Diaj Mem
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Hermanto
Diaj Mem
i
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Hermanto
NIM : 088114136
iii
iv
Kupersembahakan karya kecilku untuk :
Yesus Kristus
Papa, Mama dan Kakakku
My Tienci Group (Fredlina, WeA)
v
vii
Syukur bagi Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya
Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) program
studi Farmasi.
Penulis telah menerima banyak dukungan selama proses perkuliahan,
penelitian, dan penyusunan skripsi. Oleh karena itu, Penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Ipang Djunarko, M.Sc., Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Yohanes Dwiatmaka, M.Si., Apt., selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan waktu, bimbingan, pengarahan, masukan serta pelajaran tentang
hidup kepada Penulis dalam penyusunan skripsi.
3. Prof. Dr. C.J. Soegihardjo, Apt., selaku Dosen Penguji yang telah memberikan
waktu, masukan, kritik dan saran kepada Penulis.
4. Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt., selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan waktu, masukan, kritik dan saran kepada Penulis.
5. Segenap dosen Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah
mengajar dan membimbing Penulis selama perkuliahan.
6. Cornelius Brian Alfredo sebagai teman satu tim atas kerjasama, bantuan, dan
kebersamaan selama proses penyusunan skripsi.
7. Teman-teman angkatan 2008 khususnya Kelas C 2008 dan FST 2008 atas
keceriaan dan kebersamaan yang tak terlupakan.
viii
8. Mas Wagiran, Mas Sigit, Mas Andri dan Mas Parlan serta laboran-laboran
yang lain yang telah membantu Penulis selama penelitian.
9. Fredlina Chen, Welly Apriadi, Nancy, Dian Prawita Putri atas dukungan serta
Penulis selalu diingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh Penulis.
Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari seluruh pihak. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi kita
semua.
ix
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……… vi
PRAKATA ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xiii
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
INTISARI ... xvi
... xvii
BAB I. PENGANTAR ... 1
A. Latar Belakang ... 1
1. Permasalahan ... 4
2. Keaslian penelitian ... 4
3. Manfaat penelitian ... 5
a. Manfaat teoritis ... 5
b. Manfaat praktis ... 5
B. Tujuan Penelitian ... 5
x
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 6
A. ... 6
1. Keterangan botani ... 6
2. Deskripsi tumbuhan ... 6
3. Kandungan kimia ... 7
B. L. ... 7
1. Sistematika ... 7
2. Lingkungan hidup ... 7
3. Tahap perkembangan artemia ... 8
4. Penggunaan artemia pada BST ... 10
C. (BST) ... 11
D. ... 12
E. Penyarian ... 13
F. Kromatografi Lapis Tipis ... 15
G. Landasan Teori ... 16
H. Hipotesis ... 17
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 18
A. Jenis Rancangan Penelitian ... 18
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 18
1. Variabel penelitian ... 18
2. Definisi operasional ... 19
C. Bahan Penelitian ... 20
xi
2. Bahan ekstraksi ... 20
3. Bahan uji BST ... 20
4. Bahan air laut buatan (ALB) ... 20
5. Bahan kromatografi lapis tipis (KLT) ... 20
D. Alat Penelitian ... 21
E. Tata Cara Penelitian ... 21
1. Determinasi tanaman ... 21
2. Pengumpulan bahan ... 21
3. Pengeringan dan pembuatan serbuk ... 21
4. Maserasi ... 22
5. Uji bioaktivitas dengan metode BST ... 23
6. Identifikasi golongan senyawa fraksi ... 25
F. Analisis Data ... 27
4. Uji bioaktivitas pada larva artemia ... 38
xii
F. Identifikasi Golongan Senyawa Fraksi ... 48
1. Identifikasi alkaloid ... 49
2. Identifikasi flavonoid ... 51
3. Identifikasi asetogenin ... 53
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 55
A. Kesimpulan ... 55
B. Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 56
LAMPIRAN ... 59
xiii
Tabel I. Nilai konstanta dielektrik berbagai zat pelarut ... 14
Tabel II. Seri konsentrasi larutan sampel fraksi n-heksana dan etilasetat ... 24
Tabel III. Seri konsentrasi larutan sampel fraksi metanol ... 24
Tabel IV. Persen kematian larva artemia ekstrak n-heksana, etilasetat, dan
metanol daun ... 40
Tabel V. Hasil uji KLT fraksi n-heksana, etilasetat, dan metanol daun
untuk pemeriksaan golongan senyawa alkaloid…………... 50
Tabel VI. Hasil uji KLT fraksi n-heksana, etilasetat, dan metanol daun
untuk pemeriksaan golongan senyawa flavonoid…………. 52
Tabel VII. Hasil uji KLT fraksi n-heksana, etilasetat, dan metanol daun
untuk pemeriksaan golongan senyawa asetogenin………. .. 54
xiv
Gambar 1. Daun ... 6
Gambar 2. Larva artemia ... 9
Gambar 3. Tahap perubahan bentuk artemia ... 9
Gambar 4. Artemia dewasa ... 10
Gambar 5. Skema hasil fraksinasi………... 34
Gambar 6. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi fraksi n-heksana daun ... 42
Gambar 7. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi fraksi etilasetat daun ... 44
Gambar 8. Kurva hubungan nilai probit versus log konsentrasi fraksi metanol daun ... 45
Gambar 9. Kromatogram lapis tipis untuk pemeriksaan golongan senyawa alkaloid ... 50
Gambar 10. Kromatogram lapis tipis untuk pemeriksaan golongan senyawa flavonoid ... 52
xv
Lampiran 1. Surat Keterangan Determinasi ... 59
Lampiran 2. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak
n-hekasan yang akan digunakan dalam pengujian ... 60
Lampiran 3. Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak
etilasetat yang akan digunakan dalam pengujian ... 62
Lampiran 4. . Orientasi untuk mendapatkan seri konsentrasi ekstrak metanol
yang akan digunakan dalam pengujian ... 64
Lampiran 5. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak
n-heksana daun ... 67
Lampiran 6. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak etil
asetat daun ... 67
Lampiran 7. Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian ekstrak
metanol daun ... 68
Lampiran 8. Perhitungan data statistik SPSS 16.00 dengan menggunakan
analisis probit terhadap ekstrak n-heksana daun ... 69
Lampiran 9. Perhitungan data statistik SPSS 16.00 dengan menggunakan
analisis probit terhadap ekstrak etilasetat daun ... 71
Lampiran 10. Perhitungan data statistik SPSS 16.00 dengan menggunakan
analisis probit terhadap ekstrak metanol daun ... 73
Lampiran 11. Perhitungan rendemen fraksi n-heksana, etilasetat, dan
metanol daun
……… ... 75
Lampiran 12. Kromatogram lapis tipis pada identifikasi golongan senyawa
alkaloid, flavonoid, dan asetogenin……… 76
xvi INTISARI
merupakan salah satu tanaman yang telah dimanfaatkan untuk pengobatan kanker. Salah satu pengembangan potensinya sebagai antikanker dilakukan dengan cara mengeksplorasi melalui penyarian dengan cairan yang memiliki tingkat kepolaran yang berbeda serta diuji bioaktivitasnya. Selanjutnya mengidentifikasi golongan senyawa kimia yang diduga memiliki bioaktivitas dengan metode KLT.
Jenis penelitian ini adalah eksperimental murni dengan menggunakan rancangan penelitian sederhana ( ). Penelitian ini menggunakan tiga jenis pelarut yang memiliki kepolaran yang berbeda yaitu n-heksan, etilasetat, dan metanol. Fraksinasi dilakukan secara bertingkat dengan metode maserasi pada mesin pengaduk ( ) selama 24 jam dengan kecepatan putar 150 rpm. Masing –masing fraksi dibuat 5 seri konsentrasi dan dilakukan replikasi sebanyak 6 kali yang kemudian diuji bioaktivitas nya terhadap
Leach dengan metode (BST). Bioaktivitas fraksi dinyatakan dengan nilai LC50. Fraksi dikatakan memiliki bioaktivitas bila
nilai LC50<1000 µg/ml.
Hasil uji bioaktivitas dengan metode BST menunjukkan nilai LC50 fraksi
n-heksana, etilasetat dan metanol daun secara berturut-turut sebesar 37,7 µg/ml; 19,6 µg/ml; 179,5 µg/ml. Berdasarkan hasil tersebut maka fraksi yang memiliki bioaktivitas paling besar adalah fraksi etilasetat. Hasil identifikasi dengan KLT menunjukkan golongan senyawa kimia yang terdapat dalam fraksi etilasetat daun adalah alkaloid dan asetogenin.
xvii ABSTRACT
has been exploited for cancer treatment. One of the development potential of as anticancer done by exploring through fractionation with solvents that have different polarity and tested the bioactivity. Then identify the class of chemical compounds suspected of having the greatest bioactivity by TLC method.
The research was simple pure experimental with posttest only control group design. This study used three kinds of solvents such as n-hexane, ethylacetate, and methanol that have different polarity. Fractionation is done stratified by maceration method on a shaker for 24 hours with rotational speed 150 rpm. Each concentration of fraction made 5 series and replicated 6 times and then tested its bioactivity against Leach with Brine Shrimp Lethality Test method (BST). Bioactivity of fraction expressed as LC50 values. Fractions
have the bioactivity if the LC50 values < 1000 µg/ml.
The result of bioactivity test with BST method showed LC50 of
n-hexane, ethylacetate and methanol leaf fraction of , respectively 37.7 µg/ml, 19.6 µg/ml, 179.5 µg/ml. Based on the results, the greatest bioactivity is ethylacetate fraction. The results of identification by TLC showed class of chemical compounds contained in ethylacetate leaf fraction of are alkaloid and acetogenin.
Key words: , Bioactivity, Brine Shirmp Lethality Test, maceration, Thin Layer Chromatography
1
! " #$
Kanker merupakan penyebab utama kematian pada negara-negara maju
dan berkembang. ! " # (WHO) melaporkan bahwa pada tahun 2007 terjadi 7,9 juta kematian di dunia akibat kanker. Jika tidak
dikendalikan, diperkirakan 26 juta orang akan menderita kanker dan 17 juta
meninggal karena kanker pada tahun 2030. Ironisnya, kejadian ini akan terjadi
lebih cepat di negara miskin dan berkembang. Di Indonesia sendiri prevalensi
tumor/kanker adalah 4,3 per 1000 penduduk yang merupakan penyebab kematian
nomor 7 (5,7%) setelah , (TB), hipertensi, cedera, perinatal,
dan (DM) (Anonim, 2011).
Pengobatan kanker yang telah dilakukan seperti: pembedahan,
radioterapi, dan kemoterapi dapat menimbulkan efek samping serta belum
menunjukkan hasil yang memuaskan (King, 2000). Oleh karena itu, diperlukan
alternatif pengobatan salah satunya adalah dengan penggunaan bahan alam.
merupakan salah satu tanaman yang telah dimanfaatkan
untuk pengobatan kanker. Daun mengandung dua senyawa bioaktif
asetogenin $ , yaitu dan . Kedua senyawa tersebut diisolasi dari ekstrak etanol daun yang diketahui dapat
menghambat (MCF-7) dan
2
Berdasarkan penelitian Liu (1999a), memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai antikanker sehingga perlu
dilakukan eksplorasi lagi untuk mengetahui potensi dari jenis cairan penyari yang
digunakan dengan melihat bioaktivitasnya. Oleh karena itu pada penelitian ini,
penyarian akan dilakukan secara bertingkat dengan metode maserasi. Penggunaan
penyarian bertingkat memiliki keuntungan karena dapat memisahkan senyawa
dengan tingkat kepolaran yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kepolaran
pelarutnya. Tiga jenis pelarut yang memiliki tingkatan kepolaran yang berbeda
untuk menyari senyawa yang terdapat dalam daun , yaitu n-heksana,
etilasetat, dan metanol.
Penggunaan n-heksana dan etilasetat dipilih karena keduanya
menunjukkan konstanta dielektrik yang berada pada tingkatan kepolaran yang
berbeda, begitu pula dengan metanol. Nilai konstanta dielektrik n-heksana sebesar
1,89 yang menunjukkan bahwa pelarut ini bersifat non-polar, sedangkan etilasetat
sebesar 6,020 yang menunjukkan bahwa pelarut ini memiliki polaritas yang lebih
rendah dari metanol namun memiliki polaritas yang lebih besar dibanding
n-heksana. Metanol sendiri memiliki nilai konstanta dielektrik sebesar 33,620 yang
menunjukkan pelarut ini memiliki polaritas yang paling tinggi diantara ketiga
pelarut tersebut. Berbeda dengan penelitian Liu (1999a) yang menggunakan pelarut etanol, Pada penelitian ini pelarut yang dipilih adalah metanol. Hal ini
dikarenakan metanol memiliki penetrasi yang lebih baik dibanding etanol dalam
penyarian, yang ditunjukkan dengan nilai viskositas metanol sebesar 0.59 mPa·s
sedangkan viskositas etanol 1,2 mPa-ssehingga metanol akan lebih mudah masuk
ke dalam sel dan penyarian senyawa lebih maksimal. Selain itu, metanol memiliki
polaritas yang lebih besar dibandingkan etanol. % & adalah kapasitas pelarut untuk melarutkan . Metanol memiliki parameter (E
T )
sebesar 55,4 sedangkan nilai E
T etanol sebesar 51,9 (Buchori, 2007).
Fraksi metanol, etilasetat, dan n-heksana daun yang diperoleh
kemudian diuji bioaktivitasnya dengan metode
(BST). Prinsip metode ini adalah uji toksisitas akut terhadap larva
Leach (artemia) dengan penentuan nilai LC50 setelah perlakuan 24 jam (Meyer,
Ferrigni, Putnam, Jacobsen, Nichols, and Laughlin, 1982). Artemia digunakan
sebagai hewan uji karena memiliki kesamaan tanggapan dengan mamalia,
misalnya tipe DNA- RNA artemia serupa yang terdapat
dalam mamalia, dan organisme ini memiliki $ & Na+ dan K+ ATP , sehingga senyawa maupun fraksi yang memiliki aktivitas
pada sistem tersebut dapat terdeteksi (Solis, Wright, Anderson, Gupta and
Phillipson, 1993).
Bioaktivitas senyawa ditentukan berdasarkan nilai LC50. LC50
merupakan kadar konsentrasi yang mampu menyebabkan kematian 50% pada
hewan uji pada pejanan selama waktu tertentu (Lu, 1995). Suatu senyawa
dikatakan bioaktif apabila nilai LC50 kurang dari 1000 µg/ml, maka senyawa
tersebut dapat diduga memiliki efek sitotoksik. Senyawa yang bersifat bioaktif
pada BST belum tentu bersifat sitotoksik, sehingga perlu dilakukan uji tingkat
4
sitotoksik akan bersifat bioaktif bila diuji dengan metode BST (Meyer ,
1982).
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai nilai
LC50 tiap fraksi yang menunjukkan bioaktivitasnya sehingga dapat diketahui
potensi dari tiap fraksi yang diperoleh dengan maserasi bertingkat. Selain itu,
dilakukan penentuan golongan senyawa yang tersari ke dalam tiap fraksi
menggunakan metode kromatografi lapis tipis dengan melihat perubahan warna
bercak setelah disemprot pereaksi tertentu serta dilihat dibawah sinar ultraviolet.
% & ! ' #
a. Apakah fraksi metanol, etilasetat, dan n-heksana daun memiliki
bioaktivitas terhadap larva artemia dengan metode BST?
b. Fraksi manakah yang memiliki bioaktivitas paling besar terhadap larva
artemia?
c. Golongan senyawa kimia apakah yang terdapat dalam fraksi daun
yang paling aktif dengan melihat profil kromatogram lapis tipis?
&!( # ) # !( ( #
Sejauh penelusuran peneliti, beberapa penelitian terkait dengan toksisitas
antara lain pengujian antikanker ekstrak etanol biji, daun, daging buah
pada oleh Cochrane, Nair, Melnick, Resek,
penelusuran pustaka untuk uji bioaktivitas fraksi n-heksana, etilasetat, dan
metanol daun dengan metode belum pernah
dilakukan.
* #+ ) # !( ( #
#+ , ( (&
Penelitian ini diharapkan memberikan informasi yang berguna bagi ilmu
pengetahuan khususnya bidang farmasi mengenai bioaktivitas fraksi
n-heksana, etilasetat, dan metanol terhadap larva artemia serta
golongan senyawa yang terdapat dalam fraksi yang paling aktif.
- #+ ) " (&
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat
terkait potensi fraksi daun dalam pengembangannya sebagai
senyawa sitotoksik.
./. # # !( ( #
1. Mengetahui bioaktivitas fraksi metanol, etilasetat, dan n-heksana daun
terhadap larva artemia pada BST
2. Mengetahui nilai LC50 fraksi metanol, etilasetat, dan n-heksana daun
pada BST
3. Mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat dalam fraksi daun
6
#$ # -, #(
Tanaman L. termasuk dalam familia Annonaceae.
Tanaman ini dikenal juga dengan nama asingnya yaitu, (Unites States
Department of Agriculture, 2001).
0 1 0 1
%- # % # 0 1 .# 0 1 .#$
0 ,2 ', # 3 -! #4 .! & 1
&" ()&( .%-.' #
dikenal sebagai tanaman yang umumnya tumbuh di
daerah pesisir dengan tinggi pohon mencapai 12 meter. Daunnya selang seling,
lonjong dengan panjang sampai 15 cm (Gambar 1A), dan bunga berwarna krem
dengan bercak merah didekat bagian dasar (Gambar 1B). Panjang buah sampai 10
cm, berwarna kuning dan daging buah berwana merah muda dengan banyak biji
berwarna hitam (Cambie, 1994).
* #4.#$ # "(%(
Kandungan toksik adalah alkaloid liriodenine. Batang, kayu,
dan kulit batang mengandung alkaloid ' $ , , ,
, *$ , , , , .
+ ,$-$ $./$ $.0$ juga telah diisolasi. Alkaloid pada daun adalah *$ dan . Ekstrak daun yang terhidrolisis menghasilkan flavonoid 1 dan . Daun, akar dan kulit batang menunjukkan hasil positif adanya alkaloid, dan ekstrak biji mempunyai sifat
insektisidal (Cambie, 1994). Daun juga mengandung asetogenin $
yaitu dan B (Liu , 1999a), serta asetogenin lainnya yaitu ' dan ()$ ' (Liu ., 1999b).
(& % ("
Artemia dikenal dengan nama asing termasuk familia
artemiidae, genus , dan spesies Leach (Mudjiman, 1989).
(#$".#$ # '(4.)
Artemia tidak dapat bertahan hidup pada suhu kurang dari 6oC atau lebih dari 35oC, tetapi hal ini sangat bergantung pada ras dan kebiasaan tempat hidup mereka. Maka dari itu, pertumbuhan artemia yang baik berkisar pada suhu antara
8
dengan ion kalium di dalam air laut alami adalah 28, maka Artemia masih dapat
bertahan pada perbandingan antara 8-173 (Mudjiman, 1989).
Artemia dapat berkembang dengan baik pada kadar garam yang tinggi.
Pada kadar garam yang tinggi, artemia terhindar dari musuh-musuh yang tidak
dapat hidup pada kadar garam yang tinggi. Artemia dapat hidup di perairan
dengan kadar garam antara 1-300 per mil (Mudjiman,1989).
Artemia juga dapat hidup dan menyesuaikan diri pada tempat yang kadar
oksigennya rendah maupun yang mengalami kejenuhan oksigen. Pengaruh pH
terhadap kehidupan artemia muda dan dewasa belum jelas namun berpengaruh
terhadap penetasan . Apabila pH untuk penetasan kurang dari 8, maka
efisiensi penetasan akan menurun. banyak yang tidak menetas atau waktu
penetasan lebih panjang (Mudjiman, 1989).
* ' ) ) " %- #$ # %(
Istilah untuk telur artemia adalah , yaitu telur yang telah
berkembang lebih lanjut menjadi embrio dan kemudian diselubungi oleh
cangkang yang tebal dan kuat. Cangkang ini berguna untuk melindungi embrio
terhadap pengaruh kekeringan, benturan keras, sinar ultraviolet dan
mempermudah pengapungan. Oleh karena itu, ia sangat tahan menghadapi
keadaan lingkungan yang buruk (Mudjiman, 1989).
Apabila siste artemia direndam dalam air laut bersuhu 25ºC, maka akan
menetas dalam waktu 24-36 jam. Dari dalam cangkangnya keluarlah larva yang
juga dikenal dengan istilah . Dalam perkembangan selanjutnya, larva
akan mengalami 15 kali perubahan bentuk atau metamorphosis. Setiap kali larva
mengalami perubahan bentuk merupakan satu tingkatan. Larva tingkat I
dinamakan instar I, tingkat II dinamakan instar II, tingkat III dinamakan instar III,
demikian seterusnya sampai instar XV. Setelah itu berubahlah menjadi artemia
dewasa (Mudjiman, 1989).
%- 5 %( 0 .4/(% # 6761
Larva yang baru saja menetas masih dalam tingkatan instar I. Warnanya
kemerah-merahan karena masih banyak mengandung makanan cadangan. Oleh
karena itu mereka masih belum perlu makan. (Mudjiman, 1989).
%- * ' ) ) .- ' # - # ." %( 0 .4/(% # 6761
Sekitar 24 jam setelah menetas, larva akan berubah menjadi instar II.
Pada tingkatan instar II, larva udah mulai mempunyai mulut, saluran pencernaan
10
itu, cadangan makanannya juga sudah mulai habis. Pada tingkatan selanjutnya
mulai terbentuk sepasang mata majemuk, selain itu berangsur-angsur tumbuh
tunas-tunus kakinya. Setelah menjadi instar XV, kakinya sudah lengkap sebanyak
11 pasang, maka berakhirlah masa larva, dan berubah menjadi artemia dewasa
(Mudjiman, 1989).
%- 8 %( 4 2 & 0 .4/(% # 6761
8 #$$.# # %( ) 4 0 1
Uji BST dengan hewan uji artemia dapat digunakan untuk skrining awal
terhadap senyawa-senyawa yang diduga berkhasiat sebagai antitumor karena uji
ini mempunyai kolerasi yang positif dengan potensinya sebagai antitumor maupun
fisiologis aktif tertentu (Anderson, Goets, dan McLaughlin, 1991).
Artemia digunakan sebagai hewan uji karena memiliki kesamaan
tanggapan dengan mamalia, misalnya tipe DNA- RNA
artemia serupa dengan yang terdapat pada mamalia (Solis ., 1993). Artemia
juga memiliki $ & Na+ dan K+ ATP Na+ dan K+ ATP merupakan enzim yang mengkatalisis hidrolisis ATP menjadi
ADP serta menggunakan energi untuk mengeluarkan 3Na+ dari sel dan mengambil 2K+ ke dalam, tiap sel bagi tiap mol ATP dihidrolisis. Na+ K+ ATP ditemukan dalam semua bagian tubuh. Aktivitas enzim ini dihambat oleh
. Adanya menyebabkan keseimbangan ion Na+ dan K+ tetap
terjaga (Ganong,1995). Jika suatu senyawa bekerja mengganggu kerja salah satu
enzim ini pada artemia dan menyebabkan kematian artemia, maka senyawa
tersebut bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian sel mamalia (Solis ,
1993).
3 0 1
(BST) merupakan salah satu metode uji
toksisitas yang banyak digunakan dalam penelusuran senyawa bioaktif yang
bersifat toksik dari bahan alam. Metode ini dapat digunakan sebagai $
dari bahan alam karena mudah, cepat, murah, dan cukup
reprodusibel. Beberapa senyawa bioaktif yang telah berhasil diisolasi dan
aktivitasnya dimonitor dengan BST menunjukkan adanya korelasi terhadap suatu
uji spesifik antikanker (Harmita, and Radji, 2006).
Penggunaan BST sebagai pertama kali dilaporkan oleh Tarpley
untuk menentukan keberadaan residu insektisida, menentukan senyawa anestetik,
serta menentukan tingkat toksisitas air laut. Selanjutnya, Meyer dan kawan-kawan
12
ekstrak tanaman yang ditunjukkan sebagai toksisitas terhadap larva artemia.
Toksisitas ditentukan dengan melihat harga LC50 yang dihitung berdasarkan
analisis probit. (Harmita, and Radji, 2006). Apabila harga LC50<1000 µg/ml maka
senyawa dapat dikatakan toksik. Apabila pengujian dengan larva artemia
menghasilkan harga LC50<1000 µg/ml maka dapat dilanjutkan dengan pengujian
antikanker menggunakan biakan sel kanker. Cara ini akan menghemat waktu dan
biaya penelitian (Meyer , 1982).
Metode untuk mendeteksi adanya aktivitas biologi suatu ekstrak tanaman
dalam skrining dapat dibagi menjadi dua kelompok besar:
dan # . dibagi menjadi dua kelompok lagi yaitu dan
(Bohlin, and Bruhn, 1999).
BST merupakan metode kelompok
yang merupakan & & pada larva artemia. Sejak dikenalkan pada tahun 1982, metode ini telah digunakan untuk isolasi & & agen antitumor dan pestisida yang dihasilkan oleh tanaman (Bohlin, and Bruhn, 1999). Metode ini
melihat kematian larva artemia dalam waktu pengamatan 24 jam yang merupakan
suatu pengujian toksisitas akut. Uji toksisitas akut adalah uji tunggal yang
dilakukan kepada hewan uji menggunakan senyawa-senyawa/zat-zat kimia yang
berkaitan dengan kepentingan biologi dalam jangka waktu tertentu.
Pengamatannya dilakukan selama 24 jam dan bertujuan untuk menentukan tingkat
letalitasnya (Donatus, 2001).
Pengamatan aktivitas biologi yang dilakukan pada uji toksisitas akut
dapat berupa pengamatan gejala-gejala klinis, kematian hewan uji, atau
pengamatan hispatologi organ. Data yang dapat diperoleh pada uji toksisitas akut
dapat berupa data kuantitatif yang dinyatakan dengan harga 2 + 34 (LD50) dan 2 34 (LC50). LD50 merupakan dosis
senyawa uji yang dapat menimbulkan kematian 50% jumlah hewan uji sedangkan
LC50 merupakan kadar (konsentrasi) senyawa uji yang mampu menimbulkan
kematian 50% hewan uji. Harga LD50 dan LC50 suatu senyawa harus dilaporkan
sesuai dengan lamanya hewan uji yang diamati. Apabila lama pengamatan tidak
ditunjukkan dianggap bahwa pengamatan dilakukan selama 24 jam (Donatus,
2001).
#9 ( #
Penyarian adalah proses pemisahan suatu zat berdasarkan perbedaan
kelarutannya terhadap dua cairan tidak saling larut yang berbeda. Prinsip
penyarian adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan senyawa non
polar dalam senyawa non polar (Harborne, 1987).
Cairan penyari untuk ekstrak sebaiknya sesuai dengan zat aktif yang
berkhasiat, dalam arti dapat memisahkan zat aktif tersebut dari senyawa lainnya
dalam bahan sehingga ekstrak mengandung sebagian besar senyawa aktif
14
Republik Indonesia, 1985). Ada dua pertimbangan dalam memilih pelarut yang
akan digunakan dalam penyarian, yaitu memiliki daya melarutkan yang tinggi dan
pelarut tersebut tidak berbahaya atau tidak beracun (Somaatmadja, 1981). Daya
melarutkan suatu pelarut bergantung terhadap kepolaran pelarut dan senyawa
yang terlarut. Suatu senyawa akan terlarut dalam suatu pelarut yang sesuai dengan
prinsip “like dissolve like” yang artinya suatu senyawa akan terlarut pada pelarut
yang memiliki kepolaran yang hampir sama. Indikator kelarutan pelarut dapat
ditentukan dari nilai konstanta dielektrik dan nilai polaritas pelarut (Stahl, 1985).
- ! (! ( ",#& # 4( ! " (" - - $ ( : ) ! . 0 '! 67;1
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana. Maserasi dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia ke dalam penyari. Penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat
aktif. Zat aktif akan larut karena adanya beda konsentrasi antara larutan di dalam
dan di luar sel. Larutan yang lebih pekat akan terdesak keluar. Peristiwa ini
berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di dalam dan di
luar sel (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986 ). Hasil maserasi
maksimal biasanya dilakukan dengan maserasi menggunakan sederetan pelarut
atau metode Charauxs- Paris yaitu metode penyarian dengan menggunakan
pelarut yang berbeda kepolaran, dimana ekstrak pekat pelarut polar diekstraksi
kembali dengan pelarut semipolar dan pelarut non polar (Harborne, 1987).
,% ,$ +( )(& ()(&
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan salah satu metode
kromatografi untuk fitokimia yang berdasarkan pada proses adsorpsi. Suatu
senyawa dilewatkan pada lapisan yang disebut fase diam dengan bantuan suatu
pelarut sebagai fase gerak. Fase diam yang biasa digunakan adalah silica atau
alumina yang dilapiskan pada lempeng kaca atau alumunium, dan fase gerak
berupa pelarut organik (Gritter, 1991).
Jarak pengembangan senyawa pada kromatografi biasanya dinyatakan
dalam angka Rf atau hRf, dimana angka tersebut dapat digunakan untuk
identifikasi senyawa yang dianalisis. Harga Rf merupakan karakteristik KLT.
Perkiraan identifikasi diperoleh dengan pengamatan dua bercak dengan harga Rf
dan ukuran yang hampir sama. Harga Rf untuk suatu senyawa dapat dibandingkan
dengan harga standar (Stahl, 1985).
Deteksi bercak pada lempeng kromatografi yang telah dikembangkan
dapat menggunakan sinar UV 254 nm dan UV 365 nm dan pereaksi semprot.
16
indikator fluoresensi, terbatas pada senyawa yang mempunyai cincin aromatik dan
ikatan rangkap terkonjugasi (Stahl, 1985).
#4 & # , (
merupakan salah satu tanaman yang telah diketahui
memiliki aktivitas antikanker karena memiliki beberapa senyawa yang dapat
menghambat maupun menyebabkan kematian pada sel kanker. Senyawa-senyawa
yang terkandung di dalamnya antara lain alkaloid , ,$-$ $./$ $.0$ , flavonoid 1 dan , asetogenin $
.
Penyarian bertingkat bertujuan untuk menyari senyawa-senyawa yang
terdapat dalam daun . Senyawa yang terkandung memiliki polaritas yang
berbeda-beda sehingga digunakan 3 macam pelarut dengan tingkat kepolaran yang
berbeda yaitu metanol, etilasetat, dan heksana. Metanol merupakan pelarut
organik yang bersifat polar sehingga akan melarutkan senyawa-senyawa yang
memiliki sifat kepolaran sama dengan metanol, seperti flavonoid quercetin.
Begitupula dengan n-heksana akan melarutkan senyawa yang larut dalam pelarut
organik non-polar seperti alkaloid bebas dan asetogenin, namun pada asetogenin
sendiri masih memiliki gugus hidroksi yang bersifat polar meskipun terdiri dari
rantai karbon yang panjang sehingga tidak semua asetogenin dapat larut dalam
pelarut non-polar seperti n-heksana. Oleh karena itu etilasetat yang memiliki
tingkat kepolaran diantara metanol dan n-heksana digunakan untuk melarutkan
asetogenin yang belum tersari pada pelarut n-heksana.
Pengujian bioaktivitas fraksi digunakan metode
(BST) yang merupakan pengujian bioaktivitas suatu bahan terhadap hewan
uji larva artemia. Bioaktivitas suatu senyawa ditunjukkan dengan nilai LC50,
apabila harga LC50 <1000 µg/ml maka senyawa dapat dikatakan bioaktif.
(), &(&
Fraksi metanol, etilasetat, dan n-heksana daun memiliki
bioaktivitas terhadap larva artemia pada metode BST. Fraksi metanol, etilasetat,
dan n-heksana memiliki nilai LC50 yang berbeda. Fraksi n-heksana mengandung
golongan senyawa kimia berupa alkaloid dan asetogenin, fraksi etilasetat berupa
18
#(& 4 # #< #$ # # !( ( #
Penelitian tentang uji bioaktivitas fraksi n-heksana, etilasetat, dan metanol
daun dengan metode BST merupakan jenis eksperimental murni dengan
rancangan % " +
( - ! 4 # +(#(&( ) &(,# !
( - ! # !( ( #
Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel bebas
Konsentrasi fraksi metanol, etilasetat, dan n-heksana daun
.
b. Variabel tergantung
Jumlah kematian larva artemia akibat pemberian fraksi metanol,
etilasetat, dan n-heksana daun .
c. Variabel pengacau terkendali
1) Lingkungan tempat percobaan: suhu penetasan artemia 25o-30o C, cahaya dengan sinar lampu 5 watt, air laut buatan dengan kadar garam
3,8 permil.
2) Subyek uji: Umur larva artemia 48 jam.
3) Tanaman: spesies atau varietas tanaman
d. Variabel pengacau tak terkendali
1) Umur tanaman
2) Kondisi patologis larva artemia
+(#(&( ) &(,# !
a. Fraksi n-heksana daun adalah fraksi kental yang diperoleh
dengan maserasi serbuk kering daun menggunakan pelarut
n-heksana.
b. Fraksi etilasetat daun adalah fraksi kental yang diperoleh dengan
maserasi serbuk kering daun menggunakan pelarut etilasetat,
sebelumnya telah dimaserasi dengan n-heksana terlebih dahulu.
c. Fraksi metanol daun adalah fraksi kental yang diperoleh dengan
maserasi serbuk kering daun menggunakan pelarut metanol,
sebelumnya telah dimaserasi dengan heksana dahulu kemudian maserasi
dilanjutkan dengan etilasetat.
d. LC50 adalah konsentrasi fraksi metanol, etilasetat, dan heksana daun
yang menyebabkan kematian 50% pada populasi hewan uji dalam
waktu 24 jam dan merupakan data kuantitatif yang diperoleh dari
20
3 ' # # !( ( #
' # # % #
Daun yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Kebun
Tanaman Obat Kampus III Universitas Sanata Dharma, Paingan, Maguwoharjo,
Depok, Sleman, Yogyakarta.
' # ) #9 ( #
Pelarut yang digunakan dalam penyarian adalah metanol teknis, etil asetat
teknis, dan n-heksana teknis.
* ' # ./(
Bahan yang digunakan dalam uji BST adalah artemia ("
5 , 5 ), air laut buatan berkadar garam 3,8 permil, ragi
& (fermipan), fraksi metanol, etilasetat, dan heksana daun .
8 ' # ( ! . -. # 0 1
Bahan ALB terdiri dari natrium klorida 38 g dalam 1 liter aquadest.
; ' # " ,% ,$ +( ! )(& ()(& 0 1
Kecuali aquadest, bahan untuk KLT yang digunakan sebagai fase gerak
dengan derajat kualitas pro analisis berupa : kloroform, aseton, dietilamin,
, , asam formiat, dietileter, petroleum eter. Reagen yang
digunakan, yaitu pereaksi Dragendorff, pereaksi aluminium klorida, kalium
permanganat 0,32%. Plat KLT dengan Silica gel 60 F254 (Merck, Darmstadt)
sebagai fase diam.
! # !( ( #
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat gelas
(Pyrex), kain hitam, (National), ayakan no 40, (2100), &
& (Janke & Kunkel), neraca analitik (Mettler Tolendo AB 204), aquarium penetasan artemia., lampu 5 watt (Dop), aerator, pipet tetes, flakon,
& ' ' (Djikstra), micropipette (SOCOREX), lempeng kaca, alat-alat gelas (Pyrex), bejana kromatografi, kertas saring, oven (Memmert), lampu UV 254 nm,
alat semprot, pipa kapiler 5 µl.
3 # !( ( #
%(# &( # % #
Determinasi dilakukan di Laboratorium Farmokognosi Fitokimia
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dengan cara membandingkan habitus
tanaman dengan pustaka acuan (Backer, and Bakhuizen van den Brink, 1963).
#$.%).! # - ' #
Daun diperoleh pada bulan September tahun 2011 di Kebun
Tanaman Obat Kampus III Universitas Sanata Dharma, Paingan, Maguwoharjo,
Depok, Sleman, Yogyakarta. Daun yang diambil adalah daun ke-4 sampai ke-5
dari ujung tangkai.
* #$ (#$ # 4 # ) %-. # & -."
Daun dicuci dengan air bersih mengalir, kemudian
diangin-anginkan, setelah daun bersih kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari
22
dipindahkan ke oven dengan suhu 40-45oC untuk dikeringkan, daun dinyatakan kering apabila daun hancur ketika diremas. Selanjutnya dipotong kecil-kecil dan
diserbuk dengan . Serbuk kering daun kemudian diayak dengan ayakan no
mesh 40.
8 & &(
Penyarian yang dilakukan adalah penyarian bertingkat dengan metode
maserasi. Serbuk kering daun ditimbang sebanyak 60 g dan dibagi
menjadi dua masing-masing 30 g kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer
dengan ditambah pelarut n-heksana sebanyak 250 mL. Erlenmeyer ditutup dengan
aluminium foil, lalu diletakkan pada dengan laju konstan 150 rpm selama
24 jam kemudian larutan disaring dengan corong Buchner. Ampas yang diperoleh
pada penyaringan kembali dimaserasi dengan 250 mL n-heksana hingga diperoleh
filtrat yang berwarna pucat. Selanjutnya, disaring kembali dengan corong
Buchner dan ampas dikeringkan pada suhu ruangan hingga terbebas dari pelarut
heksana.
Ampas yang telah bebas dari pelarut heksana kembali di maserasi dengan
250 mL pelarut etilasetat selama 24 jam pada dengan laju konstan 150 rpm
kemudian disaring dengan corong Buchner. Ampas yang diperoleh kembali
dimaserasi dengan 250 mL etilasetat hingga diperoleh filtrat yang berwarna
pucat. Selanjutnya, disaring dengan corong Buchner dan ampas yang diperoleh
dikeringkan kembali sampai terbebas etilasetat.
Ampas kembali diberi perlakuan seperti prosedur sebelumnya, namun
pelarut yang digunakan diganti dengan 250 mL metanol kemudian di letakkan
pada selama 24 jam dengan laju konstan 150 rpm. Saring kembali dengan
corong Buchner dan ampas yang diperoleh kembali ditambah dengan 250 mL
metanol. Maserasi kembali dengan sampai memperoleh filtrat yang
berwarna pucat.
Ketiga fraksi yang dihasilkan masing-masing dipekatkan dengan &
& hingga diperoleh fraksi pekat metanol, etilasetat, dan heksana. Fraksi pekat kemudian dimasukkan dalam oven dengan suhu 50oC untuk memperoleh fraksi kental dengan bobot tetap. Fraksi yang telah diperoleh dihitung
rendemennya. Selanjutnya, fraksi dibuat peringkat konsentrasi untuk pengujian
bioaktivitas terhadap larva artemia.
; /( -(, " (5( & 4 #$ # % ,4
a. Pembuatan ALB
Natrium klorida ditimbang sebanyak 38 g, kemudian dilarutkan
terlebih dahulu di gelas Beaker dengan menambahkan sebagian aquadest.
Larutan natrium klorida kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 1 L,
ditambahkan aquadest sampai tanda.
b. Penetasan Leach
artemia ditetaskan dengan media air laut buatan. Bak
penetasan (aquarium) yang digunakan terdiri dari ruangan yang disekat
menjadi dua bagian, bagian terang dan bagian gelap, dengan lubang pada
sekat 1 cm. Bagian gelap merupakan tempat ditaburkannya artemia
dan ukuran ruangnya lebih kecil dibanding bagian terang. Bagian terang
24
jam, kemudian menjadi larva. Larva yang aktif akan bergerak menuju
tempat yang terang melalui lubang pada sekat. Larva yang aktif digunakan
untuk uji BST setelah berumur 48 jam.
c. Pembuatan larutan sampel dan kontrol
Pembuatan larutan stok dengan konsentrasi 0,1% (1000 µg/ml)
dilakukan dengan melarutkan 10 mg tiap fraksi n-heksana, etilasetat, dan
metanol dalam 10 mL pelarut masing-masing fraksi. Larutan sampel
fraksi n-heksana dan etilasetat dibuat dengan mengambil volume tertentu
dari stok masing-masing dan ditambahkan pelarut masing-masing hingga
tanda 5 ml pada labu ukur seperti yang terlihat pada tabel II.
- ! ( ",#& # &( ! . # & %) ! + "&( # ' "& # 4 # (! &
Larutan sampel fraksi metanol dibuat dengan mengambil volume
tertentu dan ditambahkan metanol hingga tanda 5 ml pada labu ukur
seperti yang terlihat pada tabel III.
- ! ( ",#& # &( ! . # & %) ! + "&( % #,!
Masing-masing larutan dengan konsentrasi tersebut dimasukkan
kedalam flakon, yang telah diberi tanda 5 ml terlebih dahulu sebelumnya.
Kemudian dikeringkan di dalam oven dengan suhu 50oC, sedangkan kontrol dibuat dengan memasukkan masing-masing pelarut yakni metanol,
etilasetat, dan heksana ke dalam flakon sebanyak 5 mL kemudian
dikeringkan di dalam oven dengan suhu 50oC. Replikasi sebanyak 6 kali. d. Uji bioaktivitas pada larva artemia
Uji bioaktivitas dilakukan pada larva artemia berumur 48 jam,
masing-masing 10 ekor larva artemia diambil secara random kemudian
dimasukkan ke dalam flakon yang telah dikeringkan sebelumnya. Flakon
di isi dengan 3 mL air laut buatan terlebih dahulu kemudian divortex. Ragi
ditambahkan 1 tetes (3mg ragi dalam 5mL ALB) pada tiap flakon sebagai
makanan. Tambahkan ALB kembali sampai volume 5 mL untuk tiap
flakon.
Pengamatan dilakukan 24 jam terhadap kematian larva artemia
setelah diberi perlakuan. Analisis data dilakukan untuk mencari LC50
dengan analisis probit dengan tingkat kepercayaan 95%.
= 4 # (+(" &( $,!,#$ # & #9 2 + "&(
Fraksi dengan toksisitas tertinggi (LC50 paling rendah) dilakukan
identifikasi golongan senyawa dengan cara memisahkan kandungan senyawa
bioaktif menggunakan analisa Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Identifikasi
dengan KLT digunakan plat silika gel 60 F254 sebagai fase diam. Fraksi daun
ditotolkan pada jarak ± 1 cm dari tepi bawah plat dengan pipa
kapiler kemudian dikeringkan dan dielusi dengan masing-masing fase gerak
26
jarak pengembangan, elusi dihentikan. Bercak pada permukaan plat diperiksa
di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 nm ataupun menggunakan
pereaksi tertentu, kemudian diamati pada masing-masing hasil bercaknya.
Pengembang dan pereaksi penguji masing-masing golongan senyawa
adalah sebagai berikut:
1) Golongan senyawa alkaloid: digunakan fase gerak campuran
kloroform-aseton-dietilamina (5:4:1) (Waksmundzka-Hajnos, Sherma, and
Kowalska, 2008). Pereaksi Dragendorff digunakan untuk mendeteksi
adanya alkaloid yang ditunjukkan dengan bercak coklat jingga (Wagner,
Brady, and Zgainski, 1984).
2) Golongan senyawa flavonoid: digunakan fase gerak campuran
--asam formiat (36:9:5) (Waksmundzka-Hajnos ., 2008).
Pereaksi yang digunakan adalah aluminium klorida yang menunjukkan
bercak kuning (Wagner , 1984).
3) Golongan senyawa asetogenin: digunakan fase gerak campuran
dietileter-petroleum eter (2:3) dengan pereaksi kalium permanganat 0,32% yang
menghasilkan bercak kuning (Waksmundzka-Hajnos ., 2008).
# !(&(&
Data persentase kematian larva artemia yang diperoleh dianalisis
menggunakan analis probit untuk menghitung LC50 dengan tingkat kepercayaan
95%. Perhitungan statistik dilakukan dengan menggunakan program statistik
SPSS.
% kematiaan ditentukan dengan rumus 6 :
% Kematian = !" # $ %$&
28
%(# &( # % #
Determinasi bertujuan untuk memastikan kebenaran tanaman
yang digunakan dalam penelitian. Determinasi dilakukan dengan mencocokan
ciri-ciri morfologi tumbuhan dengan menggunakan kunci determinasi menurut
pustaka acuan (Backer and Bakhuizen van den Brink, 1963).
Berdasarkan determinasi yang telah dilakukan diperoleh bahwa
tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benar tumbuhan
(lampiran 1).
#$.%).! # ' #
Daun yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari
Kebun Tanaman Obat Kampus III Universitas Sanata Dharma, Paingan,
Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta pada bulan September tahun 2011.
Pengambilan daun dilakukan dengan mengambil daun ke-4 sampai ke-5 dari
ujung tangkai dengan tujuan agar daun yang digunakan memiliki umur yang
relatif sama sehingga kadar senyawa aktifnya tidak berbeda secara bermakna
(Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 1985).
Daun kemudian dibersihkan dan dicuci dengan air mengalir
agar tanah dan pengotor lainnya yang melekat pada daun dapat terlepas serta tidak
menempel lagi. Kemudian daun diangin-anginkan untuk selanjutnya di keringkan
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
3 #$ (#$ # 4 # %-. # -."
Pengeringan daun dilakukan dibawah sinar matahari dengan ditutupi
kain hitam agar daun tidak terpapar sinar matahari secara langsung karena
dikhawatirkan dapat terjadi kerusakan maupun perubahan kimia dari senyawa
yang terkandung dalam tanaman. Pengeringan bertujuan untuk mempermudah
pembuatan serbuk, menurunkan kadar air sehingga tidak ditumbuhi jamur, dan
menjamin agar kualitasnya tetap baik sehingga dapat disimpan dalam waktu yang
lebih lama selain itu dapat meminimalkan reaksi enzimatis serta perubahan
kimiawi sehingga senyawa aktif yang terkandung dalam daun tidak
berubah (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 1986).
Daun yang telah di keringkan di bawah sinar matahari kemudian
dikeringkan kembali dengan oven untuk memperoleh simplisia yang benar-benar
kering. Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 30o sampai 90oC, tetapi suhu yang terbaik adalah tidak melebihi 60oC (Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, 1985). Oleh karena itu, pengeringan dengan
oven dijaga pada suhu 50oC, hal ini untuk menghindari adanya kerusakan senyawa akibat pemanasan.
Pengeringan dapat dihentikan jika kadar air yang terkandung dalam
simplisia kurang dari 10% karena reaksi enzimatis yang dapat menguraikan
30
Makanan Republik Indonesia, 1985). Namun, pada penelitian ini tidak dilakukan
pengukuran kadar air pada daun sehingga proses pengeringan
dihentikan ketika daun sudah dapat hancur dengan mudah ketika diremas, hal ini
diasumsikan bahwa kadar air yang terdapat dalam daun sudah rendah sehingga
daun mampu dihancurkan dengan diremas. Sebaliknya, jika kadar air dalam daun
masih tinggi, maka daun dalam keadaan yang lembab dan sulit dihancurkan
dengan diremas.
Simplisia yang telah kering diserbuk menggunakan . Serbuk
yang telah di kemudian diayak dengan ayakan no mesh 40 untuk
mendapatkan serbuk yang lebih halus. Pembuatan serbuk ini dilakukan untuk
memperluas permukaan kontak partikel dengan cairan penyari sehingga
kandungan kimia yang terlarut dalam proses penyarian lebih banyak dan
penyarian dapat berlangsung lebih sempurna (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1986).
& &(
Penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif yang semula
berada di dalam sel ditarik oleh cairan penyari sehingga di dalam cairan penyari
terdapat zat aktif. Maserasi merupakan cara penyarian yang dilakukan dengan
merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Penyarian dengan cara maserasi
perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar serbuk
simplisia sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya perbedaan
konsentrasi yang sebesar-besarnya antara larutan dalam sel dengan larutan diluar
sel. Makin besar perbedaan konsentrasi, makin besar pula daya dorong untuk
memindahkan massa dari dalam sel ke dalam cairan penyari (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 1986). Penelitian ini menggunakan metode
maserasi karena metode penyarian ini memiliki kelebihan dibanding metode
penyarian yang lain yaitu alat yang digunakan sederhana dan dapat digunakan
untuk menyari senyawa yang tidak tahan panas.
Penyarian yang dilakukan adalah penyarian bertingkat dimana
menggunakan cairan penyari yang memiliki tingkat kepolaran dari nonpolar
sampai polar yaitu n-heksana, etilasetat, dan metanol. Penyarian bertingkat sendiri
bertujuan untuk menyari senyawa-senyawa berdasarkan sifat kesamaan polaritas
dengan penyarinya.
Maserasi dilakukan dengan memasukkan ke dalam bejana 10 bagian
simplisia dengan derajat halus yang cocok kemudian dituangi dengan 75 bagian
cairan penyari. Maserasi dengan menggunakan mesin pengaduk yang berputar
terus menerus dilakukan 6 sampai 24 jam (Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 1986). Penelitian ini menggunakan 30 gram serbuk daun dan
250 ml cairan penyari yang dimasukkan dalam Erlenmeyer yang ditutup dengan
aluminium foil diseluruh bagiannya agar cairan penyari tidak menguap terlebih
dahulu dan menghindari masuknya sinar matahari karena dikhawatirkan ada
senyawa-senyawa yang bersifat fotosensitif sehingga mudah rusak dan berubah
akibat adanya sinar matahari. Erlenmeyer kemudian diletakkan pada mesin
pengaduk ( ) dengan laju konstan 150 rpm selama 2 x 24 jam dengan tiap 24
32
penyari dan mempercepat proses penyarian senyawa kedalam cairan penyari.
Mesin pengaduk diatur pada laju 150 rpm karena pada kecepatan tersebut semua
serbuk dapat tergojog sehingga kontak dengan cairan penyari terjadi terus
menerus maka diharapkan penarikan senyawa lebih optimal. Penyarian dilakukan
2 x 24 jam untuk memastikan senyawa yang terdapat dalam daun sudah
tersari semuanya yang ditunjukkan dengan warna cairan penyari yang lebih
bening pada penyarian kedua.
Proses maserasi dengan cairan penyari n-heksana diperoleh maserat
sebanyak 950 ml yang kemudian di evaporasi dengan & &
untuk memperoleh fraksi pekat. Tekanan pada alat diatur 335 mmHg untuk
n-heksana. Fraksi pekat yang dihasilkan kemudian di masukkan ke dalam oven
dengan suhu 50oC untuk memperoleh fraksi kental yang memiliki bobot tetap dengan menggunakan cawan porslen yang telah ditara sebelumnya. Prinsip
& & adalah dengan menurunkan tekanan sehingga cairan penyari dapat menguap pada suhu dibawah titik didihnya oleh karena itu senyawa
yang tersari didalamnya tidak rusak oleh suhu tinggi. Begitu pula dengan suhu
oven dijaga 50oC untuk menghindari rusaknya senyawa akibat panas yang terlalu tinggi.
Penyarian dengan n-heksana diperoleh fraksi kental sebanyak 2,34 g
dengan persen rendemen sebesar 3,9%. Cawan porselen yang berisi fraksi kental
ditutup dengan aluminium foil dan disimpan di dalam desikator. Dalam desikator
tidak ada lembab dan udara yang masuk, yang dapat memungkinkan terjadinya
perubahan senyawa dalam fraksi tersebut atau dapat merusak senyawa oleh
adanya bakteri atau jamur. Selain itu, didalam desikator terdapat silica yang dapat
juga menarik sisa air yang mungkin masih tertinggal dalam fraksi karena proses
pengeringan yang kurang sempurna.
Ampas hasil maserasi dikeringkan pada suhu ruangan dengan tujuan
mengilangkan sisa n-heksana sehingga dapat dilanjutkan maserasi dengan
menggunakan cairan penyari selanjutnya yaitu etilasetat. Penyarian dengan
etilasetat diperoleh maserat sebanyak 920 mL yang kemudian di evaporasi dengan
& & untuk memperoleh fraksi kental. Tekanan pada alat diatur 240 mmHg untuk etilasetat. Fraksi kental yang dihasilkan kemudian di
masukkan ke dalam oven dengan suhu 50oC untuk memperoleh fraksi kental yang memiliki bobot tetap dengan menggunakan cawan porslen yang telah ditara
sebelumnya. Penyarian dengan etilasetat diperoleh fraksi kental sebanyak 2,14 g
dengan persen rendemen sebesar 3,57%. Cawan porselen yang berisi fraksi kental
ditutup dengan aluminium foil dan disimpan di dalam desikator.
Ampas hasil maserasi kembali dikeringkan pada suhu ruangan untuk
menghilangkan sisa etilasetat sehingga dapat dilanjutkan maserasi dengan
metanol. Penyarian dengan metanol diperoleh maserat sebanyak 460 mL yang
kemudian di evaporasi dengan & & untuk memperoleh fraksi kental. Tekanan pada alat diatur 337 mmHg untuk metanol. Sama dengan
perlakuan fraksi sebelumnya, fraksi kental yang dihasilkan kemudian di masukkan
ke dalam oven dengan suhu 50oC untuk memperoleh fraksi kental yang memiliki bobot tetap dengan menggunakan cawan porslen yang telah ditara sebelumnya.
34
rendemen sebesar 3,23%. Cawan porselen yang berisi fraksi kental ditutup dengan
aluminium foil dan disimpan di dalam desikator.
%- ; " % ' &(! + "&(# &(
/( (, " (5( & 4 #$ # ,4
1. Pembuatan ALB
ALB merupakan media pertumbuhan bagi larva artemia. Pada
penelitian ini ALB dikondisikan sesuai dengan lingkungan hidup larva artemia
yaitu air laut dengan kadar garam (salinitas) tinggi. Di laut terbuka salinitas
biasanya berjangka antara 32% dan 37,5%. Salinitas 32% artinya ekuivalen
dengan 32 gram natrium klorida/1000 ml aquadest (McConnaughey and
yaitu 38 gram natrium klorida dalam 1 liter aquadest (McLaughlin and
Rogers, 1998).
Artemia dapat hidup di perairan dengan kadar garam antara 1-300 per
mil (Mudjiman,1989). Kadar garam pada penelitian adalah 3,8 per mil yang
artinya dalam 1 ml aquadest terdapat 3,8 mg natrium klorida. Apabila terjadi
peningkatan kadar garam dari 3,8 per mil menjadi 35 per mil pun tidak akan
mempengaruhi kehidupan artemia karena toleransinya yang tinggi terhadap
perubahan kadar garam. Hal ini disebabkan karena kelenjar garam artemia
yang dapat mengatur penyesuaian diri terhadap perubahan kadar garam.
Dalam penelitian ini tidak digunakan air laut salinitas lebih tinggi dari 38%
karena kondisi penelitian sudah dikendalikan tanpa adanya pemangsa dan
artemia sudah dapat berkembang dengan baik pada salinitas tersebut.
2. Penetasan artemia
artemia ditetaskan dengan media air laut buatan. ALB terlebih
dahulu diaerasi selama 2 jam untuk meningkatkan ketersediaan oksigen
sehingga diharapkan kadar oksigen dapat mencapai lebih dari 2 mg/L yang
berguna dalam penetasan . Sebelumnya, terlebih dahulu dicuci
dengan air bersih untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel pada
.
yang sudah bersih kemudian direndam dalam aquades selama
kurang lebih 1 jam. Tujuan perendaman adalah untuk mengaktifkan kembali
36
pengurangan kadar air akibat proses osmose atau penguapan. Dengan
perendaman terjadi penyerapan air kembali sehingga dalam waktu satu jam
kadar air dalam diperkirakan sudah mencapai lebih dari 65%, yang
mengakibatkan metabolisme embrio yang semula berada dalam keadaan
# menjadi aktif kembali. Setelah direndam kemudian disaring, ditiriskan dan didiamkan selama satu jam untuk mengurangi sisa-sisa
aquadest.
ditaburkan dalam aquarium yang telah di desain khusus untuk
kondisi percobaan BST. Aquarium terdiri dari 2 bagian ruang yaitu bagian
gelap dan terang yang dibatasi oleh sekat berlubang. Pada bagian terang
disinari dengan lampu 5 watt, hal ini bertujuan untuk memberikan cahaya bagi
larva yang baru menetas dan menjaga suhu sekitar aquarium. Siste ditaburkan
pada bagian gelap. Penetasan menjadi larva berlangsung selama 24-36
jam. Saat menetas, larva yang aktif akan bergerak bagian yang terang karena
artemia memiliki sifat positif.
Larva yang telah menetas kemudian dipindahkan dengan pipet tetes ke
dalam aquarium yang berisi ALB dengan salinitas yang sama seperti ALB
pada aquarium sebelumnya. Hal ini bertujuan agar umur larva yang akan
digunakan pada saat penelitian sama yaitu 48 jam. Larva artemia yang
digunakan berumur 48 jam karena pada umur ini larva memiliki sensitivitas
maksimal terhadap fraksi yang memiliki aktivitas sitotoksik.
Larva yang berumur lebih dari 48 jam telah terselubung membran yang
terbentuk dari kitin yang disebut karapak, membran ini akan menghalangi
masuknya senyawa ke dalam tubuh larva. Sedangkan larva yang berumur
kurang dari 48 jam, organ tubuhnya belum memiliki struktur yang sempurna
sehingga mudah mati bukan karena senyawa yang diberikan melainkan tidak
mampu beradaptasi dengan lingkungannya sehingga kurang tepat digunakan
sebagai hewan uji. Sebenarnya, larva yang berumur 48 jam juga telah
terselubungi membran namun masih sangat tipis sehingga masih dapat
ditempus oleh senyawa antikanker. Selain itu, larva yang berumur 48 jam
berada pada tahap instar II dimana pada tahap ini larva sudah memiliki mulut,
saluran pencernaan dan dubur sehingga senyawa dapat mempengaruhi larva
artemia melalui 2 cara, yaitu menembus membran dan melalui saluran
pencernaan.
3. Pembuatan larutan sampel
Larutan sampel dibuat dengan melarutkan masing-masing fraksi kental
dengan cairan penyarinya. fraksi dilarutkan dalam cairan penyarinya sendiri
agar kelarutannya sempurna. Konsentrasi yang digunakan untuk penelitian
berbeda untuk setiap sampel fraksi, hal ini berdasarkan data hasil orientasi
dengan konsentrasi 10, 100 dan 1000 µg/mL yang menunjukkan bahwa tiap
fraksi memiliki aktivitas yang berbeda pada konsentrasi yang berbeda.
Fraksi n-heksana dan etilasetat dibuat peringkat konsentrasi 10, 17, 29,
49 dan 84 µg/mL. Fraksi metanol dibuat peringkat konsentrasi 100, 170, 290,
490 dan 840 µg/mL. Seri konsentrasi tersebut dibuat kelipatan karena
merupakan syarat analisis probit, kelipatan dihitung dengan rumus F (lampiran
38
Sebelumnya, flakon dicuci bersih dahulu dengan sabun untuk membersihkan
kotoran yang menempel, kemudian dibilas dengan aquadest panas untuk
menghilangkan sisa sabun yang mungkin masih tertinggal. Flakon juga telah
ditandai terlebih dahulu pada volume 5 mL dengan cara memasukkan 5 mL
aquadest dengan menggunakan pipet volume. Penggunaan pipet volume
dimaksudkan memiliki ketelitian yang lebih tepat sehingga konsentrasi sampel
saat pengujian tepat.
Tiap fraksi yang telah dimasukkan ke dalam flakon kemudian
dikeringkan ke dalam oven pada suhu 50oC sehingga fraksi kering akan menempel pada flakon. Flakon yang telah berisi fraksi kering dengan
konsentrasi tertentu inilah yang nantinya akan diuji pada larva artemia.
Kontrol juga diperlakukan sama seperti proses pembuatan sampel
namun pada kontrol tidak digunakan fraksi melainkan cairan penyari saja.
Kontrol yang digunakan adalah kontrol negatif. Kontrol dipakai untuk
mengkoreksi kemungkinan timbulnya efek pelarut yang tidak dikehendaki
yaitu penguapan yang belum sempurna. Apabila dalam pengamatan terjadi
kematian pada kontrol, maka persen kematian ditentukan dengan rumus
6 .
4. Uji bioaktivitas pada larva artemia
Fraksi yang telah dipersiapkan dengan konsentrasi tertentu pada flakon
akan diuji pada larva artemia. Hewan uji yang dipilih adalah larva artemia
karena memiliki kesamaan tanggapan dengan sel mamalia. Aktivitas fraksi
dilihat dari kematian larva artemia, hal ini untuk menunjukkan seberapa besar
kemampuan (konsentrasi) fraksi untuk dapat menyebabkan kematian pada
larva yang ditunjukkan dengan nilai LC50.
Flakon terlebih dahulu diisi dengan 3 mL ALB yang telah diaerasi
sebelumnya selama 1 jam. ALB perlu diaerasi untuk memastikan ketersediaan
oksigen bagi larva udang didalam flakon sehingga kematian larva bukan
akibat kekurangan oksigen. Flakon kemudian divortex untuk memastikan
fraksi dapat terdistribusi merata ke dalam ALB. Tiap flakon diisi dengan larva
artemia yang telah berumur 48 jam kemudian ditambahkan 1 tetes suspensi
ragi sebagai makanan larva artemia. Suspensi ragi dibuat dengan melarutkan 3
mg ragi dalam 5 mL ALB (Meyer , 1982). Aquadest ditambahkan hingga
tanda untuk mencapai volume 5 mL.
Ragi yang ditambahkan cukup 1 tetes saja dan tidak boleh berlebihan
karena larva artemia memakan apa saja yang berukuran kecil. Apabila
persediaan makanan berlebih, jumlah makanan yang ditelan juga berlebih,
akibatnya makanan yang belum sempat dicerna dengan sempurna terdesak
oleh makanan baru yang masuk terus menerus dalam jumlah banyak sehingga
makanan tersebut keluar lagi dari usus dalam keadaan belum tercerna dengan
baik, dan belum sempat terjadi penyerapan sari oleh usus. Hal ini dapat
menyebabkan kematian pada larva (Mudjiman, 1989). Oleh karena itu untuk
menghindari kematian larva akibat faktor pemberian jumlah makanan, maka
jumlah makanan dikontrol dengan pemberian hanya 1 tetes saja.
Flakon diletakkan di dalam kardus yang disinari dengan lampu 5 7
40
terhindar dari serangga yang masuk ke dalam flakon. Pengamatan dilakukan
24 jam setelahnya, jumlah kematian larva dihitung namun dalam pengamatan
akan lebih mudah dengan melihat jumlah larva yang masih hidup. Larva yang
masih hidup akan bergerak, sekecil apapun gerakan tersebut. Larva tidak
mungkin diam karena antena larva selain sebagai alat gerak juga digunakan
sebagai alat pernafasan. Setelah diperoleh jumlah kematian pada larva,
kemudian dihitung persen kematian pada tiap perlakuan seri konsentrasi
menggunakan rumus Abbot karena masih terdapat kematian pada kontrol.
- ! & # " % ( # ! 5 %( + "&( # ' "& # (! & 4 # % #,! 4 .#
Fraksi n-heksana Fraksi etilasetat Fraksi metanol
Konsentrasi
Persentase kematian yang diperoleh berbanding lurus dengan konsentrasi
fraksi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi fraksi maka
semakin besar pula % kematian. Bioaktivitas dilihat dari kemampuan fraksi
yang menyebabkan kematian 50% pada larva, semakin rendah konsentrasi
fraksi semakin bioaktif pula fraksi tersebut karena dengan konsentrasi yang
rendah saja fraksi sudah mampu mempengaruhi larva artemia dan
menyebabkan kematian.
Berdasarkan data (tabel IV), tiap fraksi memiliki bioaktivitas terhadap
larva jika dilihat dari persen kematiannya, maka konsentrasi yang
menyebabkan kematian 50% pada hewan uji berada pada rentang tertentu,
fraksi n-heksana berada diantara konsentrasi 29-49 µg/ml, fraksi etilasetat
berada pada rentang konsentrasi 17-29 µg/ml, fraksi metanol berada pada
rentang konsentrasi 170-290 µg/ml. Oleh karena itu untuk memperoleh nilai
LC50 yang lebih tepat maka data dianalisis dengan analisis probit
menggunakan Program SPSS 16.00.
Penentuan LC50 digunakan metode probit digunakan karena analisis ini
dapat mengamati pengaruh konsentrasi terhadap efek yang terjadi, selain itu
dengan analisis probit nilai regresi yang dihasilkan merupakan garis lurus
sehingga memudahkan penentuan nilai LC50. Apabila % kematian diplotkan
langsung dengan konsentrasi maka akan diperoleh kurva yang berbentuk
sigmoid sehingga penentuan nilai LC50 menjadi kurang tepat. Pada analisis
probit konsentrasi ditransformasikan menjadi logaritma konsentrasi sebagai
variabel bebas (absis) dan persentase kematian larva ditransformasikan
menjadi nilai probit sebagai variabel tergantung (ordinat) sehingga kurva yang
diperoleh berbentuk linear.
Persamaan garis linear diperoleh setelah data dianalisis dengan program
SPSS 16.00, yaitu Y=3,892x–6,17 untuk analisis probit fraksi n-heksana daun
(gambar 5). Kurva (gambar 5) menunjukkan adanya hubungan
antara konsentrasi dengan respon kematian yang ditandai dengan
42
%- = . 5 '.-.#$ # #(! ( ) ,-( 5 &.& !,$ ",#& # &( + "&( # ' "& # 4 .#
Nilai Rsq yang diperoleh sebesar 0,955. Nilai Rsq merupakan koefisien
determinasi yang mengukur tingkat ketepatan dari regresi linier sederhana,
yaitu merupakan persentase sumbangan X terhadap variasi Y (Supranto,
1986). Jika Rsq = 1 mempunyai arti bahwa model yang sesuai menerangkan
semua variabilitas dalam varibel tergantung (Y) sehingga nilai Rsq = 0,955
pada kurva dapat diartikan bahwa sebesar 95,5% variasi dari varibel
tergantung / respon (jumlah kematian artemia) dapat diterangkan dengan
variabel bebas (konsentrasi fraksi n-heksana), sedangkan sisanya 4,5%
dipengaruhi oleh varibel-variabel yang tidak diketahui atau variabel inheren.
Nilai Rsq yang diperoleh mendekati 1, hal ini menunjukkan bahwa jumlah
kematian artemia dapat diterangkan oleh variabel bebas dengan baik.
Nilai Rsq yang telah diperoleh dapat digunakan untuk menghitung nilai
R yaitu akar kuadrat dari Rsq. Nilai R merupakan koefisien korelasi dalam
hubungan dua variabel bebas dan variabel tergantung yang mengukur kuatnya