BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Struktur Modal
Struktur modal adalah “kombinasi dari hutang dan ekuitas yang memaksimumkan harga saham perusahaan” (Brigham dan Houston, 2010: 45). Dimana kunci dalam pendanaan perusahan adalah hutang dan ekuitas. Untuk mempercepat pertumbuhan perusahaan pembiayaan tidak hanya terbatas pada penggunaan laba ditahan dari perusahaan. Perusahaan juga menggunakan pendanaan yang berasal dari hutang dan ekuitas untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam capital expenditures, pengembangan proyek, dan ekspansi operasional perusahaan.
2.1.1. Pengertian Struktur Modal
Dalam pasar modal sempurna, dikatakan bahwa struktur modal tidak berpengaruh dalam penilaian perusahaan. Dalam keadaan seperti ini nilai perusahaan hanya bergantung kepada penghasilan bersih yang didapat di masa yang akan datang. Kenyataannya tidak ada bentuk pasar seperti ini sehingga sebenarnya struktur modal dapat mempengaruhi nilai perusahaan. Adapun alasan mengapa struktur modal berpengaruh terhadap nilai perusahaan adalah (Van Horne dan Wachowicz 2007: 242)
1. Argumentasi Arbitrase
sejenis yang tidak melakukan kombinasi atas pendanaannya. Tingkat bunga hutang yang lebih rendah menyebabkan nilai pasar dari perusahaan yang menggunakan hutang menjadi lebih tinggi. Dengan nilai perusahaan yang tinggi, pemegang saham dimungkinkan untuk mendapatkan keuntungan dari adanya perbedaan nilai tersebut. Keuntungan tersebut dapat diperoleh dengan menjual saham yang memiliki nilai lebih tinggi dan membeli saham dengan nilai yang lebih rendah.
2. Pajak
Keberadaan pajak dapat mempengaruhi keputusan dari struktur modal perusahaan. Penggunaan hutang dalam pendanaan perusahaan menimbulkan biaya bunga yang pada akhirnya dapat memberikan keuntungan pajak bagi perusahaan.
3. Biaya Kebangkrutan
Dengan adanya unsur hutang pada struktur modal perusahaan, maka akan memiliki ekspektasi biaya kebangkrutan. Biaya ini timbul akibat adanya kemungkinan di masa yang akan datang perusahaan tidak dapat membayar kembali hutang yang telah dilakukan.
4. Biaya Agensi
5. Biaya Transaksi
Biaya ini timbul pada saat perusahaan membutuhkan pendanaan yang berasal dari luar perusahaan. Pada saat perusahaan dihadapkan dengan situasi seperti ini, perusahaan berfikir apakah biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapat pembiayaan yang berasal dari luar akan lebih besar dari keuntungan yang akan dihasilkan nantinya.
2.1.2. Sumber-sumber Pendanaan Perusahaan
Dalam menentukan sumber-sumber pendanaan, perusahaan dapat memilih pendanaan yang berasal dari dalam perusahaan atau dari luar perusahaan. Pendanaan yang berasal dari dalam perusahaan laba ditahan sedangkan pendanaan yang berasal dari luar perusahaan berupa hutang dan saham.
1. Pendanaan internal perusahaan (laba ditahan)
2. Pendanaan eksternal perusahaan
Pendanaan eksternal perusahaan terdiri dari dua jenis sumber pendanaannya, antar lain:
a. Hutang
Hutang adalah sejumlah uang yang dipinjamkan secara langsung kepada perusahaan yang tidak berhubungan dengan kegiatan operasional perusahaan. Hutang dikategorikan menjadi dua jenis bedasarkan jangka waktunya, yaitu hutang jangka pendek dan hutang jangka panjang. Sumber pendanaan yang berasal dari hutang ini harus dilunasi oleh perusahaan pada saat jatuh tempo.
b. Saham
Saham merupakan “bukti kepemilikan suatu perusahaan (Hanafi 2008: 427).
Para pemilik saham berhak mendapatkan deviden sebagai imbal hasil dari investasinya di suatu perusahaan. Ada dua jenis saham berdasarkan prioritas pembagian deviden dan hak suaranya, yaitu saham biasa dan saham preferen.
Pada pandangan dari para pemegang saham untuk pendanaan eksternal perusahaan, hutang lebih disukai daripada penerbitan ekuitas. Ada dua alasan yang bisa menjelaskan pernyataan tersebut:
1. Bunga yang dibebankan pada hutang sifatnya tetap, dan
2.2. Teori Struktur Modal
Teori struktur modal menjelaskan apakah ada pengaruh perubahan struktur modal terhadap nilai perusahaan, kalau keputusan investasi dan kebijakan deviden dipegang konstan. Dengan kata lain, kalau perubahan struktur modal tidak merubah nilai perusahaan, berarti tidak ada struktur modal yang terbaik. Semua struktur modal baik. Tetapi kalau dengan merubah struktur modal ternyata nilai perusahaan berubah, maka akan diperoleh struktur modal yang terbaik. Struktur modal yang dapat memaksimumkan nilai perusahaan atau harga saham dalah struktur modal yang terbaik.
Meskipun sudah banyak teori tentang struktur modal, tetapi belum ada penjelasan yang memuaskan. Berbagai teori struktur modal akan menjelaskan bagaimana faktor-faktor determinan memperngaruhi tingkat leverage suatu perusahaan. Faktor-faktor determinan struktur modal yang telah diidentifikasi oleh para ahli meliputi besarnya fixed tangible assets yang dapat dijadikan jaminan (collateral), non-debt tax shield yaitu besarnya biaya yang mendatangkan keuntungan pajak bagi perusahaan selain biaya bunga, besarnya peluang investasi atau tingkat pertumbuhan perusahaan, besarnya ukuran (size) perusahaan, tingkat profitabilitas, volatilitas dari pendapatan, besarnya pengeluaran biaya advertensi, dan keunikan dari produk yang dihasilkan perusahaan (Harris dan Raviv, 1991).
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang struktur modal seperti berikut: 1. Teori Modigliani-Miller
tidak mempengaruhi nilai perusahaan (Hanafi 2008: 299). Argumen pertama dari Modigliani-Miller ini tanpa pajak yang kemudian disusul dengan argumen dengan pajak. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa nilai perusahaan dengan hutang lebih tinggi dibandingkan nilai perusahaan tanpa hutang. Ini dikarenakan adanya penghematan pajak dari penggunaan hutang.
Menurut Syahyunan (2013 : 59) teori Modigliani-Miller memiliki beberapa asumsi untuk membangun teori mereka, yaitu :
1. Tidak terdapatnya agency cost 2. Tidak ada pajak
3. Investor dapat berhutang dengan tingkat suku bunga yang sama dengan perusahaan
4. Investor mempunyai informasi yang sama seperti manajemen mengenai prospek perusahaan di masa depan
5. Tidak ini ada biaya kebangkrutan
6. Earning Before Interest and taxes (EBIT) tidak dipengaruhi oleh penggunaan hutang
7. tidak ada biaya transaksi
8. Jika terjadi kebangkrutan maka aset dapat dijual pada harga pasar (market value).
kondisi pasar dengan asimetri informasi, serta biaya transaksi dalam pasar modal yang tidak dimasukkan ke dalam teori Modligani-Miller ini.
2. The Signaling Theory
Teori ini menyatakan penggunaan hutang sebagai sumber pendanaan perusahaan sering kali dianggap sebagai sinyal positif yang menyatakan bahwa manajemen perusahaan yakin saham perusahaan “undervalued”. Bila kinerja
perusahaan buruk, perusahaan yakin saham perusahaan “overvalued” sehingga
jalan terbaik adalah penerbitan saham baru yang artinya sinyal negative bagi investor.
3. The Trade-Off Theory
Berbeda dengan teori Modligani-Miller diatas, teori Trade-Off ini menyatakan bahwa perusahaan menyeimbangkan manfaat dari pendanaan dengan hutang, suku bunga, dan biaya kebangkrutan. Sebagaimana dikemukakan Myers
(2001) bahwa ”Perusahaan akan berhutang sampai pada tingkat hutang tertentu,
dimana penghematan pajak (tax shields) dari tambahan hutang sama dengan biaya kesulitan keuangan (financial distress)”. Trade-Off Theory memprediksi bahwa
“dalam mencari hubungan antara struktur modal dan nilai perusahaan terdapat
sesuatu tingkat leverage yang optimal” (Manurung dan Darminto, 2008).
Secara prinsip, perusahaan membutuhkan pendanaan ekuitas baru apabila rasio hutang perusahaan di atas target dan menambah hutang apabila rasio hutang perusahaan tersebut dibawah target.
kesulitan keuangan (financial distress) tetapi tetap mempertahankan asumsi efisensi pasar dan symetric information sebagai imbangan dan manfaat penggunaan hutang. “Tingkat hutang yang optimal tercapai ketika penghematan pajak (tax shields) mencapai jumlah yang maksimal terhadap biaya kesulitan keuangan (cost financial distress)” (Syahyunan, 2013 : 69).
4. Pecking Order Theory
Pecking Order Theory menjelaskan mengapa perusahaan-perusahaan yang profitable umumnya meminjam dalam jumlah yang sedikit. Hal tersebut bukan karena mereka mempunyai target debt ratio yang rendah, tetapi karena mereka memerlukan pendanaan eksternal yang sedikit. Perusahaan yang kurang profitable akan cenderung mempunyai hutang yang lebih besar karena dana internal tidak cukup dan hutang merupakan sumber pendanaan eksternal yang lebih disukai.
Dua asumsi kunci tentang perilaku manajer di suatu perusahaan menurut (Myers dan Majluf: 1984), yaitu:
1. Manajer memiliki informasi yang lebih baik tentang kesempatan investasi yang dihadapkan oleh perusahaan ketimbang para investor, dan
2. Manajer akan bertindak sesuai dengan kepentingan dari para pemegang saham yang lama.
perusahan menggunakan informasi yang lebih banyak tentang kesempatan yang akan didapatkan perusahaan atas investasi tersebut dibandingkan dengan informasi yang digunakan investor untuk penilaian ekuitas. Keadaan dimana manajer memiliki informasi yang lebih banyak daripada investor tersebut disebut dengan terjadinya informasi yang tidak simetris antara manajer dan investor.
Berdasarkan alasan inilah lahir Pecking Order Theory. Perusahaan berpikir daripada perusahaan mendapatkan kerugian atas diskon dari nilai ekuitas sebenarnya maka lebih baik perusahaan melakukan pendanaan atas investasinya dengan pendanaan internal yang bebas dari ketidaksimetrisan informasi. Lalu, perusahaan akan memilih sumber pendanaan selanjutnya yang berasal dari hutang karena hutang memilik resiko yang lebih rendah dibandingkan dengan mengeluarkan saham baru.
Pecking Order Theory lebih superior dibandingkan dengan model Trade-Off Theory karena model trade-off lebih melakukan pendekatan secara statis atas keputusan pendanaan, yaitu berdasarkan target dari struktur modal. Sedangkan, Pecking Order Theory lebih menjelaskan secara dinamis tentang struktur pendanaan perusahaan pada kondisi apapun.
Menurut Hanafi (2008: 313), secara spesifik perusahaan mempunyai urutan-urutan preferensi dalam penggunaan dana. Skenario urutan-urutan dalam Pecking Order Theory adalah berikut ini :
2. Perusahaan menghitung target rasio pembayaran didasarkan pada perkiraan kesempatan investasi. Perusahaan berusaha menghindari perubahan dividen yang tiba-tiba. Dengan kata lain, pembayaran dividen diusahakan konstan atau, kalau berubah terjadi secara gradual dan tidak berubah dengan signifikan.
3. Karena kebijakan dividen konstan, digabung dengan fluktuasi keuntungan dan kesempatan investasi yang tidak bisa diprediksi, akan menyebabkan aliran kas yang diterima perusahaan akan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran investasi pada saat-saat tertentu. Jika kas tersebut lebih besar, perusahaan akan membayar hutang atau membeli surat berharga. Jika kas tersebut lebih kecil, perusahaan akan menggunakan kas yang dipunyai atau menjual surat berharga.
4. Jika pendanaan eksternal diperlukan, perusahaan akan memulai dengan hutang, kemudian saham sebagai pilihan terakhir.
“Perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi justru tingkat
hutangnya rendah karena perusahaan tersebut memiliki sumber dana internal yang melimpah. Dalam teori Pecking Order ini tidak terdapat struktur modal yang optimal” (Myers: 2001).
“pembayaran dividen, pembayaran investasi, perubahan modal kerja dikurangi
dengan kas bersih setelah bunga dan pajak” (Frank dan Goyal, 2003).
2.3. Penelitian Sebelumnya
Sudah terdapat beberapa penulis yang telah meneliti tentang keberadaan Pecking Order Theory, seperti :
1. Frank dan Goyal (2003), dengan judul penelitian “Testing the Pecking Order Theory of Capital Structure”, menguji teori Pecking Order ini pada
perusahaan publik Amerika dalam periode 1971-1998. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan menghadapi ketidakcukupan pendanaan internal untuk mendanai investasi mereka. Sehingga, mereka membutuhkan pendanaan eksternal, namun jumlah hutangnya tidak mendominasi jumlah ekuitasnya.
2. Penelitian keberadaan teori Pecking Order ini juga dilakukan oleh Vidal dan Ugedo (2005) dengan judul penelitian “Financing Preferences of Spanish Firms: Evidence on the Pecking Order Theory”. Dimana mereka menguji
perusahaan yang ada di Spanyol dan membagi perusahaan ke dalam tiga kategori berdasarkan ukuran perusahaan, yaitu perusahaan besar, kecil, dan menengah. Mereka menyatakan bahwa teori Pecking Order lebih bisa menjelaskan struktur modalnya dalam perusahaan kecil dibandingkan pada perusahaan besar.
3. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Jibran et al. (2012) dengan judul “Pecking at Pecking Order Theory: Evidence from Pakistan’s Non
sesuai yang dikemukakan oleh Frank dan Goyal (2003). Alasan utamanya adalah tingkat pertumbuhan yang rendah diikuti dengan pasar modal Pakistan yang kurang berkembang dan kurangnya budaya berinvestasi dalam kehidupan ekonomi di Pakistan.
4. Ruslim (2009) yang melakukan penelitian dengan judul “Pengujian Struktur Modal (Teori Pecking Order): Analisis Empiris terhadap Saham di
LQ-45”, mengemukakan bahwa perusahaan di LQ-45 tidak mengikuti teori Pecking Order disebabkan hasil pengujian defisit pendanaan internal hanya siginifikansi pada level 5%, sedangkan perubahan hutang jangka pankang lebih mampu menjelaskan perubahan struktur modal secara umum.
5. Mahardika (2014) melakukan penelitian dengan judul “Pengujian Pecking Order Theory dan Trade Off Theory pada Struktur Modal Perusahaan”,
mengatakan secara keseluruhan perusahaan consumer goods di Indonesia cenderung mengikuti pandangan teori Pecking Order, hal ini diperkuat dengan adanya pengaruh negatif profitabilitas terhadap tingkat hutang. Tetapi perusahaan tidak secara penuh mengikuti hirarki teori Pecking Order. 6. Yuliati (2011) melakukan penelitian yang berjudul “Pengujian Pecking Order Theory: Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Struktur Modal
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No. Peneliti/Tahun Judul Penelitian
Lanjutan Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No. Peneliti/ Tahun Judul Penelitian
Teknik
5. Mahardika/ 2014 Pengujian Pecking Order
2.4. Kerangka Pemikiran
Dalam pembentukan struktur modal terdapat berbagai teori yang menjelaskan perilaku pembentukan struktur modal tersebut. Salah satu teori mengenai pembentukan struktur modal adalah Pecking Order Theory.
Pecking Order Theory menunjukkan bahwa perusahaan mengutamakan pendanaan internal (laba ditahan) daripada pendanaan eksternal (hutang kemudian saham) dalam pendanaan perusahaan (Myers:1984).
Menurut Vidal dan Ugedo (2005) untuk membuktikan keberadaan Pecking Order Theory dalam struktur modal perusahaan dilakukan dengan menguji perubahan dari tiga sumber pendanaan terbesar secara akuntansi (laba ditahan, hutang, dan penerbitan ekuitas) lebih baik dengan model Watson dan Wilson (2002). Model analisis regresi dimana variabel terikat merupakan tingkat pertumbuhan aktual dari seluruh perusahaan yaitu perubahan total harta dan variabel bebasnya terdiri dari perubahan relatif dari setiap sumber pendanaan perusahaan yaitu, laba ditahan, penerbitan ekuitas dan total hutang. Dari permodelan ini akan diketahui perusahaan lebih menggunakan pendanaan yang bersumber dari internal perusahaan atau eksternal perusahaan. Setelah itu, untuk mengetahui apakah perusahaan lebih memilih hutang jangka panjang atau penerbitan ekuitas sebagai sumber pendanaan eksternal dalam membiayai defisit pendanaannya digunakan model Shyam Sunders dan Myers (1999)
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran
2.5. Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis penelitian ini ialah :
1. Pecking Order Theory mampu menjelaskan perilaku struktur modal perusahaan consumer goods yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.
2. Perusahaan consumer goods lebih banyak menggunakan hutang jangka panjang dibandingkan dengan penerbitan ekuitas untuk mendanai defisit pendanaan harta bersih perusahaan.
Struktur Modal dalam Laporan Keuangan Perusahaan