BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1 Imunisasi
2.1.1.1 Definisi Imunisasi
Imunisasi bersal dari kata imun. Kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit. Tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain (Notoatmodjo, 2003).
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan vaksin adalah bahan yang dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin BCG, DPT, dan Campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin polio) (Hidayat, 2008).
Imunisasi dan vaksinasi seringkali diartikan sama. Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibody secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibody) dari system imun di dalam tubuh. Imunitas secara pasif dapat diperoleh dari pemberian dua macam bentuk, yaitu immunoglobulin yang non spesifik atau gamaglobulin dan immunoglobulin yang spesifik yang berasal dari plasma donor yang sudah sembuh dari penyakit tertentu atau baru saja mendapatkan vaksinasi penyakit tertentu (Ranuh, 2008).
Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa, tidak terjadi penyakit (Ranuh dkk, 2008).
2.1.1.2 Tujuan Imunisasi
Tujuan dalam pemberian imunisasi, antara lain : (1) Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan penyakit tertentu di dunia, (2) Melindungi dan mencegah penyakit-penyakit menular yang sangat berbahaya bagi bayi dan anak, (3) Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu, (4) Menurunkan morbiditas, mortalitas dan cacat serta bila mungkin didapat eradikasi sesuatu penyakit dari suatu daerah atau negeri, (5) Mengurangi angka penderita suatu penyakit yang sangat membahayakan kesehatan bahkan bisa menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa penyakit yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti campak, polio, difteri, tetanus, batuk rejan, hepatitis B, gondongan, cacar air, TBC, dan lain sebagainya, (6) Mencegah terjadinya penyakit tetentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit pada sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan penyakit tertentu dari dunia seperti pada imunisasi cacar (Maryunani, 2010).
2.1.1.3 Manfaat Imunisasi
Manfaat imunisasi bagi anak dapat mencegah penyakit cacat dan kematian, sedangkan manfaat bagi keluarga adalah dapat menghilangkan kecemasan dan mencegah biaya pengobatan yang tinggi bila anak sakit. Bayi dan anak yang mendapat imunisasi dasar lengkap akan terlindungi dari beberapa
penyakit berbahaya dan akan mencegah penularan ke adik dan kakak dan teman-teman disekitarnya. Dan manfaat untuk Negara adalah untuk memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal untuk melanjutkan pembangunan Negara (Proverawati & Andhini, 2010).
2.1.1.4 Macam-macam Imunisasi
Imunitas atau kekebalan, dibagi dalam dua hal, yaitu aktif dan pasif. Aktif adalah bila tubuh anak ikut menyelenggarakan terbentuknya imunitas, sedangkan pasif adalah apabila tubuh anak tidak bekerja membentuk kekebalan, tetapi hanya menerimanya saja (Hidayat, 2008).
1. Imunisasi aktif
Imunisasi aktif adalah pemberian kuman atau racun kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan dengan tujuan untuk merangsang tubuh memproduksi antibodi sendiri. Contonya : imunisasi polio atau campak. Imunisasi aktif ini dilakukan dengan vaksin yang mengandung : (a) Kuman-kuman mati (misalnya : vaksin cholera – typhoid / typhus abdomi nalis – paratyphus ABC, vaksin vertusis batuk rejan), (b) Kuman-kuman hidup diperlemah (misalnya : vaksin BCG terhadap tuberkulosis), (c) Virus-virus hidup diperlemah (misalnya : bibit cacar, vaksin poliomyelitis), (d) Toxoid (= toksin = racun dari pada kuman yang dinetralisasi: toxoid difteri, toxoid tetanus) (Hidayat, 2008).
Vaksin diberikan dengan cara disuntikkan atau per-oral melalui mulut. maka pada pemberin vaksin tersebut tubuh akan membuat zat-zat anti terhadap penyakit yang bersangkutan, oleh karena itu dinamakan imunisasi aktif, kadar zat-zat dapat diukur dengan pemeriksaan darah, dan oleh sebab itu menjadi imun
(kebal) terhadap penyakit tersebut. Pemberian vaksin akan merangsang tubuh membentuk antibodi. Untuk itu dalam imunisasi aktif terdapat empat macam kandungan yang terdapat dalam setiap vaksinnya, antara lain : (a) Antigen merupakan bagian dari vaksin yang berfungsi sebagai zat atau mikroba guna terjadinya semacam infeksi buatan, yang dapat berupa poli sakarida, toxoid, atau virus yang dilemahkan atau bakteriyang dimatikan, (b) Pelarut dapat berupa air steril atau berupa cairan kultur jaringan, (c) Preservatif, stabiliser, dan antibiotik yang berguna untuk mencegah tumbuhnya mikroba sekaligus untuk stabilisasi antigen, (d) Adjuvans yang terdiri atas garam aluminium yang berfungsi untuk imunogenitas antigen (Hidayat, 2008).
Keuntungan imunisasi aktif yaitu : (a) Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidup, (b) Murah dan efektif, (c) Tidak berbahaya, reaksi yang serius jarang terjadi (Hidayat, 2008).
2. Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif merupakan pemberian zat (imunoglobulin), yaitu suatu zat yang dihasilkan melalui suatu proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia atau binatang yang digunakan untuk mengatasi mikroba yang diduga sudah masuk dalam tubuh yang terinfeksi (Hidayat, 2008).
Imunisasi pasif perlu diberikan pada kondisi-kondisi tertentu. Pada difteria atau tetanus, toksin dalam sirkulasi perlu dinetralisasi dengan antibodi terhadap toksin tersebut. Antibodi dari luar perlu diberikan bila penderita belum pernah diimunisasi sehingga tidak dapat diharapkan timbul respons sekunder terhadap
toksin ini. Antibodi diberikan pada kasus-kasus gas gangren, botulism, gigitan ular atau kalajengking berbisa, dan rabies (Wahab 2002).
2.1.1.5 Cara pemberian imunisasi dan waktu pemberian imunisasi 1) Cara Pemberian Imunisasi
Tabel 2.1 Cara pemberian imunisasi dasar (DepKes 2006).
Vaksin Dosis Cara pemberian
BCG 0,05 ml Disuntikkan secara intrakutan didaerah kanan atas
(insertio musculus deltoideus) DPT 0,5 ml Secara intramuscular
Polio 2 tetes Diteteskan ke mulut
Campak 0,5 ml Subkutan, biasanya dilengan kiri atas Hepatitis B 0,5 ml Intramuscular pada anterolateral paha
2) Jadwal pemberian imunisasi
Tabel 2.2 Waktu yang tepat untuk pemberian imunisasi dasar (DepKes RI, 2006)
Umur Jenis imunisasi
0-7 hari Hepatitis B 1
1 bulan BCG
2 bulan Hepatitis B 2, DPT 1, Polio 1 3 bulan Hepatitis B 3, DPT 2, Polio 2
4 bulan DPT 3, Polio 3
2.1.1.6Tempat Mendapatkan Pelayanan Imunisasi 1) Puskesmas
a) KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) b) UKS (Usaha Kesehatan Masyarakat) c) Posyandu
d) Balai pengobatan 2) Non Puskesmas, meliputi :
a) Rumah sakit
b) Rumah sakit bersalin c) Rumah bersalin d) Dokter praktek anak e) Dokter umum praktek f) Dokter spesialis kebidanan g) Bidan praktek
h) Balai kesehatan masyarakat 2.1.1.7 Jenis-jenis imunisasi dasar
Imunisasi dasar adalah imunisasi pertama yang perlu diberikan pada semua orang, terutama bayi dan anak sejak lahir untuk melindungi tubuhnya dari penyakit-penyakit yang berbahaya (Maryunani, 2010).
1. Imunisasi BCG (Bacillus Celmette Guerin) a. Pengertian
Imunisasi BCG adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC), yaitu penyakit paru-paru yang sangat menular (Maryunani, 2010)..
b. Pemberian Imunisasi
Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah satu kali dan tidak perlu diulang (boster). Sebab, vaksin BCG berisi kuman hidup sehingga antibodi yang dihasilkannya tinggi terus. Berbeda dengan vaksin berisi kuman mati, hingga memerlukan pengulangan (Maryunani, 2010).
c. Usia Pemberian Imunisasi
Sedini mungkin atau secepatnya, tetapi pada umumnya di bawah 2 bulan. Jika diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan dilakukan tes Mantoux (tuberkulin) terlebih dahulu untuk mengetahui apakah bayi sudah kemasukan kuman Mycobacterium Tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil tes-nya negative. Jika ada penderita TB yang tinggal serumah atau sering bertandang kerumah, segera setelah lahir bayi di imunisasi BCG (Maryunani, 2010).
d. Cara Pemberian Imunisasi
Pemberian imunisasi BCG dilakukan secara Intra Cutan (IC) dengan dosis 0.05 cc menggunakan jarum pendek yang sangat halus (10 mm,ukuran 26).Sebaiknya dilakukan ketika bayi baru lahir sampai berumur 12 bulan, tetapi sebaiknya pada umur 0-2 bulan. Hasil yang memuaskan trlihat apabila diberikan
menjelang umur 2 bulan. BCG dilakukan dilengan kanan atas atau paha kanan atas.(Depkes RI,2005)
e. Tanda Keberhasilan Imunisasi
Timbul indurasi (benjolan) kecil dan eritema (merah) di daerah bekas suntikan setelah satu atau dua minggu kemudian,yang berubah menjadi pustule, kemudian pecah menjadi ulkus (luka). Tidak menimbulkan nyeri dan tidak diiringi panas (demam). Luka ini akan sembuh sendiri dan meninggalkan tanda parut. Jikapun indurasi (benjolan) tidak timbul, hal ini tidak perlu dikhawatirkan. Karena kemungkinan cara penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian khusus karena vaksin harus masuk kedalam kulit. Jadi, meskipun benjolan tidak timbul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam kadar rendah. Imunsasi tidak perlu diulang, karena di daerah endemi TB, infeksi alamiah akan selalu ada. Dengan kata lain akan mendapat vaksinasi alamiah (Maryunani, 2010). f. Efek Samping Imunisasi
Biasanya setelah suntikan BCG setelah 2 minggu akan terjadi pembengkakan kecil merah di tempat penyuntikan dengan garis tengah 10 mm akan sembuh sendiri denagan meninggalkan jaringan parut dengan garis tengah 3-7 mm (Atikah,2009).
g. Kontra Indikasi Imunisasi
a) Seorang anak menderita penyakit kulit yang berat atau menahun ,seperti eksim,furunkolis,dan sebagainya.
b) Imunisasi tidak boleh di berikan pada orang atau anak yang sedang menderita TBC (Atikah,2009).
2. Imunisasi DPT (diphtheria, pertusis, tetanus) a. Pengertian
Imunuisasi DPT merupakan imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap beberapa penyakit berikut ini: (a) Penyakit difteri, yaitu radang tenggorokan yang sangat berbahaya karena menimbulkan tenggorokan tersumbat dan kerusakan jantung yang menyebabkan kematian dalam beberapa hari saja. (b) Penyakit pertusis, yaitu radang paru (pernapasan), yang disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari. Karena sakitnya bisa mencapai 100 hari atau 3 bulan lebih. Gejalanya sangat khas, yaitu batuk yang bertahap, panjang dan lama disertai bunyi “whoop”/ berbunyi dan diakhiri dengan muntah, mata dapat bengkak atau penderita dapat meninggal karena kesulitan bernapas. (c) Penyakit tetanus, yaitu penyakit kejang otot seluruh tubuh dengan mulut terkunci / terkancing sehingga mulut tidak bisa membuka atau dibuka (Maryunani, 2010). b. Pemberian Imunisasi dan usia pemberian Imunisasi
Pemberian imunisasi 3 kali (paling sering dilakukan), yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan dan 6 bulan. Namun, bisa juga ditambahkan 2 kali lagi, yaitu 1 kali di usia 18 bulan dan 1 kali di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia 12 tahun, diberikan imunisasi TT (Maryunani, 2010).
c. Cara Pemberian Imunisasi
Cara pemberian imunisasi DPT adalah melalui injeksi Intramuskular. Suntikan diberikan di paha tengah luar atau subkutan dalam dengan dosis 0,5 cc. Pemberian vaksin DPT diberikan tiga kali mulai bayi berumur 2 bulan sampai 11 bulan dengan interval 4 minggu.(Depkes RI,2005)
d. Efek Samping Imunisasi
Biasanya, hanya gejala-gejala ringan, seperti sedikit demam (sumeng) saja dan rewel selama 1-2 hari, kemerahan, pembengkakan, agak nyeri atau pegal-pegal pada tempat suntikan, yang akan hilang sendiri dalam beberapa hari, atau bila masih demam dapat diberikan obat penurun panas bayi. Atau bisa juga dengan memberikan minum cairan lebih banyak dan tidak memakaikan pakaian terlalu banyak (Maryunani, 2010).
e. Kontra Indikasi Imunisasi
Imunisasi ini tidak boleh diberikan pada anak yang sakit parah dan menderita penyakit kejang demam kompleks. Juga tidak boleh diberikan pada anak dengan batuk yang diduga mungkin sedang menderita batuk rejan dalam tahap awal pada penyakit gangguan kekebalan. Bila suntikan DPT pertama terjadi reaksi yang berta maka sebaiknya suntukan berikut jangan diberikan DPT lagi melainkan DT saja. Sakit batuk, filek dan demam atau diare yang sifatnya ringan, bukan merupakan kontra indikasi yang mutlak.(Atikah,2009)
3. Imunisasi Polio a. Pengertian
Imunisasi Polio adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan terhadap penyakit poliomyelitis, yaitu penyakit radang yang menyerang saraf dan dapat mengakibatkan lumpuh kaki. - Imunisasi Polio adalah imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak. (Kandungan vaksin polio adalah virus yang dilemahkan) (Maryunani, 2010).
b. Pemberian Imunisasi
Bisa lebih dari jadwal yang telah ditentukan, mengingat adanya imunisasi polio massal atau Pekan Imunisasi Nasional. Tetapi jumlah dosis yang berlebihan tidak akan berdampak buruk, karena tidak ada istilah overdosis dalam imunisasi (Maryunani, 2010).
c. Usia Pemberian Imunisasi
Waktu pemberian polio adalah pada umur bayi 0-11 bulan atau saat lahir (0 bulan), dan berikutnya pada usia bayi 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DPT (Maryunani, 2010).
d. Cara Pemberian Imunisasi
Di Indonesia dipakai vaksin sabin yang diberikan melalui mulut. Imunisasi dasar diberikan sejak anak baru lahir atau berumur beberapa hari, dan selanjutnya setiap 4-6 minggu. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes ( 0,1 ml) langsung ke mulut anak atau dengan sendok yang menggunakan larutan gula.Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes( dopper) yang baru (Depkes RI,2005). e. Efek Samping Imunuisasi
Pada imunisasi polio hampir tidak ada efek samping. Bila ada, mungkin berupa kelumpuhan anggota gerak seperti pada penyakit polio sebenarnya (Atikah,2009).
f. Kontra – indikasi Imunisasi
Sebaiknya pada anak dengan diare berat atau yang sedang sakit parah, seperti demam tinggi (diatas 38C) ditangguhkan. Pada anak yang menderita
penyakit gangguan kekebalan tidak diberikan imunisasi polio. Demikian juga anak dengan dengan penyakit HIV/AIDS, penyakit kanker atau keganasan, sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum, untuk tidak diberikan imunisasi polio (Maryunani, 2010).
g. Tingkat Kekebalan
Bisa mencekal penyakit polio hingga 90 % (Maryunani, 2010). 4. Imunisasi Campak
a. Pengertian
Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit campak (morbili/measles). Kandungan vaksin campak ini adalah virus yang dilemahkan.
Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun seiring bertambahnya usia, antibodi dari ibunya semakin menurun sehingga butuh antibodi tambahan lewat pemberian vaksin campak. Penyakit campak mudah menular, dan anak yang daya tahan tubuhnya lemah gampang sekali terserang penyakit yang disebabkan virus morbili ini. Namun, untungnya campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi sekali terkena campak, setelah itu biasanya tidak akan terkena lagi (Maryunani, 2010).
b. Pemberian Imunisasi
Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah satu kali (Maryunani, 2010).
c. Usia Pemberian Imunisasi
Imunisasi campak diberikan 1 kali pada usia 9 bulan, dan dianjurkan pemberiannya sesuai jadwal. Selain karena antibodi dari ibu sudah menurun di usia bayi 9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak usia balita. Jika sampai usia 12 bulan anak belum mendapatkan imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan ini anak harus diimunisasi MMR (Measles Mumps Rubella) (Maryunani, 2010).
d. Cara Pemberian Imunisasi
Sebelum di suntikan vaksin campak terlebih dahulu dilarutkan dengan pelarut.Kemudian disuntikan lengan kiri atas secara subkutan (Depkes RI,2005). e. Efek Samping Imunisasi
Biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisasi. Mungkin terjadi demam ringan dan terdapat efek kemerahan / bercak merah pada pipi di bawah telinga pada hari ke 7 – 8 setelah penyuntikan. Kemungkinan juga terdapat pembengkakan pada tempat penyuntikan (Maryunani, 2010).
f. Kontra Indikasi Imunisasi
Kontra indikasi pemberian imunisasi campak adalah anak : (a) Dengan penyakit infeksi akut yang disertai demam, (b) Dengan penyakit gangguan kekebalan, (c) Dengan penyakit TBC tanpa pengobatan, (d) Dengan kekurangan gizi berat, (e) Dengan penyakit keganasan, (f) Dengan kerentanantinggi terhadap protein telur, kanamisin dan eritromisin (antibiotik) (Maryunani, 2010).
5. Imunisasi Hepatitis B a. Pengertian
Imunisasi Hepatitis B adalah imunisasi yang diberikan untuk menimbulkan kekebalan aktif terhadap penyakit hepatitis B, yaitu penyakit infeksi yang dapat merusak hati. Imunisasi Hepatitis B adalah imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit hepatitis, yang kandungannya adalah HbsAg dalam bentuk cair ) (Maryunani, 2010).
b. Pemberian Imunisasi
Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis B adalah 3 kali ) (Maryunani, 2010). c. Usia Pemberian Imunisasi
Sebaiknya diberikan 12 jam setelah lahir. Dengan syarat kondisi bayi dalam keadaan stabil, tidak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Kemudian dilanjutkan pada saat bayi berusia 1 bulan, dan usia antara 3 – 6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap hepatitis B, selain imunisasi yang diberikan kurang dari 12 jam setelah lahir, juga diberikan imunisasi tambahan dengan immunoglobulin anti hepatitis B dalam waktu sebelum usia 24 jam ) (Maryunani, 2010).
d. Cara Pemberian Imunisasi
Cara pemberian imunisasi hepatitis B adalah dengan cara intramuskuler (I.M atau i.m) di lengan deltoid atau paha anterolateral bayi (antero : otot-otot dibagian depan, lateral : otot bagian luar). Penyuntikan dibokong tidak dianjurkan karena bisa mengurangi efektivitas vaksin ) (Maryunani, 2010).
e. Efek Samping Imunisasi
Reaksi imunisasi yang terjadi biasanya berupa nyeri pada tempat suntikan, yang mungkin disertai dengan timbulnya rasa panas atau pembengkakan. Reaksi ini kan menghilang dalam waktu 2 hari. Reaksi lain yang mungkin terjadi ialah demam ringan (Atikah,2009).
f. Tanda Keberhasilan
Tidak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Tetapi dapat dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah atau mengecek kadar hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya diatas 1000, berarti daya tahannya 8 tahun. Diatas 500 tahan selama 5 tahun. Diatas 200 tahan selama 3 tahun. Tetapi bila angkanya 100 maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angka nol bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi (Maryunani, 2010). g. Kontra – Indikasi Imunisasi
Imunisasi tidak dapat diberikan kepada anak yang menderita penyakit berat. Dapat diberikan kepada ibu hamil dengan aman dan tidak akan membahayakan janin. Bahkan akan memberikan perlindungan kepada janin selama dalam kandungan ibu maupun kepada bayi selama beberapa bulan setelah lahir (Atikah,2009).
h. Tingkat Kekebalan
Cukup tinggi, antara 94 – 96. Umumnya, setelah 3 kali suntikan,lebih dari 95 % bayi mengalami respon imun yang cukup (Maryunani, 2010).
2.1.1.8Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Untuk kepentingan oprasional kejadian ikutan pasca imunisasi didefinisikan sebagai semua kejadian sakit dan kematian yang terjadi dalam masa 1 bulan setelah imunisasi. Kriteria WHO western pasifik untuk memilih KIPI dalam lima kelompok penyebab yaitu :
1) Kesalahan program/ teknik pelaksanaan imunisasi
Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan, pengelolaan dan tata laksana pemberian vaksin, misalnya terjadi pada : (a) Dosis antigen (terlalu banyak), (b) Lokasi dan cara menyuntik, (c) Sterilisasi semprit dan jarum suntik, (d) Jarum bekas pakai, (e) Tindakan aseptik dan antiseptik, (f) Kontaminasi vaksin dan peralatan suntik, (g) Penyimpanan vaksin, (h) Pemakaian sisa vaksin, (i) Jenis dan jumlah peralut vaksin, (j) Tidak memperhatikan petunjuk produsen (petunjuk pemakaian, indikasi kontra) (Purnamaningrum,2011).
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama. Kecenderungan lain adalah apabila suatu kelompok populasi mendapat vaksin dengan batch yang sama tetapi tidak terdapat masalah atau apabila sebagian populasi setempat dengan karakteristik serupa yang tidak diimunisasi tapi justru menunjukkan masalah tersebut (Purnamaningrum,2011).
2) Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI. Reaksi
suntikan langsung misal rasa sakit, bengkak dan kemerahan pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa takut, pusing dan mual (Purnamaningrum,2011).
3) Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus, atau berbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk kemungkinan interaksi dengan obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi (Purnamaningrum,2011).
4) Faktor kebetulan (koinsiden)
Indikator faktor kebetulan ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi (Purnamaningrum,2011).
5) Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara dimasukkan ke dalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat ditentukan kelompok penyebab KIPI (Purnamaningrum,2011).
2.1.2Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Imunisasi Dasar Lengkap Menurut Suparyanto (2011), faktor yang mempengaruhi imunisasi dasar lengkap adalah :
2.1.2.1 Pendidikan
Ada pengaruh tingkat pendidikan terhadap penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan. Bahwa penggunaan posyandu dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dapat membuat orang menjadi berpandangan lebih luas berfikir dan bertindak secara rasional sehingga latar belakang pendidikan seseorang dapat mempengaruhi penggunaan pelayanan kesehatan (Notoadmodjo, 2007).
Pendidikan terjadi melalui kegiatan atau proses belajar yang dapat terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Kegiatan belajar mempunyai ciri-ciri: belajar adalah kegiatan yang menghasilkan perubahan pada diri individu, kelompok, atau masyarakat yang sedang belajar, baik aktual maupun potensial. Ciri kedua dari hasil belajar bahwa perubahan tersebut di dapatkan karena kemampuan baru yang berlaku untuk waktu yang relatif lama. Ciri yang ketiga adalah bahwa perubahan itu terjadi karena usaha, dan didasari bukan karena kebetulan (Notoadmodjo, 2007). Pada umumnya semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Ibu dengan pendidikan yang relatif tinggi cenderung memiliki kemampuan untuk menggunakan sumber daya keluarga yang lebih baik dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan rendah, karena pengetahuan makanan yang bergizi sering kurang dipahami oleh ibu yang tingkat pendidikannya rendah, sehingga memberi dampak dalam mengakses pengetahuan khususnya dibidang kesehatan untuk
penerapan dalam kehidupan keluarga terutama pada pengasuh anak balita (Notoadmodjo, 2007).
Ruang lingkup pendidikan terdiri dari pendidikan informal, non formal dan formal. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang di rumah dalam lingkungan keluarga. Pendidikan informal berlangsung tanpa organisasi, yakni tanpa orang tertentu yang diangkat atau ditunjuk sebagai pendidik, tanpa suatu program yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, dan tanpa evaluasi yang formal berbentuk ujian. Sementara itu pendidikan non formal meliputi berbagai usaha khusus yang diselenggarakan secara terorganisasi terutama generasi muda dan orang dewasa, yang tidak dapat sepenuhnya atau sama sekali tidak berkesempatan mengikuti pendidikan sekolah dapat memiliki pengetahuan praktis dan ketrampilan dasar yang mereka perlukan sebagai warga masyarakat yang produktif. Sedangkan pendidikan formal adalah pendidikan yang mempunyai bentuk atau organisasi tertentu seperti terdapat di sekolah atau universitas (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Undang-undang Republik Indonesia tentang pendidikan No 20 Tahun 2003, jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, pendidikan tinggi. Pendidikan dasar yaitu jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah seeperti SD, MI, SMP, dan MTS atau bentuk lain yang sederajat. Sementara itu pendidikan menengah yaitu lanjutan pendidikan dasar yang terdiri dari pendidikan menengah kejuruan seperti SMA, MA, SMK, dan MAK atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang
mencakup program pendidikan Diploma, Sarjana, Magister dan Doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendidikan terbagi menjadi 3 meliputi faktor umur, faktor tingkat sosial ekonomi dan faktor lingkungan. Faktor umur merupakan indikator kedewasaan seseorang, semakin bertambah umur pendidikan yang didapat akan lebih banyak. Baik itu pendidikan formal maupun pendidikan non formal yang diinginkan adalah terjadinya perubahan kemampuan, penampilan atau perilakunya. Selanjutnya perubahan perilaku didasari adanya perubahan atau penambahan pengetahuan, sikap atau ketrampilannya (Notoatmodjo, 2007). Faktor tingkat sosial ekonomi ini sangat mempengaruhi perbaikan pendidikan dan perbaikan pelayanan kesehatan yang diinginkan oleh masyarakat. Rata-rata keluarga dengan sosial ekonomi yang cukup baik akan memilih tingkat pendidikan dan sarana kesehatan yang bagus dan bermutu. Sedangkan faktor lingkungan mempunyai pengaruh yang besar dalam pendidikan seseorang. Seperti contoh orang yang berada dalam lingkungan keluarga yang mendukung serta mengutamakan pendidikan mereka akan lebih termotivasi untuk belajar. Sehingga pengetahuan yang mereka peroleh akan lebih baik dibandingkan dengan seseorang yang keluarganya tidak mendukung untuk merasakan bangku sekolah (Notoatmodjo, 2007).
Penelitian yang dilakukan oleh Danuri (2005) tentang hubungan antara karakteristik, pengetahuan dan sikap ibu batita dengan kelengkapan status imunisasi di Desa Ambowetan Kecamatan Ulujami Kabupaten Pemalang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan kelengkapan status imunisasi (p = 0,008).
2.1.2.2 Pendapatan atau Penghasilan
Mulyanto dan Dieter (dalam Syamsul, 2002), pendapatan adalah jumlah penghasilan riil dari seluruh anggota rumah tangga yang di sumbangkan untuk memenuhi kebutuhan bersama maupun perseorangan dalam rumah tangga, dalam kehidupan sehari-hari pendapatan erat kaitannya dengan gaji, upah, serta pendapatan lainnya yang di terima seseorang setelah orang itu melakukan pekerjaan dalam kurun waktu tertentu. Tingkat pendapatan keluarga dipengaruhi oleh pekerjaan. Semakin rendah pendapatan keluarga semakin tidak mampu lagi ibu dalam membelanjakan bahan makanan yang lebih baik dalam kualitas maupun kuantitasnya, sebagai ketersediaan pangan di tingkat keluarga tidak mencukupi (Syamsul, 2002).
Pendapatan per kapita (per capita income) keluarga adalah pendapatan rata-rata dalam suatu keluarga pada suatu periode tertentu, yang biasanya satu tahun. Pendapatan per kapita bisa juga diartikan sebagai jumlah dari nilai barang dan jasa rata-rata yang tersedia bagi setiap penduduk suatu keluarga pada suatu periode tertentu. Pendapatan per kapita diperoleh dari pendapatan keseluruhan anggota keluarga pada periode tertentu dibagi dengan jumlah anggota keluarga pada periode tersebut. Ternyata tingginya pendapatan keluarga, tidak menjamin pendapatan per kapitanya juga tinggi. Hal ini terjadi karena faktor jumlah anggota keluarga juga sangat menentukan tinggi rendahnya pendapatan per kapita (Budiono, 2004).
Berkaitan dengan penelitian yang dilakukan di wilayah kabupaten Demak maka tingkat pendapat didasarkan pada upah minimum regional (UMR) kabupaten Demak. Berdasarkan Keputusan Gubernur nomor 561.4/73/2011 tentang upah minimum pada 35 kabupaten kota di provinsi Jawa Tengah tahun 2012 yang menyebutkan bahwa UMR untuk Kabupaten Demak sebesar Rp.893.000,-. Penelitian yang dilakukan oleh Mardani (2008) tentang beberapa faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ditemukan hasil bahwa penelitian menunjukkan ada 8 faktor yang mempunyai kaitan dengan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi, yaitu kondisi bayi, jumlah anak balita yang diasuh, pengetahuan ibu, pekerjaan ibu, pendidikan formal ibu/suami, tingkat penghasilan keluarga, penyuluhan imunisasi dan jarak ke tempat pelayanan imunisasi.
2.1.2.3 Pengetahuan
Terbatasnya pengetahuan ibu tentang imunisasi bayi ini mengenai manfaat dan tujuan imunisasi maupun dampak yang akan terjadi jika tidak dilaksakannya. Imunisasi bayi akan mempengaruhi kesehatan bayi. Hal ini sesuai dengan teori dan pendorong. Daya pendorong adalah semacam naluri tetap hanya satu dorongan kekuatan yang luas terhadap satu arah yang umum. Dalam pendorong dengan mengimunisasikan bayinya, salah satunya adalah pengetahuan dimana pengetahuan tersebut ditemukan dalam media elektronik (TV, Radio), media massa (Koran majalah).
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran dan dipengaruhi faktor dari dalam seperti motivasi dan faktor dari
luar berupa sarana informasi yang tersedia serta keadaan sosian budaya (Poerwadarminta, 2002). Sementara itu menurut Notoatmodjo (2010) pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indra manusia yaitu penglihatan, pendengaran penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia dipengaruhi dari mata (penglihatan) dan telinga (pendengaran).
Cara memperoleh pengetahuan ada 2 yaitu dengan cara tradisional dan dengan cara modern. Cara tradisional terbagi dalam beberapa macam diantaranya cara coba dan salah, dimana cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan. Cara kekerasan atau otoriter pengetahuan diperoleh berdasarkan pada otoriter atau kekuasaan, baik tradisi, otoritas pemerintah, otoritas pemimpin agama maupun ahli pengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh tanpa terlebih dahulu menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris atau penalarannya sendiri. Berdasarkan pengalaman pribadi, hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa lalu. Melalui jalan pikiran dalam memperoleh kebenaran pengetahuan, manusia telah menggunakan jalan pikirannya melalui induksi maupun deduksi. Cara modern yaitu dengan cara mengadakan pengamatan langsung terhadap gejala-gejala alam atau kemasyarakatan, kemudian hasil pengamatan tersebut dikumpulkan dan diklasifikasi kemudian akhirnya diambil kesimpulan umum (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan meliputi tahu, memahami, aplikasi, analisis,
sintesis, dan evaluasi. Tahu (know) diartikan sebagai mengingat suatu materi tentang apa yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk dalam tingkatan tahu adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja yang digunakan untuk mengukur yaitu menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan mengatakan. Memahami (comprehention) diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar. Orang yang paham suatu objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang di pelajari.
Tingkat pengetahuan ketiga adalah aplikasi (application) yang diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real. Aplikasi diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dalam konteks atau situasi yang lain. Analisis (analysis) sebagai tingkat pengetahuan yang keempat adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti menggambarkan, membedakan, memisahkan (Notoatmodjo, 2007).
Sintesis (syntesis) sebagai tingkat pengetahuan yang kelima menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah
suatu kemampuan untuk menyusun farmasi baru dari formulasi-formulasi yang ada misalnya dapat menyusun, merencanakan, meringkas, menyesuaikan terhadap suatu teori atau ruusan yang telah ada. Kemudian tingkatan yang terakhir yaitu evaluasi (evaluation) yang berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek, kriteria-kriteria ini didasarkan pada suatu criteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang ada (Notoatmodjo, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut Notoatmodjo (2007), meliputi tingkat pendidikan dimana semakin tinggi tingkat pendidikan maka seseorang akan mudah menerima hal-hal baru dan mudah menyesuaikan hal-hal baru tersebut. Informasi seseorang yang mempunyai sumber informasi yang lebih banyak juga akan akan memberikan dampak terhadap pengetahuan yang lebih jelas. Budaya juga sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena informasi-informasi yang diperoleh belum sesuai dengan budaya yang ada dan budaya yang dianut. Faktor lain yang dapat mempengaruhi tingkat pengetahuan seseorang adalah pengalaman dimana pengalaman umumnya dikaitkan dengan umur dan pendidikan individu yaitu semakin bertambahnya umur dan pendidikan yang tinggi, pengalaman akan lebih luas.
Pengetahuan dapat diukur dengan wawancara atau angket yang menyatakan tentang isi materi yang ingin diukur dari responden (Notoatmodjo, 2007). Berdasarkan Waridjan (dalam Arikunto, 2009) kategori pengetahuan dapat digolongkan menjadi pengetahuan baik jika kategori jawaban benar antara
80%-100%, pengetahuan sedang jika jawaban benar antara 65%-79% dan katgeori pengetahuan kurang jika jawaban benar kurang dari 65%.
Penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2003) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi dasar pada balita umur 12-18 bulan di Kelurahan Harjosari - I Kecamatan Medan - Amplas Tahun 2003 menunjukkan bahwa pengetahuan ibu berhubungan dengan kelengkapan imunisasi dasar balita. Penelitian lain yang dilakukan oleh Albertina (2009) tentang kelengkapan Imunisasi dasar anak balita dan faktor-faktor yang berhubungan di Poliklinik Anak beberapa rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya pada tahun 2008 menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara pengetahuan orang tua dengan kelengkapan imunisasi.
2.1.2.4 Sikap
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak dan bukan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Gerungan (1996) dikutip oleh Sunaryo (2002), attitude diartikan dengan sikap terhadap objek tertentu, yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai oleh kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan objek tadi. Sikap adalah kecenderungan bertindak dari individu, berupa respon tertutup terhadap stimulus ataupun objek tertentu (Sunaryo, 2002).
Sikap juga terdiri dari berbagai tingkatan, menurut Notoatmodjo (2007). 1) Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (obyek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan. Misalnya sikap orang terhadap gizi dapat dilihat dari kesadaran dan perhatian orang itu terhadap ceramah-ceramah tentang gizi.
2) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena itu suatu usaha untuk menjawab suatu pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan itu benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
3) Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi bersikap. Misalnya seorang ibu yang mengajak ibu yang lain (tetangganya) untuk pergi menimbangkan anaknya ke posyandu atau
mendiskusikan tentang gizi, adalah suatu bukti bahwa ibu tersebut telah mempunyai sikap positif terhadap gizi anak.
4) Bertanggung Jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB, meskipun mendapat tantangan dari orang lain.
Menurut Azwar (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap antara lain :
1) Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang dialami seseorang akan ikut membantu dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial.
2) Pengaruh orang lain yang dianggap penting.
Pada umumya individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformasi atau searah dengan orang lain yang dianggap penting.
3) Pengaruh kebudayaan.
Seseorang hidup dan dibesarkan dari suatu kebudayaan, dengan demikian kebudayaan yang diikutinya mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap orang tersebut.
4) Media massa.
Media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang, sehingga terbentuklah arah sikap yang tertentu.
5) Lembaga pendidikan dan lembaga agama.
Kedua lembaga ini meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam individu sehingga kedua lembaga ini merupakan suatu sistem yang mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap.
6) Pengaruh faktor emosional.
Suatu bentuk sikap merupakan pertanyaan yang didasari oleh emosi yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego (Azwar, 2010).
7) Pendidikan
Kurangnya pengetahuan seseorang akan mudah terpengaruh dalam bersikap.
8) Faktor sosial dan ekonomi
Keadaan sosial ekonomi akan menimbulkan gaya hidup yang berbeda-beda.
9) Kesiapan fisik (status kesehatan)
Pada umumnya fisik yang kuat terdapat jiwa sehat. 10) Kesiapan psikologis / jiwa
Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi diantara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Lebih lanjut, interaksi social itu meliputi hubungan antara psikologis disekelilingnya (Azwar, 2010).
Salah satu aspek yang sangat penting guna memahami sikap dan perilaku manusia adalah pengungkapan (assesmant) atau pengukuran (measurement) sikap. Sikap merupakan respons evaluatif yang dapat berbentuk positif maupun negatif. Sikap mempunyai arah, artinya sikap terpilah pada dua arah kesetujuan yaitu apakah setuju atau tidak setuju, apakah mendukung atau tidak mendukung, apakah memihak terhadap sesuatu atau seseorang sebagai objek. Orang yang setuju, mendukung atau memihak terhadap suatu objek sikap berarti memiliki sikap yang arahnya positif sebaiknya mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung dikatakan sebagai memiliki sikap arahnya positif sebaiknya mereka yang tidak setuju atau tidak mendukung dikatakan sebagai memiliki sikap yang arahnya positif (Azwar, 2010).
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan menilai pernyataan sikap seseorang. Pernyataan sikap adalah rangkaian kalimat yang mengatakan sesuatu mengenai obyek sikap yang hendak diungkap. Pernyataan sikap mungkin berisi atau mengatakan hal-hal yang positif mengenai obyek sikap, yaitu kalimatnya bersifat mendukung atau memihak pada obyek sikap. Pernyataan ini disebut dengan pernyataan yang favourable.
Sebaliknya pernyataan sikap mungkin pula berisi hal-hal negatif mengenai obyek sikap yang bersifat tidak mendukung maupun kontra terhadap obyek sikap. Pernyataan seperti ini disebut dengan pernyataan yang tidak favourabel. Suatu skala sikap sedapat mungkin diusahakan agar terdiri atas pernyataan favorable dan tidak favorable dalam jumlah yang seimbang. Dengan demikian pernyataan
yang disajikan tidak semua positif dan tidak semua negatif yang seolah-olah isi skala memihak atau tidak mendukung sama sekali obyek sikap (Azwar, 2010).
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan rumus sebagai berikut (Azwar, 2010) : − X – X T = 50+10 s Keterangan :
X : Skor responden pada skala sikap yang hendak diubah menjadi skor T
X : Mean skor kelompok
s : Deviasi standar skor kelompok
Hasil penelitian Zakiyah (2007) tentang hubungan pengetahuan, sikap ibu tentang imunisasi dan dukungan keluarga dengan kelengkapan imunisasi DPT pada bayi umur 6-11 bulan di Desa Taman Gede Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal, hasil penelilitan menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara sikap ibu tentang imunisasi dengan kelengkapan imunisasi DPT pada bayi umur 6-11 bulan di Desa Taman Gede Kecamatan Gemuh Kabupaten Kendal.
2.1.2.5 Pekerjaan
Teori kebutuhan (teori Maslow) mengemukakan nilanya 5 tingkat kebutuhan pokok manusia. Kelima tingkat ilmiah yang kemudian dijadikan pengertian guna dalam mempelajari motivasi manusia. Kelima tingkatan tersebut adalah kebutuhan fisiologis, kebutuhan rasa aman dan perlindungan, kebutuhan
sosial, kebutuhan penghargaan, kebutuhan aktivitas diri. Ibu yang mempunyai pekerjaan itu demi mencukupi kebutuhan keluarga (kebutuhan pertama) akan mempengaruhi kegiatan imunisasi yang termasuk kebutuhan rasa aman dan perlindungan sehingga ibu lebih mengutamakan pekerjaan dari pada mengantarkan bayinya untuk di imunisas (Suparyanto, 2011).
2.1.2.6 Dukungan keluarga
Teori lingkungan kebudayaan dimana orang belajar banyak dari lingkungan kebudayaan sekitarnya. Pengaruh keluarga terhadap pembentukan sikap sangat besar karena keluarga merupakan orang yang paling dekat dengan anggota keluarga yang lain. Jika sikap keluarga terhadap imunisasi kurang begitu respon dan bersikap tidak menghiraukan atau bahkan pelaksanaan kegiatan imunisasi. Maka pelaksanaan imunisasi tidak akan dilakukan oleh ibu bayi karena tidak ada dukungan oleh keluarga (Suparyanto, 2011).
2.1.2.7 Pelayanan Petugas Kesehatan
Petugas kesehatan berupaya dan bertanggung jawab, memberikan pelayanan kesehatan pada individu dan masyarakat yang professional akan mempengaruhi status kesehatan masyarakat. Sehingga diharapkan ibu mau mengimunisasikan bayinya dengan memberikan atau menjelaskan pentingnya imunisasi (Suparyanto, 2011).
2.2. Kerangka Berpikir 2.2.1. Kerangka Teori
Mengacu pada tinjauan pustaka yang telah dipaparkan, kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Gambar 1 : Kerangka Teori
Keterangan :
: yang diteliti
: yang tidak diteliti Pendidikan Pengetahuan Pekerjaan Sikap Pendapatan atau penghasilan Pelayanan Petugas Kesehatan Dukungan Keluarga Imunisasi Dasar Lengkap
2.2.2. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2 : Kerangka Konsep Pendidikan Pendapatan atau penghasilan Dukungan Keluarga Pelayanan Tenaga Kesehatan Imunisasi Dasar Lengkap Pekerjaan Pengetahuan Sikap
2.3. Hipotesis Penelitian
2.3.1 Ada hubungan antara faktor pendidikan ibu dengan imunisasi dasar lengkap pada balita di Desa Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango tahun 2013.
2.3.2 Ada hubungan antara faktor pekerjaan ibu dengan imunisasi dasar lengkap pada balita di Desa Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango tahun 2013.
2.3.3 Ada hubungan antara faktor penghasilan keluarga dengan imunisasi dasar lengkap pada balita di Desa Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango tahun 2013.
2.3.4 Ada hubungan antara faktor pengetahuan ibu dengan imunisasi dasar lengkap pada balita di Desa Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango tahun 2013.
2.3.5 Ada hubungan antara faktor sikap ibu dengan imunisasi dasar lengkap pada balita di Desa Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango tahun 2013.
2.3.6 Ada hubungan antara faktor dukungan keluarga dengan imunisasi dasar lengkap pada balita di Desa Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango tahun 2013.
2.3.7 Ada hubungan antara faktor pelayanan petugas kesehatan dengan imunisasi dasar lengkap pada balita di Desa Botubarani Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango tahun 2013.