M A K A L A H
SASTRA ANGKATAN 45 DAN ANGKATAN 66
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Mata Kuliah : Sejarah Sastra
Dosen Pengampu : Sri Listiana Izhar, M.Pd
Disusun Oleh :
Robbi Nurhidayah ( 1602040036 )
Kelas III A Malam Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Medan
M U K A D I M A H
Assalamualaikum W.W
Alhamdulillahi rabbil’alamin, segala puji dan syukur pemakalah panjatkan kehadirat Allah Swt, yang telah melimpahkan seluruh rahmat dan karunia-Nya sehingga kami mampu menyelesaikan makalah yang berjudul “SASTRA ANGKATAN 45 DAN ANGKATAN 66”.
Shalawat dan salam pemakalah marilah kita bacakan kepada seorang pembawa agama yang sempurna dan diridhai Allah. Karena berkat kerja keras dan perjuangan beliau Islam dapat berdiri tegak diatas bumi Allah dan menjadi landasan hidup bagi seluruh umat manusia. Beliau adalah Nabi Muhammad Saw.
Terimakasih kepada seluruh pihak yang telah memberi dukungan serta ide-ide dalam penyusunan makalah ini. Selanjutnya tidak lupa pula rasa terimakasih saya tujukan kepada dosen kami, Ibu selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Pemakalah berharap makalah ini dapat memberi manfaat positif bagi setiap orang yang
membacanya. Semoga dengan adanya makalah ini dapat memberi pemahaman yang lebih baik mengenai Sejarah Sastra.
Fisabililhaq Fastabiqqul Khairat
Wassalamualaikum Wr Wb
Penyusun
DAFTAR ISI
Mukadimah ... 2
Daftar Isi ... 3
BAB I : Pendahuluan ... 4
A. Latar Belakang Masalah
...
BAB II : Pendahuluan ... 6
A. Perjalanan Singkat Sastra Angkatan ’45
... 6
1. Sejarah Sastra Angkatan ’45
... 7
2. Aliran Sastra Angkatan ’45
... 7
3. Karakteristik Karya Sastra Angkatan ’45
... 8
4. Bentuk Karya Sastra Angkatan ’45
... 8
B. Sastra Angkatan 66 9
... 11
BAB III : Penutup ... 13
A. Kesimpulan
... 13
B. Saran
... 14
DAFTAR PUSTAKA ... 15
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Suatu karya sastra dianggap ideal apabila mencakup setidaknya lima aspek. Yang pertama adalah waktu. Waktu yang dimaksud adalah periodisasi atau angkatan yang menggolongkan karya sastra tersebut. Baik angkatan 1920-an, 1933, 1942, 1945, 1953, 1966 dan seterusnya. Yang kedua adalah wilayah. Karya sastra tersebut harus berada di territorial Indonesia yaitu dari sabang sampai merauke. Yang ketiga dalah bahasa. Sastra Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Yang keempat adalah bangsa. Satra Indonesia yang ideal harus dikarang oleh orang berkebangsaan Indonesia. yang kelima adalah isi karya. Isi karya sastra Indonesia yang ideal adalah bercerita tentang bangsa maupun kehidupan orang Indonesia itu sendiri. Walaupun pengarang karya tersebut adalah orang Indonesia, namun karyanya tidak menggunakan bahasa Indonesia tidak dapat disebut sastra Indonesia yang ideal. Jika karya itu sudah diterjemahkan menggunakan bahasa Indonesia disebut sastra terjemahan.
Seiring berjalannya waktu, sejarah sastra Indonesia mengikuti perkembangan jamannya. Begitu pula pada karya sastra angkatan 66. Pada periode ini, lebih bersifat mengkritik pemerintahan maupun politik. Pada angkatan ini, sastrawan sudah mulai mengkritisi keadaan pemerintah maupun politik yang ada pada jaman itu. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas lebih detail mengenai “Sastra Angkatan 66.”
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa latar belakang sastra angkatan 45 dan 66? 2. Bagaimana ciri-ciri sastra angkatan 45 dan 66? 3. Siapa saja sastrawan angkatan 45 dan 66?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui latarbelakang lahirnya sastra angkatan 45 dan 66. 2. Untuk mengetahui ciri-ciri sastra angkatan 45 dan 66.
\
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke waktu. Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra yaitu ilmu yang mempelajari tentang sastra dengan berbagai permasalahannya. Di dalamnya tercakup teori sastra, sejarah sastra dan kritik sastra, dimana ketiga hal tersebut saling berkaitan.
Selanjutnya (Todorov; 1985: 61) mengatakan bahwa tugas sejarah sastra adalah:
1. meneliti keragaman setiap kategori sastra.
2. meneliti jenis karya sastra baik secara diakronis, maupun secara sinkronis.
3. menentukan kaidah keragaman peralihan sastra dari satu masa ke masa berikutnya.
Dimulai pada tahun 1942. Tahun 1942 (9 Maret = pengambilalihan kekuasaan Jepang di
Indonesia) merupakan tahun yang sangat penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, termasuk kesusastraannya. Sejak tahun itu terjadilah perubahan besar-besaran, revolusi kebudayaan
dimulai tahun itu.
Segala hal yang mengingatkan budaya Barat harus dilenyapkan. Bahasa Belanda tidak boleh dipergunakan lagi. Sebagai gantinya dipakai bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di kantor-kantor dan surat-surat keputusan.
Pada tahun itu Pujangga Baru berhenti karena Jepang tidak menginginkan sifatnya yang kebarat-baratan. Sastra Balai Pustaka juga terhenti karena pemerintah Belanda (sebagai pendukung kesusastraan ini) telah tumbang.
Kemudian muncullah angkatan sastra baru, Angkatan 45 (sastra angkatan 45), yang didahului dengan masa pertunasan (sastra zaman Jepang). Angkatan 45 melahirkan karya-karya sastra yang bersifat romantis realistik (berbeda dengan Pujangga Baru yang bersifat romantis idealistik = HB Jassin).
Dalam waktu yang singkat, Indonesia menghasilkan banyak karya sastra besar pada angkatan ini. Sajak-sajak Chairil Anwar, roman-roman Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis dan Achdiat Kartamihardja merupakan tonggak-tonggak penting dalam perjalanan sastra Indonesia.
Pengalaman kehidupan nyata merekalah yang membuat karya-karya angkatan ini menjadi besar. Angkatan 45 rata-rata terganggu pendidikan formalnya. Kaum sastrawan Angkatan 45 masih termasuk golongan masyarakat menengah, terdidik, dan kaum muda pada zamannya. Sastra Indonesia menemukan identitas dirinya sejak angkatan ini.
1. SEJARAH SASTRA ANGKATAN 45
Nama “Angkatan 45” baru diberikan pada tahun 1949 oleh Rosihan Anwar, meski tidak disetujui banyak sastrawan. Keberatan itu karena nama itu kurang pantas ditujukan pula kepada para pengarang, yang notabene berbeda dengan para pejuang kemerdekaan (yang diberi predikat sebelumnya sebagai Angkatan 45).
Ada 4 tokoh utama yang sering dianggap sebagai pelopor Angkatan 45: Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus. Chairil seorang individualis dan anarkhis. Asrul aristokrat dan moralis. Idrus penuh dengan sinisme. Rivai lebih dikenal sebagai nihilis.
2. ALIRAN SASTRA ANGKATAN 45
Ekspresionisme merupakan aliran seni yang berkembang setelah kemerdekaan
diproklamasikan. Ekspresionisme yang mendasari Sastra Angkatan 45 sebenarnya sudah berkembang lama di Eropa (penghujung abad ke-19) seperti Baudelaire, Rimbaud, Mallarme (Prancis), F.G. Lorca (Spanyol), G. Ungaretti (Italia), T.S Eliot (Inggris), G.Benn (Jerman), dan H. Marsman (Belanda).
Aliran ekspresionisme timbul sebagai reaksi terhadap aliran impresionisme. Dalam sastra Indonesia, Pujangga Baru bersifat impresionistik dan Angkatan 45 mereaksinya dengan aliran ekspresionistik.
Penyair ekspresionis tidak ditentukan oleh alam, justru penyairlah yang menentukan
gambaran alam. Kritikus pertama yang dapat memahami sajak-sajak Chairil Anwar ialah HB Jassin. Kritikus ini pulalah yang membela dan menjelaskan karya-karya Chairil yang bersifat ekspresionis itu.
Berbeda dengan Pujangga Baru yang beraliran romantik impresionistik sehingga melahirkan sajak-sajak yang harmonis, Angkatan 45 melahirkan sajak-sajak yang penuh kegelisahan, pemberontakan, agresif dan penuh kejutan. Vitalisme dan individualisme melahirkan sajak-sajak penuh pertentangan semacam itu.
3. KARAKTERISTIK KARYA SASTRA ANGKATAN 45
1. Puisi-puisinya bercorak bebas, tidak terikat pembagian bait, baris, atau rima
2. Lebih bergaya ekspresionisme individualisme. Karya-karya yang lahir merupakan isi perasaan pikiran serta sikap pribadi penulis atau pengarangnya.
3. Beraliran realisme karena mengungkapkan sesuatu yang telah biasa dilihat atau ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Bahasanya menggunakan bahasa sehari-hari, lebih mementingkan isi daripada bentuk 5. Puisinya berisi tentang individualisme dan prosanya mengemukakan masalah
kemasyarakatan sehari-hari terutama dengan latar perang kemerdekaan
6. Karya sastranya lebih banyak mengemukakan masalah kemanusiaan yang universal 7. Filsafat eksistensialisme mulai dikenal.
4. BENTUK KARYA SASTRA ANGKATAN ‘45
1. Puisi, pada Angkatan 45 dan sesudahnya berisi akibat dari peperangan dan perjuangan gerilya;
2. Novel, pada Angkata 45 novel lebih banyak dihasilkan dari pada roman;
3. Drama, setelah perang kemerdekaan, drama dibuka oleh El-Hakim dan Idrus, serta diberi bentuk selanjutnya oleh Usman Ismail, Armijn Pane, dan Rustandi Kartakusuma;
4. Cerpen, isinya menggambarkan perikehidupan manusia.
B. SASTRA ANGKATAN 66
Kenyataan sejarah membuktikan bahwa sejarah awal pertumbuhan sastra Indonesia, para pengarang sudah menunjukkan perhatian yang cukup serius terhadap dunia politik. Nama
angkatan 66 pertama kali digunakan oleh H.B.Jassin. dalam angkatan 66:Prosa dan Puisi. Dalam buku ini pertama kali H.B.Jassin menyampaikan penolakannya terhadap angkatan 50 dengan mengutip pernyataan Ajip Rosidi dalam Simposium Sastra Pekan Kesenian Mahasiswa di Jakarta pada tanggal 14 Agustus 1960. H.B.Jassin mengkritisi semua konsepsi-konsepsi angkatan 50 dan angkatan terbarunya Ajip Rosidi dengan nada emosional dan keras. Alasan utama penafsiran angkatan 50 dan angkatan terbaru adalah kedekatn massa dengan angkatan sebelumnya yaitu angkatan 45 sehingga tidak ada konsep yang berlainan dengan angkatan sebelumnya tersebut (Jassin, 2013: 17-8).
Sebelum munculnya nama sastra angkatan 66, WS Rendra dan kawan-kawannya dari Yogya pernah mengumumkan nama sastra angkatan 50 pada akhir 1953. Nama ini tidak popular dan kemudian dilupakan orang. Secara politis lahirnya angkatan ini dilatarbelakangi oleh pergolakan politik dalam masyarakat dan penyelewengan-penyelewengan pemimpin-pemimpin Negara yang tidak memiliki moral, agama, dan rasa keadilan demi kepentingan pribadi dan golongan.
Penyelewengan tersebut antara lain pelanggaran terhadap Pancasila sebagai dasar Negara dan UUD 45 dengan memasukkan komunis sebagai sebuah nilai keindonesiaan yang tentu saja melanggar sila pertama. Selain itu, pengangkatan Soekarno sebagai presiden seumur hidup tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Hal-hal tersebut membuat Negara menjadi semakin terpuruk dan rakyat menderita. Akhirnya, dengan semangat kebangkitan angkatan 66 masyarakat menolak kebudayaan didominasi oleh politik. Perlawanan ini dilakukan oleh semua kalangan yang diawali oleh gerakan mahasiswa, selain pemberontakan-pemberontakan di daerah-daerah seluruh
Peristiwa politik tersebut berimplikasi pada paham sastra yang berkembang pada masa tersebut. Terdapat dua kelompok, yaitu golongan penulis yang terkumpul dalam lekra dan para seniman penandatangan manifest kebudayaan. Selain itu, terdapat sastrawan yang tidak terkumpul pada keduanya yang tetap pada posisi netral. Lekra, mulanya bukan lembaga budaya PKI. Menjadi salah satu media dalam metode penyerangan terhadap berbagai bidang PKI yang agresif. Serangan dilakukan pada orang-orang yang tidak bersedia mendukung PKI. Salah satu tokoh yang diserang adalah Hamka.
Maka pada awal Agustus 1963 di Bogor dan di Jakarta diadakan pertemuan-pertemuan antara tokoh budaya, pengarang dan seniman lainnya untuk membahas manifest kebudayaan. Manifest kebudayaan adalah perlawanan-perlawanan yang dilakukan para budayawan dan sastrawan akibat tekanan yang bertambah besar dari pihak komunis dan pemimpin bangsa yang mau menyelewengkan negara. Hasil rumusan itu dibawa kedalam sidang lengkap pada tanggal 24 Agustus 1963. Selaku pimpinan sidang Gunawan Muhamad dan sekretarisnya Bokor Hutasuhut sidang memutuskan naskah manifest kebudayaan yang bunyinya sebagai berikut :
1. Kami para seniman dan cendikiawan Indonesia dengan ini mengumumkan sebuah Manifes Kebudayaan yang menyatakan pendirian, cita-cita dan politik Kabudayaan Nasional kami.
2. Bagi kami kebudayaan adalah perjuangan untuk menyempurnakan kondisi hidup manusia. Kami tidak mengutamakan salah satu sector kebudayaan di atas sector
kebudayaan yang lain. setiap sector berjuang bersama-sama untuk kebudayaan itu sesuai dengan kodratnya.
3. Dalam melaksanakan kebudayaan nasional kami berusaha menciptakan dengan kesungguhan yang sejujur-jujurnya sebagai perjuangan untuk mempertahankan dan mengembangkan martabat dari kami sebagai bangsa Indonesia di tengah-tengah masyarakat bangsa-bangsa.
4. Pancasila adalah falsafah kebudayaan kami.
Manifest kebudayaan ini pertama kali dipublikasikan dalam surat kabar Berita Republik
(Jakarta). Manifest tersebut ditandatangani pada 17 Agustus 1963 oleh beberapa pengarang antar lain H.B.Jassin, Zain, Trisno, Sumardjo, Goenawan Mohamad, Bokor Hutasuhut, Wiratmo Soekito, dan Soe hok djin. Pasca diumumkan, manifest tersebut didukung oleh seniman-seniman di daerah. Namun, Lekra tidak tinggal diam. Dengan menggunakan pengaruh dalam
kebudayaan dan orang-orang yang menandatanganinya. Soekarno menyatakan bahwa manifest kebudayaan dilarang. Penandatanganan manifest tersebut diusir dari tiap kegiatan, ditutup segala kemungkinan untuk mengumumkan karya-karyanya, bahkan yang menjadi pegawai pemerintah dipecat dari pekerjaannya.
Terbitan yang menjadi tempat menulis dituntut untuk ditutup. Salah satunya majalah Sastra yang didirikan H.B.Jassin. Angkatan 66 dalam sastra Indonesia mencakup kurun waktu tahun 1963-1970-an. Disamping itu, karya tahun 1966 ini tidak hanya bercirikan protes sosial, politik, ekonomi melainkan juga bercirikan agama. Hal ini dimaksud pengarang untuk membedakan dirinya dari pengarang lekra yang cenderung ateis. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada karya Taufik Ismail, yang semula menulis puisi demontrasi, kemudian menulis puisi-puisi yang bersumber dari Tarikh dan Hadith.
1. Ciri-ciri Sastra Angkatan 66
Ciri-ciri sastra angkatan 66 dikelompokan menjadi 2 kelompok, yaitu :
1. Kelompok sastra 60 sampai dengan 66 merupakan masa kejayaan sastrawan Lekra yang bernaung di bawah panji-panji PKI. Sastrawan yang bersebrangan dengan PKI dapat dikatakan kurang berkembang, apalagi manifest kebudayaan yang menjadi konsepsinya dicekal dan dilarang pemerintah.
2. Kelompok sastra tahun 66 sampai dengan 70-an. Masa ini didominasi oleh karya-karya yang berisi protes terhadap pemerintah. Dari segi isi, konsepsinya adalah pancasila dan UUD 45. Dari protes sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan dengan berapi-api dan retorikanya sangat kuat beralih kecurahan hati dan perasaan lega pengarang yang sekian tahun tertindas. Pada akhirnya tema-tema agama menjadi warnanya.
Para pengarang yang diklasifikasikan oleh HB.Jassin ke dalam angkatan 66 yang menulis prosa dan puisi sebagai media perjuangan adalah:
1. Taufik Ismail. Lahir di Bukit Tinggi tahun 1937. Profesinya adalah seorang dokter hewan, juga dikenal sebagai seorang penyair yang handal. Sajak-sajaknya penuh dengan protes-protes terhadap ketidakadilan dan penyelewengan.
3. Saini. Lahir di Sumedang tahun 1938. Beliau menulis beberapa prosa, seperti novel, cerpen, puisi termasuk drama. Disamping itu ada juga karyanya seperti kritik dan esai. Sajak-sajaknya yang terkenal diterbitkan dalam kumpulan sajak yang diberi judul “Nyanyian Tanah Air”
4. Sapardi Djoko Damono, lahir 23 Maret 1940 di Solo, beliau adalah lulusan Universitas Gajah Mada.
5. Gerson Poyk, lahir 16 Juni 1931 di Pulau Roti. Karyanya yang terkenal adalah “Hari-hari Pertama” bersifat religious, Mutiara di Tengah Sawah.
6. Tocty Heraty, lahir 27 November 1933 di Bandung. Beliau adalah lulusan Fakultas Psikologi di UI dan sebagai dosen di Almamaternya.
7. Andrea Alexandre Leo, lahir 19 Agustus 1935 di Sumatra Selatan. Pernah masuk Perguruan Tinggi Jurnalistik, Akademi Teater Nasional (1955-1956) di Jakarta. Karya-karyanya banyak dimuat di majalah-majalah, seperti Jembatan Tertutup, Nusantara dan lain-lainnya.
Masih banyak pengarang dan penyair angkatan 66 lainnya yang mempunyai andil besar dalam mempertahankan Pancasila antara lain : Taha Mochtar, Arifin C. Noer, Bokor Hutasuhut, Bur Rasuanto, Ayip Rosidi, W.S.Rendra, NH.Dhini, Iswi Sawitri, Abdul Wahid, Situmcang,
Satyagraha Hocrip, Masnur Samin, Subagio Sastro Wardoyo, dan lain-lainnya. beliau ini dapat digolongkan ke angkatan pejuang dalam membela Negara untuk tetap tegaknya Pancasila dan UUD 45.
BAB III
A. KESIMPULAN
1. Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia dengan menampilkan sajak-sajak yang bernilai tinggi memberikan sesuatu yang baru bagi dunia sastra tanah air. Bahasa yang dipergunakannya adalah bahasa Indonesia yang berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra (Rosidi, 1965: 91). Dengan munculnya kenyataan itu, maka banyaklah orang yang berpendapat bahwa suatu angkatan kesusateraan baru telah lahir. Angkatan ini memiliki beberapa sebutan, yaitu Angkatan ’45, Angkatan Kemerdekaan, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Perang, Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Sesudah Pujangga Baru,
Angkatan Pembebasan, dan Generasi Gelanggang.
2. Angkatan ’45 mewakili tema tentang kegetiran nasib di tengah penjajahan Jepang yang sangat menindas, menampilkan cita-cita merdeka dan perjuangan revolusi fisik. Pada masa Jepang untuk berkelit dari sensor penguasa, berkembang sastra simbolik. Muncul ungkapan-ungkapan yang singkat-padat-bernas (gaya Chairil Anwar dalam puisi) dan kesederhanaan baru dengan kalimat pendek-pendek nan lugas (gaya Idrus dalam prosa fiksi/sketsa).
3. Kelompok sastra 60 sampai dengan 66 merupakan masa kejayaan sastrawan Lekra yang bernaung di bawah panji-panji PKI. Sastrawan yang bersebrangan dengan PKI dapat dikatakan kurang berkembang, apalagi manifest kebudayaan yang menjadi konsepsinya dicekal dan dilarang pemerintah.
4. Kelompok sastra tahun 66 sampai dengna 70-an, Masa ini didominasi oleh karya-karya yang berisi protes terhadap pemerintah. Dari segi isi, konsepsinya adalah pancasila dan UUD 45. Dari protes sosial, ekonomi, dan politik yang dikemukakan dengan berapi-api dan retorikanya sangat kuat beralih kecurahan hati dan perasaan lega pengarang yang sekian tahun tertindas. Pada akhirnya tema-tema agama menjadi warnanya.
5. Para pengarang yang diklasifikasikan oleh HB.Jassin ke dalam angkatan 66 yang menulis prosa dan puisi sebagai media perjuangan adalah:
B. SARAN
Jangan sekali-sekali melupakan sejarah.