• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Tingkat Pendidikan denga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Antara Tingkat Pendidikan denga"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

Barat, Kota Bekasi)

DEDI SETIYAWAN 4915102572

Skripsi yang Ditulis untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mendapatkan Gelar Sarjana Pendidikan

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL

(2)

Jakarta, 2014

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data empiris tentang hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi para suami tentang Program Keluarga Berencana yang dilakukan di RW.03, Bintara 8, Keluraha Bintara, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif korelasional. Sampel yang diteliti berjumlah 39 orang dari populasi sasaran 878 orang dan populasi terjangkau 387 orang, yakni para suami yang masih berusia subur dan sebagai akseptor KB, dengan tekhnik proportional stratified random sampling. Variabel tingkat pendidikan (Variabel X) dibagi menjadi tingkat pendidikan tinggi, menengah, dan rendah. Variabel persepsi para suami tentang Program KB (Variabel Y) diukur dengan menggunakan Skala Likert. Uji coba dilakukan terhadap 20 responden dengan hasil 31 item valid dari 45 item. Uji validitasnya dilakukan dengan uji korelasi product moment, sedangkan uji reliabilitasnya menggunakan rumus Alpha dengan hasil = 0,927.

Berdasarkan perhitungan analisis data yang menggunakan rumus korelasi

product moment diperoleh r sebesar 0,415 sehingga hubungan kedua variabel positif. Untuk mengetahui keberartian hubungan digunakan uji t dengan hasil 2,8209, sementara ttabel pada α = 0,05 diperoleh nilai 2,0262. Dengan demikian maka dapat disimpulkan hubungan kedua variabel bersifat signifikan.

(3)

Universitas Negeri Jakarta

Dr.Muhammad Zid, M.Si NIP. 196304121994031002

No Nama Tanda Tangan Tanggal

1. Drs.Muhammad Muchtar, M.Si.

NIP.195403151987031002 ……… …………

Ketua

2. Martini, S.H.,M.H.

NIP.197103031998032001 ………. ………….

Sekretaris

3. Dr. Budiaman, M.Si.

NIP.196710211994031002 ……….. …………..

Dosen Pembimbing 1 4. Bambu Segara, S.Sos.

NIP.196611021995121002 ……….. …………..

Dosen Pembimbing 2 5. Dr.Eko Siswono, M.Si.

NIP.195903161983031004 ……….. …………..

Penguji Ahli

(4)

Sebagai civitas akademik Universitas Negeri Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : DEDI SETIYAWAN

No. Registrasi : 4915102572

Jurusan/Fakultas : Pendidikan IPS/ Ilmu Sosial Jenis Karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Negeri Jakarta Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Skripsi saya yang berjudul :

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN DENGAN PERSEPSI PARA SUAMI TENTANG PROGRAM KELUARGA BERENCANA (STUDI KORELASIONAL DI RW. 03, BINTARA 8, KELURAHAN BINTARA, KECAMATAN BEKASI BARAT, KOTA BEKASI)

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Eksklusif ini Universitas Negeri Jakarta berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan Skripsi saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Jakarta

Pada Tanggal : 5 Januari 2015

(5)

Jadilah kamu manusia

yang pada kelahiranmu

semua orang tertawa

bahagia, tetapi hanya

kamu sendiri yang

menangis; dan pada

kematianmu semua orang

menangis sedih, tetapi

hanya kamu yang

tersenyum.

(Mahatma Gandhi)

(6)

kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada umatnya hingga akhir zaman, amin.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta. Judul yang penulis ajukan adalah “Hubungan Antara Tingkat Pendidikan dengan Persepsi Para Suami tentang Program Keluarga Berencana (Studi Korelasional di RW. 03 Bintara 8, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat Kota Bekasi).

Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis dengan senang hati menyampaikan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Budiaman, M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang sabar membimbing dan mendukung penulis sejak dimulainya penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Bapak Bambu Segara, S.Sos. selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan pengayaan metodologi dan terus mendukung serta memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Bapak Dr. Muhammad Zid, M.Si. selaku Dekan FIS UNJ.

4. Bapak Drs. Muhammad Muchtar, M.Si. Selaku Ketua Prodi Pendidikan IPS FIS UNJ.

5. Ibu Martini, SH., MH. selaku Sekretaris Prodi Pendidikan IPS FIS UNJ. 6. Bapak Dr. Eko Siswono, M.Si. selaku Penguji Ahli skripsi ini.

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Prodi Pendidikan IPS FIS UNJ.

8. Kedua orang tuaku yang telah mendidikku hingga menjadi manusia yang lebih baik serta dukungan yang tiada hentinya baik secara moral maupun materil.

(7)

10. Bapak TB. M. Taufiq, SS.Ark. yang telah memberi bimbingan nonformal diluar perkuliahan.

11. Putri Inayah yang telah setia mendampingi dan mendukung serta memotivasi secara penuh dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Bapak Marullah selaku ketua RW. 03 Kelurahan Bintara, Bekasi yang telah ikut menyupport penelitian ini.

13. Rasyid, Abdul, dan Anton yang juga sahabat terbaik saya di perkuliahan ini. 14. Seluruh teman-teman Prodi Pendidikan IPS angkatan 2010, khususnya Ririn

yang telah menjadi media informasi selama masa perkuliahan hingga saat ini. 15. Hanna, Hanief, Arif, Sahadat, Adih, Fadel, Ojan, Iqbal, Aji, Randy, Dimas,

Mahfud, Agung, Rio, dll yang telah menjadi teman berdiskusi maupun bercengkrama di luar perkuliahan.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya. Demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Akhirnya, hanya kepada Allah SWT penulis serahkan segalanya mudah-mudahan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi kita semua.

Jakarta, 30 Desember 2014

DS .

(8)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI MOTTO DAN PERSEMBAHAN

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR TABEL...v

DAFTAR GAMBAR...vi

DAFTAR LAMPIRAN...vii

BAB I: PENDAHULUAN...1

A. Latar Belakang Masalah...1

B. Identifikasi Masalah...7

C. Pembatasan Masalah...7

D. Perumusan Masalah...7

E. Kegunaan Penelitian...8

BAB II: KAJIAN PUSTAKA...9

A. Deskripsi Teori...9

1. Hakikat Persepsi Suami tentang Program Keluarga Berencana (KB)...9

a. Pengertian Persepsi...9

b. Pengertian Program Keluarga Berencana (KB)...15

c. Persepsi Terhadap Program Keluarga Berencana...18

d. Pengertian Suami...19

2. Hakikat Tingkat Pendidikan...21

3. Penelitian yang Relevan...25

B. Kerangka Berpikir...26

C. Pengajuan Hipotesis...29

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN...30

A. Tujuan Penelitian...30

B. Tempat dan Waktu Penelitian...30

(9)

BAB IV: HASIL PENELITIAN...40

A. Deskripsi Data...40

1. Tingkat Pendidikan Para Suami...40

2. Persepsi Para Suami tentang Program KB...42

B. Pengujian Persyaratan Analisis Data...44

C. Pengujian Hipotesis...47

D. Pembahasan Hasil Penelitian...48

E. Keterbatasan Penelitian...50

BAB V: KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN...51

A. Kesimpulan...51

B. Implikasi...52

C. Saran...53

DAFTAR PUSTAKA...54

LAMPIRAN...56 RIWAYAT HIDUP

(10)

Tabel 3: Data Tingkat Pendidikan dan Populasi Para Suami...40 Tabel 4: Distribusi Frekuensi Persepsi Para Suami Tentang Program KB...42 Tabel 5: Deskripsi Data Variabel X (Persepsi Para Suami tentang Program

Keluarga Berencana) Per Strata...43 Tabel 6: Hasil Uji Normalitas untuk Variabel Y...45 Tabel 7: ANAVA Regresi Linier Sederhana Ŷ = 114,362 + 7,591X...46

(11)

Gambar 3: Persamaan Garis Regresi Ŷ = 114,362 + 7,591X...45

(12)

Lampiran II Validitas item, hasil uji coba instrument variabel Y (Persepsi

suami tentang program KB)...61 Lampiran III Perhitungan uji reliabilitas instrument variabel Y (persepsi

suami tentang program KB)...66 Lampiran IV Penentuan rentangan, banyak kelas, panjang kelas, ujung kelas

interval pertama, dan kelas interval pertama variabel Y

(persepsi suami tentang program KB)...69 Lampiran V Daftar distribusi frekuensi variabel Y (persepsi suami tentang

program KB)...71 Lampiran VI Penilaian persepsi sebagai keperluan analisis data per strata...73 Lampiran VII Uji normalitas sebagai uji persyaratan analisis data variabel Y

(persepsi suami tentang program KB)...74 Lampiran VIII Mencari persamaan regresi...76

Lampiran IX Perhitungan dan pengujian keberartian dan kelinieran model

regresi Ŷ = 114,362 + 7,591X...77 Lampiran X Perhitungan dan pengujian keberartian koefisien korelasi...83

(13)

A. Latar Belakang Masalah

Faktor penduduk senantiasa menempati posisi yang semestinya layak mendapat perhatian dalam setiap usaha pembangunan. Hal ini bukan tanpa alasan mengingat tujuan pembangunan justru untuk meningkatkan kemakmuran seluruh penduduk ke taraf yang lebih baik. Di samping menjadi sasaran pembangunan, penduduk juga berfungsi sebagai perencana dan pelaksana pembangunan itu sendiri.

Dewasa ini laju pertumbuhan penduduk makin cepat tetapi tidak diimbangi dengan laju pertambahan produksi pangan, akibatnya banyak menimbulkan permasalahan baru, seperti tingkat pengangguran yang makin tinggi, terjadinya bencana kelaparan di beberapa daerah dan memburuknya pendapatan perkapita masyarakat.1 Dari kenyataan ini tampaknya teori Malthus yang berpendapat bahwa penduduk bertambah secara deret ukur, sementara produksi bahan makanan bertambah mengikuti deret hitung dapat dibenarkan.2

Berbagai literatur yang ada menunjukan bahwa jumlah penduduk memperlihatkan grafik naik yang sangat pesat. Sebagai petunjuk dapat dikemukakan bahwa menurut sensus 1930 jumlah penduduk

1Laju penduduk jadi ancaman serius, dalam Kompas, 2010),Rabu, 21 Oktober

2N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta : Erlangga, 2004), p.102

(14)

Indonesia mencapai angka 61 juta jiwa, Pada sensus berikutnya, yang dilakukan pada 1961, angka itu membengkak menjadi 97 juta. Sepuluh tahun kemudian, berdasarkan hasil sensus 1971, jumlah penduduk naik menjadi 119 juta. Sensus 1980 tercatat angka 147,5 juta penduduk, kemudian pada tahun 1990, berkembang lagi menjadi 179,3 juta jiwa dan pada Sensus 2000 jumlah penduduk telah mencapai 206 juta jiwa, dengan tingkat pertumbuhan penduduk berkisar antara 1,5 % (1930-1961); 2,1 % (1961-1971); 2,3 % (1971-1980); 1,97 % (1980-1990) dan 2,2 % ( 1990 – 2000 ).3

Jumlah penduduk yang besar dan berkualitas merupakan sumber daya manusia yang potensial dan produktif bagi pembangunan nasional. Namun sebaliknya jumlah penduduk yang besar dan tidak berkualitas akan menjadi beban dalam pelaksanaan pembangunan nasional. Dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk seperti yang diungkapkan dalam teori Malthus, maka sangat diperlukan suatu cara untuk membatasi kelahiran (birth control). Istilah birth control ini mengandung pengertian yang lebih luas, yakni bukan saja pengurangan jumlah anak yang dilahirkan, melainkan juga memperpanjang jarak antara lahirnya anak yang satu dengan anak yang berikutnya sedemikian rupa sehingga sang ibu dapat menikmati kesempatan untuk menyembuhkan dirinya dari akibat kehamilan dan persalinan yang baru saja berakhir. Kemudian istilah birth control ini berubah menjadi planed parenthood atau family planning yang di Indonesia lebih popular dengan sebutan Keluarga Berencana.

Program keluarga berencana yang selanjutnya disebut KB sudah lama dicanangkan pemerintah sejak tahun 1967 bertujuan untuk mewujudkan

(15)

keluarga yang sejahtera dengan kemudahan menentukan jumlah dan pembatasan anak.4 Hal ini tentu memerlukan dukungan dari lapisan masyarakat untuk ikut menyukseskannya, terutama bagi mereka yang telah berkeluarga. Bagi keluarga yang telah mempunyai anak dua atau lebih diperlukan sekali kesadarannya untuk mengikuti program KB. Untuk mendukung program KB ini pemerintah melalui suatu Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), organisasi yang berdiri sejak 22 Januari 1970 yang mempunyai otoritas penuh untuk merencanakan dan mengkoordinir semua kegiatan baik dalam keluarga berencana maupun

population studies (masalah kependudukan), telah melakukan usaha-usaha dengan memberikan penerangan pada lapisan masyarakat dengan berbagai penyuluhan dan pendidikan.5

Selama ini yang selalu menjadi sasaran penelitian pada bidang KB adalah para ibu atau istri karena mereka dianggap sebagai kunci keberhasilan program KB tersebut. Namun belum ditemukan studi yang meneliti secara empiris bagaimana sebenarnya persepsi, peranan, partisipasi atau keterlibatan para suami dalam program KB. Padahal dalam KB Mandiri sekarang ini, baik suami maupun istri mempunyai tanggung jawab yang sama dalam ber-KB. Bila hanya para ibu atau istri saja yang menjadi sasaran penelitian, maka sangat disayangkan sekali mengingat para suamipun mempunyai pengaruh sebagai decision maker dalam keluarga.

Pria pada umumnya, terutama pria yang belum menikah berpendapat bahwa KB sepenuhnya adalah tanggung jawab wanita. Bahkan, banyak pria

4 Iswarati, Buku Sumber untuk Advokasi Keluarga Berencana, Kesehatan Reproduksi, Gender, dan Pembangunan Kependudukan, (Jakarta : BKKBN, 2006), p.24

(16)

yang sudah berkeluarga pun, walau mereka sudah menyadari pentingnya masalah KB, masih bersikap bahwa KB adalah tanggung jawab istri.6 Beberapa penelitian yang berkenaan dengan persepsi tentang program KB, antara lain Zainal Abidin yang meneliti sikap mahasiswa terhadap penerimaan KB, dengan latar belakang besar keluarga dan jenis kelamin diperoleh temuan bahwa sikap mahasiswa wanita terhadap penerimaan KB lebih positif dari sikap mahasiswa pria. Temuan tersebut dapat diterima karena hanya wanita yang dapat merasakan penderitaan akibat mengalami proses reproduksi anak, baik ketika hamil dan melahirkan atau ketika memelihara bayi.7 Sedangkan sikap mahasiswa pria terhadap penerimaan KB terlihat kurang positif jika dibandingkan dengan sikap mahasiswa wanita. Temuan ini kurang menggembirakan padahal sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa pria sangat dominan peranannya dalam keluarga dan masyarakat. Pria sebagai pelindung wanita, pria sebagai panutan, pria wajib mencari nafkah keluarga, pria sebagai kepala keluarga, pria penentu jumlah anak walaupun pria kurang menghayati penderitaan wanita dalam proses reproduksi.8

Program KB di Indonesia terasa terjadi ketimpangan disebabkan minimnya partisipasi pria di dalam mengikuti program tersebut. Jika meninjau kembali target pemerintah tahun 2013 untuk keseluruhan di Indonesia, pemerintah menargetkan peran pria atau suami dalam partisipasinya mengikuti program KB sebesar 5 % dari jumlah total akseptor KB. Namun

6Ipin Z. A. Husni, Advokasi dan KIE Program KB Nasional, (Jakarta : BKKBN, 2006), p. 6. 7 Zainal Abidin, Sikap Mahasiswa Terhadap Penerimaan KB dengan Latar Belakang Besar Keluarga dan Jenis Kelamin, (Jakarta : Tesis, FPS – IKIP, 1991), p. 68-69.

(17)

kenyataannya, pada pertengahan tahun 2012 jumlah peserta KB pria di Indonesia baru mencapai 1,3 %.9

Rendahnya partisipasi pria di dalam menyukseskan program KB disebabkan kondisi lingkungan sosial, budaya, masyarakat dan keluarga yang masih menganggap partisipasi pria belum penting dilakukan, kurangnya informasi yang memadai seputar alat kontrasepsi bagi pria serta persepsi masyarakat yang menganggap masalah KB dan kesehatan reproduksi merupakan tanggung jawab perempuan. Padahal jika ditelusuri peran pria dalam program KB sangat dibutuhkan dalam kesehatan reproduksi yang berperan meningkatkan kesehatan ibu hamil, merencanakan persalinan aman oleh tenaga medis, membantu perawatan ibu dan bayi setelah persalinan, menjadi ayah yang bertanggung jawab, dan menghindari kekerasan terhadap perempuan serta tidak bias gender.10

Pelaksanaan gerakan KB di wilayah Jawa Barat cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari data tahun 2010 - 2014 dimana laju pertumbuhan penduduk dapat ditekan menjadi 1.60 % dibandingkan dengan tahun 2005 - 2010 yang menunjukan angka 1.73 %.11 Namun bila dikaitkan dengan tingkat kemandirian masyarakat Jawa Barat dalam ber-KB, maka diperoleh data bahwa peran pria hanya 3,37 % dari 1.545.118 peserta KB.12 Hal ini sangat disayangkan mengingat tingkat pendidikan mereka lebih tinggi dibandingkan dengan kaum perempuan.

Bintara 8 yang berada di Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi pun memiliki gambaran yang dapat mewakili, terutama di RW.

9Jumlah Pria Peserta KB Masih Rendah, dalam kompas, 2012), Selasa, 8 Mei. 10Partisipasi KB Pria Masih Rendah, dalam Kompas, 2001), Jumat, 30 Nopember

11http://www.datastatistik-indonesia.comdiakses pada tanggal 23 maret 2014 pukul 21:00

(18)

03. Konstelasi sosial masyarakat di lingkungan RW ini cenderung masih male dominated. Namun, seharusnya gejala ini memberi peluang bahwa kaum pria sebenarnya dapat menjadi dinamisator dalam pelaksanaan program KB sehingga diharapkan sikap mereka lebih positif dalam menerima program KB. RW yang memiliki sebagian besar akseptor KB yang terdiri dari para suami ini termasuk daerah yang sedang gencar melakukan program KB, meskipun peserta akseptor perempuan tetap dominan. Persepsi para suami tentang program KB di RW ini tentunya dapat dipengaruhi oleh pendidikan mereka, sebab segala sikap tingkah laku yang ditunjukkan mencerminkan sampai di mana tingkat pendidikannya.

Hal inilah yang menarik perhatian peneliti untuk meneliti dalam bentuk penelitian kuantitatif tentang hubungan antara tingkat pendidikan dengan Persepsi para suami tentang program KB di lingkungan RW.03, Bintara 8, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat Kota Bekasi.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat diidentifikasikan masalah-masalah sebagai berikut:

1. Apakah program KB hanya menjadi tanggung jawab para istri atau kaum ibu?

2. Apakah terdapat pengaruh antara faktor sosial budaya dengan kesadaran para suami dalam ber-KB?

3. Apakah yang menjadi penyebab rendahnya partisipasi suami dalam ber-KB?

4. Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi para suami tentang Program KB?

(19)

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, maka masalah dibatasi pada “Hubungan antara tingkat pendidikan dengan Persepsi para suami tentang program KB”

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: Apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan Persepsi para suami tentang Program KB di RW. 03, Bintara 8, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi?

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain sebagai referensi untuk dapat mengembangkan penelitian selanjutnya dalam memecahkan masalah mengenai program Keluarga Berencana (KB). Hal ini berkaitan dengan kesadaran dalam ber-KB yang belum dipahami secara benar oleh para suami dalam kehidupan berkeluarga mereka.

(20)

A. Deskripsi Teori

1. Hakikat Persepsi Suami tentang Program Keluarga Berencana a. Pengertian Persepsi

Kehidupan individu sejak dilahirkan tidak lepas dari interaksi dengan lingkungan fisik maupun lingkungan sosialnya.13 Dalam interaksi ini, individu menerima rangsang atau stimulus dari luar dirinya.

Setiap hari kita dibombardir oleh ribuan stimuli.14 Sebenarnya, stimuli itu dapat dibedakan menjadi dua tipe. Tipe pertama adalah stimuli pisik (phisical stimuly) yang datang dari lingkungan sekitar. Tipe kedua adalah stimuli yang berasal dari dalam si individu itu sendiri dalam bentuk predisposisi, seperti harapan (expectation), motivasi (motivation), dan pembelajaran (learning) yang didasarkan pada pengalaman sebelumnya. Kombinasi keduanya menghasilkan gambaran yang bersifat pribadi. Mengingat manusia merupakan entitas yang unik, dengan pengalaman, keinginan, kebutuhan, hasrat dan pengharapan yang unik, akibatnya persepsi juga unik.

Persepsi sebagai proses dimana individu mengatur dan mengintrepetasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi

13 Sunaryo, Psikologi Untuk Keperawatan, (Jakarta : EGC, 2004), p. 93.

14 Bilson Simamora, Panduan Riset Perilaku Konsumen, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), p. 105.

(21)

lingkungan mereka.15 Namun, apa yang diterima seseorang pada dasarnya bisa berbeda dari realitas objektif. Walaupun seharusnya tidak perlu ada, perbedaan tersebut sering timbul. Lalu mengapa persepsi orang-orang berbeda untuk realitas yang sama? karena adanya perbedaan dalam perceptual selection, perceptual organization dan perceptual interpretation.16

Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses penginderaan, yaitu proses diterimanya stimulus oleh alat indera, kemudian individu ada perhatian, lalu diteruskan ke otak dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dinamakan persepsi. Dengan persepsi individu menyadari dapat mengerti tentang keadaan lingkungan yang ada disekitarnya maupun tentang hal yang ada dalam diri individu yang bersangkutan.17 Sedangkan menurut Walgito persepsi merupakan proses psikologis dan hasil dari penginderaan serta proses terakhir dari kesadaran, sehingga membentuk proses berpikir.18

Menurut Simamora persepsi adalah “bagaimana kita melihat dunia sekitar kita”. Jika dimisalkan ada sebuah objek, toko matahari. Objek tersebut kita atau dalam bahasa canggihnya kita mendapat stimuli tentang objek tersebut.19 Berdasarkan stimuli itu, kita memberikan gambaran tentang toko matahari: “menurut saya, toko matahari itu…….. dan seterusnya.

15 .Stephen P. Robins, Perilaku Organisasi, terjemahan Diana Angelica, (Jakarta : Salemba Empat, 2008), p. 175.

16 Bilson Simamora, Op.Cit. 17 Sunaryo, Op.Cit.

(22)

Secara formal, persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses, dengan mana seseorang menyeleksi, mengorganisasikan, dan menginterpretasi stimuli ke dalam suatu gambaran dunia yang berarti dan menyeluruh.20 Stimuli adalah setiap input yang dapat ditangkap oleh indera, seperti produk, kemasan, merek, iklan, harga, dan lain-lain. Stimuli tersebut diterima oleh panca indera, seperti mata, telinga, mulut, hidung dan kulit. Dengan demikian persepsi merupakan suatu fungsi biologis (melalui organ-organ sensoris) yang memungkinkan individu menerima dan mengolah informasi dari lingkungan dan mengadakan perubahan-perubahan di lingkungannya.

Istilah persepsi adalah suatu proses aktivitas seseorang dalam memberikan kesan, penilaian, pendapat, merasakan dan menginterpretasikan sesuatu berdasarkan informasi yang ditampilkan dari sumber lain (yang dipersepsi). Melalui persepsi kita dapat mengenali dunia sekitar kita, yaitu seluruh dunia yang terdiri dari benda serta manusia dengan segala kejadian-kejadiannya.21 Dengan persepsi kita dapat berinteraksi dengan dunia sekeliling kita, khususnya antar manusia. Dalam kehidupan sosial di kelas tidak lepas dari interaksi antara mahasiswa dengan mahasiswa, antara mahasiswa dengan dosen. Adanya interaksi antar komponen yang ada di dalam kelas menjadikan masing-masing komponen (mahasiswa dan dosen) akan saling memberikan tanggapan, penilaian dan persepsinya. Adanya persepsi ini adalah penting agar dapat menumbuhkan komunikasi aktif, sehingga dapat meningkatkan kapasitas belajar di kelas. Persepsi adalah suatu proses yang kompleks dimana

20Ibid.

(23)

kita menerima dan menyadap informasi dari lingkungan, persepsi juga merupakan proses psikologis sebagai hasil penginderaan serta proses terakhir dari kesadaran, sehingga membentuk proses berpikir. Persepsi seseorang akan mempengaruhi proses belajar (minat) dan mendorong mahasiswa untuk melaksanakan sesuatu (motivasi) belajar. Oleh karena itu, menurut Semiun, persepsi merupakan kesan yang pertama untuk mencapai suatu keberhasilan.22

Persepsi pada umumnya terjadi karena dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam individu, misalnya sikap, kebiasaan, dan kemauan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berasal dari luar individu yang meliputi stimulus itu sendiri, baik sosial maupun fisik.23

Meskipun individu-individu memandang pada suatu benda yang sama, mereka dapat mepersepsikannya berbeda-beda. Ada sejumlah faktor yang bekerja untuk membentuk dan terkadang memutar balikkan persepsi.24 Faktor-faktor ini terdiri dari :

1. Pelaku persepsi.

2. Objek atau yang dipersepsikan.

3. Konteks dari situasi dimana persepsi itu dilakukan.

Berbeda dengan persepsi terhadap benda mati seperti meja, mesin atau gedung, persepsi terhadap individu adalah kesimpulan yang berdasarkan tindakan orang tersebut. Objek yang tidak hidup dikenai hukum-hukum alam

22Yustinus Semiun, Teori Kepribadian dan Terapi Psikoanalitik Freud, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), p. 279.

(24)

tetapi tidak mempunyai keyakinan, motif atau maksud seperti yang ada pada manusia. Akibatnya individu akan berusaha mengembangkan penjelasan-penjelasan mengapa berperilaku dengan cara-cara tertentu.25 Oleh karena itu, persepsi dan penilaian individu terhadap seseorang akan cukup banyak dipengaruhi oleh pengandaian-pengandaian yang diambil mengenai keadaan internal orang itu.

Persepsi menurut Gilmer dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain faktor belajar, motivasi, dan pemerhati perseptor atau pemersepsi ketika proses persepsi terjadi.26 Dan karena ada beberapa faktor bersifat subyektif yang mempengaruhi, maka kesan yang diperoleh masing-masing individu akan berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Persepsi individu dipengaruhi oleh faktor fungsional dan struktural. Faktor fungsional ialah faktor-faktor yang bersifat personal. Misalnya kebutuhan individu, usia, pengalaman masa lalu, kepribadian, jenis kelamin, dan hal-hal lain yang bersifat subyektif. Sementara faktor struktural adalah faktor di luar individu, misalnya lingkungan, budaya, dan norma sosial. Hal-hal tersebut sangat berpengaruh terhadap seseorang dalam mempersepsikan sesuatu.

Sementara untuk aspek-aspek persepsi, Allport berpendapat bahwa ada tiga komponen, yaitu: 27

1. Komponen kognitif

25Ibid.

(25)

Yaitu komponen yang tersusus atas dasar pengetahuan atau informasi yang dimiliki seseorang tentang obyek sikapnya. Dari pengetahuan ini kemudian akan terbentuk suatu keyakinan tertentu tentang obyek sikap tersebut.

2. Komponen afektif

Afektif berhubungan dengan rasa senang dan tidak senang. Jadi sifatnya evaluatif yang berhubungan erat dengan nilai-nilai kebudayaan atau sistem nilai yang dimilikinya.

3. Komponen konatif

Yaitu merupakan kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang berhubungan dengan obyek sikapnya.

Rokeach (dalam Dwi Prasetya) memberikan pengertian bahwa dalam persepsi terkandung komponen kognitif dan juga komponen konatif, yaitu sikap merupakan predisposisi untuk merespons, untuk berperilaku.28 Ini berarti bahwa sikap berkaitan dengan perilaku, sikap merupakan predisposisi untuk berbuat atau berperilaku.

Dari batasan ini dikemukakan bahwa persepsi mengandung komponen kognitif, komponen afektif, dan juga komponen konatif, yaitu merupakan kesediaan untuk bertindak atau berperilaku. Sikap seseorang pada suatu obyek sikap merupakan manifestasi dari konstelasi ketiga komponen tersebut yang saling berinteraksi untuk memahami, merasakan, dan berperilaku terhadap obyek sikap. Ketiga komponen itu saling berinterelasi dan konsisten satu

(26)

dengan lainnya. Jadi, terdapat pengorganisasian secara internal di antara ketiga komponen tersebut.

b. Pengertian Program Keluarga Berencana (KB)

Dari sekian banyak masalah yang dihadapi manusia dalam seperempat abad terakhir, adalah laju pertumbuhan penduduk yang cepat. Angka kematian bayi dan anak-anak telah banyak berkurang karena sanitasi dan pengendalian penyakit yang lebih baik, hal tersebut menyebabkan jumlah manusia yang bertahan hidup meningkat.29 Untuk mengatasi hal ini salah satu diantaranya diperlukan adanya program KB.

KB pada hakikatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sehingga terbentuk keluarga bahagia yang menjadi dasar bagi terwujudnya masyarakat yang sejahtera. Dengan mengendalikan kelahiran, maka dapat menjamin terkendalinya pertumbuhan penduduk Indonesia.

Menurut Letter, KB ialah suatu ikhtiar atau usaha manusia yang disengaja untuk mengatur kehamilan atau jarak kelahiran dalam keluarga.caranya dengan tidak melawan hukum agama, dan undang-undang Negara, demi untuk mencapai kesejahteraan bangsa dan Negara pada umumnya.30

Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1988 dinyatakan bahwa pengendalian pertumbuhan penduduk terutama dilakukan melalui upaya penurunan tingkat kelahiran serta penurunan tingkat kematian, khususnya kematian bayi dan anak. Penurunan tingkat kelahiran terutama dilakukan melalui gerakan KB yang juga bertujuan untuk meningkatkan

29 Dian Paramesti Bahar, Setiap Wanita, (Jakarta : Delaprasta, 1997), p.104.

(27)

kesejahteraan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera.31

Pelaksanaan gerakan KB nasional merupakan bagian integral dari pembangunan kualitas sumber daya manusia dan salah satu faktor dominan dalam mewujudkan pembangunan kualitas sumber saya manusia dan salah satu faktor dominan dalam mewujudkan pembangunan di segala bidang. Karena itu gerakan KB nasional berupaya untuk meningkatkan pemberdayaan keluarga sebagai wahana pembangunan terutama dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia yang potensial. Kemampuan bangsa dan Negara yang mengandalkan pada kemampuan komparatif semakin kecil peranannya dibanding dengan keunggulan kompetitif yang hanya bias dicapai bila didukung oleh kualitas sumber daya manusia yang sehat, terdidik, terampil, memiliki etos kerja, disiplin, produktif dan berjiwa setia kawan yang dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pada tahun 1992, gerakan KB nasional dengan nuansa baru telah dimantapkan pelaksanaannya melalui UU No. 10 tahun 1992, tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera. Hal ini memberikan landasan konstitusional dan operasional yang lebih kuat dan mendasar.32

Berdasarkan UU tersebut, gerakan KB nasional didefinisikan sebagai upaya meningkatkan kepedulian dan peran serta masyarakat, hal ini sesuai dengan arah dan kebijaksanaan Gerakan Keluarga Berencana Nasional (GKBN). Dalam GBHN tahun 1999, difokuskan untuk “meningkatkan

31Informasi Dasar Gerakan KB Pembangunan Keluarga Sejahtera, (Jakarta : BKKBN, 2006), p.57. 32 Rapat Kerja Nasional Gerakan Keluarga Berencana Nasional Tahun 2000, Buku I Panduan,

(28)

kualitas penduduk melalui pengendalian kelahiran, memperkecil angka kematian, dan peningkatan kualitas program Keluarga Berencana”.33

Terdapat empat elemen penting yang menjadi bagian dari upaya GKBN, yaitu: “(1) pengaturan kelahiran; (2) pendewasaan usia perkawinan; (3) pembinaan ketahanan keluarga; dan (4) peningkatan kesejahteraan keluarga.34 Dengan demikian, GKBN sebagai salah satu program pokok dalam upaya mencapai keluarga sejahtera terus diarahkan untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Melalui pendewasaan usia perkawinan dan penurunan angka kelahiran diharapkan dapat tercapai keseimbangan antara pertumbuhan penduduk dengan pertumbuhan ekonomi serta daya tamping lingkungan.

Di samping itu, pemberdayaan keluarga semakin ditingkatkan dalam upaya membina ketahanan dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Dengan demikian taraf hidup keluarga dan masyarakat semakin meningkat dan makin mempunyai keuletan dan ketangguhan dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis.

Tujuan umum pembangunan program KB ialah memberikan kontribusi terciptanya penduduk yang berkualitas, sumber daya manusia yang bermutu, dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Untuk mencapai tujuan program KB diperlukan adanya kesadaran dan sikap positif dari masyarakat, terutama bagi para suami demi menjaga kesehatan reproduksi istrinya.

c. Persepsi Terhadap Program Keluarga Berencana

Persepsi terhadap keluarga berencana adalah adanya pandangan, tanggapan, pengamatan, seseorang terhadap program Keluarga Berencana

33 Rapat Kerja Nasional Gerakan Keluarga Berencana Nasional Tahun 2000, Buku II Materi, (Jakarta : BKKBN, 2000), p.1.

(29)

yang bertujuan untuk membantu individu untuk menghindari kelahiran yang tidak diinginkan, mengatur interval kehamilan, mengontrol waktu kelahiran, menentukan jumlah anak dalam keluarga. Berdasarkan teori yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa aspek – aspek persepsi terhadap keluarga berencana adalah sebagai berikut:

1. Persepsi terhadap program dan tujuan KB.

Tujuan KB merupakan objek yang dipersepsi berupa penundaan kelahiran, dan tujuan lebih jauh adalah kesejahteraan / kebahagiaan keluarga. Objek tersebut menimbulkan stimulus yang pada umumnya berasal dari luar stimulus tentang KB, biasanya dapat dari teman, tokoh-tokoh dari lingkungan yang memberikan pengaruh, dan lain sebagainya. Setelah memperoleh pengaruh maka akan direspon kemudian diperhatikan yang selanjutnya dilaksanakan dalam bentuk perilaku.

2. Persepsi informasi / sosialisasi tentang tata cara atau alat KB.

Objek informasi yang dapat dipersepsi berupa macam-macam tata cara dan alat KB. Stimulus diperoleh dari pergaulan, pengalaman, dan pengetahuan sehingga akan direspon, kemudian diperhatikan untuk diwujudkan dalam perilaku sebenarnya.

3. Sumber pengetahuan tentang alat KB.

Sumber pengetahuan tentang alat KB adalah objek yang dipersepsi yang berasal dari petugas KB, yang dapat meningkatkan tentang pentingnya kesadaran KB agar individu merespon pentingnya KB, kemudian melaksanakan program KB tersebut.

d. Pengertian Suami

(30)

serasi, dan seimbang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, suami adalah seorang laki-laki yang melakukan ikatan resmi dengan seorang wanita. Hal ini sama dengan buku terbitan depdiknas yang menyatakan suami adalah pria yang menjadi pasangan resmi seorang wanita. Resmi yang dimaksud adalah melalui ikatan perkawinan

Di Indonesia pengaruh suami sangat kuat di dalam pembentukan keluarga, suami dianggap sebagai tiang keluarga dan mewarnai kehidupan di dalam rumah tangga. Dengan demikian, tidak heran apabila suami mempunyai peran yang sangat berarti dalam dalam sebuah keluarga. Peran suami sebagai faktor penentu dalam keluarga cukup beralasan karena dalam pengalaman secara kultural kaum pria dianggap sebagai pelindung dan bertanggung jawab terhadap keamanan dan kehidupan.35 Seorang suami seharusnya berfungsi mengambil bagian bersama istri dalam menjaga keharmonisan berumah tangga, memelihara anak, dan menjalankan tugas kerumah tanggaan sebagaimana yang dilakukan seorang istri dirumah. Peran yang paling penting terhadap anak dan istri, suami hendaknya memberikan pilihan dan kesempatan untuk mengambil suatu keputusan yang berhubungan dengan pribadi. Program KB seharusnya dijalankan bukan hanya tugas istri saja. Mengingat pada umumnya pengaruh suami di Indonesia sangat berarti, maka peran suami dalam mengikuti program KB sangat diperlukan.

Para suami yang menjadi objek penelitian ini adalah laki-laki yang berusia subur, yaitu berusia 12 – 15 tahun hingga usia tak terbatas, selagi ia

(31)

masih dapat mengeluarkan air mani yang mengandung sperma, dan sedang atau pernah menjadi peserta akseptor KB. 36

2. Hakikat Tingkat Pendidikan

Pengertian tentang pendidikan sangat beraneka ragam, karena para ahli tidak memandang dari sudut yang sama. Walaupun demikian bukanlah berarti adanya aneka macam pengertian akan mengaburkan arti dari pendidikan, akan tetapi semakin memperjelas arti dari pendidikan itu sendiri.

Syam mengemukakan bahwa pendidikan adalah usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.37 Sedangkan Suryadi dan Tilaar mengemukakan bahwa pendidikan adalah proses pemanusiaan anak manusia dan manusia itu sendiri sepanjang hayatnya agar ia bermakna bagi kehidupannya sebagai seorang individu, sebagai anggota keluarga, masyarakat bangsanya, dan bagi kemanusiaan.38

Yoesoef memberikan batasan pendidikan dan menghubungkannya dengan kebudayaan sebagai mana yang dikutip oleh Said yang menyatakan bahwa pendidikan adalah usaha kebudayaan yang bermaksud memberikan tuntunan dalam hidup tumbuhnya jiwa raga anak-anak agar kelak dalam garis-garis kodrat pribadinya dari pengaruh segala keadaan yang mengelilingi dirinya anak-anak dapat kemajuan dalam hidupnya lahir dan batin menuju kea rah kemanusiaan.39 Lebih lanjut Yoesoef mengatakan “Dipandang dari sudut kebudayaan, peranan pendidikan adalah memperkenalkan, memilih, merawat, meneruskan, mengolah, dan mengembangkan seluruh hasil pikiran,

36 BKKBN, Kesehatan Reproduksi, p.13.

37 M. Hali Anshari, Pengantar dasar – dasar kependidikan, (Surabaya : Usaha Nasional, 2001), p,1, 38 H.A.R. Tilaar, Pendidikan Suatu Pengantar, (Bandung : Remaja Rosda Karya, 1994), p.4.

(32)

kemampuan dan perasaan manusia melalui training yang diberikannya kepada anggota masyarakat.”40

Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses bagi manusia untuk lebih dewasa baik dalam bersikap maupun bertingkah laku. Pengertian kedewasaan di sini adalah sebagai suatu pertanggung jawaban atas nasib diri sendiri dan pembentukan diri sendiri. Bertanggung jawab bisa diartikan sebagai memenuhi nilai-nilai etis dan norma-norma susila dan berusaha hidup sesuai dengan norma-norma tadi.41

Ada beberapa ciri-ciri yang melekat pada individu yang telah dewasa, yaitu: 1) Adanya sikap kestabilan (kemantapan) baik dalam tingkah laku, pandangan hidup maupun nilai-nilai, 2) Adanya tanggung jawab secara individual, sosial dan susila, 3) Adanya sifat berdiri sendiri / mandiri.42 Pengaruh pendidikan bagi individu memang cukup besar, sehingga segala sikap dan tingkah laku yang ditunjukkan oleh individu akan mencerminkan sampai sejauh mana tingkat pendidikan yang ditempuhnya.

Dari uraian di atas jelaslah bahwa peranan pendidikan bagi individu sangat besar sehingga baik dalam bersikap maupun dalam menentukan segala sesuatunya. Semakin banyak pengetahuan yang dimilikinya melalui pendidikan, maka semakin kritis pula individu itu dalam bersikap dan bertingkah laku.

Demikian besarnya peranan pendidikan dalam membentuk sikap dan tingkah laku individu, maka Cline dan Hanian menyatakan bahwa apabila dalam masyarakat dikehendaki adanya perubahan sikap dan tingkah laku, maka pendidikan merupakan faktor yang amat penting dalam perubahan sikap

40Ibid, p.5.

(33)

dan tingkah laku.43 Berkaitan dengan hal itu, Idris menyatakan bahwa pendidikan individu erat kaitannya dengan tingkat pengembangan potensi-potensinya termasuk potensi emosional dan segala sikap-sikapnya.44

Senada dengan Idris, Waskito menyatakan bahwa individu yang berpendidikan tinggi akan berbeda dengan individu yang berpendidikan dasar. Berbeda yang dimaksud adalah berbeda dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku. Jika dihadapkan pada suatu objek individu yang lebih tinggi tingkat pendidikannya umumnya lebih kritis dalam berpikir, bersikap dan bertindak dibandingkan dengan individu yang lebih rendah tingkat pendidikannya.

Menurut Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui jalur pendidikan formal, non formal, dan informal. Jalur pendidikan formal ialah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.

Sementara menurut Anshari, pendidikan formal adalah pendidikan yang diselenggarakan secara teratur, bertingkat, dan mengikuti syarat yang jelas dan ketat. Pendidikan formal merupakan lanjutan atau pengembangan pendidikan yang telah diberikan orang tua terhadap anak dalam keluarga.45 Sedangkan Coombs lebih jelas lagi menggambarkan tentang satuan pendidikan formal sebagaimana yang dikutip oleh Yusuf bahwa pendidikan formal adalah pendidikan berstruktur, mempunyai jenjang atau tingkat dalam

43 M.Djufri, Kontribusi Tingkat Pendidikan, Peran Ganda dan Akses Kie-KB Terhadap Adopsi Ibu-Ibu RT :Survey di Bone (1987), Tesis, (Jakarta : FPS, IKIP, 1988), p.15

(34)

periode waktu-waktu tertentu, berlangsung dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi / universitas.46

Selanjutnya yang dimaksud dengan pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.47

Sedangkan pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan menegah kejuruan, berbentuk sekolah menengah atas (SMA), madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Sementara pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doctor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi.48

Seperti dikemukakan di atas, jenjang pendidikan mempunyai tujuan yang berbeda, tentunya semakin tinggi jenjang pendidikan semakin tinggi pula tujuannya. Oleh karena itu, semakin tinggi jenjang pendidikan diharapkan semakin mendekati tujuan pendidikan nasional.

Individu yang memiliki pendidikan dasar saja, tentunya akan berbeda dengan individu yang berpendidikan menengah atau pendidikan tinggi. Perbedaan itu akan terlihat baik dalam soal berfikir maupun bertindak, termasuk kesehatan reproduksi.

3. Penelitian yang Relevan

46 M. Muri Yusuf, Pengantar Ilmu Pendidikan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1999), p.61. 47UU. No. 20 Tahun 2003

(35)

Penelitian yang berkenaan dengan sikap terhadap program KB, antara lain Zainal Abidin yang meneliti sikap mahasiswa terhadap penerimaan KB, dengan latar belakang besar keluarga dan jenis kelamin diperoleh temuan bahwa sikap mahasiswa wanita terhadap penerimaan KB lebih positif dari sikap mahasiswa pria. Temuan tersebut dapat diterima karena hanya wanita yang dapat merasakan penderitaan akibat mengalami proses reproduksi anak, baik ketika hamil dan melahirkan atau ketika memelihara bayi. Sedangkan sikap mahasiswa pria terhadap penerimaan KB terlihat kurang positif jika dibandingkan dengan sikap mahasiswa wanita. Temuan ini kurang menggembirakan padahal sebagian besar masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa pria sangat dominan peranannya dalam keluarga dan masyarakat.

(36)

kehamilannya, ikut mengantar istri kontrol, merencanakan tempat dan penolong persalinan dan membantu pekerjaan istri pada waktu hamil dan pasca melahirkan.

B. Kerangka Berpikir

Sebagaimana yang telah direncanakan dan dilaksanakan pemerintah dalam usaha meningkatkan dan mengembangkan program KB, maka tujuan utama yang perlu diusahakan dan diperhatikan diantaranya: meningkatkan sikap, peranan dan tanggung jawab keluarga dan masyarakat dalam pengelolaan KB.

Dengan demikian kalau dilihat dari landasan teori bahwa kesadaran akan terjadi apabila orang tersebut telah memiliki pengetahuan, sikap dan tingkah lakunya terhadap suatu objek, misalnya mengetahui apa itu program KB. Untuk memperoleh pengetahuan tentang KB dapat melalui belajar, karena dengan belajar akan terjadi sesuatu perubahan kemampuan seseorang baik dalam persepsi, sikap, minat atau nilai, maupun tingkah lakunya terhadap pelaksanaan program KB tersebut.

(37)

diantaranya dengan kemantapan dan pengetahuan, sikap dan perilaku melalui proses pendidikan.

Dengan demikian jelaslah bahwa pendidikan sangat berperan dalam proses perubahan berfikir, sikap bahkan perilaku individu. Informasi serta pengetahuan yang terbatas pada umumnya berkaitan erat dengan rendahnya tingkat pendidikan. Perkembangan kognitif, intelektual dan mental seseorang yang tidak berpendidikan dibatasi oleh keterbatasan informasi serta pengetahuan yang dimilikinya. Dengan pendidikan, seorang terbuka terhadap ide-ide baru atau perubahan yang terjadi di lingkungannya, sehingga merangsang setiap orang untuk meningkatkan partisipasinya di dalam pembangunan. Meningkatnya partisipasi seseorang akan semakin besar jika pendidikan yang diperolehnya semakin tinggi, sebab dengan semakin tingginya pendidikan kemungkinan memperoleh informasi akan semakin banyak. Dengan informasi tersebut diharapkan mampu menentukan sikap yang tepat. Dengan pendidikan, seseorang akan bisa memberikan makna terhadap suatu objek, dapat mengidentifikasi pengetahuan yang dimiliki sesuai dengan tingkat pendidikan guna menjadi referensi dalam menentukan pandangan atau sikap pada objek itu.

(38)

Tinggi

Menengah

Dasar

Kognitif

Afektif

Konatif Tingkat PendidikanPersepsi Para Suami tentang Program KB

positif atau negatif tergantung pada hasil pemahaman serta pemberian makna yang dilakukannya.

C. Pengajuan Hipotesis

Berdasarkan kerangka berpikir yang didukung oleh landasan teoritis, maka dapat dirumuskan suatu hipotesis penelitian yang terdiri dari hipotesis nol dan hipotesis kerja sebagai berikut:

Ho: Tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi para suami tentang program Keluarga Berencana.

(39)

A. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui secara empiris tentang hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi para suami tentang program Keluarga Berencana (KB). B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di RW.03, Bintara 8, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat Kota Bekasi, terhitung sejak bulan Februari 2014 sampai dengan April 2014.

C. Metode dan Desain Penelitian

Berdasarkan variabel yang diteliti, masalah yang dirumuskan dan hipotesis yang diajukan, maka penelitian ini menggunakan metode kuantitatif korelasional. Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah tingkat pendidikan. Sedangkan variabel terikatnya adalah persepsi para suami tentang program keluarga berencana (KB).

(40)

Penelitian ini bersifat asosiatif dengan menggunakan desain ex post facto. Desain ini digunakan untuk menjajaki kemungkinan adanya hubungan kausal / sebab-akibat seperti yang dijelaskan pada gambar di bawah ini:

Gambar 1: Hubungan kausal / sebab akibat X mempengaruhi Y. X: Tingkat pendidikan

Y: Persepsi para suami tentang program KB D. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi sasaran dari penelitian ini adalah seluruh para suami di lingkungan RW.03, Bintara 8, Kelurahan Bintara. Sedangkan, populasi terjangkaunya adalah para suami yang masih berusia subur dan sebagai akseptor KB. Karena karena populasi terjangkau lebih dari 100 orang, maka sampel yang akan digunakan pada penelitian ini sekitar 10 – 15 %49 dari populasi terjangkau yang berjumlah 387 orang yang terbagi menjadi tiga (3) kategori dengan rincian yaitu : berpendidikan dasar / rendah sebanyak 67 orang, berpendidikan menengah sebanyak 268 orang, dan berpendidikan tinggi sebanyak 52 orang. Jadi, jumlah sampel yang digunakan adalah 10 % dari populasi terjangkau yaitu 39 orang.

Adapun teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan tekhnik proportional stratified random sampling, yaitu pengambilan sampel bertingkat berdasarkan perimbangan yang jumlahnya didasarkan proporsi dan perimbangan tiap-tiap tingkat pendidikan dan setiap responden mempunyai kesempatan yang sama untuk diuji.50

Tabel 1: Tingkat Pendidikan, Populasi Terjangkau, dan Sampel

Tingkat Pendidikan Suami Sampel

49 Suharsimi Arikunto.Metodologi penelitian. (Yogyakarta: Bina Aksara, 2008), p. 116.

50 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Bandung : Alfabeta, 2013), p. 82.

(41)

Berpendidikan tinggi

(Universitas/Institut/Akademi) 52/387 x 39 = 5,24 = 5 Orang Berpendidikan menengah

(SMA/SMK/Sederajat) 268/387 x 39 = 27,007 = 27 Orang Berpendidikan Dasar

(SD/SMP/Sederajat) 67/387 x 39 = 6,752 = 7 Orang

Jumlah 39 Orang

E. Instrumen Penelitian

Tekhnik yang digunakan untuk mengumpulkan data tentang tingkat pendidikan yang merupakan variabel bebas (variabel X) menggunakan daftar isian, dan untuk memperoleh data mengenai persepsi para suami tentang program KB yang merupakan variabel terikat (variabel Y) menggunakan angket / kuesioner yang diukur dengan skala model likert.51

Tingkat pendidikan dalam penelitian ini adalah lamanya seseorang menempuh pendidikan sekolah. Penskoran dilakukan dengan mengklasifikasikan tingkat pendidikan yang pernah ditempuh oleh para suami yang menjadi sampel dengan indikator lulusan pendidikan formal, dan skala yang digunakan adalah skala ordinal,52 yaitu:

1. Sarjana

2. Kuliah tingkat I-III 3. Sarjana Muda / Diploma 4. Lulus SMA

5. Lulus SMP 6. Lulus SD

7. Tidak sekolah / tidak lulus SD

51 Ibid, p.93.

(42)

Tingkat pendidikan diklasifikasikan menjadi pendidikan tinggi dari point nomor 1 – 3, pendidikan menengah point nomor 4, dan pendidikan dasar / rendah point nomor 5 – 7.

Pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam instrumen ini pada dasarnya dibagi ke dalam 2 kategori, yaitu pertama pernyataan yang bersifat positif, dan kedua adalah pernyataan yang bersifat negatif. Setiap butir pernyataan telah disiapkan unit-unit skala sikap yang sama dan selanjutnya dapat dipilih oleh setiap responden sesuai dengan keyakinan terhadap pernyataan tersebut.

Unit-unit skala sikap yang disediakan pada setiap butir pernyataan adalah sebagai berikut:

- SS (Sangat Setuju) - S (Setuju)

- R (Ragu-ragu) - TS (Tidak Setuju)

- STS (Sangat Tidak Setuju)

(43)

- Variabel Y (Persepsi para suami tentang program KB) mencakup komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Pertama, kognisi berkenaan dengan ide dan konsep serta pendapat keyakinan terhadap sesuatu objek. Kedua, afeksi menyangkut aspek emosional atau perasaan seseorang dan penilaiannya terhadap suatu objek. Selanjutnya yang ketiga, konasi merupakan kecenderungan bertindak.

-- Di bawah ini adalah kisi-kisi instrumen yang akan dijabarkan melalui pernyataan (lihat dalam lampiran)

-Tabel 2 : Kisi-kisi Instrumen penelitian

-No

- Komponen

persepsi yang diukur

- Indikator - Butir

Soal

- Konasi - Pengetahuan

tentang program KB

- 1, 3, 6,

7, 12, 18 - 6

- Sosialisasi - 19, 20, 32, 33, 37

(44)

- Konseling dan pelayanan

kontrasepsi

- 29, 30,

31, 34, 35, 36, - 6

- Total - 4

0

-- Sebelum instrumen digunakan, terlebih dahulu diujicobakan validitas dan reliabilitasnya.

a. Uji Validitas

- Bertujuan untuk mengukur apakah instrumen yang dibuat sudah atau mampu mengukur apa yang diinginkan. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat. b. Uji Reliabilitas

- Reliabilitas menunjukkan pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data dengan kenyataan hasil yang diperoleh sama dengan hasil yang sudah ada. Reliabilitas menunjukkan pada tingkat keberadaan sesuatu. Reliabilitas artinya dapat dipercaya, jadi dapat diandalkan dalam mencari data.

(45)

- Penelitian ini dilakukan di luar daerah penelitian dengan hasil 31 item yang valid dari 40 item atau butir pernyataan (data dapat dilihat pada lampiran II).

- Untuk reliabilitas variabel X (tingkat pendidikan) juga tidak perlu diuji, karena sifatnya sudah pasti dan tertentu. Sedangkan untuk variabel Y (persepsi para suami tentang program KB) dengan menggunakan rumus alpha.

- r¿=( k

k−1)(1−

∑σ2b σ2t )

(i)

- Keterangan :

- rin = Reliabilitas instrument

- k = banyaknya butir pernyataan

- σ2b = Jumlah varian butir

- σ2t = Varian total

- Setelah diuji cobakan kepada 20 responden maka diperoleh rin= 0,927. Hasil tersebut setelah dikonsultasikan pada tabel interpretasi nilai r secara sederhana, nilai tersebut terletak pada rentang 0,800 – 1,000. Dengan demikian, instrumen penelitian ini mempunyai tingkat reliabilitas yang tinggi (data dapat dilihat pada lampiran III)

(46)

-F. Teknik Analisis Data

- Untuk mengukur persepsi digunakan skala pengukuran sikap likert dengan rumus skor standar yang digunakan adalah skor T, yaitu :

-X− ¿

SD

¿

T=50+10¿ (ii)

- Keterangan :

- T = Skor standar - X = Skor responden

-

X

= Rata-rata skor kelompok - SD = Standar deviasi kelompok

- Kriteria uji :

- T > 50 = Favorable (positif) - T< 50 = Unfavorable (negative)

(47)

-dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Uji Prasyarat

1. Uji Normalitas dengan menggunakan uji Liliefors.

-b. Mencari Persamaan Regresi : - Ŷ = a + bX

- Keterangan :

- Ŷ = Persepsi para suami tentang program KB

- a = Konstanta

- b = Koefisien regresi - X = Tingkat pendidikan

c. Uji linieritas dan keberartian model regresi.

-- Hipotesis statistik penelitian ini adalah : - Ho :

ρ

xy = 0

- Hi :

ρ

xy ≠ 0

- Setelah r diketahui, tes signifikansi dilakukan melalui uji t (t-tes) dengan rumus, yaitu :

(48)

- Untuk mengetahui berapa besar varian variabel Y ditentukan oleh variabel X, maka dilakukan perhitungan koefisien determinasi dengan rumus :

- KD = r2x 100%

(v) - Keterangan :

(49)

Rukun Warga 03, Bintara 8, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi adalah sebagai berikut :

-Tabel 3: Data Tingkat Pendidikan dan Populasi Para Suami

-- Sumber : Monografi RW 03, Bintara 8, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi tahun 2012

- Populasi penelitian ini terdiri dari populasi sasaran dan populasi terjangkau, demgan sasaran penelitian adalah para suami di RW. 04, Bintara 8, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi. Sedangkan populasi terjangkau dari penelitian ini adalah para suami yang masih berusia subur dan sebagai akseptor KB.

(50)

- Sampel penelitian ini adalah para suami dari RT. 001, RT 003, RT 005, dan RT 006 dari golongan pendidikan yang berbeda, yaitu golongan pendidikan dasar (SD – SMP dan sederajat), golongan pendidikan menengah (SMA dan sederajat), dan golongan pendidikan tinggi (Diploma – Sarjana).

(51)

-Tingkat pendidikan rendah; 18%

Tingkat pendidikan menengah; 69% Tingkat pendidikan tinggi; 13%

Proporsi perbandingan para suami berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan rendah Tingkat pendidikan menengah Tingkat pendidikan tinggi

(52)

bawah ini:

-2. Persepsi Para Suami tentang Program KB

- Secara keseluruhan, data statistik yang diperoleh dari persepsi para suami tentang program KB berjumlah 5073. Dengan skor tertinggi 155 dan skor terendah 101, diperoleh rentangan 54. Dari jumlah keseluruhan, diperoleh rata-rata 130,077, standar deviasi 445,023 dan variasi sebesar 198045,915, Median dan Modus masing-masing 129,25 dan 128, 95.

- Untuk memudahkan pemahaman data dibuat dalam bentuk distribusi frekuensi, grafik histogram dan polygon. Agar lebih jelas, dapat dilihat pada tabel berikut ini :

(53)

153

- 154

-162

- Sumber : Data hasil penelitian

-100 - 108 109 - 117 118 - 126 127 - 135 136 - 144 145 - 153 154 - 162 0

2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Gambar 2 : Grafik Histogram dan Poligon Frekuensi

(54)

menunjukkan bahwa skor persepsi para suami tentang program KB berada pada nilai rata-rata. Dengan demikian hal ini menunjukan bahwa responden yang menerima dan menolak program KB sama besarnya.

- Kemudian, jika dideskripsikan per strata, maka hasilnya adalah sebagai berikut :

(55)

memiliki persepsi negatif. Artinya, mayoritas responden dengan latar belakang pendidikan dasar ini memiliki persepsi negatif.

-B. Pengujian Persyaratan Analisis

- Analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis (Hi) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan persepsi para suami tentang program KB di lingkungan RW 03, Bintara 8, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi. Namun, sebelum menggunakan rumus korelasi product moment untuk menguji hipotesis tersebut, perlu dilakukan uji persyaratan analisis data yang meliputi uji normalitas.

- Untuk uji normalitas dengan menggunakan uji Liliefors, hasil perhitungan menunjukkan data berdistribusi normal karena Lhitung< Ltabel, yaitu 0,138543 < 0,1418 pada α = 0,05 (lihat tabel berikut dan lampiran VI)

- Tabel 6 : Hasil Uji Normalitas untuk Variabel Y (Persepsi Para Suami terhadap Program KB)

(56)

-- Gambar 3 : Persamaan Garis Regresi Ŷ = 114,362 + 7,591X

- Dapat terlihat pada gambar di atas, bahwa garis regresi menunjukan Ŷ = 114,362 + 7,591X yang artinya adalah setiap nilai X bertambah dengan satu satuan, maka nilai Y akan bertambah sebesar 7,591. Jika nilai X = 0, Maka nilai Y sebesar 114,362. Kemudian dapat disimpulkan jika Tingkat Pendidikan (X) semakin tinggi, maka semakin meningkat Persepsi Para Suami tentang Program Keluarga Berencana (KB) di lingkungan RW. 03 Bintara 8, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat Kota Bekasi.

- Adapun hasil pengujian keberartian dan kriteria linieritas regresi dapat dilihat pada tabel berikut dan lampiran IX.

(57)

39

- dk = derajat kebebasan - Rjk = regresi jumlah kuadrat

- Dari tabel di atas diperoleh koefisien korelasi model regresi Fhitung sebesar 7,694 dan Ftabel sebesar 4,11 pada taraf signifikansi α = 0,05 sehingga diperoleh model regresi Ŷ = 114,362 + 7,591X adalah sangat signifikan. Untuk uji linieritas, diperoleh Fhitung sebesar 7,694 dan Ftabel sebesar 4,11 yang berarti bentuk hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi para suami tentang program KB merupakan hubungan linier.

-C. Pengujian Hipotesis

(58)

semakin tinggi pula atau positif persepsi para suami terhadap program KB. Dari perhitungan koefisien korelasi dengan menggunakan rumus product moment diperoleh nilai sebesar 0,415 (lihat lampiran X). Untuk mengetahui signifikannya korelasi dilakukan dengan uji t atau uji keberartian koefisien korelasi. Hubungan tersebut akan berarti jika thitung> ttabel.

- Dari hasil perhitungan, diperoleh harga thitung sebesar 2,8209, sementara harga ttabel pada taraf nyata α = 0,05 dan dk 37 diperoleh 2,0262. Perbandingan harga t tersebut adalah thitung> ttabel (2,8209 > 2,0262). Dengan demikian atas dasar perhitungan tersebut dapat dinyatakan bahwa korelasi kedua variabel adalah signifikan, artinya hubungan variabel X dan Y sebesar 0,415 bukan terjadi secara kebetulan. Dari hasil perhitungan determinasi diperoleh pula kontribusi variabel X terhadap variabel Y sebesar 17,23 %

-D. Pembahasan Hasil Penelitian

- Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis, ditemukan bahwa terdapat hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan persepsi para suami tentang program KB. Hal ini dibuktikan dengan diperolehnya thitung sebesar 2,8209. Sedangkan dari ttabel pada taraf nyata α = 0,05 dan n = 39 diperoleh 2,0262. Maka dapat disimpulkan bahwa thitung> ttabel (2,8209 > 2,0262). Dengan demikian terdapat hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan persepsi suami tentang program KB. Hal ini dapat dikatakan bahwa orang yang memiliki latar belakang tingkat pendidikan yang tinggi lebih cenderung menerima program KB.

(59)

sebanyak 100% dari kelompok strata ini memiliki persepsi positif terhadap program keluarga berencana. Angka ini menunjukkan pada tingkat pendidikan tinggi, seluruh individunya memiliki persepsi positif dan juga kesadaran tinggi untuk melaksanakan program keluarga berencana.

- Pada kelompok responden tingkat pendidikan menengah, jumlah individu yang memiliki persepsi positif dan persepsi negatif hampir sama besarnya. Dari 27 orang responden, 14 diantaranya memiliki persepsi positif dan 13 orang lainnya memiliki persepsi negatif.

(60)

dicapai dalam program keluarga berencana tersebut. Selain itu, ada sebagian dari mereka yang sebenarnya menolak mengikuti program KB ini, namun mereka akhirnya mengikuti program KB ini atas dasar permintaan dari sang istri.

- Hasil dari penelitian ini diketahui pula kontribusi yang diberikan oleh tingkat pendidikan kepada persepsi para suami tentang program KB sebesar 17,23%. Hasil ini didasarkan pada koefisien determinasi dari koefisien korelasi sebesar 0,415. Dalam hal ini, persepsi positif tentang program KB bukan hanya ditentukan oleh faktor pendidikan. Namun, sebesar 82,77 % kemungkinan disebabkan oleh adanya faktor-faktor lain yang juga berperan dalam menentukan persepsi para suami tentang program KB. Seperti yang telah dikemukakan pada kajian teori bahwa faktor lingkungan, budaya, dan norma sosial juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi setiap individu. Jadi, jelas bahwa beberapa faktor tersebut berkaitan erat dengan tingkat kognisi atau pengetahuan seseorang sehingga menyebabkan persepsi setiap orang berbeda.

-E. Keterbatasan Penelitian

- Meskipun penelitian ini telah berhasil menguji hipotesis, tetapi masih memiliki keterbatasan, seperti ditemukannya sikap para suami yang kurang terbuka dalam memberikan jawaban dan beberapa suami yang sulit didatangi karena kesibukan kerja maupun alasan-alasan lainnya. Selain itu, dalam penelitian ini belum memperhitungkan variabel-variabel lain yang turut mendukung seperti lamanya perkawinan, jumlah anak, usia dan jenis pekerjaan para suami.

(61)
(62)

-suami tentang program KB di lingkungan RW 03, Bintara 8, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi yang bersifat positif. Artinya, tinggi rendahnya pendidikan seseorang diikuti dengan tinggi rendahnya persepsi para suami tentang program KB. Hubungan positif ditunjukkan dengan bentuk model regresi linier Ŷ = 114,362 + 7,591X.

2. Semakin tinggi tingkat pendidikan para suami, semakin positif pula persepsinya terhadap program KB di lingkungan RW. 03, Bintara 8, Kelurahan Bintara, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi. 3. Pada responden dengan latar belakang tingkat pendidikan tinggi,

seluruhnya memiliki persepsi positif persepsi positif terhadap program keluarga berencana yang mereka jalani.

4. Pada responden dengan latar belakang tingkat pendidikan menengah, jumlah antara responden yang memiliki persepsi positif dan persepsi negatif hampir sama besarnya, yaitu 14 orang memiliki persepsi positif dan 13 orang memiliki persepsi negatif.

(63)

5. Pada responden dengan tingkat pendidikan dasar, hanya 2 dari 7 orang responden yang memiliki persepsi positif.

6.

7. Oleh karena itu, penelitian ini telah berhasil menemukan adanya hubungan antara tingkat pendidikan dengan persepsi suami tentang program KB di lingkungan tersebut yang bersifat positif.

8.

B. Implikasi

9. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini cukup mendukung dan terbukti sejalan dengan kajian teoritis dan kerangka berpikir. Artinya, hasil penelitian ini telah menemukan adanya hubungan positif antara tingkat pendidikan dengan persepsi suami tentang program KB. Dengan demikian, hasil penlitian ini mengandung implikasi bahwa latar belakang tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para suami akan menentukan persepsinya tentang program KB. Atau dapat dikatakan pula bahwa mereka yang memiliki latar belakang tingkat pendidikan lebih tinggi, akan lebih positif kecendrungannya untuk menerima program KB

10. Implikasi ini memberikan kemungkinan kepada pemerintah untuk lebih gencar mensosialisasikan program KB secara adil dan setara (tidak bias gender) kepada para suami melalui institusi pendidikan supaya mereka mempunyai pemahaman tentang kesehatan reproduksi, sehingga bukan istri saja yang mengikuti program KB.

(64)

menentukan persepsi mereka antara lain seperti lamanya perkawinan, jumlah anak, usia dan jenis pekerjaan suami.

12. C. Saran

13. Berdasarkan hasil penelitian ini, berikut masukan dan saran dari peneliti :

1. Kepada lembaga yang berwenang, diharapkan ada program sosialisasi dan konseling yang lebih melibatkan peran para suami dengan pendekatan emosional sehingga mereka memperoleh kesadaran bahwa pentingnya menjaga kesehatan reproduksi bukan hanya menjadi tanggung jawab para istri

2. Kepada para suami di lingkungan RW. 03. agar lebih aktif menggali informasi lebih dalam mengenai program keluarga berencana dari berbagai sumber yang ada di sekitar mereka.

3. Kepada peneliti lain diharapkan agar ada .penelitian selanjutnya yang bersifat kualitatif atau yang dapat melibatkan variabel-variabel yang lebih banyak lagi sehingga diperoleh hasil yang lebih akurat.

14.

15. DAFTAR PUSTAKA

16. Anshari, M. Hali. Pengantar Dasar - Dasar Kependidikan. Surabaya: Usaha Nasional, 2001.

17. Arikunto, Suharsimi.Metodelogi penelitian. Yogyakarta: Bina Aksara, 2008.

18. Azwar, Saifuddin. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2003

19. Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. Proyeksi Penduduk Indonesia Perprovinsi. Jakarta: BPS, 2001.

20. Bahar, Dian Paramesti. Setiap Wanita. Jakarta: Delaprasta, 1997.

Gambar

Tabel 4 : Distribusi Frekuensi Persepsi Para Suami Tentang Program
Gambar 2 : Grafik Histogram dan Poligon Frekuensi
Tabel 5: Persepsi para suami tentang program KB per strata
Tabel 6 : Hasil Uji Normalitas untuk Variabel Y (Persepsi Para Suami
+4

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan jenis protein dalam substrat, jumlah kandungan protein dalam substrat, aktivitas masing-masing bromelain yang digunakan

Dari tabel 4 terlihat koefisien nilai sig 0.008, dengan tingkat alpha yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0.05, maka hipotesis kedua diterima yaitu kompensasi

- Pengamatan tidak merupakan bagian dari obyek yang diteliti, sehingga dapat melihat dengan tajam tanpa dipengaruhi oleh obyek yang diamati..

Dari grafik 1, dapat dilihat bahwa daya yang dihasilkan turbin pada 1 nozle lebih besar dibanding 2 nozle, dimana daya maksimum yang dihasilkan pada 1 nozle adalah 7,04 W,

There are several things that can be inferred from the results of this research i.e Low Methoxyl Pectin from cocoa peels can be used as an alternative of edible

Rute adalah pertama yang aplikasi pemrosesan paket di Internet, tapi banyak orang lain telah datang untuk cahaya sebagai jaringan telah matang, jaringan nirkabel

Orang yang memiliki pekerjaan yang lebih layak guna pemenuhan semua kebutuhan hidupnya juga memiliki kecenderungan untuk memiliki tingkat kesehatan dan perilaku kesehatan

Jika melihat dari kajian beberapa penelitian pengembangan media pembelajaran mobile learning diatas pengembanganaplikasiandroidsebagaimedia pembelajaran