• Tidak ada hasil yang ditemukan

RESUME DISERTASI HUBUNGAN TINGKAT RELIGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "RESUME DISERTASI HUBUNGAN TINGKAT RELIGI"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

RESUME TINGKAT RELIGIUSITAS TERHADAP PERILAKU EKONOMI

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara keempat terbesar di dunia dengan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Fakta ini menjadikan Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Namun hal ini tidak serta merta menjadikan Indonesia sebagai negara yang mayoritas penduduknya mengaplikasikan perilaku ekonomi yang Islami. Terdapat beberapa factor yang menjadi penyebab ketidaksesuaian normatif ini.

Secara historis dapat dikatakan bahwa eksistensi ekonomi Islam relative baru di Indonesia yaitu sekitar empat dekade terakhir. Perkembangan ekonomi Islam cukup pesat sejak semakin kuatnya dukungan politis untuk menerapkan sistem ekonomi ganda yaitu sistem ekonomi syari’ah dan sistem ekonomi konvensional yang sudah lama berlaku. Semestinya hal ini dapat mendorong dan memfasilitasi umat Islam untuk berperilaku Islami dalam berekonomi sehingga partisipasi masyarakat muslim dalam kegiatan lembaga-lembaga ekonomi Islam dapat meningkat baik secara aktif maupun pasif.

Untuk meningkatkan partisipasi masyarkat dalam kegiatan ekonomi Islam ini, masih dibutuhkan sosialisasi dan pendidikan tentang ekonomi Islam itu sendiri secara luas dan intensif. Dalam pendekatan pendidikan dapat dilakukan instansi materi tentang ekonomi Islam dalam sistem pendidikan formal dan non formal. Cara lainnya adalah dengan pendekatan bisnis melalui perkenalan akad-akad serta layanan produk syari’ah yang dibutuhkan masyarakat dan pendekatan social dengan propaganda ide-ide prilakku ekonomi Islam dan manfaat penerapannya.

Perlu digarisbawahi bahwa upaya tersebut haruslah sampai pada pembentukan karakter, dengan demikian bukan sekedar peningkatan kesadaran dan pemahaman secara normatif saja, sesungguhnya adalah perubahan sikap dan perilaku sehingga umat Islam di Indonesia mau dan mampu untuk menjadikan ekonomi syari’ah sebagai cara hidup dalam berekonomi. Hal ini yang menjadikan umat Islam di Indonesia menjadi muslim yang kaaffah.

Fakta bahwa asset perbankan syari’ah masih rendah dan target pertumbuhan perbankan syari’ah belum tercapai juga merupakan salah satu indikasi bahwa mayoritas umat Islam di Indonesia belum mengaplikasikan perilaku ekonomi yang Islami. Masih lambannya pertumbuhan lembaga ekonomi syari’ah di Indonesia menunjukkan perlunya upaya yang lebih signifikan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan ekonomi Islam di Indonesia. Agar upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam perkembangan ekonomi Islam melalui perubahan perilaku tersebut lebih terarah, diperlukan pemahaman yang cukup mendalam dan holistic tentang situasi, kondisi dan karakteristik dari umat Islam baik secara individual maupun komunal.

B. Konsep Religiusitas dan Pengukurannya

(2)

Dalam kebanyakan studi psikologi religiiusitas bertumpu pada bagaimana seseorang mengekspresikan keyakinan agamanya. Dalam psikologi agama ditetapkan asumsi dasar bahwa semua orang dari berbagai tradisi agama mengekspresikan keimanan dengan tiga cara : 1) perilaku, misalnya pelaksanaan ibadah ritual 2) keyakinan, misalnya percaya pada adanya sang supernatural 3) pengalaman religius, misalnya perasaan atau anggapan terhadap sesuatu keadaan atau kejadian yang gaib.

Allport dan Ross mengelompokkan religiusitas menjadi dua berdasarkan orientasi keberagamaan individu yang bersangkutan, yaitu :

1) Interistic religiousity (Religiusitas hakiki) yang menggambarkan keyakinan personal, yaitu kualitas penghayatan seseorang dalam melaksanakan ajaran agama karena kesadaran dari dalam hubungannya dengan tuhan

2) Extrinsic religiousity yang menggambarkan penghayatan ajaran agama karena adanya dorongan dari luar diri, misalnya tuntutan dan harapan social

Salah satu pendekatan multi-dimensi yang cukup popular dan lazim digunakan untuk mengukur religiusitas adalah : pendekatan religiusitas 5 dimensi (5-D approach to religiousity). Meskipun lahir dari kajian agama Kristen-Yahudi di Amerika, pendekatan ini relative lebih bersifat universal dari pendekatan lainnya. Diantara dimensi tersebut yaitu :

1) Idiologi: mencakup keyakinan dan ketaatan diukur dengan rukun iman 2) Aktivitas ritual: Melakukan ibadah rutin diukur dengan rukun islam

3) Pengalaman religious: meliputi perasaan, persepsi, dan sensasi atas kejadian-kejadian yang dianggap bukti keberadaan dan kekuasaan Tuhan, diukur dengan mengembalikan seluruh perasaannya dan seluruh peristiwa kepada Allah

4) Intelektualitas: Pengetahuan dasar dan pemahaman ajaran-ajaran agamanya, diukur dengan kewajiban menuntut ilmu

5) Konsekuensi: tindakan dalam berbagai kehidupan sehari-hari, amar ma’ruf nahi munkar

Shamsuddin menawarkan model pengukuran religiusitas yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits, yaitu “taqwa”. Menurutnya taqwa adalah sebuah konsep multidimensi dari variable religiusitas Islam yang terdiri dari:

1) Ilmu pengetahuan 2) Keyakinan

3) Tindakan 4) Konsekuensi

5) Realisasi kesempurnaan

Hamdani membuat ukuran tingkat religiusitas yang diturunkan dari konsep Al-Qur’an tentang kategorisasi manusia berdasarkan keimanan dan sifat-sifat manusia dalam masing-masing kategori. Diantaranya yaitu:

(3)

2) Muslim yang religiusnya moderat: yakni yang bertindak sesuai dengan ajaran Islam mematuhinya namun juga tidak patuh pada sebagian prinsip-prinsip yang lainnya yang tidak terlalu sensitive terhadap ketentuan sunah, mubah atau syubhat.

Model pengukuran religiusitas yang lain adalah MRPI (Muslim Religiousity-Personality Measurement Inventory) yang disusun oleh Steven Eric Krauss alias Abdul-Lateef Abdullah. MRPI adalah sebuah instrument yang disusun untuk membantu seseorang muslim menilai tingkat religiusitas Islamnya secara mandiri (self-assesment). Bersasarkan definisi tersebut, MRPI dikembangkan dari sebuah model religiusitas Islam yang terdiri dari dua dimensi konstrak utama, yaitu: 1) Pemahaman atau pandangan keislaman, 2) personalitas atau kepribadian religious.

C. Religiusitas dan Teori Permintaan Agama

Ekonomi teologis atau ekonomi keagamaan adalah bidang kajian ilmu yang berfokus pada aplikasi prinsip-prinsip teologis-keagamaan terhadap perspektif ekonomi, atau sebaliknya mengkaji prinsip-prinsip ekonomi berdasarkan perspektif agama. Ekonomi agama adalah bidang kajian ekonomi yang berfokus pada aplikasi teori-teori, metode, instrument ekonomi untuk menjelaskan atau mempelajari dua topic berikut:

1) Perilaku beragama, baik pada tingkat perorangan, kelompok, atau budaya tertentu 2) Dampak, aplikasi, atau konsekuensi social dari perilaku beragama tersebut

Inti pembahasan teori mikro ekonomi tentang agama adalah fungsi permintan agama yang diturunkan dari analisis terhadap perilaku konsumen agama. Konsumen agama dalam hal ini dirumuskan sebagai manusia beriman, yang dideskripsikan sebagai berikut:

1) Manusia sesungguhnya dan seutuhnya yang terdiri dari jiwa dan raga, yang menyadari dan berusaha memenuhi semua kebutuhannya, termasuk kebutuhan spiritualitas yaitu kebutuhan terhadap agama

2) Ia beriman kepada tuhan dan adanya kehidupan setelah mati

3) Yakin bahwa kesejahteraannya setelah mati kelak akan bergantung pada perilaku dalam kehidupannya di dunia ini

Dalam perspektif ekonomi agama, pada dasarnya konsumen agam (homo religious) mengalokaiskan seluruh sumber daya ekonomi (waktu, tenaga, dan uang) dalam dua keranjang belanja yaitu 1) belanja untuk memenuhi kebutuhan kehidupan di dunia (D) fana dan 2) belanja untuk kepentingan agamanya (A).

Tingkat maslahah (kepuasan) orang beriman dipengaruhi oleh: a. total pengeluaran belanja untuk keagamaan, baik yang memberikan manfaat duniawi maupun akhirat, b) total pengeluaran belanja konsumsi barang-jasa yang halal untuk kebutuhan duniawi secara lahiriah dan bathiniah, dan c) maslahah dari orang-orang yang dicintai, disayangi, dipedulikan, dan dinafkahinya.

(4)

Secara positif oleh : a) total pendapatan, b) dorongan insentif untuk melaksanakan suatu aktivitas keagamaan tersebut.

Secara negatif oleh : a) harga relative agama, yaitu total pengorbanan uang, waktu, tenaga, serta biaya opoetunitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan aktivitas keagamaan, b) selera atau kuatnya kecenderungan keinginan untuk memiliki barang-barang lain guna memenuhi kebutuhan duniawinya.

D. Rasionalitas dan Kaidah Konsumsi Islami

Rasionalitas merupakan pertimbangan akal nalar secara logis yang memandu seorang muslim dalam pengambilan keputusan pada setiap tindakan dan perilakunya –termasuk keputusan ekonomi, baik sebagai konsumen, produsen maupun distributor barang dan jasa-. Seorang muslim yang kaafah panduan dalam rasionalitas konsumsi tidak hanya pertimbangan akal dan nafsu, tetapi juga hati nurani (qalb) yaitu kaidah-kaidah konsumsi yang sesuai dengan ajaran Islam. Homo Islamicus yang menjadi pelaku sebagai konsumen Islam, dapat terlihat jelas perbedaannya dengan homo economicus tradisional dengan melihat pada dua aspek, yaitu : 1) Dari segi horizon waktu, tujuan yang ingin dicapai oleh homo islamicus dalam melakukan konsumsi adalah untuk memenuhi tidak saja untuk kehidupan saat ini maupun yang akan datang di dunia (kemanfaatan materialistik) akan tetapi juga kehidupannya kelak di akhirat (kemanfaatan immaterial). 2) Dari segi orientasi kebutuhan dan kepuasan, orientasi dalam melakukan konsumsi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan kepuasan lahiriah, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan non fisik dan kepuasan batiniah. Kesejahteraan individu akan dicapai bila memperoleh maslahah yang setinggi-tingginya berupa manfaat total atau kepuasan lahir batin (fisik, psikologis, social, dan spiritual/religious) di dunia, dan ekspektasi manfaat religious yang diyakini akan diperoleh di masa depan baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Perilaku konsumen muslim harus mengikuti kaidah-kaidah konsumsi yang disyari’atkan dalam ajaran Islam. Hal ini berimplikasi pada batasan-batasan dalam analisis teori permintaan terhadap agama versi Islam. Dalam analisis ekonomi Islam tidak hanya dibatasi oleh garis anggaran yang merefleksikan tingkat pendapatan dan tingkat harga barang-barang yang dikonsumsi semata. Tetapi juga oleh garis pembatas lainnya yang diturunkan dari kaidah-kaidah konsumsi Islami. Kaidah-kaidah tersebut adalah: 1) Barang dan jasa yang dikonsumsi harus halal dan baik (thoyyib), 2) Bukan barang dan jasa yang haram secara ghair al-dhat, yaitu segala sesuatu yang diharamkan bukan karena fisik zatnya yang haram, tetapi karena sifatnya yang membahayakan (menimbulkan kemudharatan) dan cara perolehannya yang illegal. 3) Tidak berlebih-lebihan (ishraf), tidak sia-sia (mubadzir), dan tidak kikir.

E. Teori Ekonomi Mikro Islami tentang Perilaku Konsumen

(5)

dalam Al-Qur’an dan Hadits telah diperintahkan mengenai alokasi penghasilan seorang muslim, yaitu seperti perintah dalam hal nafkah, sedekah, zakat dll.

Kewajiban-kewajiban tersebut membuat adanya rambu-rambu yang menjadi tambahan pembatas atau kendala (huduud) dalam teori mikro ekonomi Islami tentang perilaku konsumsi yang tidak ada dalam ekonomi konvensional. Jika teori tersebut diaplikasikan dalam teori mikro-ekonomi tentang konsumsi agama, maka dapat disusun suatu teori yang penulis sebut sebagai teori huduud dalam ekonomi Islam. Penjabaran teori hudud tersebut dalam perilaku konsumen dapat digambarkan area konsumsi Islami. Didefinisikan area kemungkinan konsumsi Islami adalah: pemetaan konsumsi yang moderat sesuai ajaran Islam, yaitu tidak bermewah-mewahan, tidak boros, dalam konsumsi kebutuhan duniawi dan tidak juga berlebih-lebihan dalam kegiatan agama. Yaitu:

1) Sumbu X dan Y yang Islami: pembatasan jenis dan jumlah produk

Kaidah-kaidah konsumsi Islami yang pertama dan kedua, yaitu mengkonsumsi barang-jasa yang halal dan baik, dan tidak barang yang haram dalam dzatnya, maupun yang ghair lidzatihi. Sumbu X dan Y dalam hal ini merepresentasi barang dan jasa yang dikonsumsi. Secara umum dapat dinyatakan jenis produk barang dan jasa yang dikonsumsi konsumen muslim dan perbandingannya dengan non muslim, yaitu:

XEI<XK dan YEI<YK Dimana:

XEI=(XK-Xharam), dan YEI=(YK-Yharam) (EI=ekonomi Islam, K=ekonomi konvensional) 2) Garis anggaran Islami: batasan sumber penghasilan halal dan barokah

Dalam kaidah kedua konsumsi Islami, disebutkan bahwa konsumen muslim tidak mengkonsumsi barang dan jasa yang haram secara ghair lidzatihi; berimplikasi pada kendala anggaran dalam analisis perilaku konsumen. Dalam teori ekonomi Islam, kendala anggaran bukan hanya jumlah besarnya pendapatan yang membatasi seorang konsumen, tetapi juga proses bagaimana pendapatan itu diperoleh. Ada batasan-batasan dalam memperoleh peendapatan agar pendapatan itu boleh, bisa dan halal untuk digunakan dalam konsumsi guna memenuhi kebutuhan hidup duniawi dan untuk investasi akhirat. Sealnjutnya, dalam analisis tentang teori ekonomi mikro Islami tentang perilaku konsumen, diasumsikan bahwa pendapatan konsumen hanya bersumber dari kegiatan usaha yang halal dan barokah saja. Hal ini menjadi batasan khusus bagi garis anggaran dalam teori ekonomi Islami.

3) Garis kendala zakat: batas minimum ishraf konsumsi duniawi

(6)

pernah berada pada sumbu Y (=duniawi) atau pada titik X (=akhirat) sama dengan nol.

Dapat dikatakan bahwa seorang yang dianggap ishraf apabila ia mengalokasikan pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan duniawinya sedemikian rupa sehingga ia tidak membayar zakat sebagai kewajiban minimumnya dalam bersedekah dan beramal saleh dengan hartanya. Zakat wajib terdiri dari dua, yaitu: 1) zakat fitrah dan dua zakat maal (termasuk zakat pendapatan dari hasil usaha pertanian, perternakan, perdagangan, maupun profesi). Pada analisis grafik ketentuan zakat fitrah dan maal ini membentuk garis zakat –sebagai batas minimum sihraf konsumsi duniawi- yang unik, yaitu berbentuk garis lurus pada tingkat pendapatan rendah –sebelum batas penghasilan mencapai nisab-; lalu membentuk garis miring pada tingkat penghasilan diatas batas nisab. Kemiringan garis zakat ini tergantung pada profesi setiap muzakki. Implikasi teoritis dari kewajiban zakat ini adalah: pada situasi tertentu, kemiringan garis zakat sebagai batas ishraf akan menjadi lebih miring menjauhi sumbu Y dan mendekati sumbu X. Artinya lebih lebih sedikit anggaran yang boleh dialokasikan untuk kebutuhan duniawi, dan harus lebih banyak dialokasikan untuk kebutuhan agama/akhirat pada tingkat pendapatan yang sangat tinggi.

4) Garis batas konsumsi kebutuhan minimum

Kebutuhan minimum dalam ekonomi Islam adalah batas minimal kebutuhan yang mencakup perlindungan dari kelima hal yang menjadi tujuan (maqashid) syari’ah. Tujuan (maqashid) syari’ah adalah kemaslahatan yang mencakup: terjaminnya agama, jiwa (nafs), akal, keturunan (masa depan) dan harta. Hal ini berbeda dengan konsep kebutuhan konvensional yang diungkapkan oleh Maslow tentang lima kebutuhan dasar, yaitu: 1) kebutuhan fisik (makan, minum, sexual dan tidur) 2) rasa aman, stabilitas, ketentraman/kenyamanan, jaminan perlindungan 3) kebutuhan social (cinta kasih, afeksi/ penerimaan, rasa memiliki atau menjadi bagian dari suatu komunitas 4) penghargaan dan pengakuan 5) aktualisasi diri. Maslow menjelaskan bahwa teori ini adalah suatu hierarki yang berarti apabila kebutuhan tingkat pertama telah terpenuhi, maka barulah kebutuhan di tingkat atasnya dapat dipenuhi. Jika kita cermati seperti pada kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisik telah terpenuhi, maka barulah kita dapat memenuhi kebutuhan diatasnya yaitu rasa aman, kemudian penghargaan dan barulah aktualisasi diri. Hal ini bertentangan dengan fitrah manusia dalam pandangan Islam, sebab manusia yang hanya mencukupi kebutuhan dasar level 1 (makan, minum, sexual, dan tidur) saja dapat dipersamakan dengan hewan, dan belumlah memenuhi kebutuhannya sebagai makhluk berakal dan memiliki qalbu yang bersumber dari ruh ilahiyyah.

5) Kurva kemungkinan konsumsi Islami

(7)

Z = garis zakat, batas minimum ishraf

A A-B = kurva kemungkinan konsumsi islami

d = garis batas konsumsi minimum/ B dharuriyyah

OR

0 x = belanja kepentingan agama/akhirat g = garis anggaran

jika hal ini dipetakan untuk berbagai tingkat pendapatan maka diperoleh area kemungkinan konsumsi Islami, sebagai mana digambarkan pada grafik berikut ini:

y = belanja kebutukan nafkah duniawi

Z= garis zakat, batas minimum ishraf

A ▲AOB= area kemungkinan konsumsi Islami

B d= garis batas konsumsi minimum

x= belanja kepentingan agama/akhirat 0 (0,0) g0 g1 g2 g3

Keterangan:

g0 = garis anggaran pada tingkat pendapatan subtansi

g1 = garis anggaran pada tingkat pendapatan mencapai batas nisab g0 < g1 < g2 < g3

Tampak bahwa area segitiga AORB merupakan area kemungkinan konsumsi Islami pada berbagai tingkat pendapatan, mulai dari tingkat pendapatan subsistem (=garis anggaran g0) dimana pendapatan hanya mampu memenuhi kebutuhan dharuriyah dan membayar zakat fitrah saja (titik OR). Garis anggaran g1 menggambarkan tingkat pendapatan yang mencapai batas nisab, sehingga sudah masuk keriteria menjadi muzakki yang mulai dikenakan kewajiban zakat maal. Mulai perpotongan dengan g1 yaitu pendapatan di atas batas nisab, maka garis batas zakat (z) membentuk garis miring, yang mencerminkan zakat yang harus dibayarkan adalah sejumlah presentase dari penghasilan.

6) Pengaruh religiusitas terhadap konsumsi agama

Perubahan tingkat religiusitas mempunyai pengaruh terhadap pola konsumsi agamanya, konsumen dengan tingkat religiusitas yang tinggi, maka preferensinya terhadap barang dan jasa untuk kebutuhan duniawi lebih rendah, dan cenderung untuk

(8)

lebih banyak mengalokasikan anggarannya untuk melaksanakan komitmen keberagamaannya dan begitupula sebaliknya.

FAKTA EMPIRIS PERILAKU KONSUMEN MUSLIM

Dalam melakukan uji empiris, peneliti melakukan survey terhadap 300 responden yang memenuhi keriteria sebagai pembayar zakat dan mempunyai usaha mandiri dengan penghasilan diatas nisab zakat maal perniagaan, yaitu 85,7 gram emas. Melalui survey tersebut, peneliti mengambil beberapa data yaitu :

1. Karakteristik responden 2. Tingkat religiusitas

3. Pengeluaran untuk nafkah kebutuhan hidup sehari-hari 4. Pengeluaran untuk kepentingan pelaksanaan kegiatan agama

Hasil analisis empiris membuktikan bahwa: religiusitas responden secara signifikan mempengaruhi pengeluaran untuk kepentingan agama tetapi tidak berpengaruh terhadap pengeluaran rumah tangga untuk keperluan hidup. Artinya pribadi yang shaleh yaitu yang skor religiusitasnya tinggi, lebih banyak mengalokasikan pendapatannya untuk pengeluaran yang berkaitan dengan keagamaan. Sedangkan pengeluaran rumah tangga untuk nafkah hidup tidak berbeda nyata antara pribadi yang shaleh dan yang tidak shaleh.

Secara keseluruhan, factor-faktor yang mempengaruhi pengeluaran untuk kepentingan agama adalah : skor religiusitas IPRS, pendapatan, dan jumlah beban tanggungan. Sedangkan factor-faktor lain seperti : umur, tingkat pendidikan; baik pendidikan umum maupun pendidikan agama, serta jenis kelamin, tidak terlalu berpengaruh terhadap alokasi pengeluaran responden untuk kegiatan keagamaan mereka.

Factor-faktor yang tidak terbukti signifikan pengaruhnya terhadap pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan nafkah hidup, adalah : tingkat religiusitas, umur, pendidikan, agama, maupun jenis kelamin dari pencari nafkah utama. Sedangakan factor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap pengeluaran rumah tangga untuk kebutuhan nafkah hidup, adalah : total pendapatan rumah tangga, tingkat pendidikan pencari nafkah utama, dan jumlah orang yang menjadi beban tanggungan rumah tangga.

Temuan-temuan dari Analisis Deskriptif Data Empiris

a. Komponen pengeluaran keagamaan

Pengeluaran keagamaan yang dihitung dalam penelitian ini adalah seluruh pengeluaran responden untuk kepentingan agama bagi dirinya sendiri maupun bagi seluruh anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Semua responden mengalokasikan anggaran pengeluran untuk keagamaan, tetapi tidak semua orang membayar untuk semua komponen keagamaan yang diteliti. Bahkan ada sebagian kecil yang tidak membayar zakat, meskipun semua responden masuk keriteria wajib bayar zakat.

(9)

Penelitian ini menyusun konsep-konsep perbandingan pengeluaran keagamaan sebagai berikut: 1) PPA-PI, yaitu presentase pengeluaran keagamaan dari total pendapatan individu, 2) PPA-PR, yaitu presentase pengeluaran keagamaan dari total pendapatan rumah tangga, 3) RPA-D, yaitu rasio antara pengeluaran keagamaan (A) dengan pengeluaran untuk nafkah kebutuhan hidup duniawi (D) sehari-hari. Semua rasio tersebut berdasarkan uji empiris, menunjukkan bahwa rasio tersebut meningkat seiring dengan tingkat pendidikan. Dalam jumlah rupiah besar pengeluaran agama secara konsisten meningkat seiring dengan tingkat pendidikan responden secara stabil dan tanpa lonjakan. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka jumlah rupiah yang dikeluarkan untuk aktifitas keagamaan secara konsisten semakin besar. Rasio PPA-PI, PPA-PR, dan RPA-D berflukstiasi seiring peningkatan pendapatan. Fluktuasi rasio PPA-PI dan PPA-PR berdasarkan tingkat pendapatan tidak sejalan dengan fluktuasi jumlah rupiah yang dikeluarkan untuk keagamaan. Hal ini menujukkan bahwa orang kaya memang memang membayar jumlah uang yang lebih besar untuk aktifitas keagamaan dari pada orang miskin, namun orang miskin mendominasikan presentase pendapatannya sama atau bahkan labih besar dari orang kaya.

c. Kecenderungan marginal bersedekah (MPSg)

Hasil analisis empiris adanya kecenderungan peningkatan sedekah akibat peningkatan pendapatan yang positif. Hal ini, ditunjukkan berdasarkan perolehan data bahwa 55,7% dari responden lebih banyak mengeluarkan sedekah ketika pendapatannya meningkat. d. Komponen pengeluaran nafkah hidup

Dalam penelitian ini pengeluaran nafkah hidup adalah pengeluaran yang dipergunakan untuk kepentingan duniawi, kemudian dibagi kembali menjadi dua yaitu pengeluaran rutin dan pengeluaran tak rutin. Pengeluaran rutin adalah pengeluaran yang harus dibelanjakan oleh rumah tangga responden untuk memenuhi kebutuhan harian, mingguan maupun bulanan. Sedangkan pengeluaran tak rutin adalah pengeluaran rumah tangga untuk pakaian, tas, sepatu dan sejenisnya. Selain itu dicatat pula pengeluaran untuk investasi, asuransi; baik bulanan, triwulan maupun tahunan. Secara keseluruhan urutan komponen terbesar dalam pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan nafkah hidup adalah: 1) biaya hidup anak yang bersekolah, 2) pengeluaran belanja makan-minum, dimana belanja kebutuhan dapur adalah komponen terbesarnya, 3) pengeluaran tak rutin untuk pakaian, tas, sepatu dll, 4) pengeluaran untuk rumah, 5) pengeluaran untuk pendidikan, 6) pengeluaran untuk transportasi, 7) pengeluaran transportasi, 8) pengeluaran upah pekerja, 9) pengeluaran untuk BBM (bensin/solar), 10) peneluaran untuk sanitasi/perawatan diri, 11) pengeluaran untuk air bersih/minum, 12) pengeluran untuk iuran RT (sampah dan keamanan). Pengeluaran untuk nafkah hidup responden secara total berkisar Rp 7.200.000 sampai Rp 1.082.010.000 per tahun. Pengamatan gender menunjukkan pengeluaran nafkah hidup laki-laki lebih kecil dari perempuan. e. Rasio perbandingan pengeluaran nafkah hidup terhadap total pendapatan rumah tangga

Rata-rata rasio pengeluaran nafkah hidup terhadap total pendapatan rumah tangga (RPN-PR) adalah 50,97% artinya rata-rata lebih dari separuh pendapatan responden dihabiskan untuk membiayai kebutuhan hidup duniawi sehari-hari.

(10)

Dapat disimpulkan bahwa pengeluaran nafkah hidup akan meningkat seiring dengan tingkat pendapatan responden. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan pencari nafkah utama menentukan gaya hidup dan tingkat konsumsi rumah tangga. Ada indikasi bahwa gaya hidup akan berbeda antara rumah tangga yang pencari nafkah utamanya berpendidikan tinggi (universitas) dengan yang tidak. Hal ini ditunjukkan lebih jelas dari angka RPN-PR yang semakin menurun dengan peningkatan tingkat pendidikan pencari nafkah utama sampai tingkat pendidikan akademi/diploma, lalu meningkat lagi pada tingkat pendidikan sarjana dan pascasarjana.

g. Fluktuasi pengeluaran nafkah hidup terhadap beban tanggungan rumah tangga

Referensi

Dokumen terkait

 banyaknya kandungan air tanah berhubungan erat dengan besarnya tegangan air ,moisture tension dalam tanah tersebut. Kemampuan tanah dapat menahan air antara lain

UNUGHA 2018 46 tercapainya tujuan layanan bimbingan dan konseling satuan Pendidikan 10 Kolaborasi dengan Lembaga Lain Melaksanakan kolaborasi dengan lembaga untuk

Teknik yang digunakan dalam iklan ini adalah dengan cara memberikan demonstrasi kepada konsumen tentang manfaat suatu produk yang ditawarkan7. Slice

Perlu dilakukan analisis penetrasi garam dalam telur asin yang di inkubasi dengan berbagai media yang biasa digunakan oleh masyarakat dan menggunakan garam

(1999) mengemukakan bahwa komitmen kepada organisasi merupakan hubungan terbalik dengan keinginan untuk meninggalkan organisasi (turnover intentions); orang-orang yang berada

Pencapaian hasil belajar siswa di SD Negeri Durian pada mata pelajaran Matematika masih berada dibawah KKM. Hal ini dikarenakan alat peraga yang digunakan oleh

Personal Wellbeing itu sendiri merupakan program Leraning To Live (LToL) dalam bidang Olah raga yang ada di SMAN 10 Malang (Sampoerna Academy), yang terdiri dari Kegiatan

Nitrit merupakan salah satu stressor bagi organisme bubidaya, sehingga keberadaanya yang cukup tinggi di tambak harus diperhatikan , kadar nitrit dalam tambak sebaiknya