33 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.HASIL PENELITIAN
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan antara peneliti dan
partisipan, didapatkan beberapa data umum yang menggambarkan
partisipan secara singkat sebagai berikut:
Nama : DN
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : Sarjana
Status : Orangtua Tunggal Agama : Katolik
Partisipan yang saat ini berusia 25 tahun merupakan anak ke dua dari
tiga bersaudara. Seluruh keluarganya berdomisili di Lampung. Dari dua
saudaranya, hanya partisipan yang mengemban kuliah sampai ke luar
daerah. Partisipan berkuliah di UKSW Salatiga dan telah menyelesaikan
perkuliahannya dengan gelar Sarjana. Proses wawancara dilakukan di
tempat teman partisipan di daerah Solo.
Beberapa fakta yang dapat dihimpun oleh peneliti dalam proses
wawancara adalah sebagai berikut. Pacar terakhir ini merupakaan pacar ke
empat dari partisipan dan telah berpacaran selama 5 tahun. Sebelumnya partisipan pernah berpacaran dengan tiga orang dimana partisipan
menceritakan bahwa ia putus dengan pacar sebelumnya (pacar ke tiga)
karena pacarnya menghamili orang lain. Pertemuan pertamakali dengan
pacar ke-empatnya ini bermula dari kampus dan juga kebetulan mereka
berasal dari daerah yang sama. Pacar partisipan yang ke empat ini berusia
tiga tahun lebih muda darinya. Pada dasarnya partisipan memiliki gambaran
34
dengan proses belajar membangun relasi yang lebih dekat dengan seseorang secara personal.
Bentuk kekerasan dalam pacaran yang dialami partisipan merupakan
bentuk kekerasan psikis. Kekerasan dalam berpacaran ini dialami saat
partisipan berumur 23-25 tahun. Partisipan tidak mengalami kekerasan
secara fisik. Menurut tuturan partisipan, pacar partisipan merupakan sosok
yang sering selingkuh, suka memarahi partisipan, dan juga selalu
membatasi ruang lingkup pergaulan partisipan. Partisipan menjadi tidak
bebas untuk bergaul dengan teman-temannya dan menjadi terasing dari
lingkungannya. Meskipun begitu, partisipan tetap mempertahankan
hubungannya karena kebaikan-kebaikan yang diberikan oleh pacarnya. Hal
ini membuat partisipan menjadi merasa tergantung dengan pacarnya dan
menerima semua sikap buruk pacarnya. Dalam hubungannya, partisipan pernah mencoba untuk mengakhiri hubungan dengan pacarnya ini dan
menjalin hubungan baru dengan laki-laki lain. Tetapi hal tersebut tidak
bertahan lama dan partisipan kembali menjalin hubungan dengan pacar
ke-empatnya.
B.PEMBAHASAN PARTISIPAN
Rasa Ketertarikan dalam Diri
Ketertarikan yang dirasakan menurut partisipan didasarkan pada
beberapa pengalaman pribadi partisipan yang sama dengan pacarnya seperti
pada pernyataan berikut ini:
“....Waktu itu memang saya nggak tertarik sama dia, maksudnya
bukan typicall laki-laki yang saya bikin saya tertarik secara fisik....karna waktu itu kita punya kisah masa lalu yang sedikit mirip, dan kebetulan kita sama-sama dari luar Jawa....”
Kriteria pada umumnya dari partisipan adalah fisik, namun kemudian
dalam prosesnya partisipan mempertimbangkan ketertarikan itu dari
pengalaman masa lalu dalam berpacaran yang mirip, dan adanya kesamaan
35
lebih dekat. Bermula dari pertemanan. Hal ini kemudian dalam prosesnya akan menuju pada tahap selanjutnya yakni berpacaran. Proses interaksi
menuju tahap yang lebih serius dimulai dengan:
“....Dia cuma, “O yauda temen main gitu” ada temen jalan main,
main bareng gitulah... “
“Emmm.. Sebenarnya ... ... Sebenernya waktu pas di awal saya nggak tertarik ya sama dia. Emm dia kan temen, temen, temen main aja gitu, main, kita biasa main bareng terus abis itu... eeeemm... ... mungkin karna kebiasaan bareng. Karna kebiasaan bareng itu jadi kita ... jadiii biasa bareng, dan kebetulan kita sama-sama dari luar Jawa, dia lebih nyaman.”
Tahap ini selanjutnya menimbulkan perhatian yang semakin hari
semakin serius sehingga membentuk rasa ingin tahu dari partisipan terhadap
teman dekatnya ini. Perhatian yang dimaksudkan berawal dari rasa peduli
terhadap apa yang dialami oleh teman dekatnya mengenai masalah pacaran
(putus dengan pacar) yang mengakibatkan temannya ini tidak
menghiraukan perkuliahan sebagai fokus utamanya. Proses in berlanjut
dengan percakapan masalah pribadi yang lebih serius. Kepedulian yang
dimaksud dibentuk dari perasaan prihatin. Hal ini di dukung oleh
pernyataan:
“....Di awal saya lebih ke kasihan ya.... Karena dia tampak tidak bisa
meng-handle dirinya sendiri....”
“Ya.. Saya ngomong kayak gitu ke dia gitu “Lo bukan laki banget lo”. Saya kalau disuruh masalah perempuan kan saya cari, eh, ya putus satu masih banyak yang lain gitu loh. ... Yaudah akhirnya, dia balik, dia balik, emm.. balik ke Salatiga, dan itu kita sering main, sering main bareng, sering main bareng. Dan dia ngomong sama saya dan temen-temen yang
36
Pemikiran ini berlanjut pada kedekatan yang semakin intens untuk
bertemu antara satu sama lain sebagai sebuah kebutuhan. Apalagi menurut
partisipan, pacarnya sering meminta untuk ditemani kemana-mana baik secara personal maupun dalam kelompok pergaulan. Partisipan kemudian
mewujudkan rasa kepeduliannya melalui menuruti permintaan dari
pacarnya. Proses ini berlanjut pada hubungan timbal balik. Maksudnya
terjadi saling memperhatikan secara khusus antara keduanya (partisipan dan
pacarnya). Bahkan pacarnya semakin mulai menjadi lebih protektif.
“....Mulai, mulai saya tau kalau dia, dia mulai nganggep lebih itu
ketika ... saya, saya gak bisa deket sama orang lain. Jadi ketika saya
deket sama orang lain dia marah, ato gimana, ato gimana..”
Karena tindakan protektif tersebut, proses hubungan ini membentuk
ketidaksadaran dari partisipan bahwa mereka ternyata sedang berpacaran.
Karena partisipan baru menyadari bahwa tindakan protektif ini secara
langsung merubah status dari teman dekat menjadi pacar. Hal ini juga
diperkuat oleh rasa kecemburuan ketika partisipan mulai dekat dengan orang lain.
Masa Berpacaran
Masa-masa ini dibangun dari tindakan over protektif pacar terhadap
partisipan. Namun awalnya hal ini tidak menjadi masalah partisipan karena
menurutnya hal ini merupakan bagian dari sifat-sifat yang dianggap baik
seperti pernyataan dibawah ini:
37
Karakter semacam ini lalu membentuk kebiasaan diantara mereka berdua. Secara tidak sadar tindakan pacarnya tersebut menyebabkan
partisipan menjadi patuh terhadap pacarnya. Kepatuhan ini semakin lebih
kuat sebab pacarnya sering memberi perhatian yang dianggap lebih seperti
mengantarkan makan, menjaga saat sakit, mengantar jemput dan perilaku
lainya seperti lazim orang berpacaran.
Perlakuan yang dilakukan oleh pacarnya menimbulkan rasa sungkan
dalam diri partisipan karena partisipan merasa ketergantungan. Hal ini
berdasarkan pernyataan:
“....kadang saya juga suka ga enak, saya tau ngerepotin, dan awalnya
saya juga berfikir saya ga mau ketergantungan. Tapi kan, ya digituin ya lama-lama, siapa yang ga suka juga ya digituin ya?...”
Namun demikian rasa ketergantungan ini menjadi kebiasaan yang
dibenarkan oleh partisipan. Karena baginya, hal ini merupakan hal yang
wajar dan baik bagi dirinya sehingga apa yang dilakukan oleh pacarnya
dianggapnya bagian dari sikap perhatian yang benar. Padahal tidak selamanya segala yang dilakukan oleh pacarnya berakibat baik bagi
hubungan mereka. Alasannya perlakuan semacam ini menimbulkan
ketimpangan dalam hubungan mereka sebab meskipun pacarnya sangat
protektif terhadap partisipan, namun dirinya tidak melakukan hal yang
sama. Hasilnya pacarnya dapat melakukan tindakan semena-mena terhadap
partisipan. Hal ini dimulai dari:
“....Sampai akhirnya dia yang minta saya untuk emm.. saya jadi
38
Secara perlahan-lahan hal ini menyebabkan penarikan diri partisipan dari lingkungannya. Akibatnya, semakin terbatasnya lingkup pergaulan
partisipan.
Adanya Tindak Kekerasan Dalam Pacaran
Karena pacar partisipan mulai membatasi ruang gerak partisipan,
partisipan menjadi tidak dapat bebas bergaul dengan lingkungannya.
Sedangkan pacarnya justru sebaliknya bebas untuk bergaul dengan
siapapun termasuk mantan pacar. Artinya bahwa ada pengorbanan yang
secara langsung dilakukan oleh partisipan, meskipun hal ini sebenarnya
berakibat buruk bagi dirinya dan hubungan mereka berdua.
Sebagai buktinya dalam hubungan berpacaran ini terjadi
perselingkuhan yang dilakukan oleh pacarnya dengan mantan pacar. Hal ini berdasarkan pengakuan partisipan bahwa:
“....Dia suka selingkuh. Kalo menyakiti hati, itu, dia suka selingkuh.
Terus, ada hal yang waktu pas dia awal ngajak pacaran juga, saya
ngomong sama dia, emm “bener apa enggak?” karena ketika kita
pacaran dan kita temenan itu akan beda. Ketika, ketika saya sudah, ketika dia jadi pacar saya akan beda ketika saya jadi temennya dia. Kalo saya jadi temennya dia, lu mau ngapain juga gua ga akan peduli, nah tapi kalo udah jadi pacar, saya, saya ngomong pasti akan ada hal-hal, kebutuhan-kebutuhan yang lebih. Dia bilang, yaudah gak papa, gini-gini, bla-bla-blablabla...”
Perselingkuhan ini lebih lanjut menurut partisipan merupakan
tindakan yang menyakitkan. Namun, partisipan menegaskan bahwa bukan
pacarnya yang salah sehingga terjadi perselingkuhan namun lingkunganlah
yang menyebabkan pacarnya melakukan tindakan semacam itu. Pandangan
tersebut ditegaskan melalui pernyataan bahwa:
“....sbenernya nyakitinnya tuh bukan dia yang nyakitin sih,
39
“....Cuma yang saya pegang adalah, anak ini tuh anak yang baik ya,
Cuma dia salah masuk pergaulan dan dia sangat sangat labil...”
Artinya bahwa partisipan secara sadar maupun tidak sadar merasa bahwa dirinya tersakiti, namun tidak pada tindakan pacarnya melainkan
lingkungan pergaulannya yang menyebabkan perselingkuhan terjadi.
Pertimbangan konkritnya adalah partisipan menitik beratkan pada kesetiaan
terhadap pacarnya dalam berpacaran.
Kesetiaan menjadi komitmen utama dari partisipan untuk bertahan
dalam hubungan tersebut. Padahal hubungan ini tidaklah baik bagi dirinya.
Karena meskipun mengetahui hal tersebut, partisipan tetap membangun
pandangan yang positif terhadap pacarnya. Akibatnya mulai muncullah
pertengkaran dalam menjalani hubungan tersebut. Masalah utamanya
adalah pacarnya tidak mau mengakui bahwa dirinya berselingkuh kepada partisipan. Hal ini menjadi peluang yang berakhir pada perselingkuhan
kedua yang didasarkan pada pernyataan:
“....Habis itu, trus kita ribut, ribut, ribut, ribut, trus dia selingkuh lagi sama.. emm.. ada tu perempuan dari.. ... Ungaran yah.. ... Perempuan
Ungaran itu...”
Seringnya terjadi pertengkaran menjadi alasan utama yang digunakan untuk membenarkan perselingkuhan yang kedua oleh pacarnya. Partisipan
dalam konteks ini kemudian menyadari bahwa alasan yang dibuat tidak
masuk akal. Namun anehnya, partisipan kembali merenungkan dan
berpandangan bahwa hal tersebut ada benarnya dan mulai menyalahkan
dirinya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan bahwa:
“....Ketika dia ngomong “ya ini kan karna kesalahan-kesalahan kamu”...waktu pas awal-awal saya mikir, “tolol banget” gitu.. Tapi
40
Oleh karena itu hal ini menggambarkan bahwa, partisipan kembali membenarkan tindakan-tindakan dari pacarnya. Berbeda dengan yang
sebelumnya kini, partisipan lebih menyalahkan dirinya dalam konteks
perselingkuhan yang kedua. Partisipan kemudian menerima apa yang
dikatakan dan dilakukan oleh pacarnya dan memilih untuk mengalah guna
mengakhiri pertengkaran. Dengan keadaan yang semacam itu, partisipan
kemudian lebih memilih bertahan untuk mempertahankan hubungan
tersebut. Berdasarkan pada pemikiran awalnya bahwa lingkungan sekitarlah
yang menyebabkan keadaan seperti ini dapat terjadi. Disini terlihat bahwa
partisipan secara langsung memproteksi tindakan pacarnya terhadap
dirinya. Hal ini pada akhirnya tidak bertahan lama karena partisipan sempat
memutuskan untuk untuk mengakhiri hubungan tersebut, dan mencoba
untuk menjalani hubungan dengan orang lain.
Namun terjadi ketergantungan terhadap mantan pacar tersebut dan
partisipan maupun mantan pacarnya bersepakat untuk kembali membina
hubungan mereka berdua. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan partisipan
yaitu:
“..Emm, sebenarnya itu kalau dibilang bertahan juga, saya gak bertahan-bertahan banget, karena saya juga sempet mencoba menjalin hubungandengan orang lain. Cuma, ketika intimacy yang saya dapat itu beda dengan intimacy yang saya dapat dengan pacar saya ini,nah itu yang bikin saya jadi ngerasa, “o iya ya”. Em.. Ada yang kurang..”
Faktor lainnya yang menjadi pertimbangan dari partisipan dalam
mempertahankan hubungan ini adalah karena tahap hubungan yang terjadi
juga sudah sampai pada tahap yang lebih intim. Hal ini dibuktikan melalui
pernyataan:
“....Karena, ... Sexual intercouse saya sama dia. Jadi pas begitu saya
41
saya gak mudah untuk ngelakuin itu sama orang. Jadi saya jadi
merasa saya butuh dia ya karena itu...”
Faktor kebutuhan seksual menjadi hal yang secara langsung mengikat
dirinya kepada pacarnya untuk tetap bertahan. Selain itu, partisipan juga mengakui bahwa dirinya bukan tipe orang yang mudah tertarik dan
membuka diri dalam membangun relasi dengan orang lain. Akibatnya
kekerasan dalam menjalin hubungan (berpacaran) semakin berakibat buruk
bagi diri partisipan. Karena partisipan tidak mempedulikan dan merasa
bahwa terjadi kekerasan terhadap dirinya dalam berpacaran baik secara
psikis maupun fisik lewat pertengkaran-pertengkaran yang berlangsung
antara pacarnya dengan dirinya. Hingga akhirnya hubungan inipun berakhir
tanpa ada kata sepakat untuk mengakhiri hubungan ini karena
masing-masing memutuskan untuk berjalan sendiri-sendiri dan partisipan tetap
tidak menyalahkan pacarnya tersebut.
C.PEMBAHASAN DAN ANALISA
Kekerasan Dalam Berpacaran yang Dialami Partisipan
Kekerasan dalam berpacaran merupakan kekerasan psikologis dan
fisik yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam hubungan pacaran, yang
mana perilaku ini ditujukan untuk memperoleh kontrol, kekuasaan dan
kekuatan atas pasangannya (Warkentin, 2008). Penelitian ini menemukan
bahwa terjadi kekerasan secara psikis seperti membatasi ruang gerak
pasangan, menyakiti hati pasangan dengan berselingkuh, dan menyalahkan
pasangan atas masalah keretakan hubungan (Muray, 2007). Kekerasan ini
bermula dari adanya tindakan over protektif sang pacar seperti selalu
memperhatikan korban secara berlebihan, mengantar kemanapun korban
pergi dan melarang korban unutk dekat kepada lawan jenis. Tindakan semacam ini dibenarkan oleh korban karena ia telah merasa nyaman dan
menganggap tindakan itu sebagai wujud kasih sayang yang wajar dalam
berpacaran. Hal ini pada akhirnya membentuk alasan dari korban untuk
42
Kebertahanan Korban menurut Teori Psikoanalisa
Melalui penelitian ini, dapat dilihat bahwa partisipan merasa sangat
tergantung dengan pacarnya dan menilai tindak kekerasan yang dilakukan
oleh pacarnya merupakan suatu wujud dari rasa cinta pasangan dan
memandang bahwa perselingkuhan yang dilakukan pacarnya adalah akibat
dari kesalahan partisipan. Psikoanalis feminis seperti Alfred Adler dan
Karen Horney berpendapat bahwa identitas gender, perilaku gender, serta
orientasi seksual pada perempuan dan laki-laki bukanlah hasil dari fakta
biologis, melainkan hasil dari nilai-nilai sosial (Tong, 2008). Faktor budaya
memberikan kontribusi pada salah satu kelemahan terbesar wanita, yaitu
ketergantungan terhadap orang lain yang dinilai sebagai salah satu sifat
alamiah perempuan.
Aspek lain yang memengaruhi penilaian perempuan yang berlebihan
terhadap cinta adalah sebuah pandangan yang beranggapan bahwa cinta dan
pengabdian merupakan cita-cita dan visi dari kehidupan setiap perempuan.
Bagi perempuan, pasangan dan anak merupakan satu-satunya sumber
kebahagian, rasa aman dan kehormatan dalam hidupnya. Perempuan
memandang cinta sebagai sebuah nilai kebenaran. Faktor-faktor
kebudayaan seperti itu yang menyebabkan perempuan memiliki penilaian
berlebihan terhadap cinta dan memiliki harapan yang besar terhadapnya
sehingga menyebabkan perempuan lebih takut akan kehilangan cinta
dibandingkan dengan kaum laki-laki (Horney, 1939). Hal tersebutlah yang
terlihat dalam penelitian ini.
Partisipan mempunyai penilaian yang berlebihan dalam hubungan
dengan pacarnya. Partisipan sudah merasa nyaman dengan pasangannya
selayaknya merasakan ikatan suami-isteri, dimana partisipan dalam
hubungannya sering melakukan sexual intercourse dengan pacarnya.
Kepuasan dalam hal seksual dirasakan partisipan hanya bisa diberikan oleh
pacarnya saat itu. Hal tersebut terbukti dari pernyataan partisipan yang
berkata bahwa dirinya hanya bisa melakukan sexual intercourse bersama
43
sempat memutuskan hubungan dengan pacarnya dan mencoba menjalin hubungan dengan laki-laki lain, ia merasakan ada hal yang kurang, yaitu ia
tidak dapat menyalurkan keinginan seksualnya. Hal tersebut dikarenakan,
menurut penuturan sahabat partisipan, karena pacar baru tersebut terlalu
religius dan menjalankan hubungan pacaran yang baik-baik sebagaimana
mestinya dilakukan oleh orang yang berpacaran, tidak ada sexual
intercourse. Inilah yang membuat partisipan merasa ada yang ‘kurang’
dalam hubungan barunya, partisipan menjadi cemas dan kemudian
memutuskan untuk kembali lagi kepada pacar lamanya.
Konflik yang Menimbulkan Kecemasan Moral
Menurut Freud, kecemasan moral merupakan hasil dari konflik antara
Id dan superego. Secara dasar merupakan ketakutan akan suara hati individu sendiri. Ketika individu termotivasi untuk mengekspresikan
impuls instingtual yang berlawanan dengan nilai moral yang termaksud
dalam superego individu itu maka ia akan merasa malu atau bersalah. Rasa
malu dan perasaan bersalah menyertai kecemasan moral. Dapat dikatakan
bahwa yang menyebabkan kecemasan adalah kata hati individu itu sendiri.
Freud mengatakan bahwa superego dapat memberikan balasan yang
setimpal karena pelanggaran terhadap aturan moral (Schultz, 1986).
Apapun tipenya, kecemasan merupakan suatu tanda peringatan
kepada individu. Hal ini menyebabkan tekanan pada individu dan menjadi
dorongan pada individu termotivasi untuk memuaskan. Tekanan ini harus
dikurangi. Kecemasan memberikan peringatan kepada individu bahwa ego sedang dalam ancaman dan oleh karena itu apabila tidak ada tindakan maka
ego akan terbuang secara keseluruhan.
Dalam penelitian ini, rasa cemas paling utama yang dirasakan
partisipan adalah rasa cemas bahwa dirinya tidak bisa mendapatkan
kepuasan seksual yang sama dengan yang telah ia alami dengan pacar
sebelumnya. Saat partisipan mencoba mengakhiri hubungan dan memulai
hubungan baru dengan laki-laki lain, partisipan tidak mendapatkan
44
Dorongan id dalam diri partisipan untuk mendapatkan kepuasan seksual cukup besar dan mendesak ego untuk memenuhi hal tersebut, tetapi
superego dalam diri partisipan juga menekan ego agar tidak mengikuti
keinginan id karena merupakan hal yang bertentangan dengan moral.
Dengan adanya konflik antara id dan superego dalam diri partisipan, maka
ego dari partisipan harus mengambil tindakan untuk mempertahankan
dirinya.
Ada berbagai cara ego melindungi dan mempertahankan dirinya.
Individu akan mencoba lari dari situasi yang mengancam serta berusaha
untuk membatasi kebutuhan impuls yang merupakan sumber bahaya.
Individu juga dapat mengikuti kata hatinya. Atau jika tidak ada teknik
rasional yang bekerja, individu dapat memakai mekanisme pertahanan diri
(defence mechanism) yang non-rasional untuk mempertahankan ego. Partisian merasa bahwa baginya untuk bisa mendapatkan kembali kepuasan
seksual yang telah didapati oleh pacar sebelumnya adalah dengan cara
kembali lagi ke pacar sebelumnya dan bertahan dalam hubungan tersebut.
Mekanisme Pertahanan terhadap Kecemasan
Mekanisme pertahanan diri Sigmund Freud merupakan proses mental
yang bertujuan untuk mengurangi kecemasan. Fungsinya agar dapat
melindungi ego dari kritik-kritik yang tidak adil dari superego dan dari
dorongan id yang tidak dapat diterima. Tindakan tersebut dapat terjadi
karena ego sangat lemah untuk mengatasi tuntutan dari id (Kanserina,
2011).
Dalam hal ini ego harus mengurangi konflik antara kemauan Id dan
Superego. Konflik ini akan selalu ada dalam kehidupan manusia karena
menurut Freud, insting akan selalu mencari pemuasan sedangkan
lingkungan sosial dan moral membatasi pemuasan tersebut. Sehingga
menurut Freud suatu pertahanan akan selalu beroperasi secara luas dalam
segi kehidupan manusia. Layaknya semua perilaku dimotivasi oleh insting,
begitu juga semua perilaku mempunyai pertahanan secara alami, dalam hal
45
Kecemasan yang dirasakan oleh korban adalah rasa cemas bahwa dirinya tidak bisa melakukan hubungan intim dengan orang lain selain
pasangannya, dan juga korban merasa bahwa dirinya belum siap untuk
menjalin hubungan yang baru dengan orang lain. Demi menghilangakan
kecemasan tersebut, korban melakukan mekanisme pertahanan diri agar
dapat tetap bertahan dalam hubungan berpacarannya. Proses terjadinya
mekanisme pertahanan dalam diri partisipan secara singkat dapat
digambarkan dalam grafik berikut.
Figur 7. Proses terjadinya mekanisme pertahanan diri korban KDP.
Adapun beberapa bentuk mekanisme pertahanan diri yang dilakukan
oleh korban untuk mempertahankan hubungan adalah (Andri, 2007;
Baihaqi, 2007; Yuindartanto, 2009; Novita, 2015) :
Rasionalisasi. Rasionalisasi merupakan bentuk pertahanan yang membuat suatu perilaku yang menyimpang menjadi masuk akal
dan dapat diterima oleh korban. Hal ini terlihat dari tindakan
korban yang lebih menyalahkan lingkungan daripada pelaku.
Terlihat dalam kutipan wawancara berikut.
“....sbenernya nyakitinnya tuh bukan dia yang nyakitin sih,
46 Interpretasi:
Korban tersakiti dengan tindakan pacarnya, tetapi korban merasa
bahwa tindakan tersebut dikarenakan lingkungan pergaulan dari
pacarnya yang kurang baik dan memengaruhi pasangannya
sehingga pasangannya bersikap keras dan melalukan kekerasan
terhadap korban.
Intelektualisasi. Hal ini terlihat dari pandangan korban yang cenderung menyalahkan lingkungan pergaulan dan dirinya sendiri
dalam menjalin relasi dengan pelaku. Hal ini terjadi bersamaan
dengan adanya rasionalisasi dari korban.
“...dia ini orang yang baik, cuma salah, cuma salah pergaulan dan salah lingkungan. Dia labil. Udah itu aja.”
Interpretasi:
Dalam pikiran korban, sudah tertanam pemikiran bahwa pacarnya
adalah orang yang baik dan selalu perhatian kepadanya. Korban
tidak ingin menerima kenyataan bahwa sifat pacarnya memang
tidak baik. Korban mencari alasan yang dapat diterima dan masuk
akan yaitu akibat pergaulan yang salah dan lingkungan yang tidak baik.
Represi. Tindakan represi merupakan upaya korban untuk menolak sesuatu hal atau perasaan yang membuatnya tidak nyaman seperti masalah perselingkuhan, dan korban lebih
cenderung memikirkan komitmen awal berpacaran yang menjurus
pada sisi baik dari pelaku.
“....Dia orangnya caring, dan dia banyak mengajarkan banyak hal
sebenarnya.”
47
“....Cuma yang saya pegang adalah, anak ini tuh anak yang baik ya,
Cuma dia salah masuk pergaulan dan dia sangat sangat labil...”
Interpretasi:
Untuk menekan rasa cemas dan ketidaknyamanan akibat tindakan
kekerasan yang dilakukan pacarnya, korban berusaha kembali
mengingat hal-hal yang baik dari pacarnya yang dapat
menghilangkan kecemasan tersebut. Seperti sifat baik pacarnya
saat awal pacaran dan juga mengingat berbagai perhatian yang
telah diberikan oleh pacarnya.
Penyangkalan. Proses ini terjadi karena korban berusaha untuk melindungi diri sendiri terhadap kenyataan yang tidak
menyenangkan. Proses ini berjalaan bersamaan dengan tindakan
represi yang dilakukan korban.
“Karena kalau diliat, bahkan sampe sekarang pun, anaknya sebenernya baik..”
“Dia selalu, makan selalu ngenterin, atau kalo enggak, kalo misalnya saya sakit juga, dia selalu, dia selalu ada..”
Interpretasi:
Dari kalimat yang diutarakan korban, dapat dilihat adanya pembelaan dari korban. Korban melindungi dirinya sendiri dari
persamaan yang tidak menyenangkan dengan cara menyangkal
perlakuan buruk yang didapat dari pacarnya. Korban menyangkal
perbuatan buruk pacarnya dengan berpikir bahwa perbuatan kasar
tersebut merupakan bentuk dari perhatian sang pacar.
48
hanya menerimanya tanpa membicarakan siapa yang salah atau benar dan menerima perlakuan yang dialaminya.
“Tapi habis itu saya mikir lagi, “oh iya” mungkin ada kelakukan
saya yang salah yang saya gak tahu. Walaupun saya gak tahu itu
apa...”
Interpretasi:
Untuk menghilangkan kecemasan yang dialaminya, korban
memilih untuk menerima keadaan yang dialaminya dan cenderung
menyalahkan diri sendiri terhadap perbuatan pacarnya. Melalui
proses berpikir yang cukup lama, korban akhirnya menerima
bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya merupakan akibat
dari kesalahan yang diakukannya.
Isolasi. Pertahanan ini merupakan cara menghindari suatu perasaan yang tidak dapat diterima dengan cara melepaskan perasaan
tersebut seperti contohnya, korban mengakhiri hubungan tanpa
menyalahkan siapapun dan tidak ingin membahas lagi masalah
tersebut di waktu-waktu mendatang.
“kalo misalnya berfikir bahwa tidak ada yang bisa
menggantikannya juga enggak... Cuma mungkin, lebih ke, sayanya
yang gak mau. Sayanya yang belum mau untuk itu.”
Interpretasi:
Melalui perkataan korban, dapat dilihat bahwa setelah cukup lama
bertahan dalam hubungan dengan pacarnya, pada akhirnya korban
memilih untuk tidak berpacaran lagi dan belum mau untuk
menjalin hubungan yang baru karena masih ingin menenangkan
49
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kekerasan dalam pacaran dapat terjadi karena tindakan over protektif yang dibenarkan oleh korban
sehingga menyebabkan korban tetap ingin mempertahankan relasi tersebut
meskipun terjadi tindak kekerasan secara psikis. Padahal hal ini seharusnya
tidak terjadi karena dampaknya adalah rusaknya relasi sosial korban dengan
lingkungannya terlebih khusus dalam membangun relasi yang baru dengan
orang lain. Selain itu jika hubungan yang tidak sehat ini berlanjut maka lama
kelamaan akan menyebabkan trauma, secara sosial posisi perempuan
menjadi lemah di lingkungannya (Tisyah & Rochana, 2013).
D.RANGKUMAN KASUS
Berdasarkan analisa dan pembahasan kasus yang telah diuraikan, maka peneliti dapat merangkumkannya dalam tabel berikut.
Rangkuman Analisa Partisipan
Data Diri
Nama DN
Umur 25 Tahun
Jenis Kelamin Perempuan Pendidikan Sarjana
Status Orangtua Tunggal
Agama Katolik
Analisa
Jenis KDP Kekerasan psikis Penyebab
KDP
Pasangan yang over protektif
Mekanisme Pertahanan Diri yang Digunakan Korban
Rasionalisasi “....sbenernya nyakitinnya tuh bukan dia yang nyakitin sih, lingkungannya dia sih, yang mulai agak
aneh...”
Korban tersakiti dengan tindakan pacarnya, tetapi korban merasa bahwa tindakan tersebut
50
pergaulan dari pacarnya yang kurang baik dan memengaruhi pasangannya sehingga pasangannya bersikap keras dan melalukan
kekerasan terhadap korban.
Intelektualisasi “...dia ini orang yang baik, cuma salah, cuma salah
pergaulan dan salah lingkungan. Dia labil.
Udah itu aja.”
Dalam pikiran korban, sudah tertanam
pemikiran bahwa pacarnya adalah orang yang baik dan selalu perhatian kepadanya.
Korban tidak ingin menerima kenyataan bahwa sifat pacarnya memang tidak baik. Korban mencari alasan yang dapat diterima dan masuk akan yaitu akibat pergaulan yang salah dan lingkungan yang tidak baik. Represi “....Dia orangnya
caring, dan dia banyak mengajarkan banyak hal
sebenarnya.”
“Dia itu orangnya penyayang..”
Untuk menekan rasa cemas dan ketidaknyamanan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan
51
“....Cuma yang saya pegang adalah, anak ini tuh anak yang baik ya, Cuma dia salah masuk pergaulan dan dia sangat sangat
labil...”
berusaha kembali mengingat hal-hal yang baik dari pacarnya yang dapat
menghilangkan kecemasan tersebut. Seperti sifat baik pacarnya saat awal pacaran dan juga mengingat berbagai perhatian yang telah diberikan oleh pacarnya. Penyangkalan “Karena kalau diliat,
bahkan sampe sekarang pun, anaknya sebenernya
baik..”
“Dia selalu, makan
selalu ngenterin, atau kalo enggak, kalo misalnya saya sakit juga, dia selalu, dia
selalu ada..”
Dari kalimat yang diutarakan korban, dapat dilihat adanya pembelaan dari korban.
52 Penyekatan
Emosional
“Tapi habis itu saya mikir lagi, “oh iya”
mungkin ada kelakukan saya yang salah yang saya gak tahu. Walaupun saya
gak tahu itu apa...”
Untuk menghilangkan kecemasan yang dialaminya, korban memilih untuk menerima keadaan yang dialaminya dan cenderung menyalahkan diri sendiri terhadap perbuatan pacarnya. Melalui proses berpikir yang cukup lama, korban akhirnya menerima bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pacarnya merupakan akibat dari kesalahan yang diakukannya.
Isolasi “kalo misalnya berfikir bahwa tidak ada yang bisa menggantikannya juga enggak... Cuma mungkin, lebih ke, sayanya yang gak mau. Sayanya yang belum mau untuk
itu.”
Melalui perkataan korban, dapat dilihat bahwa setelah cukup lama bertahan dalam hubungan dengan pacarnya, pada akhirnya korban memilih untuk tidak berpacaran lagi dan belum mau untuk