• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. makalah Konsep Waktu doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "1. makalah Konsep Waktu doc"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI KONSEP WAKTU-SUHU PADA HEWAN POKILOTERM DALAM PENGENDALIAN HAMA PERTANIAN

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Ekologi Lanjut yang dibina oleh Bapak Dr. H. Ibrohim, M.Si, dan Bapak Dr.H. Istamar Syamsuri, M.Pd

Oleh:

Kelompok 6 / kelas A

1. Anisah Mahmudah 130341816950 2. Miswandi Tendrita 150341806071

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS PASCA SARJANA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suhu adalah parameter yang menggambarkan derajat panas suatu benda. Suhu merupakan faktor lingkungan yang paling mudah untuk diukur dan seringkali beroprasi sebagai faktor pembatas yang segera dapat direspon, sehingga konsep waktu dan suhu sangat berpengaruh besar dalam kajian mengenai aplikasinya dalam pengendalian hama pertanian pada hewan poikilotermik, khususnya dari golongan serangga. Hewan berdarah dingin atau disebut juga Poikilotermik adalah hewan yang suhu tubuhnya kira-kira sama dengan suhu lingkungan sekitarnya. Poikiloterm suhu tubuhnya dipengaruhi oleh lingkungan. Suhu tubuh bagian dalam lebih tinggi dibandingkan dengan suhu tubuh luar.

Pertumbuhan hewan poikilotermik memerlukan kombinasi antara faktor waktu dan faktor suhu lingkungan. Hewan poikilotermik tidak dapat tumbuh dan berkembang bila suhu lingkungannya dibawah batas suhu minimum kendatipun diberikan waktu yang cukup lama. Untuk dapat tumbuh dan berkembang, hewan poikilotermik memerlukan suhu lingkungan di atas batas suhu minimumnya maka semakin singkat waktu yang diperlukan untuk tumbuh dan berkembang. Begitu pula sebaliknya,adanya keterkaitan antara suhu lingkungan dengan waktu tumbuh dan berkembangnya hewan poikilotermik disebut sebagai konsep waktu suhu.

(3)

ambang terjadi perkembangan sejenis belalang adalah 16⁰C lama waktu yang diperlukan untuk perkembangan telur hingga menetas 17,5 hari, maka jika pada suhu 30⁰C maka lama waktu untuk menetas hanya 5 hari.

Adanya korelasi waktu-suhu lingkungan ini juga menyebabkan sebuah fenomena menarik yaitu ledakan populasi ulat bulu di Probolinggo pada tahun 2010. Menurut Baliadi,dkk (2012), ledakan populasi ulat bulu terjadi akibat perubahan ekosistem yang ekstrem pada agroekosistem mangga. Perubahan tersebut dipicu oleh beberapa hal, yakni musim hujan yang panjang pada tahun 2010−2011 yang menyebabkan kenaikan kelembapan udara. Suhu yang berfluktuasi berdampak terhadap iklim mikro yang mendukung perkembangan ulat bulu. Abu vulkanik akibat letusan Gunung Bromo, penanaman hanya satu varietas mangga, peralihan fungsi hutan menjadi hutan produksi, dan penggunaan input kimia seperti pestisida dan pupuk ikut menjadi pemicu ledakan populasi ulat bulu. Oleh sebab itu konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm tersebut sangat erat kaitannya dengan pengendalian populasi beberapa hewan khususnya dalam aplikasi pengendalian hama pertanian. Selain itu konsep waktu-suhu juga dapat mengetahui faktor pembatas dan kisaran toleransi dalam dunia peternakan dan konservasi hewan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dijelaskan diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah:

1. Apakah pengertian konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm? 2. Bagaimana konsep pengendalian hama pada pertanian?

3. Bagaimana aplikasi konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanian?

4. Apakah keuntungan dan kerugian aplikasi konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanian?

C. Tujuan

Tujuan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.

(4)

3. Untuk mendeskripsikan aplikasi konsep waktu-suhu pada hewan poikiloterm dalam pengendalian hama pertanian.

(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Waktu-Suhu Pada Hewan Poikiloterm

Penggolongan hewan berdasarkan lingkungnnya ada 2 yaitu hewan yaitu homeotermal dan kelompok hewan poikilotermal, jika pada suhu lingkungn yang berubah, maka hewan yang homeotermal akan mempertahankan suhu tubuhnya, sehingga akan menjadi kira-kira sama, sedangkan suhu tubuh hewan yang poikiloterm mengikuti perubahan suhu itu.

Berdasarkan kemampuannya untuk mempertahankan suhu tubuh, hewan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1. Poikiloterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu berubah seiring dengan berubahnya suhu lingkungan. Pada hewan-hewan poikiloterm ini panas tubuhnya sangat tergantung pada sumber panas dari lingkungannya. Kemampuan mengatur suhu tubuh pada hewan ektoterm atau poikiloterm sangat terbatas sehingga suhu tubuh bervariasi mengikuti suhu lingkungannya atau disebut juga sebagai penyelaras (konformer). 2. Homeoterm yaitu hewan yang suhu tubuhnya selalu konstan/tidak berubah

sekalipun suhu lingkungannya sangat berubah.

Konsep waktu –suhu merupakan hal penting untuk memahami hubungan antara waktu dan suhu dengan dinamika populasi hewan poikiloterm. Dengan mengetahui konsep waktu-suhu ini kita mampu mengetahui atau memprediksi kapan akan terjadi peledakan populasi, mungkin saja tiap tahun peledakan populasi akan terjadi dan dengan konsep waktu-suhu setidaknya ada tindakan yang akan dilakukan untuk mengatasi hal tersebut, seperti dengan memberantas, karena hewan ini merupakan hama dalam pertanian. Dan untuk memberantas hama tersebut harus cepat karena memberantas telur dan pupa berbeda dengan memberantas hewan dewasanya atau dengan kata lain konsep waktu-suhu ini sangat pengting dalam pengendalian hama bagi petani.

(6)

pengaruh paling penting oleh suhu terhadap hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologik adalah pengaruh suhu atas perkembangan dan pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak adanya hubungan linear antara laju perkembangan jika dikaitkan dengan suhu tubuh. Dengan kata lain adanya hubungan yang linear antara laju perkembangan dengan suhu.

Pengaruh berbagai suhu terhadap hewan ektoterm atau poikiloterm mengikuti suatu pola yang tipikal, walaupun ada perbedaan dari spesies ke spesies yang lain. Pada intinya ada tiga kisaran suhu yang menarik yaitu:

1. Suhu rendah berbahaya, pada suhu yang ekstrim rendah di bawah batas ambang toleransinya maka hewan ektoterm atau poikiloterm akan mati. Hal ini disebabkan enzim-enzim tidak aktif bekerja sehingga metabolismenya berhenti. Pada suhu yang masih lebih rendah dari suhu optimum, laju metabolismenya dan segala aktivitasnya rendah. Sebagai akibatnya gerakan hewan tersebut menjadi sangat lambat sehingga memudahkan predator atau pemangsa untuk menangkapnya.

2. Suhu tinggi berbahaya, suhu tinggi akan mendenaturasikan protein yang juga menyusun enzim, dengan adanya denaturasi protein ini menyebabkan metabolism dalam tubuh akan terhambat dan menyebabkan aktivitas dari hewan tersebut akan terhenti.

3. Suhu di antara keduanya, pada suhu antara ini laju metabolism dari hewan ektoterm akan meningkat dengan makin naiknya suhu secara eksponensial. Hal ini dinyatakan dengan fisiologi hewan sebagai “koefisien suhu”, “koefisien suhu” pada tiap hewan ektoterm relatif sama walaupun ada yang sedikit berbeda.

Tidak seperti pada manusia serta pada hewan endotermal pada umumnya, maka hewan-hewan ektotermal tidak dapat dikatakan memerlukan waktu yang lamanya tertentu. Hewan ektotermal perlu gabungan waktu dengan suhu. Gabungan ini sering disebut sebagai waktu-fisiologik. Dapat dikatakan pula bahwa waktu adalah fungsi suhu untuk hewan ektotermal dan waktu dapat “berhenti” jika suhu turun di bawah harga ambang. Dalam artian bahwa untuk hewan-hewan ektoterm lama waktu perkembangannya akan berbeda-beda pada suhu lingkungan yang berbeda-beda.

(7)

mempunyai efek dan peranan potensial dalam menentukan terjadinya proses kehidupan, penyebaran serta kelimpahan organisme tersebut. Variasi suhu lingkungan dapat ditinjau dari berbagai segi, yaitu dari sifat sikliknya (harian, musiman), dari kaitannya dengan letak tempatnya di garis lintang bumi (latidunal) atau ketinggian diatas permukaan laut (altitudinal) dan kedalaman (perairan tawar, lautan, tanah). Disamping itu juga dikenal variasi suhu alami dalam sifat kaitan yang lebih akrab dengan organisme (mikroklimatik).

Dalam kisaran yang tidak mematikan, pengaruh paling penting oleh suhu terhadap hewan poikiloterm dari sudut pandang ekologi adalah pengaruh suhu atas perkembangan dan pertumbuhan. Dalam hal ini langsung tampak adanya hubungan linear antara laju perkembangan jika diplotkan terhadap suhu tubuh. Tampak pula bahwa penyimpangan dari linearitas hubungan tersebut pada suhu terendah dapat diabaikan, dan lagi makhluk yang bersangkutan secara tipikal menghabiskan waktu dibawah suhu tinggi non linear.seringkali secara sederhana dianggap bahwa laju perkembangan bertambah secara linear pada suhu di atas ambang perkembangan. Hewan ektoterm atau poikiloterm tidak dapat dikatakan memerlukan waktu yang lamanya tertentu. Yang mereka perlukan adalah gabungan waktu dengan suhu. Gabungan ini sering disebut sebagai waktu-fisiologik. Pentingnya konsep waktu-suhu terletak di dalam kemampuan konsep itu untuk memberikan pengertian tentang waktu terjadinya sesuatu, dan tentang dinamika populasi hewan ektoterm atau hewan poikiloterm. (Soetjipta, 1993).

Menurut Soetjipta (1993), malahan sesungguhnya kebanyakkan spesies dan kebanyakkan aktivitas hanya terbatas di kisaran suhu yang lebih sempit. Beberapa makhluk hidup terutama yang sedang di dalam tingkat istirahat, mampu ada dalam suhu sangat rendah dalam waktu yang singkat, sedangkan beberapa mikroorganisme, terutama bakteri, alga, dapat hidup dan berreproduksi di dalam air panas yang suhunya mendekati suhu air mendidih.

(8)

meningkat di atas harga ambang. Adapun harga ambang adalah kuantitas faktor minimum yang menghasilkan pengaruh yang dapat dirasakan oleh hewan tersebut.

B. Hama Tanaman Pertanian dan pengendaliannya 1) Hama Tanaman Pertanian

Hama menjadi hal penting yang selalu saja dibicarakan dalam budidaya Pertanian. Sebagian besar hama adalah jenis serangga (Channa et al., 2004). Serangga adalah makhluk yang berdarah dingin (poikiloterm), bila suhu lingkungan menurun, proses fisiologisnya menjadi lambat. Namun demikian banyak serangga yang tahan hidup pada suhu yang rendah (dingin) pada periode yang pendek, dan ada juga beberapa jenis diantaranya yang mampu bertahan hidup pada suhu rendah atau sangat rendah dalam waktu yang panjang. Selanjutnya Sumardi & Widyastuti (2000) menyatakan bahwa, serangga merupakan kelompok hewan yang paling luas penyebarannya. Hewan ini dapat hidup dimana-mana mulai dari daerah kering hingga daerah basah, mulai dari daerah panas hingga daerah kutub. Serangga memiliki kisaran suhu tertentu dimana dia dapat hidup. Diluar kisaran suhu tersebut serangga akan mati kedinginan atau kepanasan. Pengaruh suhu ini jelas terlihat pada proses fisiologi serangga. Pada waktu tertentu aktivitas serangga tinggi, akan tetapi pada suhu yang lain akan berkurang (menurun). Pada umunya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Pada

suhu yang optimum kemampuan serangga untuk melahirkan keturunan besar dan kematian (mortalitas) sebelum batas umur akan sedikit.

(9)

berbagai senyawa kimiawi tanaman yang sesuai. Langkah keempat, penerimaan inang (Untung, 2006).

Serangga berkembang dari telur yang terbentuk di dalam ovarium serangga betina. Kemampuan reproduksi serangga dalam keadaan normal pada umumnya sangat besar. Oleh karena itu, dapat dimengerti mengapa serangga cepat berkembang biak. Masa perkembangan serangga di dalam telur dinamakan perkembangan embrionik, dan setelah serangga keluar (manetas) dari telur dinamakan perkembangan pasca embrionik. Pada serangga perkembangan individunya mulai dari telur sampai menjadi individu dewasa menunjukkan perbedaan bentuk. Keadaan ini disebut dengan metamorfosis. Dua macam perkembangan yang dikenal dalam dunia serangga yaitu metamorfosa sempurna atau holometabola yang melalui tahapan-tahapan atau stadium: telur- larva –pupa-dewasa (Gambar 1.) dan metamorfosis bertahap atau hemimetabola yang melalui stadium-stadium: telur-nimfa-dewasa (Gambar 2.)

Gambar 1. Metamorfosis sempurna pada Serangga

(10)

Gambar 2. Metamorfosis Bertahap pada Serangga

Sumber: (http://hortsciences.tamu.edu/galveston/beneficials_intros/beneficials-D_type_metamorphosis.htm)

Berbagai jenis serangga hama tersebut mempunyai musuh alami (natural enemy). Musuh alami serangga hama umumnya berupa Arthropoda dari jenis serangga dan laba-laba, serta dapat digolongkan menjadi predator dan parasitoid. Predator adalah binatang yang memangsa binatang lain, sedangkan parasitoid adalah binatang yang pada fase pradewasanya hidup dengan menjadi parasit pada binatang lain sedangkan pada fase dewasanya hidup bebas (Untung, 2006).

2) Pengendalian Hama Pertanian

Perkembangan dalam bidang dunia pertanian yang semakin pesat dalam fungsi pemenuhan kebutuhan serta tuntutan masyarakat terhadap produk yang berkualitas mengakibatkan semakin pesatnya perkembangan teknologi maupun ilmu pengetahuan dalam bidang tersebut. Salah satu ilmu yang berkembang yakni pengendalian hama penyakit tanaman.

(11)

A.

Pengendalian

Secara Bercocok

Tanam

a) Pengendalian hama secara bercocok tanam

Pengendalian hama secara bercocok tanam atau pengendalian agronomic bertujuan untuk mengelola lingkungan tanaman sedemikian rupa sehingga lingkungan tersebut menjadi kurang cocok bagi kehidupan dan pembiakan hama sehingga dapat mengurangi laju peningkatan populasi dan peningkatan kerusakan tanaman. Pengendalian secara bercocok tanam merupakan usaha pengendalian yang bersifat preventif yang dilakukan sebelum serangan hama terjadi dengan harapan agar populasi hama tidak meningkat sampai melebihi ambang pengendaliannya. Oleh karena itu, penerapan teknik ini perlu direncanakan jauh sebelumnya agar hasilnya memuaskan.

b) Pengendalian dengan tanaman tahan hama

Pengendalian hama dengan cara menanam tanaman yang tahan terhadap serangan hama telah lama dilakukan dan merupakan cara pengendalian yang efektif, murah dan tidak berbahaya bagi lingkungan. Contohnya dengan penggunaan varietas padi tahan hama akan berhasil mengendalikan hama wereng coklat padi. Wereng batang coklat (Nilaparvata lugens Stal.) merupakan hama penting pada tanaman padi di Indonesia. Hama ini mampu membentuk populasi cukup besar dalam waktu singkat dan merusak tanaman pada semua fase pertumbuhan. Kerusakan tanaman disebabkan oleh kegiatan makan dengan menghisap cairan pelepah daun. Hama ini sulit diatasi dengan satu cara pemberantasan. Hal ini disebabkan karena wereng batang coklat mempunyai daya perkembangbiakan cepat dan segera dapat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. (Baehaki, 1989 dan Westen, 1990 dalam Marheni, 2004).

(12)

dicapai oleh teknik pengendalian tersebut, tetapi karena terjadinya keseragaman genetic yang besar pada ekosistem persawahan, sifat ketahanan suatu varietas padi seringkali tidak berjalan lama. Hama dalam hal ini wereng coklat karena proses seleksi alami mampu mematahkan sifat ketahanan tersebut.

c) Pengendalian Secara Fisik dan Mekanik

Pengendalian fisik dan mekanik merupakan teknologi pengendalian hama yang paling kuno dilakukan oleh manusia sejak manusia mengusahakan pertanian. Pengendalian fisik dan mekanik merupakan tindakan yang diakukan dengan tujuan secara langsung dan tidak langsung mematikan hama, mengganggu aktivitas fisiologi hama yang normal dengan cara lain di luar pestisida dan mengubah lingkungan sedemikian rupa sehingga lingkungan menjadi kurang sesuai bagi kehidupan hama. Pengendalian fisik dan mekanik adalah tindakan mengubah lingkungan yang ditujukan khusus untuk mematikan atau menghambat kehidupan hama.

Pengendalian fisik dan mekanik harus dilandasi oleh pengetahuan yang menyeluruh tentang ekologi serangga hama dan adanya kenyataan bahwa setiap jenis serangga memiliki batas toleransi terhadap faktor lingkungan fisik seperti suhu, kebasahan, bunyi, sinar, spektrum elektromagnetik, dll. Dengan mengetahui ekologi serangga hama sasaran kita dapat mengetahui kapan, dimana, bagaimana tindakan fisik dan mekanik dilakukan agar memperoleh hasil yang efektif dan efisien. Tanpa pengetahuan yang lengkap kemungkinan besar akan memboroskan tenaga, waktu, dan biaya yang besar tetapi populasi hama yang terbunuh atau dihambat kehidupannya hanya sedikit.

d) Pengendalian Hayati

(13)

Proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa campur tangan manusia, tidak ada proses perbanyakan musuh alami.

Menurut Jumar (2000). Pengendalian hayati memiliki keuntungan yaitu : (1). Aman artinya tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan keracunan pada manusia dan ternak, (2). tidak menyebabkan resistensi hama, (3). Musuh alami bekerja secara selektif terhadap inangnya atau mangsanya, dan (4). Bersifat permanen untuk jangka waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan telah setabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dan musuh alaminya.

e) Pengendalian Kimiawi

Pengendalian kimiawi yang dimaksudkan di sini adalah penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama agar hama tidak menimbulkan kerusakan bagi tanaman yang diusahakan. Pada mulanya produksi pertanian juga berhasil ditingkatkan karena pemakaian pestisida yang dapat menekan populasi hama dan kerusakan tanaman akibat serangan hama. Karena keberhasilan tersebut dunia pertanian pestisida seakan-akan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budidaya segala jenis tanaman baik tanaman pangan maupun perkebunan.

(14)

serangga atau mengubah lingkungan menjadi kurang sesuai bagi hama. Contoh mengumpulkan kemudian membinasakan kelompok telur dan ulat yang ada di pertanaman. Selain itu, menggenangi lahan pertanaman, terutama pada stadia vegetatif akhir dan pengisian polong untuk mematikan ulat grayak yang berdiam diri di dalam tanah pada siang hari.

Tempat pengendalian secara mekanis dan fisik dapat dilakukan melalui proses aktimalisasi (di alam) dan aklimasi di laboratorium. Aktimalisasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi faktor lingkungan di habitat buatan yang baru. Aklimasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menyesuaikan hewan terhadap kondisi satu faktor lingkungan tertentu dalam laboratorium (Dharmawan, 2005).

Tahun 2011, Indonesia dikejutkan oleh wabah ulat bulu yang melanda daerah Probolinggo, jenis ulat bulu tersebut termasuk jenis baru yang belum dijumpai. Identifikasi spesis ulat bulu penting untuk dilakukan agar kesalahan identifikasi dapat dihindari sebagai langkah vital sebagai dasar penyusunan pengambilan keputusan strategi pengendaliannya. Ulat bulu bukan spesis yang membahayakan manusia, tetapi ledakan populasi ulat bulu yang tidak terkendali menyebabkan keresahan masyarakat, karena memakan daun-daun pohon yang ada di sekitar rumah penduduk, bahkan sampai masuk ke dalam rumah-rumah penduduk. Berikut adalah gambar ulat bulu yang mewabah di Probolinggo:

(15)

(Sumber: http://iwandahnial.wordpress.com)

Ulat bulu tersebut menyerang daun mangga di Kecamatan Bantaran, Kecamatan Leces, Kecamatan Sumberasih, dan Kecamatan Tegalsiwalan. Terdapat dua spesies ulat bulu yang menyerang daun mangga di Probolinggo yaitu Arctornis sp. dan Lymantria atemeles Collenette. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa ulat bulu ini lebih memilih menyerang daun mangga manalagi dibandingkan dengan varietas mangga yang lain. Pemilihan inang ulat bulu ini dilakukan oleh dewasanya saat meletakkan telur. Ulat bulu bukan termasuk kupu-kupu tetapi bangsa ngengat. Diduga ngengat ulat bulu meletakkan telur pada celah kulit batang pohon mangga dan atau di bawah daun. Ulat bulu bersifat nocturnal yaitu aktif pada malam hari.

Larva ulat bulu arctornis memiliki perilaku yang unik yaitu ketika istirahat ulat menempel pada batang pohon mangga dengan bagian toraksnya ditekuk/dilipat sehingga berposisi lurus (Gambar 4a), pada posisi ini larva sangat sulit dikenali karena tubuh ulat sangat mirip dengan kulit batang pohon mangga (kamuflase). Pada saat berjalan atau jika diganggu maka ulat bulu arctornis akan meluruskan toraksnya sehingga tampak warna hitam dan kuning pada toraks bagian dorsal (Gambar 4b). Kepalanya berwarna kuning polos dengan beberapa stemmata (Gambar 5). Dewasanya berupa ngengat berwarna putih bersih dan terdapat bintik hitam pada bagian sayap (Gambar 6)

(16)

Gambar 4. Ulat bulu Arctornis sp. pada batang pohon mangga; a. posisi istirahat, b. posisi aktif

Sumber:

(http://faperta.ugm.ac.id/fokus/Ulat_Bulu_Hama_Mangga_Probolinggo_J ATIM.pdf)

Gambar 5, Kepala ulat bulu Arctornis sp. posisi aktif Sumber:

(17)

Gambar 6, Arctornis sp. dewasa berupa ngengat yang aktif di malam hari Sumber:

(http://faperta.ugm.ac.id/fokus/Ulat_Bulu_Hama_Mangga_Probolinggo_J ATIM.pdf)

Gambar 7, Kepala ulat Lymantria atemeles Collenette; tampak verruca berwarna biru tersebut ditumbuhi setae berwarna hitam

Sumber:

(http://faperta.ugm.ac.id/fokus/Ulat_Bulu_Hama_Mangga_Probolinggo_JATIM.p df)

Gambar 8, Ulat bulu yang menyerang di Probolinggo

Ulat Lymantria atemeles Collenette; tampak bentuk berlian berwarna putih yang merupakan salah satu ciri spesies ini Sumber:

(http://faperta.ugm.ac.id/fokus/Ulat_Bulu_Hama_Mangga_Probolinggo_JATIM.p df)

Pemicu Ledakan Populasi Ulat Bulu

(18)

semakin langka, berkurangnya jumlah burung pemakan serangga, dan resistensi serta resurgensi hama terhadap zat kimia.

Ulat bulu merupakan hewan poikiloterm yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan luar. Selain itu, terjadi fluktuasi suhu di probolinggo yang menyebabkan semakin cepatnya pertumbuhan ulat bulu. Fluktuasi suhu ini disebabkan karena ketidakstabilan suhu udara di daerah probolinggo karena musim hujan yang terlalu panjang sehingga membuat kelembaban udara menjadi tinggi. Dan hal ini membuat pertumbuhan ulat bulu makin cepat karena suhunya cocok untuk melakukan pertumbuhan dengan waktu yang cepat. Dan juga hanya terdapat satu jenis varietas pohon manga yang banyak terdapat didaerah probolinggo sehingga menurunkan stabilitas lingkungan dan memutus atau menyederhanakan rantai makanan pada tingkat rantai energi secara menyeluruh sehingga terjadi peledakan populasi ulat bulu.

Pengendalian Ulat Bulu

Petunjuk teknis pengendalian ulat bulu (Badan Litbang Pertanian 2011) adalah sebagai berikut. Pengendalian ulat bulu dibedakan menjadi pengendalian jangka pendek dan jangka panjang. Pengendalian jangka pendek, khususnya untuk daerah endemis, dapat dilakukan dengan cara mekanis/fisik, yaitu mengumpulkan dan memusnahkan ulat, dan cara hayati dengan menggunakan NPV, B. bassiana, dan Metarhizium sp. Aplikasi patogen serangga sebaiknya dilakukan pada sore hari (pukul 16.00–17.00). Pengendalian juga dapat dilakukan dengan memasang pembatas (barrier) plastik yang diolesi lem perekat pada batang tanaman mangga. Pengendalian dengan pestisida nabati ekstrak daun/biji mimba dan insektisida kimia berlabel hijau dapat dilakukan dengan disemprotkan pada bagian batang pohon mangga (0–2 m di atas permukaan tanah) pada pukul 10.00–11.00. Pengendalian jangka panjang dilakukan melalui pemantauan populasi ulat bulu dan musuh alami hama dengan memasang lampu perangkap pada malam hari untuk menangkap ngengat generasi- 1. Cara ini secara tidak langsung dapat mengendalikan populasi ngengat ulat bulu.

(19)

pelepasan cukup sederhana, hanya membutuhkan botol/gelas bekas air mineral yang tertutup atau dipasang dengan posisi terbalik untuk menghindarkan parasitoid dari air hujan. Pemasangan koloni buatan semut rangrang yang dibuat dari bambu atau daun-daun kering juga dianjurkan. Apabila terjadi serangan ulat bulu, pada batang pohon mangga dapat dipasang pembatas plastik yang diolesi lem perekat, kain yang disemprot insektisida atau kain goni yang terlipat untuk mencegah ulat bulu naik ke bagian atas tanaman. Pengelolaan habitat kebun mangga dengan cara menambah keragaman varietas mangga yang ditanam, tumpang sari dengan tanaman selain mangga, mempertahankan tanaman pagar, dan mengganti tanaman mangga yang sudah tua karena rentan terhadap serangan ulat bulu juga merupakan alternatif pengendalian jangka panjang, selain pemupukan berimbang dan menyiapkan pestisida nabati/hayati juga.

Merujuk pada pokok pembahasan mengenai aplikasi konsep Waktu-suhu, dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat hubungan linier. Jadi setiap lama waktu perkembangan selalu disertai dengan kisaran suhu proses berlangsungnya perkembangan tersebut. Pada Ulat bulu, waktu merupakan fungsi dari suhu lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu yang sering dinamakan waktu fisiologis itu mempunyai arti penting pengendalian hama ulat bulu dengan menggunakan prinsip ini dengan jalan melakukan manipulasi terhadap fase fisiologis pertumbuhan ulat bulu. Seperti yang kita ketahui, agen perusak adalah pada fase instar dimana fase ini berkisar antara 18-24 hari. Arti dari manipulasi yakni dengan jalan mengkondisikan agar telur yang dihasilkan ngegat tidak sampai menetas menjadi instar dengan mengontrol suhu agar tetap dibawah suhu minimum atau di atas suhu optimum fase pertumbuhan. Pada umunya kisaran suhu yang efektif adalah suhu minimum 150C, suhu optimum 250C dan suhu maksimum 450C. Akan tetapi aplikasi konsep

waktu-suhu sangat sulit dilakukan dalam prakteknya secara konvensional, hal ini dikarenakan kondisi iklim tropis di negara Indonesia dengan intensitas curah hujan dan panas yang tinggi serta sulit untuk diprediksi.

(20)

dapat mempengaruhi penyebaran, fekunditas, kecepatan perkembangan, lama hidup dan mortalitas hama.

D. Keuntungan dan Kerugian Aplikasi Konsep Waktu-Suhu Dalam Pengendalian Hama Pertanian

Keuntungan dari aplikasi konsep waktu-suhu sebagai pengendalian hama pertanian yakni penggunaanya sangat aman karena tidak memerlukan perlakuan menggunakan bahan berbahaya yang mengadung residu seperti yang ditemukan pada pestisida. Tidak mengakibatkan resistensi hama akibat hama mendapat tekanan terus-menerus oleh pestisida sehingga hama mampu membentuk strain baru yang lebih tahan terhadap pestisida yang sering digunakan petani. Tidak mengakibatkan resurjensi hama yaitu meningkatnya populasi hama setelah hama tersebut memperoleh perlakuan/penyemprotan insektisida tertentu.

(21)

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

1. Konsep waktu-suhu merupakan faktor terpenting penentu pertumbuhan serta perkembangan suatu organisme. Korelasi keduanya sangat berpengaruh terhadap proses tumbuh kembang suatu organisme, organisme yang termasuk dalam konsep waktu suhu ini adalah hewan poikiloterm dan hewan homoikiloterm.

2. Pengendalian hama penyakit tanaman merupakan sistem pengendalian hama dalam hubungan antara dinamika populasi dan lingkungan suatu jenis hama, serta menggunakan berbagai teknik pengendalian yang kompatibel untuk menjaga agar populasi hama selalu di bawah ambang.

3. Konsep waktu-suhu merupakan salah satu aplikasi pengendalian hama yang masuk kedalam pengendalian secara fisik. Pengendalian ini dilakukan dengan cara mengatur faktor-faktor fisik yang dapat mempengaruhi perkembangan hama, sehingga memberi kondisi tertentu yang menyebabkan hama sukar untuk hidup atau tidak cocok bagi pertumbuhan hama

(22)

5. Keuntungan dari aplikasi konsep waktu-suhu sebagai pengendalian hama pertanian yakni penggunaanya sangat amat tidak mengakibatkan resistensi hama dan tidak mengakibatkan resurjensi hama. Kelemahan dari aplikasi ini yakni tidak dapat atau sangat sulit dilakukan secara konvensional. Hal ini karena dipengaruhi oleh faktor iklim di indonesia yang beriklim tropis dengan intensitas cahaya matahari yang panjang serta curah hujan yang tinggi.

Daftar Rujukan

Dharmawan, Agus, dkk. 2005. Ekologi Hewan. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press).

Inda, Nurariaty & Annie. 2011. Aplikasi Konsep Pengendalian Hama Terpadu untuk Pengendalian Hama Bubuk Buah Kopi (Hypothenemus hampei). Jurnal Fitomedika vol 7 nomor 3 April 2011 hal 162-166.

Jumar. 2000. Entomologi Pertanian. Rineka Cipta. Jakarta.

Marheni. 2004. Kemampuan Beberapa Predator pada Pengendalian Wereng Batang Coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Jurnal Natur Indonesia.

www.unri.ac.id/jurnal/jurnal_natur/vol6(2)/Mar.

Nuryatingsiah, 2011. Teknik-Teknik Pengendalian OPT dan Penerapan Konsep PHT (Pengendalian Hama Terpadu). Surabaya; Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya.

Soetjipta. 1993. Dasar-Dasar Ekologi Hewan. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Suputa, 2011. Ulat Bulu Hama Mangga di Probolinggo. Website Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian UGM. 6 halaman. (online), (http://faperta.ugm.ac.id/fokus/Ulat_Bulu_Hama_Mangga_Probolinggo_J ATIM.pdf) , diakses tanggal 6 November 2015.

(23)

Konsep waktu suhu 

Suhu menentukan fisiologis metabolisme

Jika suhu meningkat 10 derajat  maka fasa pertumbuhannya akan meningkat 2x lipat

Aplikasi dalam pertanian  melalui prediksi terhadap hubungannya pada fase fisiologis seranggannya.

Ex : mengetahui perkiraan metamorfosis hama yang menyerang melalui konsep suhu dan wakru optimum. Pengendalian tetap melalui  pengendalian terpadu

Aklimatisasi  lingkungan Aklimasi  faktor-faktor

Gambar

Gambar 1. Metamorfosis sempurna pada Serangga
Gambar 2. Metamorfosis Bertahap pada Serangga
Gambar 3, Ulat bulu yang menyerang di Probolinggo
Gambar 5, Kepala ulat bulu Arctornis sp. posisi aktif
+2

Referensi

Dokumen terkait

Nilai rata-rata tekanan dengan panjang engkol pemompaan 9,79 cm lebih tinggi dibandingkan nilai rata-rata tekanan dengan panjang engkol pemompaan 8,38 cm, hal ini sama

Sebagian besar masyarakat Pati memanfaatkan buah kersen hanya sebatas dimakan langsung, belum banyak yang mengetahui bahwa buah kersen dapat diolah menjadi Pesen Guwa (Permen

Murray (1998), yang dijelaskan pada penelitian Zarlis (2000) sistem tutorial adaptif adalah sistem instruksional berbasis komputer yang menggunakan basisdata atau

Uji deskripsi yang dilakukan terhadap warna, tekstur, aroma dan rasa mi basah dengan penambahan tepung kedelai menunjukan bahwa panelis masih menyukai dan dapat menerima mi basah

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara (a) sikap siswa terhadap mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) dengan hasil belajar (b) kemandirian belajar

sesuai dengan perhitungan stoikiometri. Setelah penimbangan, kedua bahan dicampur dan digerus menggunakan four point planetary ball mill selama 24 jam. Hasil penggerusan

Program pertama kali dibuat untuk perhitungan kasus sistem tanpa spin [3]. Tujuannya adalah mempelajari program teknik perhitungan 3D sederhana untuk mendapatkan elemen matriks-T.

Dalam tahapan ini akan dilakukan analisa kelangsingan inti kedap air dengan metoda elemen hingga dengan menggunakan analisis couple antara deformasi/tegangan dan aliran dalam