• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN TEKNIS PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN TEKNIS PENELITIAN"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN TEKNIS PENELITIAN

Penelitian Kelimpahan Stok dan Bioekologi Sumberdaya

Ikan di Estuari Berau, Kalimantan Timur

(KPP PUD 436)

Tahun Anggaran 2015

BALAI PENELITIAN PERIKANAN PERAIRAN UMUM

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERIKANAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015

(2)

ii

Abstrak

Perairan Delta Berau memiliki potensi sumber daya perairan seperti ikan, kerang, udang maupun jenis biota lain yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Menurut Julianery (2001) budidaya laut di Perairan Delta Berau diperkirakan mempunyai potensi sebesar 2.500 hektar dengan potensi penangkapan sebesar 35.000 ton per tahun. Pesatnya kegiatan pembangunan di kawasan Delta Berau seperti areal pemukiman, perikanan/ tambak, anjungan minyak, pelayaran sungai, serta kegiatan penebangan hutan mangrove untuk berbagai kebutuhan, menimbulkan tekanan ekologis terhadap ekosistem delta Berau, khususnya ekosistem mangrove. Sampai seberapa jauh potensi produksi sumberdaya ikan di estuari Berau (delta Berau) belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data dan informasi biologi, ekologi, jenis-jenis biota sumberdaya ikan dan kualitas air lingkungan hidupnya di perairan estuari Berau. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data dan informasi biologi, ekologi, jenis-jenis biota sumberdaya ikan dan kualitas air lingkungan hidupnya di perairan estuari Berau. Penelitian dilakukan pada Tahun Anggaran 2015 di estuari Berau Kalimantan Timur, sampling dilakukan sebanyak empat kali yang mewakili musim kemarau dan musim penghujan. Ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan adalah: Penelitian ini akan dilakukan selama 2 tahun, Biologi spesies dominan, Keanekaragaman jenis ikan dan biota air lainnya, Pendugaan stok ikan dengan metoda akustik dan pukat tarik, Kondisi lingkungan perairan, dan Wawancara dengan nelayan tentang perubahan penangkapan dan kondisi lingkungan terhadap sumberdaya ikan. Hasil penelitian: Biota hasil tangkapan dari empat kali pengambilan contoh (Februari, Mei, Agustus dan Oktober) teridentifikasi sebanyak 111 spesies yang meliputi 51 famili. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa luas perairan estuari Berau yang disurvei adalah ± 167 mil2. Nilai biomassa total perairan estuari Berau adalah 457 ton dengan kepadatan 1,3 ton/km2. Hasil analisis terhadap struktur komunitas ikan di perairan estuari Berau, adalah: nilai indeks keanekaragaman (H’): 2,99, nilai ini masuk dalam kriteria keanekaragaman sedang mendekati tinggi, indeks keseragaman (E): 0,67, yang menunjukkan komunitas yang labil dan indeks dominansi spesies (C): 0,08 atau dominansi spesies yang rendah. Kelimpahan fitoplankton Februari 2015 berkisar antara 70 – 398 sel/L dan bulan Mei 2015 berkisar antara 67 – 389 sel/L. Kelimpahan plankton ini tergolong cukup rendah. Hal ini diduga karena tipe perairan estuari Berau tergolong dalam perairan yang oligotrofik. Kelimpahan zooplankton pada Februari berkisar 19 - 250 ind/L dan Mei 2015 berkisar antara 12 – 123 ind/L. Indeks keanekaragaman fitoplankton pada trip 1 bulan Februari 2015 berkisar antara 1,36 - 2,29 dan bulan Mei berkisar antara 1,93 - 2,28. Sedangkan indeks keanekaragaman zooplankton pada trip 2 bulan Februari berkisar 0,83 - 2.15 dan bulan Mei berkisar 0,91 – 1,65. Berdasarkan kriteria indeks keanekaragaman seluruh nilai yang terhitung berada dalam kategori rendah dan sedang karena memiliki nilai keanekaragaman kurang dari 3. Makrozoobentos yang ditemukan bulan Februari 2015 penelitian terdiri dari 6 kelas, 24 famili, 28 genera. Komposisi kelas makrozoobentos terdiri dari Crustacea (1%), Oligochaeta (16%), Polychaeta (7%), Bivalvia (27%), Gastropoda (26%), Scaphopoda (24%). Komposisi kelas yang paling mendominasi adalah Bivalvia, Gastropoda dan Scaphopoda. Pada Mei 2015, makrozoobentos ditemukan 4 kelas, 25 famili dan 32 genera. Komposisi makrozoobentos terdiri dari Bivalvia (27%), Gastropoda (55%), Polychaeta (2%) dan Scaphopoda (16%). Bulan Agustus 2015, ditemukan makrozoobentos yang terdiri dari 7 kelas, 47 famili dan 48 genera. Komposisi makrozoobentos terdiri dari Polychaeta (31%), Oligochaeta (0,1%), Amphipoda (1,2%), Copepoda (0,4%), Scaphopoda (15%), Bivalvia (21%) dan Gastropoda (32%). Berdasarkan hasil penelitian 2015 dan hasil-hasil penelitian sebelumnya kualitas perairan di estuari Berau masih tergolong baik dan layak untuk kehidupan biota air.

(3)

1

I. LATAR BELAKANG I.1. Latar Belakang

Kabupaten Berau memiliki luas wilayah 34.127,47 km2, yang terdiri dari: daratan 22.030,81 km2, laut 12.299,88 km2, 52 pulau besar dan kecil dengan 13 Kecamatan, 10 Kelurahan, 96 Kampung/ Desa. Jika ditinjau dari luas wilayah, luas Kabupaten Berau adalah 13,92% dari luas wilayah Kalimantan Timur, dengan prosentase luas perairan 28,74%. Jumlah penduduknya pada tahun 2011 sebesar 191.807 jiwa dengan laju pertumbuhan 7,11%. Daerah pesisir Kabupaten Berau terletak di Kecamatan Biduk-Biduk, Talisayan, Pulau Derawan dan Maratua yang secara geografis berbatasan langsung dengan laut (BPS, 2010).

Perairan Delta Berau memiliki potensi sumber daya perairan, seperti: ikan, kerang, udang dan jenis biota lain yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Budidaya laut di perairan Delta Berau diperkirakan mempunyai potensi sebesar 2.500 hektar dengan potensi penangkapan sebesar 35.000 ton per tahun. Kabupaten Berau dialiri oleh 21 sungai besar dan kecil. Sungai Kelay merupakan sungai terpanjang di Kabupaten Berau yang mengalir dari pegunungan sekitar Gunung Mantan, sepanjang 254 kilometer sampai pada pertemuan dengan Sungai Segah yang membentuk Sungai Berau di Tanjung Redeb (BPS, 2010). Beberapa penelitian di Delta Berau lebih banyak membahas masalah sedimentasi, logam berat pada moluska dan organisma bentik (Arifin et al, 2010; Afriansyah, 2009), dinamika perubahan mangrove menjadi tambak dan tingkat kekeruhan yang terjadi di Delta Berau (Kompas, 2008) dan sosial ekonomi nelayan (Sugiharto et al, 2013). Informasi tentang sumberdaya perikanan di Estuari Berau belum banyak didapat.

Komoditas Perikanan merupakan salah satu produk unggulan dari Kabupaten Berau. Beberapa kecamatan yang memiliki daerah perairan menjadikan perikanan sebagai mata pencaharian. Perikanan dibagi menjadi dua, yaitu: perikanan laut dan darat. Produksi perikanan laut terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi perikanan tersebut berkisar 14.000 ton per tahun. Pada tahun 2011 produksi ikan segar sebanyak 15.509,80 ton yang mengalami peningkatan dibanding tahun 2010 yaitu sebesar 14.922,40 ton.

Kawasan Konservasi Laut (KKL) Kabupaten Berau mencakup seluruh perairan laut Berau yaitu seluas 1,2 juta hektar. Konsep KKL Berau mendapat persetujuan DPRD Kabupaten Berau pada 14 Desember 2005 dan selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2005 Bupati Berau mengeluarkan Peraturan Bupati (Perbup) No.31 Tahun 2005 tentang Kawasan Konservasi Laut Kabupaten Berau. KKL Berau

(4)

2 merupakan kawasan pesisir termasuk pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya yang memiliki sumberdaya hayati dan karakteristik sosial budaya spesifik yang dilindungi secara hukum. Salah satu fungsi KKL adalah sebagai daerah perlindungan habitat dan spesies ikan. Dengan demikian KKL diharapkan dapat berfungsi sebagai ’bank’ sumberdaya perikanan yang dapat mendukung peningkatan dan keberlanjutan pendapatan masyarakat, khususnya nelayan.

Perairan Berau memiliki beberapa karakteristik yang menonjol seperti adanya danau air laut di Pulau Kakaban, tempat makan dan bertelurnya penyu, dan keberadaan hutan mangrove. Perairan Estuari Berau menghadapi masalah degradasi yang diakibatkan oleh kegiatan manusia, seperti: penangkapan ikan yang merusak lingkungan (penggunaan bom dan racun sianida), trawl ilegal, perangkap penyu ilegal, penjarahan penyu dan telurnya, perusakan mangrove, penangkapan ikan berlebih, pencemaran dan penangkapan ikan oleh nelayan pendatang dari luar. Pesatnya kegiatan pembangunan di kawasan Delta Berau seperti areal pemukiman, perikanan/ tambak, anjungan minyak, pelayaran sungai, serta kegiatan penebangan hutan mangrove untuk berbagai kebutuhan, sehingga menimbulkan tekanan ekologis terhadap ekosistem Delta Berau, khususnya ekosistem mangrove (Dinas Perikanan Kalimantan Timur, 2010). Sampai seberapa jauh potensi produksi di estuari Berau (Delta Berau) belum banyak diketahui. Penelitian Bioekologi dan Stok Ikan-ikan Dominan di Estuari Berau, Kalimantan Timur akan memberikan gambaran tentang sumberdaya ikan di perairan tersebut.

Plankton merupakan salah satu organisme yang ada di perairan. Secara umum dibedakan menjadi fitoplankton dan zooplankton. Pada ekosistem perairan alami, siklus produksi dimulai oleh produsen. Produsen adalah organisme autotrof yang mampu mensintesa bahan organik yang berasal dari bahan anorganik melalui proses fotosintesis dengan bantuan cahaya matahari. Pada jaring-jaring makanan fitoplankton sebagai produsen primer kemudian dimanfaatkan oleh konsumen pertama yaitu zooplankton. Menurut Handayani dkk (2005), fungsi zooplankton sebagai mata rantai antara produsen primer dengan ikan karnivora besar atau ikan karnivora kecil dan hal ini sangat penting dalam rantai makanan dan ekosistem suatu perairan.

Perubahan yang terjadi pada lingkungan akan mempengaruhi keberadaan zooplankton secara langsung maupun tak langsung. Kelimpahan, Keragaman dan komunitas zooplankton dipakai sebagai indikator biologi dalam menentukan perubahan kodisi suatu perairan.

(5)

3 Kelimpahan zooplankton sangat ditentukan oleh adanya fitoplankton, karena fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton. Kepadatan zooplankton sangat tergantung pada kepadatan fitoplankton, karena fitoplankton adalah makanan bagi zooplankton, dengan demikian kuantitas atau kelimpahan zooplankton akan tinggi di perairan yang tinggi kandungan fitoplanktonnya. Fitoplankton berperan sangat penting dalam perairan sebagai produsen untuk mendukung kehidupan biota perairan. Melalui sistem rantai makanan secara langsung maupun tidak langsung organisme perairan terutama ikan memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energi (Prianto dkk, 2006).

Bentos adalah organisme yang hidup di atas atau di dalam dasar perairan. Bentos dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok nabati yang disebut fitobentos dan kelompok hewani ang disebut zoobentos (Odum, 1971). Berdasarkan ukurannya zoobentos digolongkan kedalam tiga kelompok besar, yaitu: makrozoobentos berukuran besar lebih dari 1 mm, melobentos berukuran antara 0,1-1,0 mm dan mikrobentos berukuran lebih kecil dari 0,1 mm (Barnes dan Hughes, 1999). Makrozoobentos adalah organism yang dapat hidup di habitat substrat sungai, danau, estuari dan perairan laut. Organisme yang termasuk makrozoobentos adalah Coelenterata, cacing tanah, Annelida, Mollusca, Echinodermata, Crustacea dan organism lain (APHA, 1989).

Barnes dan Hughes (1999)menyatakan bahwa berdasarkan keberadaannya di dasar perairan, maka makrozoobentos yang hidupnya merayap di permukaan dasar perairan disebut dengan Epifauna seperti Crustacea dan larva serangga, sedangkan makrozoobentos yang hidup pada substrat lunak di dalam lumpur disebut dengan Infauna, misalnya Bivalvia dan Polychaeta.

I.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data dan informasi biologi, ekologi, jenis-jenis biota sumberdaya ikan dan kualitas air lingkungan hidupnya di perairan estuari Berau.

I.3. Prakiraan Keluaran

a. Gambaran tentang kepadatan stok, struktur komunitas, biologi spesies dominan, parameter populasi, status sebaran dan musim penangkapan, serta aspek lingkungan sumber daya ikan

b. Informasi tentang sumberdaya ikan dan kondisi lingkungan terkini sebagai dasar untuk pengelolaan sumber daya ikan.

(6)

4

I.4.1. Faktor Keberhasilan

Mendapatkan data gambaran perikanan estuari Berau (Delta Berau) yang dapat dijadikan dasar untuk pengelolaan perikanan di Estuari Sungai Berau.

I.4.2. Faktor Resiko

- Faktor alam, badai dan binatang buas

- Sarana prasarana (biaya kapal, akomodasi, dan biaya opearsional yang tinggi).

I.5. Hasil Yang Diharapkan

(1) Diketahui aspek biologi, ekologi spesies dominan, kepadatan stok dan keanekaragaman jenis ikan dan pengaruh perubahan biofisik perairan estuari terhadap sumberdaya ikan (aspek penangkapan musiman, hasil tangkapan dan pendapatan nelayan).

(2) Dapat diprediksinya kondisi Sungai Berau sebagai habitat biota air berdasarkan data-data yang diperoleh dan kecenderungan yang terjadi selama ini.

(3) Hasil yang diperoleh dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan perikanan di Delta Berau.

I.6. Aspek Strategis

Kegiatan ini dapat memberikan data-data sumberdaya perairan Estuari Berau berupa gambaran sumberdaya ikan dan biota air lainnya serta lingkungannya untuk menunjang pengelolaan perikanan dengan memperhatikan kelestarian vegetasi perairan sebagai penunjang kehidupan biota perairan.

I.7. Pelaksanaan Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian melakukan koordinasi dengan instansi terkait, antara lain seperti ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Instansi dan masyarakat terkait kegiatan penelitian

No. Instansi Terkait Wujud Pekerjaan

1. Dinas Perikanan Kabupaten Kalimantan Timur

Penyedia data dan informasi dan koordinasi penelitian

2. UPTD Kelautan dan Perikanan Kecamatan Pulau Derawan

Penyedia data dan informasi dan koordinasi penelitian

3. Nelayan/ masyarakat setempat Penyedia data dan informasi

I.8. Jadwal Kegiatan

Jadwal tahapan pelaksanaan penelitian ditampilkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jadwal tahapan pelaksanaan penelitian

No Rencana kerja Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 Studi Literatur x x x x x

(7)

5

2 Administrasi x x x x x x x x

3 Bahan dan alat x x x x

4 Survei Lapangan x x x x 5 Pengolahan Data x x x x x x x x x 6 Pelaporan x x x x I.9. Pembiayaan

Biaya pelaksanaan penelitian seperti disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Biaya pelaksanaan penelitian

Nomor Jenis Belanja/ Akun Biaya (Rp.000) %

1 Belanja Bahan 21.560,0 7,36

2 Honor 20.000,0 6,83

3 Belanja Sewa 50.000,0 17,07

4 Belanja Perjalanan 201.323,6 68,74

Total 292.883,6 100,00

I.10. Jadwal Rencana Operasional Kegiatan Penelitian

Jadwal rencana operasional kegiatan penelitian seperti disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Jadwal rencana operasional kegiatan penelitian

N0

JADWAL RENCANA Bulan

OPERASIONAL KEGIATAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 Persiapan Pengadaan Bahan x x x x Alat x x x x Rapat operasional x x x 2 Pelaksanaan x x x x Pelaporan x Pengolahan data x x x x x x x x x

(8)

6

II. TINJAUAN PUSTAKA II.1. Estuari

ESTUARI

Estuari berasal dari kata aetus yang artinya pasang-surut. Estuari didefinisikan sebagai badan air di wilayah pantai yang setengah tertutup, yang berhubungan dengan laut bebas sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Pickard, 1967). Menurut Dahuri et al. (1996) ekosistem estuaria adalah bagian dari wilayah pesisir dimana air laut dan air tawar bertemu dan bercampur. Proses percampuran ke dua massa air ini sangat bervariasi karena masing-masing emiliki karakteristik yang berbeda dan dipengaruhi oleh kekuatan tiga unsur yaitu daratan (sungai), lautan dan atmosfir. Namun demikian kekuatan utama yang mempengaruhinya adalah kekuatan aliran sungai dan pasang surut. Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain:

1. Tempat bertemunya arus sungai dengan arus pasang surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya.

2. Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. 3. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas

mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya. 4. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasangsurut air laut,

banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta topografi daerah estuaria itu sendiri.

Estuaria dapat terjadi pada lembah-lembah sungai yang tergenang air laut, baik karena permukaan laut yang naik (misalnya pada zaman es mencair) atau pun karena turunnya sebagian daratan oleh sebab-sebab tektonis. Estuaria juga dapat terbentuk pada muara-muara sungai yang sebagian terlindungi oleh beting pasir atau lumpur.Sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air laut. Contoh dari estuaria adalah muara sungai, teluk dan rawa pasang-surut

Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting, antara lain: sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makanan

(9)

7 (feeding ground) dan sebagai tempat untuk bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri (Bengen, 2004).

Kolom air di estuaria merupakan habitat untuk plankton dan nekton. Di dasar perairan hidup mikro dan makro bentos. Setiap kelompok organisme dalam habitatnya menjalankan fungsi biologisnya masing-masing. Antara satu kelompok organisme terjalin jaringan trofik (rantai makanan) sehingga membentuk jaringan jala makanan. Jumlah spesies organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologis yang mampu bertahan hidup di estuaria. Selain miskin dalam jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin dalam flora. Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya produktifitas primer di kolom air, sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus (Bangen, 2002).

II.1.1. Tipe-tipe Estuari

Pembagian tipe-tipe estuari dapat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu, kekuatan gelombang, pasang surut dan keberadaan sungai. Kuat lemahnya ketiga faktor ini tergantung dari bentuk geomorfologinya.

Secara umum tipe-tipe estuari dapat dibagi menjadi tujuh tipe, yaitu: 1. Embayments and drown river valleys (Teluk dengan sungai dari lembah bukit) 2. Wave-dominated estuaries (Estuari dengan dominasi gelombang)

3. Wave-dominated deltas (Delta dengan dominasi gelombang)

4. Coastal lagoons and strandplains (Lagun dengan hamparan tanah datar) 5. Tide-dominated estuaries (Estuari dengan dominasi pasang surut) 6. Tide-dominated deltas (Delta dengan dominasi pasang surut) 7. Tidal creeks (Daerah pasang surut dengan banyak anak sungai) Karakteristik (ciri – ciri) ekosistem estuaria adalah sebagai berikut:

(10)

8 Keterlindungan

Estuaria merupakan perairan semi tertutup sehingga biota akan terlindung dari gelombang laut yang memungkinkan tumbuh mengakar di dasar estuaria dan memungkinkan larva kerang-kerangan menetap di dasar perairan.

Kedalaman

Kedalaman estuaria relatif dangkal sehingga memungkinkan cahaya matahari mencapai dasar perairan dan tumbuhan akuatik dapat berkembang di seluruh dasar perairan, karena dangkal memungkinkan penggelontoran (flushing) dengan lebih baik dan cepat serta menangkal masuknya predator dari laut terbuka (tidak suka perairan dangkal).

Salinitas air

Air tawar menurunkan salinitas estuaria dan mendukung biota yang padat. Sirkulasi air

Perpaduan antara air tawar dari daratan, pasang surut dan salinitas menciptakan suatu sistem gerakan dan transport air yang bermanfaat bagi biota yang hidup tersuspensi dalam air, yaitu plankton.

Pasang

Energi pasang yang terjadi di estuaria merupakan tenaga penggerak yang penting, antara lain mengangkut zat hara dan plangton serta mengencerkan dan meggelontorkan limbah.

Penyimpanan dan pendauran zat hara

Kemampuan menyimpan energi daun pohon mangrove, lamun serta alga mengkonversi zat hara dan menyimpanya sebagai bahan organik untuk nantinya dimanfaatkan oleh organisme hewani.

II.1.2. Substrat Dasar

Substrat lumpur merupakan ciri dari estuaria dan rawa asin. Perbedaan utama dengan wilayah pesisir dengan substrat berpasir adalah pantai berlumpur tidak dapat berkembang dengan hadirnya gerakan gelombang. Oleh karena itu, daerah pesisir dengan pantai berlumpur hanya terbatas pada daerah intertidal yang benar-benar terlindung dari aktivitas gelombang laut terbuka. Pantai berlumpur cenderung untuk mengakumulasi bahan organik, sehingga cukup banyak makanan yang potensial bagi bentos pantai ini. Namun berlimpahnya partikel organik yang halus yang mengendap di daratan lumpur juga mempunyai kemampuan untuk menyumbat permukaan alat pernafasan (Nybakken, 1988). Bentos yang dominan hidup di substrat berlumpur tergolong dalam Suspention Feeder (penyaring

(11)

9 suspensi sebagai sumber makanan). Di antara yang umum ditemukan adalah kelompok Polychaeta, Bivalvia, Crustacea, Echinodermata dan Bakteri. Di samping itu juga ditemukan Gastropoda dengan indeks keanekaragaman yang rendah serta lamun yang berperan meningkatkan kehadiran bentos (Nybakken, 1988).

Adapun substrat berpasir umumnya miskin akan organisme, tidak dihuni oleh kehidupan makroskopik, selain itu kebanyakan bentos pada pantai berpasir mengubur diri dalam substrat. Produksi primer pantai berpasir rendah, meskipun kadang-kadang dijumpai populasi Diatom yang hidup di pasir intertidal. Hampir seluruh materi organik diimpor baik dalam bentuk materi organik terlarut (DOM) atau partikel (POM). Pantai berpasir tidak menyediakan substrat yang tetap untuk melekat bagi organisme, karena aksi gelombang secara terus menerus menggerakkan partikel substrat. Kelompok organisme yang mampu beradaptasi pada kondisi substrat pasir adalah organisme infauna makro (berukuran 1 – 10 cm) yang mampu menggali liang di dalam pasir, dan organisme meiofauna mikro (berukuran 0,1 -1 mm) yang hidup di antara butiran pasir dalam ruang interaksi. Ditinjau dari kebiasaan makan (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan adalah kelompok Suspention Feeder dan Carnivore. Organisme yang dominan adalah Polychaeta, Bivalvia dan Crustacea (Nybakken, 1988). Pada jenis sedimen berpasir, kandungan oksigen relatif lebih besar dibandingkan pada sedimen yang halus karena pada sedimen berpasir terdapat pori udara yang memungkinkan terjadinya percampuran yang lebih intensif dengan air di atasnya, tetapi pada sedimen ini tidak banyak nutrien, sedangkan pada substrat yang lebih halus walaupun oksigen sangat terbatas tapi tersedia nutrien dalam jumlah besar (Wood, 1987).

Daerah pesisir dengan substrat berbatu merupakan daerah yang paling padat makroorganismenya dan mempunyai keragaman terbesar baik untuk spesies hewan maupun tumbuhan. Komunitas biota di daerah pantai berbatu jauh lebih kompleks dari daerah lain karena bervariasinya relung (niche) ekologis yang disediakan oleh genangan air, celah-celah dan permukaan batu serta hubungan yang bervariasi terhadap cahaya, gerakan air, perubahan suhu dan faktor lainnya. Ditinjau dari kebiasaan makannya (feeding habit) maka hewan bentos yang banyak ditemukan termasuk kelompok Herbivora, Scavenger, Suspention Feeder dan Predator. Organisme bentos yang dominan adalah kelompok epifauna, seperti Gastropoda, Crustacea, Bivalvia dan Echinodermata (Nybakken, 1988). Daerah pasang surut khususnya pada daerah intertidal, memiliki kondisi kritis, dimana suhu

(12)

10 pada wilayah ini bisa berbeda sangat ekstrim sebagaimana halnya salinitas. Pasang naik dan turun menyebabkan hamparan intertidal terendam air atau kontak langsung dengan udara terbuka selama interval waktu tertentu. Pada saat pasang turun (terpapar), kondisi permukaan substrat dasar yang menjadi habitat hidup bentos mengalami kering karena adanya penguapan yang mengakibatkan terjadi peningkatan suhu dan salinitas yang cepat bahkan dapat mencapai batas letal organisme. Di samping itu, dapat digenangi oleh air tawar yang mengalir masuk ketika hujan deras sehingga terjadi penurunan salinitas yang mendadak (Nybakken, 1988).

II.1.3. Sifat-sifat Ekologis Estuaria

Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu. Berikut adalah sifat-sifat ekologis estuaria secara umum:

1. Salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di atas air laut yang lebih berat oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji garam’. Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi berkebalikan, dan karenanya dinamai ‘estuaria negatif’. Misalnya pada estuaria estuaria yang aliran air tawarnya sangat rendah, seperti di daerah gurun pada musim kemarau. 2. Laju penguapan air di permukaan, lebih tinggi daripada laju masuknya air tawar

ke estuaria, menjadikan air permukaan dekat mulut sungai lebih tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian tenggelam dan mengalir ke arah laut di bawah permukaan. Dengan demikian gradien salinitas airnya berbentuk kebalikan daripada ‘estuaria positif’.

3. Dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi perubahan-perubahan salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh geomorfologi dasar estuaria.

4. Perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat. 5. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir berlumpur yang berasal

dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari darat maupun dari laut. Hal ini disebabkan karena pertukaran partikel garam dan air yang terjebak diantara

(13)

11 partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di atasnya berlangsung dengan lamban.

II.1.4. Fungsi Ekologis Estuaria

Secara singkat peran ekologi estuaria yang penting adalah sebagai berikut:

a)

Merupakan sumber zat hara dan bahan organik bagi bagian estuari yang jauh dari garis pantai maupun yang berdekatan denganya lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation).

b)

Menyediakan habitat bagi sejumlah spesies ikan yang ekonomis penting sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makan (feeding ground).

c)

Memenuhi kebutuhan bermacam spesies ikan dan udang yang hidup dilepas pantai, tetapi bermigrasi keperairan dangkal dan berlindung untuk memproduksi dan/atau sebagai tempat tumbuh besar (nursery ground) anak mereka.

d)

Sebagai potensi produksi makanan laut di estuaria yang sedikit banyak didiamkan dalam keadaan alami. Kijing yang bernilai komersial (Rangia euneata) memproduksi 2900 kg daging per ha dan 13.900 kg cangkang per ha pada perairan tertentu di Texas.

e)

Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman

f)

Tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan

g)

Jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan industri

II.1.5. Peranan Ekosistem estuaria

Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut. Produktifitas primernya sendiri, karena sifat-sifat dinamika estuaria sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena kekeruhan airnya yang berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton.

Meski demikian, bahan-bahan organik dalam rupa detritus yang terendapkan di estuaria membentuk substrat yang penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber makanan bagi tingkat-tingkat trofik di atasnya. Banyaknya bahan-bahan organik ini dibandingkan oleh Odum dan de la Cruz (1967)

dalam Nybakken (1988) yang mendapatkan bahwa air drainase estuaria mengandung sampai 110 mg berat kering bahan organik per liter, sementara perairan laut terbuka hanya mengandung bahan yang sama 1-3 mg per liter.

Oleh sebab itu, organisme terbanyak di estuaria adalah para pemakan detritus, yang sesungguhnya bukan menguraikan bahan organik menjadi unsur

(14)

12 hara, melainkan kebanyakan mencerna bakteri dan jasad renik lain yang tercampur bersama detritus itu. Pada gilirannya, para pemakan detritus berupa cacing, siput dan aneka kerang akan dimakan oleh udang dan ikan, yang selanjutnya akan menjadi mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan pemangsa dan burung

Sebagai lingkungan perairan yang mempunyai kisaran salinitas yang cukup lebar, estuari menyimpan berjuta keunikan yang khas. Hewan-hewan yang hidup pada lingkungan perairan ini adalah hewan yang mampu beradaptasi dengan kisaran salinitas tersebut. Dan yang paling penting adalah lingkungan perairan estuary merupakan lingkungan yang sangat kaya akan nutrient yang menjadi unsure terpenting bagi pertumbuhan phytoplankton. Inilah sebenarnya kunci dari keunikan lingkungan estuary. Sebagai kawasan yang sangat kaya akan unsur hara (nutrient) estuary di kenal dengan sebutan daerah pembesaran (nursery ground) bagi berjuta ikan, invertebrate (Crustacean, Bivalve, Echinodermata, annelida dan masih banyak lagi kelompok infauna). Tidak jarang ratusan jenis ikan-ikan ekonomis penting seperti siganus, baronang, sunu dan masih banyak lagi menjadikan daerah estuari sebagai daerah pemijahan dan pembesaran.

Melihat banyaknya jenis hewan yang sifatnya hidup sementara di estuaria, bisa disimpulkan bahwa rantai makanan dan rantai energi di estuaria cenderung bersifat terbuka. Dengan pangkal pemasukan dari serpih-serpih bahan organik yang terutama berasal dari daratan (sungai, rawa asin, hutan bakau), dan banyak yang berakhir pada ikan-ikan atau burung yang kemudian membawa pergi energi keluar dari sistem.

II.1.6. Komposisi Biota dan Produktifitas Hayati

Di estuaria terdapat tiga komponen fauna, yaitu fauna laut, air tawar dan payau. Komponen fauna yang terbesar didominasi oleh fauna laut yaitu hewan stenohalin yang terbatas kemampuannya dalam mentolerir perubahan salinitas dan hewan euryhalin yang mempunyai kemampuan mentolerir berbagai penurunan salinitas yang lebar. Komponen air payau terdiri dari spesies organisme yang hidup di pertengahan daerah estuaria pada salinitas antara 5-300/00. Spesies-spesies ini tidak ditemukan hidup pada perairan laut maupun tawar. Komponen air tawar biasanya terdiri dari yang tidak mampu mentoleril salinitas di atas 5 dan hanya terbatas pada bagian hulu estuaria. Ciri khas estuaria cenderung lebih produktif daripada laut ataupun air tawar. Estuaria adalah ekosistem yang miskin dalam jumlah spesies fauna dan flora. Faunanya: ikan, kepiting, kerang dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai makanan

(15)

13 yang kompleks. Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan alga dan kemudian menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan detritus.

Secara fisik dan biologis, estuaria merupakan ekosistem produktif karena:

a)

Estuaria yang berperan sebagai jebak zat hara yang cepat di daur ulang

b)

Beragamnya komposisi tumbuhan di estuaria baik tumbuhan makro (makrofiton) maupun tumbuhan mikro (mikrofiton), sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun.

c)

Adanya fluktuasi permukaan air terutama akibat aksi pasang-surut, sehingga antara lain memungkinkan pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang diperlukan berbagai organisme estuaria.

II.1.7. Biota Estuari

Sebagai wilayah peralihan atau percampuran, estuaria memiliki tiga komponen biota, yakni fauna yang berasal dari lautan, fauna perairan tawar, dan fauna khas estuaria atau air payau. Fauna lautan yang tidak mampu mentolerir perubahan-perubahan salinitas yang ekstrem biasanya hanya dijumpai terbatas di sekitar perbatasan dengan laut terbuka, di mana salinitas airnya masih berkisar di atas 30‰. Sebagian fauna lautan yang toleran (eurihalin) mampu masuk lebih jauh ke dalam estuaria, di mana salinitas mungkin turun hingga 15‰ atau kurang. Sebaliknya fauna perairan tawar umumnya tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5‰, sehingga penyebarannya terbatas berada di bagian hulu dari estuaria.

Fauna khas estuaria adalah hewan-hewan yang dapat mentolerir kadar garam antara 5-30‰, namun tidak ditemukan pada wilayah-wilayah yang sepenuhnya berair tawar atau berair laut. Di antaranya terdapat beberapa jenis tiram dan kerang (Ostrea, Scrobicularia), siput kecil Hydrobia, udang Palaemonetes, dan cacing polikaeta Nereis.Di samping itu terdapat pula fauna-fauna yang tergolong peralihan, yang berada di estuaria untuk sementara waktu saja. Beberapa jenis udang Penaeus, misalnya, menghabiskan masa juvenilnya di sekitar estuaria, untuk kemudian pergi ke laut ketika dewasa. Jenis-jenis sidat (Anguilla) dan ikan salem (Salmo, Onchorhynchus) tinggal sementara waktu di estuaria dalam perjalanannya dari hulu sungai ke laut, atau sebaliknya, untuk memijah. Dan banyak jenis hewan lain, dari golongan ikan, reptil, burung dan lain-lain, yang datang ke estuaria untuk mencari makanan (Nybakken, 1988). Akan tetapi sesungguhnya, dari segi jumlah spesies, fauna khas estuaria adalah sangat sedikit apabila dibandingkan dengan keragaman fauna pada ekosistem-ekosistem lain yang

(16)

14 berdekatan. Umpamanya dengan fauna khas sungai, hutan bakau atau padang lamun, yang mungkin berdampingan letaknya dengan estuaria. Para ahli menduga bahwa fluktuasi kondisi lingkungan, terutama salinitas, dan sedikitnya keragaman topografi yang hanya menyediakan sedikit relung (niche), yang bertanggung jawab terhadap terbatasnya fauna khas setempat.

II.1.8. Rantai Makanan di Estuari

Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhan-herbivora-carnivora). Pada setiap tahap pemindahan energi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin besar pula energi yang tersedia (Anonim, 2010). Pada ekosistem estuaria dikenal 3 (tiga ) tipe rantai makanan yang didefinisikan berdasarkan bentuk makanan atau bagaimana makanan tersebut dikonsumsi: grazing, detritus dan osmotik. Fauna diestuaria, seperti udang, kepiting, kerang, ikan, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai dan jaring makanan yang kompleks (Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata semi air, yaitu unggas air.

Ada dua tipe dasar rantai makanan:

1.

Rantai makanan rerumputan (grazing food chain). Misalnya: tumbuhan-herbivora-carnivora.

2.

Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora = organisme pemakan sisa) predator.

Suatu rantai adalah suatu pola yang kompleks saling terhubung, rantai makanan di dalam suatu komunitas yang kompleks antar komunitas, selain daripada itu, suatu rantai makanan adalah suatu kelompok organisme yang melibatkan perpindahan energi dari sumber utamanya (yaitu: cahaya matahari, phytoplankton, zooplankton, larval ikan, kecil ikan, ikan besar, binatang menyusui). Jenis dan variasi rantai makanan adalah sama banyak seperti jenis/ spesies di antara mereka dan tempat kediaman yang mendukung mereka. Selanjutnya, rantai makanan dianalisa didasarkan pada pemahaman bagaimana rantai makanan

(17)

15 tersebut memperbaiki mekanisme pembentukannya. Ini dapat lebih lanjut dianalisa sebab bagaimanapun jenis tunggal boleh menduduki lebih dari satu tingkatan tropik di dalam suatu rantai makanan (Johannessen et al., 2005).

Dalam bagian ini, diuraikan tiga bagian terbesar dalam rantai makanan yaitu: phytoplankton, zooplankton, dan infauna benthic. Sebab phytoplankton dan zooplankton adalah komponen rantai makanan utama dan penting, dimana bagian ini berisi informasi yang mendukung keberadaan organisme tersebut. Sedangkan, infauna benthic adalah proses yang melengkapi pentingnya rantai makanan di dalam ekosistem pantai berlumpur. Selanjutnya, pembahasan ini penekananya pada bagaimana mata rantai antara rantai makanan dan tempat berlindungnya (tidal flat; pantai berlumpur) (Johannessen et al., 2005).

II.1.9. Adaptasi Organisme Estuaria

Variasi sifat habitat estuaria, terutama dilihat dari fluktuasi salinitas dan suhu, membuat estuaria menjadi habitat yang menekan dan keras. Bagi organisme, agar dapat hidup dan berhasil membentuk koloni di daerah ini mereka harus memilki adaptasi tertentu. Adaptasi tersebut antara lain:

a)

Adaptasi morfologis: organisme yang hidup di lumpur memiliki rambut-rambut halus untuk menghambat penyumbatan permukaan ruang pernafasan oleh partikel lumpur;

b)

Adaptasi fisiologis: berkaitan dengan mempertahankan keseimbangan ion cairan tubuh;

c)

Adaptasi tingkah laku: pembuatan lubang ke dalam lumpur organisme khususnya avertebrata.

Kebanyakan organisme yang menempati daerah ini menunjukkan adaptasi dalam menggali dan melewati substrat yang lunak atau menempati saluran yang permanen dalam substrat. Dikarenakan pantai lumpur juga agak tandus, hal ini dapat dilihat dari sedikitnya organisme yang menempati permukaan daratan lumpur. Kehadiran organisme di pantai berlumpur ditunjukkan oleh adanya berbagai lubang di permukaan dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Jadi, salah satu adaptasi utama dari organisme di daratan lumpur adalah kemampuan untuk menggali substrat atau membentuk saluran yang permanen. Adaptasi utama yang kedua berkaitan dengan kondisi anaerobik yang merata di seluruh substrat. Jika organisme ingin tetap hidup ketika terkubur dalam substrat, mereka harus beradaptasi untuk hidup dalam keadaan anaerobik atau harus membuat beberapa jalan yang dapat mengalirkan air dari permukaan yang mengandung banyak oksigen ke bawah.

(18)

16 Untuk mendapatkan air dari permukaan yang kaya oksigen dan makanan maka muncul berbagai lubang dan saluran di permukaan daratan lumpur. Adaptasi yang umum terhadap rendahnya ketersediaan oksigen adalah dengan membentuk alat pengangkut (misalnya, hemoglobin) yang dapat terus-menerus mengangkut oksigen dengan konsertasi yang lebih baik dibandingkan dengan pigmen yang sama pada organisme lain (Nybakken, 1982).

II.1.10. Tipe Organisme

Pantai berlumpur sering menghasilkan suatu pertumbuhan yang besar dari berbagai tumbuhan. Di atas daratan lumpur yang kosong, tumbuhan yang paling berlimpah adalah diatom, yang hidup di lapisan permukaan lumpur dan biasanya menghasilkan warna kecoklatan pada permukaan lumpur pada saat terjadi pasang-turun. Tumbuhan lain termasuk makroalga, Glacilaria, Ulva, dan Enteromorpha. Pada daerah lain, khusus pada pasut terendah hidup berbagai rumput laut, seperti Zostera.

Daratan berlumpur mengandung sejumlah besar bakteri, yang memakan sejumlah besar bahan organik. Bakteri ini merupakan satu-satunya organisme yang melimpah pada lapisan anaerobikdi pantai berlumpur dan membentuk biomassa yang berarti. Bakteri ini dinamakan Bakteri Kemosintesis atau Bakteri Sulfur, bakteri ini mendapatkan energi dari hasil oksidasi beberapa senyawa sulfur yang tereduksi, seperti berbagai sulfida (misalnya, H2S). Mereka menghasilkan bahan organik dengan menggunakan energi yang didapat dari oksidasi senyawa sulfur yang tereduksi, berbeda dengan tumbuhan yang menghasilkan bahan organik menggunakan energi matahari.

Karena bakteri ototrofik ini berlokasi di lapisan anaerobik di lumpur, maka daratan lumpur merupakan daerah yang unik di lingkungan laut, mereka mempunyai dua lapisan yang berbeda di mana produktivitas primer terjadi, daerah tempat diatom, alga, dan rumput lautmelakukan fotosintesis, dan lapisan dalam tempat bakteri melakukan kemosintesis. Mahluk dominan yang terdapat pada daratan lumpur, yaitu cacing polichaeta, moluska bivalvia, dan krustacea besar dan kecil, tetapi dengan jenis yang berbeda (Nybakken, 1982).

Phytoplankton

Pertumbuhan phytoplankton di wilayah pantai estuaria berlumpur diatur dengan suatu interaksi antara matahari, hujan, bahan gizi, dan gerakan massa air, serta convergensi yang di akibatkan oleh arus laut. Sampai jumlah tertentu produksi phytoplankton tergantung pada cuaca, dengan pencampuran dan stratifikasi

(19)

17 kolom air yang mengendalikan produktivitas utama. Percampuran massa air vertikal yang kuat mempunyai suatu efek negatif terhadap produktivitas, dengan mengurangi perkembangan phytoplankton maka terjadi penambahan energi itu sendiri dan penting bagi fotosintesis. Bagaimanapun, pencampuran vertikal adalah juga diuntungkan karena proses penambahan energi, yang membawa bahan gizi (nutrient) dari air menuju ke permukaan di mana mereka dapat digunakan oleh phytoplankton.

Zooplankton dan Heterotrophs Lain

Zooplankton dan heterotrophs lain (suatu tingkatan organisma trophic sekunder yang berlaku sebagai consumer utama organik) di dalam kolom air mengisi suatu relung ekologis penting sebagai mata rantai antara produksi phytoplankton utama dan produktivitas ikan. Secara teknis, istilah zooplankton mengacu pada format hewan plankton, yang tinggal di kolom air dan pergerakan utama semata-mata dikendalikan oleh keadaan insitu lingkungan (current movement). zooplankton mempunyai kemampuan untuk berpindah tempat vertikal terhadap kolom air dan boleh juga berpindah tempat secara horisontal dari pantai ke laut lepas sepanjang yaitu musim semi dan musim panas dalam untuk mencari lokasi yang cocok untuk pertumbuhan mereka. Migrasi vertikal menciptakan sonik lapisan menyebar ketika zooplankton bergerak ke permukaan pada malam hari dan tempat yag terdalam pada siang hari. Pada daerah berlumpur dengan olakan gelombang besar, migrasi vertical zooplankton akan terhalang. Sedangkan, migrasi horisontal musiman mengakibatkan zooplankton akan mengalami blooming (pengkayaan).

Infauna dan Epifauna Benthic

Infauna Benthic (organisma yang tinggal di sedimen) dan epifauna (organisma yang mempertahankan hidup di sedimen) adalah suatu kumpulan taxa berbeda-beda mencakup clam, ketam, cacing, keong, udang, dan ikan. Sedangkan burrowers, adalah binatang pemakan bangkai, pemangsa, dan pemberi makan/tempat makan sejumlah phytoplankton, zooplankton, sedimen, detritus dan nutrient lainnya.

Mereka berperan penting dalam jaring makanan di pantai berlumpur, juga bertindak sebagai konvertor untuk pembuatan bahan-bahan organik pada tingkatan tropik yang lebih tinggi, sehingga menyokong peningkatan produktivitas alam bebas (wildlife) dan ikan. Dengan diuraikannya secara rinci bagaimana berbagai rantai makanan terhubung ke dalam suatu jaringan makanan terpadu

(20)

18 pada benthic community dalam system dinamika pantai berlumpur adalah penting untuk di jawab bahwa ekosistem pantai berlumpur ini berperan di dalam keseimbangan produktifitas primer perairan Zedler (1980).

Predator asli di dataran lumpur ini mencakup beberapa cacing polychaeta seperti Glycera spp., siput bulan (Polinices, Natica) dan kepiting. Jadi, struktur trofik dataran lumpur sering terbentuk berdasarkan dua hal, yaitu : berdasarkan detritus – bakteri dan berdasarkan tumbuhan.

II.1.11. Peranan Ekosistem Estuari

Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut. Produktifitas primernya sendiri, karena sifat-sifat dinamika estuaria sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena kekeruhan airnya yang berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton.

Meski demikian, bahan-bahan organik dalam rupa detritus yang terendapkan di estuaria membentuk substrat yang penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber makanan bagi tingkat-tingkat trofik di atasnya. Banyaknya bahan-bahan organik ini dibandingkan oleh Odum dan de la Cruz (1967,

dalam Nybakken (1988) yang mendapatkan bahwa air drainase estuaria mengandung sampai 110 mg berat kering bahan organik per liter, sementara perairan laut terbuka hanya mengandung bahan yang sama 1-3 mg per liter.

Oleh sebab itu, organisme terbanyak di estuaria adalah para pemakan detritus, yang sesungguhnya bukan menguraikan bahan organik menjadi unsur hara, melainkan kebanyakan mencerna bakteri dan jasad renik lain yang tercampur bersama detritus itu. Pada gilirannya, para pemakan detritus berupa cacing, siput dan aneka kerang akan dimakan oleh udang dan ikan, yang selanjutnya akan menjadi mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan pemangsa dan burung.

Melihat banyaknya jenis hewan yang sifatnya hidup sementara di estuaria, bisa disimpulkan bahwa rantai makanan dan rantai energi di estuaria cenderung bersifat terbuka. Dengan pangkal pemasukan dari serpih-serpih bahan organik yang terutama berasal dari daratan (sungai, rawa asin, hutan bakau), dan banyak yang berakhir pada ikan-ikan atau burung yang kemudian membawa pergi energi keluar dari sistem.

(21)

19

II.1.12. Ekosistem Mangrove

Salah satu bagian yang sangat berperan penting di ekosistem estuaria adalah ekosistem mangrove yang memiliki produktivitas tinggi. Nybakken (1988) mengemukakan bahwa ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut. Salah satu komponen utama penyusun ekosistem mangrove adalah vegetasi mangrove atau mangal merupakan sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon yang khas atau semak yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin (Nybakken1988). Berdasarkan Odum (1993) mangrove adalah salah satu diantara sedikitnya tumbuh-tumbuhan tanah timbul yang tahan terhadap salinitas laut terbuka.

Tumbuhan ini mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat dan morfologi pantai. Mangrove dapat di jumpai pada daerah sepanjang muara sungai atau daerah yang banyak dipengaruhi oleh aliran sungai (fluvio-marine) dan daerah yang umumnya didominasi oleh faktor laut (marino-fluvial) (DKP 2004). Istilah bakau adalah sebutan bagi jenis utama pohon mangrove (Rhizophora spp.) yang dominan hidup dihabitat pantai. Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub - tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon, seperti Avicennia spp, Sonneratia spp, Rhizophora spp, Bruguiera spp, Ceriops spp, Lumnitzera spp, Exoecaria spp, Xylocarpus spp, Aegiceras spp, Scyphyphora spp.dan Nypa sp yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen 2004).

Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu(silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya (DKP 2004). Menurut Snedaker (1984) hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan tanah anaerob. Selanjutnya Aksornkoae (1993) mengemukakan bahwa mangrove adalah tumbuhan halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.

(22)

20 Mangrove umumnya tumbuh di daerah intertidal yang memiliki jenis tanah berlumpur, berlempung atau berpasir. Tergenang oleh air laut secara berkala, dapat setiap hari maupun hanya tergenang pada saat surut purnama, frekuensi genangan ini menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove. Selain itu, mangrove juga membutuhkan suplai air tawar dari daratan, dan biasanya hidup baik pada daerah yang cukup terlindung dari gelombang besar dan pasang surut yang kuat. Salinitas yang baik untuk mangrove tumbuh adalah pada salinitas 2 – 22 ppt atau sampai asin pada salinitas 38 ppt (Bengen, 2001; Nontji, 2005). Cakupan sumberdaya mangrove secara keseluruhan menurut Kusmana et al., (2003) terdiri atas:

(1) satu atau lebih spesies tumbuhan yang hidupnya terbatas di habitat mangrove, (2) spesies-spesies tumbuhan yang hidupnya di habitat mangrove, namun juga

dapat hidup di habitat non-mangrove,

(3) biota yang berasosiasi dengan mangrove (biota darat dan laut, lumut kerak, cendawan, ganggang, bakteri dan lain lain, baik yang hidupnya menetap, sementara, sekali kali, biasa ditemukan, kebetulan maupun khusus hidup dihabitat mangrove,

(4) proses-proses alamiah yang berperan dalam mempertahankan ekosistem ini baik yang berada didaerah bervegetasi maupun diluarnya, dan

(5) daratan terbuka/ hamparan lumpur yang berada antara batas hutan sebenarnya dengan laut.

II.2. Kondisi Lingkungan Perairan

II.2.1. Suhu air

Suhu air merupakan salah satu faktor abiotik yang memegang peranan penting bagi kehidupan organisme perairan. Di dalam perairan, suhu air dapat mempengaruhi produktivitas primer perairan. Dengan meningkatnya suhu yang masih dapat ditolerir oleh organisme nabati, akan diikuti oleh kenaikan derajat metabolisme dan aktifitas fotosintesis, yang ada di dalamnya. Dengan demikian suhu air erat kaitannya dengan pembentukan produktivitas primer di suatu perairan (Schwoerbel, 1987 in Musa, 1992). Pada perairan yang dalam, penetrasi cahaya matahari tidak sampai ke dasar, sehingga suhu air di dasar perairan yang dalam lebih rendah dibandingkan dengan suhu air di dasar perairan dangkal. Suhu air merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas serta memacu atau menghambat perkembang biakan organisme perairan. Pada umumnya peningkatan suhu air sampai skala tertentu akan mempercepat perkembang biakan organisme perairan. Perubahan suhu dapat menjadi isyarat bagi organisme untuk

(23)

21 memulai atau mengakhiri berbagai aktivitas, misalnya aktivitas reproduksi (Nyabakken, 1988).

Peningkatan suhu juga menyebakan peningkatan kecepatan metabolisme serta respirasi organisme air dan selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu perairansebesar 100C menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat. Namun peningkatan suhu ini disertai dengan penurunan kadaroksigen terlarut sehingga keberadaan oksigen seringkali tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi organisme akuatik untuk melakukan proses metabolisme dan respirasi. Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian air dari permukaan laut, waktu penyinaran dalam satu hari, sirkulasi udara, penutupan awan, dan aliran serta kedalaman dari badan air. Penstrataan panas dapat terjadi yang disebabkan oleh sinar matahari yang memanaskan permukaan air. Dalam keadaan ini, epilimnion dan hipolimnion dapat memperlihatkan ciri-ciri fisik-kimiawi yang berbeda. Tetapi pada perairan tropik suhu relatif tinggi (>25°C) sepanjang tahun, menunjukkan kondisi yang relatif stabil dan umumnya jarang terjadi gejala stratifikasi. Stratifikasi suhu di suatu perairan ditentukan oleh keadaan meteorologi dan sifat setiap pertukaran panas, pangadukan, pemasukan atau pengeluaran air, dan bentuk, ukuran, serta letak waduk (Goldman & Horne, 1983).

II.2.2. Kecerahan

Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan menggunakan secchi disk. Kecerahan suatu perairan dipengaruhi oleh kekeruhan dan warna perairan tersebut, semakin tinggi kecerahan suatu perairan maka akan semakin tinggi daya penetrasi cahaya matahari sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung dalam lapisan yang tebal. Pada perairan alami kecerahan sangat erat hubungannya dengan fotosintesis. Kecerahan dapat digunakan untuk menentukan tingkat produktifitas primer suatu perairan (Odum, 1971). Fitoplankton sebagai produsen primer di perairan, memerlukan cahaya matahari untuk fotosintesis. Dalam suatu perairan, fotosintesis meningkat sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya. Namun, pada lapisan permukaan laju fotosintesis adalah kecil karena pengaruh sinar matahari yang terlalu kuat. Semakin dalam, laju fotosintesis semakin meningkat hingga mencapai maksimum pada kedalaman beberapa meter di bawah permukaan (cahaya optimal). Di bawahnya, laju fotosintesis akan berkurang secara proporsional terhadap intensitas cahaya. Apabila intensitas cahaya yang jatuh di permukaan menurun, misalnya karena

(24)

22 cuaca mendung, maka lapisan yang menerima cahaya optimal akan bergerak ke atas hingga diperoleh lapisan optimal di permukaan agar fotosintesis kembali berjalan maksimum. Sejalan dengan itu, tebal lapisan eufotik akan semakin menipis (Baksir, 1999).

II.2.3. Derajat keasaman (pH)

Derajat keasaman (pH) menunjukkan konsentrasi ion hidrogen dalam suatu larutan (Effendi, 2003). pH sangat penting karena perubahan pH yang terjadi di air tidak hanya berasal dari masukan bahan-bahan asam atau basa di perairan tetapi juga dapat disebabkan oleh perubahan tidak langsung dari aktivitas-aktivitas metabolik perairan yang mencakup aktivitas manusia di daratan seperti: limbah rumah tangga, pertanian, dan tambak yang dibuang ke sungai lalu diteruskan ke laut. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7 - 8,5. Nilai pH akan mempengaruhi proses biologi kimiawi perairan. Sementara menurut Nybakken (1992) lingkungan perairan laut yang memiliki pH yang bersifat relatif lebih stabil dan berada dalam kisaran yang sempit, biasanya berkisar antara 7,5 - 8,4. Effendi (2000) menyatakan bahwa sebagian besar organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH sekitar 7 - 8,5. Batas toleransi dari suatu organisme perairan terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion dan kation serta tergantung dengan jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973).

II.2.4. Oksigen terlarut

Oksigen telarut adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air, oksigen terlarut dalam air berasal dari hasil fotosintesis fitoplankton atau tumbuhan air, difusi dari udara, air hujan dan aliran air permukaan yang masuk. Oksigen di perairan mempengaruhi beberapa faktor antara lain salinitas, suhu, respirasi da fotosintesis. Kelarutan oksigen dipengaruhi oleh suhu, tekanan parsial gas-gas yang ada dalam udara dan air. Oksigen di perairan mempunyai variasi yang sangat tinggi dan biasanya bervariasi lebih rendah dari kandungan oksigen di udara. Oksigen berperan penting bagi pernapasan dan merupakan salah satu komponen utama bagi metabolisme ikan dan organisme perairan lainnya. Kandungan oksigen di suatu perairan akan meningkat apabila masukan limbah yang masuk ke perairan tersebut juga meningkat. Kelarutan oksigen dipengaruhi suhu, tekanan parsial gas-gas yang ada dalam udara dan air (Klein, 1962 in Ginting, 1999).

(25)

23 Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut beperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Konsentrasi oksigen terlarut bervariasi menurut waktu, musim, kesuburan tanah dan organisme akuatik. Konsentrasi oksigen terlarut harian tertinggi dicapai pada siang hari dan terendah pada malam hari. Aksornkoae (1978) mendapatkan konsentrasi oksigen terlarut dimangrove 17 - 34 mg/l, lebih rendah dibanding diluar mangrove yang besarnya 4,4 mg/l. Perairan yang diperuntukan untuk kepentingan perikanan sebaiknya memiliki kadar oksigen terlarut tidak kurang dari 5 mg/l.

II.2.5. Kekeruhan

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) maupun bahan organik dan anorganik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA, 1995). Penetrasi cahaya pada perairan turbulen ini lebih kecil dibandingkan dengan daerah laut terbuka. Kumpulan partikel-partikel sisa, baik dari daratan, dari potongan-potongan kelp dan rumput laut, ditambah kepadatan plankton yang tinggi akibat melimpahnya nutrien, menyebabkan terhambatnya penetrasi cahaya sampai beberapa meter di estuaria (Nybakken, 1988). Banyak organisme akuatik, khususnya filter feeder, tidak dapat mentolerir konsentrasi bahan inorganik dalam jumlah yang besar (Wetzel, 2001 in Honata, 2010). Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut pada kekeruhan menurut KEPMEN LH tahun 2004 adalah lebih dari 5 NTU. Banyak organisme akuatik, khususnya filter feeder, tidak dapat mentolerir konsentrasi bahan inorganik dalam jumlah yang besar (Wetzel, 2001 in Honata, 2010). Kriteria baku mutu air laut untuk biota laut pada kekeruhan menurut KEPMEN LH tahun 2004 adalah lebih dari 5 NTU.

Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya produktivitas primer di kolom air, sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus. Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan detritus. Suatu penumpukan bahan makanan yang dimanfaatkan oleh organisme estuaria

(26)

24 merupakan produksi bersih dari detritus ini. Fauna di estuaria, seperti ikan, kepiting, kerang, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai makanan yang kompleks (Bengen, 2004).

II.2.6. Salinitas

Sebagai tempat pertemuan air laut dan air tawar, salinitas di estuaria sangat bervariasi. Baik menurut lokasinya di estuaria, ataupun menurut waktu. Secara umum salinitas yang tertinggi berada pada bagian luar, yakni pada batas wilayah estuaria dengan laut, sementara yang terendah berada pada tempat-tempat di mana air tawar masuk ke estuaria. Pada garis vertikal, umumnya salinitas di lapisan atas kolom air lebih rendah daripada salinitas air di lapisan bawahnya. Ini disebabkan karena air tawar cenderung ‘terapung’ di atas air laut yang lebih berat oleh kandungan garam. Kondisi ini disebut ‘estuaria positif’ atau ‘estuaria baji garam’ (salt wedge estuary) (Nybakken, 1988). Akan tetapi ada pula estuaria yang memiliki kondisi berkebalikan, dan karenanya dinamai ‘estuaria negatif’. Misalnya pada estuaria-estuaria yang aliran air tawarnya sangat rendah, seperti di daerah gurun pada musim kemarau. Laju penguapan air di permukaan, yang lebih tinggi daripada laju masuknya air tawar ke estuaria, menjadikan air permukaan dekat mulut sungai lebih tinggi kadar garamnya. Air yang hipersalin itu kemudian tenggelam dan mengalir ke arah laut di bawah permukaan. Dengan demikian gradien salinitas airnya berbentuk kebalikan daripada ‘estuaria positif’.

Dinamika pasang surut air laut sangat mempengaruhi perubahan-perubahan salinitas dan pola persebarannya di estuaria. Pola ini juga ditentukan oleh geomorfologi dasar estuaria.Sementara perubahan-perubahan salinitas di kolom air dapat berlangsung cepat dan dinamis, salinitas substrat di dasar estuaria berubah dengan sangat lambat. Substrat estuaria umumnya berupa lumpur atau pasir berlumpur, yang berasal dari sedimen yang terbawa aliran air, baik dari darat maupun dari laut. Sebabnya adalah karena pertukaran partikel garam dan air yang terjebak di antara partikel-partikel sedimen, dengan yang berada pada kolom air di atasnya berlangsung dengan lamban.

II.2.7. Nitrat

Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Nitrifikasi merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung

(27)

25 pada kondisi aerob. Oksidasi amonia menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas, sedangkan oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri Nitrobacter. Keduanya adalah bakteri kemotrofik, yaitu bakteri yang dapat mendapatkan energi dari proses kimiawi. Menurut Novotny & Olem (1994) in Effendi (2003).

Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0.1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktifitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat melebihi 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Nitrat dapat digunakan untuk mengelompokkan tingkat kesuburan perairan. Perairan oligotrof memiliki kadar nitrat antara 0 – 1 mg/l, perairan mesotrof memiliki kadar nitrat antara 1 – 5 mg/l, dan perairan eutrof memiliki kadar nitrat yang berkisar antara >5 – 50 mg/l (Vollenweider, 1969 in Wetzel, 1975).

II.2.8. Ortofosfat

Fitoplankton di perairan umumnya memperoleh unsur P dari senyawa fosforus anorganik (ion ortofosfat). Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Setelah masuk ke dalam tumbuhan, misalnya fitoplankton, fosfat anorganik mengalami perubahan menjadi organofosfat. Fosfat yang berikatan dengan ferri (Fe2(PO4)3) bersifat tidak larut dan

mengendap di dasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi valensi tiga (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut dan melepaskan fosfat ke perairan (Brown, 1987 in Effendi, 2003). Semua polifosfat mengalami hidrolisis membentuk ortofosfat. Perubahan ini bergantung pada suhu. Pada suhu yang mendekati titik didih, perubahan polifosfat menjadi ortofosfat berlangsung cepat. Kecepatan ini meningkat dengan menurunnya nilai pH. Keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif kecil, dengan kadar yang lebih sedikit daripada kadar nitrogen; karena sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan. Sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral. Selain itu, fosfor juga berasal dari dekomposisi bahan organik. Sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri dan domestik, yakni fosfor yang berasal dari deterjen. Limpasan dari daerah pertanian yang menggunakan pupuk juga memberikan kontribusi yang cukup besar bagi keberadaan fosfor (Effendi, 2003). Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae

(28)

26 di perairan (algae bloom). Algae yang melimpah ini dapat membentuk lapisan pada permukaan air, yang selanjutnya dapat menghambat penetrasi oksigen dan cahaya matahari sehingga kurang menguntungkan bagi ekosistem perairan (Boney, 1989 in

Effendi, 2003). II.2.9. Klorofil-a

Klorofil-a adalah salah satu pigmen fotosintesis yang paling penting bagi tumbuhan yang ada di perairan khususnya fitoplankton. Dari pigmen fotosintesis, klorofil-a merupakan pigmen yang paling umum terdapat pada fitoplankton (Parsons

et al., 1984). Sementara Cole (1988), menambahkan bahwa klorofil-a merupakan master pigmen Cyanophyceae dan eukaryota yang dibentuk dari fotosintesis. Klorofil-b, Klorofil-c, fikobilin, dan karotenoid hanya sebagai pigmen tambahan. Selain pigmen tersebut, beberapa algae tertentu mengandung pigmen pelengkap seperti xantofil, fikosianin, fikoeritrin dan fikopirin. Peranan pigmen pelengkap tersebut adalah untuk menyadap sinar yang tidak dapat diserap oleh klorofil dan karotenoid. Elektron-elektron pada pigmen tersebut diteruskan pada klorofil untuk diubah menjadi energi kimia yang digunakan dalam proses fotosintesis (Goldman & Horne, 1983). Kandungan klorofil-a secara gradien longitudinal sangat dipengaruhi oleh fisika-kimia dan biologi. Di zona sungai, biomassa cendrung lebih rendah daripada di zona transisi dan lakustrin. Tingginya klorofil-a ini disebabkan oleh pola sirkulasi air yang memberi muatan hara dan diikuti dengan meningkatnya kekeruhan (Carrick et al., 1994 in Noryadi, 1998).

Menurut Vyhnalek (1994) in Noryadi (1998), biomassa fitoplankton sering diukur sebagai nilai konsentrasi klorofil-a. Penentuan biomassa dengan metode klorofil-a didasarkan pada pengukuran jumlah klorofil-a yang dikandung oleh fitoplankton. Strathmann (1967) in Nontji (1984) mengemukakan bahwa pendekatan ini mempunyai kelebihan karena klorofil-a dimiliki oleh semua fitoplankton. Sedangkan kelemahannya sukar membedakan antara klorofil yang aktif dan non aktif atau produk degradasinya dan komposisi jenis fitoplankton. Kepekatan klorofil-a sering dihubungkklorofil-an dengklorofil-an produktivitklorofil-as primer untuk mendugklorofil-a tingkklorofil-at eutrofikasi perairan danau (Vollenweider, 1976 in Nur, 2006). OECD (1982) in

Henderson-Sellers & Markland (1987) menjelaskan tentang kriteria kesuburan berdasarkan kandungan klorofil-a adalah sebagai berikut; kandungan klorofil-a antara 0-4 mg/m3 merupakan perairan oligotrof, kandungan klorofil-a antara 4 - 10 mg/m3 merupakan perairan mesotrof, dan kandungan klorofila antara 10 - 100 mg/m3 merupakan perairan eutrof.

(29)

27

II.3. Strategi Pengelolaan Ekosistem Estuari

Estuaria sebagan bagian dari wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Dari sisi sosial-ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut khususnya daerah estuari masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia.

Kekayaan sumberdaya laut tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya. Akan tetapi, kekayaan sumberdaya pesisir tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an, fenomena degradasi biogeofisik sumberdaya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakannya telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove terumbu karang dan estuari (muara sungai).

Rusaknya ekosistem daerah estuari berimplikasi terhadap penurunan kualitas lingkungan untuk sumberdaya ikan serta erosi pantai. Sehingga terjadi kerusakan tempat pemijahan dan daerah asuhan ikan, berkurangnya populasi benur, nener, dan produktivitas tangkap udang. Semua kerusakan biofisik lingkungan tersebut adalah gejala yang terlihat dengan kasat mata dari hasil interaksi antara manusia dengan sumberdaya pesisir yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah kelestarian dan daya dukung lingkungannya.

Persoalan yang mendasar adalah mekanisme pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak efektif untuk memberi kesempatan kepada sumberdaya hayati pesisir yang dimanfaatkan pulih kembali atau pemanfaatan sumberdaya non - hayati disubstitusi dengan sumberdaya alam lain dan mengeliminir faktor-faktor yang menyebabkan kerusakannya Sebagian pihak mungkin memiliki pengetahuan terbatas mengenai ekosistem estuari. Sejumlah ekosistem estuari ternyata memiliki keunikan dan keunggulan tersendiri. Akan tetapi ekosistem ini ternyata juga sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, gelombang pasang maupun pemanasan global. Ekosistem Estuari juga berpeluang besar untuk rusak akibat perbuatan manusia baik langsung maupun tidak langsung. Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka perlu keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian yang disesuaikan dengan daya dukung

Gambar

Tabel 4. Jadwal rencana operasional kegiatan penelitian  N0
Tabel 5.  Parameter yang diukur serta alat dan bahan yang digunakan:
Tabel 7. Stasiun pengamatan di estuari Berau  Nomor
Gambar 2. Jumlah spesies berdasarkan bulan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mutasi pada kromosom tersebut menyebabkan mutan miniature memiliki bentuk sayap yang tidak normal.. Sayapnya lebih kecil dari normal, hanya mencapai

Standar porsi adalah rincian macam dan jumlah bahan makanan dalam jumlah bersih setiap hidangan.Dalam penyelenggaraan makanan orang banyak, diperlukan adanya standar

Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada dampak desentralisasi fiskal di bidang kesehatan yang diproksi dengan persentase realisasi belanja fungsi kesehatan terhadap

2011, bahwa berdasarkan Surat Penetapan Pemenang Pengadaan, tanggal 16 Agustus 2011, maka dengan ini diumumkan Pemenang Pengadaan untuk Kegiatan- kegiatan Tahap III

mereka tidak dapat menemukan kebahagiaan ini di tempat mereka bekerja, mereka akan berpikir untuk berhenti dari pekerjaan dengan mudah; b) Maria (2016) mengungkapkan

Program ini memberikan anda kesempatan yang banyak dengan Bapak Firman Pratama, anda bisa bebas mengeluarkan semua uneg-uneg pribadi, dan dalam 3 hari anda akan

Untuk tingkat kemerataan pada hutan alam berada pada kondisi komunitas tertekan dengan nilai kemerataan 0,49, pada lokasi hutan sekunder dan agroforestry ilengi

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah mendapatkan data gambaran jumlah sel darah merah, kadar hemoglobin, nilai hematokrit, dan indeks eritrosit pada