• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi Kuliah Pendidikan Agama Islam Tingkat 1 Semester 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Materi Kuliah Pendidikan Agama Islam Tingkat 1 Semester 1"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Materi Kuliah Pendidikan Agama Islam

Tingkat 1 Semester 1

RUANG LINGKUP AGAMA 1. MANUSIA DAN AGAMA

Manusia dan Agama adalah ikatan kehidupan yang penting untuk mengarungi kehidupan,dan dibagi diantaranya:

a. Manusia dan alam semesta b. Manusia menurut Agama Islam c. Agama arti dan ruang lingkupnya d. Hubungan manusia dan agama 2. AGAMA DAN AGAMA ISLAM

Agama adalah keyakinan suatu makhluk kepada Sang Penciptanya,dibagi diantaranya: a. Arti dan ruang lingkup agama islam

b. Klasifikasi dalam agama islam c. Agama Islam dan IPTEK

Sosialnya makhluk dengan binatang ada banyak persamaan,diantaranya yang membedakan yaitu:

a. Mengembangkannaluri b. Etika

c. Peradaban

Agama itu suatu keyakinan manusia mencapai hidup yang benar menurut Zat Yang Maha Tinggi.

Unsur pokok dari agama itu yaitu: a. Sistem oredo (keyakinin) b. Sistem ritus (Peribadatan) c. Sistem norma (tatakaidah) Faktor dari agama itu adalah: - adanya keyakinan

- adanya syariat (ibadah) - adanya rosul (utusan) - adanya kitab suci

Ada 3 Pilar dalam Islam yaitu:

a. Akidah adalah ilmu tentang tauhid Keesaan Tuhan Yang Maha Esa. b. Syariat adalah nilai dalam peribadatan.

c. Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa dan sehingga menimbulkan perbuatan. Keyakinan/nilai keimanan harus all out atau kaffah “menyeluruh” ibarat akidah itu

akar,syariat tangkai dan daun dan sedangkan akhlak sendiri buah perbuatan tersebut.

Dalam 3 pilar islam haru diwujudkan dengan proses pelaksanaan dari akidah dan syariat lalu menghasilkan akhlakul kharimah.

Unsur kebahagiaan bukanlah dinilai dengan materi tetapi hidup yang mempunyai tujuan bahagiah didunia dan akhirat.

Pertanyaan:

Bagaimana caranya kalo kita banyak pekerjaan yang padat setiap hari biar tetap

(2)

dengan cinta.

KLASIFIKASI AGAMA Yaitu meliputi:

a. Agama wahyu b. Agama budaya

AGAMA ISLAM DAN IPTEK

Agama islam adalah wahyu dari Allah yang lewat malaikatnya kepada rosul.

Ilmu pengetahuan adalah pikiran manusia yang hasil dari penyelidikkan dan analisis. Sedangkan teknologi adalah suatu alat kebutuhan manusia dalam rangka mencapai kesejahteraan kepada Allah.

SUMBER AGAMA ISLAM Terdiri dari:

a. Al Qur‟an b. Al Hadist c. Ijtihad

Janganlah jadi mahasiswa yang instan dan bermalas malasan dan siap untuk bersaing! Pembahasan: AQIDAH

„Aqidah menurut bahasa Arab etimologi berasal dari kata al-„aqdu ) yang berarti ikatan, at-tautsiiqu yang berarti kepercayaan atau keyakinan yang kuat al-ihkaamu yang artinya mengokohkan menetapkan dan ar-rabthu biquw-wah ) yang berarti mengikat dengan kuat.

[1] Sedangkan menurut istilah (terminologi : „aqidah adalah iman yang teguh dan pasti yang tidak ada keraguan sedikit pun bagi orang yang meyakininya.

Jadi „Aqidah Islamiyyah adalah keimanan yang teguh dan bersifat pasti kepada Allah dengan segala pelaksanaan ke-wajiban, bertauhid [2] dan taat kepada-Nya, beriman kepada Malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya, hari Akhir, takdir baik dan buruk dan mengimani seluruh apa-apa yang telah shahih tentang Prinsip-prinsip Agama

(Ushuluddin), perkara-perkara yang ghaib, beriman kepada apa yang menjadi ijma‟

(konsensus) dari Salafush Shalih, serta seluruh berita-berita qath‟i pasti baik secara ilmiah maupun secara amaliyah yang telah ditetapkan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih serta ijma‟ Salafush Shalih.

"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang-orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya" (QS. An-Nisa':69

Pembagian Aqidah

(3)

Pertama: Tauhid Al-Uluhiyyah, ialah mengesakan Allah dalam ibadah, yakni beribadah hanya kepada Allah dan karenaNya semata.

Kedua: Tauhid Ar-Rububiyyah, ialah rneng esakan Allah dalam perbuatanNya, yakni

mengimani dan meyakini bahwa hanya Allah yang Mencipta, menguasai dan mengatur alam semesta ini.

Ketiga: Tauhid Al-Asma' was-Sifat, ialah mengesakan Allah dalam asma dan sifatNya. Artinya mengimani bahwa tidak ada makhluk yang serupa dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala. dalam dzat, asma maupun sifat.

Iman kepada qadar adalah termasuk tauhid ar-rububiyah. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata: "Qadar adalah kekuasaan Allah". Karena, tak syak lagi, qadar (takdir) termasuk qudrat dan kekuasaanNya yang menyeluruh. Di samping itu, qadar adalah rahasia Allah yang- tersembunyi, tak ada seorangpun yang dapat mengetahui kecuali Dia, tertulis pada Lauh Mahfuzh dan tak ada seorangpun yang dapat melihatnya. Kita tidak tahu takdir baik atau buruk yang telah ditentukan untuk kita maupun untuk makhluk lainnya, kecuali setelah terjadi atau berdasarkan nash yang benar

Tauhid itu ada tiga macam, seperti yang tersebut di atas dan tidak ada istilah Tauhid Mulkiyah ataupun Tauhid Hakimiyah karena istilah ini adalah istilah yang baru. Apabila yang dimaksud dengan Hakimiyah itu adalah kekuasaan Allah Azza wa Jalla, maka hal ini sudah masuk ke dalam kandungan Tauhid Rububiyah. Apabila yang dikehendaki dengan hal ini adalah pelaksanaan hukum Allah di muka bumi, maka hal ini sudah masuk ke dalam Tauhid Uluhiyah, karena hukum itu milik Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tidak boleh kita beribadah melainkan hanya kepada Allah semata. Lihatlah firman Allah pada surat Yusuf ayat 40. [Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas]

Perkembangan Aqidah

Pada masa Rasulullah SAW, aqidah bukan merupakan disiplin ilmu tersendiri karena masalahnya sangat jelas dan tidak terjadi perbedaan-perbedaan faham, kalaupun terjadi langsung diterangkan oleh beliau. Makanya kita dapatkan keterangan para sahabat yang artinya berbunyi : "Kita diberikan keimanan sebelum Al-Qur'an"

Nah, pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib timbul pemahaman -pemahaman baru seperti kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali dan Muawiyah karena melakukan tahkim lewat utusan masing-masing yaitu Abu Musa Al-Asy'ari dan Amru bin Ash. Timbul pula kelompok Syiah yang menuhankan Ali bin Abi Thalib dan timbul pula kelompok dari Irak yang menolak takdir dipelopori oleh Ma'bad Al-Juhani (Riwayat ini dibawakan oleh Imam Muslim, lihat Syarh Shohih Muslim oleh Imam Nawawi, jilid 1 hal. 126) dan dibantah oleh Ibnu Umar karena terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Para ulama menulis

(4)

Bahaya Penyimpangan Aqidah

Penyimpangan pada aqidah yang dialami oleh seseorang berakibat fatal dalam seluruh kehidupannya, bukan saja di dunia tetapi berlanjut sebagai kesengsaraan yang tidak berkesudahan di akherat kelak. Dia akan berjalan tanpa arah yang jelas dan penuh dengan keraguan dan menjadi pribadi yang sakit personaliti. Biasanya penyimpangan itu disebabkan oleh sejumlah faktor diantaranya :

1. Tidak menguasainya pemahaman aqidah yang benar karena kurangnya pengertian dan perhatian. Akibatnya berpaling dan tidak jarang menyalahi bahkan menentang aqidah yang benar.

2. Fanatik kepada peninggalan adat dan keturunan. Karena itu dia menolak aqidah yang benar. Seperti firman Allah SWT tentang ummat terdahulu yang keberatan menerima aqidah yang dibawa oleh para Nabi dalam Surat Al-Baqarah 170 yang artinya : "Dan apabila

dikatakan kepada mereka, "Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami." (Apabila mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk."

3. Taklid buta kepada perkataan tokoh-tokoh yang dihormati tanpa melalui seleksi yang tepat sesuai dengan argumen Al-Qur'an dan Sunnah. Sehingga apabila tokoh panutannya sesat, maka ia ikut tersesat.

4. Berlebihan (ekstrim) dalam mencintai dan mengangkat para wali dan orang sholeh yang sudah meninggal dunia, sehingga menempatkan mereka setara dengan Tuhan, atau dapat berbuat seperti perbuatan Tuhan. Hal itu karena menganggap mereka sebagai

penengah/arbiter antara dia dengan Allah. Kuburan-kuburan mereka dijadikan tempat meminta, bernadzar dan berbagai ibadah yang seharusnya hanya ditujukan kepada Allah. Demikian itu pernah dilakukan oleh kaumnya Nabi Nuh AS ketika mereka mengagungkan kuburan para sholihin. Lihat Surah Nuh 23 yang artinya : "Dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr." 5. Lengah dan acuh tak acuh dalam mengkaji ajara Islam disebabkan silau terhadap

peradaban Barat yang materialistik itu. Tak jarang mengagungkan para pemikir dan ilmuwan Barat serta hasil teknologi yang telah dicapainya sekaligus menerima tingkah laku dan kebudayaan mereka.

6. Pendidikan di dalam rumah tangga, banyak yang tidak berdasar ajaran Islam, sehingga anak tumbuh tidak mengenal aqidah Islam. Pada hal Nabi Muhammad SAW telah

memperingatkan yang artinya : "Setiap anak terlahirkan berdasarkan fithrahnya, maka kedua orang tuanya yang meyahudikannya, menashranikannya, atau memajusikannya" (HR: Bukhari).

Apabila anak terlepas dari bimbingan orang tua, maka anak akan dipengaruhi oleh acara / program televisi yang menyimpang, lingkungannya, dan lain sebagainya.

(5)

pelajaran agama, itupun dengan informasi yang kering. Ditambah lagi mass media baik cetak maupun elektronik banyak tidak mendidik kearah aqidah bahkan mendistorsinya secara besar-besaran.

Tidak ada jalan lain untuk menghindar bahkan menyingkirkan pengaruh negatif dari hal-hal yang disebut diatas adalah mendalami, memahami dan mengaplikasikan Aqidah Islamiyah yang shahih agar hidup kita yang sekali dapat berjalan sesuai kehendak Sang Khalik demi kebahagiaan dunia dan akherat kita, Allah SWT berfirman dalam Surah An-Nisa' 69 yang artinya : "Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya."

Dan juga dalam Surah An-Nahl 97 yang artinya : "Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." Akidah Islam adalah prinsip utama dalam pemikiran Islami yang dapat membina setiap individu muslim sehingga memandang alam semesta dan kehidupan dengan kaca mata tauhid dan melahirkan konotasi-konotasi valid baginya yang merefleksikan persfektif Islam

mengenai berbagai dimensi kehidupan serta menumbuhkan perasaan-perasaan yang murni dalam dirinya. Atas dasar ini, akidah mencerminkan sebuah unsur kekuatan yang mampu menciptakan mu‟jizat dan merealisasikan kemenangan-kemenangan besar di zaman permulaan Islam.

Demi membina setiap individu muslim, perlu kiranya kita mengingatkannya tentang sumbangsih-sumbangsih akidah yang telah dimiliki oleh orang-orang sebelumnya dan meyakinkannya akan validitas akidah itu dalam setiap zaman dan keselarasannya dengan segala era.

Kita bisa menyimpulkan peranan penting akidah dalam membina manusia di berbagai sisi dan dimensi kehidupan dalam poin-poin berikut :

1. Dalam Sisi Pemikiran.

Akidah menganggap manusia sebagai makhluk yang terhormat. Adapun kesalahan yang terkadang menimpa manusia, adalah satu hal yang biasa dan bisa diantisipasi dengan taubat. Atas dasar ini, akidah meyakinkannya bahwa ia mampu untuk meningkatkan diri dan tidak membuatnya putus asa dari rahmat Allah dan ampunan-Nya

Akidah telah berhasil memerdekakan manusia dari penindasan politik para penguasa zalim dan membebaskannya dari tradisi menuhankan manusia lain.

Akidah juga memberikan kebebasan penuh kepadanya. Namun ia membatasi kebebasan itu dengan hukum-hukum syariat, penghambaan kepada Allah supaya hal itu tidak menimbulkan kekacauan.

(6)

Melalui proses pembebasn pemikiran ini, akidah melakukan proses pembinaan manusia. Ia memberikan kedudukan yang layak kepada akal, mengakui peranannya dan membuka cakrawala pemikiran yang luas baginya. Di samping itu, akidah juga membuka jendela keghaiban baginya, membebaskannya dari jeratan ruang lingkup indra yang sempit dan mengarahkan daya ciptanya yang luar biasa untuk merenungkan tanda-tanda kekuasaan Allah di segenap cakrawala raya dan diri mereka, serta menjadikan renungan (tafakkur) ini sebagai ibadah yang paling utama.

Tidak sampai di situ saja, akidah juga mengarahkan daya akal untuk menyingkap rahasia-rahasia sejarah yang pernah terjadi pada umat dan bangsa-bangsa terdahulu, dan

merenungkan hikmah yang tersembunyi di balik syariat guna mengokohkan keyakinan muslim terhadap syariat dan validitasnya untuk setiap masa dan tempat.

Dari sisi lain, akidah mendorong manusia untuk menuntut ilmu pengetahuan dan mengikat ilmu pengetahuan itu dengan iman. Karena memisahkan ilmu pengetahuan dari iman akan menimbulkan akibat jelek.

Akidah juga memerintahkan akal untuk meneliti dan merenungkan dengan teliti untuk menyimpulkan sebuah Ushuluddin dan melarangnya untuk bertaklid dalam hal itu. 2. Dalam Sisi Sosial.

Akidah telah berhasil melakukan perombakan besar dalam sisi ini. Di saat masyarakat Jahiliah hanya mementingkan diri mereka dan kemaslahatannya, dengan mengenal akidah, mereka relah mengorbankan segala yang mereka miliki demi agama dan kepentingan sosial. Akidah telah berhasil menghancurkan tembok pemisah yang memisahkan antara ketamakan manusia akan kemaslahatan-kemaslahatan pribadinya dan jiwa berkorban demi kemaslahatan umum dengan cara menumbuhkan rasa peduli sosial dalam diri setiap individu.

Akidah telah berhasil menumbuhkan rasa peduli sosial ini dalam diri setiap individu dengan cara-cara berikut: menumbuhkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kepentingan orang lain, menanamkan jiwa berkorban dan mengutamakan orang lain dan mendorong setiap individu muslim untuk hidup bersama.

Dari sisi lain, akidah telah berhasil merubah tolok ukur hubungan sosial antar anggota masyarakat, dari tolok ukur hubungan sosial yang berlandaskan fanatisme, suku, warna kulit, harta dan jenis kelamin menjadi hubungan yang berlandaskan asas-asas spiritual. Yaitu takwa, fadhilah dan persaudaraan antar manusia. Akidah telah berhasil merubah kondisi pertentangan dan pergolakan yang pernah melanda masyarakat insani menjadi kondisi salang mengenal dan tolong menolong. Dengan ini, mereka menjadi sebuah umat bersatu yang disegani oleh bangsa lain. Di samping itu, akidah Islam juga telah berhasil merubah tradisi-tradisi Jahiliah yang menodai kehormatan manusia dan menimbulkan kesulitan.

3. Dalam Sisi Kejiwaan.

(7)

Dalam hal ini akidah telah menggunakan berbagai cara dan metode untuk meringankan bencana-bencana itu di mata manusia. Di antara cara-cara tersebut adalah menjelaskan

kriteria dunia;bahwa dunia ini adalah tempat derita dan ujian yang penuh dengan bencana dan derita yang acap kali menimpa manusia. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi manusia untuk mencari kesenangan dan ketentraman di dunia ini.

Atas dasar ini, hendaknya ia berusaha sekuat tenaga demi meraih kesuksesan dalam ujian Allah di dunia.

Dan di antara cara-cara tersebut adalah akidah menegaskan bahwa setiap musibah pasti membuahkan pahala, dan menyadarkan manusia bahwa musibah terbesar yang adalah musibah yang menimpa agama.

Dari sisi lain, akidah juga membebaskan jiwa manusia dari segala ketakutan yang dapat melumpuhkan aktifitas, membinasakan kemampuan dan menjadikannya cemas dan bingung. Begitu juga akidah memotivasi manusia untuk mengenal dirinya. Karena tanpa tanpa itu, sulit baginya untuk dapat menguasai jiwa dan mengekangnya, dan tidak mungkin baginya dapat mengenal Allah secara sempurna.

Dari pembahasan-pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa penyakit-penyakit jiwa yang berbahaya seperti fanatisme, rakus dan egoisme jika tidak diobati, akan menimbulkan akibat-akibat sosial dan politik yang berbahaya, seperti fitnah yang pernah menimpa muslimin di Saqifah, sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Ali a.s.

4. Dalam Sisi Akhlak.

Akidah memiliki peranan yang besar dalam membina akhlak setiap individu muslim sesuai dengan prinsip-prinsip agama yang pahala dan siksa disesuaikan dengannya, dan bukan hanya sekedar wejangan yang tidak menuntut tanggung-jawab. Lain halnya dengan aliran-aliran pemikiran hasil rekayasa manusia biasa yang memusnahkan perasaan diawasi oleh Allah dalam setiap gerak dan rasa tanggung jawab di hadapan-Nya. Dengan demikian, musnahlah tuntunan-tuntunan akhlak dari kehidupan manusia. Karena akhlak tanpa iman tidak akan pernah teraktualkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pembahasan: SYARIAH

Syariah adalah ketentuan-ketentuan agama yang merupakan pegangan bagi manusia di dalam hidupnya untuk meningkatkan kwalitas hidupnya dalam rangka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Syariah Islam adalah tata cara pengaturan tentang perilaku hidup manusia untuk mencapai keridhoan Allah SWT yang dirumuskan dalam Al-Qur‟an yaitu :

1. Surat Asy-Syura ayat 13

(8)

Asy-Syura ayat 13).

2. Surat Asy-Syura ayat 21

Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diijinkan Allah ? sekiranya tak ada ketetapan yang

menentukan (dari Allah tentukanlah mereka dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang pedih. Qur‟an Surat Asy-Syura Ayat : 21). 3. Surat Al-Jatsiyah ayat 18

Artinya : Kemudian kami jadikan kamu berada di atas syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Qur‟an Surat Al-Jatsiyah ayat : 18).

A. Pengertian Syariah Islam Dalam Kehidupan

Ketentuan-ketentuan sebagaimana dirumuskan dalam syariah, wajib dipatuhi. Orang Islam yakin bahwa ketentuan Allah SWT yang terdapat dalam syariah itu adalah ketentuanm Allah SWT yang bersifat universal, oleh karena itu merupakan hukum bagi setiap komponen dalam satu sistem. Hal ini berarti bahwa setiap ketentuan yang ditinggalkannya atau dilanggar bukan saja akan merusak lingkungannya tetapi juga akan menghilangkan fungsi parameter dalam komponen atau fungsi komponen dalam sisten.

Sebagai contoh, seseorang menyalahi janji, berdusta, zina, mencuri, korupsi, dan lain-lain. Dalam syariah Islam ada istilah rukshoh (keringanan) apabila seseorang tidak dapat

melaksanakan kewajibannya secara normal, maka ia boleh melaksanakannya dengan cara lain sesuai dengan kekuatan, kemungkinan, dan kondisi, seperti sholat sambil duduk.

B. Ruang Lingkup Syariah

Ruang lingkup syariah lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut :

1. Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT (ritual), yang terdiri dari :

a. Rukun Islam : mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan haji. b. Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rumun Islam.

1. Badani (bersifat fisik) : bersuci meliputi wudlu, mandi, tayamum, pengaturan

menghilangkan najis peraturan air istinja adzan qomat I‟tikaf do‟a sholawat umroh tasbih, istighfar, khitan, pengurusan mayit, dan lain-lain.

2. Mali (bersifat harta) : qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain. 2. Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan yang lainnya dalam hal tukar-menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan, jizah, pesanan, dan lain-lain.

3. Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya : perkawinan, perceraian, pengaturan nafkah, penyusunan, memelihara anak, pergaulan suami istri, mas kawin berkabung dari suami yang wafat meminang khulu‟ li‟am dzilar ilam walimah wasiyat, dan lain-lain.

4. Jinayat, yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat, kifarat, pembunuhan, zinah, minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan, kesaksian dan lain-lain.

(9)

(kepemimpinan) pemerintahan dan lain-lain.

6. Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar, tawadlu, rendah hati pemaaf tawakal istiqomah konsekwen syaja‟ah berani birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.

7. Peraturan-peraturan lainnya seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pemberantasan kemiskinan pemeliharaan anak yatim mesjid da‟wah perang dan lain-lain.

C. Sumber-Sumber Syariah

1. Al-Qur‟an kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan merupakan Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok.

2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian terhadap hukum-hukum Al-Qur‟an yang bersifat umum.

3. Ra‟yu Ijtihad upaya para ahli mengkaji Al-Qur‟an dan As-Sunnah untuk menetapkan hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah.

D. Klasifikasi Syariah

Syariah dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Wajib (Ijab), yaitu suatu ketentuan yang menurut pelaksanaannya, apabila dikerjakan mendapat pahala, dan apabila ditinggalkan mendapat dosa.

2. Haram, yaitu suatu ketentuan apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan mendapat dosa. Contohnya : zinah, mencuri, membunuh, minum-minuman keras, durhaka pada orang tua, dan lain-lain.

3. Sunnah (Mustahab), yaitu suatu ketentuan apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak berdosa.

4. Makruh (Karahah), yaitu suatu ketentuan yang menganjurkan untuk ditinggalkannya suatu perbuatan; apabila ditinggalkan mendapat pahala dan apabila dikerjakan tidak berdosa. Contohnya : merokok, makan bau-bauan, dan lain-lain.

E. Ibadah Sebagai Bagian Dari Syariah

Syariah mengatur hidup manusia sebagai hamba Allah yang harus taat, tunduk, dan patuh kepada Allah. Ketaatan, ketundukkan, dan kepatuhan kepada Allah dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah yang tata caranya diatur sedemikian rupa oleh Syariah Islam. Esensi ibadah adalah penghambaan diri secara total kepada Allah sebagai pengakuan akan

kelemahan dan keterbatasan manusia di hadapan kemahakuasaan Allah. Dengan demikian salah satu bagian dari syariah adalah ibadah.

Secara umum Ibadah berarti mencakup semua perilaku dalam semua aspek kehidupan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Ibadah dalam pengertian inilah yang dimaksud dengan tugas hidup manusia. Sebagaimana dalam Firman Allah dalam Al-Qur‟an Surat Adz

-Dzariyah ayat 56 yang berbunyi :

Artinya : “Dan aki tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” Adz-Dzariyat : 56).

Secara khusus Ibadah berarti perilaku manusia yang dilakukan atas perintah Allah SWT dan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, seperti shalat, dzikir, puasa, dan lain-lain. Landasan dasar pelaksanaan syariah adalah aqidah (keimanan). Dengan aqidah yang kuat maka syariah dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Pembahasan: AKHLAK

(10)

Tingkah laku yang lahir dari manusia dengan sengaja, tidak dibuat-buat, dan telah menjadi kebiasaan. Kata akhlak dalam pengertian ini disebut dalam Al-Quran dengan bentuk tunggalnya, khulq, pada firman Allah SWT yang merupakan konsiderans pengangkatan Muhammad sebagai Rasul Allah [1]. Dijelaskan dalam Al-Quran sebagai berikut : ٤:٨٦ .عل مم مل طع ل ل ك

Atrinya

“Dan sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berbudi pengerti yang agung (QS Al-Qalam 68 :4 [2]”

Beberapa istilah yang bekaitan dengan akhlak. Menurut jamil salibah (ahli bahasa arab kontemporer asal suriah), adalah akhlak yang baik dan ada yang buruk. Akhlak yang baik disebut adab (adab). Kata adab juga digunakan dalam arti etika yaitu tata cara sopan santun dalam masyarakat guna memelihara hubungan baik antar mereka.

Ulamah akhlak brbeda pendapat tentang apa kah akhlak yang lahir dari manusia merupakan hal pendidikan dan latihan ataukah pembawah sejak lahir. Sebagian mengatakan bahwa akhlak merupakan pembawah sejak lahir orang yang bertingkah laku baik atau buruk karena pembawanya sejak lahir. Karenanya, akhlak tidak bisa diubah melalui pendidikan atau latihan. Pandangan ini dipegang oleh kaum jabariah, salah satu aliran dalam teologi islam. Sebagian lain berpendapat bahwa akhlak merupakan hasil pendidikan. Karenanya, akhlak bisa diubah melalui pendidikan dan itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW “diutus untuk menyempurnakan akhlak” HR. Malik . Pendapat ini dipegang oleh kebanyakan ulamah. Ibnu maskawaih, ketika mengeritik pandangan pertama, mengatakan bahwa pandangan negatif tersebut antara lain akan memebuat segalah bentuk normal dan bimbingan jadi tertolak, orang jadi tunduk pada kekejaman dan kelaliman, serta nak-anak jadi liar karena tubuh dan perkembangan tanpa nasihat dan pendidikan.

Menurut Quraish Shihab, meskipun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, ada issyarat dalam Al-Quran bahwa manusia pada dasarnya cendrung pada kebajikan. Didalam Al-Qurandiuraikan bahwa iblis menggoda Adam, lalu adam durhaka kepada Tuhan. Sebelum digoda iblis, Adam tidak durhaka artinya ia tidak melakukan sesuatu yang buruk akibat godaan itu, adam menjadi sesat, tetapi kemudian bertobat kepada tuhan sehingga kembali kepada kesuciannya.

Ukuran Baik dan Bururk. Ulama berbeda pendapat tentang ukuran baik dan buruk akhlak. Mereka terbagi menjadi tiga golongan

Golongan pertama, Muktazilah (aliran teologi islam rasional dan liberal pada abad ke-8, didirikan oleh wasil bin ata [80 H/699 M-131 H/748 M]), berpendapat bahwa ukuran baik dan buruk akhlak adalah esensinya. Untuk ini mereka membagi akhlak yang menuntut esensinya adalah buruk dan Allah SWT pasti melarangnya, seperti besikap jujur dan adil. Ada akhlak yang menurut esensinya bisa baik dan buruk, seperti membunuh.

Golongan kedua. Maturidiah (aliran yang didirikan oleh abu Abu Mansur Muhammad al-maturidi [w. 333H/944 M]) dan mashab *Hanafi, sependapatdengan golongan Muktazilah. Hanya saja mereka, berbeda pendapat tentang tanggung jawab terhadap akhlak tersebut. Menurut mereka, akal tidak dapat menetapkan kewajiban, yang menetapkan kewajiban adalah syarak. Manusia akan dimintai pertanggung jawaban hanya atas dasar kesadaran etisnya yang diperoleh melalui syarak.

Golonga ketiga Asy‟ariyah aliran yang didirikan oleh Abu Hasan Ali bin Ismailal-Asy-ari [260H/873 M-324 H/935 M]) dan jumlah ulamah usul fikih, berpendapat bahwa baik dan buruk akhlak ditentukan olej syarak. Apa yang diperintahkan adalah baik dan yang dilarangnya adalah baik dan apa yang dilrangnnya adalah buru. Manusia akan dimintai pertanggung jawaban diperoleh melalui syarak.

(11)

pertanggung jawabannya diakherat atas segalah tingkah lakunya [3]. Allah SWT berfirman. Artunya :

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa) : "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. beri ma'aflah Kami; ampunilah Kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong kami, Maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir."

(Q.S Al Baqarah 2 : 286 [4])

Sumber Akhlak. Akhlak orang muslim merujuk pada dua sumber utama pada ajaran islam. Sumber pertama diterangkan oleh *Aisyah binti Abu Bakar ketika ditanya para sahabat tentang akhlak Rasulullah SAW Aisyah berkata adalah : “Akhlak Rasulullah SAW adalah Al -Quran” H.R Ahmad bin Hanban . Adapun sumber kedua adalah keteladanan yang

dicontohkan oelh Rasulullah SAW kepada umatnya, sebagaimana ditegaskan oleh Allah SWT di dalam firman-Nya.

Artinya :

Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak

menyebut Allah. : (Q.S Al-Ahzab. 33 : 21) [5].

Sasaran Ahlak. Dalam Islam, secara garis besar akhlak manusia mencangkup tiga sasaran, yaitu terhadap Allah SWT, terhadap bersama manusia, dab terhadap lingkungannya.

Akhlah terhadap Allah SWT. Menurut Muhammad Quraish Shihab, akhlak manusia terhadap Allah SWT bertitik tolak dari pengakuan dan kesadaran bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT yang memiliki segalah sifat terpuji dan sempurna.

a. Mensucikan Allah SWT dan memuji-nya.

b. Bertaqwa (berserah diri) kepada Allah SWT setelah berbuat atau berusaha lebih dahulu. c. Berbaik sangka kepada Allah SWT

Akhlak Terhadap Sesama Manusia

a. Akhlak terhadap Oran Tua diantaranya sebagai berikut : 1. Memelihara keridaan orang tua

2. Berbakti kepada orang tua

3. Memelihara etika pergaulan kepada orang tua

b. Akhlak terhadap kaum kerabat. Akhlak yang paling utama terhadap kaum kerabat ialah mengadakan hubungan silaturahmi dan berbuat ihsan (baik) terhadap mereka, seperti

mencintai mereka serta turut merasakan suka dan duka mereka. Diatara ayat-ayat yang berbicara tentang akhlak ini ialah surah an-Nisa (4) ayat 1 dan 36, surah ar-ra‟d 13 ayat 25 surah al-israh (17) ayat 26, dan surah Muhammad (47) ayat 22. Diantara hadist Nabi SAW yang berbicara tentang akhlak ini ialah “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari

akhirmaka hendaklah ia mengadakana hubungan silaturrahmi” HR. al-Bukhari dan Muslim). c. Akhlak terhadap tantangan. Diantara akhlak seseorang terhadap tantangannya ialah sebagai berikut.

1. Tidak menyakiti tetangganya. Baik dengan perbuatan maupun denga perkataan

2. Berbuat ihsan (kebaikan) kepada tentangga diataranya ialah melakukan *takziah ketika tetangganya mendapatkan musibah, melakukan *tahnia ketika tetanggany mendapat

kegembiraan, menjenguknya ketika sakit, menolongnya ketika dimintai tolong.

(12)

tak bernyawa.

Akhlak yang dianjurkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber daru fungsi manusia sebagai khalifah. Khalifah menuntut adanya interaksi antara manusia dan alam. Khalifah mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, dan bimbingan agar setiap mahluk mencapai tujuannya. Mahluk-mahluk itu adalah umat seperti manusia juga. Al-Quran menggambarkan : “dan tiada binatangbinatang yang ada dibumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melaikan umat-umat juga seperti kamu… ” Q.S. 6:38 . Oleh sebab itu menurut Al-Qurtubi, makluk-mahluk itu tidak boleh diperlukan secara aniayah [6].

Allah SWT menciptakan Ala mini dengan tujuan yang benar, sesuai dengan firman-Nya. (Q.S. Al-Ahqaaf. 46:3) [7].

$tB $oYø n=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚö„F{$#ur $tBur !$yJßgoYøŠt/ žwÎ Èd ysø9$$Î/ 9@y_r&ur „wK|¡•B 4 tûïÏ%©!$#ur #rã• xÿx. !$£Jtã (#râ„É‹Ré& tbqàÊÌ• ÷èãB ÇÌÈ Artinya :

Kami tiada menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.

M. Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam memanfaatkan alam manusia tidak hanya dituntut untuk tidak bersikap angkuh terhadap sumber daya yang dimilikinya, tetapi juga dituntut untuk memperhatikan apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Allah SWT, pemilik ala mini. Manusia ditutntu tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri atau kelompok saja tetapi juga kemaslahatan semua pihak. Dengan demikian, manusia diperintahkan bukan untuk mencari kemenagan, tetapi keselarasan dengan alam.

Kitab Tentang Akhlak. Disamping petunjuk tentang akhlak dalam bentuk perbuatan seperti dikemukakan diatas, didalam islam terdapat juga petunjuk untuk memiliki perangai seperti sabar, ramah, ikhlas, pemaaf, jujur,dan kasih sayan, serta petunjuk untuk menghindari perangai yang buruk sepertipemarah, pendendam, dan berdusta.

Pembahasan tentang petunjuk-petunjuk tersebut banyak dimuat dalam kitab tasawuf dan akhlak antara lain sebagai berikut.

1. Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah (risalah karya Qusyairi). Karya Abu Qasim Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Talha bin Muhammad Al-Qusyairi (376 H/986 M-465 H/1074 M). kitab ini membahas antara lain tingkah laku, prinsif dan sifat sufi, serta kode etika para pelajar.

2. Ihya Ulum Ad-Din (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama), karya Imam al-gazali. Kitab yang terdiri atas 4 jilid ini dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama mengupas masalah ibadah dengan segala rahasianya. Bagian kedua membahas masalah adat dan muamalah. Bagian ketiga menyajikan hal-hal yang dapat merusak diri, termasuk akhlak-akhlak tercela. Bagian keempat menguraikan hal-hal yang menyelamatkan manusia dalam berbagai

kerusakan, termasuk akhlak terpuji.

3. Al-Azkar (Zikir-zikir), karya imam an-Nawawi, kitab ini berkumpulan hadist dan doa tentang aktivitas sehari-hari, latihan rohani, etika umum, dan lain-lain yang mempererat hubungan manusia dengan Tuhan dan sesamanya.

4. Al-Akhlaq al-Islamiyyah wa Ususuha (Akhlak Islamdan dasar-dasarnya). Karya Ayekh Abdurrahman Hasan Habnakah al-Maidani (ahli ilmu akhlak konteporer asal Suriah).

Materinya antara lain dasarnya akhlak yang digalidari Al-Quran dan hadis petunjuk praktis penerapan akhlak, dan pendidikan akhlak [8].

B. Pendidikan Islam

Pendidikan islamadalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian yang sesuai dengan ajaran islam atau suatu upaya dengan ajaran islam memiliki nilai-nilai islam serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai islam.

(13)

tentunya pendidikan islam memerlukan landasan kerja untuk member arah bagi programnya sebab dengan adanya dasar juga berfungsi sebagai sumber semua peraturan yang akan diciptakan sebagai pegangan lengah pelaksanaan dan sebagai jalur langkah menentukan arah usaha sersebut.

Urutan prioritas pendidikan islam dalam upayah pembentukan kepribadian muslim, sebagaimana di ilustrasikan berturut-turut dalam al-quran surat Lugman mulai ayat 3 dan seterusnya adalah [9].

1. Pendidikan keimanan kepada Allah SWT Artinya :

Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya

mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Luqman ayat 13) [10]. Pendidikan yang pertama dan utama untuk dilakukan adalah pembentuka keyakinan kepada Allah yang diharapkan dapat melandasi sikap, tingkah laku dan kepribadian.

2. Pendidikan Akhlaqul Karimah

Sejalan dengan usaha membentuk dasar keyakinan atau keimanan maka diperlukan juga usaha membentuk akhlak yang mulia. Berakhlak yang mulia adalah merupakan modal bagi setiap orang dalam menghadapi pergaulan antar sesamanya.

Akhlak termasuk diantara makana yang terpenting dalam hidup ini tingkatnya berada sesudah keimanan atau kepercayaan kepada Allah, Malaikatnya, Rasul-rasulnya, hari akhir yang terkandang hasyar, hisab, balasan akhirat dan qada dan qadar Allah. Apabila beriman kepada Allah dan beribadah kepadanya pertama-tama berkaitan rapat antar hubungan hamba dan Tuhannya, maka akhlak pertama sekali berkaitan dengan hubungan Muamalah Manusia dan orang-orang lain, baik secara individu maupun kolektif. Tetapi perlu diingat bahwa akhlak tidak terbatas pada penyusunan hubungan antara manusia dengan manusia yang lainnya, tetapi melebihi itu, juga mengatur hubungan manusia dengan segalah yang terdapat dalam wujud dan kehidupan ini malah melampawi itu yaitu mengatur hubungan antar hamba denga Tuhannya [11].

Artinya :

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. (Luqman 18) [12].

Selanjutnya, tentang pendidikan (Pendidikan Islam) Al-Quran, antra lain berbicara mengenai : karakteristik sejarah dan medan pendidikan.

1. Karakteristik Pendidikan Islam

Pendidikan islam bukannya hanya pendidikan akhlak aqiqah dan ibadah saja, melaikan lebih luas, yakni :

a. Pendidikan Islam mencakup seluruh aspek manusia

b. Pendidikan Islam mencakup kepentingan hidup dunia dan akhirat.

c. Pendidikan Islam berlangsung terus-menerus sejak masih dalam kandungan ibu sampai masuk liang lahat, setiap orang selalu terlebit dalam proses pendidikan baik sebagai terdidik maupun pendidik.

d. Sistem Pendidikan islam menuju keselarasan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Segi-segi pendidikan islam diatas pada satu perinsip :

(14)

2. Sasaran Pendidikan Islam

Dari segi salah satu esensi penting pendidikan yakni pertumbuhan dan perkembangan, maka sasaran pendidikan merupakan persoalan asasi dan menyangkut masalah ini dan nilai Qurani terdiri atas dua tingkat :

a. Nilai-nilai Rohaniah berupa “Imam” Tauhid yakni merupakan motivasi dasar dari seluruh aktivasi manusia, melahirkan keikhlasan.

b. Nilai-nilai pengabdian (Ubudiyah) terdiri dari nilai-nilai moral (Akhlak), nilai individu , nilai-nilai social (Masyarakat)

3. Medan Pendidikan Islam

Menurut ajaran Islam, medan pendidikan adalah : a. Pendidikan Jasmani

b. Pendidikan Rasio c. Pendidikan Aqidah d. Pendidikan moral (Akhlak) e. Pendidikan Kreatifitas f. Pendidikan Seni g. Pendidikan Sosial

Islam menilai Pendidikan Jasmani sebagai cukup penting karena jasmani manusia ikut member adil dalam upaya penuaian, tugas hidup manusia pendidikan rasio, tidak hanya bermaksud agar manusia maupun berfikir saja, melainkan lebih dari, dengan kemampuan berfikir manusia akan lebih baik dalam mengenal dan selanjutnya mengabdikan dirinya kepada khaliqnya arah pendidikan kreatifitas adalah agar manusia mampu mengajarkan akhlak kepada dirinya sendirinya. Sedangkan pendidikan (Terbentuknya manusia pengabdi yang Shalih), juga dalam rangka pencapaian sasaran pendidikan sosial amat penting artinya bagi penuaian tugas ibadah dalam dimensi sosial [13].

Adapun tujuan pendidikan islam yang sejalan dengan misi islam itu sendiri yaitu

mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai akhlak Al-Karimah. (Al-karimah1979). Misi islam itu sendiri yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga mencapai akhlak Al-Karimah. (Al-Syaibany, 1979)

Dan tujuan tersebut sama dan sebangun dengan target yang terkandung dalam tugas

kenabian, yang diemban oleh Rasul Allah SAW. Yang terungkap dalam pernyataan beliau : “sesungguhnya aku diutus adalah untuk membimbing mausia mencapai akhlak yang mulia” (Al-Hadist) faktor kemulian akhlak dalam pendidikan islam dinilai sebagai faktor kunci dalam menentukan keberhasilan pendidikan yang menurut pandangan islam berfungsi menyiapkan manusia-manusia yang mampu menata kehidupan yang sejahtera dudunia dan kehidupan akherat.

Dua sasaran pokok yang akan oleh pendidikan islam tadi, kebahagian dunia dan

kesejahteraan akhir, memuat sisi-sisi penting. Dan bagian ini dipandang sebagai nilai lebih dari pendidikan islam disbanding dengan pendidikan non islam. Nilai lebih tersebut terlihat bahwa pendidikan islam dirancang agar dapat merangkum tujuan hidup manusia sebagai mahluk ciptaan tuhan yang pada hakikatnya tunduk pada hakikat penciptaanya.

1. Tujuan Pendidikan islam itu bersifat fitnah yaitu membimbing perkembangan manusia sejalan dengan fitnah kejadiannya.

2. Tujuan pendidikan islam menentang dua dimensi yaitu tujuan akhir bagi keselamatan hidup didunia dan diakhirat.

Prof. Mohammad athiyan Al-Brosyi dalam kejadiannya tentang pendidikan islam telah menyimpulkan 5 (Lima) tujuan yang asasi bagian pendidikan islam yang diuraikan dalam “At-Tarbiyah Al-Islamiyah Wa-Falsafatuha”. Yaitu :

(15)

Dalam kaitannya dengan evaluasi pendidikan islam telah menggariskan tolak ukur yang serasi dengan tujuan pendidikan. Baik tujuan jangka pendek, yaitu membimbing manusia agar hidup selamat didunia maupun tujuan jangka panjang untuk kesejahteraan hidup akhirat nanti. Kedua tujuan tersebut menyatu dalam sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Akhlak yang mulia terlihat dalam penampilan sikap pengabdiannya kepada Allah SWT dan kepada lingkungannya bauk kepada sesama manusia, maupun terhadap kepada alam sekitarnya. Oleh karena itu dalam pendidikan islam evaluasi lebih ditekankan pada penguasa sikap (aspek efektif) ketimbang pengetahuan (aspek kognitif).

Akhlak yang diharapkan dapat dibentuk melalui pendidikan islam, nilai-nilai akhlak sebagai bagian yang seharusnya dijadikan landasan bagian sistem pendidikan islam, hingga dalam pelaksanaan seseorang muslim maupun menempatkan dirinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi dan untuk memakmurkan kehidupan di bumi dan menghindarkan segala bentuk

perbuatan yang mengarah kepada kerusakan [15]. C. Akhlak Dalam Pandangan Islam

Untuk menyempurnakan rangkaian pembahasan ini, ada satu topik penting yang banyak dibicarakan orang dan pengaruhnya cukup besar dalam kehidupan masyarakat ataupun individu. Topik tersebut adalah tentang akhlak dalam pandangan islam.

Seperti telah diketahui agama islam mengatur hubungan manusia dengan penciptanya hubungan manusia dengan dirinya serta hubungan manusia dengan sesamanya. Hubungan manusia dengan penciptanya dalam masalah akidah dan ibadah. Hubungan manusia dengan dirinya diatur dengan hukum akhlak, makanan dan minuman, serta pakaian, selain itu hubungan manusia dengan sesamanya, diatur dengan hukum muamalah dan uqubat. Islam telah memecahkan persoalan hidup manusia secara menyeluruh dengan menitik beratkan perhatian kepada umat manusia serta integal, tidak terbagi-bagi dengan demikian, kita melihat islam menjelaskan persoalan dengan metode yang sama yaitu membangun semua solusi persoalan tersebut diatas dasar akidah, yaitu asas rohani tentang kesadaran manusia akan hubungan dengan Allah kemudian dijadikan asa peradapan islam asas syarat islam dan asas negara.

Masyarakat tegak dengan peraturan-peraturan hidup serta dipengaruhi oleh perasaan dan pemikiran yang merupakan kebiasaan umum, hasil dari pemahaman hidup yang dapat menggerakan masyarakat. Karena itu, yang menggerakkan masyarakat.bukanlah akhlak melainkan peraturan-peraturan yang diterapkan ditengah masyarakat, pemikiran-pemikiran dan perasaan yang ada pada masyarakat [16].

Pembahasan: KEADILAN, KEPEMIMPINAN DAN KERUKUNAN

Ketiga istilah diatas berkaitan satu sama lain, ia bisa berhubungan dengan politik,

kemasyarakatan dan agama. Dalam hal ini, sesuai dengan pembidangan, peninjauan bahasan tentu banyak berorientasi pada agama.

1. Masalah Keadilan

Keadilan berasal dari kata adil dalam istilah / ta‟rif bahasa Arab “Wadh‟u syai‟in fi

mahalliha“. Artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya. Artinya keadilan adalah suatu sikap dan tindakan proporsional. Keadilan suatu nilai yang selalu didambakan dan sekaligus diperjuangkan kehadirannya. Keadilan harus dijabarkan dalam semua keadaan. Sebab keadilan adalah kebajikan utama ummat manusia yang keberadaannya mutlak diperlukan sepanjang sejarah.

(16)

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman ! Hendaklah kamu menjadi pembela bagi Allah, menjadi saksi dengan keadilan, janganlah kebencian kamu kepada suatu kaum menyebabkan kamu menyimpang dari keadilan, berlaku adillah kamu, itulah lebih dekat kepada taqwa, dan takutlah kamu kepada Allah, bahwasanya Allah membalasi apa-apa yang kamu perbuat“. Dan di dalam hadits Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam : “Al-adlu hasanun walakin fil umaraa‟i ahsanu as-sakhoo‟u hasanun walakin fil ghinaa‟i ahsanu al-wara‟u hasanun walakin fil „ulamaa‟i ahsanu ash-shobru hasanun walakin fil fuqoroo‟i ahsanu at-taubatu hasanun walakin fis syababi ahsanu, al-hayaa‟u hasanun walakin fin-nisaa‟i ahsanu“.

Artinya : “Keadilan itu baik tetapi lebih lagi pada para pemimpin. Kedermawanan itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada orang-orang kaya wara‟ itu baik tetapi ia lebih baik lagi pada para ulama, shabar itu baik, tetapi ia lebih lagi pada orang-orang faqir. Taubat itu baik, tetapi ia lebih baik lagi pada para pemuda, malu itu baik, tetapi lebih baik lagi pada para

perempuan” HR. Dailami .

Sesuai petunjuk Al Qur‟an dan Al Hadits diatas maka keadilan hendaklah ditegakkan. Rasa keadilan adalah situasi naluriyah yang tumbuh pada diri manusia. Perjuangan menegakkan keadilan berakar pada fitrah manusia dan karenanya menjadi kepedulian setiap orang. Dari itu pula dapat dikatakan semua orbit perjuangan manusia adalah perjuangan menegakkan keadilan dan melawan kezaliman. Konsekuensinya situasi kemanusiaan tidak boleh berpihak kepada ketidakadilan. Hukuman yang keras akan ditimpakan kepada manusia yang berpihak kepada orang-orang yang dzalim.

Firman Allah Subhanahu Wata‟ala dalam Al Qur‟an surah Hud ayat 113 : Artinya : “Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang dzalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain dari Allah kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan“.

Lawan daripada keadilan adalah kezaliman. Islam memandang kedzaliman sebagai kemungkaran yang akan menghancurkan tata kehidupan. Jagat politik akan terus menerus diwarnai kesewenangan, kediktatoran dan penindasan yang diidentikkan dengan kerusakan. Kehidupan sosial diwarnai kerusakan, kekejaman dan krisis sosial.

Kita tidak boleh terjebak ke dalam bentuk tindakan kezaliman, bahkan setiap individu harus terlibat dalam merespon seruan untuk melawan kezaliman, apapun bentuknya. Legalitas perlawanan terhadap kezaliman tersebut begitu jelas dan pasti sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam “Afdholul jihaadi kalimatu adlin wa fi riwayatin kalimatu haq „imda sulthoonin jaairin“.

Artinya : “Seutama-utama jihad adalah mengatakan yang haq kepada penguasa yang zalim” (HR. Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah dari Abu Said Al-Khudri Radhiallahu anhu).

Tegaknya keadilan bukan hanya untuk kepentingan generasi sekarang tetapi melainkan untuk lintas generasi. Dalam sebuah masyarakat yang menjunjung keadilan, setiap manusia dapat terbebas dari segala bentuk tirani dan akan membuahkan kesejahteraan sejati.

Di sinilah letak kepentingan membangun institusi-institusi yang adil. Secara teoritis pembangunan institusi yang adil harus dimulai dengan komitmen penerapan keadilan prosedural sebagai hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dalam bentuk aturan, hukum atau undang-undang.

Selain itu Islam memandang keadilan tidak hanya sebagai hak melainkan juga kewajiban untuk saling menopang antar individu dan sekaligus menjadi tonggak utama bangunan

masyarakat, apapun agama. Keadilan menjadi tulang punggung kehidupan sosial politik. Atas dasar itu Islam memberi bekal bagi setiap individu berupa perangkat kaidah yang tidak hanya mengarahkan perilaku, yang menentukan hubungan manusia dan dapat menjamin

(17)

ketidakadilan. Sebab keadilan tidak hanya diserahkan kepada individu, melainkan juga dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik. Dengan demikian keadilan distributif, komutatif dan keadilan sosial akan terwujud.

Konsep keadilan dalam Islam dipandang lebih tinggi dan luas cakupannya daripada ide-ide dan konsep-konsep buatan manusia. Dalam Al Qur‟an cakupan penggunaan kata “adl” berlaku bagi segala bentuk hubungan manusia : antar penguasa dengan rakyat, antar

golongan, antar bangsa, antar orang-orang bersengketa, antara orang-orang yang melakukan perjanjian, di bidang muamalah, antara seseorang dengan kerabatnya, antara suami dengan isteri-isterinya, antara orang tua dengan anak-anaknya, dan lain sebagainya.

2. Masalah Kepemimpinan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka “Kepemimpinan” artinya perihal pemimpin; cara memimpin. Dalam bahasa Inggris pemimpin itu disebut leader, kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadership. Ada lagi istilah kepemimpinan secara spiritual dan empiris. Pengertiannya, spiritual adalah kepemimpinan yang mampu mentaati pemerintah dan larangan Allah dan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dalam semua aspek kehidupan. Secara empiris kegiatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat (H. Nawawi Hadari, 2001 : 17 & 27).

Berdasarkan Al Qur‟an As Sunnah sebagai rujukan utama ummat Islam telah menampilkan 5 (lima) terminologi tentang kepemimpinan, yaitu :

1. Al-Imam (QS, 25 : 74), bentuk jamaknya adalah al-aimmah, sebagaimana disebutkan dalam hadits Shahih Bukhari Muslim. Imam artinya pemimpin yang berada di depan

(amaam). Istilah ini disamping populer dipergunakan selain untuk kepemimpinan politik dan intelektual ia juga dipakai untuk kepemimpinan dalam sholat berjama‟ah.

2. Al-Khalifah, bermakna pemimpin yang mewakili, menggantikan dan siap diganti oleh pelanjutnya (QS, 2 : 30). Karena para Khulafaur Rasyidin selain menggantikan Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin, mereka juga melanjutkan risalah beliau, bahkan siap dan rela bila kepemimpinannya dilanjutkan oleh pemimpin-pemimpin berikutnya. Dari terminologi diatas, seorang pemimpin haruslah dalam posisi tidak melanggengkan kekuasaannya, melainkan ia selalu beraktivitas bijak termasuk mempersiapkan keberlanjutan kepemimpinannya ke generasi berikutnya.

3. Al-Malik artinya raja. Hanya saja Al Qur‟an mengaitkan status ini dengan hakikat kerajaan sepenuhnya milik Allah saja. Sementara kekuasaan kerajaan yang diberikan kepada manusia hanyalah bersifat nisbi, yang semestinya digunakan untuk merealisir kemaslahatan kehidupan. Diantara kemaslahatan tersebut adalah memunculkan kesentausaan bagi sang Raja dan bagi rakyatnya, dengan sepenuhnya melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah. Karenanya Allah menegaskan bahwa Dia lah Raja dari para Raja. Oleh karenanya para raja di dunia ini haruslah menselaraskan diri dengan hakikat kekuasaan yang mereka miliki dan tidak melampauinya agar tidak muncul kehinaan dan kezaliman bagi kemanusiaan. Hal ini jelas diungkap dalam QS. 3 : 26.

4. Al-Amir artinya adalah seorang pemimpin yang dapat memerintah. Ia pun berarti ism maf‟ul ojek sehingga bermakna pemimpin yang dapat dikoreksi oleh rakyatnya atau diperintah untuk memperbaiki diri oleh rakyatnya. Seorang pemimpin dalam terminologi ini adalah seorang pemberani dan berwibawa, sehingga ia dapat efektif memerintah melalui perintahnya yang ditaati rakyat, ketika perintahnya itu benar. Ia dapat berlapang dada untuk menerima perintah dari rakyat melalui koreksinya.

(18)

tentu akan menciptakan iklim kepemimpinan yang penuh empati, kepedulian dan kedekatan dengan rakyat. Oleh karenanya sang pemimpin tidak akan berlaku zalim, aniaya dan semena-mena dalam kebijakannya kepada rakyat (Dr. HM. Hidayat Nur Wahid, tt : 166).

Jika berbicara tentang kepemimpinan secara mendalam, memang banyak ragam yang harus diurai, tetapi dalam hal ini kita hanya membatasi pada macamnya pemimpin, potensi

kepemimpinan, budaya menjadi pemimpin dan kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :

a. Macamnya Pemimpin 1) Pemimpin Formal

Pemimpin formal ini adalah orang yang secara resmi diangkat dalam jabatan kepemimpinan, teratur dalam suatu organisasi pemerintahan secara hiarki, tergambar dalam suatu gambar bagan yang tergantung di kantor-kantor kepemimpinan ini lazimnya tidak dengan sendirinya memberikan jaminan bahwa orang yang diangkat menjadi pemimin formal tersebut akan dapat diterima juga oleh anggota organisasinya sebagai pimpinan yang sesungguhnya. Hal ini masih diuji dalam praktek.

2) Pemimpin Non Formal

Kepemimpinan ini adalah seperti dalam organisasi non pemerintah tetapi juga punya hiarki. Pengangkatannya tergantung pada musyawarah misalnya HIPMI, IWAPI dan lain

sebagainya.

3) Pimpinan Informal

Kepemimpinan ini tidak mempunyai dasar pengangkatan resmi, tidak jelas tergambar dalam hiarki. Pemimpin informal ini (informal leader) adalah seorang individu (pria atau wanita) yang walaupun tidak mendapat pengangkatan secara yuridis formal sebagai pemimpin, memiliki sejumlah kualitas (objektif dan subjektif), yang memungkinkan mencapai kedudukan sebagai orang yang dapat mempengaruhi kelakuan serta tindakan sesuatu kelompok masyarakat baik dalam arti positif maupun negatif.

Dalam kalangan Islam kepemimpinan informal mendapat tempat tersendiri di hati ummat, misalnya dengan banyaknya ulama, ustadz, dan lainnya (Dra. Hj. Mahmudah, 2003 : 19). b. Potensi Kepemimpinan

Kepemimpinan dalam Islam adalah tanggung jawab dan pelayanan yang utuh untuk dinullah. Keberhasilan dakwah banyak bergantung banyak tumbuhnya shaf pendukung yang memiliki kejelasan dan tanggung jawab pembagian tugas dan sistem perekrutan yang baik (organisasi yang teratur), karena hal ini sangat menentukan tercapainya tujuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Saidina Ali Karramallahu wajhah : “Al-Haqqu billa nidzom sayaglibuhul bathilu binnidzom“. Artinya : “Kebenaran yang tidak terorganisir secara rapi dapat dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisir dengan rapi“.

Dari sini semua membutuhkan pemimpin yang adil, berilmu dan terampil dan menguasai permasalahan sebagaimana Nabi Yusuf Alaihissalam tersebut dalam Al Qur‟an surah Yusuf ayat 55 :

Artinya : Berkata Yusuf “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan“.

Menurut H. Agus Hidayat Nur dalam bukunya “Urgensi Tarbiyah dalam Harokah Islamiyah” halaman 41 ada beberapa ciri yang menunjukkan kemampuan memimpin seseorang :

1) Mampu untuk mengikat dengan pemikiran dan kepribadiannya.

2) Kerja yang terus menerus dan berlanjut serta sabar dan tidak mudah putus asa. 3) Lembut bukan karena lemah dan kuat bukan karena nekat / kalap serta tidak ceroboh dan mampu berbicara sesuai dengan kebutuhan.

(19)

5) Mampu mengarahkan seorang menjadi dinamis dan rukun.

6) Mendidik, mengarahkan dan menjaga kader-kadernya dari kebinasaan.

7) Pandai membagi waktu, waspada, cerdik (cepat dan tepat merespon setiap kejadian) serta memiliki bashirah (mata hati) dengan segala potensinya inilah seorang pemimpin dengan idzin Allah mampu membawa organisasinya melangkah benar.

Uraian diatas dapat ditarik natijahnya sebagai gambaran calon dan pemimpin yang ahli atau pemimpin yang berbudaya. Karena apa, ada juga istilah banyak orang tidak berbudaya menjadi pemimpin. Dimaksud budaya disini ialah perbuatan manusia yang didasarkan pada akhlak mulia dan ilmu pengetahuan. Bila manusia dalam berbuat dan bertindak meninggalkan akhlak dan ilmu pengetahuan, hanya karena dorongan nafsu semata, dia dikatakan tidak lagi berbudaya. Hadist Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari Abdullah ibn Abbas ujarnya : Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda : “Kalau engkau telah menyaksikan budak perempuan melahirkan anak majikannya dan orang-orang gunung yang berkaki telanjang menjadi pemimpin masyarakat, itu pertanda datangnya kiamat” HR. Ahmad . Pada akhir riwayat Ahmad menambahkan : Ibnu Abbas bertanya : “Wahai Rasulullah, siapakah orang-orang gunung yang berkaki telanjang itu ?” Sabdanya : “Orang Arab Badui ”.

Dalam hadist tersebut Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menyatakan bahwa kelak akan terjadi budak akan melahirkan anak majikannya dan muncul orang-orang gunung yang berkaki telanjang menjadi pemimpin ummatnya atau bangsanya. Munculnya orang gunung berkaki telanjang memimpin ummat atau bangsanya pertanda munculnya zaman edan. Orang gunung berkaki telanjang adalah orang Arab (Badui), sikap orang Badui antara seperti : keras kepala (penantang), tidak teguh pendirian, suka tergesa-gesa dan tidak memperdulikan akhlak.

Istilah orang Badui bisa bermakna hakiki, bisa juga bermakna simbolik, yaitu orang yang tidak berbudaya, tidak berakhlak dan tidak berilmu pengetahuan.

Hakikat pemimpin tidak berbudaya yang diantaranya lahir dari orang-orang gunung berkaki telanjang dan oleh Rasul Allah disebut sebagai orang Badui, adalah para pemimpin yang tidak mampu menjalankan roda pemerintahan benar dan hanya main coba-coba.

Munculnya pemimpin yang berkepribadian Badui menjadikan masyarakat bingung, karena apa saja yang dilakukan pemimpinnya tidak dapat memberikan ketentraman dan ketenangan. Masyarakat menjadi korban ketidakbijaksanaan mereka sehingga kehidupan mereka menjadi kacay, menderita kelaparan, kekacauan, kesengsaraan. Sikapnya menjadikan masyarakat tidak lagi mempercayai.

Jika dihubungkan dengan fenomena, banyak orang yang mencari jabatan ingin jadi pemimpin. Untuk bermimpi dalam jabatan tidak ada larangan tetapi alangkah baiknya, membaca lebih dahulu syarat-syarat dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut :

1) Pertama, jangan ambisius untuk meraih jabatan / pimpinan, apalahi dengan kepentingan nafsu (dendam), baik pribadi ataupun golongan. Sebab perilaku demikian akan

menghilangkan jaminan pertolongan Allah Subhanahu Wata‟ala. Nabi Besar Muhammad Shallallahu alaihi wasallam telah memberikan pandangan : “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan, sebab jika engkau diberi jabatan karena meminta, maka engkau akan ditinggalkan untuk mengurusinya sendiri. Dan jika engkau diberi jabatan itu bukan karena meminta, maka engkau akan dibantu (Allah) untuk menunaikannya” HR. Bukhari .

(20)

dukungan dari berbagai pihak, maka ia akan ditinggalkan untuk mengurusinya sendiri. Dan bila ia dipaksa untuk memegang jabatan itu, maka Allah akan turunkan malaikat untuk membimbingnya” HR. Al-Bazzar).

Oleh karena itu sebagai ummat Islam tidaklah sepatutnya menyerahkan amanah atau pilihannya kepada calon pejabat semacam ini. Memang belum disepakati haram, tetapi moralitas yang tinggi pasti menghadang untuk memilih dengan profil demikian.

2) Kedua, capable (mampu). Dalam kondisi dimana seorang muslim melihat dirinya secara objektif mempunyai potensi untuk menjabat, maka boleh mengajukan diri dengan syarat betul-betul bebas dari nafsu dan demi menegakkan keadilan. Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf Alaihissalam dengan mengajukan diri kepada Raja Rayyan Ibn Al-Walid untuk menjadi bendahara negara, hingga dapat mendistribusikan kekayaan negara dengan adil.

Untuk membatasi uraian tentang kepemimpinan ini, dirasa perlu juga menguraikan tentang kepemimpinan Rasulullah secara kilas, semoga bisa menjadi contoh, karena memang Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah sebagai ikutan atau contoh yang paling baik. Kenyataan yang pertama dalam kepribadian Nabi Besar Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, sebagai manusia yang kepemimpinannya patut diteladani adalah ketangguhan beliau untuk menjadi pribadi yang tidak dipengaruhi oleh keadaan masyarakat di sekitarnya. Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, lahir, besar dan dewasa di tengah-tengah masyarakat Arab jahilliyah, masyarakat yang terdiri dari manusia-manusia berakhlak buruk. Tetapi kenyataannya menunjukkan sebaliknya bahwa beliau manusia istimewa dengan kepribadian yang tidak larut dan tidak pula hanyut di dalam arus yang buruk itu. Beliau telah mendapat gelar Al-Amin, orang yang jujur dan terpercaya. Kepribadian seperti itu merupakan dasar atau landasan yang kokoh bagi seorang pemimpin.

Dalam sejarah kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam maka dilakukan identifikasi kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, sebagai berikut : 1) Perwujudan Kepemimpinan Otoriter

Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah pemimpin yang sangat keras dalam

menghadapi orang-orang kafir dan dalam memberikan hukuman serta pelaksanaan petunjuk dan tuntunan Allah Subhanahu Wata‟ala lainnya. Tidak ada yang boleh dibantah jika telah diwahyukan Allah Subhanahu Wata‟ala. Tidak dibenarkan dan tidak dibolehkan pemberian saran, pendapat, kreativitas dan inisiatif, sehingga berarti suatu perintah harus dilaksanakan dan larangan harus dijauhi / ditinggalkan. Otoriter adalah mutlak hak Allah Subhanahu Wata‟ala yang bilamana tidak diperlakukan-Nya di muka bumi ini, maka secara pasti akan dilaksanakan-Nya adalah seseorang kembali kehadirat-Nya. Tidak ada keringanan hukuman sebagai balasan bagi yang ingkar atau kufur / kafir, atau yang menduakan penciptanya melainkan neraka jahannam dengan siksa yang sangat pedih. Perbuatan yang dikatagorikan dosa tidak akan berubah katagorinya, meskipun yang menyampaikan saran perubahan atau perbaikan seorang raja, presiden, ulama atau rakyat biasa.

Oleh karena itu kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah bentuk kongkrit kepemimpinan Allah Subhanahu Wata‟ala maka otoriter yang berlaku di muka bumi ini selalu dilaksanakan sebagaimana seharusnya. Untuk itu Allah Subhanahu Wata‟ala telah memberikan petunjuk dan tuntunan yang jelas, dengan menutup sama sekali pemberian saran, pendapat, inisiatif, kreativitas dan lain-lainnya.

2) Kepemimpinan Laissez Faire

Dalam menyeru ummat manusia terlihat kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi

(21)

mengimani Kalimat Syahadat. Jika menolak beriman, Rasul Allah Shallallahu alaihi

wasallam tidak akan memaksanya, namun tetap memperingatkan celakalah dirinya yang telah keliru memilih. Termaktub dalam firman Allah Subhanahu Wata‟ala di dalam surah Al Baqarah ayat 256 :

Artinya : “Tidak ada paksaan dalam menganut agama sebab sudah jelas jalan benar dan jalan yang salah. Barangsiapa yang ingkar kepada Thogut, hanya percaya kepada Allah, berarti ia berpegang pada tali yang berbuhul kuat yang tidak mungkin putus. Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui“.

Kebebasan memilih itu lebih tegas lagi, sebagaimana firman Allah surah Al-Kahfi ayat 29 sebagai berikut :

Artinya : “Dan katakanlah kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang mau beriman berimanlah dan barangsiapa yang ingin kafir kafirlah“.

Demikian kepemimpinan Laissez Fair yang diwujudkan oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, namun apabila seseorang telah menyatakan dirinya beriman, maka kepemimpinan beliau berkembang menjadi bersifat konsultatif, pengayoman dan kharismatik. Di dalam kepemiminan tersebut tetap terdapat kebebasan, karena pengawasan dilakukan langsung oleh Allah Subhanahu Wata‟ala. Pengawasan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersifat menumbuhkan tanggung jawab pribadi, karena pengawasan otoriter merupakan hak Allah Subhanahu Wata‟ala.

3) Perwujudan Kepemimpinan yang Demokratis

Prinsip-prinsip demokratis yang dibangun Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, pada masa hidup beliau selalu berhubungan dengan ummat yang dipimpinnya, terutama para shahabat sangat akrab. Oleh karenanya setiap ummat tidak dibatasi untuk berkomunikasi dengan beliau sebagai pemimpin. Diantaranya ada yang datang minta petunjuk, petuah dan nasehat,

disamping itu ada juga yang bermaksud menyampaikan pendapat, masalah-masalah yang dihadapinya dan melaporkan segala sesuatu yang perlu diketahui oleh Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam.

Kepemimpinan yang demokratis dari Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam terlihat nyata dalam kehidupan beliau sehari-hari. Beliau sebagai pemimpin yang agung tidak pernah sekedar duduk di singgasana atau memisahkan diri di istana yang gemerlapan untuk menjaga wibawa. Tetapi sebaliknya wibawa yang agung justru timbul dan terpelihara karena beliau menjalani kehidupan bersama ummatnya.

Kepemimpinan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam yang bersifat demokratis terlihat pada kecenderungan beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama menghadapi masalah yang belum ada wahyu dari Allah Subhanahu Wata‟ala. Bersamaan dengan itu beliau

menganjurkan agar ummatnya selalu bermusyawarah, yang dinyatakan agar ummat Islam tidak meninggalkan jama‟ah. Dengan demikian tak seorangpun dalam mengemukakan pendapat sangat dihormati, namun setelah kesepakatan dicapai setiap anggota jama‟ah wajib menghormati dan melaksanakannya. Kesediaan beliau sebagai pemimpin untuk

mendengarkan pendapat, bukan saja dinyatakan dalam sebuah sabdanya, tetapi terlihat dalam praktik kepemimpinannya. Sabda Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam, yang artinya : Dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu anhu, Rasul Allah Shallallahu alaihi wasallam membagi rampasan perang di Jir‟anah tiba-tiba seorang laki-laki berkata kepada beliau : “Berlaku adillah !” Lalu beliau bersabda kepadanya : “Saya celaka kalau saya tidak adil” H. Nadari Nawawi, 2001 : 282-288).

3. Masalah Kerukunan

(22)

membedakan etnis, adat dan agama. Bertahun-tahun mereka hidup dalam satu lingkungan sebagai bersaudara. Mereka hidup saling tolong menolong, segala permasalahan yang terjadi diselesaikan dengan musyawarah mufakat. Dalam arti kata bahwa mereka hidup dalam kerukunan.

Kita adalah sebuah keluarga besar yang tinggal dalam rumah kedamaian Indonesia. Jangan biarkan keluarga terpecah belah, yang terjadi cukuplah untuk dijadikan bahan pelajaran, untuk cermin kita menapak masa depan Indonesia yang damai, tentram dan sejahtera. Sesuai pembahasan masalah kerukunan, kerukunan secara bahasa berasal dari kata rukun, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti, baik dan damai, tidak bertengkar.

Kerukunan artinya perihal hidup rukun. Perihal hidup rukun ini, hidup rukun damai sesama anak bangsa dan sesama ummat beragama. Akar masalah terjadinya konflik karena masalah yang berkaitan suk, ras dan agama. Lebih-lebih agama masalah hak asasi manusia dan ia sangat peka, masalah kecil saja bisa memicu terjadinya pergesekan.

Kerukunan hidup ummat beragama, istilah ini secara formal muncul sejak

diselenggarakannya Musyawarah Antar Agama tanggal 30 Nopember 1967. Awal permasalahan karena pada saat itu timbul berbagai ketegangan antar penganut berbagai agama di sementara daerah dan jika tidak segera diatasi akan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Dalam pembukaan musyawarah tersebut Presiden Soeharto telah berkenan memberikan kata sambutannya antara lain : “… Pemerintah tidak akan menghalang-halangi suatu penyebaran agama. Akan tetapi hendaknya penyebaran agama tersebut ditujukan kepada mereka yang belum beragama yang masih terdapat di Indonesia, agar menjadi pemeluk agama yang yakin”.

Masalah agama adalah hak asasi manusia, artinya setiap berhak menentukan pilihan. Masalah agama juga masalah yang peka / sensitif, maka untuk tidak terjadi pergesekan / benturan antar pengikut ajaran agama, pemerintah berupaya menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, diantaranya pembinaan kerukunan antar ummat beragama.

Adanya kerukunan hidup antar ummat beragam adalah merupakan salah satu syarat mutlak terwujudnya stabilitas politik dan ekonomi. Oleh karena kerja sama pemerintah, masyarakat beragama dalam mewujudkan iklim kerukunan beragama sangat diperlukan. Kerukunan yang diistilahkan oleh pemerintah mencakup tiga kerukunan, yaitu kerukunan intern ummat

beragama, kerukunan antar ummat beragama dan kerukunan ummat beragama dengan pemerintah.

Akan tetapi perlu disadari, walaupun pemerintah telah membuat program Tri Kerukunan, namun masalah tanggung jawab pembinaan kehodupan beragama tidak dapat semata-mata dipikulkan pada bahu pemerintah. Ummat beragama sendirilah yang pertama dan utama memikul tanggung jawab itu. Pemerintah lebih banyak berperan sebagai penunjang dan memberikan kesempatan agar pelaksanaan ibadah dan amal agama itu dapat berjalan dengan tenang dan tenteram.

Bangsa Indonesia sungguh-sungguh merasa bahagia, bahwa kita mempunyai tradisi yang baik mengenai toleransi dan kerukunan hidup beragama ini. Tradisi dan kenyataan inilah yang antara lain menguatkan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila kita, dan sebaliknya, dengan Pancasila itu juga kita kembangkan toleransi beragama (Pidato Kenegaraan Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1967).

“… Pengertian toleransi agama bagi kita adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga negara untuk memeluk sesuatu agama yang menjadi keyakinannya dan kebebasan untuk menjalankan ibadahnya …” Sambutan Presiden Soeharto pada Peringatan Nuzulul Qur‟an tanggal 19 Desember 1967 di Jakarta).

(23)

atau sikap menenggang dalam makna menghargai, membiarkan, membolehkan pendirian, pendapat, kepercayaan, kelakuan yang lain dari yang dimiliki oleh seseorang atau

bertentangan dengan pendirian seseorang.

Sikap itu harus ditegakkan dalam pergaulan sosial, terutama dengan anggota-anggota masyarakat yang berlainan pendirian, pendapat dan keyakinan. Dengan kata lain toleransi adalah sikap lapang dada terhadap prinsip orang lain dengan tidak mengorbankan prinsip / keyakinan sendiri (Prof. H. Mohammad Daud Ali, SH, 2006 : 432-433).

Di dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip. Prinsip itu terdapat di dalam Al Qur‟an antara lain :

a. Surah Al-Baqarah ayat 256

Artinya : “Tidak ada paksaan dalam memeluk sesuatu agama karena telah jelas mana yang benar dan mana yang salah“.

b. Surah Al-Kahfi ayat 29

Artinya : “Katakanlah hai Muhammad bahwa telah datang kebenaran dari Tuhanmu. Oleh karena itu barang siapa yang mau beriman, berimanlah dan barangsiapa yang ingin kafir, kafirlah“.

c. Surah Yunus ayat 99

Artinya : “Dan apabila Tuhanmu menghendaki orang yang berada di muka bumi ini beriman seluruhnya. Apakah engkau akan memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman ?“

d. Surah Al-Mumtahanah ayat 8

Artinya : “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang -orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Dari beberapa ayat diatas dapat ditarik garis hukum, beberapa prinsip mengenai toleransi dalam ajaran Islam. Prinsip-prinsip itu antara lain :

1. Tidak boleh ada paksaan dalam beragama, baik paksaan itu bersifat halus atau kasar. 2. Manusia berhak menentukan pilihan agama yang dianutnya dan beribadat menurut keyakinannya.

3. Tidak ada gunanya memaksa seseorang agar ia menjadi seorang muslim.

4. Allah tidak melarang hidup bermasyarakat dengan mereka yang tidak sepaham atau tidak seagama, asal mereka itu tidak memusuhi umat Islam.

Dari uraian diatas sangat jelas bahwa Islam tidak memaksakan kehendak dalam hal keyakinan, artinya Islam dan ummatnya sangat toleran dengan penganut agama lain.

Disamping ayat-ayat Al Qur‟an diatas ada lagi satu surah yang menjadi pegangan / panduan ummat Islam tentang perbedaan agama ini. Toleransi agama adalah toleransi yang

menyangkut masalah akidah. Dalam ajaran Islam kemurnian akidah harus dijaga. Oleh karenanya ada pendapat mengatakan, tidak ada toleransi dalam akidah. Akidah tidak bisa dicampur adukkan atau dibaurkan. Al Qur‟an yang berbicara masalah ini adalah tersebut dalam surah Al-Kafirun ayat 1-6 :

Artinya : “Katakanlah hai kaum kafir. Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah. Dan tidak (pula) kamu menyembah apa yang aku sembah. Aku bukan penyembah sebagaimana (cara) kamu menyembah. Dan kamu (juga) bukan penyembah sebagaimana (cara) aku menyembah. Untuk kamulah agama kamu dan untukkulah agamaku” QS. Al-Kafirun ayat 1 – 6).

Jadi toleransi agama menurut ajaran Islam adalah sikap lapang dada untuk membiarkan bagi pemeluk agama lain dalam menjalankan menurut ketentuan agama yang diyakininya.

Referensi

Dokumen terkait

Jika ketika akad nikah maharnya disebutkan dan belum terjadi jima‟ antara suami dan isteri lalu suami mentalak isterinya, maka isteri berhak mendapatkan setengah

Kewajiban Pembayaran Bank Umum yang dijamin oleh Pemerintah meliputi pembayaran kepada Kreditur atau Nasabah Penyimpanan dalam negeri dan luar negeri, baik dalam mata uang

Pada ruang dalam ciri Gotik terlihat dengan jelas dan khas antara lain pada tiang-tiang menjulang tinggi, terdiri dari alur-alur, di atas terpencar menjadi kerangka atap dari

Pada siklus I, anak yang mencapai nilai ketuntasan mencapai 58,33% atau 7 anak, pada siklus II anak yang mencapai nilai ketuntasan mencapai 91,67% atau 11

Penulis menggunakan pendekatan sosiologis karena penulis mengangkat tema yang berkaitan dengan kehidupan sosial budaya dan kehidupan masyarakat yaitu ijime dalam komik Life

Pembelajaran konsumen terhadap minuman isotonic merek Mizone lebih terbentuk karena pengalaman diri sendiri dan media iklan di televisi, sehingga apabila pengalaman

Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan yang dilakukan pada BMT Mentari Kota Gajahdan merupakan penelitian deskriftif kualitatif yang bertujuan untuk

Konsekuensi yang diharapkan klien dapat memeriksa kembali tujuan yang diharapkan dengan melihat cara-cara penyelesaian masalah yang baru dan memulai cara baru untuk bergerak maju