BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Tuberkulosis
2.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Tuberculosis. Kuman ini berbentuk basil (batang) lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Basil Tuberkulosis ini tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37°C yang sesuai dengan suhu tubuh manusia (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2002). Tuberkulosis juga dapat ditularkan ke bagian tubuh lainnya, termasuk meninges (selaput membran yang terdapat di dalam serabut saraf), ginjal, tulang dan nodus limfe (sistem imun) (Smeltzer & Bare, 2001:584).
Kuman Tuberkulosis mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman Tuberkulosis cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh kuman ini dapat dormant (tidur) selama beberapa tahun (Kusnindar, 1990).
2.1.2 Cara Penularan Tuberkulosis
Tuberkulosis ditularkan dari penderita kepada orang lain melalui transmisi udara, yaitu ketika penderita berbicara, batuk, bersin, tertawa atau bernyanyi penderita melepaskan droplet (percikan dahak atau ludah). Penularannya juga bisa melalui penggunaan alat makan bersama. Orang lain dapat terinfeksi jika droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernapasan (Smeltzer & Bare, 2001:584).
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari paru penderita Tuberkulosis. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Kemungkinan seseorang terinfeksi Tuberkulosis ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes RI, 2007:5).
2.1.3 Faktor Resiko Tuberkulosis
Individu yang beresiko tinggi untuk tertular tuberkulosis adalah:
a. Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.
b. Individu imunosupresif (termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang dalam terapi kortikosteroid, atau mereka yang terinfeksi dengan HIV).
c. Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat (tunawisma, tahanan, etnik dan ras minoritas, terutama anak–anak di bawah usia 15 tahun dan dewasa muda antara yang berusia 15–44 tahun).
d. Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya (misalnya, diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi).
e. Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi (Asia Tenggara, Afrika, Amerika Latin, Karibia).
f. Setiap individu yang tinggal di institusi (misalnya fasilitas perawatan jangka panjang, institusi psikiatrik, penjara). g. Individu yang tinggal di daerah perumahan kumuh. h. Petugas kesehatan.
Resiko untuk tertular tuberkulosis juga tergantung pada banyaknya organisme yang terdapat di udara (Smeltzer & Bare, 2001:585).
2.1.4 Gejala Klinis Tuberkulosis
Gejala utama pasien Tuberkulosis adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, rasa nyeri dada, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari satu bulan (Smeltzer & Bare, 2001:585).
2.1.5 Tipe Penderita Tuberkulosis
Menurut Depkes RI (2007:19) tipe penderita Tuberkulosis ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu:
a. Kasus Baru, adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan dengan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus Kambuh (relaps), adalah pasien Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapatkan pengobatan dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (Bakteri Tahan Asam) positif.
c. Kasus Lalai (pengobatan setelah default / drop out), adalah penderita Tuberkulosis yang sudah berobat paling kurang satu bulan, dan berhenti dua bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
d. Kasus Gagal, yaitu penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau lebih. Bisa juga penderita dengan hasil BTA negatif Rotgen positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan.
e. Kasus Kronis, yaitu penderita dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
f. Kasus Pindahan (transfer in), adalah penderita Tuberkulosis yang sedang mendapat pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. penderita harus membawa surat rujukan /pindahan.
2.1.6 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2002) Untuk menegakkan diagnosis Tuberkulosis yaitu dengan : a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien dapat ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam di atas 370C, badan kurus atau berat badan menurun.
b. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan Rotgen dada, pada penderita Tuberkulosis terdapat lesi pada lobus (bagian) atas paru.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah, Pemeriksaan Kultur Sputum (dahak), Tes Tuberkulin.
2.1.7 Prinsip Pengobatan
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2002), pengobatan Tuberkulosis diberikan dalam dua tahap yaitu : a. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal/ 2 bulan pertama), penderita mendapat obat setiap hari untuk mencegah terjadinya
kekebalan terhadap semua OAT (Obat Anti
b. Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama (6-9 bulan). Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Menurut Depkes RI (2007:20), Panduan obat yang digunakan terdiri dari panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang terdiri obat utama dan tambahan yaitu:
a. Jenis obat utama yaitu
1. Rifampisin, obat bersifat bakterisid dapat membunuh kuman semi-dormant (kuman yang dapat tertidur lama dalam jaringan tubuh).
2. Isoniazid (INH), obat ini bersifat bakterisid. Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif yaitu kuman yang sedang berkembang.
3. Pirazinamid (Z), obat ini bersifat bakterisid dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dalam suasana asam.
4. Streptomisin (S), obat ini bersifat bakterisid.
5. Etambutol (E), obat ini bersifat bakteriostatis yaitu sifat sesuatu obat untuk menghalangi bakteri
berkembang biak, tetapi tidak membunuhnya (Ramali, 2000:32).
b. Jenis obat tambahan lain yaitu Kanamisin, Amikasin, Kuinol ketiga obat ini juga bersifat bakterisid.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa Tuberkulosis adalah salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan yang menular dan berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Pada penderita yang telah terpapar Tuberkulosis prinsip pengobatan yang benar sangat penting untuk dapat mencapai kesembuhan yang maksimal. Pada penderita Tuberkulosis prinsip pengobatan membutuhkan waktu yang cukup lama (sekitar 6-9 bulan), untuk itu bukan hanya aspek fisik saja yang perlu diperhatikan tetapi juga biologis, psikologis, sosial dan spiritualitas dari penderita.
2.2 Konsep Spiritualitas 2.2.1 Definisi Spiritualitas
Spiritualitas berasal dari bahasa latin yaitu spiritus yang berarti nafas atau udara, dan menjadi kebutuhan dasar yang esensi dalam kehidupan manusia. Spiritualitas menurut Reed (dalam Kozier dkk, 1995:995) yaitu mengacu pada upaya manusia mencari makna kehidupan melalui hubungan intrapersonal, interpersonal dan, transpersonal
serta sejauh mana spiritualitas meresapi kehidupan seseorang dan bagaimana seseorang terlibat dalam kegiatan spiritual.
Spiritualitas adalah keyakinan dalam hubungannya dengan Yang Maha Kuasa dan Maha Pencipta. Spiritual juga dapat diartikan sebagai inti dari manusia yang
memasuki dan mempengaruhi kehidupannya dan
dimanifestasikan dalam pemikiran dan perilaku serta dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan (Dossey & Guzzeta dalam Dwidiyanti, 2008 61-63).
Menurut Wilkinson (2006:148), spiritual adalah ekspresi seseorang tentang keterikatan dengan diri sendiri, orang lain, kekuatan yang lebih tinggi, seluruh kehidupan, alam dan semesta yang melebihi serta memberi kekuatan diri. Kemudian Wiramihardjo (2009:145), dalam bukunya yang berjudul Pengantar Psikologi Klinis mengungkapkan bahwa spiritualitas adalah kekuatan-kekuatan yang bersangkutan dan nilai (value) dan makna (meaning). Nilai dari sesuatu dan makna yang terdapat dalam suatu situasi itu merupakan dorongan utama yang melahirkan suatu perilaku.
Spiritualitas adalah kepercayaan akan adanya kekuatan nonfisik yang lebih besar dari pada kekuatan diri,
suatu kesadaran yang menghubungkan manusia langsung dengan Tuhan atau apapun yang dinamakan sebagai keberadaan manusia. Spiritualitas adalah dasar bagi tumbuhnya harga diri, nilai-nilai, moral, dan rasa memiliki
(Doe & Walch, 1998 dalam
http://ilmupsikologi.wordpress.com/2010/02/18/pengertian-kecerdasan-spritual/. Diakses pada tanggal 22 Oktober 2011).
Menurut Farran (dalam Potter & Perry, 2005:564), setiap individu memiliki pemahaman tersendiri mengenai spiritualitas karena masing-masing memiliki cara pandang yang berbeda mengenai hal tersebur. Perbedaan definisi dan konsep spiritualitas dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup seseorang, serta persepsi mereka tentang hidup dan kehidupan. Pengaruh tersebut nantinya dapat mengubah pandangan seseorang mengenai konsep spiritulitas dalam dirinya sesuai dengan pemahaman yang ia miliki dan keyakinan yang ia pegang teguh.
Goldberg (1998), melakukan penelitian dengan tema spiritual, hasil dari penelitiannya menunjukkan fenomena primer dalam spiritual seseorang. Spiritual adalah makna , keberadaan, empati, harapan, cinta, agama dan
kesembuhan. Kemudian Kurniawan dkk (2008), meneliti tentang pengalaman spiritual pada pasien kanker payudara stadium lanjut di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Hasil penelitian ini, diperoleh beberapa tema yang muncul yang berkaitan dengan pengalaman spiritual yang terbagai menjadi 5 dimensi, yaitu keyakinan terhadap sumber spiritual, cara memenuhi kebutuhan spiritual, makna sakit dan penderitaan, dukungan sosial, dan memberi serta menerima cinta.
Yulianti (2010), melakukan penelitian mengenai tingkat spiritualitas pada pasien gagal ginjal kronik dengan Hemodialysis di unit Hemodialysis Rumah Sakit PKU Muhammadiah Yogyakarta. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagian besar pasien
mengalami penolakan terhadap penyakit yang dialami,
mengisolasi diri, marah, tawar menawar dan
depresi. Spiritualitas memberikan peranan yang penting dalam berfikir dan bertingkah laku seseorang yang menjalani hemodialisis. Manfaat spiritualitas yaitu sebagai sumber dukungan, penuntun hidup, mempengaruhi tingkat kesehatan, sumber kekuatan dan penyembuhan. Tingkat spiritualitas pada pasien gagal ginjal kronik dengan
hemodialisis di unit hemodialisis RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta adalah cukup.
Berdasarkan beberapa definisi dan penelitian mengenai spiritualitas di atas, maka peneliti berkesimpulan bahwa spiritualitas adalah kesadaran manusia akan hubungannya dengan dirinya sendiri (intrapersonal), dengan orang lain (interpersonal), dan dengan Tuhan yang merupakan kekuatan tertinggi atau sesuatu yang dipersepsikan sebagai sosok transenden dalam kehidupannya (transpersonal). Spiritualitas juga menjadi sumber kekuatan dan penyembuhan bagi individu.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas
Menurut Taylor & Craven (dalam Dwidiyanti 2008 :69-70), faktor-faktor yang mempengaruhi spiritual seseorang adalah :
a. Tahap perkembangan seseorang
Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembayang yang berbeda menurut usia, seks, agama, dan kepribadian anak.
b. Keluarga
Peran orang tua sangat menentukan dalam perkembangan spiritual anak.
c. Latar Belakang etnik dan budaya
Sikap, keyakinan, dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual keluarga. d. Pengalaman hidup sebelumnya
Pengalaman hidup baik yang positif maupun negatif dapat mempengaruhi spiritual seseorang. Pengalaman hidup yang menyenangkan menimbulkan syukur kepada Tuhan sedangkan peristiwa buruk dianggap cobaan yang diberikan Tuhan.
e. Krisis dan Perubahan
Krisis dan perubahan dapat mempengaruhi seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan bahkan kematian.
f. Terpisah dari ikatan spiritual
Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat individu terpisah atau kehilangan kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial.
g. Isu moral terkait dengan terapi
Prosedur medis seringkali dapat dipengaruhi oleh ajaran agama seperti sirkumsisi, tranplantasi organ, sterilisasi dan sebagainya sehingga menimbulkan konflik jenis terapi dengan keyakinan agama.
2.2.3 Pengaruh Spiritualitas Dalam Kehidupan
Menurut Koening & Pritchett (dalam Dwidiyanti, 2008:68) pengaruh spiritualitas dalam kehidupan dapat dilihat melalui bagaimana cara seseorang berhubungan dengan dirinya sendiri, orang lain, dan dengan Yang Maha Kuasa, serta bagaimana sekelompok orang berhubungan dengan anggota kelompok tersebut. Menurut Potter dan Perry (2005:566) spiritualitas membantu kehidupan manusia untuk bisa lebih menyadari tentang makna, tujuan, dan nilai kehidupan. Berdasarkan hasil penelitian Muin dan Permatasari (2008) pengaruh spiritualitas dapat memberikan ketenangan, kenyamanan, kesabaran, mampu menikmati hidup, menerima diri sendiri, meningkatkan semangat, dan mengurangi kesepian.
2.2.4 Aspek-aspek Spiritualitas
Menurut Burkhardt (dalam Dwidiyanti, 2008:61), spiritualitas meliputi aspek-aspek :
a. Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian dalam kehidupan.
b. Menemukan arti dan tujuan hidup.
c. Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri.
d. Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Yang Maha Kuasa.
Martsolf & Mickley (dalam Kozier dkk, 1995:995) mengungkapkan spiritualitas meliputi aspek-aspek :
a. Makna (memiliki tujuan dan kehidupan). b. Nilai (memiliki keyakinan yang kuat).
c. Transendensi (menghargai dimensi yang berada diluar diri).
d. Menghubungkan (berhubungan dengan orang lain, alam dan kekuatan tertinggi).
e. Menjadi (melibatkan refleksi dalam kehidupan, membiarkan kehidupan terbuka dan saling menghargai).
2.3 Konsep Kepatuhan 2.3.1 Definisi Kepatuhan
Kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti suka menurut perintah, taat pada aturan atau perintah. Kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin (Retnoningsih dan Suroso dalam Kamus Bahasa Indonesia, 2007:388). Kemudian Wilkinson (2006:210), mengungkapkan bahwa perilaku kepatuhan adalah tindakan membuka diri untuk meningkatkan kesehjateraan, penyembuhan dan rehabilitasi.
Menurut DeGreest dkk (dalam Capernito, 2009:703) kepatuhan adalah perilaku positif yang diperlihatkan klien saat mengarah ke tujuan terapeutik yang ditentukan bersama.
Patuh adalah suka menurut perintah, taat pada perintah atau aturan. Sedangkan kepatuhan adalah perilaku sesuai aturan dan berdisiplin. Seseorang dikatakan patuh berobat bila mau datang ke petugas kesehatan yang telah ditentukan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan serta mau melaksanakan apa yang dianjurkan oleh petugas (Lukman Ali dkk dalam Suparyanto http://drsuparyanto.blogspot.com/2010/10/konsepkepatuha n-1.html. Diakses pada 31 Nopember 2011).
Menurut Niven (dalam Syakira http://syakira-
blog.blogspot.com/2009/01/konsep-kepatuhan.html.Diakses pada tanggal 31 Nopember 2011) kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Kemudian Palestin (2005) mengungkapkan Kepatuhan adalah tingkat perilaku penderita dalam mengambil suatu tindakan untuk pengobatan seperti diet, kebiasaan hidup sehat, dan ketepatan berobat (dalam http://morningcamp.com/?p=129. Diakses pada tanggal 22 Oktober 2011).
Pada penderita Tuberkulosis, penderita yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan (Depkes RI, 2007). Kepatuhan sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu motivasi orang, persepsi terhadap kerentangan, dan keyakinan tentang pengendalian atau pencegahan penyakit, variabel lingkungan, kualitas instruksi kesehatan, dan kemampuan untuk mengakses sumber-sumber (Capernito, 1998:634).
Berdasarkan beberapa definisi mengenai kepatuhan di atas, maka peneliti berkesimpulan kepatuhan adalah perilaku yang taat dan sesuai dengan aturan. Kepatuhan
dalam dunia kesehatan adalah perilaku yang taat untuk hidup sehat atau teratur dalam berobat ke petugas kesehatan, layanan kesehatan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.
2.3.2 Aspek-aspek / Karakteristik Kepatuhan
Menurut Wilkinson (2006:211), karakteristik kepatuhan yaitu :
a. Mencari informasi yang berhubungan dengan kesehatan dari berbagai sumber.
b. Menjelaskan strategi untuk mengurangi perilaku tidak sehat.
c. Melaporkan penggunaan strategi untuk memaksimalkan kesehatan.
d. Melakukan pemeriksaan diri dan pemantauan diri. e. Menggunakan layanan kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhan.
2.4 Hubungan Antara Spiritualitas Dengan Kepatuhan
Pada periode sakit atau penyakit, bukan hanya masalah fisik saja yang terganggu tetapi lebih luas dari itu yaitu menyangkut biologis, psikologis, sosiologis dan spiritual. Aspek
spiritualitas berperan penting dalam kehidupan manusia karena merupakan kebutuhan dasar bagi setiap individu.
Spiritualitas menurut Reed (dalam Kozier dkk, 1995:995), merupakan hubungan antara intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri), interpersonal (hubungan dengan orang lain), dan transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi).
Dwidiyanti (2008), mengungkapkan bahwa spiritualitas dapat menjadi sumber kekuatan dan penyembuhan. Pemenuhan spiritualitas pada individu dapat menjadi sumber kekuatan dan pembangkit semangat individu yang sedang sakit yang dapat turut mempercepat proses kesembuhan.
Pada penderita Tuberkulosis, kepatuhan dalam pengobatan merupakan faktor primer untuk mencapai keberhasilan kesembuhan yang maksimal. Menurut DeGreest dkk (dalam Capernito, 2009:703) kepatuhan adalah perilaku positif yang diperlihatkan klien saat mengarah ke tujuan terapeutik yang ditentukan bersama. Penderita Tuberkulosis, yang patuh berobat adalah yang menyelesaikan pengobatan secara teratur dan lengkap tanpa terputus selama minimal 6 bulan sampai dengan 9 bulan (Depkes RI, 2007).
Berdasarkan kajian pustaka yang telah diuraikan di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa aspek spiritualitas mempunyai pengaruh dan hubungan yang penting terhadap kepatuhan berobat penderita Tuberkulosis. Spiritualitas dapat memberi motivasi bagi penderita dalam menjalankan pengobatan dalam hal ini kepatuhan penderita untuk berobat.
2.5 Kerangka Konseptual
Berdasarkan tujuan penelitian, tinjauan pustaka, maka kerangka konsep penelitian ini adalah :
Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen Variabel Dependen
Definisi Konsep :
1. Aspek Spiritualitas penderita Tuberkulosis dalam menjalankan pengobatan. Aspek spiritualitas penderita adalah mencakup hubungan intrapersonal, interpersonal, dan transpersonal dari penderita yang dimanifestasikan dalam kehidupannya sehari-hari.
Aspek
Spiritualitas
Kepatuhan
penderita
Tuberkulosis
2. Kepatuhan penderita Tuberkulosis dalam menjalankan pengobatan, yaitu ketaatan penderita Tuberkulosis dalam berobat (penderita mengunjungi pelayanan kesehatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, minum obat sampai habis dan tepat waktu) di Instalasi Rawat Jalan, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga.
2.6 Hipotesis
Ha : Ada pengaruh aspek spiritualitas terhadap kepatuhan penderita Tuberkulosis dalam menjalankan pengobatan di Instalasi Rawat Jalan, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga.
H0 : Tidak ada pengaruh aspek spiritualitas terhadap kepatuhan penderita Tuberkulosis dalam menjalankan pengobatan di Instalasi Rawat Jalan, Rumah Sakit Paru dr. Ario Wirawan Salatiga.