• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara kepuasan seksual dengan fungsi seksual pada wanita - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Hubungan antara kepuasan seksual dengan fungsi seksual pada wanita - USD Repository"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Betsyeba Irene Augustina Roest Tahalele

139114143

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

(2)
(3)
(4)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“Every year on your birthday, you get a chance to start a new” – Mom

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan

kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan

kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” – 1 Korintus 10:13

“What doesn’t kill you makes you stronger”

Kelly Clarkson – Stronger

Dipersembahkan untuk:

Tuhan Yesus

Orangtuaku

Keluarga Elisama

Sahabat-sahabat

(5)
(6)

HUBUNGAN ANTARA KEPUASAN SEKSUAL DAN FUNGSI SEKSUAL PADA WANITA

Betsyeba Irene Augustina Roest Tahalele ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kepuasan seksual dan disfungsi seksual pada wanita. Hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara kepuasan seksual dan disfungsi seksual pada wanita. Subjek pada penelitian ini berjumlah 111 orang wanita berusia 17 hingga 40 tahun yang sudah pernah berhubungan seksual. Instrument penelitian ini menggunakan skala NSSS (New Sexual Satisfaction Scale ) dan skala FSFI (Female Sexual Function Index) yang diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dan terdiri dari 20 item dan 19 item dengan reliabilitas koefesien Alpha Cronbach (α) masing-masing sebesar 0,975 dan 0,944. Teknik analisis data menggunakan uji beda Product Moment Pearson pada program SPSS for windows 23. Hasil analisis data diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,539 (p<0,05) yang artinya terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara kepuasan seksual dan fungsi seksual pada wanita (r = 0,539: p = 0,000).

(7)

CORRELATION BETWEEN SEXUAL SATISFACTION AND SEXUAL FUNCTION AMONG WOMEN

Betsyeba Irene Augustina Roest Tahalele ABSTRACT

This research aimed to know the relation between sexual satisfaction and sexual dysfunction among women. The hypothesis in this research is there is a significant correlation between sexual satisfaction and sexual function in women. The participants of this research is 111 women aged 17 – 40 years old with sexual experiences and have ever did sexual intercourse. The instrument of this research was NSSS (New Sexual Satisfaction Scale) and FSFI (Female Sexual Function Index) which adapted to Bahasa Indonesia and consist of 20 items and 19 items with each coefficient Alpha Cronbach reliability

(α) 0,975 and 0,944. The analysis technique used in this research is Product Moment Pearson for windows 23. The result showed a significant number as 0,539 (p<0,05) which means there are a significant correlation between sexual satisfaction and sexual function in women (r = 0,539: p = 0,000).

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur saya panjatkan untuk berkat yang luar biasa dan penyertaan serta

tuntunan dari Tuhan Yesus Kristus sepanjang hidup saya. Berkat Dia, saya mampu

menjalankan studi dan menyelesaikan semua yang menjadi tanggung jawab saya. Tanpa

Tuhan, saya mungkin akan berakhir pada kata menyerah. Terima kasih karena telah

menjawab segala doa dan harapanku. Terima kasih karena selalu menjawab doa-doaku

dengan cara-Mu yang terbaik. Jadikanlah hasil karyaku ini berkenan bagi-Mu dan dapat

menjadi berkat bagi semua orang yang membaca dan membutuhkannya, amin.

Secara spesial, rasa terima kasih saya berikan sebesar-besarnya kepada keluarga

saya. Kepada mama, papa, dan keluarga Elisama. Terutama untuk mama, terimakasih

karena telah mendukung dan selalu ada tanpa lelah dan mengerahkan semua doa,saran,

serta usaha yang terbaik demi kelancaran studi anak perempuanmu ini. I will still ask for

the prays, please stay ‘till I make you proud. Ik hou van je, mam. Terimakasih karena

tidak bosan-bosan memberi nasihat dan saran agar saya menjadi pribadi yang lebih baik.

Terimakasih atas segala lelah dan peluhmu. Terima kasih untuk papa karena telah

mendukungku dari jauh. Terimakasih atas doa dan saran yang selalu diberikan untuk

jadi pertimbanganku. I owe you both. Kepada seluruh keluarga Elisama karena turut

mendukung perjalanan studi saya hingga saat ini. Tanpa kalian semua saya hanya akan

berkahir menjadi perempuan yang “biasa saja”. Saya tidak dapat membalas kebaikan

(10)

Terima kasih sebanyak-banyaknya untuk Bapak C. Siswa Widyatmoko M.Psi.,

Psi. selaku dosen pembimbing. Terima kasih untuk segala bimbingan, masukan, saran,

perdebatan, dan semua pengalaman yang diberikan kepada saya. Terima kasih karena

bersedia menerima saya menjadi mahasiswa bimbingan Bapak dan bersedia menjadi

tempat curahan hati saya sewaktu-waktu meskipun tidak ada hubungannya dengan

skripsi/ perkuliahan. Tanpa bantuan bapak, saya mungkin tidak bisa merasakan

bagaimana stress dan menyenangkannya penelitian di skripsi ini. Tidak lupa saya

ucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing Akademik saya, Bapak R. Landung

Eko Prihatmoko, M.Psi., yang selalu memberikan arahan dan sarat di setiap pergantian

semester. Terima kasih juga kepada Bapak Wahyudi yang telah bertugas menggantikan

Dosen Pembimbing Akademik sebelumnya.

Terima kasih kepada Riya, sahabat sejatiku yang tidak pernah lelah menyayangi

dan “menamparku” di saat-saat yang paling dibutuhkan. You know me very well.

Terimakasih sahabat “ikan”ku untuk semua waktu, doa, kritik, saran, dan semua perdebatan yang berujung peluk. Terima kasih karena sejauh ini menjadi orang terdekat

kedua setelah ibuku bahkan menemaniku dalam berproses selama kuliah hingga

pengerjaan skripsi bersama. We did fight, of course. But here we are. Sukses untuk

semua yang jadi doamu. Terima kasih juga untuk Papi dan Mami riya yang bersedia

menjadikan saya anak keduanya. Tuhan memberkati. Juga untuk Monic, meskipun tidak

selalu bertemu tetapi aku selalu berdoa yang terbaik untukmu. Semoga apa yang

(11)

Terima kasih untuk Brandan, karena telah menemani dan menjaga selama

beberapa tahun ini. Terima kasih untuk setiap tawa dan pertengkaran yang sudah dilalui.

Terimakasih karena telah menjadi partner yang sudah menemani meski di tengah-tengah

pertengkaran yang paling memusingkan kepala. Semoga semakin hari semua hal

berjalan baik dan sesuai dengan harapan.

Hallo Michael Sihite, Thomas, Vee, Mas Chandra sahabat-sahabat dunia besi

yang sudah bersedia meluangkan waktu menemani dan mendengarkan semua keluh

kesahku bahkan untuk umur pertemanan yang masih belia ini..terimakasih ya! Spesial

untuk Mike si tukang tidurku, I hope you will always stay there. I owe you many things,

love.

Teruntuk sahabat-sahabatku yang lain, Yunita, Intan, dan Vania. Terima kasih

karena meski tanpa komunikasi, kita masih saling mendukung. Selamat menggapai

cita-cita meski jarak sungguh memusingkan jadwal pertemuan kita. Terima kasih untuk

teman-teman lain yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Selamat menggapai

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………..……...… i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……….………..…….. ii

HALAMAN PENGESAHAN………..… iii

HALAMAN MOTTO……….………..……… iv

HALAMAN PERSEMBAHAN……….……...…….…………iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………....………..………. v

ABSTRAK……….…….…...………..……. vi

ABSTRACT………..……… vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH………...……… viii

KATA PENGANTAR……….……….…. ix

DAFTAR ISI………...……… xii

DAFTAR TABEL……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN……….……….. xvii

BAB I. PENDAHULUAN………..……… 1

A. Latar Belakang……….…….……….………. 1

B. Rumusan Masalah………….……….……….… 9

C. Tujuan Penelitian……….………….……….…. 9

D. Manfaat Penelitian ……….………..….. 9

1. Manfaat Teoritis…………..……….…. 9

2. Manfaat Praktis…………..……….….. 9

(13)

A. Kepuasan Seksual………..……….. 11

1. Definisi Kepuasan Seksual……….. 11

2. Aspek-aspek Kepuasan Seksual……….. 13

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Seksual……….………16

4. Pengukuran Kepuasan Seksual………....……… 21

B. Disfungsi Seksual……….……….……. 23

1. Definisi Disfungsi Seksual……….……….…. 24

2. Aspek-aspek Disfungsi Seksual……….……….…. 26

3. Faktor yang Mempengaruhi Disfungsi Seksual……….…….…. 30

4. Dampak Disfungsi Seksual………..………… 39

5. Bentuk-bentuk Gangguan Fungsi Seksual…………..………. 42

6. Pengukuran Fungsi Seksual……….……… 45

C. Dinamika Psikologis Hubungan Kepuasan Seksual dengan Disfungsi Seksual pada ………..….. 48

D. Hipotesis…...……… 53

E. Kerangka Berpikir………...……….……… 54

BAB III. METODE PENELITIAN………...………. 55

A. Jenis Penelitian……….……….……… 55

B. Identifikasi Variabel Penelitian……….……… 55

C. Definisi Operasional……… 56

1. Kepuasan Seksual……….………..…….….. 56

(14)

D. Subjek Penelitian……….……… 57

E. Prosedur Penelitian……….………. 58

F. Metode dan Alat Pengumpulan Data………….……….……. 60

1. Metode dan Alat Pengumpulan Data………..…. 60

2. Alat Pengumpulan Data……….…….. 62

G. Validitas dan Reliabilitas………..….. 63

1. Validitas……….….. 63

2. Reliabilitas……….….. 68

H. Metode Analisis Data……….…… 70

1. Uji Asumsi……….. 70

a. Uji Normalitas……….……….. 71

b. Uji Linearitas……… 71

2. Uji Hipotesis………..……… 72

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……...………..……….. 73

A. Persiapan dan Pelaksanaan Penelitian……… 73

B. Deskripsi Subjek Penelitian……….………...…………...…… 74

C. Deskripsi Data Penelitian………....………...…… 76

D. Hasil Penelitian………..…..……….. 79

1. Uji Asumsi……….. 79

a. Uji Normalitas……….……….. 79

b. Uji Linearitas……… 81

(15)

E. Pembahasan……… 83

F. Keterbatasan Penelitian……….………. 90

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… 92

A. Kesimpulan……….……….. 92

B. Saran……….……… 93

1. Bagi Subjek Penelitian……….. 93

2. Bagi Praktisi……….. 94

3. Bagi Penelitian Selanjutnya……….. 94

DAFTAR PUSTAKA……….………. 94

(16)

DAFTAR TABEL+ DAFTAR GAMBAR

Tabel 1.1………..……… 2

Tabel 1.2……….…….………. 3

Tabel 1.3………..………. 7

Tabel 2.1………. 21

Tabel 2.2……….……… 46

Tabel 3.1……….……… 69

Tabel 3.2……….……… 70

Tabel 4.1…….……… 74

Tabel 4.2……….……… 76

Tabel 4.3…….……… 77

Tabel 4.4………..………...……… 78

Tabel 4.5………..………...……… 78

Tabel 4.6……….……… 80

Tabel 4.7……….……… 80

Tabel 4.8……….……… 81

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Uji Reliabilitas Item……….. 118

Lampiran 2. Uji Normalitas……….. 122

Lampiran 3. Uji Linearitas………. 123

Lampiran 4. Uji Korelasi Product Moment Pearson……….. 124

Lampiran 5. Skala Kepuasan Seksual……… 125

Lampiran 6. Skala Fungsi Seksual………. 127

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seks merupakan suatu kebutuhan sekaligus dorongan dasar yang dimiliki

manusia sama seperti pada dasarnya manusia membutuhkan makan dan minum

(Maslow dalam Feist & Feist, 2008). Hubungan seks yang positif mampu

meningkatkan kesadaran seksual yang terbuka dan tanpa batas serta membuat

individu memiliki kesadaran diri yang besar pada respon emosi dan seksual.

Orang dengan hubungan seksual yang positif merasa bebas dalam menikmati

kontak fisik, kegembiraan, dan hasrat seksual yang mereka alami (Firestone,

Firestone, & Catlett, 2006). Telah diketahui pula hubungan seks tidak sekedar

ditunjukkan untuk reproduksi melainkan juga untuk memenuhi kebutuhan

fisiologis manusiadan jika terpenuhi manusia akan merasa senang (pleasure),

puas, bahagia, nyaman, tentram, dan mengalirkan energi baru pada tubuh

(Prawiroharjo, 2009). Rosen dan Bachman (2008)mengatakan bahwa individu

yang aktif dan puas terhadap hubungan seksualnya menunjukkan kepuasan

emosional, kepuasan relasi yang tinggi dan konsisten, kepuasan hidup, serta

kesejahteraan psikologis.

Hubungan seks dalam aktivitas seksual tidak hanya mengakibatkan efek

(19)

atau ketidakpuasan. Hasil penelitian Renaud, Byers, dan Pan (1997)

menunjukkan bahwa ketidakpuasan seksual atau kepuasan seksual yang rendah

mengakibatkan kecemasan yang tinggi dan munculnya masalah perilaku seksual

seperti kehilangan nafsu seksual, kehilangan kemampuan koitus, dan takut akan

kehilangan rasa cinta pasangan yang dapat mengakibatkan pencarian cinta yang

baru. Khususnya, di Indonesia, masalah ketidakpuasan seksual masyarakat

menjadi hal yang patut disoroti dan diberi perhatian lebih. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Lauman dkk (2006) menyatakan bahwa Indonesia termasuk salah

satu negara pada kelompok yang memiliki tingkat kepuasan terendah

dibandingkan negara-negara yang lain. Oleh karena itu, kepuasan seksual di

Indonesia menjadi sebuah pembahasan yang penting untuk dibicarakan. Hasil

penelitian Lauman dkk (2006) ditunjukkan dalam tabel berikut:

Tabel 1.1

Persentase Perbandingan Mean Kepuasan Seksual 3 Kelompok Negara Ditinjau dari 3 Aspek

*Australia, Austria, Belgium, Canada, France, Mexico, New Zealand, South Africa, Spain, Sweden, Germany, United Kingdom, USA

**Algeria, Brazil, Egypt, Israel, Italy, Korea, Malaysia, Morocco, Philippines, Singapore, Turkey

(20)

Berdasarkan tabel di atas, Indonesia termasuk ke dalam bagian dari

kelompok 3 selain Cina, Jepang, Taiwan, dan Thailand yang memiliki tingkat

kepuasan seksual yang rendah. Pada tabel tersebut menunjukkan bahwa dari

total 27.500 subjek pada pria dan wanita, persentase kesenangan fisik (24,9%;

19,8%), kesenangan emosi (29,9%; 23,3%) dan kepuasan terhadap fungsi

seksual (66,1%; 50,0%) merupakan yang paling rendah dibandingkan dengan

dua kelompok yang lainnya. Sedangkan, bila ditinjau lebih jauh hasil persentase

perbandingan kepuasan seksual pada kelompok 3 dapat dilihat pada tabel

berikut:

Berdasarkan tabel di atas, kesenangan emosi yang dirasakan pria dan

wanita di Indonesia memiliki persentase terendah dibanding empat negara Tabel 1.2

(21)

lainnya yaitu masing-masing sebesar 18,5% dan 19,9%. Meskipun tidak berada

pada tingkat paling rendah, tetapi Indonesia termasuk dalam 5 negara dengan

tingkat kepuasan seksual terendah.

Kepuasan seksual menurut Byers dan Demmon (1999) merupakan suatu

bentuk kedekatan seksual yang dirasakan oleh sebuah pasangan dalam wilayah

interpersonal yang intim, yaitu dalam kualitas komunikasi seksual,

penyingkapan hubungan seksual dan keseimbangan hubungan seksual.

Kepuasan seksual juga merupakan suatu bentuk perasaan pasangan atas kualitas

hubungan seksual mereka yang berupa sentuhan fisik dan psikis (Byers da

Demmon, 1999).Selain itu, Offman dan Matheson (2005) menyatakan bahwa

kepuasan seksual adalah suatu bentuk respon afektif yang muncul dari penilaian

seorang pria atau wanita mengenai relasi seksualnya, yang mencakup persepsi

bahwa kebutuhan seksualnya telah terpenuhi serta keseluruhan penilaian positif

terhadap suatu hubungan seksual.Kepuasan seksual merupakan suatu aspek yang

penting dalam hubungan intim, bahkan menjadi faktor yang menentukan suatu

hubungan akan berhasil atau gagal (Barrientos & Paez, 2006).

Kepuasan seksual dapat diukur berdasarkan beberapa aspek. Stulhofer,

Busko, dan Brouillard (2010) memaparkan 3 aspek yang dapat mengukur

kepuasan seksual seseorang. Aspek pertama merupakan aspek individual yang

terdiri dari sensasi seksual (sexual sensation) dan kesadaran seksual (sexual

presence/awareness). Aspek kedua merupakan aspek interpersonal yang terdiri

(22)

(emotional closeness). Sedangkan aspek ketiga merupakan aspek behavioral

yang terdiri dari aktivitas seksual (sexual activity). Selanjutnya,

Sanchez-Fuentez dkk (2014) menyatakan bahwa kepuasan seksual dapat dipengaruhi oleh

faktor internal dan eksternal seperti faktor demografi (Hurlock, 2002), kepuasan

relasi (New & Bentler, 1983 dalam Young, Denny, Luquis, & Young, 2000),

dukungan sosial (Ojalatva dkk, 2005), relijiusitas (Sanchez-Fuentez dkk, 2013;

Purcell, 1984), citra diri (Patricia Berthalow, Phyllis Kernoff Mansfield, Debra

Thurau, & Molly Carey, 2005; Fooken, 1994; Sansone, 2001; Holt & Lyness,

2007), citra diri genital (Braun & Wilkinson, 2001; Braun, 2005; Fahs, 2014;

Fudge & Byers, 2016), dan fungsi seksual (Smith dkk, 2012).

Karena kepuasan seksual merupakan hal yang penting bagi pasangan

(Byers & Demmon, 1999), membuat banyak individu khawatir dengan kualitas

dari hubungan seksual yang dimiliki termasuk khawatir terhadap kepuasan

seksual diri dan pasangannya. Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tinggi

rendahnya kepuasan seksual adalah kondisi kesehatan fisik dan mental yang

disebut juga dengan fungsi seksual seseorang. Fungsi seksual menurut

Sanchez-Fuentez dkk (2014) secara positif memiliki hubungan dengan kepuasan seksual

baik bagi pria maupun wanita. Fungsi seksual mencakup kondisi fisik dan

mental, hasrat seksual, keterangsangan seksual, orgasme, rasa puas, perlendiran

genital, dan rasa nyaman/ sakit yang dialami seseorang saat berhubungan seks

(Rosen dkk, 2000). Menurut WHO (ICD-10) fungsi seksual merupakan

(23)

dalam hubungan seksual yang mereka harapkan. Ketidakmampuan individu

dalam memenuhi kondisi-kondisi tersebut disebut dengan disfungsi seksual.

Disfungsi seksual merupakan hal-hal yang menyangkut masalah mental

dan fisik yang dapat dilihat dari adanya masalah kesehatan reproduksi yang

dapat terjadi pada individu dan didefinisikan sebagai gangguan fungsi seksual

yang sering muncul dan persisten (Nicolosi dkk, 2004) Disfungsi seksual yang

terjadi pada wanita berarti individu terhambat untuk merasakan hasrat/ dorongan

seksual, keterangsangan seksual, sulit mencapai orgasme, serta merasa sakit

pada saat berhubungan seks (Bason, Wierman, Lankveld, & Brotto, 2010).

Wanita yang mengalami disfungsi seksual biasanya akan cenderung lebih sering

mengalami gangguan psikologis berupa rendahnya hasrat seksual dan

keterangsangan seksual serta mengalami kondisi yang tidak nyaman saat

berhubungan seks dengan pasangannya (Basson dkk, 2003).

Frank, Anderson, dan Kupfer (1976) menyatakan bahwa sebanyak 25

pasangan yang melakukan konseling dan terapi di Klinik dan Institusi Psikiatri

Pittsburgh untuk menyelesaikan permasalahan seksual dan disfungsi seksual

yang mereka alami. Nicolosi dkk (2005) mendukung nhasil tersebut dengan

menyatakan bahwa sebanyak 20% hingga 30% individu dari total subjek

sebanyak 6.700 subjek di beberapa negara di Asia seperti Cina, Taiwan, Korea

Selatan, Jepang, Thailand, Singapore, Malaysia, dan Indonesia mengeluh

(24)

wanita yang merasa tidak tertarik terhadap hubungan seksual, kesulitan dalam

lubrikasi, dan kesulitan untuk mencapai orgasme.

Menurut Smith dkk (2012) kurangnya hasrat seksual, ketidakmampuan

dalam mencapai orgasme, dan pengalaman merasakan sakit saat berhubungan

seks berkaitan dengan rendahnya kepuasan seksual. Dengan kata lain, wanita

yang memiliki fungsi seksual yang baik mampu berpartisipasi secara baik dalam

hubungan seksual dan mewujudkan harapannya untuk mencapai kepuasan

seksual. Ketika seseorang mampu meningkatkan kualitas fungsi seksual yang

dimiliki dan mampu mencapai kepuasan seksual, maka besar kemungkinan

seseorang terhindar dari dampak ketidakpuasan seksual seperti meningkatnya

kecemasan, kehilangan kemampuan koitus, kehilangan nafsu seksual (Renaud,

Byers, & Pan, 1997).

Menurut Geer dan Fuhr, 1976 (dalam Cuntim dan Nobre, 2011), dampak

yang ditimbulkan oleh disfungsi seksual dapat berupa distraksi kognitif dan

ketidakmampuan berimajinasi seksual. Distraksi kognitif berkaitan dengan

atensi seseorang, yaitu semakin individu mengalami distraksi maka semakin

rendah atensi yang diberikan saat beraktivitas seksual. Hal ini dapat dipengaruhi

oleh tingkat orgasme dan keterangsangan seksual seseorang (Cuntim dan Nobre,

2011; Adams III, Haynes, dan Brayer, 1985). Selain itu, kemampuan

berimajinasi seksual pada wanita yang mengalami disfungsi cenderung rendah

(25)

lebih jauh, distraksi kognitif dan kemampuan berimajinasi merupakan hal

penting dalam kepuasan seksual sebagai aspek kesadaran seksual. Kurangnya

monitor diri saat melakukan hubungan seksual (Zilbergerld, 1992 dalam

Stulhofer, 2010) atau tingginya tingkat distraksi (heiman, & LoPiccolo, 1998

dalam Stulhofer, 2010) akan membuat kesadaran seksual individu menurun dan

akan berakibat pada kepuasan seksual individu tersebut.

Broto dkk (2016) menyatakan bahwa disfungsi seksual dapat

dikendalikan dengan memperhatikan beberapa faktor yang menjadi pengaruh

bagi fungsi seksual. Contohnya, seseorang dapat meningkatkan kualitas

keintiman emosional dan seksualnya dengan pasangan (Meston & Buss, 2007;

Bois, Bergeron, Rosen, McDuff, & Gregoire, 2013), lebih fokus dan tidak

mudah terdistraksi secara kognitif (Adams, Hayness, & Brayer, 1985; Elliot,

O‘donohue, 1997; Meston, Goldstein, Davis, & Traish, 2005), serta

pengurangan konsumsi obat atau substansi tertentu seperti alkohol dan nikotin

(Covington dan Kohen, 1984; George & Stoner, 2000; Harte & Meston, 2008).

Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa terdapat hubungan

antara fungsi seksual dan kepuasan seksual. Seperti yang dinyatakan Hurlbert

dkk (1993) bahwa hasrat seksual, keterangsangan seksual, dan orgasme

memiliki hubungan dengan tingginya kepuasan seksual. Pada DSM-IV, kategori

gangguan kepuasan seksual menjadi diagnosa tambahan dalam kaitannya

dengan fungsi seksual (Dundon & Rellini, 2010). Lebih jelasnya, Smith dkk

(26)

dini, ketidakmampuan mencapai orgasme, dan rasa tidak nyaman saat

berhubungan seksual memiliki hubungan dengan rendahnya kepuasan seksual.

Hal ini menunjukkan bahwa fungsi seksual memiliki peranan dalam

mempengaruhi tinggi rendahnya kepuasan seksual pada seseorang. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Dundon & Rellini pada tahun 2010 menyatakan

bahwa kepuasan seksual berkorelasi secara positif dan signifikan dengan fungsi

seksual. Hal tersebut ditunjukkan pada tabel berikut ini:

Tabel 1.3

Perbandingan korelasi pearson r terhadap variabel kepuasan seksual

Variabel Fungsi Keterangsangan 0,645*** 0,676*** 0,804*** Perlendiran 0,551*** 0,500*** 0,666*** Orgasme 0,514*** 0,492*** 0,636*** Pain 0,553*** 0,367*** 0,470***

***) p<0,0001

Pada tabel di atas, hasil penelitian Dundon dan Rellini tahun 2010

menyatakan adanya korelasi yang antara kepuasan seksual secara menyeluruh

dengan fungsi seksual baik yang dilihat dari segi hasrat seksual, keterangsangan

seksual, lubrikasi/ perlendiran, orgasme, dan rasa sakit dengan nilai signifikansi

masing-masing di atas 0,05. Tidak hanya itu, terdapat juga korelasi yang

(27)

terhadap hubungan seksual. Hal ini membuktikan bahwa kepuasan seksual dan

fungsi seksual memiliki hubungan dan keterkaitan satu sama lain.

Tetapi, sejauh ini penelitian tentang kepuasan seksual lebih sering

dikaitkan hanya dengan salah satu bagian dari fungsi seksual. Penelitian Fahs

(2011) dan Barrientoz & Paez (2006) hanya meneliti kepuasan seksual dengan

aktivitas seksual yang ditinjau dari aspek orgasme saja. Kemudian, penelitian

yang meninjau kepuasan seksual dan fungsi seksual secara keseluruhan masih

sedikit dilakukan (Dundon & Rellini, 2010). Meskipun banyak penelitian yang

memberi perhatian pada masalah disfungsi seksual dan permasalahan seksual

yang lainnya, pengembangan penelitian tentang bagaimana meningkatkan

kepuasan seksual masih sangat sedikit dilakukan (Cooper & Stoltenburg, 1987

dalam Byers & Demmon, 1999). Terlebih lagi, disfungsi seksual pada wanita

sebagian besar diabaikan karena adanya kesulitan dalam mendefinisikan dan

mengevaluasi melalui parameter yang objektif (Duncan & Bateman, 1993).

Sejauh ini, penelitian tentang kepuasan seksual dan fungsi seksual lebih banyak

dilakukan secara medis pada subjek-subjek yang menjadi pasien rumah sakit

(Rosen, Taylor, Leiblum, & Bachman, 1993). Terlebih lagi, konsep kepuasan

seksual secara umum sering tidak konsisten satu sama lain (Dundon & Rellini,

2010). Oleh karena beberapa penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk

meneliti kepuasan seksual pada wanita dengan latar belakang budaya Indonesia

(28)

B. Rumusan Masalah

Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah apakah terdapat

hubungan antara kepuasan seksual dengan fungsi seksual pada wanita?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menguji hubungan antara kepuasan

seksual dengan fungsi seksual pada wanita.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini memberikan sumbangan informasi dan pengetahuan di

bidang psikologi klinis khususnya psikologi seksual mengenai kepuasan

seksual dan fungsi seksual. Melalui penelitian ini pula memberikan

tambahan pemahaman mengenai hubungan kepuasan seksual dengan fungsi

seksual khususnya pada wanita. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat

menjadi acuan dan menambah pengetahuan bagi peneliti-peneliti selanjutnya

yang ingin meneliti kepuasan seksual dan atau fungsi seksual dengan

(29)

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi para

wanita mengenai seksualitas yakni kaitannya dengan fungsi seksual dan

kepuasan seksual. Selain itu, penelitian ini memberikan informasi tentang

peran seksualitas dalam membuat kehidupan individu semakin bahagia

sehingga diharapkan mampu meningkatkan kesadaran wanita terhadap

fungsi seksualnya. Melalui penelitian ini juga diharapkan dapat menambah

wawasan dan pengalaman peneliti dalam melaksanakan penelitian dan

(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kepuasan seksual

1. Definisi kepuasan seksual

Kepuasan seksual menurut Byers dan Demmon (1999) adalah suatu

bentuk kedekatan seksual yang dirasakan oleh pasangan suami atau istri

dalam wilayah interpersonal, yaitu dalam kualitas komunikasi seksual,

penyingkapan hubungan seksual dan keseimbangan hubungan seksual serta

merupakan suatu bentuk perasaan pasangan atas kualitas hubungan seksual

mereka yang dapat berupa sentuhan fisik dan psikis. Opperman, Braun,

Clarke, & Rogers(2013)dalam jurnalnya mengatakan bahwa kepuasan

seksual merupakan serangkaian proses yang dilalui pasangan ketika

melakukan hubungan seksual (senggama). Kepuasan seksual dapat dicapai

ketika individu merasakan adanya kesenangan pribadi (pleasure) saat

melakukan hubungan seksual. Adanya aktivitas seksual mengantarkan

individu pada pencapaian orgasme sehingga kemudian individu merasakan

adanya kesenangan. Ketika perasaan senang tersebut muncul, maka dapat

dikatakan bahwa kepuasan seksual telah tercapai.

Sedangkan menurut Putu (dalam Zulaikah, 2008) kepuasan seksual tidak

(31)

meliputi kedekatan secara emosional, komunikasi atas keterbukaan akan

seks, dan kualitas hubungan. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Walgito

(2010) bahwa hubungan seksual tidak semata-mata diartikan dari aspek

biologisnya saja. Hubungan seksual juga menyangkut aspek psikologis

antara seorang pria dengan seorang wanita yang menyangkut berbagai

macam bentuk perasaan hati yang dinyatakan dan dicurahkan pada saat

berhubungan seksual (Walgito, 2010).Kepuasan seksual adalah perasaan

senang atau puas yang dirasakan individu mengenai sensasi seksual,

kesadaran secara seksual;, pertukaran seksual, kedekatan emosional dan

aktivitas seksual (Stulhofer, Busko, & Brouillard, 2010).

Walster, Walster, dan Bersheid (1978) menyatakan kepuasan seksual

secara kognitif merupakan evaluasi dari hal-hal positif dan negatif dari

sebuah relasi, dimana hal tersebut disesuaikan dengan apa yang diharapkan.

Lebih rinci lagi, Lawrance dan Byers (1995) menyatakan kepuasan seksual

merupakan suatu respon afektif yang menimbulkan evaluasi subjektif

seseorang yang bersifat positif dan negatif berkaitan dengan hubungan

seksual seseorang. Kepuasan seksual juga diartikan sebagai sebuah rasa

nyaman atau puas terhadap kehidupan seksualnya. Perasaan tersebut secara

personal berhubungan dengan pengalaman seksual, harapan-harapan dan

aspirasi-aspirasi ke depan terkait dengan hubungan seksualnya (Davidson,

1995). Rosen dan Bachman, 2008 mengatakan bahwa wanita yang aktif dan

(32)

kepuasan relasi yang tinggi dan konsisten, kepuasan hidup, serta

kesejahteraan psikologis.

Menurut Offman dan Mattheson (2005) kepuasan seksual dibatasi

sebagai respon afektif yang muncul dari evaluasi subjektif, baik positif

maupun negatif terkait dengan hubungan seksual pada seseorang termasuk

persepsi tentang kebutuhan seksual, pemenuhan kebutuhan diri sendiri,

ekspektasi terhadap pasangan, serta evaluasi positif tentang hubungan

seksual secara menyeluruh. Tetapi kepuasan seksual bersifat

multidimensional yang meliputi pikiran, perasaan, dan faktor biologis yang

menyebabkan konsep tentang kepuasan seksual pada setiap individu menjadi

berbeda.

Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli, peneliti menyimpulkan

bahwa kepuasan seksual adalah suatu bentuk respon afeksi yang muncul dari

evaluasi subjektif individu dan di dalamnya terdapat pengalaman positif

maupun negatif terkait dengan pikiran dan perasaan seseorang terhadap

pasangannya dalam hal pemenuhan harapan dan kualitas hubungan seksual

dengan pasangannya.

2. Aspek-aspek kepuasan seksual

Stulhofer, Busko dan Brouillard (2011) memaparkan bahwa terdapat 3

aspek yang membentuk kepuasan. Aspek-aspek tersebut yaitu:

(33)

1) Sensasi seksual (Sexual sensations)

Sensasi seksual terkait dengan ranah seksual yang

menyenangkan atau kesenangan seksual atau sexual pleasure.

Sensasi seksual yang menyenangkan merupakan fondasi dari

trance‘ seksual dan juga merupakan motivasi utama dalam

pengulangan kontak seksual (Hurbert, & Apt, 1994; Carpenter et

al., 2009 dalam Stulhofer, 2010).Kesenangan akan membawa

pada seks yang lebih dan seks yang lebih akan membawa

kesenangan yang lebih pula, hal ini disebut dengan virtuos circle.

2) Kesadaran seksual (Sexual presence/awareness)

Kesadaran seksual merupakan kemampuan untuk fokus

pada sensasi erotis dan seksual. Secara klinis, kesadaran seksual

merupakan esensi dari sensasi seksual untuk menjadi kesenangan

seksual (pleasure). Kurangnya monitor diri saat melakukan

hubungan seksual (Zilbergeld, 1992 dalam Sulhofer, 2010) atau

tingginya tingkat distraksi (Heiman, & LoPiccolo, 1998 dalam

Stulhofer, 2010) akan membuat kesadaran seksual individu

menurun.

b. Aspek Interpersonal

1) Pertukaran/Timbal-balik seksual (Sexual exchange)

Dimensi ini menekankan pada pentingnya hubungan

(34)

pemberian dan penerimaan dalam perhatian/atensi seksual serta

kesenangan seksual dapat mengakibatkan ketidakpuasan

seksual(Stulhofer, 2010).

2) Kedekatan emosional (Emotional closeness)

Kedekatan emosional berkaitan dengan kepuasan seksual

karena ikatan emosional dan keintiman yang kuat akan

menghasilkan ketertarikan seksual yang bersifat jangka panjang.

Dalam mencapai kepuasan seksual, kontak emosional sangat

penting bagi perempuan (Heiman, & LoPiccolo, 1998 dalam

Stulhofer, 2010) dan juga sangat penting bagi laki-laki (Byers,

2005; Carpenter et al., 2009; Stulhofer et al., 2004 dalam

Stulhofer, 2010)

c. Aspek behavioral

1) Aktivitas seksual (Sexual activity)

Aktivitas seksual merupakan dimensi yang mencakup

frekuensi, durasi, variasi, dan intensitas dari aktivitas seksual

untuk mendapatkan kepuasan seksual bagi pria dan wanita.

Meskipun kualitas seksual dievaluasi menjadi hal yang lebih

penting dibandingkan kuantitas seksual, tetapi nyatanya frekuensi

sebagai bentuk kuantitas juga memiliki asosiasi dengan hubungan

(35)

3. Faktor yang mempengaruhi kepuasan seksual

Sanchez-Fuentez, Santo Iglesias, dan Sierra (2014) menyatakan bahwa

kepuasan seksual dapat dipengaruhi baik oleh karakteristik individu maupun

karakteristik yang berhubungan dengan pihak eksternal termasuk

variabel-variabel terkait dukungan sosial dan agama. Variabel-variabel-variabel tersebut

dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu Mikrosistem, Mesosistem, Eksosistem,

dan Makrosistem. Berdasarkan anggapan ini, perkembangan individu

dipengaruhi oleh interaksi antara karakteristik individu serta karakteristik

lingkungan dan kondisi sosial. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan

seksual dapat disederhanakan sebagai berikut:

a. Demografik (Eksosistem)

Individu dengan status pendidikan dan ekonomi yang tinggi

memiliki tingkat kepuasan seksual yang lebih tinggi dibandingkan

dengan individu dengan status pendidikan yang rendah. Hal ini

dikarenakan individu dengan status pendidikan yang tinggi dianggap

memiliki pengetahuan yang luas tentang seksualitas. Menurut teori

Green, 1980 (dalam Widyastuti 2013) perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng dibandingkan perilaku yang tidak

didasari oleh pengetahuan. Selain itu, umur juga merupakan salah

satu pengaruh penting dalam kepuasan seksual pada wanita.Seiring

dengan bertambahnya usia, maka akan muncul pula tugas-tugas baru

(36)

jawab lain dalam keluarga serta kelompok komunitas lain (Hurlock,

2002).Hal ini dapat berpengaruh pada kualitas hubungan seksual

dengan pasangan.

b. Interpersonal

1) Kepuasan relasi (Mesosistem)

New & bentler, 1983 (dalam Young, Denny, Luquis &

Young 2000) mengatakan bahwa terdapat hubungan yang positif

antara kepuasan seksual dengan kualitas hubungan. Hal ini

didukung oleh Haavio-mannila & Kontula (1997) yang

menyatakan komunikasi yang efektif dengan pasangan memiliki

asosiasi dengan hubungan seksual yang lebih efektif. Komunikasi

yang efektif dapat membuat pasangan saling mengetahui

kebutuhan seksual masing-masing sehingga pasangan dapat

mencapai kepuasan seksual yang lebih tinggi.

2) Dukungan sosial (Eksosistem)

Menurut Ojanlatva., et al., (2005) individu yang mendapat

dukungan sosial yang cukup memiliki kepuasan seksual yang

lebih baik dibandingkan dengan individu yang tidak mendapatkan

dukungan sosual yang cukup. Lingkungan sosial yang suportif

(37)

syarat dan mampu memelihara rasa perhatian dalam lingkungan

sosial.

c. Intrapersonal

1) Relijiusitas (Makrosistem)

Relijiusitas dan spiritualisas merupakan faktor yang dapat

mempengaruhi kepuasan seksual (Sanchez-Fuentes dkk, 2014;

Barrientoz & Paez, 2006) Menurut Purcell (1984) relijiusitas

yang kaku berhubungan dengan fungsi seksual yang lemah dalam

pernikahan, seperti rasa bersalah, rasa menahan diri, dan level

ketertarikan seksual yang rendah, aktivitas, dan kemampuan

bereaksi individu terhadap sesuatu.

2) Citra diri (Mikrosistem)

Penelitian yang dilakukan oleh Patricia Berthalow, Phyllis

Kernoff Mansfield, Debra Thurau, dan Molly Carey (2005)

mengatakan bahwa semakin positif pandangan individu terhadap

dirinya, maka individu tersebut akan lebih mudah merasa puas

dalam hal seksual. Survei yang dilakukan pada wanita berusia

14-74 tahun mengatakan bahwa semakin puas individu tersebut

terhadap body image nya maka semakin tinggi pula tingkat

inisiasi, aktivitas, eksperimentasi, dan orgasme yang dirasakan

dibanding dengan mereka yang tidak. Penelitian kualitatif yang

(38)

berada di usia 50 tahun sampai 80 tahun yang membangun body

image positif atau menerima kondisi mereka yang secara biologis

mengalami penuaan, membantu mereka dalam mempertahankan

kehidupan seksual mereka. Wanita dengan body image positif

menjadi lebih liberal dalam menyikapi hal-hal seksual dan

dilaporkan bahwa mereka memiliki ketertarikan seksual yang

lebih tinggi, serta rasa senang yang lebih tinggi dibandingkan

wanita dengan body image yang negatif.

Secara keseluruhan, body image negatif dapat membuat

individu sulit untuk mengekspresikan diri secara seksual.

Menurut Wiederman (2001), wanita yang memiliki pandangan

negatif terhadap dirinya akan memiliki rasa takut terhadap

evaluasi terhadap dirinya. Hal tersebut akan menyebabkan

terpisahnya perasaan dalam diri individu untuk mencapai

kepuasan seksual dalam situasi seksual yang dialami. Mereka

akan lebih fokus pada anggapan-anggapan negatif terhadap

dirinya dibandingkan dengan fokus terhadap hasrat, rasa aman,

dan rasa senang. Seseorang yang memiliki pandangan/citra tubuh

yang negatif terhadap dirinya seperti tidak menarik akan

cenderung menarik diri dari hubungan seksual dengan

pasangannya. Hal ini akan menyebabkan kurangnya hasrat

(39)

(Holt & Lyness, 2007). Kurangnya hasrat seksual akan

berdampak pada intensitas berhubungan seksual. Stulhofer (2010)

menyatakan bahwa intensitas hubungan seks yang cukup dan

terpenuhi bermanfaat untuk mendapatkan kepuasan seksual bagi

pria dan wanita.

3) Citra Diri Genital (Mikrosistem)

Citra diri genital merupakan salah satu faktor yang dapat

memprediksi kepuasan seksual seseorang. Wanita yang memiliki

citra diri genital yang negatif cenderung memandang bentuk

genitalnya buruk (Braun & Wilkinson, 2001; Braun, 2005; Fahs,

2014; Fudge & Byers, 2016). Hal ini didukung oleh Braun dan

Wilkinson (2001); Braun (2005); Fahs (2014); Fudge dan Byers

(2016) yang menyatakan bahwa wanita memiliki persepsi negatif

tentang penampilan genitalnya. Citra diri genital yang negatif

akan mempengaruhi citra diri, fungsi seksual, penerimaan diri,

kualitas hidup, dan kepuasan hidup seseorang secara keseluruhan.

4) Fungsi Seksual

Fungsi seksual secara positif memiliki hubungan dengan

kepuasan seksual baik bagi pria maupun wanita (Smith dkk,

2012). Fungsi seksual mencakup kondisi fisik dan mental

seseorang sebagai upaya pemenuhan harapan dalam mencapai

(40)

dengan fungsi seksual yang baik lebih terhindar dari hambatan

dalam mencapai kepuasan seksual seperti gangguan hasrat

seksual, keterangsangan seksual, dan kondisi sakit pada vagina

saat berhubungan seks (Smith dkk, 2012), dan terhindar dari

dampak ketidakpuasan seksual seperti kecemasan, kehilangan

kemampuan koitus, dan kehilangan nafsu seksual (Renaud, Byers

& Pan, 1997).

4. Pengukuran dalam kepuasan seksual

Penelitian ini mengadaptasi skala NSSS (New Sexual Satisfaction Scale)

yang dikembangkan oleh Alexander Stulhofer, Vesna Busko, danPamela

Brouillard (2010). Selain skala NSSS terdapat beberapa skala kepuasan

seksual diantaranya Snell, IEMSS (Interpersonal Exchange Model of Sexual

Satisfaction), GRISS (Golombok-Rust Inventory of Sexual Satisfaction), dan

SSS-W (Sexual Satisfaction Scale for Women). Namun skala-skala tersebut

kurang mengembangkan pengukuran gabungan yang bersifat menyeluruh.

Berikut tabel perbandingan beberapa skala kepuasan seksual di atas:

Tabel 2.1

Perbandingan skala kepuasan seksual

Skala Deskripsi

(41)

IEMSS -Pengukuran yang lebih spesifik dan fokus pada kepuasan

seksual pada pasangan yang berkomitmen (Byers &

Lawrence, 2005)

-Memiliki 4 dimensi yang berdasar pada exchange theory

(Spreecher, 1998)

GRISS Tidak mengukur tingkat kepuasan seksual, tetapi mengukur

tingkat kurangnya kepuasan seksual pada sebuah pasangan

(Rust & Golombok, 1986)

SSS-W -Skala yang mencoba untuk mengukur kepuasan seksual dan

distress (Meston & Trapnell, 2005)

-Memiliki 5 subskala yaitu skala kepuasan, komunikasi,

kesesuaian, personal distress, dan relationship related

distress.

NSSS -Terdiri dari 5 dimensi dalam 2 subskala

-Skala NSSS mengukur pengukuran gabungan menyeluruh

yang mewakili orientasi, gender, atau latar belakang budaya.

Peneliti memilih menggunakan skala NSSS karena telah terbukti mampu

mengukur kepuasan seksual pada budaya dan gender yang berbeda. Selain

itu, tujuan dari skala NSSS ini adalah untuk mengembangkan pengukuran

gabungan menyeluruh dari kepuasan seksual dengan konsep penyokong

(42)

tertentu seperti orientasi, gender, atau latar belakang budaya. Oleh karena itu

skala ini mampu mengukur subjek dengan orientasi, gender, latar belakang

budaya, dan status hubungan yang bervariasi.

Sedangkan, penelitian terhadap aktivitas seksual dan kepuasan seksual

kebanyakan dilakukan hanya dengan satu atau dua item pertanyaan seperti

―Seberapa puaskah Anda dengan kehidupan seks Anda?‖ dan dua item

indikator seperti kepuasan fisik dan emosional terhadap relasi seksual subjek

(Stulhofer, 2010).

Skala NSSS merupakan skala yang berdasarkan pada 5 dimensi model

konseptual yang menekankan pada kepentingan beberapa domain dari

perilaku seksual diantaranya sensasi seksual, kesadaran seksual/fokus

seksual sebagai aspek individual. Seksual timbal balik dan kedekatan

emosional sebagai aspek interpersonal, serta aktivitas seksual sebagai aspek

behavioral.

B. Fungsi Seksual

1. Definisi disfungsi seksual

Perilaku seksual manusia bergantung pada dua faktor prinsip yaitu libido

atau hasrat seksual dan kondisi fisiologis. Libido dipengaruhi oleh hormon

reproduksi, kesehatan fisik dan mental individu, ketersediaan dan

ketertarikan dari seseorang sebagai pasangan seksual (Korenman, 1983,

(43)

mencakup normalnya fungsi seksual yang mencakup neurogenik,

psikogenik, vaskular, skeletal, muskular, dan faktor hormon. Kedua faktor

tersebut merupakan dua hal yang melatarbelakangi apakah seseorang dapat

berfungsi seksual dengan baik (Korenman, 1983, dalam Duncan & Bateman,

1993).

Fungsi seksual merupakan kemampuan fisik dan mental yang berkaitan

dengan kemampuan atau performa tubuh pada saat melakukan hubungan

seksual(McCall-Hosenfeld, et al., 2008). Menurut WHO (ICD-10) fungsi

seksual merupakan bermacam-macam cara yang ditempuh oleh seseorang

untuk berpartisipasi dalam hubungan seksual yang mereka harapkan.

Ketidakmampuan individu dalam memenuhi kondisi-kondisi tersebut disebut

dengan disfungsi seksual.

Lewis dan Fugl-Meyer (2004) menjelaskan bahwa disfungsi seksual

didefinisikan berdasarkan dua teori dasar yaitu ditinjau dari aspek medis

oleh WHO (World Health Organization) dalam ICD-10 dan aspek

psikologis/ psikiatris oleh APA (American Psychiatric Association) dalam

DSM-IV. Fungsi seksual pada ICD-10 lebih fokus pada permasalahan fisik

atau somatis, sedangkan fungsi seksual pada DSM-IV fokus pada

permasalahan psikis. Kedua definisi fungsi seksual yang diajukan dirangkum

menjadi permasalahan psikologis dan respon genital beserta

gejala-gejalannya yang mengganggu proses hubungan seks atau koitus (Masters

(44)

juga merupakan suatu kondisi dimana seseorang terhalang untuk merespon

secara seksual dan mencapai kepuasan saat melakukan aktivitas seksual

sehingga individu tidak mampu berfungsi seksual dengan baik (Basson,

Wierman, Lankveld, Brotto, 2010; Henderson, Lehavoit & Simoni, 2009).

Masalah-masalah yang mengganggu proses hubungan seks diantaranya

penurunan ketertarikan pada ikatan seksual, kesulitan dalam mencapai

keterangsangan seksual dan orgasme serta tidak merasa nyaman atau sakit

selama melakukan hubungan seksual (Basson, Wierman, Lankveld, Brotto,

2010; Basson dkk, 2004). Laumann, Paik, dan Rosen (1999) mendefinisikan

disfungsi seksual sebagai bermacam-macam bentuk gangguan atau

permasalahan pada hasrat seksual dalam perubahan psikis dan fisiologis

yang berkaitan dengan respon seksual pada wanita dan pria.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

disfungsi seksual merupakan bermacam-macam gangguan dan permasalahan

fisik dan mental yang dialami individu serta membuat respon seksual

individu terganggu sehingga individu menjadi tidak mampu berpartisipasi

dalam hubungan seksual yang mereka harapkan sedangkan fungsi seksual

merupakan kondisi fisik dan mental yang baik yang dimiliki individu dalam

keterkaitannya dengan hasrat seksual, keterangsangan seksual, orgasme,

perlendiran, rasa puas, dan ketiadaan rasa sakit saat melakukan aktivitas

(45)

2. Aspek fungsi seksual

a. Sexual desire/ hasrat seksual

Fungsi seksual menurut Lewis dan Fugl-Meyer (2004)

merupakan kemampuan individu untuk merasakan hasrat atau

ketertarikan seksual, pemikiran atau fantasi-fantasi seksual, dan memiliki

hasrat seksual yang responsif. Hasrat seksual seringkali juga disebut

dengan libido baik pada wanita maupun pria (Lewis &

Fugl-Meyer,2004). Menurut Kaplan (dalam DeLamater & Morgan Sill, 2005)

hasrat seksual adalah keinginan yang besar (appetite) atau dorongan

yang memotivasi kita untuk berperilaku seksual. Peneliti lain memilih

mendefinisikan hasrat seksual bukan sebagai dorongan biologis tetapi

sebagai kognitif atau pengalaman emosional seperti kerinduan (longing),

dan harapan (wishing) (Everaerd, Schriner-engel, Schiavi, White, dan

Ghizzani, dalam DeLamater & Morgan Sill, 2005).

Wincze dan Carey, 1991 (dalamHolt, 2007) menyatakan bahwa

kurangnya hasrat seksual biasanya disebabkan karena faktor medis

(seperti diabetes atau menopause), psikologis (seperti depresi,

kecemasan, citra diri, dan rasa takut akan ditolak), dan sosial (seperti

agama, komunikasi yang tidak baik, kualitas hubungan).

b. Sexual arousal/ keterangsangan seksual

Keterangsangan seksual merupakan sesuatu yang dirasakan

(46)

American Psychiatric Association/ APA, 2000 (dalam Frohlich dan

Meston, 2002), keterangsangan seksual merupakan kemampuan individu

untuk mencapai atau mempertahankan respon seksual melalui

perlendiran alat kelamin sampai dengan proses aktivitas seksual berakhir.

Keterangsangan seksual dapat dirasakan berbeda oleh laki-laki dan

perempuan baik heteroseksual maupun homoseksual. Laki-laki merasa

terangsang secara subjektif dan karena alasan genital lebih tinggi

dibandingkan perempuan. Keterangsangan seksual yang dirasakan

perempuan lebih fleksibel dan didasarkan pada perilaku, sikap, dan

kemampuan bereaksi pasangannya (Chivers, Rieger, Latty, & Bailey,

2004). Menurut Ariely (2005) keterangsangan seksual dapat berdampak

pada 3 area pengambilan keputusan dan perilaku secara umum. 3 area

pengambilan keputusan tersebut berupa (1) preferensi yang luas terhadap

stimulus dan aktivitas seksual, (2) kemauan untuk terikat pada sesuatu

perilaku dengan tujuan memperoleh gratifikasi seksual sesuai dengan

moral yang ada, dan (3) kemauan untuk berhadapan dengan seks yang

tidak aman ketika merasa terangsang. Berdasarkan hal di atas dapat

disimpulkan bahwa keterangsangan seksual juga memiliki peran bagi

individu dalam berfungsi secara seksual.

c. Orgasme

Orgasme merupakan tujuan dari kebanyakan aktivitas seksual,

(47)

pleasure(rasa senang)dan pemenuhan seksual(Opperman, Braun, Clarke,

& Rogers 2013). Opperman, Braun, Clarke, dan Rogers (2013)

mendeskripsikan orgasme sebagai sebuah pengalaman tambahan yang

diasosiasikan dengan kesenangan (pleasure) fisik dan fisiologis.

Orgasme merupakan sesuatu yang didesain oleh tubuh kita untuk sebuah

pengalaman dan merupakan sebuah ―tujuan‖ dari beberapa aktivitas

seksual. Orgasme juga merupakan sarana untuk merasakan kesenangan

dan pemenuhan seksual. Hal tersebut didukung olehReich, 1973 (dalam

Opperman, Braun, Clarke, & Rogers 2013) yang menyatakan bahwa

orgasme berdiri sebagai jalan bagi individu untuk mencapai sexual

pleasure. Wanita yang mengalami orgasme saat waktu yang bersamaan

atau sebelum pasangan mereka menunjukkan kepuasan seksual yang

lebih tinggi (Sprecher & Mckinney, 1997).

Fahs (2011)mengatakan bahwa orgasme merupakan

indikator/elemen dari kehidupan seksual dan hubungan seksual yang

sehat. Emily Opperman, Braun, Clarke, dan Rogers (2013) mengatakan

bahwa orgasme merupakan sebuah proses yang harus dilalui individu

untuk mencapai kepuasan seksual. Emily menambahkan dari hasil

penelitiannya, para wanita mengungkapkan bahwa orgasme membuat

mereka merasa tenang/ santai dan juga merasa puas. MenurutOpperman,

Braun, Clarke, dan Rogers (2013), orgasme memberi 3 dampak utama

(48)

pasangan meningkat, dan keintiman yang telah ada semakin menguat dan

mendalam.

d. Satisfaction/ Rasa puas

Rasa puasberkaitan dengan adanya aktivitas seksual dan orgasme.

Rasa puasseringkali disebut sebagai suatu hal yang berdampingan

dengan orgasme. Hasil penelitian dari Opperman, Braun, Clarke, dan

Rogers (2013) menyatakan bahwa ketika individu mencapai orgasme dan

selama aktivitas seksualnya dengan pasangan menyenangkan maka

individu tersebut tetap merasa senang (pleasure) dan puas.

e. Pain/ rasa sakit atau tidak nyaman

Rasa sakit atau tidak nyaman berkaitan dengan kemampuan fisik

untuk merespon stimulus tanpa rasa tidak nyaman (Whipple, 2002). Rasa

sakit yang dirasakan dapat mengganggu berlangsungnya aktivitas seksual

pada wanita. Tingginya intensitas rasa sakit saat berhubungan seksual

berhubungan dengan rendahnya kemampuan lubrikasi pada wanita

(Binik, 2005, dalam Farmer & Meston, 2007). Ketika wanita sulit

mengalami lubrikasi, maka akan berpengaruh pada pencapaian hubungan

seksual yang menyenangkan. Dengan demikian, wanita sulit mencapai

kepuasan seksual (Smith dkk, 2012). Rasa sakit tersebut dapat

digolongkan menjadi dua jenis yaitu dyspareunia dan vaginismus (Lewis

(49)

3. Faktor yang mempengaruhi disfungsi seksual a. Individual

Secara biologis, faktor bawaan berperan secara konstitusional

dalam mempengaruhi disfungsi seksual. Orang-orang dengan gangguan

perkembangan seksual cenderung mengalami masalah-masalah seskual

dibanding orang yang tidak memiliki gangguan perkembangan seksual.

Selain itu, faktor gangguan perkembangan lainnya juga dapat

menumbulkan beberapa masalah seksual bagi wanita (Brotto dkk, 2016).

Gangguan tersebut dapat muncul karena adanya pengalaman

diperlakukan dengan kasar saat masa kanak-kanak (Childhood Sexual

Abuse). Wanita dengan sejarah pengalaman kekerasan seksual cenderung

melakukan perilaku seksual yang beresiko, mengalami permasalahan

seksual, dan melakukan tindakan kekerasan berulang pada masa dewasa

(Brotto dkk, 2016).

Barthelot dkk (2014) menyatakan bahwa lebih dari setengah

wanita yang mendatangi klinik mengalami masalah seksual karena

pernah mengalami kekerasan seksual saat kanak-kanak. Di Swedia,

sebanyak 12% wanita yang berusia 18-74 tahun pernah mengalami

kekerasan seksual dalam hidupnya (Oberg, 2002, dalam Lewis &

Fugl-Meyer, 2004). Selain itu, masa pubertas dan pengalaman-pengalaman

terkait aktivitas seksual juga turut mempengaruhi fungsi seksual

(50)

remaja dan dewasa awal berhubungan dengan peningkatan kepuasan dan

pengalaman seksual, citra diri, dan harga diri yang baik. Pengalaman

positif tersebut memberi kontribusi bagi individu dalam mengurangi

kesulitan atau permasalahan seksual di kemudian hari (Elmerstig,

Wijma, & Swahnberg, 2009; Rapsey, 2014). Hal ini membuktikan bahwa

pengalaman masa kecil mempengaruhi wanita dalam berfungsi secara

seksual.

b. Sifat atau karakter (trait)

1) Trait secara umum

Penelitian Gomes dan Nobre (2011), serta Crisp, Vaccaro,

Fellner, Kleeman, & Pauls (2015), menunjukkan bahwa individu

dengan karakter ekstrovert memiliki hubungan dengan fungsi seksual

dan kepuasan seksual yang tinggi baik pada pria maupun wanita.

Wanita dengan disfungsi seksual cenderung memiliki sifat yang

negatif dan tingkat kontrol diri yang rendah (Oliveira & Nobre,

2013). Sedangkan orang dengan permasalahan seksual memiliki skor

yang tinggi terhadap sifat neurotik (Peixoto & Nobre, 2014).

Penemuan-penemuan ini menunjukkan bahwa sifat individu dapat

mempengaruhi peningkatan disfungsi seksual pada individu.

(51)

Sifat spesifik seksual meliputi rintangan seksual (sexual

inhibition), dan keyakinan seksual (sexual beliefs) Penelitian

menunjukkan bahwa rintangan seksual memiliki hubungan positif

dengan tingginya permasalahan seksual (Bloemendaal & Laan, 2015;

Sanders, Graham, & Milhausen, 2008). Hal ini disebabkan karena

adanya hambatan atau rintangan tersebut membuat respon seksual

individu menjadi tidak seimbang (Janssen & Bancroft, 2007;

Bancroft, Graham, Janssen, & Sanders, 2009). Sedangkan pada

keyakinan seksual (sexual beliefs), penelitian menemukan bahwa

semakin tinggi keyakinan yang dimiliki individu maka akan semakin

rendah resiko individu mengalami disfungsi seksual. Hal ini

disebabkan karena keyakinan tersebut memiliki peran dalam

memberi pengaruh dan mempertahankan kondisi fungsi seksual

seseorang (Brotto dkk, 2016).

c. Life stage dan Kesehatan Mental

1) Tingkat stress

Banyaknya stress atau tekanan yang dihadapi individu dapat

mempengaruhi fungsi seksual dan kepuasan seksual termasuk

meningkatkan depresi, penyakit fisik, dan disabilitas (Deng dkk,

2012; Hallstrom & Samuelsson, 1990; Lee dkk, 2010; Pastiszak,

Badhiwala, Liohsultz, & Khera, 2013). Tekanan ini banyak dipicu

(52)

faktor penuaan, dan menopause (Gracia, Freeman, Sammel, Lin, &

Mogul, 2007). Penurunan fungsi seksual sering terjadi pada wanita

yang sudah menopause karena berkaitan dengan kualitas hubungan

(Cawood & Bancroft, 1996; Avis dkk, 2008), fungsi fisiologis

(Gracia, Freeman, Sammel, Lin, & Mogul, 2007; Bancroft, Loftus, &

Long, 2003), ketersediaan pasangan (Gracia, Freeman, Sammel, Lin,

& Mogul, 2007), kesehatan (Bancroft, Loftus, & Long, 2003; Hunter,

1990), dan sistem hormon (Brotto dkk, 2016). Hal ini disebabkan

karena wanita yang sudah menopause cenderung menghadapi

perubahan dalam aktivitas seksual dan kesulitan dalam melakukan

senggama (Brotto dkk, 2016). Tingkat stress juga dapat menjadi

dampak bagi wanita yang mengalami disfungsi seksual.

2) Depresi

Pola paling umum yang berkaitan dengan penurunan ketertarikan

seksual dan/ atau keterangsangan seksual ialah depresi (Hayers dkk,

2008). Wanita yang mengalami depresi memiliki fungsi seksual yang

lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak mengalami

depresi (Clayton dkk, 2012). Hal ini disebabkan oleh kurangnya

kemungkinan bagi seseorang yang depresi untuk berada pada kondisi

fungsi seksual yang baik (Schreiner-Engel & Schiavi, 1986).

Frohlich dan Meston (2002) melakukan studi eksploratori pada

(53)

menemukan bahwa wanita pada kelompok yang memiliki simptom

depresi lebih tertarik pada aktivitas seksual mandiri seperti

masturbasi. Kelompok wanita yang depresi dilaporkan memiliki

frekuensi yang tinggi terhadap permasalahan seksual seperti

keterangsangan seksual, orgasme dan rasa sakit, rendahnya kepuasan,

dan rendahnya rasa senang (pleasure). Menurut Frohlich & Meston

(2002) wanita yang depresi tidak mampu mencapai orgasme dan

merefleksikan harapannya dalam mencapai dan mewujudkan

kesenangan seksual melalui masturbasi. Wanita yang depresi

diperkirakan memiliki kepuasan yang rendah pada hubungan seksual

yang dimiliki (Frohlich & Meston, 2002).

3) Kecemasan dan gangguan kecemasan

Wanita yang sering cemas atau mengalami gangguan kecemasan

cenderung memiliki hasrat seksual yang rendah. Contohnya,

seseorang dengan gangguan phobia sosial berhubungan dengan

gangguan hasrat seksual dan dyspareunia secara bersamaan

(Bodinger dkk, 2002). Kemudian, wanita dengan gangguan panic

serta gangguan obsessive compulsive disorder memiliki hasrat

seksual yang rendah. Kaplan, 1988 (dalam Lewis & Fugl-Meyer,

2004) menyatakan bahwa kecemasan merupakan elemen kritis dalam

(54)

sexaphobic‖ didiagnosis mengalami gangguan panic dan memiliki

hasrat seksual yang rendah.

4) Penggunaan obat/ substansi tertentu

Alkohol bisa dikaitkan dengan penurunan fungsi seksual karena

dapat mempengaruhi respon genital (Covington & Kohen, 1984;

George & Stoner, 2000). Penelitian menemukan bahwa wanita yang

memiliki kecanduan berat terhadap alkohol dan mengakibatkan

menurunnya keterangsangan seksual dan orgasme (Witting dkk,

2008). Sedangkan, pada studi laboratorium yang dilakukan oleh

Harte & Meston (2008) menunjukkan bahwa kelompok wanita yang

diberikan nikotin menunjukkan penurunan respon genital

dibandingkan dengan kelompok wanita yang tidak diberikan nikotin.

Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan obat atau substansi tertentu

dapat mempengaruhi fungsi seksual wanita. Penggunaan obat seperti

anti-hipertensif dapat mengganggu proses hormonal dalam tubuh

wanita dan menyebabkan terinterupsinya kinerja hormon LH

(luteinizing hormone) dan FSH (follicle-stimulating hormone)

sehingga menyebabkan siklus menstruasi, suasana hati, kondisi fisik

yang terganggu, serta menghalangi reseptor menerima rangsangan

dopamin (Duncan & Bateman, 1993).

(55)

1) Distraksi kognitif

Menurut Elliot dan O‘donohue (1997) menurunnya

keterangsangan seksual subjektif dan genital dapat dipicu oleh

distraksi kognitif saat seseorang menerima stimulus erotis.

Sebaliknya, ketika seseorang wanita mengalami disfungsi seksual

dan kehilangan keterangsangan seksual, maka akan memicu

munculnya distraksi kognitif pada saat aktivitas seksual. Dampaknya,

seseorang menjadi tidak fokus dan teralihkan pikirannya karena

kondisi fisik dan mental secara seksual yang terganggu.

2) Kognisi seksual dan pikiran otomatis

Pria dan wanita dengan disfungsi seksual dilaporkan memiliki

lebih banyak pemikiran negatif saat melakukan aktivitas seksual

(Morton & Gorzalka, 2013; Nobre & Pinto-Gouveia, 2008) serta

kurangnya pikiran-pikiran erotis. Kurangnya kemampuan untuk

berpikir erotis membuat penurunan pada hasrat seksual seseorang.

Biasanya, wanita yang mengalami ketidakmampuan berpikir erotis

adalah wanita yang sebelumnya telah memiliki permasalahan seksual

seperti masalah orgasme atau vaginismus (Carvalho & Nobre, 2010;

Nobre & Pinto-Gouveia, 2008; Neff & Karney, 2010).

(56)

Studi eksperimen terdahulu pada pria dan wanita menunjukkan

bahwa status emosi terutama rasa cemas mampu memprediksi tinggi

rendahnya respon genital seseorang (Beck, Barlow, Sakhiem, &

Abrahamson, 1987). Penelitian menunjukkan bahwa kecemasan

dapat mempengaruhi munculnya permasalahan seksual seperti respon

seksual pada genital (Meston & Gorzalka, 1996). Permasalahan

emosional dapat menjadi predktor rendahnya hasrat seksual dan

gangguan keterangsangan seksual serta gangguan rasa sakit seksual

pada wanita (Lauman, Paik, & Rosen, 1999).

e. Fisiologis

Beberapa faktor fisiologis yang berkaitan dengan kesehatan fisik

dapat menjadi faktor beresiko yang mempengaruhi fungsi seksual seperti

diabetes dan penyakit kardiovaskular. Kadri dkk, 2002 (dalam Lewis &

Fugl-Meyer, 2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara

diabetes dengan ketidakmampuan orgasme, dyspareunia, dan

keengganan dalam berpartisipasi secara seksual. Wanita yang memiliki

penyakit diabetes cenderung memiliki hasrat seksual, lubrikasi, dan

tingkat orgasme yang rendah. Selanjutnya, penelitian Duncan dkk, 2001

(dalam Lewis & Fugl-Meyer, 2004) menyatakan bahwa hipertensi

memiliki hubungan dengan rendahnya fungsi perlendiran dan disfungsi

orgasme pada wanita. Hanon dkk, 2002 (dalam Lewis & Fugl-Meyer,

(57)

mengalami penurunan ketertarikan seksual. Semakin kompleks

permasalahan fisik yang dimiliki wanita dapat mempengaruhi tingginya

ketidakmampuan seksual.

f. Interpersonal

1) Keintiman dan kepuasan hubungan

Salah satu motivasi penting dalam aktivitas seksual ialah

meningkatkan keintiman emosional dengan pasangan (Meston &

Buss, 2007). Survei yang dilakukan pada wanita dengan masalah

kronis di bagian vulvar atau pelvis menunjukkan bahwa wanita yang

memiliki keintiman emosional yang baik menunjukkan kondisi

rendahnya rasa sakit yang lebih rendah pada hubungan seksual yang

dimiliki (Blair, Pukall, Smoth, & Cappbell, 2015). Selain itu,

keintiman seksual juga penting pengaruhnya bagi fungsi seksual

wanita. Wanita dengan penyakit vestibulodynia menunjukkan tingkat

kepuasan seksual yang lebih tinggi dan juga tingginya keintiman

seksual yang dimiliki (Bois, Bergeron, Rosen, Mcduff, & Gregoire,

2013).

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Sanchez,

Moss-Racusin, Phelan, dan Crocker (2011) pada wanita homoseksual dan

heteroseksual menyatakan bahwa keintiman yang dimiliki sebuah

pasangan berhubungan dengan kepuasan seksual yang lebih baik

(58)

menyenangkan pasangan. Kemudian, individu dengan tingkat

kepuasan hubungan yang tinggi diasosiasikan dengan hasrat seksual

yang tinggi pula (Gershenson dkk, 2007).

4. Dampak disfungsi seksual

Melihat betapa pentingnya fungsi seksual bagi kehidupan seksual,

khususnya pada wanita, tentu saja penting juga untuk mengetahui dampak

yang akan ditimbulkan dari adanya disfungsi seksual untuk memberikan

pemahaman bahwa fungsi seksual merupakan sesuatu yang perlu diberi

perhatian. Bila ditinjau lebih lanjut, dampak yang ditimbulkan oleh disfungsi

seksual dapat berupa distraksi kognitif dan ketidakmampuan berimajinasi

seksual (Geer & Fuhr, 1976, dalam Cuntim & Nobre, 2011). Menurutnya,

distraksi pada proses kognitif terhadap hal-hal erotis mempunyai peran

penting dalam munculnya permasalahan seksual atau disfungsi seksual.

Distraksi berkaitan dengan atensi seseorang, yaitu semakin individu

mengalami distraksi maka semakin rendah atensi yang diberikan saat

beraktivitas seksual (Geer & Fuhr, 1976, dalam Cuntim & Nobre, 2011).

Cuntim dan Nobre (2011) menyatakan bahwa wanita dengan gangguan

orgasme menunjukkan tingginya tingkat distraksi kognitif dibandingkan

dengan wanita yang tidak mengalami gangguan orgasme. Hal ini didukung

oleh Adams III, Haynes, & Brayer (1985) yang menyatakan bahwa

Gambar

Tabel 1.1 Persentase Perbandingan Mean Kepuasan Seksual 3 Kelompok Negara
Tabel 1.2 Persentase Perbandingan Kepuasan Seksual Kelompok 3 Ditinjau
Tabel 1.3 Perbandingan korelasi pearson r terhadap variabel kepuasan seksual
Tabel 2.1 Perbandingan skala kepuasan seksual
+7

Referensi

Dokumen terkait

“The solid financial and business performance for the period of nine months ended September 30, 2004 reflected the cellular revenues growth supported by the cellular subscriber

[r]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sumber daya manusia, modal, pemasaran produk, dan dukungan pemerintah daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap daya saing usaha

[r]

Gambar 1.1 Skor Standar Proses Hasil Evaluasi Diri Sekolah (EDS) LPMP. Provinsi

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Pelaksanaan Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan di Lingkungan

Tabel 3.18 Seleksi Perseptual: Semakin sering pemberitaan kasus 67. kriminalitas akibar

(POMNAS) IX 2005 selaku official/Pelatih Cabang Olahraga Karate, pada. tanggal 25 Juli s.d 4 Agustus 2005 di Universitas Padjadjaran,