commit to user
ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM PENUNTUT UMUM
SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN
BEBAS MURNI (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA MEMBUAT
KETERANGAN PALSU AKTA KEPEMILIKAN RUMAH
(Studi Kasus dalam Putusan No. 332 K/PID/2006)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna
Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
HENDRA MEDY SETIAWAN
NIM. E1107160
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM PENUNTUT UMUM
SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN
BEBAS MURNI (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA MEMBUAT
KETERANGAN PALSU AKTA KEPEMILIKAN RUMAH
(Studi Kasus dalam Putusan No. 332 K/PID/2006)
Oleh
HENDRA MEDY SETIAWAN
NIM. E1107160
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Juli 2011
Dosen Pembimbing
Bambang Santoso, S.H., M. Hum.
NIP.196202091089031001
commit to user
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM PENUNTUT UMUM
SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN
BEBAS MURNI (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA MEMBUAT
KETERANGAN PALSU AKTA KEPEMILIKAN RUMAH
(Studi Kasus dalam Putusan No. 332 K/PID/2006)
Oleh
HENDRA MEDY SETIAWAN
NIM. E1107160
Telah diterima dan dipertahankan di hadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada
Hari :
Tanggal :
DEWAN PENGUJI
1. Kristiyadi, SH.,M.Hum : ... NIP. 19581225 198601 1001
2. Edy Herdyanto, SH.,MH : ... NIP. 19570629 198503 1002
3. Bambang Santoso, SH., M.Hum : ... NIP. 19620209 198903 1001
Mengetahui
Dekan,
Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M. Hum. NIP. 195702031985032001
commit to user
PERNYATAAN
Nama : Hendra Medy Setiawan
NIM : E1107160
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM PENUNTUT UMUM
SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS
MURNI (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA MEMBUAT KETERANGAN
PALSU AKTA KEPEMILIKAN RUMAH (Studi Kasus dalam Putusan No.
332 K/PID/2006) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya
dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam
daftar pustaka. Apabila kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum
(skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Juli 2011
yang membuat pernyataan
Hendra Medy Setiawan
NIM. E1107160
commit to user
ABSTRAK
HENDRA MEDY SETIAWAN. E1107160. ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR
PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI
(VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA MEMBUAT KETERANGAN PALSU AKTA KEPEMILIKAN RUMAH (Studi Kasus dalam Putusan No. 332 K/PID/2006)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana argumentasi hukum
Penuntut umum sebagai dasar pengajuan Kasasi terhadap putusan bebas murni (vrijspraak) dalam perkara penyerobotan pekarangan rumah sudah sesuai dengan ketentuan KUHAP dan bagaimana pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas murni (vrijspraak) dalam perkara penyerobotan pekarangan rumah tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum bag terdakwa.
Penelitian hukum yang penulis lakukan termasuk jenis penelitian hukum doctrinal. Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan data sekunder atau studi kepustakaan. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan ditarik suatu kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa Terdakwa Drs. BUDI HARDJO Bin ABDUL RAHMAN telah diputus bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas perkara membuat keterangan palsu sesuai yang didakwakan dalam Pasal 266 (2) KUHP. Berdasarkan bukti-bukti dan fakta pada saat proses persidangan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kurang cermat dalam mempertimbangkan putusannya, sehingga pada akhirnya terdakwa diputus bebas. Berdasarkan alasan-alasan yang diajukan oleh Penuntut Umum maka dilakukan upaya hukum Kasasi oleh Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung. Dan dalam pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat bahwa putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.557/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst. tanggal 26 Oktober 2005 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut
Kata kunci: putusan, kasasi
commit to user
ABSTRACT
HENDRA MEDY SETIAWAN. E1107160. JURIDICAL ANALYSIS OF LAW ARGUMENTS OF GENERAL PROSECUTOR AS LEGAL BASIS FOR APPEALS SUBMISSION TOWARD PURE FREE VERDICT (VRIJSPRAAK) IN CASE OF MAKING FALSE STATEMENT OF HOME OWNERSHIP DEED (Case Studies in Verdict No. 332. K/PID/2006). Law Writing (Thesis). Sebelas Maret University Faculty of Law, March 2011.
This study aimed to determine how the legal argumentation of General Prosecutors as the basis for appeals submission against the pure acquittal (vrijspraak) in the case of annexation yard is in conformity with the provisions of the Criminal Procedure Code and how the submission of appeals by the General Prosecutor toward the pure acquittal (vrijspraak) in the case of annexation yard is not contradict to the principle of legal certainty for the defendant.
Research of law by the author includes the type of doctrinal law research. Doctrinal law research is law research conducted with secondary data or literature study. The materials are systematically arranged, examined and then compared and drawn a conclusion.
Based on research results obtained that the defendant, Drs. BUDI HARDJO Bin ABDUL RAHMAN, had been acquitted by the Panel of Judges of the Central Jakarta District Court for the case of making false statement charged Verse 2 Penal Code Article 266. Based on the evidences and facts during the trial, the Panel of Judges of the Central Jakarta District Court is less careful in considering its verdict. So, in the end the defendant was acquitted. Based on the reasons filed by the General Prosecutor then made the legal appeal by the General Prosecutor to the Supreme Court. In consideration of the Supreme Court
argued that the decision of the Central Jakarta District Court
No.557/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst October 26th 2005cannot be maintained anymore. Therefore, the case should be canceled and the Supreme Court will judge the case itself.
Key words: verdict, appeal
commit to user
MOTTO
Kalau anda pikir anda kalah, ya anda kalah. Kalau anda pikir anda
tidak berani, ya anda tidak berani. Kalau anda ingin menang, tetapi
berpikir tidak mungkin, hamper dapat dipastikan anda tidak akan
menang.
( John C Maxwell)
“
Keberanian bukanlah tiadanya rasa takut, tetapi kesadaran bahwa
tujuan kita lebih besar dari rasa takut itu”
“Kamu maju bukan dengan memperbaiki apa yang sudah terjadi
melainkan menggapai ke arah apa yang belum terjadi”
commit to user
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, kupersembahkan karya kecil ini
kepada :
v Allah SWT yang telah melimpahkan nikmat dan karuniaNya, yang mengerti
akan perasaanku dan menjawab akan semua doa. Terimakasih ya allah ku
syukuri dan ku nikmati segala karuniaMu.
v Almarhum Papaku Wardoyo, Mamaku tercinta Endang Sri Winarni.
v Pembimbing skripsiku Bapak Bambang Santoso, S.H., M. Hum. yang telah
sabar membimbing dan memberi pengarahan.
v Kakakku tersayang Yossy Octaviani, SH beserta suami Shonny Andriyano.
SH., MH juga malaikat kecilku Jessica Odelia Andriyano dan Lydia Queena
Andriyano.
v Kakakku tersayang Lusy Martha Subekti, A.Md beserta suami Ir. Wisnu
Subarkah Dwi Wibowo juga bidadari kecilku Luwisa Wibowo.
v Karolina Jenio Kristi dengan segala support dan motivasi tiada henti kepada
penulis.
v Sahabat serta Almamater Fakultas Hukum UNS.
v Pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
commit to user
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang atas rahmat dan
karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan penulisan hukum skripsi ini untuk
melengkapi salah satu syarat dalam mencapai derajat sarjana (S1) dalam bidang
ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan
judul “ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM PENUNTUT
UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI TERHADAP PUTUSAN
BEBAS MURNI (VRIJSPRAAK) DALAM PERKARA MEMBUAT
KETERANGAN PALSU AKTA KEPEMILIKAN RUMAH (Studi Kasus
dalam Putusan No. 332 K/PID/2006)” Yang berisi tentang Pengajuan Kasasi
oleh Penuntut Umum terhadap Putusan bebas murni Pengadilan Negeri Jakarta
Pusaat kepada Mahkamah Agung berdasarkan fakta-fakta dalam proses
persidangan.
Selama penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis telah banyak
mendapatkan bantuan baik moril maupun materiil dari berbagai pihak, oleh
karena itu penulis mengucapkan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M. Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Harjono, S.H., M.H., selaku Ketua Program Non Reguler Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Bapak Bambang Santoso, S.H., M. Hum. selaku pembimbing penulisan
skripsi yang dengan sabar serta perhatian yang tinggi telah berkenan
membimbing dan memberikan saran-saran berguna bagi penulis.
5. Ibu TH Kus sunaryatun, S.H.MH selaku Pembimbing Akademik penulis.
6. Seluruh dosen dan staff di Fakultas Hukum UNS yang telah ikut berkontribusi
dalam pencapaian gelar sarjana penulis.
commit to user
7. Almarhum Papaku Wardoyo, Mamaku tercinta Endang Sri Winarni atas
segala doa, kasih sayang, dukungannya serta perhatiannya selama ini kepada
penulis.
8. Kakakku tersayang Yossy Octaviani, SH beserta suami Shonny Andriyano.
SH., MH juga malaikat kecilku Jessica Odelia Andriyano dan Lydia Queena
Andriyano atas doa dan dukungannya selama ini kepada penulis.
9. Kakakku tersayang Lusy Martha Subekti, A.Md beserta suami Ir. Wisnu
Subarkah Dwi Wibowo juga bidadari kecilku Luwisa Wibowo atas doa dan
dukungannya selama ini kepada penulis.
10. Karolina Jenio Kristi dengan segala support dan motivasi tiada henti kepada
penulis. Thank you very much.
11. Teman-temanku yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, adekku Dewi
dan Sherly serta saudara-saudaraku semuanya yang telah memberikan
dukungannya kepada penulis.
12. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah
memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan hukum ini masih jauh
dari sempurna, mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis.
Oleh karena itu dengan lapang dada penulis mengharapkan segala saran dan kritik
yang bersifat membangun dari semua pihak untuk kesempurnaan penulisan
hukum ini.
Surakarta, Juli 2011
Penulis
DAFTAR ISITRAK . xi
commit to user
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
PERNYATAAN... iv
ABSTRAK ... v
ABSTRACT ... vi
HALAMAN MOTTO ... vii
PERSEMBAHAN ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan Penelitian ... 5
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Metode Penelitian ... 6
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
A. Kerangka Teori ... 11
1. Tinjauan Umum Tentang Putusan ... 11
2. Tinjauan Tentang Upaya Hukum ... 13
3. Tinjauan Tentang Kasasi ... 19
4. Tinjauan Tentang Pemalsuan Surat ... 24
B. Kerangka Pemikiran ... 29
commit to user
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Argumentasi Hukum Penuntut Umum sebagai Dasar
Pengajuan Kasasi terhadap Putusan Bebas Murni
(vrijspraak) dalam Perkara Membuat Keterangan
Palsu dalam Akta Kepemilikan Rumah ... 32
B. Kesesuaian Pertimbangan Hakim Mahkamah Agung
dalam Memeriksa dan Memutus Permohonan Kasasi
terhadap Putusan Bebas dalam Perkara dengan
Ketentuan KUHAP ... 48
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ... 55
B. Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
commit to user
DAFTAR GAMBAR
v Bagan Kerangka Pemikiran ... 29
commit to user
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar BelakangMasalah
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian
luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati
kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
melindungi harkat dan martabat setiap warga negara. Sebagai Negara hukum
bertujuan menciptakan adanya keamanan dan ketertiban, keadilan dan
kesejahteraan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta menghendaki
agar hukum ditegakkan, artinya hukum harus dihormati dan ditaati oleh siapapun
tanpa kecuali baik oleh seluruh warga masyarakat, penegak hukum, maupun oleh
penguasa Negara, sehingga segala tindakannya harus dilandasi oleh hukum.
Hukum merupakan sistem berarti bahwa hukum itu merupakan tatanan,
merupakan suatu kesatuan yang utuh yang terdiri dari bagian-bagian yang saling
berkaitan erat satu sama lain, setiap tindakan yang melanggar hukum pidana akan
dikenakan pidana sesuai dengan hukum yang berlaku, karena jelas di Negara kita
ini adalah Negara hukum. Sehingga barang siapa yang bertindak salah supaya
dituntut di muka pengadilan sesuai undang-undang yang berlaku.
Di setiap negara hukum, pelaku penyimpangan negara hukum diharuskan
untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Hukum pada umumnya
dimaksudkan adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau
kaidah-kaidah dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya
dengan suatu sanksi. Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau
alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya nonyuridis dan berkembang karena
rangsangan dari luar hukum. Faktor-faktor di luar hukum itulah yang membuat
hukum itu dinamis.
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini ialah hukum pidana
yang telah di kodifisir, yaitu sebagian besar dari aturan-aturannya telah disusun
commit to user
dalam satu kitab undang-undang (wetboek), yang dinamakan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, menurut suatu sistem yang tertentu. Hukum pidana
merupakan sistem sanksi yang negatif (Soedarto, 1977: 30). Hukum pidana adalah
bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara (Moeljatno,
1987:1). Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum pidana
dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melanggar larangan
tersebut (Moeljatno, 1969: 9). Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal
saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan, yaitu
suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan seseorang yang
menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan
yang erat.
Penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku juga
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Dan siapapun yang melakukan pelanggaran hukum akan mendapat
perlakuan yang sama tanpa perbedaan (equal treatment or equal dealing). Oleh
karena itu, siapapun dan setiap orang harus diperlakukan secara sama tanpa
diskriminasi dalam perlakuan dan perlindungan hukum (Yahya Harahap, 2002:2).
Penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam. Yang paling
penting adalah pemberian bimbingan dan pengayoman. Setiap pelanggaran
hukum harus dilakukan penegakan hukum. Misalnya dalam kasus pidana
keterangan Palsu. Seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak
pidana atau pelanggaran hukum harus menjalani proses pidana.
Hakim memiliki berbagai pertimbangan dalam mengadili dan memutus
suatu perkara, baik pertimbangan berdasarkan ketentuan dan perundangan yang
berlaku atau pertimbangan kemanusiaan. Kekuasaan Kehakiman adalah
kekuasaan yang tidak sebebas-bebasnya, tetapi kebebasan yang bertanggung
jawab, baik terhadap hukum (keadilan) maupun terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Berbagai pertimbangan yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak jarang
menimbulkan rasa tidak puas bagi pihak-pihak yang berperkara. Keputusan yang
commit to user
memenuhi rasa keadilan pihak-pihak yang bersengketa, berbagai upaya hukum
lanjutan dapat dilakukan oleh kedua belah pihak hingga akhirnya sampai ke
Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Jika
keputusan yang diambil oleh hakim pada Mahkamah Agung dirasa juga belum
memenuhi rasa keadilan maka pihak-pihak yang berperkara dapat melakukan
usaha terakhir yang disebut sebagai peninjauan kembali.
Dalam suatu negara hukum seperti di Indonesia, Pengadilan adalah suatu
badan atau lembaga peradilan yang merupakan tumpuan harapan untuk
memperoleh keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk mendapatkan
penyelesaian suatu perkara dalam negara hukum adalah melalui lembaga
peradilan tersebut. Dalam suatu lembaga peradilan, hakim memegang peranan
penting karena hakim dalam hal ini bertindak sebagai penentu untuk memutuskan
suatu perkara yang diajukan ke pengadilan.
Hakim dalam memutus suatu perkara memiliki kebebasan karena
kedudukan hakim secara konstutisional dijamin oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Penjelasan Pasal 24 dan Pasal 25
yang berbunyi bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah.
Berhubung dengan itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang
kedudukan para hakim. Hal ini sesuai dengan ciri dari Negara hukum itu sendiri
yaitu terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak
dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Kebebasan hakim tersebut
tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang-wenang
terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat
pada peraturan hukum yang berlaku.
Dalam hal kebebasan hakim ini, juga berarti bahwa hakim harus dapat
memberi penjelasan dalam menerapkan Undang-Undang terhadap suatu perkara
yang ditanganinya. Penjelasan tersebut diberikan berdasarkan penafsiran dari
hakim itu sendiri. Penafsiran disini bukan semata-mata berdasaran akal, ataupun
sebuah uraian secara logis, namun hakim dalam hal ini harus bisa memilih
commit to user
Hakim sebagai penentu untuk memutuskan suatu perkara yang diajukan ke
pengadilan, dalam menjatuhkan putusan harus memiliki
pertimbangan-pertimbangan. Adapun pertimbangan-pertimbangan hakim tersebut, di samping
berdasarkan pasal-pasal yang diterapkan terhadap terdakwa sesungguhnya juga
didasarkan atas keyakinan dan kebijaksanaan hakim itu sendiri. Hakim dalam
mengadili suatu perkara berdasarkan hati nuraninya. Sehingga hakim yang satu
dengan yang lain memiliki pertimbangan yang berbeda-beda dalam menjatuhkan
suatu putusan.
Terhadap putusan yang oleh Hakim pengadilan tingkat pertama, maka baik
terdakwa atau penuntut umum diberikan hak untuk mengajukan keberatan atau
menolak putusan atau yang dalam KUHAP dikenal dengan istilah upaya hukum.
Lembaga upaya hukum ini di dalam KUHAP telah diatur secara lengkap dan
terperinci. Hak untuk mengajukan upaya hukum merupakan hak baik bagi
terdakwa maupun penuntut umum. Upaya hukum ini menurut KUHAP ada dua
macam, yaitu upaya hukum biasa dan luar biasa. Salah satu jenis upaya hukum
biasa ini disebut dengan kasasi.
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan analisis yuridis
mengenai pengajuan kasasi hal-hal yang memberatkan terdakwa dalam tindak
pidana keterangan palsu. Untuk itu penulis terdorong untuk menulis penulisan
hukum dengan judul “ANALISIS YURIDIS ARGUMENTASI HUKUM
PENUNTUT UMUM SEBAGAI DASAR PENGAJUAN KASASI
TERHADAP PUTUSAN BEBAS MURNI (VRIJSPRAAK) DALAM
PERKARA MEMBUAT KETERANGAN PALSU AKTA KEPEMILIKAN
RUMAH (Studi Kasus dalam Putusan No. 332 K/PID/2006)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan apa yang diuraikan dalam latar belakang masalah, maka
penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana argumentasi hukum Penuntut Umum sebagai dasar pengajuan
commit to user
keterangan palsu akta kepemilikan rumah sudah sesuai dengan ketentuan
KUHAP ?
2. Apakah pertimbangan hakim Makamah Agung dalam memeriksa dan
memutus permohonan kasasi terhadap putusan bebas dalam perkara membuat
keterangan palsu akta kepemilikan rumah sudah sesuai dengan KUHAP ?
C. Tujuan Penelitian
Dalam suatu kegiatan penelitian sudah tentu memiliki tujuan yang jelas
untuk dicapai, tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan pengarahan dalam
melangkah sesuai dengan maksud penelitian. Adapun tujuan yang ingin dicapai
oleh penulis dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui argumentasi hukum Penuntut Umum sebagai dasar
pengajuan kasasi terhadap putusan bebas murni (vrijspraak) dalam perkara
membuat kerangan palsu akta kepemilikan rumah sudah sesuai dengan
ketentuan KUHAP.
b. Untuk kesesuaian pertimbangan hakim Makamah Agung dalam
memeriksa dan memutus permohonan kasasi terhadap putusan bebas
dalam perkara pemalsuan akta kepemilikan rumah dengan ketentuan
KUHAP.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk memperoleh bahan hukum dan informasi sebagai bahan utama guna
menjawab permasalahan yang dikaji dalam menyusun karya ilmiah dalam
meraih gelar kesarjanaan di bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Untuk menambah, memperluas, mengembangkan ilmu pengetahuan dan
pengalaman penulis serta pemahaman aspek hukum di dalam teori dan
praktek lapangan hukum yang sangat berarti bagi penulis sendiri
commit to user
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian tentunya sangat diharapkan adanya manfaat dan
kegunaan yang dapat diambil dalam penelitian tersebut. Adapun manfaat yang
didapat dari penelitian ini adalah :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu
hukum terutama hukum pidana.
b. Untuk mendalami teori-teori yang telah penulis peroleh selama menjalani
kuliah strata satu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
serta memberikan landasan untuk penelitian lebih lanjut.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi suatu tambahan referensi,
masukan bahan hukum ataupun literature bagi penulisan hukum
selanjutnya yang berguna bagi para pihak-pihak yang berkepentingan.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang diteliti
oleh penulis yaitu Analisis Yuridis Argumentasi Hukum Penuntut Umum
Sebagai Dasar Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas Murni
(Vrijspraak) Dalam Perkara Membuat Keterangan Palsu Akta
Kepemilikan Rumah (Studi Kasus dalam Putusan No. 332 K/PID/2006).
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan
serta tambahan pengetahuan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah
yang diteliti.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum yang penulis lakukan termasuk jenis penelitian
hukum doktrinal. Penelitian hukum doktrinal adalah penelitian hukum yang
dilakukan dengan bahan hukum sekunder atau studi kepustakaan.
Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji kemudian dibandingkan dan
commit to user
argumentasi hukum penuntut umum sebagai dasar penngajuan kasasi terhadap
putusan bebas murni (vrijspraak).
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian hukum doktrinal yang keilmuan
hukumnya bersifat preskriptif. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu
hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan
hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum (Peter Mahmud
Marzuki, 2006:22). Sifat preskriptif ini merupakan hal substansial yang tidak
mungkin dapat dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga hukum.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan
dalam penelitian ini adalah pendekatan doktrinal yang dimaksudkan untuk
memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian.
Dengan pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari
berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.
Pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan
undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),
pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif
(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)
(Peter Mahmud Marzuki, 2006:93).
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
menggunakan pendekatan kasus (case approach) berkaitan dengan masalah
yang dibahas yaitu perkara Keterangan Palsu dengan Putusan No. 332
K/PId/2006.
4. Jenis dan Sumber Penelitian Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas, bahan hukum atau bahan
pustaka yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis. Bahan-bahan
hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
commit to user
(Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). Adapun yang penulis gunakan
adalah :
1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3) Putusan Mahkamah Agung Nomor. 332 K/PID/2006
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu yang berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan dan hasil
karya ilmiah para sarjana yang relevan atau terkait dalam penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan hukum
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan bahan hukum adalah
dengan dokumentasi, yaitu teknik pengumpulan bahan hukum dengan cara
mengumpulkan bahan-bahan yang berupa buku-buku dan bahan pustaka
lainnya yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti yang
digolongkan sesuai dengan katalogisasi. Metode pengumpulan bahan hukum
ini berguna untuk mendapatkan landasan teori yang berupa pendapat para ahli
mengenai hal yang menjadi obyek penelitian seperti peraturan perundangan
yang berlaku dan berkaitan dengan hal-hal yang diteliti.
Peneliti melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum
primer dan sekunder yang relevan terhadap isu yang dihadapi. Peneliti
menggunakan teknik studi pustaka dengan mengumpulkan putusan-putusan
pengadilan mengenai isu hukum yang dihadapi, yaitu Putusan Mahkamah
Agung Nomor. 332 K/PID/2006. Peneliti juga mendokumentasikan
bahan-bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku teks, kamus-kamus hukum,
jurnal-jurnal hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
6. Teknik Analisa Bahan hukum
Analisis bahan hukum merupakan langkah selanjutnya untuk
commit to user
hukum, pengelolaan bahan hukum hakekatnya merupakan kegiatan untuk
mengadakan sistematika terhadap bahan hukum tertulis. Sistematika berarti
membuat klasifikasi terhadap bahan hukum tertulis tersebut untuk
memudahkan pekerjaan analisis.
Menurut Philipus M.Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud
Marzuki metode deduktif sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh
Aristoteles penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis
mayor (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor
(bersifat khusus). Dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan
atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2006:47).
Teknik analisis yang digunakan oleh Penulis adalah secara deduktif,
yaitu pengolahan bahan hukum dengan menarik kesimpulan dari suatu
permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang
dihadapi (Jhonny Ibrahim, 2006:393).
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara jelas mengenai keseluruhan dari isi
penulisan hukum, maka penulis membagi penulisan hukum ini menjadi empat
bab. Adapun sistematika dari penulisan hukum ini sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian,
jadwal penelitian dan sistematika penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis menguraikant entang teori-teori yang
melandasi penelitian hukum. Pada bab ini dibahas mengenai tinjauan
umum tentang pembuktian, putusan, tindak pidana tentang sumpah
palsu,dan tinjauan tentang upaya hukum.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan
commit to user BAB IV : PENUTUP
Bab ini akan berisi mengenai simpulan dan saran terkait dengan
pembahasan permasalahan yang diteliti.
DAFTAR PUSTAKA
commit to user
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Putusan
a. Pengertian Putusan
Yang dimaksud dengan putusan pengadilan adalah pernyataan
hakim yang diucapkan dalam sidang terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Perumusan
demikian, dapat kita baca dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP.
Dalam perumusan pengertian putusan tersebut, telah tergambar
tentang : Tata cara pengucapan putusan dan bentuk-bentuk putusan
pengadilan. Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umum. Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut, maka
putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum (Pasal 195
KUHAP). Putusan yang diucapkan tidak menurut tatacara tersebut,
disamping tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat, dapat
dimintakan pembatalannya melalui penggunaan upaya hukum kasasi
(Harun M. Husein, 1992:22). Menurut ketentuan Pasal 244 KUHAP,
yang dapat dimintakan kasasi adalah putusan tingkat terakhir oleh
pengadilan selain Mahkamah Agung.
b. Jenis Putusan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 11 KUHAP, bentuk-bentuk
putusan pengadilan terdiri dari : Putusan bebas, putusan lepas dari segala
tuntutan hukum dan putusan pemidanaan. Sesuai dengan ketentuan Pasal
191 ayat (1), putusan yang mengandung pembebasan akan dijatuhkan
pengadilan, bila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan
sidang kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Perumusan pasal ini
kurang tepat, karena putusan didasarkan atas surat dakwaan. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 143 ayat (2) bahwa yang didakwakan dalam surat
commit to user
dakwaan adalah perbuatan (tindak pidana) yang dilakukan oleh terdakwa,
bukan kesalahan terdakwa dalam melakuka perbuatan itu.
Perbuatan dan kesalahan terdakwa adalah obyek pembuktian
dalam pemeriksaan sidang. Apabila dalam pemeriksaan sidang perbuatan
yang didakwakan tidak terbukti, maka terdakwa diputus bebas
(vrijspraak). Tetapi apabila yang tidak terbukti itu adalah kesalahan
terdakwa (bukan perbuatan yang didakwakan), maka terdakwa diputus
lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechts vervolging).
Karena perbuatan yang telah terbukti tersebut tidak dapat dipersalahkan
kepada terdakwa.
Apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tidak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2)). Dari ketentuan Pasal 191 ayat
tersebut, jelaslah bahwa bila perbuatan yang didakwakan terbukti, tetapi
perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana, terdakwa tidak dapat
dipidana. Karena itu ia lepas dari segala tuntutan hukum. Mungkin saja
perbuatan yang terbukti itu merupakan perbuatan yang termasuk lingkup
keperbahan hukuman.
Bila kita kaitkan ketentuan Pasal 191 ayat (2), dengan ketentuan
Pasal 191 ayat (1), maka seolah-olah ketentuan Pasal 191 ayat (2)
tersebut menganulir ketentuan Pasal 191 ayat (1). Selain kedua bentuk
putusan pengadilan tersebut di atas, terdapat bentuk ketiga, yaitu putusan
yang mengandung pemidanaan. Pasal 193 ayat (1), menyatakan bahwa
jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan
commit to user
2. Tinjauan Tentang Upaya Hukum
a. Pengertian Upaya Hukum
Upaya hukum adalah hak terdakwa atau Penuntut Umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding
atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini (Pasal 1 butir 12 KUHAP).
b. Jenis Upaya Hukum
1) Upaya Hukum Biasa
Upaya hukum biasa terdiri dari dua bagian, bagian kesatu
tentang pemeriksaan banding dan bagian kedua tentang pemeriksaan
kasasi.
a) Pemeriksaan Tingkat Banding
Kalau Pasal 233 ayat (1) KUHAP ditelaah dan
dihubungkan dengan Pasal 67 KUHAP, maka dapat disimpulkan
bahwa semua putusan pengadilan tingkat pertama (pengadilan
negeri) dapat dimintakan banding ke pengadilan tinggi oleh
terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut
umum dengan beberapa kekecualian. Kekecualian untuk
mengajukan banding menurut Pasal 67 KUHAP tersebut ialah :
(1) Putusan bebas (Vrijspraak)
(2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang
tepatnya penerapan hukum
(3) Putusan pengadilan dalam acara cepat
Sebenarnya tujuan banding itu ada dua :
(1) Menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang
ketepatannya;
(2) Untuk pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu
commit to user
Pemeriksaan banding sebenarnya merupakan suatu
penilaian baru (judicium novum). Jadi, dapat diajukan saksi-saksi
baru, ahli-ahli dan surat-surat baru.
Yang berhak mengajukan banding ialah terdakwa atau yang
dikuasakan khusus untuk itu atau penuntut umum. Waktu untuk
mengajukan banding ialah tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan
atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak
hadir (Pasal 233 ayat (1) dan (2) KUHAP). Jika waktu tujuh hari
telah lewat tanpa diajukan banding oleh yang bersangkutan
dianggap telah menerima putusan (Pasal 234 ayat (1) KUHAP).
Dalam hal ini panitera mencatat dan membuat akta mengenai hal
itu serta melekatkan akta tersebut pada berkas perkara (Pasal 234
ayat (2) KUHAP).
Berhubung dengan tidak diperkenankannya banding
terhadap putusan bebas (vrijspraak) itu, perlu diperhatikan adanya
istilah “bebas murni” dan “bebas tidak murni” (zuivere vrijspraak
en nietzuivere vrijspraak) dan “ lepas dari segala tuntutan hukum
terselubung (bedekte ontslag van rechtsvervolging). Istilah-istilah
tersebut sangat penting karena telah berkembang suatu
yurisprudensi yang mengatakan bahwa bebas dari dakwaan
(vrijspraak) tidak boleh dibanding berarti yang bebas murni
(zuivere vrijspraak). Sedangkan yang bebas tidak murni
(niet-zuivere vrijspraak) dapat dibanding.
b) Kasasi
Tujuan kasasi ialah untuk menciptakan kesatuan penerapan
hukum dengan jalan membatalkan putusan yang bertentangan
dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan hukum.
Kemudian dalam perundang-undangan Belanda tiga alasan untuk
commit to user
a) Apabila terdapat kelalaian dalam acara (vormverzuim)
b) Peraturan hukum tidak dilaksanakan atau ada kesalahan pada
pelaksanaannya
c) Apabila tidak dilaksanakan cara melakukan peradilan menurut
cara yang ditentukan undang-undang.
Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh
Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 guna menentukan:
a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya.
Suatu permohonan kasasi dapat diterima atau ditolak untuk
diperiksa oleh Mahkamah Agung, Menurut Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana, suatu permohonan ditolak jika :
a) Putusan yang dimintakan kasasi ialah putusan bebas (Pasal 244
KUHAP) . Senada dengan ini putusan Mahkamah Agung
tanggal 19-9-1956 Nomor. 70 K/Kr/1956.
b) Melewati tenggang waktu penyampaian permohonan kasasi
kepada panitera pengadilan yang memeriksa perkaranya, yaitu
empatbelas hari sesudah putusan disampaikan kepada terdakwa
(Pasal 245 KUHAP). Senada dengan itu, putusan mahkamah
Agung tanggal 12-9-1974 Nomor. 521/K/Kr/1975.
c) Sudah ada keputusan kasasi sebelumnya mengenai perkara
tersebut. Kasasi hanya dilakukan sekali (Pasal 247 ayat (4)
KUHAP)
d) Permohonan tidak mengajukan memori kasasi (Pasal 248 ayat
(1) KUHAP, atau tidak memberitahukan alasan kasasi kepada
commit to user
(2) KUHAP), atau pemohon terlambat mengajukan memori
kasasi, yaitu empat belas hari sesudah mengajukan permohonan
kasasi ( Pasal 248 ayat (1) dan (4) KUHAP).
e) Tidak ada alasan kasasi atau tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 253 ayat (1) KUHAP tentang alasan kasasi.
Selain syarat-syarat yang ditentukan oleh Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana tersebut, juga perlu ditinjau
yurisprudensi Mahkamah Agung yang berkaitan dengan penolakan
kasasi seperti :
a) Permohonan diajukan oleh seorang kuasa tanpa kuasa khusus
(Putusan Mahkamah Agung tanggal 11 September 1958
Nomor. 117 K/ Kr/1958.
b) Permohonan kasasi diajukan sebelum ada putusan akhir
pengadilan tinggi (Putusan Mahkamah Agung tanggal 17 Mei
1958 Nomor. 66 K/Kr/1958).
c) Permohonan kasasi terhadap putusan sela (Putusan Mahkamah
Agung tanggal 25 Februari 1958 Nomor. 320 K/Kr/1957.
d) Permohonan kasasi dicap jempol tanpa pengesahan oleh
pejabat berwenang (Putusan Mahkamah Agung tanggal 5
Desember 1961 Nomor. 137 K/Kr/1961.
2) Upaya Hukum Luar Biasa
a) Pemeriksaan Tingkat Kasasi demi Kepentingan Hukum
Peraturan lama kasasi demi kepentingan hukum ini telah
diatur bersama kasasi biasa dalam satu pasal, yaitu Pasal 17
Undang-undang Mahkamah Agung (Undang-Undang No. 1 Tahun
1950) yang mengatakan bahwa kasasi dapat dilakukan atas
permohonan pihak yang berkepentingan atau atas permohonan
Jaksa Agung karena jabatannya, dengan pengertian bahwa kasasi
atas permohonan Jaksa Agung hanya semata-mata untuk
kepentingan hukum dengan tidak dapat merugikan pihak-pihak
commit to user
karena jabatan Jaksa Agung. Kasasi karena jabatan inilah yang
sama dengan kasasi demi kepentingan hukum sebagai upaya
hukum luar biasa menurut KUHAP. Menurut Pasal 259 ayat (1)
KUHAP, Jaksa Agung dapat mengajukan satu kali permohonan
kasasi terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekutan
hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah
Agung, demi kepentingan hukum. Sebagai upaya hukum luar
biasa, kasasi demi kepentingan hukum itu maksudnya ialah untuk
mencapai kesatuan penafsiran hukum oleh pengadilan.
Kasasi demi kepentingan hukum diajukan jika sudah tidak
ada upaya hukum biasa yang dapat dipakai. Permohonan kasasi
diajukan oleh Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung melalui
panitera yang telah memutus perkara tersebut dalam tingkat
pertama, disertai risalah yang menjadi alasan, kemudian panitera
meneruskan kepada yang berkepentingan (Pasal 260 KUHAP).
Salinan keputusan Mahkamah Agung disampaikan kepada Jaksa
Agung dan kepada pengadilan yang bersangkutan, disertai berkas
perkara (Pasal 261 KUHAP). Ketentuan tentang kasasi demi
kepentingan hukum bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum berlaku juga bagi peradilan militer (Pasal 262 KUHAP).
Jadi, pada umumnya sama saja dengan kasasi biasa, kecuali dalam
kasasi demi kepentingan hukum ini penasihat hukum tidak lagi
dilibatkan. Jika Mahkamah Agung menerima permohonan kasasi
demi kepentingan hukum maka Mahkamah Agung membatalkan
putusan pengadilan yang lebih rendah, dan dengan demikian
terjawablah keragu-raguan atau hal yang dipermasalahkan itu.
(1) Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang Telah
Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap
Mengenai perkara pidana, diatur dalam Pasal 9, yang
commit to user
suatu putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap yang mengandung pemidanaan, dengan alasan :
(a) Apabila dalam putusan-putusan yang berlainan terdapat
keadaan-keadaan yang dinyatakan terbukti, akan tetapi satu
sama lain bertentangan.
(b) Apabila terdapat sesuatu keadaan, sehingga menimbulkan
persangkaan yang kuat, bahwa apabila keadaan itu
diketahui pada waktu sidang masih berlangsung,putusan
yang akan dijatuhkan akan mengandung pembebasan
terpidana dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan hukum atas
dasar perbuatan bahwa perbuatan yang akan dijatuhkan itu
tidak dapat dipidana, pernyataan tidak dapat diterimanya
tuntutan jaksa untuk menyerahkan perkara ke persidangan
pengadilan atau penerapan ketentuan-ketentuan pidana lain
yang lebih ringan.
Dibanding dengan ketentuan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana yang tersebut pada Pasal 263 ayat (2)
KUHAP, maka terlihat keduanya hampir sama. Ketentuan
dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana itu
mengatakan :
Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar :
(a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu
sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap
perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
(b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai
dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
commit to user
(c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Kemudian, ayat (3) Pasal 273 KUHP tersebut
mengatakan bahwa atas dasar alasan yang sama sebagaimana
tersebut pada ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu suatu
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti akan
tetapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan.
Pasal 266 ayat (2) KUHAP ditentukan bahwa dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan
peninjauan kembali dapat diterima untuk diperiksa, berlaku
ketentuan sebagai berikut :
(a) Apabila mahkamah Agung tidak membenarkan alasan
pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan
peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan
yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku
disertai dasar pertimbangannya,
(b) Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon,
Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan
peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang
dapat berupa :
(i) Putusan bebas
(ii) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum
(iii)Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum
(iv) Putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan.
3. Tinjauan Tentang Kasasi
a. Pengertian Kasasi
Kata kasasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
commit to user
putusan Hakim karena putusan itu menyalahi atau tidak sesuai benar
dengan undang-undang.
Dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP, dirumuskan bahwa yang
dimaksud upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk
tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding
atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-undang ini.
Dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa pemeriksaan
dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan
para pihak sebagaimana dimaksud Pasal 244 dan 248 guna menentukan
apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan
tidak sebagaimana mestinya ; apakah benar cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang ; apakah benar
pengadilan telah melampaui batas wewenangnya. Pasal 244 mengatur
tentang putusan pengadilan tingkat terakhir yang dapat dimintakan kasasi
dan para pihak (terdakwa atau penuntut umum) yang dapat mengajukan
permohonan kasasi. Pasal 248 mengatur tentang kewajiban mengajukan
alasan dan memasukkan memori kasasi oleh permohonan kasasi.
Kalau pengertian kata kasasi dan pengertian upaya hukum tersebut
di atas, kita hubungkan dengan ketentuan Pasal 253 ayat (1) KUHAP tadi,
lantas kiranya dapat kita rumuskan bahwa yang dimaksud dengan upaya
hukum kasasi itu adalah : hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak
menerima putusan pengadilan pada tingkat terakhir, dengan cara
mengajukan permohonan kepada Mahkamah Agung guna membatalkan
putusan pengadilan tersebut, dengan alasan (secara alternativ/komulatif)
bahwa dalam putusan yang dimintakan kasasi tersebut, peraturan hukum
tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya, cara
mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang,
commit to user
b. Dasar atau alasan Kasasi
Bahwa yang dimaksud dengan alasan kasasi, adalah dasar atau
landasan daripada keberatan-keberatan pemohon kasasi terhadap putusan
pengadilan yang dimintakan kasasinya ke Mahkamah Agung.
Alasan-alasan kasasi tersebut, oleh pemohon kasasi diuraikan dalam memori
kasasi (Harun M. Husein, 1992:74).
Alasan-alasan kasasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 253 ayat
(1) KUHAP tersebut bersifat limitative. Karena itu pemohon kasasi tidak
dapat mempergunakan alasan-alasan lain selain daripada yang telah
ditetapkan dalam undang-undang. Atau dengan perkataan lain, bahwa bila
hendak mengajukan permohonan kasasi, pemohon kasasi harus
mempergunakan alasan-alasan kasasi yang telah ditentukan
undang-undang.
Apabila dalam pemeriksaan tingkat kasasi, Mahkamah Agung
tidak melihat adanya kebenaran daripada alasan-alasan yang diajukan oleh
pemohon dan Mahkamah Agung sendiri tidak melihat adanya alasan lain
untuk membatalkan putusan yang dimintakan kasasi, maka sudah tentu
mahkamah Agung tidak dapat mengabulkan permohonan kasasi yang
bersangkutan.
Dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, ditentukan tentang
alasan-alasan yang dapat dipergunakan oleh pemohon kasasi, untuk meminta
agar Mahkamah Agung melakukan pemeriksaan kasasi atas putusan yang
dimintakan kasasi oleh pemohon. Alasan-alasan kasasi tersebut adalah :
1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan
tidak sebagaimana mestinya ;
2) Apakah benar cara mengadili tidak dilakukan menurut ketentuan
undang-undang ;
3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Apabila pemohon kasasi mempergunakan alasan lain, selain
daripada yang telah ditentukan undang-undang, maka Mahkamah Agung
commit to user
tersebut. Karena kewenangan Mahkamah Agung pada pemeriksaan
tingkat kasasi, hanya terbatas pada masalah-masalah penerapan hukum
sebagaimana dimaksud Pasal 253 ayat (1) KUHAP. Permohonan kasasi
demikian, akan dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Agung.
Penentuan alasan kasasi yang limitative ini dengan sendirinya serta
sekaligus membatasi wewenang Mahkamah Agung memasuki
pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi, terbatas hanya meliputi
kekeliruan pengadilan atas ketiga hal tersebut. Diluar ketiga hal tadi
undang-undang tidak membenarkan Mahkamah Agung menilai dan
memeriksanya.
Alasan-alasan kasasi tersebut, sesuai dengan jenisnya harus
diuraikan konkritisasinya dalam memori kasasi. Menguraikan secara
konkrit tentang terdapatnya hal-hal yang memenuhi syarat sebagai alasan
kasasi bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Banyak pemohon
kasasi, meskipun telah merumuskan alasan-alasan kasasi sesuai dengan
yang telah ditentukan undang-undang, tetapi dalam uraiannya untuk
mendukung kebenaran alasan-alasan yang diajukannya itu, ia telah
menguraikan hal-hal atau keadaan-keadaan yang tidak memenuhi alasan
kasasi yang diajukannya. Umpamanya saja pemohon mengajukan alasan
bahwa pengadilan telah keliru dalam menetapkan hukum pembuktian.
Tetapi dalam uraian-uraian pendukung alasannya itu, pemohon
mengemukakn tentang fakta-fakta yang terungkap di persidangan beserta
penilaiannya terhadap fakta-fakta tersebut. Jadi pemohon tidak
menguraikan tentang dimana terletak kekeliruan penerapan hukum
pembuktian yang dilakukan oleh pengadilan. Pemohon hanya
mengemukakan tentang fakta-fakta dan bagaimana pendapat/
penilaiannya terhadap fakta-fakta tersebut. Misalnya pemohon
menguraikan: Berdasarkan keterangan saksi-saksi, keterangan ahli dan
petunjuk-petunjuk yang terungkap di persidangan, ia berkesimpulan
commit to user
Dengan demikian, jelaslah bahwa uraian pemohon kasasi tersebut,
menyangkut masalah fakta beserta penilaiannya atas fakta-fakta itu.
Hal-hal yang bertalian dengan fakta-fakta beserta penilaiannya adalah
kewenangan judex fictie dan hal ini tidak tunduk pada pemeriksaan
kasasi. Mahkamah Agung tidak berwenang memeriksa dan menilai
fakta-fakta tersebut, dalam hal ini Mahkamah agung hanya berwenang untuk
memeriksa dan menilai penerapan hukum pembuktian yang dilaksanakan
oleh pengadilan bawahan, untuk menentukan apakah benar telah terjadi
kekeliruan atau kesalahan penerapan hukum pembuktian dalam
pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
c. Tata cara Pengajuan Kasasi
Telah ditetapkan tentang tatacara pengajuan permohonan kasasi
menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana sebagai berikut :
1) Cara mengajukan permohonan kasasi diatur dalam Pasal 245
KUHAP, yang menetapkan bahwa permohonan kasasi disampaikan
oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang telah memutus
perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari setelah
putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada
terdakwa.
2) Permohonan kasasi tersebut oleh panitera dicatat dalam sebuah surat
keterangan yang disebut akta permintaan kasasi, yang ditandatangani
oleh pemohon kasasi dan panitera dan dicatat dalam suatu daftar yang
dilampirkan pada berkas perkara.
3) Berdasarkan ayat (3) pasal tersebut, ditegaskan bahwa dalam hal
pengadilan negeri menerima permohonan kasasi, baik yang diajukan
oleh penuntut umum atau terdakwa maupun yang diajukan oleh
penuntut umum dan terdakwa sekaligus, maka panitera wajib
memberitahukan permintaan dari pihak yang satu kepada pihak yang
commit to user
4) Berdasarkan Pasal 247 ayat (4) ditegaskan pula bahwa permohonan
kasasi hanya dapat diajukan satu kali. Peraturan lebih lanjut tentang
hal ini, terdapat dalam Pasal 43 UUMA. Dalam pasal tersebut diatur
tidak hanya tentang berapa kali permohonan kasasi dapat diajukan,
tetapi diatur pula bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika
pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum
banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
4. Tinjauan Tentang Pemalsuan Surat
Pengertian Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Apabila tindak pidana yang dilakukan oleh seorang militer tidak diatur
dalam KUHPT, maka yang berlaku adalah KUHP kecuali ada penyimpangan.
Tindak pidana pemalsuan surat tidak diatur secara jelas dalam KUHPT, maka
yang berlaku adalah tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP.
Tindak pidana pemalsuan surat diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP
dirumuskan sebagai membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menerbitkan suatu hak atau suatu perikatan atau suatu pembebasan dari utang
atau surat yang ditujukan untuk membuktikan suatu kejadian, dengan tujuan
atau maksud (oogmerk) untuk memakai surat itu atau untuk menyuruh orang
lain memakainya seolah-olah surat itu tulen atau tidak dipalsu, dan lagi
pemakaian itu dapat mengakibatkan suatu kerugian. Tindak pidana ini oleh
Pasal 263 ayat (1) dinamakan (kualifikasi) pemalsuan surat (valschheid in
geschrifl) dan diancam dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara.
Dengan demikian sesuai dengan bunyi perumusan Pasal 263 KUHP
ayat (1) tidak setiap pemalsuan surat dapat dijatuhi pidana, menurut Wirjono
Prodjodikuro diadakan pembatasan, yaitu dibatasi dua macam surat:
a. Surat yang dapat menerbitkan suatu hak atau suatu perikatan atau suatu
pembebasan dari utang.
Surat yang dimaksudkan ialah surat perjanjian atau surat kontrak,
commit to user
pinjaman uang, surat pemborongan kerja dan sebagainya. Ini semua
memuat berbagai perjanjian yang mengandung timbulnya hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dari masing-masing pihak
b. Surat yang ditujukan untuk membuktikan suatu tindakan.
Surat ini harus ditujukan untuk umum membuktikan sesuatu
kejadian dan surat ini harus ada kekuatan pembuktian/ bewijskracht
(Wirjono Prodjodikoro, 2002 : 184)
Unsur-unsur tindak pidana pemalsuan surat
Adapun unsur-unsur tindak pidana pemalsuan surat dalam Pasal 263
ayat (1) dan (2) adalah sebagai berikut:
a. Unsur objektif yaitu
1) Membuat palsu/ memalsu
2) Memalsu terhadap :
a) Suatu surat yang dapat menerbitkan suatu hal.
b) Surat yang dapat menerbitkan keterangan.
c) Surat yang dapat membebaskan hutang.
d) Surat yang dapat membuktikan suatu perbuatan.
e) Pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
b. Unsur subjektif.
1) Dengan maksud untuk mempergunakan surat itu seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan.
2) Dengan sengaja. Dalam pasal ini secara jelas disebutkan kualifikasi
dari perbuatan yang dilakukan karena pemalsuan surat dan dalam pasal
tersebut disebutkan akibat dan perbuatanya yaitu jika pemakaiannya
tersebut dapat menimbulkan kerugian.
Dari unsur-unsur tindak pidana pemalsuan surat terdapat istilah
membuat surat palsu dan memalsukan surat dan dari kedua istilah itu terdapat
pengertian yang berbeda. Adapun perbedaan adalah membuat surat Palsu yaitu
berarti semula surat belum ada, lalu ia membuat surat itu sendiri sehingga
commit to user
berarti bahwa surat itu sudah ada, kemudian surat itu ditambah, dikurangi atau
dirubah isinya, sehingga surat itu tidak sesuai lagi dengan aslinya.
Unsur terpenting dan pemalsuan surat, bahwa ada tujuan untuk
memakai surat itu, seolah-olah surat itu tulen dan tidak dipalsu, tetapi
pemakaian ini harus pemakaian tertentu, yang dapat mengakibatkan kerugian
tertentu. Tidak perlu bahwa kemudian surat itu benar-benar dipakai seperti
yang dimaksudkan. Lebih-lebih tidak perlu pemakaian ini benar-benar
merugikan. Yang menjadi unsur tindak pidana ini adalah hanya kemugkinan
akan ada kerugian sebagai akibat dari pemakaian tertentu itu. Pemakaiannya
ini dapat dilakukan oleh orang lain, yang juga dapat dihukum dengan
hukuman sama, yaitu menurut ayat (2) Pasal 263 KUHP.
Pasal-Pasal Lain Dalam KUHP Yang Berhubungan Dengan Tindak
Pidana Pemalsuan Surat.
Pasal-pasal yang berkaitan dengan pemalsuan surat antara lain
a. Pasal 264 KUHP.
Yaitu berkaitan dengan pemalsuan surat- surat tertentu. Pasal 264
ayat (1) pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara maksimum, jika
ia lakukan dalam:
1) Akta otentik.
2) Surat hutang atau sertifikat hutang dari suatu negara atau bagiannnya
ataupun dari suatu lembaga umum.
3) Surat saham atau surat hutang atau sertifikat saham/ sero atau sertifikat
hutang dari suatu perkumpulan yayasan perseroan atau maskapai.
4) Talon, tanda bukti deviden atau tanda bukti dan salah satu surat yang
dirumuskan pada nomor 2 dan 3 diatas, ataupun didalam ‘tanda bukti
penggantinya.
5) Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan dalam peredaran.
Pasal 264 ayat (2), dengan pidana yang sama diancam barangsiapa
dengan sengaja mengunakan salah satu surat yang dibuat secara palsu atau
commit to user
dan tidak dipalsukan, jika karena pengunaanya itu dapat menimbulkan
kerugian. Dengan demikian Pasal 264 ayat 1 dan 2 KUHP itu erat
hubungannya dengan Pasal 263, KUHP, sedangkan dalam pasal ini
diperinci jenis-jenis surat yang dipalsukan sehingga jelas.
b. Pasal 266 KUHP
1) Barang siapa menyuruh memasukkan suatu keterangan palsu kedalam
suatu akta otentik tentang suatu tindakan dimana seharusnya akta itu
(akan) menyatakan kebenaran, dengan maksud untuk mengunakan akta
itu atau menyuruh orang lain untuk mengunakan seolah-olah
keterangan itu sesuai dengan kebenaran, jika pengunaannya dapat
menimbulkan kerugian diancam dengan pidana penjara maksimum
tujuh tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja sesuai
dengan kebenaran, jika karena pengunaan itu dapat menimbulkan
kerugian.
c. Pasal 268 KUHP
1) Barang siapa membuat secara palsu atau memalsu surat keterangan
dokter tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat,
dengan maksud menyesatkan penguasa umum atau penanggung
(verzakerarr), diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan maksud sama
memakai surat keterangan yang tidak benar dan tidak di palsu.
d. Pasal 269 KUHP
1) Barang siapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat
keterangan tanda kelakuan baik, kecakapan, kemiskinan, kecacatan
atau keadaan lain, dengan maksud memakai atau menyuruh orang lain
pakai surat itu supaya diterima dalam pekerjaan atau supaya dapat
menimbulkan kemurahan hati dan pertolongan, diancam pidana
commit to user
2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan maksud yang
sama memakai surat keterangan yang tidak benar atau yang dipalsu,
seolah-olah surat itu benar dan tidak dipalsu.
e. Pasal 270 KUHP
1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu pas jalan atau
surat pengantinya, kartu keamanan, surat perintah jalan atau surat yang
diberikan menurut ketentuan Undang-undang tentang pemberian izin
kepada orang asing untuk masuk dan menetap di Indonesia ataupun
atas barangsiapa menyuruh beri surat serupa itu atas nama palsu atau
nama kecil yang palsu dengan menunjuk pada keadaan palsu, dengan
maksud memakai atau menyuruh orang lain pakai surat itu seolah-olah
benar dan tidak dipalsu atau seolah-olah isinya sesuai dengan
kebenaran, diancam pidana penjara paling lama dua tahun delapan
bulan.
pengantar bagi kerbau atau sapi, atau menyuruh beri serupa atas
nama-nama palsu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain
pakai surat itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, diancam
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja
memakai surat yang tidak benar atau yang dipalsu tersebut dalam ayat
pertama, seolah-olah benar dan tidak dipalsu atau seolah-olah isinya
sesuai denagn kebenaran.
g. Pasal 274 KUHP
1) Barangsiapa membuat secara tidak benar atau memalsu surat
keterangan seorang pejabat yang sah, tentang hak milik atau hak
commit to user
penjualan atau pengadaiannya atau untuk menyesatkan pejabat
kehakiman atau kepolisian tentang asalnya, diancam dengan pidana
penjara paling lama dua tahun.
2) Diancam dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan maksud
tersebut, memakai surat keterangan itu seolah-olah benar dan tidak
dipalsu.
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1.1 Skematik Kerangka Pemikiran Pembuktian di
Persidangan
Putusan
Upaya Hukum
Pengajuan Kasasi Alasan Kasasi
Pertimbangan Mahkamah Agung
commit to user
Penjelasan :
Proses pidana diawali dari sebuah penyelidikan yaitu serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang
diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Setelah itu dilakukan suatu penyidikan yaitu serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang dalam undang-undang untuk
mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti ini membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Setelah adanya barang bukti yang cukup kemudian dilakukan
penangkapan dan penahanan kepada tersangka. Proses selanjutnya adalah
pembuatan BAP dari kepolisian yang kemudian berkas perkara tersebut
diserahkan oleh penyidik kepada Penuntut Umum dan menyerahkan
tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum.
Penuntut Umum kemudian memeriksa dan membuat surat dakwaan yang
selanjutnya dikirim ke Pengadilan Negeri bagian Panmud Pidana.
Selanjutnya dalam acara sidang yang pertama adalah pembukaan
sidang yang dilanjutkan dengan pembacaan surat dakwaan oleh Penuntut
Umum dan kemudian dilanjutkan dengan acara sidang yang berikutnya
sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan oleh Pengadilan yaitu eksepsi,
jawaban atas eksepsi, putusan sela, pemeriksaan saksi, setelah
pemeriksaan terhadap saksi dan barang bukti yang dianggap terkait erat
dengan dugaan tindak pidana ditingkat pengadilan pertama (Pengadilan
Negeri) dinyatan selesai, selanjutnya giliran berikutnya adalah menjadi
hak Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan tuntutan terhadap terdakwa
kepada Majelis Hakim yang menyidangkan perkara itu, dan dalam acara
sidang selanjutnya adalah pledoi, replik, duplik, dan yang terakhir adalah
putusan.
Dalam perkara keterangan palsu ini setiap pihak yang tidak merasa
puas oleh akan adanya putusan yang telah dijatuhakan hakim, maka para