• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian penyakit Filariasis - Chapter II (823.1Kb)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian penyakit Filariasis - Chapter II (823.1Kb)"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian penyakit Filariasis

Filum nematoda termasuk salah satu filum yang besar, memiliki lebih dari 10.000 spesies, berukuran kecil, berbentuk selinder, seperti benang dengan tubuh yang meruncing pada kedua ujung. Anggota-anggota filum ini disebut cacing bulat (roundworms) dan merupakan jenis yang sukses membuat kolonisasi dalam berbagai habitat.

Nematoda terdapat dimana-mana dalam jumlah yang sangat besar terutama di lautan, mengkolonisasi danau-danau, sungai, rawa, dan berbagai jenis tanah mulai dari antartika hingga daerah tropis. Nematoda merupakan parasit pada berbagai jenis organisme seperti gangang, jamur, hewan, dan tumbuhan.

Nematoda merupakan organisme penting karena banyak anggota-anggota yang bersifat parasit, antara lain Nippostrongylus sembeli (Heligmonellidae) pada tikus: Meloidogyne, Tylenchulus, dan Heterodera pada tanaman sayur-sayuran serta

Ascaris, Trichina, dan filaria pada manusia (Walker, 1969, Hasegawa dan Tarore, 1995). Salah satu anggota nematoda yang merupakan parasit penting pada manusia adalah cacing filaria yang menyebabkan penyakit filariasis. (Sembel,2009)

(2)

bening serta pada stadium lanjut berupa cacat anggota tubuh. Cacing tersebut hidup dikelenjar dan saluran getah bening (limfe) sehingga menimbulkan peradangan pada kelenjar dan saluran getah bening (andenolymphangitis) terutama pada daerah pangkal paha dan ketiak, peradangan ini disertai demam yang timbul berulang kali dan dapat berlanjut menjadi abses yang dapat pecah dan menimbulkan jaringan parut. Apabila tidak mendapatkan pengobatan yang sempurna dapat menimbulkan cacat menetap yang sukar disembuhkan berupa pembesaran pada kaki, lengan, payudara, scrotum, dan kelamin wanita. (Achmadi, 2001)

2.1.1 Mekanisme Penyebaran Penyakit Filariasis 2.1.1.1 Agen (Penyebab Filariasis)

Penyebab Filariasis menurut Ditjen PPM&PL (2002) adalah parasit nematoda jaringan. Ada tiga jenis nematoda jaringan yang ditemukan di Indonesia sebagai penyebab Filariasis yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori.

2.1.1.2 Wuchereria Bancrofti

Wuchereria bancrofti merupakan parasit manusia yang menyebabkan filariasis bancrofti atau wuchereria bancrofti, penyakit ini tergolong ke dalam filariasis limfatik, bersamaan dengan penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi

(3)

mempunyai periodisitas. Pada umumnya mikrofilaria Wuchereria bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam hari. Pada siang hari mikrofilaria terdapat di kapiler alat dalam (Paru-paru, Jantung, Ginjal)

Di daerah Pasifik, mikrofilaria W.bancrofti mempunyai perioditas subperiodikdiurna. Mikrofilaria terdapat di dalam darah siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu siang. (Utama, 2008)

Daur hidup wuchereria bancrofti memerlukan waktu sangat panjang masa pertumbuhan parasit di dalam tubuh nyamuk kira-kira 2 minggu dan masa pertumbuhan parasit di dalam tubuh manusia kira-kira 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan dalam Presbytis cristata (lutung). Di daerah perkotaan parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinguefasciatus, di pedesaan vektor penularannya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. (Utama, 2008)

2.1.1.3 Brugia malayi

Brugia malayi dapat dibagi dalam dua varian yaitu yang hidup pada manusia dan yang hidup manusia dan hewan misalnya kucing, kera. Penyakit yang disebabkan oleh Brugia malayi disebut dengan Filariasis malayi .Brugia malayi hanya terdapat di Asia, dari India sampai ke Jepang. Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan pembuluh limfe, bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina berukuran 55 mmx 0,16 mm dan mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung ukuran mikrofilaria Brugia malayi adalah 200-260 mikron x 8 mikron dan yang jantan berukuran 22-23 mm x 0,09 mm. Perioditasi mikrofilaria Brugia malayi

(4)

terdapat dalam darah tepi siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu malam hari.

Daur hidup di dalam nyamuk kurang dari 10 hari dan pada manusia kurang dari 3 bulan mengalami dua kali pergantian kulit berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II dan III. Di dalam tubuh nyamuk parasit ini Brugia malayi

yang hidup pada manusia di tularkan oleh nyamuk Anopheles barbirostris dan yang hidup pada hewan di tularkan nyamuk Mansonia. (Utama,2008)

2.1.1.4 Brugia timori

Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Penyakit yang di sebabkan oleh

Brugia timori di sebut Filariasis timori. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur di pulau Timor, Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tengara Timur. Cacing dewasa betina dan jantan hidup di saluran dan pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu, cacing betina berukuran 21-39 mm x 0,1 mm dan yang jantan 13-23 mm x 0,08 mm, cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dan ukuran mikrofilaria Brugia timori adalah 280-310 mikron x 7 mikron. Perioditas mikrofilaria Brugia timori adalah periodik nokturna.

Daur hidup di dalam nyamuk kurang dari 10 hari dan pada manusia kurang dari 3 bulan, Brugia timori yang hidup pada manusia ditularkan oleh nyamuk

(5)

2.1.2 Morfologi Cacing Filaria

Menurut Nugroho tahun 1996 bahwa secara umum daur hidup ketiga spesies cacing tersebut tidak berbeda. Daur hidup parasit terjadi didalam tubuh manusia dan tubuh nyamuk. Cacing dewasa (disebut makrofilaria) hidup di saluran dan kelenjar limfe, sedangkan anaknya (disebut mikrofilaria) ada di dalam sistem peredaran darah. 1. Makrofilaria

Makrofilaria (cacing dewasa) berbentuk silindris, halus seperti benang berwarna putih susu dan hidup sistem limfe. Cacing betina bersifat ovovivipar dan berukuran 55-100 mm x 0,16 mm, dapat menghasilkan jutaan mikrofilaria. Cacing jantan berukuran lebih kecil ± 55 mm x 0,09 mm dengan ujung ekor melingkar. 2. Mikrofilaria

(6)

Tabel 2.1 Jenis Mikrofilaria Yang Terdapat Di Indonesia Dalam Sediaan Darah Pewarnaan Giemsa

No Karakteristik W.bancrofti B.malayi B.timori

1. Gambaran umum

2. Perbandingan lebar dan panjang ruang

240-300 175-230 265-325

5. Inti badan Halus.

Sumber : Nugroho, 1996

3. Larva Dalam Tubuh Nyamuk

(7)

stadium 2 ini larva menunjukkan adanya gerakan. Hari ke 8-10 pada spesies Brugia

atau pada hari ke 10-14 pada spesies Wuchereria larva tumbuh menjadi larva stadium 3 (L3) yang berukuran ± 1400 µm x 20 µm Larva stadium L3 tampak panjang dan ramping di sertai dengan gerakan yang aktif stadium 3 ini merupakan cacing infektif. (Husada, 1990)

2.1.2.1 Daur Hidup Nyamuk

Nyamuk termasuk dalam kelompok serangga yang mengalami metamorfosis sempurna dengan bentuk siklus berupa bentuk telur, larva, pupae, dan bentuk nyamuk dewasa. Dalam hal ini nyamuk dewasa yang hidup di dalam bebas, sedangkan ketiga stadium lainnya hidup dan berkembang di dalam air.

1. Culex

a.Telur

Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air dalam bentuk kelompok (raft). Dalam satu kelompok bisa terdapat puluhan atau ratusan butir telur nyamuk, biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan.

b.Larva

Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, Jentik nyamuk culex

(8)

Larva biasanya melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 (tujuh) hari.

c. Pupa

Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa

Nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya, nyamuk dewasa terbang mencari makan. Dalam keadaan istirahat bentuk dewasa dari culex hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan. (Sembel, 2009)

2. Anopheles a. Telur

Telur nyamuk Anopheles berbentuk oval panjang, kedua ujungnya lancip dan mempunyai pelampung, meletakkan telur di atas permukaan air satu per satu terpisah. biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan.

b. Larva

(9)

horizontal atau sejajar dengan permukaan air yang berguna untuk mendapatkan oksigen dari udara. Larva biasanya akan berpupasi sesudah sekitar 7(tujuh) hari.

Larva berbentuk siphon yang pendek sekali atau siphon spiracle berbentuk seperti cincin pada ruas ke delapan abdomen. Pada ruas abdomen terdapat palmate hair.

c. Pupa atau jentik

Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa

Setelah melewati masa pertumbuhan dari pupa selanjutnya berkembang menjadi nyamuk dewasa, nyamuk dewasa yang baru keluar dari pupa berhenti sejenak di atas permukaan air untuk mengeringkan tubuhnya terutama sayap-sayapnya dan sesudah mampu mengembangkan sayapnya nyamuk dewasa terbang mencari makan dan dalam keadaan istirahat

(10)

3. Aedes a. Telur

Telur biasanya diletakkan di atas permukaan air dalam bentuk satu persatu. Dalam satu kelompok bisa terdapat puluhan atau ratusan butir telur nyamuk, biasanya telur tersebut akan menetas 2-3 hari sesudah diletakkan. b. Larva

Telur menetas menjadi larva atau sering juga disebut jentik. Larva nyamuk memiliki kepala yang cukup besar serta toraks dan abdomen yang cukup jelas. Larva dari kebanyakan nyamuk menggantungkan dirinya pada permukaan air. Untuk mendapatkan oksigen dari udara, Jentik nyamuk Aedes

biasanya menggantungkan tubuhnya agak tegak lurus pada permukaan air. Larva biasanya melakukan pergantian kulit empat kali dan berpupasi sesudah sekitar 7 (tujuh) hari.

c. Pupa

Sesudah melewati pergantian kulit keempat, maka terjadi pupasi. Pupa berbentuk agak pendek, tidak makan, tetapi tetap aktif bergerak dalam air terutama bila diganggu. Mereka berenang naik turun dari bagian dasar ke permukaan air. Bila perkembangan pupa sudah sempurna yaitu sesudah dua atau tiga hari maka kulit pupa pecah dan nyamuk dewasa keluar serta terbang. d. Nyamuk dewasa

(11)

makan. Dalam keadaan istirahat bentuk dewasa dari culex hinggap dalam keadaan sejajar dengan permukaan. (Sembel, 2009)

2.1.2.2 Perilaku Nyamuk

Menurut Sembel (2009) perilaku nyamuk selalu memerlukan 3 tempat untuk kelangsungan hidupnya yaitu :

a. Perilaku Mencari Darah

Beberapa spesies nyamuk dalam perilaku mencari darah berbeda yaitu pada nyamuk Culex aktif pada waktu pagi, siang, dan pada waktu sore atau malam. Pada nyamuk Aedes dalam mencari darah aktif pada siang hari. Pada nyamuk Anopheles

ini ada yang aktif terbang pada waktu pagi, siang, sore ataupun malam.

Dihubungkan dengan tempat ada spesies nyamuk yang aktifitas menggigit lebih cenderung di dalam rumah (Endophagic) namun ada pula yang cenderung menggigit di luar rumah saja (Exsophagic) yaitu biasanya terdapat pada nyamuk

Anopheles

Berdasarkan pada macam darah yang di senangi dapat dibedakan antara nyamuk yang menggigit manusia saja (anthropopilik) dan ada pula yang hanya menggigit hewan (zoopilik) namun ada pula yang tidak mempunyai pilihan tertentu dalam mencari sumber darah.

(12)

b. Perilaku Istirahat

Istirahat bagi nyamuk memiliki arti istirahat yang sebenarnya menunggu proses pematangan telur dan istirahat sementara yaitu pada saat nyamuk masih aktif mencari darah. Pada waktu malam hari ada nyamuk yang masuk ke dalam rumah hanya untuk menghisap darah kemudian keluar, ada pula yang sebelum menggigit maupun yang sudah menggigit hinggap pada dinding rumah untuk istirahat.

c. Perilaku Berkembang Biak

Nyamuk mempunyai kemampuan untuk memilih peridukan atau tempat untuk berkembang biak dengan kebutuhannya. Ada spesies yang senang terkena matahari langsung dan ada pula yang memilih pada tempat yang teduh, ada yang senang di air payau, pada air yang jernih dan ada pula yang senang di air kotor. (Sembel, 2009) 2.1.2.3 Tempat Berkembang Biak Nyamuk

Diketahui bahwa tempat berkembang biak nyamuk adalah pada genangan – genangan air. Pemilihan tempat peletakan telur dilakukan oleh nyamuk betina dewasa. Pemilihan tempat yang disenangi sebagai tempat pembiakan dilakukan secara turun temurun oleh seleksi alam. Berdasarkan tempat tersebut maka dapat dibedakan berdasarkan jenis nyamuk yaitu:

a. Culex

(13)

b. Aedes

Aedes biasanya meletakkan telur dan berbiak pada tempat-tempat penampungan air bersih atau air hujan seperti bak mandi, tangki penampungan air, vas bunga (di rumah, sekolah, kantor), kaleng-kaleng atau kantung-kantung plastik bekas, di atas lantai gedung terbuka, bambu pagar, dan semua bentuk kontainer yang dapat menampung air bersih. Jentik-jentik nyamuk dapat terlihat berenang naik turun di tempat-tempat penampungan air tersebut. (Sembel, 2009)

c. Anopheles

Nyamuk Anopheles dapat berbiak dalam kolam-kolam air tawar yang bersih, air kotor, air payau, maupun air-air yang tergenang di pinggiran laut. (Sembel, 2009) 2.1.3 Rantai Penularan Filariasis

Penularan filariasis dapat terjadi bila ada tiga unsur yaitu:

1. Adanya sumber penularan yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung mikrofilaria dalam darahnya.

a. Manusia

(14)

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis misalnya transmigran walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang lebih berat.

b.Hewan

Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan resevoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya Brugia malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus). Pengendalian filariasis pada hewan resevoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia. (Utama, 2008)

2. Adanya vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis 3. Manusia yang retan terhadap filariasis

(15)

tertentu, sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.

Larva L3 Brugia malayi dan Brugia timori akan menjadi cacing dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan Wuchereria bancrofti

memerlukan waktu kurang lebih 9 bulan.

Disamping sulit terjadinya penularan dari nyamuk ke manusia, sebenarnya kemampuan nyamuk untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan ditularkan.

Kepadatan vektor, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap penularan filariasis. Suhu dan kelembaban berpengaruh terhadap umur nyamuk. sehingga mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak cukup waktunya untuk tumbuh menjadi larva infektif L3 (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa inkubasi untuk ekstrinsik untuk Wuchereria bancrofti antara 10-14 hari sedangkan

Brugia malayi dan Brugia timori antara 8-10 hari.

(16)

Skema Rantai Penularan Filariasis adalah sebagai berikut

(17)

2.1.4 Teori Simpul Filariasis

Teori Simpul Pada Penyakit Filariasis

Simpul 1 Simpul 2 Simpul 3 Simpul 4

Sumber. Achmadi, 1991

Gambar 2.2 .Teori Simpul Patogenesis Penyakit Filariasis

2.1.5 Gejala Klinis Filariasis

Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Pada kronisnya gejala klinis filariasis yang disebabkan oleh infeksi W.Barofti, B.malayi dan B.Timori

adalah sama, tetapi gejala klinis akut tampak lebih jelas dan lebih berat pada infeksi Sehat

Variabel lain yang berpengaruh

Suhu udara, kelembaban, tempat

(18)

oleh B.malayi, B.timori. Infeksi W.bancrofti dapat menyebabkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin, tetapi infeksi oleh B.malayi, B,timori tidak menimbulkan kelainan pada saluran kemih dan alat kelamin.

2.1.5.1 Gejala Klinis Akut

Gejala klinis akut berupa limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang disertai demam, sakit kepala, rasa lemah dan timbulnya abses. Abses dapat pecah dan kemudian mengalami penyembuhan dengan meninggalkan parut, terutama di daerah lipat paha dan ketiak. Parut lebih sering terjadi pada infeksi B.malayi, B.timori

dibandingkan karena infeksi W.bancrofti, demikian juga dengan timbulnya limfangitis dan limfadenitis tetapi sebaliknya pada infeksi W.bancrofti sering terjadi peradangan buah pelir (orkitis), peradangan epididimus (epididimitis) dan peradangan funikulus spermatikus (funikulitis). (Dinkes Sumut, 2010)

2.1.5.2 Gejala klinis Kronis

Gejala klinis kronis terdiri dari limfedama, lymp scrotum, kiluria, hidrokel a. Limfedema

Pada infeksi W.bancrofti terjadi pembengkakan seluruh kaki, seluruh lengan, skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, sedangkan pada infeksi Brugia terjadi pembengkakan kaki dibawah lutut, lengan dibawah siku dimana siku dan lutut masih normal.

b. Lymph Scrotum

(19)

kecil pada kulit, yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Ini mempunyai resiko tinggi terjadinya infeksi ulang oleh bakteri dan jamur, serangan akut berulang dan dapat berkembang menjadi limfeda skrotum. Ukuran skrotum kadang-kadang normal kadang-kadang sangat besar

c. Kiluria

Adalah kebocoran atau pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renal) oleh cacing filaria dewasa spesies W.bacrofti sehingga cairan limfe dan darah masuk ke dalam saluran kemih. Gejala yang timbul adalah sebagai berikut:

1. Air kencing seperti susu karena air kencing banyak mengandung lemak, dan kadang-kadang di sertai (haematuria)

2. Sukar kencing 3. Kelelahan tubuh 4. Kehilangan berat badan d. Hydrocele

Adalah pelebaran kantung buah zakar karena tertumpuknya cairan limfe di dalam tunica vaginalis testis. Hydrocele dapat terjadi pada satu atau dua kantung buah zakar dengan gambaran klinis dan epidemiologis sebagai berikut:

1. Ukuran skrotum kadang-kadang normal tetapi kadang-kadang sangat besar sekali, sehingga penis tertarik dan tersembunyi.

2. Kulit pada skrotum normal, lunak dan halus

(20)

membedakan hidrokel dengan komplikasi dan hidrokel tanpa komplikasi. Uji transiluminasi ini dapat di kerjakan oleh dokter puskesmas yang telah di latih.

4. Hydrocele banyak ditemukan di daerah endemis W.bancrofti dan di gunakan sebagai indikator adanya infeksi W,bancrofti. (DinKes Sumut, 2010).

2.1.6 Patogenesis Filariasis

Perkembangan klinis filariasis dipengaruhi oleh faktor kerentanan individu terhadap parasit, seringnya mendapat gigitan nyamuk, banyaknya larva infektif yang masuk ke dalam tubuh dan adanya infeksi sekunder oleh bakteri atau jamur. Secara umum pekembangan klinis filariasis dapat dibagi menjadi fase dini dan fase lanjut. Pada fase dini timbul gejala klinis akut karena infeksi cacing dewasa bersama-sama dengan infeksi oleh bakteri dan jamur. Pada fase lanjut terjadi kerusakan saluran kelenjar limfe, kerusakan katup saluran limfe, termasuk kerusakan saluran limfe kecil yang terdapat di kulit.

Pada dasarnya perkembangan klinis filariasis tersebut disebabkan karena cacing filaria dewasa yang tinggal dalam saluran limfe menimbulkan pelebaran (dilatasi) saluran limfe bukan penyumbatan (obstruksi) sehingga terjadi gangguan fungsi sistem limfatik :

(21)

kulit terhadap infeksi bakteri dan jamur yang masuk melalui luka-luka kecil maupun besar. keadaan ini dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack)

2. Terganggunya pengangkutan bakteri dari kulit atau jaringan melalui saluran limfe ke kelenjar limfe. Akibatnya bakteri tidak dapat dihancurkan (fagositosis) oleh sel Reticulo Endothelial System (RES) bahkan mudah berkembang biak dapat menimbulkan peradangan akut (acute attack)

3. Infeksi bakteri berulang akan menyebabkan serangan akut berulang (recurrent acute attack) sehingga menimbulkan berbagai gejala klinis sebagai berikut :

a. Gejala peradangan lokal berupa peradangan oleh cacing dewasa bersama-sama dengan bakteri Yaitu :

1. Limfangitis : peradangan di saluran limfe 2. Limfadenitis : peradangan di kelenjar limfe

3. Adeno limfangitis (ADL) : peradangan saluran dan kelenjar limfe 4. Abses (lanjutan ADL)

5. Peradangan oleh spesies Wuchereria bancrofti di daerah genital (alat kelamin) dapat menimbulkan epididimitis, funikulitis, dan orkitis

b. Gejala peradangan umum berupa demam, sakit kepala, sakit otot, rasa lemah. 4. Kerusakan sistem limfatik termasuk kerusakan saluran limfa kecil yang ada di kulit, menyebabkan menurunnya kemampuan untuk mengalirkan cairan limfe dari kulit dan jaringan ke kelenjar limfe sehingga dapat terjadi limfedema.

(22)

terjadi peningkatan stadium limfedema dimana pembengkakan yang semula terjadi hilang timbul (piting) akan menjadi pembengkakan menetap (non piting). (Oemijati, 2006)

2.1.7 Diagnosis Filariasis

Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan 1.Diagnosis Parasitologi

A. Deteksi parasit yaitu menemukan mikrofilaria di dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria pada pemeriksaan sediaan darah tebal dan teknik konsetrasi Knott, membran filtrasi.Pengambilan darah harus dilakukan pada malam hari (setelah pukul 20.00 wib) mengingat periodiditas mikrofilaria umumnya nokturna. Pada pemeriksaan hispatologi kadang-kadang potongan cacing dewasa dapat ditemukan di saluran dan kelenjar limfe dari jaringan yang dicurigai sebagai tumor.

B. Teknik biologi molekuler dapat digunakan untuk medeteksi parasit melalui DNA parasit dengan menggunakan reaksi rantai polimerase (Polymerase Chain Reaction/PCR). Teknik ini mampu memperbanyak DNA sehingga dapat digunakan untuk mendeteksi parasit pada cryptic infection. (Utama, 2008)

2. Radiodiagnosis

(23)

B. Pemeriksaan Limfosintigrafi dengan menggunakan dekstran atau albumin yang ditandai dengan zat radioaktif menunjukan adanya abnormalitas sistem limfatik sekalipun pada penderita yang asimptomatik mikrofilaremia. (Utama, 2008)

3. Diagnosis Imunologi

Deteksi antigen dengan immuno chromatographic test (ICT) yang menggunakan antibodi monoklonal telah dikembangkan untuk mendeteksi antigen

W.bancrofti dalam sirkulasi darah. Hasil tes positif menunjukkan adanya infeksi aktif walaupun mikrofilaria tidak ditemukan dalam darah.

Deteksi antibodi dengan menggunakan antigen rekombinan telah dikembangkan untuk deteksi antibodi subklas IgG4 pada filariasis Brugia. Kadar antibodi IgG4 meningkat pada penderita mikrofilaremia. Deteksi antibodi tidak dapat membedakan infeksi lampau dan infeksi aktif.

Pada stadium obstruktif mikrofilaria sering tidak ditemukan lagi dalam darah kadang-kadang mikrofilaria tidak dijumpai di dalam darah tetapi ada di dalam cairan hidrokel atau cairan kiluria. (Utama, 2008)

2.1.8 Penentuan Stadium Limfedema

Limfedema terbagi dalam 7 stadium atas dasar hilang tidaknya bengkak, ada tidaknya lipatan kulit, ada tidaknya nodul (benjolan), mossy foot (gambaran seperti lumut) serta adanya hambatan dalm melaksanakan aktivitas sehari-hari. Penentuan stadium ini penting bagi petugas kesehatan untuk memberikan perawatan dan penyuluhan yang tepat kepada penderita.

(24)

1. Penentuan stadium limfedema terpisah antara anggota tubuh bagian kiri dan kanan, lengan dan tungkai.

2. Penentuan stadium limfedema lengan (atas, bawah) atau tungkai (atas, bawah) dalam satu sisi dibuat dalam satu stadium lumfedema.

3. Penentuan stadium limfedema berpihak pada tanda stadium yang terberat. 4. Penentuan stadium limfedema dibuat 30 hari setelah serangan akut sembuh. 5. Penentuan stadium limfedema dibuat sebelum dan sesudah pengobatan dan

penatalaksanaan kasus.

Tabel 2.2.Stadium Limfedema/Tanda Kejadian Bengkak, Lipatan Dan Benjolan Pada Penderita Kronis Filariasis

Gejala Stadium

Menetap Menetap Menetap menetap, meluas

(25)

2.1.9 Penetapan Kabupaten/Kota Endemis

Dilakukan berdasarkan hasil survei cepat dan survei darah jari, dan ditetapkan oleh provinsi.

a. Survei Kasus Kronis Filariasis

Survei kasus kronis filariasis merupakan cara untuk menemukan kasus kronis, dan pada desa yang ditemukan kasus kronis terbanyak akan dilakukan survei darah jari. Dan cara memperoleh data kasus kronis filariasis adalah laporan dari masyarakat, kartu status di Puskesmas dan Rumah Sakit, Penemuan kasus oleh tenaga kesehatan. Dan dalam pelaksanaan adalah sebagai berikut :

1.Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mendistribusikan Formulir data kasus kronis Filariasis Desa (Formulir-1), formulir data kasus kronis filariasis Puskesmas (Formulir-2) dan bahan promosi berupa gambar kasus kronis filariasis ke semua Puskesmas di seluruh wilayah kerjanya.

2.Puskesmas membuat surat edaran penemuan kasus kronis filariasis kepada para Kepala Desa/Lurah dan tokoh masyarakat /kader di seluruh wilayah kerja Puskesmas yang dilampiri formulir data kasus kronis filariasis Desa (Formulir-1) dan media promosi.

3.Puskesmas melakukan sosialisasi kasus kronis filariasis pada pertemuan-pertemuan di kecamatan dan Desa serta menyebarluaskan media promosi di tempat-tempat umum.

(26)

5.Dilakukan konformasi kasus kronis filariasis oleh petugas Puskesmas

6.Data selanjutnya dicatat dalam formulir data kasus kronis filariasis Puskesmas (Formulir-2).

7.Formulir data kasus kronis filariasis puskesmas yang telah diisi dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. (DinKes Sumut, 2010)

Dari data kasus kronis yang diperoleh, dapat ditentukan Angka kesakitan Kronis (Chronic Disease Rate=CDR) di suatu desa dalam persen

𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶𝐶=𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ𝐾𝐾𝐽𝐽𝐾𝐾𝐽𝐽𝐾𝐾𝑓𝑓𝑓𝑓𝐽𝐽𝐽𝐽𝑓𝑓𝑓𝑓𝐽𝐽𝐾𝐾𝑓𝑓𝐾𝐾𝑑𝑑𝑓𝑓𝑑𝑑𝑑𝑑𝐾𝐾𝐽𝐽𝑦𝑦𝐽𝐽𝑦𝑦𝑦𝑦𝑑𝑑𝑓𝑓𝐾𝐾𝐽𝐽𝑓𝑓𝑑𝑑𝑑𝑑𝑓𝑓

𝑗𝑗𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ𝑝𝑝𝑑𝑑𝑦𝑦𝑑𝑑𝐽𝐽𝑑𝑑𝐽𝐽𝑝𝑝𝑑𝑑𝑑𝑑𝐾𝐾𝐽𝐽𝑡𝑡𝑑𝑑𝑓𝑓𝐾𝐾𝑑𝑑𝑡𝑡𝐽𝐽𝑡𝑡 𝑋𝑋 100 %

b. Survei Darah Jari

Adalah indentifikasi mikrofilaria dalam darah tepi pada suatu populasi yang bertujuan untuk menentukan endemisitas daerah tersebut dan intensitas intensitas infeksinya. Yang dimulai pada jam 20.00 waktu setempat dengan menghitung kepadatan Rata-rata Mikrofilaria dan Menghitung Mikrofilaria rate

1.Kepadatan rata-rata mikrofilaria dari hasil survei darah jari disatu Desa adalah angka rata-rata mikrofilaria permili liter darah yang dihitung dengan menjumlahkan semua mikrofilaria yang ditemukan pada semua sedian dibagi dengan jumlah orang yang sediaannya positif, kemudian dikalikan faktor pengali.

(27)

Mf Rate =𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ𝐾𝐾𝑑𝑑𝑑𝑑𝑓𝑓𝐽𝐽𝐽𝐽𝑦𝑦 𝑑𝑑𝐽𝐽𝑓𝑓𝐽𝐽ℎ𝑝𝑝𝑝𝑝𝐾𝐾𝑓𝑓𝑡𝑡𝑓𝑓𝑓𝑓𝐽𝐽𝑓𝑓𝑝𝑝𝑓𝑓𝑝𝑝𝑓𝑓𝑓𝑓𝐽𝐽𝐽𝐽𝑓𝑓𝑓𝑓𝐽𝐽

𝑗𝑗𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽𝐽ℎ𝐾𝐾𝑑𝑑𝑑𝑑𝑓𝑓𝐽𝐽𝐽𝐽𝑦𝑦𝑑𝑑𝐽𝐽𝑓𝑓𝐽𝐽ℎ𝑑𝑑𝑓𝑓𝑝𝑝𝑑𝑑𝑓𝑓𝑓𝑓𝑝𝑝𝐾𝐾𝐽𝐽 𝑋𝑋 100 %

Bila Mf.Rate > 1% di salah satu atau lebih lokasi survei maka Kabupaten/Kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis filariasis dan harus melaksanakan pengobatan massal.

Bila Mf Rate < 1 % pada semua lokasi survei maka Kabupaten/Kota tersebut ditetapkan sebagai daerah endemis rendah dan melaksanakan pengobatan selektif yaitu pengobatan hanya diberikan pada setiap orang yang positif mikrofilaria beserta anggota keluarga serumah. (DinKes Sumut, 2010)

2.1.10 Program Eliminasi Filariasis

Adalah tercapainya keadaan dimana penularan filariasis di tengah-tengah masyarakat sedemikian rendahnya sehingga penyakit ini tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat. Pada tahun 1997 WHO membuat resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah, Pada tahun 2000 WHO menetapkan komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah (The Global Good of Elimination of Limphatic Filariasis as a Public Health Problem By The Year 2020). Menyusul kesepakatan global tersebut pada tahun 2002 Indonesia mencanangkan gerakan eliminasi penyakit kaki gajah disingkat ElKaGa pada tahun 2020. (DinKes Sumut, 2010)

Eliminasi Filariasis bertujuan yaitu:

1. Filariasis tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia pada tahun 2020

(28)

3. Mencegah dan membatasi kecacatan karena filariasis.

Dalam program eliminasi filariasis ini terdapat dua bentuk tindakan yang dilakukan berupa Pengobatan massal yaitu pemberian obat kepada semua penduduk di daerah endemis filariasis dengan DEC, Albendazole dan Paracetamol setiap tahun sekali minimal selama 5 tahun berturut-turut. Dan Tatalaksana kasus yaitu pengobatan dn perawatan penderita klinis filariasis yang bertujuan untuk mematikan cacing filaria serta mencegah dan membatasi kecacatan. (DinKes Sumut, 2010)

2.1.11 Upaya Pencegahan dan Pengendalian

Menurut Sembel (2009) upaya pencegahan yang dilakukan adalah menghindari terjangkitnya suatu penyakit dan dapat mencegah terjadinya penyebaran penyakit. Pada dasarnya tujuan dilakukan upaya ini adalah untuk mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit yaitu yang terdiri dari penyebab (agent), tuan rumah (host), lingkungan (environmental). Upaya pencegahan penting dan selalu diutamakan karena dapat dilakukan dengan biaya yang murah serta mudah pelaksanaannya hasil yang diperoleh lebih optimal.

Upaya pencegahan dan pengeliminasi Fialariasis yang efektif antara lain: 1.Memutuskan rantai penularan filariasis melalui program pengobatan massal di daerah endemis filariasis.

2. Mencegah dan membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus filariasis. 3. Pengendalian vektor secara terpadu.

(29)

2.1.12 Pengobatan Pada Filariasis

Pengobatan dilakukan yaitu dengan pemberian obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC), albendazole dan paracetamol yang diberikan sekali setahun selama 5 tahun. DEC diberikan 6mg/KgBB sekali pemberian. Sebaik

nya obat diminum sesudah makan dan di depan petugas.

Dosis obat ditentukan berdasarkan berat badan atau umur sesuai tabel dibawah ini

Tabel 2.3. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan Berat Badan

(30)

Rumah adalah sebuah tempat tujuan akhir dari manusia. Rumah menjadi tempat berlindung dari cuaca dan kondisi lingkungan sekitar, menyatukan sebuah keluarga, meningkatkan tumbuh kembang setiap manusia, dan menjadi bagian dari gaya hidup manusia. (Wicaksono, 2009)

Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia, disamping kebutuhan sandang dan pangan. Rumah berfungsi pula sebagai tempat tinggal serta digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya. Selain itu rumah juga merupakan pengembangan kehidupan dan tempat berkumpulnya anggota keluarga untuk menghabiskan sebagian besar waktunya. Rumah sehat dan nyaman merupakan sumber inspirasi penghuninya untuk berkarya, sehingga dapat meningkatkan produktivitasnya. (DepKes, 2002)

2.2.1 Syarat-syarat Rumah Sehat

Menurut Irianto (2007) yang mengutip pendapat wislow, bahwa syarat-syarat rumah sehat terdiri dari :

1. Memenuhi kebutuhan Fisiologi antara lain :

a.Pencahayaan yang cukup, baik cahaya alam (sinar matahari) maupun cahaya buatan (lampu).

b. Penghawaan (ventilasi) yang cukup untuk proses penggantian udara dalam ruangan

c.Terhindar dari kebisingan yang menggangu

d.Cukup tempat bermain bagi anak-anak dan untuk belajar. 2. Memenuhi Kebutuhan Psikologi :

(31)

b. Setiap anggota keluarga terjamin ketenangan dan kebebesannya, tidak terganggu oleh anggota keluarga dalm rumah, tetangga.

c.Mempunyai ruang sebagai tempat berkumpulnya anggota keluarga. d.Cara mengatur rumah harus memenuhi rasa keindahan.

e.Memiliki Wc di kamar mandi dan adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut.

3. Mencegah Penularan Penyakit

a.Tersedianya air bersih yang memenuhi syarat

b.Pengolahan tinja dan limbah rumah tangga yang memenuhi syarat c.Bebas vektor penyakit dan tikus

d.Kepadatan hunian kamar yang tidak berlebihan. e.Cukup sinar matahari pagi

f. Makan dan minuman terlindung dari pencemaran g.Pencahayaan dan penghawaan yang cukup. 4. Mencegah Terjadinya Kecelakaan :

Syarat agar dapat mencegah terjadinya kecelakaan meliputi :

a.Konstruksi rumah dan material yang digunakan harus cukup kuat (berkualitas baik)

b. Tidak mudah terbakar, dan tidak cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir.

2.2.2 Syarat-syarat Rumah Untuk Memenuhi Kebutuhan Fisiologis

(32)

1. Suhu Ruangan

Suhu ruangan harus dijaga agar jangan banyak berubah sebaiknya tetap berkisar antara 18-20 C. Pada rumah-rumah modern suhu ruangan dapat diatur dengan air conditioning.

2. Harus Cukup Mendapat Penerangan

Rumah harus cukup mendapat penerangan baik siang maupun malam hari. Pada pagi hari ruangan agar diusahakan mendapat sinar matahari.

3. Harus Cukup Mendapat Pertukaran Hawa (Ventilasi)

Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara dalam rumah tetap segar. Fungsi yang kedua adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama bakteri patogen serta ventilasi juga berfungsi untuk menjaga agar kelembaban ruangan rumah selalu tetap dalam keadaan optimum.

4. Harus Cukup Mempunyai Isolasi Suara

Dinding ruangan harus kedap suara, baik terhadap suara yang berasal dari luar maupun dari dalam.

2.2.3 Fungsi Rumah

Menurut Siregar (2006) yang mengutip pendapat Azwar, rumah memiliki fungsi sebagai berikut :

1. Sebagai tempat untuk melepaskan lelah, beristirahat setelah penat melaksanakan kewajiban sehari-hari.

(33)

3. Sebagai tempat berlindung dari bahaya yang mengancam

4. Sebagai lambang status sosial yang dimiliki, yang masih dirasakan sampai sekarang

5. Sebagai tempat meletakkan atau menyimpan barang yang dimiliki

2.2.4 Jenis-jenis Rumah

Menurut Machfoed (2008), rumah berdasarkan bahan bangunannya terdiri dari :

1. Rumah Non Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu, bambu.

2. Rumah Semi Permanen yaitu rumah yang terbuat dari bahan bangunan kayu dan campuran batu, pasir dan semen.

3. Rumah Permanen yaitu rumah yang keseluruhan bahan bangunan terbuat dari campuran batu, pasir dan semen

2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya filariasis 2.3.1 Faktor Lingkungan

(34)

(rural) secara umum kondisi lingkungan sama dengan daerah endemis B.malayi.

(DepKes, 2007)

Lingkungan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk, dimana secara umum lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik, Lingkungan biologik dan lingkungan sosial, ekonomi dan budaya. (DepKes, 2007)

a. Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik mencakup antara lain keadaan iklim, keadaan geografis, struktur geologi, suhu, kelembaban dan sebagainya. Lingkungan fisik erat kaitannya dengan kehidupan vektor, sehingga berpengaruh terhadap munculnya sumber-sumber penularan filariasis, lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat peridukan dan beristirahatnya nyamuk. Lingkungan dengan tumbuhan air di rawa-rawa dan adanya hospes resevoir (kera, lutung, dan kucing) berpengaruh terhadap penyebaran B,malayi

sub periodik nokturna dan non periodik. (DepKes RI, 2006) 1. Suhu Udara

Suhu udara berpengaruh terhadap pertumbuhan, masa hidup serta keberadaan nyamuk. Menurut Chwatt (1980), suhu udara yang optimum bagi kehidupan nyamuk berkisar antara 25-30 C. (DepKes, 2007)

2. Kelembaban Udara

(35)

kelembaban yang tinggi nyamuk menjadi lebih aktif dan lebih sering menggigit, sehingga meningkatkan penularan. (DepKes, 2007)

3. Angin

Kecepatan angin pada saat matahari terbit dan terbenam yang merupakan saat terbangnya nyamuk ke dalam atau ke luar rumah, adalah satu faktor ikut menentukan jumlah kontak atara manusia dengan nyamuk. Jarak terbang nyamuk (flight range) dapat diperpendek atau diperpanjang tergantung kepada arah angin. Jarak terbang nyamuk Anopheles adalah terbatas biasanya tidak lebih dari 2-3 km dari tempat perindukannya, bila ada angin yang kuat nyamuk Anopheles bisa terbawa sampai 30 km.

4. Hujan

Hujan berhubungan dengan perkembangan larva nyamuk menjadi dewasa. Besar kecilnya pengaruh tergantung pada jenis hujan, derasnya hujan, jumlah hari hujan dan jenis vektor serta jenis tempat perkembangbiaknya (breeding place).

5. Sinar Matahari

(36)

An.punctulatus spp lebih suka tempat yang terbuka, dan An.barbirostis dapat hidup baik di tempat teduh maupun yang terang. (DepKes, 2007)

6. Arus Air

An.barbirostris menyukai perindukan yang airnya statis/mengalir lambat, sedangkan An.minimis menyukai aliran iar yang deras dan An.letifer

menyukai air tergenang, An.maculatus berkembangbiak pada genangan air di pinggir sungai dengan aliran lambat atau berhenti. Beberapa spesies mampu untuk berkembang biak di air tawar dan air asin seperti yang dilaporkan di Kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur, NTT bahwa An.subpicutus air payau ternyata di laboratorium mampu bertelur dan berkembang biak sampai menjadi nyamuk dewasa di air tawar seperti nyamuk Anopheles lainnya. 7. Tempat Perkembangbiakan Nyamuk

Tempat perkembangbiakan nyamuk adalah genangan-genangan air, baik air tawar maupun air payau, tergantung dari jenis nyamuknya. Air ini tidak boleh tercemar harus selalu berhubungan dengan tanah. Berdasarkan ukuran, lamanya air (genangan air tetap atau sementara) dan macam tempat air, klasifikasi genangan air dibedakan atas genangan air besar dan genangan air kecil. (DepKes, 2007)

8. Keadaan Dinding

(37)

rumah yang terbuat dari kayu memungkinkan lebih banyak lagi lubang untuk masuknya nyamuk.

9. Pemasangan kawat kasa

Pemasangan kawat kasa pada ventilasi akan menyebabkan semakin kecilnya kontak nyamuk yang berada di luar rumah dengan penghuni rumah, dimana nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah. Menurut Davey (1965) penggunaan kasa pada ventilasi dapat mengurangi kontak antara nyamuk

Anopheles dan manusia. b. Lingkungan Biologik

Lingkungan biologik dapat menjadi faktor pendukung terjadinya penularan filariasis. Contoh lingkungan biologik adalah adanya tanaman air, genangan air, rawa-rawa, dan semak-semak sebagai tempat pertumbuhan nyamuk Mansonia spp.

Tumbuhan bakau, lumut, gangang dan berbagai tumbuhan lainnya dapat mempengaruhi kehidupan larva karena ia dapat menghalangi sinar matahari atau melindungi dari serangan makhluk hidup lainnya. Adanya berbagai jenis ikan pemakan larva seperti ikan kepal timah (Panchax spp), gambusia, nila, mujair, mempengaruhi populasi nyamuk di suatu daerah. Selain itu adanya ternak besar seperti sapi, kerbau, dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada manusia, apabila ternak tersebut dikandangkan tidak jauh dari rumah, hal ini tergantung pada kesukaan menggigit nyamuknya. (DepKes RI, 2006)

(38)

akar atau batang tumbuhan air dengan menggunakan alat kaitnya. Alat kait tersebut kalau pada larva terdapat pada ujung siphon, sedangkan pada pupa ditemukan pada terompet, sehingga dengan alat kait itu baik siphon maupun terompet dapat berhubungan langsung dengan udara (Oksigen) yang ada di jaringan udara tumbuhan air. Keberadaan tumbuhan air mutlak diperlukan bagi kehidupan nyamuk Mansonia

dan kita tahu bersama kalau spesies inang Mansonia sp antara lain eceng gondok, kayambang. Akhirnya untuk memberantas dan memutuskan penularan penyakit filariasis ini selain melakukan pengobatan pada penderita juga perlu dilakukan pemberantasan vektor penyakit, caranya bisa dengan menggunakan herbisida yang mematikan tumbuhan inangnya atau bisa juga secara mekanis melakukan pembersihan perairan dari tumbuhan air yang dijadikan inang oleh nyamuk Mansonia sp. (DepKes RI, 2006)

c. Lingkungan Kimia

Dari lingkungan ini baru diketahui pengaruhnya adalah kadar garam dari tempat perkembangbiakan. Sebagai contoh An.sundaicus tumbuh optimal pada air payau yang kadar garamnya berkisar antara 12-18% dan tidak berkembang biak pada kadar garam 40% ke atas, meskipun di beberapa tempat di sumatera utara

An.sundaicus sudah ditemukan pula dalam air tawar An. letifer dapat hidup ditempat yang asam/pH rendah. (Notoatmodjo, 1997)

d. Lingkungan Sosial, Ekonomi, dan Budaya

(39)

atau kebiasaan keluar pada malam hari, atau kebiasaan tidur perlu diperhatikan karena berkaitan dengan intesitas kontak dengan vektor (bila vektor menggigit pada malam hari). Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada insiden pada perempuan karena umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor karena pekerjaannya.(Notoatmodjo, 1997)

1. Kebiasaan Keluar Rumah

Kebiasaan untuk berada di luar rumah sampai larut malam, dimana vektornya bersifat eksofilik dan eksofagik akan memudahkan gigitan nyamuk. Menurut hasil penelitian Kadarusman (2003) diketahui bahwa kebiasaan keluar pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,002.). (Kadarusman, 2003)

2. Pemakaian Kelambu

Pemakaian kelambu sangat efektif dan berguna untuk mencegah kontak dengan nyamuk. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Ansyari (2004) menyatakan bahwa kebiasaan tidak menggunkan kelambu waktu tidur sebagai faktor resiko kejadiaan filariasis (OR=8,09). (DepKes, 2003)

3. Obat Anti Nyamuk

(40)

4. Pekerjaan

Pekerjaan yang dilakukan pada jam-jam nyamuk mencari darah dapat beresiko untuk terkena filariasis, Diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis. Menurut Astri (2006) diketahui bahwa pekerjaan pada malam hari ada hubungan dengan kejadian filariasis (p=0,003). (Asri, 2006)

5. Pendidikan

Tingakt pendidikan sebenarnya tidak berpengaruh langsung terhadap kejadian filariasis tetapi umumnya mempengaruhi jenis pekerjaan dan perilaku kesehtan seseorang.

2.3.2 Faktor Manusia dan Nyamuk (Host) 2.3.2. Manusia

a. Manusia 1. Umur

Filariasis menyerang pada semua kelompok umur. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila mendapat tusukan atau gigitan nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3 atau L-3 ) ribuan kali. (DepKes RI, 2006)

2. Jenis Kelamin

(41)

3. Imunitas

Orang yang pernah terinfeksi filariasis sebelumnya tidak terbentuk imunitas dalam tubuhnya terhadap filaria demikian juga yang tinggal di daerah endemis biasanya tidak mempunyai imunitas alami terhadap penyakit filariasis. Pada daerah endemis filariasis tidak semua orang terinfeksi dan orang yang terinfeksi menunjukan gejala klinis. Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya terjadi perubahan-perubahan patologis dalam tubuh. (DepKes, 2006)

4. Ras

Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai resiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, akan tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang berat. (DepKes, 2006)

b. Nyamuk

(42)

1. Siklus Gonotrofik

Yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur, waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk

2. Frekuensi Menggigit manusia

Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban yang disebut siklus gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya ini berlangsung sekitar 48-96 jam. (DepKes RI, 2007)

3. Faktor yang penting

(43)

2.3.3 Faktor Agent

Secara epidemiologi cacing filaria dibagi menjadi 6 tipe yaitu : 1. Wucheria bancrofti tipe Perkotaan (urban)

Ditemukan di daerah perkotaan seperti Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan sekitarnya memiliki periodisitas nokturna, ditularkan oleh nyamuk

Cx.quiquefasciatus yang berkembang biak di air limbah rumah tangga. (DepKes RI, 2006)

2. Wuchereria bancrofti tipe Pedesaan (rural)

Ditemukan di daerah pedesaan luar Jawa terutama tersebar luas di Papua dan Nusa Tenggara Timur, mempunyai periodisitas nokturna yang ditularkan melalui berbagai spesies nyamuk Anopheles dan Culex.

3. Brugia malayi tipe periodik nokturna

Mikrofilari ditemukan di darah pada malam hari. Jenis nyamuk penularannya adalah Anopheles barbirostis yang ditemukan di daerah persawahan. (DepKes RI, 2006)

4. Brugia malayi tipe subperiodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di drah tepi pada siang dan malam hari, tetapi lebih banyak ditemukan pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah Mansonia spp

yang ditemukan di daerah rawa. 5. Brugia malayi tipe non periodik

(44)

6. Brugia timori tipe periodik nokturna

Mikrofilaria ditemukan di darah pada malam hari. Jenis nyamuk penularnya adalah An.barbirostris yang ditemukan di daerah persawahan Nusa Tenggara Timur, Maluku Tenggara. (DepKes RI, 2006)

2.4. Perilaku Kesehatan

Perilaku dalam penelitian ini adalah perilaku yang berhubungan dengan terjadinya filariasis pada penderita tersebut. Perilaku kesehatan tersebut didasarkan pada tiga domain perilaku yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan. Menurut Subchan (2001) bahwa perilaku manusia terhadap sakit dan penyakit yaitu menyangkut dengan reaksinya baik secara pasif (mengetahui, bersikap dan mempersepsi penyakit yang ada pada dirinya atau diluar dirinya) maupun aktif (tindakan atau praktik) yang dilakukan sehubungan dengan sakit maupun penyakit. Terbentuknya perilaku baru dimulai dari pengetahuan yang kemudian menimbulkan respon yang lebih jauh yaitu tindakan.

Menurut Notoadmodjo (2003) perilaku kesehatan dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit atau penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan yang diuraikan sebagai berikut:

a. Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit yaitu bagaimana manusia merespon, baik secara pasif maupun secara aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut.

(45)

c. Perialku terhadap makanan, adalah respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan.

d. Perilaku terhadap lingkungan, adalah respon terhadap lingkungan sebagai determinan

2.4.1 Pengetahuan

Menurut Notoadmodjo (2007) pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-beda termasuk dalam hal ini kemampuan masyarakat dalam menjaga kesehatan individu dalam pencegahan terjadi keluhan penyakit maupun dalam pengobatan. Pengetahuan tentang usaha-usaha kesehatan perseorangan untuk memelihara kesehatan diri sendiri, memperbaiki dan mempertinggi nilai kesehatan, serta mencegah timbulnya penyakit.

Pengetahuan dalam penelitian ini adalah menyangkut pengetahuan tentang defenisi filariasis.

2.4.2 Sikap

(46)

Menurut Ahmadi (2004) sikap dibedakan menjadi : 1. Sikap positif yaitu sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan menerima, menyetujui terhadap norma-norma yang berlaku dimana individu itu berbeda.

Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Secara langsung dapat dinyatakan paendapata tau pernyataan respon terhadap sesuatu objek, secara tidak langsung dapat dilakukan den gan pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat respon. Sikap dalam penelitian ini pengobatan filariasis, pencegahan filariasis.

2.4.3 Tindakan

Domain terakhir dari perilaku kesehatan adalah tindakan. Tindakan tersebut didasari pada penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahuinya, kemudian disikapi dan akhirnya mengambil keputusan untuk melakukannya. Tindakan dalam penelitian ini adalah segala bentuk nyata yang dilakukan dalam mencegah dan menanggulangi terjadinya filariasis.

Tindakan yang tercakup dalam domain psikomotorik mempunyai 4 (empat) tingkatan (Notoadmodjo, 2003) :

1. Persespsi (perception), yaitu mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan praktek tin gkat pertama.

(47)

3. Mekanisme (mecanism), yaitu apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis, atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai praktek tingkat tiga

4. Adaptasi (adaptation), yaitu suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik. Seseorang sudah dapat memodifikasi tindakan tanpa mengurangi kebenaran tindakan.(Notoadmodjo, 2003)

(48)

2.5 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Sanitasi Lingkungan Perumahan

Perilaku Responden

2.6 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut :

Ha : Ada hubungan sanitasi lingkungan perumahan dan perilaku masyarakat dengan kejadian filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten Labuhan Batu Selatan

1. Ketersediaan saluran

pembuangan air limbah 2. Tempat perindukan nyamuk 3. Tempat peristirahatan nyamuk 4. Keadaan lingkungan fisik rumah

meliputi :

- Kawat kasa pada ventilasi - Kerapatan dinding

- Pencahayaan - Kelembaban

Kejadian Filariasis

1. Pengetahuan 2. Sikap

(49)

Gambar

Gambar 2.1 : Skema Rantai Penularan Filariasis.
Gambar 2.2 .Teori Simpul Patogenesis Penyakit Filariasis
Tabel 2.2.Stadium Limfedema/Tanda Kejadian Bengkak, Lipatan Dan Benjolan Pada Penderita Kronis Filariasis
Tabel 2.3. Dosis Obat Berdasarkan Berat Badan

Referensi

Dokumen terkait

Penularan penyakit ini adalah dari sumber penderita TB paru BTA Positif yang disebarkan pada waktu batuk atau bersin yang menyebabkan keudara dalam bentuk

Informasi mengenai sumber penyakit yang sering menyerang ikan/udang selain sangat membantu dalam upaya pengobatan juga bermanfaat dalam menentukan tindakan yang harus

Ini merupakan masa yang sangat kritis karena pasien berada pada tahap yang paling infektif untuk nyamuk vektor dan akan berkontribusi dalam mempertahankan siklus penularan

Vektor-vektor malaria tersebut pada umumnya menggigit manusia pada malam hari, penularan akan lebih intensif terjadi di daerah dimana nyamuk dapat hidup dalam waktu lama

Kepatuhan penderita Tuberkulosis dalam menjalankan pengobatan, yaitu ketaatan penderita Tuberkulosis dalam berobat (penderita mengunjungi pelayanan kesehatan sesuai dengan

Secara umum dinamika penularan penyakit dapat didekati dengan mengidentifikasi cara penularan penyakit (mode of transmission), penyakit dapat ditularkan kepada manusia

Filariasis Bancrofi, vektor penular yang terpenting adalah culex fatigans, Anopheles funestus, Anopheles farauti, Anopheles darlingi, Anopheles punctulatus, Aedes

Pengobatan hanya bersifat simtomatis selain rawat inap, maka penderita dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2 kali seminggu. Penanganan