• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK PENCIPTAAN ALAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK PENCIPTAAN ALAM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MODUL PERKULIAHAN

PENDIDIKAN AGAMA

KATOLIK

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DALAM REFLEKSI

IMAN KRISTIANI

(Materi Pengayaan)

Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh

MKCU PSIKOLOGI

14

MK900022 Herulono Murtopo S.S.,M.Hum

Abstract

Kompetensi

Humans are creatures who have minds. He is responsible for the natural

surroundings. religion plays a role to direct his people to love the

environment. Currently, the

environmental damage of the crisis.

Mahasiswa memiliki pendalaman yang memadai untuk melihat dan

(2)

Silahkan dibaca Beriman Di

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA DALAM REFLEKSI IMAN KRISTIANI

13.1. Pengantar

Untuk apa kita diciptakan? Bukan hanya orang-orang

‘galau’ yang bertanya tentang penciptaannya. Para

ilmuwan juga bertanya, untuk apa ada penciptaan. Bagi

yang malas berfikir berkata, ngapain pusing-pusing mikir

yang tidak jelas begini. Tapi, bagi ilmuwan ini penting

untuk membangun relasi antar ciptaan dan bagaimana

mereka berlaku satu sama lain (tepatnya manusia

memperlakukan ciptaan). Pernah ada dalam sejarah

agama bahwa benda-benda langit, khususnya bulan

dan matahari dianggap sebagai dewa sehingga

keberadaan mereka dianggap sangat vital bagi hidup dan nasib manusia. Pernah ada dalam

sejarah agama bahwa alam semesta memiliki ‘roh’ agung atau roh ajaib yang bisa

mengancam kehidupan manusia sehingga harus didamaikan dengan sesaji. Yang jelas,

keberadaan semesta erat kaitannya dengan religiusitas manusia.

Dalam tradisi perjanjian Lama, dikatakan bahwa alam semesta ini hanya ciptaan. Praktis ini

membongkar seluruh paham keagamaan sebelumnya. Bayangkan, yang semula matahari

disembah sebagai dewa ternyata hanya dikatakan sebagai benda penerang yang diciptakan

Tuhan. Bagaimana perasaan para penyembahnya? Hal ini agak berbeda dengan cara

pandang ilmuwan awal. Mereka bertanya dari manakah alam semesta ini terbentuk? Thales

seorang filosof yang hidup lama sebelum Aristoteles merenungkan dan melakukan

percobaan. Ia perhatikan air yang bisa memadat, mencair, mengental, menguap. Lalu dalam

pendapatnya, alam semesta awalnya berasal dari air. Meski terdengar agak lucu di jaman

sekarang, jaman itu merupakan sebuah lompatan besar. Mengapa? Dulunya hanya

dikatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh dewa-dewi. Sekarang, dengan metode

ilmiah ternyata tidak membutuhkan dewa-dewi. Ada cerita menarik tentang Thales ini ketika

dia bisa meramalkan dengan metode ilmiah datangnya gerhana matahari.

Pada jamannya, gerhana matahari dianggap sebagai hal yang sangat penting karena dalam

agama di Mesir, gerhana matahari berarti dewa sedang murka. Mereka bertanya, kok bisa

dewa yang murka diramal? Demikianlah akhirnya ilmu dan refleksi agama berjalan dengan

metodologi yang berbeda. Penciptaan manusia juga menjadi hal yang menjadi perhatian

(3)

membuat penelitian ilmiah ketika menulis Kitab Suci, tapi sedang merenungkan keberadaan

mereka dan menuliskan permenungan itu. Mereka menuliskan dengan bahasa yang sangat

puitis, mengapa mereka bisa ada bersama dengan adanya alam semesta ini. Begitulah,

akhirnya tercatat dalam Kitab Suci kisah penciptaan yang demikian dramatis, indah, dan

puitis. Semuanya baik adanya.

13.2. Tema Penciptaan Dalam Kitab Suci Dan Maknanya

Sebenarnya, kalau anda membaca Kitab Suci dengan cermat, anda akan mendapati dua

versi penciptaan dalam Kitab Suci yang digabungkan. Pertama adalah dari Kejadian 1 dan

yang kedua bisa dilihat dalam kejadian 2.

Kej. 1 Isi Kej. 2 Isi

1:1-2 Pendahuluan 2:4-6 Pendahuluan 1:3-5 terang/gelap 2:7 manusia/debu 1:6-8 cakrawala di langit 2:8 taman di bumi

1:9-13 air dan tanah, tumbuhan 2:9-15 tumbuhan, air dan tanah 1:14-19 benda-benda penerang

dipisahkan 2:16-17 dua pohon dipisahkan

1:20-23 penciptaan pertama binatang 2:18 persoalan pertama pendamping manusia 1:24-31 penciptaan berlanjut 2:19-22 persoalan berlanjut

2:1-3 proses berakhir 2:23-24 turut campurnya ilahi

pemisahan Sabat pemisahan pasangan dari orang tua pemberkatan Sabat persatuan pasangan hidup

Tradisi penciptaan seperti dikemukakan para ahli yang menempatkan Kejadian pasal 1

sebagai bersumber dari tradisi imam (Priest atau P), sementara Kejadian pasal 2 dari tradisi

Yahwist (Y). Kedua sumber tradisi ini telah menjadi perdebatan dan mengemuka.

Seakan-akan terjadi pertentangan satu sama lain. Saya sendiri belum ingin masuk dalam

perdebatannya, menurut hemat saya, teks itu merupakan dua teks yang digabungkan.

Riwayat penciptaan merupakan suatu komposisi sastra yang tersusun dengan sangat baik.

Dengan menggunakan kerangka formula-formula (seperti “jadilah demikian” dan “Allah

melihat bahwa semuanya itu baik”), kisah ini mengetengahkan Allah sebagai pihak yang

mendapatkan apa yang “belum berbentuk dan kosong” dan kemudian membentuk dan

memenuhinya. Tiga hari pertama digunakan untuk pekerjaan pembentukan, sementara

pada tiga hari berikutnya Allah memenuhi apa yang sudah dubentukNya. Fokus komposisi

ini ialah bahwa segala sesuatu dibentuk dan dipenuhi sehingga cocok sekali untuk didiami

(4)

Istilah “Creatio Ex Nihilo” merupakan istilah yang diambil dari bahasan Latin. Para peneliti Alkitab biasanya menyatakan keyakinan mereka bahwa Allah tidak memakai bahan yang

telah ada sebelumnya untuk menciptakan dunia. Mengenai pendapat ini, terdapat dukungan

yang kuat , meskipun hal tersebut tidak dinyatakan secara gamblang dalam Perjanjian

Lama. Dalam Kejadian 1:1, dalam bahasa Ibrani kata “menciptakan” ditulis dengan

menggunakan kata ar"äB' (bara). Kata ini hanya dipakai untuk penciptaan ilahi, dan tidak

pernah digunakan dengan material sebagai pelengkap penderitanya. Jadi, ciri khas

penciptaan Allah ialah bahwa Ia menjadikan sesuatu yang tadinya tidak ada, menjadi ada.

Penggunaan kata ar"äB' (bara) pada Kejadian pasal 1 bukanlah dimaksudkan sebagai suatu

pernyataan sejarah yang secara objektif-ilmiah (karena faktanya tidak ada satu orang pun

manusia yang menyaksikan bahwa Tuhan menciptakan langit dan bumi), melainkan

ungkapan itu dimaksudkan sebagai pernyataan iman.

Pernyataan iman tersebut hendak menunjukkan bahwa langit, bumi, serta segala isinya

semata-mata adalah buah karya Allah. Penggunaan kata ar"äB' (bara) tidak begitu saja

mendukung doktrin creatio ax nihilo, tetapi yang hendak ditegaskan adalah unsur kebaruan

dari tindakan Tuhan dan hanya Yang Mahakuasa saja yang dapat menghasilkan kebaruan

seperti itu.Tindakan Allah dalam menciptakan ini benar-benar unik tanpa bandingan. Karl

Barth dalam bukunya “Church Dogmatics” halaman 155, menjelaskan bahwa penciptaan Ex Nihilo adalah “menyatakan hal yang hakiki mengenai mahkluk Allah itu, yaitu bahwa ia

berasal dari Allah dan bukan dari sumber lain, dan bahwa ia ada karena Allah dan tidak

sebaliknya. Jadi mahkluk itu bukan Allah, atau sesuatu yang terpancar dari Allah.

Berdasarkan kata kerja ar"äB' (bara), tujuan penekanan unsur kebaruan (yang sebelumnya

tidak ada) dalam penciptaan adalah membangkitkan perasaan umat, bahwa betapa kecilnya

mereka di hadapan Allah yang Maha Esa dan Maha Kuasa. Bila kejadian 1 dibaca dalam

perspektif kebaruan demikian, jelaslah bahwa penciptaan yang dilakukan Allah

menghasilkan perubahan yang radikal dari kekosongan yang tak berbentuk menjadi berisi,

tertata rapi, dan siap dihuni manusia.

Kosmonogi modern juga mempengaruhi pandangan orang terhadap tema besar, yaitu

tentang penciptaan. Tokoh-tokoh sains memberikan penjelasan tentang dunia dan

asal-usulnya secara ilmiah dan ini berbeda dari yang selama itu dituliskan dalam alkitab.

Penjelasan sains ini semakin populer dan puncaknya adalah Zaman pencerahan yang

mengagungkan ilmu pengetahuan alam. Pada abad ke-19, yaitu ketika teologi berinteraksi

dengan sains modern, Schleiermacher dan Harnack mengembangkan sebuah teologi yang

antroposentris, hal ini mengakibatkan pembicaraan tentang Tuhan sebagai Pencipta tidak

lagi menarik untuk dibahas. Penciptaan dilihat sebagai peristiwa yang sudah lewat dan tak

relevan lagi dengan kehidupan yang sekarang, dan yang paling penting sekarang adalah

(5)

Para penulis alkitab memberikan kesaksian mereka yang menegaskan bahwa

sesungguhnya memang Allah adalah Pencipta. Seperti yang dinyatakan oleh Yesaya :

Beginilah firman Allah, TUHAN, yang menciptakan langit dan membentangkannya, yang

menghamparkan bumi dengan segala yang tumbuh di atasnya, yang memberikan nafas

kepada umat manusia yang mendudukinya dan nyawa kepada mereka yang hidup di

atasnya. Kesaksian Israel tentang Allah sebagai pencipta berkenaan dengan kekuasaan

Allah yang paling pokok untuk melakukan sesuatu yang sama sekali baru (novum), yang

mustahil terjadi atas dasar yang lain. Dalam kesaksian ini, menurut maksud dan tindakan

Allah, dunia ini adalah tempat yang ramah dan layak didiami, oleh karena kehendak dan

kemampuan Allah untuk memulai dan melestarikan kehidupan.

Dyrness, dalam bukunya “tema-tema dalam teologi Perjanjian Lama” menuliskan ada beberapa sifat dari penciptaan yang dilakukan oleh Allah, yaitu bahwa penciptaan itu baik

adanya. Allahlah yang pertama-tama menikmati keindahan penciptaan, sewaktu Ia

menyatakannya; sungguh amat baik (Kej 1:31). Gagasan ini terdapat juga dalam Yeh

28:11-15, di mana secara tidak lagsung disebutkan kesempurnaan ciptaan yang mula-mula. Akan

kita lihat bahwa kejatuhan menodai kesempurnaan itu; tetapi meski pengaruh dosa tidak

tanggung-tanggung, ia tidaklah menyeluruh. Peristiwa itu tidak mengubah kebaikan hakiki

dari ciptaan.

Selain dikatakan baik, ciptaan juga diperintahkan khusus untuk mencapai tujuan-tujuan yang

telah direncanakan oleh Allah. Meski ciptaan tersebut mempunyai sifat-sifatnya sendiri, Allah

berniat agar tujuanNya tercapai di dalamnya, yaitu untuk menyatakan kemuliaanNya (Yes

6:3; Mazmur 19). Akhirnya, meski tujuan akhir penciptaan adalah kemuliaan Allah, tetapi

tujuannya yang segera adalah bagi manusia.

Sesungguhnya penciptaan dalam Alkitab dan dalam doktrin Kristen klasik tidak hanya

berbicara tentang asal mula dunia dari tidak ada sesuatu (creatio ex nihilo), tetapi juga

pemeliharaan Tuhan. Dunia ciptaan tidak pernah eksis dari dirinya sendiri, tetapi selalu

bergantung kepada Penciptanya. Sekalipun dikatakan Tuhan berhenti pada hari ke-tujuh

dan tidak menciptakan sesuatu, Ia tidak lepas tangan dari dunia ciptaanNya. Selanjutnya,

Tuhan tetaplah berkarya, tidak seperti dalam Kejadian 1, tetapi sekarang melalui

proses-proses kehidupan yang dijadikanNya. Dengan demikian kelangsungan eksistensi dunia

ciptaan terpelihara. Manusia sampai sekarang tetap bisa dikatakan sebagai ciptaan Tuhan,

bukan diciptakan dari tidak ada menjadi menjadi ada, melainkan dari kehidupan yang

ditanamkan dalam benih-benih kehidupan.

Kekuasaan Allah atas dunia tidak hanya berlaku pada waktu penciptaan pada awalnya,

tetapi terus berlangsung dalam tegaknya dunia (mazmur 93:1). Hubungan kebergantungan

ini tidak bersifat narsisistik sebab dunia dijadikan bukan demi kesenangan Tuhan, melainkan

(6)

yang baik dan diberkati adalah keselamatan dan keadilan itu masih dalam bentuk potensi

yang harus diaktualisasikan. Kemajuan peradaban dan teknologi dimungkinkan karena

dunia berkembang dalam batas-batas potensi yang ada ini. Potensi-potensi baik tersebut

tidak berdiri sendiri, tetapi bergantung pada Sang Pencipta dan dengan cara inilah Ia

menopang kelangsungan dunia. Dalam konteks pemeliharaan Allah, Ia menempatkan

manusia pada posisi mitra. Manusia diikutsertakan dalam pemeliharaan-Nya atas dunia

dengan jalan meneruskan penciptaan dalam kapasitasnya sebagai “ko-pencipta”. Artinya

dalam hal ini, Allah tidak meninggalkan begitu saja ciptaanNya yang telah Ia ciptakan, tetapi

dalam menjalani kehidupannya, Allah tetap menyertai ciptaanNya sehingga ciptaan Allah itu

dapat melangsungkan kehidupannya sehari-hari.

13.3. Manusia dan Etika Ekologi

a. Manusia dan Alam

Selama ini, terutama sejak masa pencerahan manusia hanya bergelut untuk menafsirkan

apa yang dapat dipersepsi di dalam dan di luar dirinya. Hasil telaah akal budi inilah, yang

nantinya dijadikan landasan justifikasi atas apa yang dianggap bernilai. Alam dipandang

sebagai yang lain, dianggap bernilai berdasarkan kalkulasi manusia. Direduksi hanya untuk

memenuhi keinginan manusia. Cara pandang inilah yang membuat cara pandang

antroposentris semakin mengakar. Alam dipandang sebagai sumber daya.

Dipandang secara kuantitatif. Penelitian ilmiah yang melahirkan teknologi disertai masa

Revolusi Industri mengokohkan situasi ini. Alam sebagai bahan baku produksi, dianggap

sebagai sumber daya yang seakan tiada habisnya. Manusia giat melakukan pembangunan

di pelbagai bidang. Namun melupakan dampak yang nanti ditimbulkannya. Manusia

melupakan kesadaran bahwa dirinya hanyalah bagian, dan bukan keseluruhan.

Ketidakarifan manusia yang mendominasi alam akhirnya akan berbalik pada dirinya sendiri.

Memutus satu jaring, berarti merusak harmoni yang terjalin dalam alam. Kesadaran

mengenai hal ini dikemukakan oleh, Frank Fraser Darling dkk dalam A Blue Print for Survival

(1972) yaitu, pertumbuhan apapun yang tanpa batas tidak akan dapat dilestarikan dengan

sumber daya yang terbatas.

Menghadapi abad 21 dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sementara sumber

daya alam terbatas, membuat masyarakat sampai pada titik dimana krisis ekologi

merupakan problem yang serius. Isu ini sebenarnya sudah dilontarkan pada publik jauh-jauh

hari sebelumnya yaitu, sekitar tahun 1960an dimana terdapat kekhawatiran sejumlah

kalangan atas penggunaan alam yang eksploitatif. Salah satu yang menjadi penggagas

adalah Rachel Carson yang menerbitkan bukunya Silent Spring mengenai dampak pestisida

terhadap lingkungan dan juga manusia. Ia melihat bagaimana relasi antara alam dan

(7)

Seorang pemerhati lingkungan, Bill Mckibben mengatakan bahwa situasi buruk yang terjadi

pada alam merupakan sebuah bencana. Ia menyebutnya sebagai end of nature. Yang

dimaksud bukanlah kiamat atau proses bencana alam yang meniadakan manusia di bumi

ini, melainkan konteks yang berubah secara perlahan namun pasti, yang ketika akumulasi

dari perubahan tersebut menghantam manusia, manusia baru menyadarinya. Bencana

tersebut awalnya tidak disadari oleh manusia, melainkan seperti menyulut api pada rumput

kering yang pada awalnya hanya menimbulkan asap kecil.

Ketika api dan asap perlahan-lahan mulai membesar dan menyelubungi manusia, usaha

mematikan api untuk menghilangkan asap sudah terlambat. Barulah kemudian manusia

menyadari keterbatasannya ketika asap tersebut menghalangi pandangan mata dan

mempengaruhi aktivitas manusia. Manusia dituntut untuk menyelesaikan masalah yang

dibuatnya, dan penyelesaian tersebut tidak dapat dilakukan tanpa perubahan radikal dalam

paradigma relasi manusia dengan alam. Perubahan yang terjadi, sekecil apapun akan

menimbulkan konsekuensi etis yang berbeda pula.

Usaha menyingkap akar permasalahan dari krisis ekologi sebagai krisis persepsi dimulai

dengan penyelidikan terhadap latar belakang kultural yang mengkonstruksi cara pandang

tersebut. Krisis ekologi dianggap merupakan kesalahan fundamental filosofis maupun

religius cara berpikir masyarakat Barat yang bersifat antroposentris. Klaim ini diajukan oleh

ahli sejarah Lynn White Jr. Dalam artikelnya The Historical Roots of Our Ecological Crisis

(1967). Dalam artikel tersebut ia menguraikan mengenai tradisi masyarakat Barat terhadap

teknologi maupun pengetahuan ilmiah. Menurutnya pengembangan teknologi dan ilmu

pengetahuan di dunia Barat tidak selalu bersifat eksploitatif. Karena tradisi Barat yang

mengadopsi berbagai penelitian ilmiah dan juga ilmu dari kebudayaan Timur, mereka

kemudian menjadi pelopor bagi perkembangan ilmu tersebut. Berbagai penemuan ekuivalen

dengan perubahan yang terjadi. Ditemukannya mesin untuk menggarap tanah mengubah

relasi manusia dengan tanah tersebut secara total. Berbagai penemuan malah membuat

manusia terpacu untuk mengeksplorasi alam yang berujung pada eksploitasi.

b. Prinsip-Prinsip Etika Ekologi

1. Antroposentrisme

Etika ekologi antroposentris merupakan kerangka teori etika antroposentris ketika

berhadapan dengan problem ekologi. Sebenarnya tidak terdapat perbedaan yang sangat

mendasar antara keduanya, namun etika ekologi antroposentris lebih fokus pada problem

ekologi. Pendekatan dari teori etika ini tetap antroposentris dengan menawarkan solusi

praktis yang didasarkan atas kalkulasi kepentingan manusia. Etika antroposentrisme sendiri

merupakan kerangka etika yang berpusat pada manusia. Secara etimologis, antropo berarti

(8)

yang mengandaikan adanya potensi kapasitas manusia seperti kebebasan, rasionalitas,

kehendak dan lainnya.

Etika sendiri merupakan persoalan antara potensialitas manusia yang berbenturan. Potensi

ini dianggap hanya dimiliki oleh manusia. Manusia sebagai makhluk yang memiliki

potensialitas ini, memerlukan moralitas untuk menjaga agar potensialitasnya tidak dilanggar

ataupun melanggar potensi individu lain. Sehingga etika dapat dikatakan sebagai kerangka

acuan untuk mengatasi situasi chaotic, meski tidak mengikat. Moralitas ini baru bisa

memperoleh legalitas jika menyangkut kepentingan banyak orang yang dianggap krusial.

Etika antroposentrisme merupakan etika yang bertolak dari sudut pandang kepentingan

manusia. Manusia sebagai anggota masyarakat merupakan pengambil keputusan bagi

kesejahteraan masyarakatnya. Apa yang baik diputuskan berdasarkan kalkulasi rasional

manusia. Ciri dari etika antroposentrisme adalah meletakkan pertimbangan moral

semata-mata demi manusia dan pada manusia.Tujuannya tentu demi kebaikan dirinya sendiri,

namun selanjutnya tentu dengan mengupayakan kebaikan bagi diri sendiri akan menuju

pada kebaikan untuk masyarakat.

Dalam relasinya dengan alam, kerangka teori etika ini memandang alam sebagai suatu yang

terpisah dari manusia. Dimana perlindungan hutan maupun alam secara keseluruhan,

diamini sejauh demi kepentingan manusia, bahkan generasi mendatang. Sehingga dominasi

manusia terhadap alam dapat dimaklumi. Etika ekologi yang antroposentris menawarkan

solusi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sebagai upaya mengatasi

krisis ekologi dimana tanggung jawab manusia atas kerusakan alam dapat diatasi dengan

solusi teknis. Contohnya adalah efisiensi teknologi, perencanaan pembangunan yang

terpadu dan selaras dengan alam. Padahal efisiensi teknologi tanpa perubahan paradigma

yang radikal dalam masyarakat merupakan hal yang kontraproduktif. Ini merupakan ciri dari

etika ekologi yang antroposentris, dimana solusi yang ditawarkan bersifat jangka pendek.

Untuk membedakan antara kebijakan yang bersifat antroposentris atau ekosentris dapat

diperiksa melalui argumentasinya. Apakah argumen tersebut dibuat untuk kebijakan jangka

panjang, atau jangka pendek.

2. Etika Biosentrisme

Etika biosentrisme merupakan kerangka teori etika yang mulai memperluas cakupan

moralnya pada biospher. Biosentrisme sendiri secara etimologis berarti pemusatan pada

apa yang hidup (bio, hidup-sentrisme, pemusatan). Pergerakan masalah maupun debat

dalam kerangka etika ini akan bertolak dari penentuan apa yang hidup? Apa yang dimaksud

dengan hidup? Kategori apa yang digunakan untuk menjustifikasi bahwa entitas tertentu

(9)

Teori biosentrisme berpandangan bahwa makhluk hidup bukan hanya manusia saja. Ada

banyak hal dan jenis mahluk hidup yang memiliki kehidupan. Hanya saja, hal yang rumit dari

biosentrisme, atau yang disebut juga life-centered ethic, terletak pada cara manusia

menanggapi pertanyaan: ”Apakah hidup itu?” . Pandangan biosentrisme mendasarkan

moralitas pada keluhuran kehidupan, entah pada manusia atau pada mahluk hidupnya.

Karena yang menjadi pusat perhatian dan ingin dibela dalam teori ini adalah kehidupan,

maka secara moral berlaku prisip bahwa setiap kehidupan dimuka bumi ini mempunyai nilai

moral yang sama, sehingga harus dilindungi dan diselamatkan. Oleh karena itu, kehidupan

setiap mahluk hidup pantas diperhitungkan secara serius dalam setiap keputusan dan

tindakan moral, bahkan lepas dari pertimbangan untung rugi bagi kepentingan manusia.

Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang lebih menekankan kehidupan

sebagai standar moral. Salah satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut

Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada dirinya sendiri. Bukan senang

atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk hidup.

Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya

manusia dan binatang saja yang harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut

Paul Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat dirugikan dan atau

diuntungkan dalam proses perjuangan untuk hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan

bereproduksi.

Biosentrisme menekankan kewajiban terhadap alam bersumber dari pertimbangan bahwa

kehidupan adalah sesuatu yang bernilai, baik kehidupan manusia maupun spesies lain

dimuka bumi ini. Prinsip atau perintah moral yang berlaku disini dapat dituliskan sebagai

berikut: ”adalah hal yang baik secara moral bahwa kita mempertahankan dan memacu kehidupan, sebaliknya, buruk kalau kita menghancurkan kehidupan”.

Biosentrisme melihat alam dan seluruh isinya mempunyai harkat dan nilai dalam dirinya

sendiri. Alam mempunyai nilai justru karena ada kehidupan yang terkandung didalamnya.

Kewajiban terhadap alam tidak harus dikaitkan dengan kewajiban terhadap sesama

manusia. Kewajiban dan tanggung jawab terhadap alam semata-mata didasarkan pada

pertimbangan moral bahwa segala spesies di alam semesta mempunyai nilai atas dasar

bahwa mereka mempunyai kehidupan sendiri, yang harus dihargai dan dilindungi.

Biosentrisme memandang manusia sebagai mahluk biologis yang sama dengan mahluk

biologis yang lain. Manusia dilihat sebagai salah satu bagian saja dari keseluruhan

kehidupan yang ada dimuka bumi, dan bukan merupakan pusat dari seluruh alam semesta.

Maka secara biologis manusia tidak ada bedanya dengan mahluk hidup lainnya. Salah satu

tokoh yang menghindari penyamaan begitu saja antara manusia dengan mahluk hidup

lainnya adalah Leopold. Menurut dirinya, manusia tidak memiliki kedudukan yang sama

(10)

yang penting dalam pertimbangan moral yang serius. Ahanya saja, dalam rangka menjamin

kelangsungan hidupnya, manusia tidak harus melakukannya dengan cara mengorbankan

kelangsungan dan kelestarian komunitas ekologis. Manusia dapat menggunakan alam untuk

kepentingannya, namun dia tetap terikat tanggung jawab untuk tidak mengorbankan

integrity, stability dan beauty dari mahluk hidup lainnya. unjtuk mengatasi berbagai kritikan

atas klaim pertanyaan antara manusia dengan mahluk biologis lainnya, salah seorang tokoh

biosentrisme, Taylor, membuat pembedaan antara pelaku moral (moral agents) dan subyek

moral (moral subjects). Pelaku moral adalah manusia karena dia memiliki kemampuan untuk

bertindak secara moral, berupa kemampuan akal budi dan kebebasan. Maka hanya

manusialah yang memikul kewajiban dan tanggung jawab moral atas pilihan-pilihan, dan

tindakannya. Sebaliknya, subyek moral adalah mahluk yang bisa diperlakukan secara baik

atau buruk, dan itu berarti menyangkut semua mahluk hidup, termasuk manusia. Dengan

demikian semua pelaku moral adalah juga subyek moral, namun tidak semua subyek moral

adalah pelaku moral, di mana pelaku moral memiliki kewajiban dan tanggung jawab

terhadap mereka.

Teori biosentrisme, yang disebut juga intermediate environmental ethic, harus dimengerti

dengan baik, khususnya menyangkut kehidupan manusia dan mahluk-mahluk hidup yang

lain di bumi ini. Teori ini memberi bobot dan pertimbangan moral yang sama kepada semua

mahluk hidup. Disini dituntut bahwa alam dan segala kehidupan yang terkandung

didalamnya haruslah masuk dalam pertimbangan dan kepedulian moral. Manusia tidak

mengorbankan kehidupan lainnya begitu saja atas dasar pemahaman bahwa alam dan

segala isinya tidak bernilai dalam dirinya sendiri.

Pada etika biosentrisme sudah terdapat kesadaran bahwa relasi antara manusia dengan

alam adalah relasi yang interdependent. Relasi ini perlu dijaga dan dihormati karena

keduanya memiliki nilai intrinsik, yang berasal dari fakta bahwa mereka hidup. Salah satu

tokoh dari etika biosentrisme adalah Paul W. Taylor. Etika biosentrismenya terdapat pada

bukunya Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (1986) dimana menurutnya

prinsip etis yang didasarkan pada relasi yang terjalin akan menjamin adanya kewajiban, hak

dan tanggung jawab

berdasarkan relasi tersebut.

3. Etika Ekosentrisme

Etika ekosentrisme merupakan kerangka teori etika yang menganggap bahwa terdapat

relasi etis antara manusia dengan alam. Bertitik tolak dari kehidupan dalam segala bentuk

pada ekosistem. Secara etimologis ekosentrisme berarti pemusatan pada ekosistem

(kontribusi dari ekologi). Selanjutnya, tentu diperlukan prinsip etis yang akan menjamin

(11)

dianggap sebagai bentuk radikalisasi dari etika biosentrisme yang cakupan moralnya hanya

terbatas pada apa yang hidup. Pembatasan pada etika biosentrisme-seperti yang telah

dipaparkan di halaman sebelumnya- akan mengalami debat berkisar apa yang dimaksud

dengan hidup? Pertanyaan ini sendiri memerlukan determinannya, sehingga diperlukan

pembatasan yang jelas. Pada etika ekosentrisme, determinasinya jelas, seluruh komunitas

biotis dan biotis sebagai bagian dari ekosistem.

Pada etika ekosentrisme, tiap-tiap anggota ekosistem memiliki nilai intrinsik dimana alam

semesta merupakan komunitas moral dan bernilai, tidak saja karena terdapat kehidupan di

dalamnya, tapi juga karena semuanya bersifat kontekstual, berelasi dalam proses. Berperan

dalam rantai makanan maupun proses alamiah lain dalam ekosistem. Dalam deep ecology,

pemikiran ini dilanjutkan, bukan saja karena entitas tersebut memiliki proses alamiah. Tapi

karena mereka ada. Keberadaan merekalah yang mengkonstitusi kesadaran manusia.

Posisi diantara alam dan manusia bukanlah hierarki melainkan siklis, daur ataupun jaring

yang terhubung satu sama lain dan sama-sama berperan penting dalam proses kehidupan.

Alam bernilai, karena mereka ada, begitu pula manusia. Terjalin sebagai satu kesatuan

dalam jaring kehidupan.

13.4. Penutup: Ekologi Dalam Iman Kristiani

Karena proses penyadaran ekologi harus terjadi pada taraf mondial atau global, maka di sini

terdapat panggilan khusus umat beriman, yang mengakui bahwa “penguasaan yang

diberikan kepada manusia oleh Sang Pencipta bukanlah suatu kuasa mutlak, dan juga tidak

dapat dikatakan bahwa manusia bebas menggunakan dan menyalahgunakan atau memakai

barang-barang sekehendak hatinya sendiri. Sebab jelas sekali bahwa perkembangan dan

perencanaannya, serta cara memakai sumber-sumber, tidak dapat terjadi tanpa

mengindahkan tuntutan moral” (SRS 34).

Mewartakan dan memperlihatkan dalam praktik hidup tuntutan ini, merupakan tugas

panggilan seluruh umat beriman. Untuk itu perlu juga kesatuan dan kerja sama semua orang

yang taat kepada Sang Pencipta. Sebab kalau terisolasi di tempatnya sendiri manusia tidak

atau kurang melihat akibat-akibat perbuatannya. Apa yang secara spontan diketahui dan

diperhatikan para petani di ladang mereka sendiri, yakni bahwa tanah tidak boleh dibebani

melampaui kemampuannya, tidak lagi dilihat dan disadari oleh mereka yang lahir dan

dibesarkan di pusat-pusat industri atau di kota-kota besar. Globalisasi tidak hanya

menyangkut masalah lingkungan, tetapi juga hubungan antara manusia. Orang bukan lagi

penghuni sebuah desa atau kota saja. Sebagai penghuni dunia ia mempunyai tugas dan

kewajiban terhadap dunia seluruhnya. Segala sesuatu memang diciptakan untuk manusia,

tetapi tidak untuk manusia individual saja. Ia tidak lepas dari dunia sekitarnya, melainkan

(12)
(13)

Daftar Pustaka

1. -, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 2009 (sebuah

dokumen)

2. Barth, Christoper, Theologia Perjanjian Lama I, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1991

3. Dryness, William, Tema-tema dalam Teologi Perjanjian Lama, Gandum Mas, Malang,

1990

4. Hardiman Budi, Filsafat Modern dari Machiavelli Sampai Nietzsche, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2004.

5. Herulono Murtopo, Beriman di Arus Jaman, Red Carpet, Bekasi, 2014

6. Hill, Andrew & John H. Walton, Survey Perjanjian Lama, Gandum Mas, Malang, 1996

7. J.L.Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta,

1989

8. K., Bertens, Perspektif Etika, Esai-esai tentang Masalah Aktual, Kanisius, Yogyakarta,

2001.

9. Karman, Yongky, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama I, BPK Gunung Mulia,

Jakarta, 2009

10. Keulartz Josef, The Struggle for Nature; A Critique of Radical Ecology, Routledge. London, 1998.

11.

Mckibben, Bill, The End of Nature., Random House, New York, 1989

12. Sessions, George (ed.), Deep Ecology For The 21st Century, Shambhala, Boston,

1995

13. Walter Lempp, Kejadian 1:1-4:26, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1987

14. Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, BPK Gunung Mulia, Jakarta,

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menghubungkan mobile phone/modem sebagai penghubung servis SMS Gateway dengan komputer, software servis SMS Gateway, program autorespond dan komputer maka siswa

Pada pergeseran ke-2 karakter T pada patt dengan karakter spasi pada text tidak cocok, maka pergeseran berdasarkan nilai terbesar dari OH dan MH, pada rule MH nilai karakter T

2015.Isolasi dan Karakterisasi Senyawa Aktif Terhadap Mortalitas Kutu Beras dari Ekstrak Etil Asetat Rimpang Jeringau (Acorus calammus L.).. Skripsi, Prodi SI Pendidikan

Berdasarkan hasil pada tabel diatas terlihat bahwa rata-rata pelaku UMKM di samarinda belum terlalu memahami biaya lingkungan dan mereka belum mempunyai pengalaman

Panjang antrian RIO-D meningkat sesuai dengan jumlah penambahan sampai 20 sumber dan stabil untuk jumlah sumber 15 dan 20, tetapi rata-rata ukuran antriannya masih lebih

Simpulan penelitian ini adalah pemberian MgSO 4 intravena sebagai adjuvan mempertahankan nilai BIS 40 ‒ 60 dan PRST 2−4 dengan kebutuhan fentanil dan propofol yang lebih

Prosedur audit yang kami lakukan adalah prosedur yang disepakati sesuai dengan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22 Tahun 2009 tanggal 27 Maret 2009 tentang Pedoman

Penelitian kesepuluh puisi tersebut didasarkan pada tujuan peneliti (purposif sampling). Teknik analisis data pada penelitian ini merupakan proses pengorganisasian