)

Sanjaya (2008: 126) mengemukakan bahwa metode adalah bagaimana mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal. Metode pembelajaran merujuk kepada apa yang terjadi di sekolah sehubungan dengan proses pembelajaran, baik di dalam maupun di luar kelas. Proses pembelajaran menuntut kemampuan guru mengembangkan atau merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi.

Andayani (2014: 11) metode pembelajaran adalah sebuah cara yang sifatnya prosedural untuk perencanaan secara utuh dalam menyajikan materi pelajaran secara teratur dengan cara yang berbeda-beda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda. Metode pembelajaran berorientasi pada proses sekaligus berorientasi pada hasil. Berorientasi pada proses berarti dalam penentuan metode pembelajaran, seorang guru mengutamakan penentuan procedural sekaligus efeknya pada hasil belajar yang dapat dicapai siswa.

Metode mempunyai tiga kedudukan, yaitu motivasi ekstrinsik sebagai alat pembangkit motivasi belajar, strategi pengajaran dalam menyiasati perbedaan individual anak didik, dan metode sebagai alat untuk mencapai tujuan, serta metode dapat meningkatkan daya serap materi bagi siswa dan berdampak langsung terhadap

(29)

commit to user

pencapaian tujuan. Iskandarwassid dan Sunendar (2009: 56) mendefinisikan metode adalah cara yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Metode lebih bersifat prosedural dan sistematik karena tujuannya untuk mempermudah pengerjaan suatu pekerjaan.

Berpijak dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode adalah cara untuk melakukan kegiatan atau cara melakukan pekerjaan dengan menggunakan fakta dan konsep-konsep secara sistematis untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

b. Hakikat Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman

Metode pembelajaran berbasis pengalaman menurut Indriana (2011 :107) adalah suatu metode pembelajaran yang mengaktifkan siswa untuk membangun pengetahuan dan keterampilan serta nilai-nilai juga sikap melalui pengalaman secara langsung.

Menurut David Kolb dalam Huda (2014: 173), pembelajaran berbasis pengalaman adalah suatu metode pembelajaran yang melibatkan siswa dalam suatu kegiatan, merefleksikan kegiatan-kegiatan kritis dan memiliki wawasan-wawasan yang berguna bagi pembelajaran.

Kegiatan yang telah dilakukan siswa memiliki peranan yang sangat penting yaitu memberikan kesempatan kepada mereka untuk merefleksikan pengalaman mereka dalam latihan dengan cara mengintegrasikan pengamatan dan memberikan umpan balik dalam kerangka konseptual dan menciptakan mekanisme untuk mentransfer pembelajaran dengan situasi luar yang relevan.

Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman adalah metode pembelajaran yang berpusat pada siswa dan berorientasi pada kegiatan. Siswa harus bekerja sama dengan guru agar tujuan pembelajaran dapat tercapai. Oleh kerena itu, metode ini akan bermakna apabila siswa berperan serta dalam melakukan kegiatan. Siswa memandang kritis kegiatan tersebut, kemudian siswa mendapatkan pemahaman serta menuangkannya dalam bentuk lisan atau tulisan sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Dalam hal ini, experiential learning menggunakan pengalaman sebagai katalisator untuk menolong siswa mengembangkan kapasitas dan kemampuannya dalam proses pembelajaran. Kegiatan pembelajaran yang dapat diidentifikasikan di sini adalah sebagai tugas yang melibatkan siswa, yang dirancang untuk menghasilkan data dan

(30)

commit to user

pengalaman yang dapat digunakan untuk diolah menjadi konsep, ide, atau wawasan perilaku.

Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman tidak hanya memberikan wawasan pengetahuan dan konsep-konsep saja. Namun, juga memberikan pengalaman yang nyata yang akan membangun keterampilan melalui penugasan-penugasan nyata. Selanjutnya, metode ini akan mengakomodasikan dan memberikan proses umpan balik serta evaluasi antara hasil penerapan dengan apa yang seharusnya dilakukan. Inti dari Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman adalah memfokuskan perhatian kepada adanya pengalaman (experience) dalam pembelajaran dan mengarahkan proses belajar pada semua hal yang menyangkut informasi dan kenyataan atau fakta.

c. Langkah-langkah Pembelajaran Menulis Teks Cerita Pendek dengan Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman

Kolb dalam Huda (2014 :172) ada 5 tahap dalam metode pembelajaran berbasis pengalaman yaitu: experience, sharing, processing, generalize, dan applying. Berikut ini merupakan penjelasan dari lima tahap siklus experiential learning.

a) Experience dengan observasi pengalamannya baik secara individu maupun kelompok. Pada tahap ini lebih mengutamakan interaksi dengan lingkungan, serta menghasilkan informasi yang melibatkan feeling atau perasaan. Siswa menganggap tahap ini adalah permainan yang menyenangkan. Berikut contoh kegiatan di antaranya: observasi diri sendiri dan sekelilingnya untuk dijadikan pancingan imajinasi dalam menulis cerpen.

b) Sharing (melaporkan atau berbagi) pada tahap ini, siswa mengingat apa yang dialami, melaporkan segala sesuatu yang mereka lihat. Hal ini dilakukan bersama dengan anggota kelompok dalam kelas. Tujuannya adalah untuk menyediakan data untuk analisis nanti. Pengamatan dan reaksi dapat direkam dalam beberapa cara yaitu: laporan tertulis maupun secara lisan.

c) Processing (pengolahan data) tahap ini melibatkan data sharing dari tahap kedua, data hasil sharing ini harus diolah dan harus sistematis. Teknik yang dapat digunakan seperti: mencari tema-tema umum, mengelompokkan pengalaman, menyesuaikan kuisioner, menemukan istilah kunci, atau menemukan pola-pola

Gambar

Gambar 1. Siklus Metode Pembelajaran Berbasis Pengalaman (Huda : 172) Applying  Menerapkan pembelajaran  dengan  keterampilan menulis cerpen  secara individu Experience (pengalaman) melakukan observasi secara langsungSharing (berbagi hasil observasi  bersa
Gambar 2.  Kerangka Berpikir  D.  Hipotesis Tindakan

Referensi

Dokumen terkait

Dari gambar dan hasil pengamatan menunjukkan interaksi pemberian pupuk kandang dengan berbagai panjang stek berpengaruh nyata terhadap panjang tunas dan panjang

pekerjaan petugas kelurahan dan pengadministrasian kantor kelurahan bertujuan untuk mempermudah pekerjaan petugas kelurahan. Herbarium adalah koleksi specimen tanaman

Hasil penelitian yang menggunakan analisis rasio keuangan diperoleh kesimpulan yaitu ra- sio permodalan Bank Mandiri lebih baik dari- pada Bank Syariah Mandiri, rasio

Katarak adalah kekeruhan (bayangan seperti awan) pada lensa tanpa nyeri akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi akibat kedua-duanya yang dapat

Dalam hal bakal calon yang dapat ditetapkan menjadi calon Kepala Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) lebih dari 5 (lima) orang, panitia menunda penetapan bakal

(2006), “Analisis faktor psikologis konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian roti merek Citarasa di Surabaya”, skripsi S1 di jurusan Manajemen Perhotelan, Universitas

Sistem pemungutan pajak tersebut mempunyai arti bahwa pemberian kepercayaan sepenuhnya pada wajib pajak (dapat dibantu konsultan pajak) untuk menentukan penetapan besarnya

Tahun 2011 akan dilakukan persiapan intensif untuk uji kompetensi, yaitu dengan fokus untuk penyusunan soal-soal uji yang berstandar nasional. Hal ini akan