• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PENDIDIKAN DAN KEWARGANEGARAAN ILLEG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH PENDIDIKAN DAN KEWARGANEGARAAN ILLEG"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

“ILLEGAL LOGGING”

Disusun oleh :

Nama : Amanda Wilis W

Arif Budiman Dwi Hartanto Erick Maulana Hengky Fernando M. Sukron F. H Nuri Jannati W. E

(011400365) (011400370) (011400375) (011400380) (011400385) (011400389) (011400393)

Prodi : Teknokimia Nuklir

Semester : V (lima)

Kelompok : 4 (empat)

Dosen : Drs. Ahmad Zubaidi, M.Si

SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NUKLIR

BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL

YOGYAKARTA

2016

(2)

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia , serta taufik , dan hidayat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “ Illegal Logging” ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterimakasih kepada Bapak Drs. Ahmad Zubaidi, M.Si yang telah memberikan tugas ini kepada kami .

Makalah ini disusun untuk mempelajari masalah yang ditimbulkan sebagai dampak dari maraknya praktek Illegal Loging yang terjadi di Hutan Indonesia. Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya

Yogyakarta , 20 November 2016

(3)

Daftar Is

Kata Pengantar... 2

Daftar Isi... 3

BAB I PENDAHULUAN... 4

1. 1. Latar Belakang...4

1.2 Rumusan Masalah...5

1.3 Tujuan Penulisan...6

BAB II ISI... 7

2.1. Istilah Illegal Logging...7

2.2. Faktor Penyebab Terjadinya Illegal Logging...8

2.3. Dampak Illegal Logging...12

2.4. Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait...16

2.5. Kasus-Kasus Illegal Logging dan Solusinya...19

BAB III PENUTUP... 24

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang

Abad 21 merupakan abad di mana umat manusia mengalami evolusi dan kemajuan yang cukup signifikan di berbagai aspek. Dalam beberapa hal yang dahulunya belum dapat teratasi, kini telah dapat ditangani dengan berbagai alat modern yang mutakhir. Namun, sejalan dengan hal tersebut, ada beberapa dampak yang ditimbulkan. Salah satunya dalam hal pemanfaatan sumber daya alam, khususnya hutan.

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.

(5)

Tak dapat dipungkiri, eksistensi hutan sangatlah essensial dan memiliki bebagai manfaat baik secara langsung (tangible)ataupun secara tidak langsung (intangible). Secara langsung, hutan memainkan perannya sebagai tempat penyedian kayu, habitat bagi berbagai flora dan fauna, dan sebagai lokasi beberapa hasil tambang.

Disamping itu, secara tidak langsung, hutan dapat dijadikan lokasi rekreasi, perlindungan dan perkembangan biodiversitas, pengaturan tata air, dan pencegahan erosi.

Salah satu masalah yang menjadi dilema dari periode ke periode yang menyangkut hutan di Indonesia ialah pembalakan liar (illegal logging). Stephan Devenish, ketua Misi Forest law Enforecment Governance and Trade dari Uni Eropa mengatakan bahwa illegal logging adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia. Nampaknya, illegal logging merupakan masalah krusial yang sangat sulit untuk diatasi bahkan diminimalisir oleh negara kita.

Dengan semakin maraknya praktek pembalakan liar, kawasan hutan di Indonesia telah memasuki fase kritis. Seluruh jenis hutan di Indonesia mengalami pembalakan liar sekitar 7,2 hektar hutan per menitnya, atau 3,8 juta hektar per tahun.

Tentunya, ini akan mengancam keanekaragaman hayati bahkan dapat menurunkan level kekayaan biodiversitas di Indonesia serta secara langsung dapat mengganggu keseimbangan alam yang telah tercipta. Menurut estimasi pemerintah, praktek illegal logging per tahunnya telah membuat negara mengalami defisit sebesar Rp 30 triliun atau Rp 2,5 triliun per bulannya. Tentunya, angka ini sangatlah fantastis, ditambah lagi kerugian ini empat kali dari APBN yang telah dianggarkan pemerintah untuk sektor kehutanan.

1.2

Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud illegal logging?

2. Faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya illegal logging? 3. Apa dampak illegal logging?

4. Apa saja peraturan perundang-undangan yang terkait illegal logging? 5. Apa saja contoh kasus terkait dengan illegal logging?

(6)

1.3

Tujuan Penulisan

1. Memahami tentang istilah dari illegal logging

2. Mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya illegal logging

3. Mengetahui dampak dari illegal logging

4. Memahami peraturan perundang-undangan yang terkait dengan illegal logging

5. Mengetahui contoh kasus dari illegal logging

(7)

BAB II

ISI

2.1.

Istilah Illegal Logging

Pembalakan liar atau penebangan liar adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Pembalakan liar dan perdagangan internasional kayu ilegal adalah masalah utama bagi negara-negara produsen kayu banyak di negara berkembang. Hal ini menyebabkan kerusakan lingkungan, biaya pemerintah miliaran dolar pendapatan yang hilang, mempromosikan korupsi, merusak aturan konflik hukum dan tata pemerintahan yang baik dan dana bersenjata. Hal ini menghambat pembangunan berkelanjutan di beberapa negara-negara termiskin di dunia. Negara-negara konsumen berkontribusi masalah ini dengan mengimpor kayu dan produk kayu tanpa memastikan bahwa mereka secara hukum bersumber. Dalam beberapa tahun terakhir, bagaimanapun, negara-negara produsen dan konsumen sama-sama meningkatkan perhatian pembalakan liar.

Sementara dalam Undang No. 19 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (selanjutnya disebut “UU Kehutanan”) tidak mendefinisikan secara jelas illegal logging dan hanya menjabarkan tindakan-tindakan illegal logging. Kategori illegal logging menurut Pasal 50, antara lain: mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah (ilegal), merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan, membakar hutan, dan lain-lain.

(8)

orang-perorang atau badan usaha tidak memegang izin usaha logging atau melakukan kegiatan pelanggaran hukum dibidang kehutanan, dan (7) penjualan, apabila pada saat penjualan tidak ada dokumen maupun ciri fisik kayu atau kayu diseludupkan.

2.2.

Faktor Penyebab Terjadinya Illegal Logging

Pada dasarnya illegal logging merupakan suatu kejahatan yang dapat disamakan dengan kegiatan pencurian. Beberapa penyebab terjadinya illegal logging adalah:

a. Masalah Ekonomi

Pada umumnya mata pencarian masyarakat kawasan hutan adalah bertani dan berkebun. Namun, seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, banyak lahan pertanian dan perkebunan beralih fungsi menjadi permukiman. Hal ini berkonsekuensi pada semakin berkurangnya lapangan pekerjaan yang kemudian berdampak pada rendahnya tingkat perekonomian masyarakat. Sudah menjadi tabiat manusia, kadangkala dalam kondisi terhimpit ekonomi, akal sehat menjadi tidak berfungsi. Sehingga memiliki tendensi menghalalkan sesuatu walaupun bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Bagi mereka yang berdekatan dengan hutan memiliki tendensi untuk nekat menjual kayu hutan. Mengapa demikian? Karena hal ini yang paling cepat bagi mereka untuk bisa memenuhi kepulan asap di rumah. Beberapa kasus yang ditemukan oleh petugas kehutanan ternyata memang masyarakat yang melakukan penebangan kayu mengaku terpaksa karena tidak ada pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari mereka. Ada pula awalnya adalah hanya mengambil kayu bakar yang dilakukan oleh ibu-ibu. Namun kemudian menjadi usaha setelah adanya para cukong kayu sebagai pembeli. Selain itu, banyak juga ditemukan pelakunya ternyata dari kalangan orang kaya secara materi. Mereka ini biasanya melakukanya karena faktor keserakahan.

(9)

b. Pola kemitraan yang dibangun pemerintah dengan masyarakat.

Selama ini masyarakat hanya diarahkan untuk menjaga dan memelihara hutan tanpa memikirkan bagaimana agar keberadaan hutan juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Bahkan lebih ekstrim lagi masyarakat bukanya diberdayakan tetapi diperdaya. Banyak pula program-program pengembangan ekonomi yang dilakukan, namun sayangnya tidak didasarkan pada potensi yang dimiliki masyarakat. Sehingga program-program yang dicanangkan menjadi sia-sia.

c. Perkembangan Teknologi

Evolusi teknologi yang pesat mendorong kemampuan orang untuk mengeksploitasi hutan khususnya untuk illegal logging semakin mudah dilakukan, karena dengan berkembangnya teknologi untuk menebang pohon tidak memerlukan waktu yang lama sebab alat-alatnya semakin canggih.

d. Budaya

(10)

Sebenarnya faktor budaya ini berkaitan dengan memudarnya nilai – nilai “kearifan lokal”. Dalam kehidupan sehari-harinya, masyarakat kawasan hutan sebagai mahluk berbudaya berkebutuhan untuk mengekpresikan budayanya. Bagi mereka, hutan merupakn tempat sekaligus sebagai sarana terbaik penyelenggaraan ritual. Oleh karenanya, banyak ritual-ritual keselamatan yang penyelenggaraanya dikaitkan dengan keberadaan hutan. Kondisi ini kemudian akan mendorong masyarakat untuk menjaga dan memelihara hutan. Namun, kondisi saat ini nilai-nilai lokal sudah hampir hilang, tidak lagi diterapkan. Sehingga orang masuk hutan secara serampangan tanpa tata krama dan merusaknya.

e. Penegakan Hukum

Disinyalir bahwa masih terjadi konspirasi antara pelaku illegal logging

dengan aparat. Hal ini dibuktikan dengan masih berkeliaranya para pelaku illegal logging. Masih ada ditemukan Saw Mill yang tidak berizin tetap beroperasi. Pengakuan oknum pemilik Saw Mill, leluasanya dia mengoperasikan mesinnya karena aparat juga mendapatkan jatah dari hasilnya.

Pasalnya keputusan pengadilan untuk kasus illegal logging belum maksimal tidak menimbulkan efek jera. Idealnya suatu kejahatan akan berkurang ketika hukuman yang diberikan dapat menimbulkan efek jera. Kondisi sekarang, hukuman bagi terdakwa kasus-kasus kejahatan illegal logging belum memuncukan efek jera tersebut, sehingga orang lainnya tidak takut untuk melakukan hal (kejahatan) yang sama.

f. Penjagaan dan pengawasan aparatur masih belum berjalan dengan baik

(11)

g. Kesenjangan ketersediaan bahan baku

Terdapat kesenjangan penyediaan bahan baku kayu bulat untuk kepentingan industri dan kebutuhan domestik yang mencapai sekitar 37 juta m3 per tahun telah mendorong terjadinya penebangan kayu secara liar. Disamping itu terdapat permintaan kayu dari luar negeri, yang mengakibatkan terjadinya penyelundupan kayu daam jumlah besar. Dibukanya kran ekspor kayu bulat menyebabkan sulinya mendeteksi aliran kayu illegal lintas batas.

h. Kelembagaan

Sistem pengusahaan melalui HPH telah membuka celah-celah dilakukannya penebangan liar, disamping lemahnya pengawasan instansi kehutanan. Selain itu penebangan hutan melalui pemberian hak penebangan hutan skala kecil oleh daerah telah menimbulkan peningkatan fragmentasi hutan.

i. Masih adanya peredaran kayu yang tidak menggunakan dokumen dan atau tidak sesuai dengan dokumen.

Illegal logging tidak hanya terjadi di segmen hulu yaitu penebangan didalam kawasan hutan dan tidak memiliki izin, namun juga terjadi di segmen peredaran. Hasil hutan kayu (dan non kayu) harus memiliki dokumen peredaran ketika diangkut dari hulu ke hilir yang disebut juga dengan Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Dokumen-dokumen tersebut antarat lain (1) Surat Keterangan Sahnya Kayu Bulat (SKSKB), (2) Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB), dan (3) Faktur Angkutan Hasil Hutan bukan Kayu (FA-HHBK).

Modus illegal logging yang terjadi pada segmen peredaran antara lain:

 Kayu tidak dilengkapi dengan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

(SKSHH).

 Kayu dilengkapi dengan dokumen palsu

(12)

 SKSHH digunakan berulang-ulang (dicabut dari pos kehutanan atau lembar I dan II dokumen SKSHH tidak dicantumkan masa berlaku dan identitas alat angkutnya)

j. Masih beroperasinya panglong dan industri kayu (primer/lanjutan) yang menerima kayu illegal.

Maraknya illegal logging juga dipengaruhi oleh masih terbukanya pasar untuk menjual kayu-kayu hasil kegiatan illegal logging. Hingga sekarang barangkali belum ada sistem yang benar-benar tepat dan mampu menangkal industri-industri primer maupun lanjutan untuk tidak menerima kayu-kayu dari aktifitas illegal logging. Belum maksimalnya sistem pembinaan dan pengawasan terhadap panglong dan industri kayu merupakan penyebab utama dari hal ini.

2.3.

Dampak Illegal Logging

(13)

Brow (1993) menegaskan bahwa kerugian ekonomi pada rusaknya ligkungan hidup yang paling menonjol adalah penggundulan liar (Ilegal logging),

sedang menurut Sptephe Deveni dari Forest law Enforcemen Governance and trade (FLEGT) mengatakan bahwa illegal logging adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia dan menjadi masalah serius di dunia.

Penebangan liar (Illegal logging) telah menimbulkan masalah multidimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial , budaya lingkungan. Hal ini merupakan konskwensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi), serta fungsi sosial.

Dilihat dari aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan konflik seperti konflik hak atas tanah, konflik kewenangan mengelola hutan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat setempat. Aspek budaya kegantungan masyarkat terhadap hutan, penghormatan terhadap hutan yang masih dianggap nilai magic juga ikut terpangaruh oleh praktek-praktek

illegal logging yang pada akhirnya merubah perspektip dan prilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan.

Dampak kerusakan ekologi (lingkungan) akibat penebangan liar (illegal logging) bagi lingkungan dan hutan adalah bencana alam, kerusakan flora dan fauna dan punahnya spesias langka. Prinsip pelestraian hutan sebagaiman di indikasikan oleh ketiga fungsi pokok tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu pemanfatan dan pelastarian sumber daya hutan perlu dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi dan perananya bagi kepentingan generasi masa kini maupun generasi dimasa yang mendatang.

(14)

Pertama, dampak yang sudah mulai terasa sekarang ini adalah pada saat musim hujan wilayah Indonesia sering dilanda banjir dan tanah longsor. Menurut kompas, pada tahun 2007 Indonesia telah mengalami 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi, disamping itu juga terjadi 111 kejadian longsor di 48 kabupaten dan 13 propinsi. Banjir dan tanah longsor di Indonesia telah memakan korban harta dan jiwa yang sangat besar. Kerusakan lingkungan yang paling terlihat yaitu di daerah Sumatera yang baru saja dilanda banjir badang dan tanah longsong sangat parah.

Bahkan tidak sedikit masyarakat yang kehilangan harta benda, rumah, dan sanak saudara mereka akibat banjir dan tanah longsor. Bahkan menurut Kompas, di Indonesia terdapat 19 propinsi yang lahan sawahnya terendam banjir dan 263.071 hektar sawah terendam dan gagal panen.

Banjir dan tanah longsor ini terjadi akibat dari Illegal Logging di Indonesia. Hutan yang tersisa sudah tidak mampu lagi menyerap air hujan yang turun dalam curah yang besar, dan pada akhirnya banjir menyerang pemukiman penduduk. Para pembalak liar hidup di tempat yang mewah, sedangkan masyarakat yang hidup di daerah dekat hutan dan tidak melakukan Illegal Logging hidup miskin dan menjadi korban atas perbuatan biadap para pembalak liar. Hal ini merupakan ketidakadilan sosial yang sangat menyakitkan masyarakat. Kedua, Illegal Logging juga mengakibatkan berkurangnya sumber mata air di daerah perhutanan. Pohon-pohon di hutan yang biasanya menjadi penyerap air untuk menyediakan sumber mata air untuk kepentingan masyarakat setempat, sekarang habis dilalap para pembalak liar. Hal ini mengakibatkan masyarakat di daerah sekitar hutan kekurangan air bersih dan air untuk irigasi. Menurut kompas, pada tahun 2007 ini tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar di 11 propinsi dan 36 kabupaten.

(15)

Keempat, Illegal Logging juga membawa dampak musnahnya berbagai fauna dan flora, erosi, konflik di kalangan masyarakat, devaluasi harga kayu, hilangnya mata pencaharian, dan rendahnya pendapatan negara dan daerah dari sektor kehutanan, kecuali pemasukan dari pelelangan atas kayu sitaan dan kayu temuan oleh pihak terkait. Hingga tahun 2005, setiap tahun negara dirugikan Rp 50,42 triliun dari penebangan liar dan sekitar 50 persen terkait dengan penyelundupan kayu ke luar negeri.

Semakin langkanya orang utan juga merupakan dampak dari adanya

Illegal Logging yang semakin marak di Indonesia. Krisis ekonomi tergabung dengan bencana-bencana alam dan Illegal Logging oleh manusia membawa orang utan semakin terancam punah. Selama 20 puluh tahun belakangan ini kira-kira 80% hutan tempat orang utan tinggal sudah hilang. Pada waktu kebakaran hutan tahun 1997-1998 kurang lebih sepertiga dari jumlah orang utan liar dikorbankan juga. Tinggal kira-kira 12.000 sampai 15.000 ekor orang utan di pulau Borneo (dibandingkan dengan 20.000 pada tahun 1996), dan kira-kira 4.000 sampai 6.000 di Sumatra (dibandingkan dengan 10.000 pada tahun 1996). Menurut taksiran para ahli, orang utan liar bisa menjadi punah dalam jangka waktu sepuluh tahun lagi. Untuk kesekian kalinya masyarakat dan flora fauna yang tidak bersalah menjadi korban Illegal Logging. Ini akan menjadi pelajaran yang berharga bagi pemerintah dan masyarakat agar ikut aktif dalam mengatasi masalah Illegal Logging di Indonesia.

Kelima, dampak yang paling kompleks dari adanya Illegal Logging ini adalah global warming yang sekarang sedang mengancam dunia dalam kekalutan dan ketakutan yang mendalam. Bahkan di Indonesia juga telah megalami dampak

global warming yang dimulai dengan adanya tsunami pada tahun 2004 di Aceh yang menewaskan ratusan ribu orang di Indonesia dan negara-negara tetangga.

(16)

mengakibatkan pulau-pulau di dunia akan semakin hilang terendan air laut yang semakin tinggi volumenya. Global warming terjadi oleh efek rumah kaca dan kurangnya daerah resapan CO2 seperi hutan. Hutan di Indonesia yang menjadi paru-paru dunia telah hancur oleh ulah para pembalak liar, maka untuk itu kita harus bersama-sama membangun hutan kita kembali dan memusnahkan para pembalak liar yang berupaya menghancurkan dunia.

2.4.

Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait

Untuk peristilahan, setidaknya ada dua peraturan perundangan yang menyebut Illegal logging sebagai penebangan kayu Ilegal yaitu Inpres Nomor 5 tahun 2001 Tentang Pemberantasan penebangan kayu illegal (illegal logging) Dan peredaran hasil hutan illegal di kawasan ekosistem Leuser dan taman nasional tanjung puting dan Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Untuk memudahkan, dalam makalah ini akan digunakan istilah penebangan kayu illegal (PKI).

Sebagai disampaikan diatas, aturan tentang Illegal logging tidak terdapat pada satu aturan perundangan saja. Dalam proses penelusuran ditemukan sekitar 150 peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan undang-undang terkait yang mengatur mengenai illegal logging,diantaranya :

UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan

Ekosistemnya.

UU No. 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan dan Tumbuhan.

UU No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.

UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan.

(17)

PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.

Dengan menggunakan pendekatan fungsi hutan berdasarkan UU 41 Tahun 1999 Tentang kehutanan (UUK), dimana hutan dikelompokkan dalam tiga fungsi yaitu fungsi konserfasi, fungsi lindung dan fungsi produksi. Termasuk kedalam fungsi konserfasi, terdapat hutan suaka alam, kawasan pelestarian alam dan taman buru . Maka aturan tentang PKI itu tersebar pada aturan kehutanan dalam lingkup konserfasi, lindung dan produksi.

Inpres Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal Di Kawasan Hutan Dan Peredarannya Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia menginstruksikan kepada para pejabat terkait untuk melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan:

Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan,

atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi

bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu. Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang.

(18)

Bagan sederhana ini menggambarkan konstruksi logika aturan logging di Indonesia. Pada prinsipnya setiap penebangan kayu baik oleh swasta ataupun oleh masyarakat haruslah berdasarkan ijin yang diberikan oleh aparat yang berwenang, yang akan memberikan hak penebangan. Penebangan yang dilakukan tanpa adanya ijin akan menghasilkan kayu (log) yang ilegal dan pelakunya dapat dihukum pidana dan denda.

Tetapi setelah memperoleh hak menebang dari aparat yang berwenang, si penerima ijin tidaklah dapat sesuka hatinya untuk menebang, mengangkut dan memasarkan kayu-kayu yang ada dalam areal ijinnya. Kayu yang dihasilkan tanpa mengikuti ketentuan tata niaga kayu akan berstatus kayu Ilegal sama dengan kayu yang dihasilkan dalam penebangan tanpa ijin. Namun demikian, kegiatan penebangan yang dilakukan tanpa mengikuti aturan tata niaga kayu nyaris luput dari penindakan seperti pada tindak pidana PKI. Akibatnya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang mendapat hak menebang hampir-hampir luput dari perhatian. Titik tekan pemberantasan PKI hanyalah pada tindakan-tindakan orang-orang yang menebang kayu tanpa ijin.

Definisi sementara bagi kayu legal adalah; “ Kayu disebut sah jika kebenaran asal kayu, ijin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan, pengolahan, dan perdagangan atau pemindah-tanganannya dapat dibuktikan memenuhi semua persyaratan legal yang berlaku. Penyusunan pengertian kayu legal ini berada dalam lingkup kegiatan FLEGT.

Apabila melihat modus operandi (praktek atau cara-cara) dari kegiatan penebangan secara tidak sah (illegal logging) maka tindak pidana tersebut dapat dikategorikan telah menjadi rangkaian atau gabungan dari beberapa tindak pidana, atau tindak pidana berlapis. Beberapa tindak pidana tersebut antara lain:

Kejahatan terhadap keamanan Negara.

Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan.

Kejahatan yang membahayakan keamanan umum.

(19)

Alasan bahwa tindak pidana illegal logging dapat disebut sebagai kejahatan berlapis karena kejahatan tersebut bukan hanya semata-mata menyangkut ditebangnya sebuah pohon secara tidak sah dan melawan hukum. Akan tetapi juga menyebabkan negara menjadi tidak aman dengan munculnya keresahan masyarakat, tidak dilaksanakannya kewajiban melakukan perlindungan hutan namun justru melakukan tindakan merusak, termasuk menurunnya daya dukung lingkungan, rusaknya ekosistem dan hancurnya sistem kehidupan masyarakat lokal yang tidak dapat dipisahkan dengan hutan itu sendiri. Illegal logging juga dapat disebut sebagai kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia, terhadap lingkungan dan terhadap hutan itu sendiri.

2.5.

Kasus-Kasus Illegal Logging dan Solusinya

a. Kasus Pertama

Kejahatan illegal logging terus terjadi di Aceh. Bahkan, kegiatan yang merusak lingkungan tersebut, tidak hanya melibatkan masyarakat, tapi juga oknum pemerintah yang seharusnya menangkap pelaku.

Efendi Isma, Juru Bicara Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Selasa (17/11/15) mengatakan, KPHA sejak Januari hingga Oktober 2015, =dan menemukan 345 kasus. Efendi mengatakan, dari 345 kasus tersebut, 245 pembalakan liar terjadi di areal penggunaan lain (APL) dan 95 titik berada di hutan lindung dan hutan produksi.

(20)

MenurutEfendi, kondisi hutan di Aceh saat inikritis. Luasannya terus berkurang karena pembukaan untuk perkebunan, pertambangan, pembukaanjalan, terlebih pembalakan liar. “Berkaca pada investigasi KPHA 2014, ada 287 titik pembukaanhutan, 69 pembalakan liar, 47 kasus kebakaran hutan yang mengakibatkan terjadinya 23 titik bencana. Ini belumtermasuk 62 kasus perdagangan dan penguasaan satwa dilindungi.”

http://www.mongabay.co.id/2015/11/18/tahun-2015-kpha-temukan-345-kasus-illegal-logging-di-aceh/

Analisa :

Kasus illegal logging di areal penggunaan lain, hutan lindung, dan hutang sumber semata-mata terjadi karena faktor ekonomi. Badan usaha tertentu memilih jalur illegal logging karena biaya pengurusan izin menebang dari tempat yang seharusnya membutuhkan biaya yang mahal. Dengan melakukan illegal logging keuntungan yang didapat akan jauh lebih banyak dibanding dengan pengurusan izin terlebih dahulu. Terbangun nya stigma masyarakat akan kesulitan pengurusan izin terhadap pemerintah setempat untuk badan dan kegiatan usaha nya pun menjadi salah satu faktor penyumbang terjadi nya ilegal logging. Pihak pemerintah yang turut ikut campur dalam kejahatan ini pun terdorong oleh alasan ekonomi. Karena kurang nya pendapatan dari gaji pokok pegawai negri sipil maka beberapa oknum dalam pemerintahan mencari penghasilan sampingan yang jauh lebih menguntungkan. Para pemilik badan usaha berkompromi dengan oknum pemerintah untuk menutupi kejahatan nya dengan membayar oknum tersebut jika terlanjut mengetahui kegiatan illegal yang dilakukan oleh badan usaha tersebut.

Solusi :

(21)

Badan usaha yang bergerak di bidang penyediaan kayu harus mempertimbangkan dampak lingkungan dari pekerjaan nya. Dengan terbangun nya kesadaran lingkungan maka badan usaha akan melakukan penebangan pada area yang seharusnya yang sudah ditentukan oleh pemerintah setempat. Pemilik badan usaha juga seharusnya melakukan pemeriksaan pada pegawainya karena biasanya ilegal logging tidak dilakukan karena perintah atasan melainkan karena kelalaian salah satu bagian dalam pelaku dalam proses penyediaan kayu yang memilih jalur lebih mudah untuk memuaskan permintaan atasan nya.

b. Kasus Kedua (Kayu gelondong)

Sebelumnya, pada 30 Oktober 2015, tim gabungan dari Polres dan Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Timur menyita 133 kayu gelondongan yang di curi dari hutan lindung di Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur.

Kasat Reskrim Polres Aceh Timur, AKP Budi Nasuha mengatakan, tim gabungan telah sepekan mengintai kegiatan tersebut. Namun, saat penangkapan, tim tidak menemukan pemiliknya. “Jumlah kayu yang disita adalah 133 kayu gelondongan. Kayu hasil pembalakan ini, akan dibawa ke Aceh Timur melalui sungai Aceh Tamiang.”

Budi menjelaskan, 133 batangkayuberbagaijenistanpapemilikitu, ditemukan di beberapalokasi di hutan pedalaman Aceh Timur. Antara lain di Gampong Alur Semerut, Gampong Batu Sumbang, dan Gampong Bedari, Kecamatan Simpang Jernih. Bila dibelah jumlahnya bisa puluhan kubik.”

(22)

Luasan hutan di Aceh sekitar 3.562 juta hektar atau 62,75 persen dari luasan Aceh. Rinciannya, hutan konservasi 1.057.942 hektar, hutan lindung seluas 1.790.256 hektar, dan hutan produksi 714.083 hektar.

Dari jumlah tersebut, hasil hitungan Walhi Aceh menunjukkan, masyarakat Aceh membutuhkan 1,3 juta meter kubik kayu per tahun. Namun, dari kebutuhan tersebut hanya sebagian kecil yang diperoleh secara sah. Sebagian besar kayu yang beredar di pasaran merupakan kayu hasil pembalakan. “Kayu-kayu tersebut dijual bebas di sejumlah panglong “Kayu-kayu di Aceh, tanpa ada pemeriksaan dari aparat penegak hukum atau dari Dinas Kehutanan,” kata M Nur, Direktur Walhi Aceh.

Analisis :

Dilihat dari pernyataan direktur walhi aceh, penebangan liar pada kasus ini didorong oleh faktor kebutuhan kayu yang besar dengan tingkat produktifitas penyedia yang masih kurang memadai. Terkendala dalam waktu perizinan dan sulit nya birokrasi membuat badan usaha penyedia kayu melakukan ilegal logging demi mempercepat proses penghasilan kayu dan memperbanyak produksi. Masalah terkait distribusi juga mendorong penyedia kayu untuk melakukan illegal loging. Terbukti dari hasil illegal loging yang dikirim melalui aliran sungai. Distribusi dalam hal ini kemungkinan mendapat kendala pada hal ekonomi yang terlampau mahal, sehingga harga kayu akan meningkat jauh lebih mahal dari yang seharusnya jika memakai jalur distribusi yang legal dengan cara penebangan yang legal.

Solusi :

(23)

BAB III

PENUTUP

1. Illegal logging merupakan kegiatan penebangan hutan tanpa izin resmi dari pemerintah setempat pada tempat yang seharusnya ataupun tidak seharusnya.

2. Faktor ekonomi dan ketidak percayaan badan usaha pada pemerintah setempat merupakan faktor utama pendorong illegal logging

3. Illegal logging dapat berdampak pada rusaknya ekosistem, hilangnya flora dan fauna yang dilindungi, dan merugikan rakyat dan pemerintah

4. Pasal 1 ayat (1) Undang-undang nomor 41 tahun 1999 dan UU No.4 Tahun 1999 tentang kehutanan Indonesia

5. Contoh kasus yang dijabarkan adalah terlibatnya pemerintah dalam kegiatan illegal logging pada tempat-tempat yang tidak seharusnya dan terjadinya distribusi yang tidak seharusnya pada penebangan liar

(24)

Daftar Pustaka

http://www.mongabay.co.id/2015/11/18/tahun-2015-kpha-temukan-345-kasus-illegal-logging-di-aceh/

Mulida Hayati. 2011. Penegakan Hukum Bagi Pelaku Illegal Logging dan implementasinya terhadap Pelestarian Lingkungan Hidup, Jurnal Hukum Vol. 18 No. 1 FakultasHukum Universitas Palangkaraya, Yogyakarta. hlm. 51.

Referensi

Dokumen terkait

Akan tetapi bagi peneliti itu hanya sekedar asumsi yang belum dibuktikan, sehingga peneliti berminat untuk mencari jawaban secara langsung dengan melakukan

Rencana Tahun 2016 (Tahun Rencana) Kebutuhan Dana / Pagu Indikatif 10 11 Urusan/Bidang Urusan Pemerintah Daerah dan Program/Kegiatan Kebutuhan Dana / Pagu Indikatif Target

Setiap Anda dalam semua tingkatan usia, pendidikan, dan sosial budaya memiliki mimpi yang tidak dipahami orang lain, dan hanya Anda dengan Tuhan saja yang bisa menuntaskannya..

Kombinasi ekstrak etanol kulit delima (Punica granatum L.) dengan antibiotik kloramfenikol memiliki aktivitas antibakteri dan berefek sinergis terhadap

Obyek wisata baru di dataran tinggi Lolai, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, kini menjadi magnet baru yang menyedot wisatawan.. Ramainya tempat wisata itu diserbu

Pilih kembali Sheet TRIALBALANCE, kemudian copy lah sheet tersebut, caranya pilih menu Edit>Move or copy sheet, klik pada kotak create a copy sehingga muncul tanda

Keluaran dari rangkaian ini akan diproses melalui mikrokontroler ATMega2560, sehingga dapat menampilkan hasil data setiap pasien yang di monitoring pada user interface

terbatas (PT), lain halnya dengan izin usaha sebagai lembaga Keuangan Mikro Syariah. Dalam menjalankan kegiatan usahanya, setiap Bank pasti berorientasi pada