ISTAM
DAN
PENGENTASAN
KEMISKINAN
Dr.
Wardani,M.Ag.l
lK@*;,ruxl"#.
liki harta benda atau serba
keku-rangan, karena berpenghasilan
rendah. Sedangkan, kata
"fakir"
bermakna
orang yang
sangatI Penulis sekarang adalah tenaga administrasi (staf pembantu bidang akademik kemahasiswaan) pada Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari Baniarmasin. Meraih gelar doktor di Pascasarjana
IAIN Sunan Ampel Surabaya, alumnus Pendidikan Kader Mufassir (PKM) di Pusat Studi al-Qur'an (PSQ) selama enam bulan di fakarta (2009) dan dua bulan di Cairo (2010), dan pemah mengikuti kursus singkat (short course) menulis akademik (acailzmic writing) di Universitas Leipzig Jerman (2010). Memperoleh penghargaan: sebagai wisudawan sarjana (S1) terbaik (1998), wisudawan pro-gram magister (S2) terbaik dengan penyelesaian studi tepat waktu, penghargaan "Mitra Pembangunan Banua" dari Gubemur Kalimantan Selatan (2004), award tesis terbaik nasional (2006)
dari Direktorat Pendidikan Islam Kementrian Agama, anugerah
Intlonesian Scholar Dissertation Award (ISDA) dari The Indonesian
lnternational Erlucation Foundation (IIEF) Jakarta (20{0), penghargaan direktur Program Pascasarjana, Rektor, dan BTN
AMmalan Kemiskiuau
kekurangan, atau sangat miskin. Standar hidup
yang menjadi
indikator
kemiskinan
adalahpendapatan.
Jika
pendapatan
tidak
bisamemenuhi kebutuhan standar, maka yang
bersangkutan disebut miskin. Secara sederhana, kita bisa mengukur kemiskinan dengan menga_
cu
ke
standar upahminimum provinsi
tahun201.0
(untuk
Kalimantan Selatary Rp1.024.50e_perbulan), sekalipun standar pemerintah dalam
upah dan, khususnya, standar minimal penda_
patan terendah dalam mengukur tingkat
kesejahteraan rakyat Indonesia bisa saja lebih
politis,
karena
dengan menetapkan standarterendah atau malah standar yang tidak jelas, sebagaimana
kritik
sebagian kalangan, hanyaunhrk menutupi sejumlah angka orang miskin
yang terdata
di
Indonesia. Ukuran garis kemis_kinan nasional
adalah besarnya pendapatanyang diperoleh oleh setiap
individu
untuk
memenuhi kebutuhan makanan sebesar 2.L00kalori
perhari perorang danuntuk
memenuhi non-makanary berupa perumahary kesehatan,pendidikan, pakaian, transportasi, barang, dan
jasa. Standar yang digunakan oleh Badan pusat
Statistik
untuk
mengukur kemiskinan
tentuharus mengalami penyesuaian setiap
adapergeseran
tuntutan
kebutuhan pokok. Di
samping itu, ada standar kemiskinan versi bank
rskvn lau P eugent'asan Kewisfunnn
dunia
yang
tentu juga
akan
mengalami
pergeseran, seperti apakah $2 perorang perhari mencukupi
untuk
keperluan pokok.Dalam al-Qur'an, orang miskin dan orang
fakir
disebut sebagai orang-orang yang berhakmenerima zakat, padahal zakat yang dikelola
dengan model pengelolaan selama ini hanya bisa meringankan penderitaan kemiskinan
sewaktu-waktu
saja. Dalam al-Qur'an terdapat anjuran agar umat Islam mencari karunia atau kelebihan dari Allah SWT (QS. a1-|umu'ah:L0). Dalam QS.al-Duha:8, dalam konteks pujian terhadap Nabi
Muhammad, "Bukankah Allah telah
mendapati-mu miskin,
kemudianDia
menganugerahkankepadamu kecukupan?", terdapat anjuran
secaraimplisit
agar umat Islam berupaya
mencapai kehidupan yang berkecukupan,
karena dalam keadaaan berkecukupan dalam ayat
ini
disebut sebagai anugerah dan pujian. Bahkaru Atlah SWT mencela orang-orang yangmengharamkan hiasan-hiasan
duniawi
yangtelah diciptakan olehAllah SWT untuk manusia (QS.
al-Araf:32).
Dalam QS. al-Baqarah:268, dinyatakan dalam ungkapan berlawanan, yaituAllah
SWT menjanjikan ampunan dananuge-rah,
sedangkan setan menjanjikan kekafiran.Agavna ban Kewisfonau
kelebihan dari
Allah
SWT atau mencari nafkahtidak
dilaranguntuk
dilakukan selama musimhaji
(QS.al-Baqarah:198).Begitu kuatnya penekanan bahwa
kemis-kinan harus diberantas, sehingga dikenal
ung-kapan:
"Hampir
saja kefakiran menjadikeku-furan". Hal itu karena kefakiran atau kemiskin-an bisa menjadi penyebab orang tidak bisa ber-konsentrasi untuk beribadatu dan pada tingkat
kemiskinan yang
parah, akan rentanpindah
agama karena alasan ekonomi. Bagaimanapun, keberagamaan berkaitan erat dengan kemam-puan ekonomi. Islam mengajarkan tidak hanya
pemeluknya saleh dari agama, melainkan juga
memiliki
kekuatandari
segi ekonomi.Di
ber-bagai belahan dunia, umat-umat Islam tampakmasih
tertinggal.
Karena penekanan dalampemberantasan kemiskinan ini, sumber-sumber agama, seperti sabda Nabi dalam doabeliau, "Ya
Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin,
matikanlah aku
dalam keadaanmiskin,
dan kalau lah akudi
akherat nanti bersamaorang-orang
miskin"
(Ibn
Majahdari Abu Sa'id
al-Khudri dan
al-Thabranidari
'Ubadahbin
al-Shamit) perlu dijelaskan konteks sesungguhnyaapa
yang diinginkan oleh Nabi,
karena
pemahamantekstual
terhadap ungkapanitu
rcIavn bau Pengeutasan Kemiskiunn
akan bertentangan dengan semangat
umum
ajaran Islam,baik dalam al-Qur'an
maupundalam hadits-hadits Nabi yang lain. Pemahaman
tekstual terhadap ungkapan
itu
akanberten-tangan,
misalnya,
dengan sabdaNabi
yang memohon perlindungandari Allah
SWT agarterhindar dari
cobaan akibatkemiskinan
(al-Bukhari dari Aisyah)
dut
dengan sabda beliauyang memohon agar
diberi
sikap
dengan kehormatandiri
dengantidak
menunjukkan keperluan ('iffoh) dan kekayaan (ghina). Beliaujuga berkata kepada Sa'd, "Sesungguhnya
Al-lah mencintai hamba yangberkecukupan (kaya) yang bertaqwa dan tidak menonjolkan
diri"
dankepada
Amr
bin
Ash,
'Alangkah baik
harta yangbaik
di
tanganorang
yangbaik pula".
Menurut
Yusuf al-Qaradhawi, yang dimaksud dengan kata"miskin"
dalam ungkapandi
atasadalah sikap
tawadhu'
dan rendahhati.
NabiMuhammad SAW sendiri berdoa, "Ya Allah, aku
berlindung dari
kekufuran dan kekafiran"
(Hadits riwayat Abu Daud). Beliau juga berdoa," Ya
Allah,
aku berlindung dari kefakiran, keku-rangan, dan kehinaan, dan aku berlindung pulaAgawa bau Kevniskinan
Kemiskinan:
Akar
dan
PemecahannyaUmat Islam dari segi kuantitas adalah yang terbanyak (mayoritas). Meski demikian, banyak
dari umat Islam yang masih jauh
dari
standar ekonomi, padahal Islam memiliki konsepuntuk
mengentaskan kemiskinan. Tentu, ada sesuatu
yang salah dalam memahami ajaran
Islam, mengelola atau rnemanage potensi besar umatIslam
ini.
Akar
dansolusi
atas problematikakemiskinan pada dasarnya adalah
sebagaiberikut.
Pertama, teologi aktivisme.Kita
perlu memperbarui berbagai pandangan-pandangankeagamaan Islam yang
berimplikasi tidak
memiliki visi etos kerja yang baik. Harus diakui
bahwa kemiskinan
berkaitan erat
denganprestasi kerja, kreativitas, dan etos kerja. Dengan
ungkapan
lain,
etos kerja yang
baik
akanmelahirkan tingkat
ekonomi yangbaik
pula.Pandangan
teologis
atau keyakinan yang
berorientasi fatalisme harus diperbaharui,
karena hanya akan menciptakan angan-angan.
Kita
memerlukan
pandanganteologis
yang berbasisaktivis
danprogresif,
karena hanyadengan
itu,
umat Islam
akanmemiliki visi
ekonomi
yang bagus.Max
Weber dalam TheProtestant Ethics and the Spirit of Capitalism telah
membuktikan
bahwa memang ada kaitan
rslaw b an P engent^asau Kevniskinan
antara pandangan teologis dengan semangat
ekonomi.
Melalui
ajaranCalvin,
orang-orangProtestan
diajarkan bahwa
merekamemiliki
kemungkinan
samadalam
hal
selamat atau celaka. Soal keselamatanini
melahirkan sikap asketismekeduniaan. Ketidakpastian
dalam keselamatantersebut mendorong
kalanganCalvinis
untuk
menabung
perolehan
kerja mereka dalambentuk modal. Ada
tanggungjawab bagi setiap
individu
agarhidup di
alam ini seakan-akan ia selamat. Kajian ini setidaknyamenunjukkan adanya
kaitan
antara semangat kerja dengan pandangan keagamaan, meskipun semangat kapitalisme tersebut juga berkaitan dengan ketidakpastian teologis. Namun, dalambanyak
haf
terutama dalam Islam, etos kerjaberkaitan erat
dengan"kepastian"
teologis,seperti
apakahperbuatan diciptakan
secarahakiki oleh tuhan atau manusia sendiri, apakah
takdir
keberuntungan-ketidakberuntungan/
termasuk kaya-miskin, seluruhnya atau
sebagi-annya ditentukan oleh tuhan atau
manusiasendiri,
apakahmanusia adalah
agen yangmerekayasa masa depannya, dst.
Jawaban teologis terhadap permasalahan
ini
bukanlah kategori ketat bahwa seseorang yangLgwna lan Kewisfuuan
penganut teologi Asy'ariyyah atau Mu'taztlah,
karena kedua teologi ini, atau teologi-teologi lain
yang berkecenderungan
sama, sama-samamemiliki
kelemahan. Yangpertama terlalu
teosentris, sedangkan kedua terlalu rasionalis-kaku. Sebagai gantinya pandangan-pandangan teologis, sebagaimana pernah disarankan oleh
Fazlur
Rahmandalam
lslam and Modernity,tentang
perlunya
melakukan rekonstruksi
sistematis ilmu-ilmu Islam, seperti teologis, fiqtu dan sufisme, harus dikembalikan kepada uraian-uraian al-Qu1an sendiri tentang keyakinan dan dasar-dasar moralnya. Hal itu karena al-Qur'an
memiliki
pandangan antropologis yang jelastentang
manusia
sebagai
makhluk
yang
dip erhadapkan dengan pencipta, serta
memiliki
uraian yang seimbang tentang ayat-ayat tentang peran tuhan (yuog kemudian terlalu ditekankanoleh kalangan fatalis,
jabariyyah) dan Peran manusia (yangkemudian terlalu
ditekankan oleh kalangan rasion abs, q adariyy ah). Idealny a,teologi pekerja, seperti teologi para petani, yang
pernah dilontarkan oleh Prof.
Dr. M.
ZurkaniIak ja, dengan bertolak dari ayat seperti "apakah
kalian tidak
memperhatikan aPa yang kalian tartatn?",tidak
hanya
menekankanfondasi
teologi
bagi
aktivitas
keseharian
mereka,rcIavn ban Pengentnsau Kewisfunan
melainkan
juga
menekankan pandangan
aktivisme.
Kedua,
fiqh
pemberdayaan masyarakatmiskin. Fiqh
tidak
hanya berkaitan
denganpengaturan harta, seperti
tampak
dalam Kitab al-Amwal karyaAbu 'Ubayd,
melainkan jugamemiliki uraian
tentang
pemberdayaan
masyarakat miskiru antara
lairy
melalui zakat.Al-Qur'an
menegaskantujuan
diwajibkannyazakat adalah
" agarharta
tidak
beredar
di
kalangan orang-orang
di
antarakalian
saia".Ajaran Islam
tentang pemberian bantuan
(filantropi), seperti melalui zakat, perlu dikelolasecara profesional. Zakat perlu diarahkan secara
maksimal
ke
arah "memberikail"
ketimbang "memberi makan". Kesadaranini
sebenarnya sudah ada di hrdonesia melaluiZakat,Infak, dan Shadaqah (ZIS) atau BadanAmil
Zakat (BAZ). Persoalannya adalah apakah pengelolaannyasudah sesuai dengan apa
yang
direncanakansejak semula dan secara profesional? Begitu
juga
apakah pengelolaannyadipertanggungjawab-kan kepada
publik
pemberi
zakat?Apakah
sudah
tepat
sasaran?Di
masyarakat
kita
umumnya, zakat dianggap sebagai ibadah yang
dipentingkan
di
dalamnya semata keselamatanPer-Lgawn dan Kewnsfunan
sonaf
dan sebagai akibahrya hanya mencapaitujuan minimal (konsumtif, seperti disabdakan oleh Nabi Muhammad bahwa suPaya tidak ada orang yang kelaparan pada hari raya ada zakat
fitrah).
jika tujuan
zakat hanyaitu,
bagaimanaumat Islam yang
masih berada
di
gariskemiskinan yang memerlukan pertolongan
harus dibantu di hari-hari lairu sedangkan ajaran
Islam yang
lain
(sedekah)tidak
diperhatikan. Pola keberislaman kita selamaini
lebih banyakmenganut " akhiratisme" (cuma mementingkan
akhirat)
danpola
pikir
seperti pepatah Arab"Telor hari
ini
lebih baik daripada ayam besok"(bidhatul yaum khair
min
dajajatil ghad)-Pola
keberislaman yang
keliru
sepertiinilah
yangmenyebabkan
umat Islam tertinggal
diban-dingkan umat-umat
lain.
Minoritas
yang
dikelola dengan baik akan menjadi lebih berdaya
dibanding mayoritas yang tercerai-berai. Nah,
jika
zakat diarahkan kepada "memberi ka7L",seperti permodalan,
itu
lebih memberdayakan umat Islam. Wacana fiqh sudah seringdilontar-kan, tidak hanya soal perluasan harta-harta yang
wajib
dtzakatt, seperti zakat penghasilan (lihat misalnya SahalMahfudtu
Nuansa Fiqh Sosial,1,42-1,43),
melainkan
juga
pengelolaannya. Sangat mengherankan bahwa umat Islam yang merupakan mayoritas di tanah air justeru rapuh.ulaw ban Pengentawu Kemishnnn
Hal itu
karena potensi besarini
tidak
dikeloladengan manajemen
modern.
Sebagianumat
Islam yang kaya hanya mementingkan
dirinya
dan
mementingkan
nasibnya
di
akherat,
sehingga
sibuk
denganhaji
danumrah
yangsudah ditunaikanbeberapa kali. Padahal dari 3,6
juta
penduduk Kalimantan Selatan, misalnya,di
mana mayoritasnyamuslim,
terdapat para pengusaha yang seandainya bisa mengurangijumlah haji dan umrah akan menolong
saudara-saudaranya
sesamamuslim
yang
hidup
di
kolong-kolong
jembatan,
menolong
Pem-bangunan lembaga-lembaga pendidikary panti
asuharL dan para orang funa wisma. Pola
keber-agamaan
yang
terlalu
akheratisme
tersebut disebabkan karena merekalebih peka
padapahala ritual dibandingkan "pahala" sosial- Umat
Islam lebih
suka menghabiskan danauntuk
haulan,
misalnya
yang menghabiskan banyakrupiah dibandingkan ibadah sosial.
Ketiga, sufisme
baru
(neo-sufism). Fazlur Rahman, dalam lslamic Methodologyin
History,mengkiritik
banyak ajaran sufisme lama yangsebenarnya
bertentangan ide-ide
moral
al-Qur'an yang
seharusnyamenjadi
dasarnya.Agaw
ban KevnisfuuanPadahal, ajaran al-Qur'an yang otentik tentang
konsep-konsep
kunci etika
menekankanaktivisme. Oleh
karena
itu,
ajaran-ajaran
sufisme lama yang berkecenderungan negasi kehidupan dunia harus dilakukan "rekonstruksisistematis" dengan cara mengembalikan ide-ide etika keagamaan yang ditafsirkan oleh para sufi
secara
keliru
ke ajaran-ajaran otentik al*Qur'andengan memahami
tujuan
moralnya yang
prinsipil.
Sebagai perbandingan, uraian-uraianAhmad Syarbashi dalam Mawsu'ah Akhlaq
al-Qur'an
(EnsiklopediAkhlak al-Qur'an)
yangterdiri
dari enam volume, seperti pandanganal-Qur'an tentang
sabar, denganuraian-uraian
sufisme sangat berbeda. Ibn
Atha'illah
meng-artikan sabar sebagai "menerima segala bencanadengan adab yang ba7k", dan ada
pula
yangmengartikannya
sebagailebur
(fana') dalambencana tanpa
keluhan.
Memang, menerima bencana tanpa keluhan bisa dimengerti sebagai ajaran moral al-Qur':rn. Akan tetapr, titik-tekandefinisi sufi adalah sikap menerirna, karena sabar
menjadi
tahapan
menuju
tawakkal
yang
dipahami
sebagaisikap pasrah
di
hadapantuhan,
menghilangkan kehendak
pribadi,
seperti
mayat
atau seperti benda yang hanyabergerak
jika
digerakkan oleh tuhan
seke-hendak-Nya. Ada
penekananfasivisme
danuktn ban Peu1ent"asan Kevnishuan
fatalisme dalam
ajaransufisme
tersebu.Al-Syarbashi (Mawsu'ah,
h.
194)
mengkritik
anggapan bahwa sabar adalah etika penegasian
(khuluq salbi)
dalam
pengertian
hanya
menekankan
menahanpenderitaan
dengansikap pasrah,
ridha
dengan
keadaan,tidak
mengatasi
permasalahan,
dan
berupaya
menghindar dari kesulitan. Sabar, menurutrya,
adalah "menahan
diri
agar tetap sesuai dengantuntutan
agama dan/atauakal rasional".
Al-Qur'an (Ali'Imran:L25)
pernah menggunakanungkapan sabar dan
takwa yang, menurut
sebagian penafsir al-Qur'an, berkaitan perintah
Nabi
agar
pasukan
panah bertahan
dan rnenuruti strategi perang beliau ketika perangUhud. Perang yang berakhir dengan kekalahan bagi kaum muslimin
itu
adalah karena merekatidak
mau bertahandi
pos-pos pertahanandi
atas gunung dan tidak menuruti petunjuk Nabi.
Sabar
dalam konteks
ini
samasekali tidak
berkonotasi fasif dan fatalis, melainkan bertahan sebagai strategi perang. Predikat sabar pemah
dilekatkan pada pasukan kaum
muslim
yang diperintahkanuntuk
menghadapi musuh yangAWwA ban Kewisktnan
Dartaz,
seorang dosen Universitas al-Azhar, menulis disertasi, Dustur al-Atrchlaqfi
al-Qur'an(Norma Etika dalam al-Qur'an). Al-Qur'an
memiliki
norma-norma etika
(ethical norms)yang sifatnya lebih universal yang
menjadi"payung"
etika baik-buruk
di
bawahnya.
Persoalan ini menjadipenting untuk memahami bahwa al-Qu1an memiliki konsep etika religius
yang menekankan aktivisme, bukan fatalisme, sebagaimana dipahami oleh para sufi.
Mema-hami norma etika
ini
juga menjadi penting
dalam konteks memahami
ajaran-ajaran al-Qur'an yang spesifik.Neo-sufisme
menjadi
penting
dalam
konteks
ini,
karenakita
perlu membangkitkan semangat umat Islam yang selamaini
sebagiandibutakan oleh pandangan sufisme yang fasif dan fatalisme. Orang bisa saja dengan enteng
menyatakan
bahwa
keadaan sekarang yangtidak
berkecukupan sudah menjadi kehendak Tuhan (sikap teologi.+), dankita
harus meneri-manya secara pasrah (sikap sufisme fatalis), baik ucapanitu
dilontarkan oleh seorang Penguasayang
ingin
menutupi
kebijakan-kebijakan
politiknya
yang
tidak pro
rakyat
miskin
maupun dilontarkan
oleh masyarakatmiskin
sendiri yang mengakui sikap tersebut sebagaix[am ban Pengentasavt Kevnisfunan
pandangan sufisme. Nama-nama seperti
Ibn
Taimiyah,
Ibn
Qayyim
al-lauziyah,
Ibn
Qudamah,
Ibn
al-lawzi
yang
seluruhnya
merupakan mata rantai ulama Hanbali, dan al-Ghazali adalah tokoh-tokoh yang menyerukan
perlu
sufismeyang berorientasi syariat.
Inti
gerakan revivalisme
ini
adalah mengembalikantendensi asketik, fatalisme, dan fasivisme ke
syariat
yang
memuathukum-hukum
formal.Kesalehan religius tidak mungkin dicapai secara
sempurna
tanpa
pemberdayaan ekonomi.
Bagaimana para
sufi
menerapkan perintah al-Qur'an untuk bersedekah, atau berjihad denganharta,
jika
mereka
tidak memiliki
harta?Bagaimana seseorang bisa menyedekahkan harta
yang bukan
miliknya?
Pertanyaanini
pernahdilontarkan oleh Fazlur Rahman. ]adi, terdapat
pertentangan
dalam
konsep
zuhud
yang
melucuti
semua
keinginan
dunia
dengananjuran berderma yang juga digaungkan oleh para sufi. Ada baik memperhatikan kehidupan para sufi yang terlihat dari nama-namanya yang sebagian berprofesi sebagai pengusaha. Sufisme
perkotaan
(urban sufism) sekarangmenjadi
tuntutan.
Serban danjubah bisa digantikan
dengan dasi, jas, dan topi. Bukankah kedekatan
Agawaban Kevniskinau
kepada sebagian ajaran sufume lama. Di sisi lain, ada ajaran sufisme yang tidak seperti
itu,
yangdiusung oleh kalangan
Ahl
al-Hadits.Keempat optimalisasi peran sosial institusi-institusi Islam. Selama ini, institusi Islam, terlebih
institusi
pemerinta[
lebih cenderung bergerak menurut jalur birokratis,formaf
dan cenderung hanya menjadi "pekerja program". Begitu juga, tempat ibadah (masjid dan mushalla) sebaiknyajuga tidak
difungsikan hanya sebagai tempatshalat,
melainkan menjadi pusat
pemecahan masalah-masalahumat.
Jikakita
mengamatiarah pembangunan di Kalimantan Selatary baik
di
Kota
Banjarmasinsendiri maupun
di
luar
Banjarmasrn, pembangunan cenderung ke arah
pembangunan
fisik,
seperti
mall
dan ruko.
Kebijakan
ini
hanya menguntungkan kalanganatas dan para pemilik modal yang menyuburkan
kapitalisme,
karena pedagang
kecil
yang merupakankomunitas
terbesar menghadapi masalahpermodal:n.
Pembangunanpusat-pusat
perbelanjaan
tersebut
seharusnya diimbangi dengan keberpihakan dengan rakyatkecil
dengan menyediakan lembaga-lembaga Islam yang menyediakan kredit permodalan.Di
Kalimantan Selatan, saya
kira,
sudah saatnyadibangun
Islamic Center (Pusat Islam) sepertirc[avn bau Pengentasan Kewifunan
halnya
di
kota-kotalain
di
Indonesia. Keber-adaan lslamic Center (PusatIslam)
berfungsi gand4 seperti: pertama, pusat kajian daninfor-masi tentang Islam di Kalimantan. Mengapa hal
ini
diperlukan? Karena apa yang disebut kajianIslam kawasan
(area studies),dalam
hal
ini
Kalimantan, belum tercover secara mendalam
dan memadai
di
perguruan-perguruantinggi
Islam, seperti
IAIN
dan Sekolah Tinggi AgamaIslam
(STAI)baik
aspek kepercayaan Islam wama lokal maupun tradisi yanghidup
secarasosio-antropologis. Kajian-kajian ini tidak hanya
diperlukan dalam konteks kajian Islam Indone-sia,
tapi juga
sebagaiinformasi
yang objektifbagi pengkaji Islam di dunia. Kedua, pusat pem-berdayaan ekonomi Islam yang secara lengkap dan komprehensif diarahkan kepada penguatan
ekonomi umat Islam, tidak
hanyadi
tingkat
atas, melainkan juga
di
tingkat bawah (masya-rakat akar rumput). Pusatini
menjadi penyediafasilitas
pendidikan
kewirausahaan,pemben-tukan
visi
ekonomi Islam, penyerapan modaldan memberikan
kredit
kepada pengusaha-pengusaha kecil, kerjasama dengan lembaga-lembaga ekonomi lairy melakukan riset dalambidang ekonomi Islam, seminar, implementasi
konsep,
dll.
Khusus tentang pengkreditan
Is-Agama dan yevnisfuuau
lam yang benar-benar berpihak kepada rakyat
dengan cara (prosedur, angsuran,
dll.)
yangmudah dan terjangkau, bukan pinjaman yang
justeru menyulitkan rakyat kecil. Jadi, dengan
model penanganan yang komprehensif terha-dap problem-problem umat (ibadah
rituaf
pen-didikaru
seminardan workshop,
pembinaanekonomi kerakyatan, pusat
informasi
dandokumentasi, dan penelitian),
lslamic Center idealnya dirancang menawarkan pemberdayaan umat di semua tingkatan. Jikamasyarakatberju-bel-jubel memadati ke mall-mall
untuk
berwi-sata-belanja dan
itu
artinya merekamengeluar-kan uang yang menguntungmengeluar-kan "raksasa"
ekonomi
di
negeriini
yang sudah kuat,lslamicCenter
juga idealnya dirancangkan
denganmodel
mall,
di
manaorang bisa menikmati
kenyamanan transaksi seperti halnya berwisata.
Bedanya,
jika
merekake
mall
hanya untuk
menghabiskan uang,
kini
di
"rrrall" IslamicCen-fer
merekajustru
bertransaksi
untuk
mem-bangun wirausaha-wirausaha yang bisameng-hasilkan uang.
Di
sampingitu,
merekatidak
hanya disuguhkan berbagai macam bimbingan dan peluang usah4 tapi mereka juga dicerdaskan
dengan pengetahuan agama
dan
umum.
Semuanya dirancang menarik sebagai konsep
"wisata", sehingga menyenangkan dan
menda-rckw dan P engeutnwn Kewisfuuan
pat hal-hal yang
positif
secaratidak
terasa. Ketiga, pusat kebudayaan Islam, termasukdi
dalamnya
pengembanganseni Islam
warna lokal.Ini
jugamemiliki nilai jual
tersendiridi
bidang pariwisata
di
Kalimantan Selatan. Seni-seni lokal yang tumbuhdi
masyarakat, seperti madihin, bapantun, dan panting yan:gmemiliki
pesan moral melalui pusat kebudayaanlslam
ini
bisa"diadopsi
dan diadaftasi" sertadiharmo-nisasikan dengan seni-seni
"Islam"
yangtum-buh global.Natu fungsi terpenting di antara tiga
fungsi penting
Islamic Center (Pusat Islam)tersebut adalah fungsinya sebagai pusat pem-berdayaan ekonomi Islam, karena jika ekonomi Islam telah menjadi kuat, maka aspek-aspek lain bisa dibangun dengan sendirinya.
Di
eraoto-nomi
daerah sekarangini
pemerintah daerahbisa
menanganiproyek
sosial-kemanusiaan sekaligus secaraekonomis menjanjikan jika
dikelola
denganbaik. Tiga fungsi
(ekonomi, pengetahuan, dan budaya) yang ditopang oleh penguasaan teknologi menjadikan umat Islam akan berdaya. Ilmu pengetahuan adalah kekuat-an (power), sedkekuat-angkkekuat-an budaya adalah identitas.Agawalau Xewisfuunu
melainkan penyebab pentingnya mengendap
dalam
semangat atau etos dan budaya kerjamasyarakat; bagaimana mereka memandang
kerja
dan pola kerja mereka sehari-hari. Adabeberapa contoh kasus yang menggambarkan kemiskinan bukan sebagai problem struktural,
melainkan
kultural
(budaya).
Upaya-upaya pemberdayaanyang dilakukan
bisa terhentikarena problem
kultural.
Masyarakat
yangkehilangan etos kerja adalah seperti orang yang sedang
tertidur
nyenyak;tidak
sadar dengan ketertinggalannya. Kemiskinan ekonomi akibat"kemiskinan
kultural" ini
bisa diatasi dengan berbagai pendekatan, seperti pendekatan agama. Pemah ditemukan fakta bahwa penduduk Desamenjual
alat-alat pertukanganuntuk
Karang Taruna yang telah diberikan oleh pemerintah, hanya untuk kepentingan sesaat. Hal itu karenamereka terbiasa dengan pemberian bantuan
makanan yang dikonsumsi habis beberapa hari
dibandingkan memikirkan
masa depan lebih jauh.Keenam, kemiskinan
stuktural
(structural poaerty). Persoalankemiskinan
tidak
hanyapersoalan
kultural,
.melainkanjuga
persoalanstruktural,
karena kemiskinan berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah,undang-und*&
rckw ban Pengeutasau Kewnshnan
dan perlakuan terhadap warga negara berkaitan dengan kesempatan yang merata terhadap hak
mendapat
pendidikan
sama/ sarana danpra-sarana. Orang Papua
mungkin tidak memiliki
kesempatan
yang
samadalam
mendapatkanpendidikan yang layak dibandingkan orang-or-ang di Pulau Jawa. Wajar jika orang-orang Papu4
misalnya, kalah dalam persaingan
merebutkesempatan kerja yang standamya disamakan, sedangkan pendidikan antara keduanya masih
timpang. Oleh
karenaitu,
perlu
kesetaraan(equality)
dalam perlakuan terhadap
semuawarga negara.
]ohn
Rawls, dalamA
Theoryof
lustice, pemah mengemukakanteori
keadilandistributif.
Salah satuprinsip
keadilan,menu-rutnya
adalah kesetaraan yang tidak memihakdalam memperoleh kesempatan
(fair
equalityof opportunity).
Keadilan adalah
ketidakber-pihakan kepada suatu kelmpok tertentu.Dalam al-Qur'aru ajaran tentang keadilan sangat ditekankan, seperti dinyatakan "Apa saia
harta
rampasan(fai')
yang diberikan Allah
kepada Rasul-Nya
(dari
harta benda)
yangberasal
dari
penduduk kota-kota maka adalahunfuk Allah, unfuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin
danA#mA ban Xwyn&rwt
jangan bereilar
ili
antara otang-otang kaya snjadi
antara kamu.Apa
yang
diberikan
Rasulkepadamu, maka terimalah. Dan
apayang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah
amat kerashukumannya."
(QS. al-Hasyr:7).Amin
Raismungkin
tidak
bermaksuduntuk
berapologi, tapi hanya menyebutkan paralelitaq dengan menyatakan bahwa Islam mengaiarkan
"keadilan
distributif"
(distibutiae justice),yaitu
bagaimana agar kesejahteraan bisa dirasakan
oleh anggota masyarakat, meski
tidak
berartisama rata. Dengan ajaran
ini,Islam
mengingin-kan agar tidak ada masyarakat yang terlalu kaya, sementara anggota masyarakat yang lain terlalumiskin. Ungkapan
"supaya hartaitu
janganberedar
di
antara orang-orang kaya sajaili
antarakamu"
menuniukkan ajaran
Islam
tentang
keadilan sosio'ekonomi. Islam mengakui adanya kepemilikan hak pritradi, tapi juga mengajarkan
kepedulian kepada iesama. Atas dasar inilah, misalnya,
diajarkan
berbagai macam bentuk kedermawanan (charity'1,tidak hanya
dalambentuk
zakat (wajib), melainkan juga sedekah (sunat). Karena al-Qur'an menyatakan "Dalamharta-hartamu ada
kewajiban yang
telah
ditentukan. Bagr orang yang minta-minta dan yang tidak berpunya".n[aw ban Pengeut^asan Kewisfuunn
"IJrunan
Kematian" atau "LIrunan
Kehidupan"?
Sebagaimana
disinggung
sebelumnya, bahwaumat
Islamumum lebih
peka denganakheratisme, persoalan
mati,
dibandingkan
dengan persoalan masa depan
di
dunia. Berje-jalnya para pendaftar haji sururat (haji kedua danseterusnya)
dan
umrah
di
satu sisi,
danterbengkalainya agenda-agenda sosial, seperti
pembangunan pesantren, lembaga
sosial, pendidikan, keterbelakangan, dan rendahnya derajat kesehatandi
sisi lairy menjadi indikasi kuat bahwa mereka lebih peka dengan urusan keselamatandi
akherat.Di
lingkungankita
di
tingkat
RT dan
RW,biasanya ada "urunan
kematian", yaitu pengumpulan dana
sosialuntuk
menyelenggarakan Proses keagamaan menguburkan orangmuslim
yang meninggal,untuk
membikin
peti mati,
memberi upah
penggali liang lahat, memberi upah orang yang
memandikan
mayat,
dan
para
petugaskeagamaary seperi pembaca talqin
di
kalangan masyarakat NU. Penjaminan sosial dari tingkat paling bawahitu,
sebagaimana usul NoorhalisMajid (LK3), seharusnya ditindaklanjuti dengan memperluasnya ke "urunan kehidupan", seperti
pengumpulan
dana masyarakatyang diatur
Agawn ban Kevnisktunu
secara
lebih
profesional
untuk
mengatasi
persoalan-persoalankehidupan sehari-hari
seperti kesehatan, kebutuhan sandang, pangan, pengembangan simpan
pinjam
untuk
usaha, dan sebagainya. Sebagian persoalan ini memang telah diambilalih oleh penyelenggara profesional seperti asuransi kesehatan dan KUD, tapi tentu saja dengan hargayang
tidak
semurah dan mekanisme semudahjika hal
itu
dikordinasi
oleh masyarakat sendiri. Begitu
jtga,
dana pinjaman untuk usaha memang telah disediakanoleh bank atau
unit
usahaswasta tertentu
dengan iklan menggrurkan, tapi akan menjerat masyarakat dengan kapitalisme karena harus membayar bunga pinjam yang cukup besar.
Di
masyarakat perdesaan, sebenarnya sudah adamodel
sederhana
yang
sebenarnya
bisadikembangkan, seperti urunan
untuk
membelialat-alat dapur, atau
sekadarmembeli
gulauntuk
menyongsong bulan Ramadhan.Akhimya,
mayoritas umat Islamini
akan menjadi berdaya jika potensi kuantitas tersebutdikelola
denganbaik
agar ekonominya lebihkuat
baik dengan pendekatan kultural maupun struktural. Saleh secara agama dan sosial, dan