• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebertahanan Perempuan Korban Kekerasan dalam Pacaran di Kota Salatiga: kajian psikoanalisa T2 832013002 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebertahanan Perempuan Korban Kekerasan dalam Pacaran di Kota Salatiga: kajian psikoanalisa T2 832013002 BAB IV"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

33 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.HASIL PENELITIAN

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan antara peneliti dan

partisipan, didapatkan beberapa data umum yang menggambarkan

partisipan secara singkat sebagai berikut:

Nama : DN

Umur : 25 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pendidikan : Sarjana

Status : Orangtua Tunggal Agama : Katolik

Partisipan yang saat ini berusia 25 tahun merupakan anak ke dua dari

tiga bersaudara. Seluruh keluarganya berdomisili di Lampung. Dari dua

saudaranya, hanya partisipan yang mengemban kuliah sampai ke luar

daerah. Partisipan berkuliah di UKSW Salatiga dan telah menyelesaikan

perkuliahannya dengan gelar Sarjana. Proses wawancara dilakukan di

tempat teman partisipan di daerah Solo.

Beberapa fakta yang dapat dihimpun oleh peneliti dalam proses

wawancara adalah sebagai berikut. Pacar terakhir ini merupakaan pacar ke

empat dari partisipan dan telah berpacaran selama 5 tahun. Sebelumnya partisipan pernah berpacaran dengan tiga orang dimana partisipan

menceritakan bahwa ia putus dengan pacar sebelumnya (pacar ke tiga)

karena pacarnya menghamili orang lain. Pertemuan pertamakali dengan

pacar ke-empatnya ini bermula dari kampus dan juga kebetulan mereka

berasal dari daerah yang sama. Pacar partisipan yang ke empat ini berusia

tiga tahun lebih muda darinya. Pada dasarnya partisipan memiliki gambaran

(2)

34

dengan proses belajar membangun relasi yang lebih dekat dengan seseorang secara personal.

Bentuk kekerasan dalam pacaran yang dialami partisipan merupakan

bentuk kekerasan psikis. Kekerasan dalam berpacaran ini dialami saat

partisipan berumur 23-25 tahun. Partisipan tidak mengalami kekerasan

secara fisik. Menurut tuturan partisipan, pacar partisipan merupakan sosok

yang sering selingkuh, suka memarahi partisipan, dan juga selalu

membatasi ruang lingkup pergaulan partisipan. Partisipan menjadi tidak

bebas untuk bergaul dengan teman-temannya dan menjadi terasing dari

lingkungannya. Meskipun begitu, partisipan tetap mempertahankan

hubungannya karena kebaikan-kebaikan yang diberikan oleh pacarnya. Hal

ini membuat partisipan menjadi merasa tergantung dengan pacarnya dan

menerima semua sikap buruk pacarnya. Dalam hubungannya, partisipan pernah mencoba untuk mengakhiri hubungan dengan pacarnya ini dan

menjalin hubungan baru dengan laki-laki lain. Tetapi hal tersebut tidak

bertahan lama dan partisipan kembali menjalin hubungan dengan pacar

ke-empatnya.

B.PEMBAHASAN PARTISIPAN

Rasa Ketertarikan dalam Diri

Ketertarikan yang dirasakan menurut partisipan didasarkan pada

beberapa pengalaman pribadi partisipan yang sama dengan pacarnya seperti

pada pernyataan berikut ini:

“....Waktu itu memang saya nggak tertarik sama dia, maksudnya

bukan typicall laki-laki yang saya bikin saya tertarik secara fisik....karna waktu itu kita punya kisah masa lalu yang sedikit mirip, dan kebetulan kita sama-sama dari luar Jawa....”

Kriteria pada umumnya dari partisipan adalah fisik, namun kemudian

dalam prosesnya partisipan mempertimbangkan ketertarikan itu dari

pengalaman masa lalu dalam berpacaran yang mirip, dan adanya kesamaan

(3)

35

lebih dekat. Bermula dari pertemanan. Hal ini kemudian dalam prosesnya akan menuju pada tahap selanjutnya yakni berpacaran. Proses interaksi

menuju tahap yang lebih serius dimulai dengan:

“....Dia cuma, “O yauda temen main gitu” ada temen jalan main,

main bareng gitulah... “

“Emmm.. Sebenarnya ... ... Sebenernya waktu pas di awal saya nggak tertarik ya sama dia. Emm dia kan temen, temen, temen main aja gitu, main, kita biasa main bareng terus abis itu... eeeemm... ... mungkin karna kebiasaan bareng. Karna kebiasaan bareng itu jadi kita ... jadiii biasa bareng, dan kebetulan kita sama-sama dari luar Jawa, dia lebih nyaman.”

Tahap ini selanjutnya menimbulkan perhatian yang semakin hari

semakin serius sehingga membentuk rasa ingin tahu dari partisipan terhadap

teman dekatnya ini. Perhatian yang dimaksudkan berawal dari rasa peduli

terhadap apa yang dialami oleh teman dekatnya mengenai masalah pacaran

(putus dengan pacar) yang mengakibatkan temannya ini tidak

menghiraukan perkuliahan sebagai fokus utamanya. Proses in berlanjut

dengan percakapan masalah pribadi yang lebih serius. Kepedulian yang

dimaksud dibentuk dari perasaan prihatin. Hal ini di dukung oleh

pernyataan:

“....Di awal saya lebih ke kasihan ya.... Karena dia tampak tidak bisa

meng-handle dirinya sendiri....”

“Ya.. Saya ngomong kayak gitu ke dia gitu “Lo bukan laki banget lo”. Saya kalau disuruh masalah perempuan kan saya cari, eh, ya putus satu masih banyak yang lain gitu loh. ... Yaudah akhirnya, dia balik, dia balik, emm.. balik ke Salatiga, dan itu kita sering main, sering main bareng, sering main bareng. Dan dia ngomong sama saya dan temen-temen yang

(4)

36

Pemikiran ini berlanjut pada kedekatan yang semakin intens untuk

bertemu antara satu sama lain sebagai sebuah kebutuhan. Apalagi menurut

partisipan, pacarnya sering meminta untuk ditemani kemana-mana baik secara personal maupun dalam kelompok pergaulan. Partisipan kemudian

mewujudkan rasa kepeduliannya melalui menuruti permintaan dari

pacarnya. Proses ini berlanjut pada hubungan timbal balik. Maksudnya

terjadi saling memperhatikan secara khusus antara keduanya (partisipan dan

pacarnya). Bahkan pacarnya semakin mulai menjadi lebih protektif.

“....Mulai, mulai saya tau kalau dia, dia mulai nganggep lebih itu

ketika ... saya, saya gak bisa deket sama orang lain. Jadi ketika saya

deket sama orang lain dia marah, ato gimana, ato gimana..”

Karena tindakan protektif tersebut, proses hubungan ini membentuk

ketidaksadaran dari partisipan bahwa mereka ternyata sedang berpacaran.

Karena partisipan baru menyadari bahwa tindakan protektif ini secara

langsung merubah status dari teman dekat menjadi pacar. Hal ini juga

diperkuat oleh rasa kecemburuan ketika partisipan mulai dekat dengan orang lain.

Masa Berpacaran

Masa-masa ini dibangun dari tindakan over protektif pacar terhadap

partisipan. Namun awalnya hal ini tidak menjadi masalah partisipan karena

menurutnya hal ini merupakan bagian dari sifat-sifat yang dianggap baik

seperti pernyataan dibawah ini:

(5)

37

Karakter semacam ini lalu membentuk kebiasaan diantara mereka berdua. Secara tidak sadar tindakan pacarnya tersebut menyebabkan

partisipan menjadi patuh terhadap pacarnya. Kepatuhan ini semakin lebih

kuat sebab pacarnya sering memberi perhatian yang dianggap lebih seperti

mengantarkan makan, menjaga saat sakit, mengantar jemput dan perilaku

lainya seperti lazim orang berpacaran.

Perlakuan yang dilakukan oleh pacarnya menimbulkan rasa sungkan

dalam diri partisipan karena partisipan merasa ketergantungan. Hal ini

berdasarkan pernyataan:

“....kadang saya juga suka ga enak, saya tau ngerepotin, dan awalnya

saya juga berfikir saya ga mau ketergantungan. Tapi kan, ya digituin ya lama-lama, siapa yang ga suka juga ya digituin ya?...”

Namun demikian rasa ketergantungan ini menjadi kebiasaan yang

dibenarkan oleh partisipan. Karena baginya, hal ini merupakan hal yang

wajar dan baik bagi dirinya sehingga apa yang dilakukan oleh pacarnya

dianggapnya bagian dari sikap perhatian yang benar. Padahal tidak selamanya segala yang dilakukan oleh pacarnya berakibat baik bagi

hubungan mereka. Alasannya perlakuan semacam ini menimbulkan

ketimpangan dalam hubungan mereka sebab meskipun pacarnya sangat

protektif terhadap partisipan, namun dirinya tidak melakukan hal yang

sama. Hasilnya pacarnya dapat melakukan tindakan semena-mena terhadap

partisipan. Hal ini dimulai dari:

“....Sampai akhirnya dia yang minta saya untuk emm.. saya jadi

(6)

38

Secara perlahan-lahan hal ini menyebabkan penarikan diri partisipan dari lingkungannya. Akibatnya, semakin terbatasnya lingkup pergaulan

partisipan.

Adanya Tindak Kekerasan Dalam Pacaran

Karena pacar partisipan mulai membatasi ruang gerak partisipan,

partisipan menjadi tidak dapat bebas bergaul dengan lingkungannya.

Sedangkan pacarnya justru sebaliknya bebas untuk bergaul dengan

siapapun termasuk mantan pacar. Artinya bahwa ada pengorbanan yang

secara langsung dilakukan oleh partisipan, meskipun hal ini sebenarnya

berakibat buruk bagi dirinya dan hubungan mereka berdua.

Sebagai buktinya dalam hubungan berpacaran ini terjadi

perselingkuhan yang dilakukan oleh pacarnya dengan mantan pacar. Hal ini berdasarkan pengakuan partisipan bahwa:

“....Dia suka selingkuh. Kalo menyakiti hati, itu, dia suka selingkuh.

Terus, ada hal yang waktu pas dia awal ngajak pacaran juga, saya

ngomong sama dia, emm “bener apa enggak?” karena ketika kita

pacaran dan kita temenan itu akan beda. Ketika, ketika saya sudah, ketika dia jadi pacar saya akan beda ketika saya jadi temennya dia. Kalo saya jadi temennya dia, lu mau ngapain juga gua ga akan peduli, nah tapi kalo udah jadi pacar, saya, saya ngomong pasti akan ada hal-hal, kebutuhan-kebutuhan yang lebih. Dia bilang, yaudah gak papa, gini-gini, bla-bla-blablabla...”

Perselingkuhan ini lebih lanjut menurut partisipan merupakan

tindakan yang menyakitkan. Namun, partisipan menegaskan bahwa bukan

pacarnya yang salah sehingga terjadi perselingkuhan namun lingkunganlah

yang menyebabkan pacarnya melakukan tindakan semacam itu. Pandangan

tersebut ditegaskan melalui pernyataan bahwa:

“....sbenernya nyakitinnya tuh bukan dia yang nyakitin sih,

(7)

39

“....Cuma yang saya pegang adalah, anak ini tuh anak yang baik ya,

Cuma dia salah masuk pergaulan dan dia sangat sangat labil...”

Artinya bahwa partisipan secara sadar maupun tidak sadar merasa bahwa dirinya tersakiti, namun tidak pada tindakan pacarnya melainkan

lingkungan pergaulannya yang menyebabkan perselingkuhan terjadi.

Pertimbangan konkritnya adalah partisipan menitik beratkan pada kesetiaan

terhadap pacarnya dalam berpacaran.

Kesetiaan menjadi komitmen utama dari partisipan untuk bertahan

dalam hubungan tersebut. Padahal hubungan ini tidaklah baik bagi dirinya.

Karena meskipun mengetahui hal tersebut, partisipan tetap membangun

pandangan yang positif terhadap pacarnya. Akibatnya mulai muncullah

pertengkaran dalam menjalani hubungan tersebut. Masalah utamanya

adalah pacarnya tidak mau mengakui bahwa dirinya berselingkuh kepada partisipan. Hal ini menjadi peluang yang berakhir pada perselingkuhan

kedua yang didasarkan pada pernyataan:

“....Habis itu, trus kita ribut, ribut, ribut, ribut, trus dia selingkuh lagi sama.. emm.. ada tu perempuan dari.. ... Ungaran yah.. ... Perempuan

Ungaran itu...”

Seringnya terjadi pertengkaran menjadi alasan utama yang digunakan untuk membenarkan perselingkuhan yang kedua oleh pacarnya. Partisipan

dalam konteks ini kemudian menyadari bahwa alasan yang dibuat tidak

masuk akal. Namun anehnya, partisipan kembali merenungkan dan

berpandangan bahwa hal tersebut ada benarnya dan mulai menyalahkan

dirinya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan bahwa:

“....Ketika dia ngomong “ya ini kan karna kesalahan-kesalahan kamu”...waktu pas awal-awal saya mikir, “tolol banget” gitu.. Tapi

(8)

40

Oleh karena itu hal ini menggambarkan bahwa, partisipan kembali membenarkan tindakan-tindakan dari pacarnya. Berbeda dengan yang

sebelumnya kini, partisipan lebih menyalahkan dirinya dalam konteks

perselingkuhan yang kedua. Partisipan kemudian menerima apa yang

dikatakan dan dilakukan oleh pacarnya dan memilih untuk mengalah guna

mengakhiri pertengkaran. Dengan keadaan yang semacam itu, partisipan

kemudian lebih memilih bertahan untuk mempertahankan hubungan

tersebut. Berdasarkan pada pemikiran awalnya bahwa lingkungan sekitarlah

yang menyebabkan keadaan seperti ini dapat terjadi. Disini terlihat bahwa

partisipan secara langsung memproteksi tindakan pacarnya terhadap

dirinya. Hal ini pada akhirnya tidak bertahan lama karena partisipan sempat

memutuskan untuk untuk mengakhiri hubungan tersebut, dan mencoba

untuk menjalani hubungan dengan orang lain.

Namun terjadi ketergantungan terhadap mantan pacar tersebut dan

partisipan maupun mantan pacarnya bersepakat untuk kembali membina

hubungan mereka berdua. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan

yaitu:

“..Emm, sebenarnya itu kalau dibilang bertahan juga, saya gak bertahan-bertahan banget, karena saya juga sempet mencoba menjalin hubungandengan orang lain. Cuma, ketika intimacy yang saya dapat itu beda dengan intimacy yang saya dapat dengan pacar saya ini,nah itu yang bikin saya jadi ngerasa, “o iya ya”. Em.. Ada yang kurang..”

Faktor lainnya yang menjadi pertimbangan dari partisipan dalam

mempertahankan hubungan ini adalah karena tahap hubungan yang terjadi

juga sudah sampai pada tahap yang lebih intim. Hal ini dibuktikan melalui

pernyataan:

“....Karena, ... Sexual intercouse saya sama dia. Jadi pas begitu saya

(9)

41

saya gak mudah untuk ngelakuin itu sama orang. Jadi saya jadi

merasa saya butuh dia ya karena itu...”

Faktor kebutuhan seksual menjadi hal yang secara langsung mengikat

dirinya kepada pacarnya untuk tetap bertahan. Selain itu, partisipan juga mengakui bahwa dirinya bukan tipe orang yang mudah tertarik dan

membuka diri dalam membangun relasi dengan orang lain. Akibatnya

kekerasan dalam menjalin hubungan (berpacaran) semakin berakibat buruk

bagi diri partisipan. Karena partisipan tidak mempedulikan dan merasa

bahwa terjadi kekerasan terhadap dirinya dalam berpacaran baik secara

psikis maupun fisik lewat pertengkaran-pertengkaran yang berlangsung

antara pacarnya dengan dirinya. Hingga akhirnya hubungan inipun berakhir

tanpa ada kata sepakat untuk mengakhiri hubungan ini karena

masing-masing memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri dan partisipan tetap

tidak menyalahkan pacarnya tersebut.

C.PEMBAHASAN DAN ANALISA

Kekerasan Dalam Berpacaran yang Dialami Partisipan

Kekerasan dalam berpacaran merupakan kekerasan psikologis dan

fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan pacaran, yang

mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan

kekuatan atas pasangannya (Warkentin, 2008). Penelitian ini menemukan

bahwa terjadi kekerasan secara psikis seperti membatasi ruang gerak

pasangan, menyakiti hati pasangan dengan berselingkuh, dan menyalahkan

pasangan atas masalah keretakan hubungan (Muray, 2007). Kekerasan ini

bermula dari adanya tindakan over protektif sang pacar seperti selalu

memperhatikan korban secara berlebihan, mengantar kemanapun korban

pergi dan melarang korban unutk dekat kepada lawan jenis. Tindakan semacam ini dibenarkan oleh korban karena ia telah merasa nyaman dan

menganggap tindakan itu sebagai wujud kasih sayang yang wajar dalam

berpacaran. Hal ini pada akhirnya membentuk alasan dari korban untuk

(10)

42

Kebertahanan Korban menurut Teori Psikoanalisa

Melalui penelitian ini, dapat dilihat bahwa partisipan merasa sangat

tergantung dengan pacarnya dan menilai tindak kekerasan yang dilakukan

oleh pacarnya merupakan suatu wujud dari rasa cinta pasangan dan

memandang bahwa perselingkuhan yang dilakukan pacarnya adalah akibat

dari kesalahan partisipan. Psikoanalis feminis seperti Alfred Adler dan

Karen Horney berpendapat bahwa identitas gender, perilaku gender, serta

orientasi seksual pada perempuan dan laki-laki bukanlah hasil dari fakta

biologis, melainkan hasil dari nilai-nilai sosial (Tong, 2008). Faktor budaya

memberikan kontribusi pada salah satu kelemahan terbesar wanita, yaitu

ketergantungan terhadap orang lain yang dinilai sebagai salah satu sifat

alamiah perempuan.

Aspek lain yang memengaruhi penilaian perempuan yang berlebihan

terhadap cinta adalah sebuah pandangan yang beranggapan bahwa cinta dan

pengabdian merupakan cita-cita dan visi dari kehidupan setiap perempuan.

Bagi perempuan, pasangan dan anak merupakan satu-satunya sumber

kebahagian, rasa aman dan kehormatan dalam hidupnya. Perempuan

memandang cinta sebagai sebuah nilai kebenaran. Faktor-faktor

kebudayaan seperti itu yang menyebabkan perempuan memiliki penilaian

berlebihan terhadap cinta dan memiliki harapan yang besar terhadapnya

sehingga menyebabkan perempuan lebih takut akan kehilangan cinta

dibandingkan dengan kaum laki-laki (Horney, 1939). Hal tersebutlah yang

terlihat dalam penelitian ini.

Partisipan mempunyai penilaian yang berlebihan dalam hubungan

dengan pacarnya. Partisipan sudah merasa nyaman dengan pasangannya

selayaknya merasakan ikatan suami-isteri, dimana partisipan dalam

hubungannya sering melakukan sexual intercourse dengan pacarnya.

Kepuasan dalam hal seksual dirasakan partisipan hanya bisa diberikan oleh

pacarnya saat itu. Hal tersebut terbukti dari pernyataan partisipan yang

berkata bahwa dirinya hanya bisa melakukan sexual intercourse bersama

(11)

43

sempat memutuskan hubungan dengan pacarnya dan mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki lain, ia merasakan ada hal yang kurang, yaitu ia

tidak dapat menyalurkan keinginan seksualnya. Hal tersebut dikarenakan,

menurut penuturan sahabat partisipan, karena pacar baru tersebut terlalu

religius dan menjalankan hubungan pacaran yang baik-baik sebagaimana

mestinya dilakukan oleh orang yang berpacaran, tidak ada sexual

intercourse. Inilah yang membuat partisipan merasa ada yang ‘kurang’

dalam hubungan barunya, partisipan menjadi cemas dan kemudian

memutuskan untuk kembali lagi kepada pacar lamanya.

Konflik yang Menimbulkan Kecemasan Moral

Menurut Freud, kecemasan moral merupakan hasil dari konflik antara

Id dan superego. Secara dasar merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri. Ketika individu termotivasi untuk mengekspresikan

impuls instingtual yang berlawanan dengan nilai moral yang termaksud

dalam superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah. Rasa

malu dan perasaan bersalah menyertai kecemasan moral. Dapat dikatakan

bahwa yang menyebabkan kecemasan adalah kata hati individu itu sendiri.

Freud mengatakan bahwa superego dapat memberikan balasan yang

setimpal karena pelanggaran terhadap aturan moral (Schultz, 1986).

Apapun tipenya, kecemasan merupakan suatu tanda peringatan

kepada individu. Hal ini menyebabkan tekanan pada individu dan menjadi

dorongan pada individu termotivasi untuk memuaskan. Tekanan ini harus

dikurangi. Kecemasan memberikan peringatan kepada individu bahwa ego sedang dalam ancaman dan oleh karena itu apabila tidak ada tindakan maka

ego akan terbuang secara keseluruhan.

Dalam penelitian ini, rasa cemas paling utama yang dirasakan

partisipan adalah rasa cemas bahwa dirinya tidak bisa mendapatkan

kepuasan seksual yang sama dengan yang telah ia alami dengan pacar

sebelumnya. Saat partisipan mencoba mengakhiri hubungan dan memulai

hubungan baru dengan laki-laki lain, partisipan tidak mendapatkan

(12)

44

Dorongan id dalam diri partisipan untuk mendapatkan kepuasan seksual cukup besar dan mendesak ego untuk memenuhi hal tersebut, tetapi

superego dalam diri partisipan juga menekan ego agar tidak mengikuti

keinginan id karena merupakan hal yang bertentangan dengan moral.

Dengan adanya konflik antara id dan superego dalam diri partisipan, maka

ego dari partisipan harus mengambil tindakan untuk mempertahankan

dirinya.

Ada berbagai cara ego melindungi dan mempertahankan dirinya.

Individu akan mencoba lari dari situasi yang mengancam serta berusaha

untuk membatasi kebutuhan impuls yang merupakan sumber bahaya.

Individu juga dapat mengikuti kata hatinya. Atau jika tidak ada teknik

rasional yang bekerja, individu dapat memakai mekanisme pertahanan diri

(defence mechanism) yang non-rasional untuk mempertahankan ego. Partisian merasa bahwa baginya untuk bisa mendapatkan kembali kepuasan

seksual yang telah didapati oleh pacar sebelumnya adalah dengan cara

kembali lagi ke pacar sebelumnya dan bertahan dalam hubungan tersebut.

Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan

Mekanisme pertahanan diri Sigmund Freud merupakan proses mental

yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan. Fungsinya agar dapat

melindungi ego dari kritik-kritik yang tidak adil dari superego dan dari

dorongan id yang tidak dapat diterima. Tindakan tersebut dapat terjadi

karena ego sangat lemah untuk mengatasi tuntutan dari id (Kanserina,

2011).

Dalam hal ini ego harus mengurangi konflik antara kemauan Id dan

Superego. Konflik ini akan selalu ada dalam kehidupan manusia karena

menurut Freud, insting akan selalu mencari pemuasan sedangkan

lingkungan sosial dan moral membatasi pemuasan tersebut. Sehingga

menurut Freud suatu pertahanan akan selalu beroperasi secara luas dalam

segi kehidupan manusia. Layaknya semua perilaku dimotivasi oleh insting,

begitu juga semua perilaku mempunyai pertahanan secara alami, dalam hal

(13)

45

Kecemasan yang dirasakan oleh korban adalah rasa cemas bahwa dirinya tidak bisa melakukan hubungan intim dengan orang lain selain

pasangannya, dan juga korban merasa bahwa dirinya belum siap untuk

menjalin hubungan yang baru dengan orang lain. Demi menghilangakan

kecemasan tersebut, korban melakukan mekanisme pertahanan diri agar

dapat tetap bertahan dalam hubungan berpacarannya. Proses terjadinya

mekanisme pertahanan dalam diri partisipan secara singkat dapat

digambarkan dalam grafik berikut.

Figur 7. Proses terjadinya mekanisme pertahanan diri korban KDP.

Adapun beberapa bentuk mekanisme pertahanan diri yang dilakukan

oleh korban untuk mempertahankan hubungan adalah (Andri, 2007;

Baihaqi, 2007; Yuindartanto, 2009; Novita, 2015) :

 Rasionalisasi. Rasionalisasi merupakan bentuk pertahanan yang membuat suatu perilaku yang menyimpang menjadi masuk akal

dan dapat diterima oleh korban. Hal ini terlihat dari tindakan

korban yang lebih menyalahkan lingkungan daripada pelaku.

Terlihat dalam kutipan wawancara berikut.

“....sbenernya nyakitinnya tuh bukan dia yang nyakitin sih,

(14)

46 Interpretasi:

Korban tersakiti dengan tindakan pacarnya, tetapi korban merasa

bahwa tindakan tersebut dikarenakan lingkungan pergaulan dari

pacarnya yang kurang baik dan memengaruhi pasangannya

sehingga pasangannya bersikap keras dan melalukan kekerasan

terhadap korban.

 Intelektualisasi. Hal ini terlihat dari pandangan korban yang cenderung menyalahkan lingkungan pergaulan dan dirinya sendiri

dalam menjalin relasi dengan pelaku. Hal ini terjadi bersamaan

dengan adanya rasionalisasi dari korban.

“...dia ini orang yang baik, cuma salah, cuma salah pergaulan dan salah lingkungan. Dia labil. Udah itu aja.”

Interpretasi:

Dalam pikiran korban, sudah tertanam pemikiran bahwa pacarnya

adalah orang yang baik dan selalu perhatian kepadanya. Korban

tidak ingin menerima kenyataan bahwa sifat pacarnya memang

tidak baik. Korban mencari alasan yang dapat diterima dan masuk

akan yaitu akibat pergaulan yang salah dan lingkungan yang tidak baik.

 Represi. Tindakan represi merupakan upaya korban untuk menolak sesuatu hal atau perasaan yang membuatnya tidak nyaman seperti masalah perselingkuhan, dan korban lebih

cenderung memikirkan komitmen awal berpacaran yang menjurus

pada sisi baik dari pelaku.

“....Dia orangnya caring, dan dia banyak mengajarkan banyak hal

sebenarnya.”

(15)

47

“....Cuma yang saya pegang adalah, anak ini tuh anak yang baik ya,

Cuma dia salah masuk pergaulan dan dia sangat sangat labil...”

Interpretasi:

Untuk menekan rasa cemas dan ketidaknyamanan akibat tindakan

kekerasan yang dilakukan pacarnya, korban berusaha kembali

mengingat hal-hal yang baik dari pacarnya yang dapat

menghilangkan kecemasan tersebut. Seperti sifat baik pacarnya

saat awal pacaran dan juga mengingat berbagai perhatian yang

telah diberikan oleh pacarnya.

 Penyangkalan. Proses ini terjadi karena korban berusaha untuk melindungi diri sendiri terhadap kenyataan yang tidak

menyenangkan. Proses ini berjalaan bersamaan dengan tindakan

represi yang dilakukan korban.

“Karena kalau diliat, bahkan sampe sekarang pun, anaknya sebenernya baik..”

“Dia selalu, makan selalu ngenterin, atau kalo enggak, kalo misalnya saya sakit juga, dia selalu, dia selalu ada..”

Interpretasi:

Dari kalimat yang diutarakan korban, dapat dilihat adanya pembelaan dari korban. Korban melindungi dirinya sendiri dari

persamaan yang tidak menyenangkan dengan cara menyangkal

perlakuan buruk yang didapat dari pacarnya. Korban menyangkal

perbuatan buruk pacarnya dengan berpikir bahwa perbuatan kasar

tersebut merupakan bentuk dari perhatian sang pacar.

(16)

48

hanya menerimanya tanpa membicarakan siapa yang salah atau benar dan menerima perlakuan yang dialaminya.

“Tapi habis itu saya mikir lagi, “oh iya” mungkin ada kelakukan

saya yang salah yang saya gak tahu. Walaupun saya gak tahu itu

apa...”

Interpretasi:

Untuk menghilangkan kecemasan yang dialaminya, korban

memilih untuk menerima keadaan yang dialaminya dan cenderung

menyalahkan diri sendiri terhadap perbuatan pacarnya. Melalui

proses berpikir yang cukup lama, korban akhirnya menerima

bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya merupakan akibat

dari kesalahan yang diakukannya.

 Isolasi. Pertahanan ini merupakan cara menghindari suatu perasaan yang tidak dapat diterima dengan cara melepaskan perasaan

tersebut seperti contohnya, korban mengakhiri hubungan tanpa

menyalahkan siapapun dan tidak ingin membahas lagi masalah

tersebut di waktu-waktu mendatang.

“kalo misalnya berfikir bahwa tidak ada yang bisa

menggantikannya juga enggak... Cuma mungkin, lebih ke, sayanya

yang gak mau. Sayanya yang belum mau untuk itu.”

Interpretasi:

Melalui perkataan korban, dapat dilihat bahwa setelah cukup lama

bertahan dalam hubungan dengan pacarnya, pada akhirnya korban

memilih untuk tidak berpacaran lagi dan belum mau untuk

menjalin hubungan yang baru karena masih ingin menenangkan

(17)

49

Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kekerasan dalam pacaran dapat terjadi karena tindakan over protektif yang dibenarkan oleh korban

sehingga menyebabkan korban tetap ingin mempertahankan relasi tersebut

meskipun terjadi tindak kekerasan secara psikis. Padahal hal ini seharusnya

tidak terjadi karena dampaknya adalah rusaknya relasi sosial korban dengan

lingkungannya terlebih khusus dalam membangun relasi yang baru dengan

orang lain. Selain itu jika hubungan yang tidak sehat ini berlanjut maka lama

kelamaan akan menyebabkan trauma, secara sosial posisi perempuan

menjadi lemah di lingkungannya (Tisyah & Rochana, 2013).

D.RANGKUMAN KASUS

Berdasarkan analisa dan pembahasan kasus yang telah diuraikan, maka peneliti dapat merangkumkannya dalam tabel berikut.

Rangkuman Analisa Partisipan

Data Diri

Nama DN

Umur 25 Tahun

Jenis Kelamin Perempuan Pendidikan Sarjana

Status Orangtua Tunggal

Agama Katolik

Analisa

Jenis KDP Kekerasan psikis Penyebab

KDP

Pasangan yang over protektif

Mekanisme Pertahanan Diri yang Digunakan Korban

Rasionalisasi “....sbenernya nyakitinnya tuh bukan dia yang nyakitin sih, lingkungannya dia sih, yang mulai agak

aneh...”

Korban tersakiti dengan tindakan pacarnya, tetapi korban merasa bahwa tindakan tersebut

(18)

50

pergaulan dari pacarnya yang kurang baik dan memengaruhi pasangannya sehingga pasangannya bersikap keras dan melalukan

kekerasan terhadap korban.

Intelektualisasi “...dia ini orang yang baik, cuma salah, cuma salah

pergaulan dan salah lingkungan. Dia labil.

Udah itu aja.”

Dalam pikiran korban, sudah tertanam

pemikiran bahwa pacarnya adalah orang yang baik dan selalu perhatian kepadanya.

Korban tidak ingin menerima kenyataan bahwa sifat pacarnya memang tidak baik. Korban mencari alasan yang dapat diterima dan masuk akan yaitu akibat pergaulan yang salah dan lingkungan yang tidak baik. Represi “....Dia orangnya

caring, dan dia banyak mengajarkan banyak hal

sebenarnya.”

“Dia itu orangnya penyayang..”

Untuk menekan rasa cemas dan ketidaknyamanan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan

(19)

51

“....Cuma yang saya pegang adalah, anak ini tuh anak yang baik ya, Cuma dia salah masuk pergaulan dan dia sangat sangat

labil...”

berusaha kembali mengingat hal-hal yang baik dari pacarnya yang dapat

menghilangkan kecemasan tersebut. Seperti sifat baik pacarnya saat awal pacaran dan juga mengingat berbagai perhatian yang telah diberikan oleh pacarnya. Penyangkalan “Karena kalau diliat,

bahkan sampe sekarang pun, anaknya sebenernya

baik..”

“Dia selalu, makan

selalu ngenterin, atau kalo enggak, kalo misalnya saya sakit juga, dia selalu, dia

selalu ada..”

Dari kalimat yang diutarakan korban, dapat dilihat adanya pembelaan dari korban.

(20)

52 Penyekatan

Emosional

“Tapi habis itu saya mikir lagi, “oh iya”

mungkin ada kelakukan saya yang salah yang saya gak tahu. Walaupun saya

gak tahu itu apa...”

Untuk menghilangkan kecemasan yang dialaminya, korban memilih untuk menerima keadaan yang dialaminya dan cenderung menyalahkan diri sendiri terhadap perbuatan pacarnya. Melalui proses berpikir yang cukup lama, korban akhirnya menerima bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya merupakan akibat dari kesalahan yang diakukannya.

Isolasi “kalo misalnya berfikir bahwa tidak ada yang bisa menggantikannya juga enggak... Cuma mungkin, lebih ke, sayanya yang gak mau. Sayanya yang belum mau untuk

itu.”

Melalui perkataan korban, dapat dilihat bahwa setelah cukup lama bertahan dalam hubungan dengan pacarnya, pada akhirnya korban memilih untuk tidak berpacaran lagi dan belum mau untuk

Referensi

Dokumen terkait

dibutuhkan oleh korban bencana pada saat itu, yang bisa dipenuhi sesegera mungkin. Kebutuhan fisik sangat mudah diukur, sehingga menyebabkan hal tersebut menjadi. prioritas

amar putusan sesuai dengan Pasal 48 ayat (1) UU. PTPPO, bahwa setiap korban tindak

Pemberian rasa nyaman, dukungan, jaminan,dll.. maintenance ialah mencari kedekatan dengan individu dewasa yang dijadikan figur lekat dan menunjukkan protes terhadap

Sari merupakan anak dari perkawinan darah Medan yang dilahirkan 24 tahun yang lalu. Meskipun kedua orang tua berasal dari Medan, namun Sari dan keluarga tidak

Ketiadaan sentuhan dari orang tua – khususnya ayah sebagai figur lekat yang berlainan gender – sejak kecil, membuat Sari dan Dinda merasa asing dengan rasa nyaman

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEREMPUAN (ISTRI) KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH

belakang penelitian hukum ( legal research ), “ Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga ”.

Saya pengen ditemani dengan mereka terus mbak sampai saya masuk ruang operasi,, Rasanya senang sekali saya mbak, dapat perhatian dari mereka bisa mengurangi rasa cemas